PUSKESMAS BALARAJA
Disusun oleh:
Helga Liora Nada (01073210012)
Raquela Rivanya Lomboan (01073210009)
Pembimbing:
Dr. dr. Shirley Ivonne Moningkey, M.Kes
dr. Ai Siti Zakiyah
dr. Siti Zaenab Oktarina
1
4.3 Bahan dan Cara Penelitian .......................................................................... 18
4.3.1 Bahan Penelitian ................................................................................ 18
4.3.2 Cara Penelitian .................................................................................. 18
4.4 Populasi Penelitian ..................................................................................... 19
4.5 Sampel Penelitian ....................................................................................... 19
4.5.1 Teknik Pengambilan Sampel .............................................................. 19
4.5.2 Penghitungan Jumlah Sampel ............................................................ 20
4.6 Kriteria Inklusi dan Kriteria Eksklusi ......................................................... 21
4.7 Pengolahan dan Analisa Data ..................................................................... 21
4.7.1 Pengolahan Data ................................................................................ 21
4.7.2 Analisa Data ...................................................................................... 21
4.8 Alur Penelitian ........................................................................................... 22
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................................. 23
5.1 Hasil........................................................................................................... 23
5.1.1 Demografi responden ......................................................................... 23
5.1.2 Hasil uji statistik ................................................................................ 24
5.2 Pembahasan ............................................................................................... 25
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 27
6.1 Kesimpulan ................................................................................................ 27
6.2 Saran .......................................................................................................... 27
BAB VII DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 29
BAB VIII LAMPIRAN .......................................................................................... 31
2
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Definisi Operasional
Tabel 5.1 Tabel demografi
Tabel 5.2 Gambaran personal hygiene pada responden Puskesmas Balaraja
Tabel 5.3 Hasil analisis Chi Square
DAFTAR BAGAN
Bagan 3.1 Kerangka Teori
Bagan 3.2 Kerangka Konsep
Bagan 4.1 Alur Penelitian
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan banyaknya kejadian skabies di Puskesmas Balaraja dan mengingat
pentingnya personal hygiene pada masyarakat maka peneliti ingin mengetahui apakah
ada hubungan antara personal hygiene dengan kejadian skabies di Puskesmas Balaraja
yang dinilai dengan kuisioner Personal Hygiene dari Universitas Indonesia.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Skabies adalah suatu penyakit kulit yang disebabkan oleh parasit tungau Sarcoptes
scabiei varietas hominis yang ditandai dengan gejala gatal pada malam hari dan mengenai
sekelompok orang dengan tempat prediliksi dilipatan kulit tipis, hangat serta lembab. Di
Indonesia, skabies dikenal sebagai penyakit kudis, guduk atau buduk. 3
2.2 Epidemiologi
Menurut WHO tahun 2020, diperkirakan 200 juta orang di seluruh dunia
menderita skabies pada satu waktu.1,6 Data Depkes RI pada tahun 2008 menunjukkan
prevalensi skabies di puskesmas seluruh Indonesia adalah 5,6-12,9% dan merupakan
penyakit kulit terbanyak ketiga dari 12 penyakit kulit tersering di Indonesia. 2
Pondok Pesantren adalah salah satu lingkungan dengan insiden dan prevalensi
skabies yang tinggi di Indonesia. Hal tersebut ditunjukkan oleh beberapa penelitian
seperti Penelitian yang dilakukan oleh Chandra di Pondok pesantren Al-Aziziyah
Samarinda juga sejalan dengan penelitian ini yaitu dari 51 santri yang mengalami
skabies, sebanyak 39 (65%) orang yang memiliki personal hygiene yang buruk dengan
nilai p = 0,02.7
a. Usia
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa skabies lebih sering terjadi pada anak-
anak dibandingkan dengan orang dewasa. Pada kawasan Asia, prevalensi skabies pada
anak relatif tinggi. Hal tersebut ditunjukkan dari prevalensi skabies di beberapa negara
Asia. Prevalensi skabies di daerah kumuh Bangladesh adalah sebesar 23-29% anak
berusia 6 tahun dan 43% di Kamboja. Studi di rumah kesejahteraan di Malaysia tahun
6
2010 menunjukkan prevalensi 30% dan di Timor Leste prevalensi skabies 17,3%. 3
Kejadian serupa juga terjadi di Desa Songan Kecamatan Kintamani Bali yang menjadi
penyakit endemis skabies pada setiap musim dingin nya dan menyerang 100 anak
terutama anak yang bergizi buruk.2
Menurut penelitian Heukelbach skabies sering terjadi pada anak dan remaja yang
berusia 10 hingga 14 tahun. Penelitian lain juga melaporkan bahwa 75% pasien skabies
adalah anak dan remaja yang berusia kurang dari 20 tahun.8 Beberapa penelitian
mengasumsikan bahwa anak-anak lebih mudah terserang skabies karena daya tahan tubuh
yang lebih rendah dari orang dewasa, kurangnya kebersihan diri, dan lebih seringnya
mereka bermain bersama anak-anak lain dengan kontak yang erat.3
Skabies juga mudah untuk menginfeksi orang dengan usia lanjut karena imunitas
yang menurun serta perubahan fisiologi kulit yang menua. Pada orang usia lanjut terjadi
perubahan fisiologi kulit dimana kulit mengalami atrofi, hiperkeratosis, dan menurunnya
fungsi sawar kulit terhadap serangan dari luar, serta proses penyembuhan yang lebih
lambat sehingga kulit orang usia lanjut seringkali merupakan port d’entrée patogen
S.scabiei. Skabies sering menginfeksi orang dengan usia lanjut yang tinggal di fasilitas
perawatan jangka panjang seperti di panti jompo karena kepadatan penghuni serta
perawatan dan kebersihan yang kurang memadai. Penelitian di 399 rumah sakit Taiwan
melaporkan bahwa penderita skabies yang dirawat di fasilitas perawatan jangka panjang
rata-rata berusia 80 tahun. Di rumah sakit tersebut, dari 706 penderita yang didiagnosis
skabies, sebanyak 86% adalah penderita tirah baring dan 42% pengidap diabetes melitus
tipe 2.3
b. Jenis Kelamin
Ditinjau dari segi jenis kelamin, Skabies lebih sering terjadi pada pria dibanding
wanita. Hal ini disebabkan karena kurangnya kebersihan diri pria dibandingkan wanita.
Wanita umumnya lebih peduli terhadap kebersihan dan kecantikan sehingga lebih
merawat diri nya dan menjaga kebersihan dibandingkan dengan pria. Penelitian yang
dilakukan di sebuah pesantren di Jakarta Timur menunjukkan prevalensi skabies pada
tahun 2011 yaitu 51,6% dengan santri pria lebih banyak menderita skabies daripada
wanita. 3,9
7
c. Tingkat Kebersihan Pribadi
Penderita skabies akan mengalami rasa gatal yang hebat terutama pada malam
hari sehingga mereka akan menggaruk untuk meredakan rasa gatalnya sehingga
telur,larva ataupun tungau dewasa dapat menempel di kuku dan jika kuku tersebut
menggaruk bagian lain maka skabies akan mudah menular dengan singkat. Oleh sebab
3
itu kebersihan diri merupakan salah satu cara untuk mencegah skabies.
Kebersihan diri menyeluruh seperti memotong kuku, mencuci tangan dan mandi
dua kali sehari memakai sabun sangat penting untuk pencegahan skabies. Pada saat mandi
tungau yang sedang berada di permukaan kulit ataupun kuku dapat terbasuh dan lepas
dari kulit. Kebiasaan menyetrika pakaian, mengeringkan handuk, dan menjemur kasur di
bawah terik sinar matahari setidaknya seminggu sekali dapat mencegah penularan
skabies. Hal ini disebabkan oleh karena tungau dewasa akan mati jika terpapar suhu 50℃
selama 10 menit. 3,6
Pada penelitian yang dilakukan oleh Rosa menunjukkan bahwa terdapat hubungan
antara antara personal hygiene dan kejadian skabies di Puskesmas Selatan 1 Kecamatan
Singkawang Selatan (p value = 0,008). Penelitian lain di SD Negeri Magelang juga
menunjukkan bahwa anak-anak dengan kebersihan kurang baik memiliki risiko 6 kali
lipat untuk terinfeksi skabies dibandingkan anak-anak dengan kebersihan diri yang baik.4
8
e. Kepadatan Penghuni
Faktor utama risiko skabies adalah kepadatan penghuni rumah dan kontak yang
erat. Prevalensi skabies dua kali lebih tinggi di pemukiman kumuh perkotaan yang padat
penduduk dibandingkan di kampung nelayan yang tidak padat. Penelitian di penjara India
menunjukkan prevalensi skabies yang tinggi karena lingkungan hidup yang terlalu padat
serta higiene dan sanitasi yang buruk.4
Kepadatan penduduk tanpa sanitasi yang buruk juga dapat meningkatkan
prevalensi skabies seperti yang terjadi di masyarakat Indian Kuna yang tinggal dipulau-
pulau kecil pesisir Panama. Skabies juga sering terjadi pada murid yang tinggal di asrama
dengan tingkat hunian yang tinggi misalnya di pondok pesantren yaitu sekolah Islam
dengan sistem asrama dan muridnya disebut santri.3
Di Indonesia, sebagai negara yang memiliki penduduk muslim terbanyak di dunia
tercatat 14.798 pondok pesantren. Santri umumnya berasal dari keluarga dengan kondisi
sosial, ekonomi, dan pendidikan rendah sehingga tidak mampu membayar biaya
pendidikan dan biaya hidup layak di pesantren. Dengan demikian, tidak mengherankan
jika pesantren umumnya padat penghuni dengan fasilitas yang serba terbatas. Satu
ruangan tidur dapat berisi 30-50 santri dengan fasilitas dan tingkat kebersihan yang
kurang memadai. Kondisi tersebut menyebabkan skabies mudah menular dengan cepat
dan sulit diberantas.3
g. Budaya
Budaya masyarakat dapat mempengaruhi prevalensi penyakit di suatu daerah. Di
beberapa daerah tertentu terdapat budaya yang melarang orang sakit untuk dimandikan
karena kuatir akan memperparah penyakitnya. Oleh karena itu, jika seseorang menderita
skabies, maka tidak boleh mandi dan cuci tangan bahkan tidak boleh terkena air sama
sekali. Budaya seperti itu perlu dihentikan dengan memberikan penyuluhan kepada
masyarakat.3
9
h. Sosio-ekonomi
Menjaga kebersihan diri memerlukan berbagai alat pembersih seperti pasta gigi,
sampo, dan sabun, namun pada keluarga dengan tingkat sosio-ekonomi kurang merasakan
berat untuk membeli alat-alat pembersih diri. Kualitas hidup penderita yang tinggal di
daerah kumuh sangat memprihatinkan. Kondisi rumah buruk, infrastruktur sanitasi tidak
memadai, dan padat penduduk sehingga skabies tidak menjadi prioritas karena banyak
hal lain yang perlu diutamakan.8,9
2.4 Patofisiologi
Secara morfologik skabies merupakan tungau kecil, berbentuk oval, punggung
cembung, bagian perut rata, dan mempunyai 8 kaki. S.scabiei memiliki metamorfosis
lengkap dalam lingkaran hidupnya yaitu: telur, larva, nimfa dan tungau dewasa. Skabies
dapat menular melalui perpindahan telur, larva, nimfa, atau tungau dewasa dari kulit
penderita ke kulit orang lain namun dari semua bentuk infektif tersebut tungau dewasalah
yang paling sering menyebabkan penularan sebanyak 90 %. Tungau hanya bisa berpindah
dengan merayap. Kemampuan tungau untuk menginfestasi akan menurun seiring dengan
lamanya tungau berada di luar tubuh hospes dan hanya hidup di luar tubuh hospes selama
24-36 jam.3,6
Setelah kopulasi ( perkawinan ) terjadi, tungau jantan akan mati dan Infestasi
dimulai ketika tungau betina yang telah dibuahi berpindah dari penderita skabies ke orang
sehat. Tungau betina dewasa berjalan di permukaan kulit dengan kecepatan 2,5cm per
menit untuk mencari tempat menggali terowongan. Setelah menemukan lokasi yang
sesuai, tungau menggunakan ambulakral untuk melekatkan diri di permukaan kulit
kemudian membuat lubang di kulit dengan menggigitnya. Tungau betina yang telah
dibuahi akan menggali terowongan dalam statum korneum dengan kecepatan 2-3
milimeter sehari sambil meletakkan telurnya 2 hingga 50 telur. Biasanya tungau betina
menggali stratum korneum dalam waktu 30 menit setelah kontak pertama dengan
menyekresikan saliva yang dapat melarutkan kulit. 3,6,10
Terowongan tungau biasanya terletak di daerah lipatan kulit seperti pergelangan
tangan dan sela-sela jari tangan. Tempat lainnya adalah siku, ketiak, bokong, perut,
genitalia, dan payudara. Pada bayi, lokasi predileksi berbeda dengan dewasa. Predileksi
khusus bagi bayi adalah telapak tangan, telapak kaki, kepala dan leher. 3,6,11,12
S.scabiei memproduksi banyak saliva saat membentuk terowongan dan
10
merupakan sumber molekul yang dapat memodulasi inflamasi atau respons imun hospes.
Tungau skabies memicu sekresi anti-inflammatory cytokine interleukin-1 receptor
antagonist (IL-1ra) dari sel fibroblas dan keratinosit pada model kulit manusia. IL-1ra
menghambat aktivitas sitokin proinflamasi IL-1 dengan mengikat reseptor IL-1 yang
terdapat pada banyak sel termasuk sel limfosit T, sel limfosit B, natural killer cell,
makrofag dan neutrofil. Ekstrak tungau skabies mengandung molekul yang menekan
ekspresi molekul adhesi interselular dan vaskular yaitu intercellular adhesion molecule-1
(ICAM-1) dan vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1) serta E-selectin oleh kultur
sel endotel mikrovaskular kulit manusia. Supresi tersebut akan menghambat atau
menurunkan ekstravasasi limfosit, neutrofil dan sel lain ke dalam dermis sehingga
mengganggu respons pertahanan hospes.3,6
11
2.6 Diagnosis
Diagnosis pasti skabies hanya bisa ditetapkan dengan menemukan tungau atau
telurnya pada pemeriksaan laboratorium namun tungau skabies sulit ditemukan karena
tungau yang menginfestasi penderita hanya sedikit. Jika pada pemeriksaan laboratorium
tidak ditemukan tungau atau produknya, keadaan tersebut belum dapat menyingkirkan
skabies karena tungau mungkin berada di suatu lokasi yang tidak terjangkau pada saat
pengambilan sampel. Oleh karena itu, diagnosis skabies perlu dipertimbangkan pada
setiap penderita dengan keluhan gatal yang menetap dan apabila diagnosis klinis telah
ditegakkan maka dapat diberikan terapi presumtif lalu dilihat responsnya.
Adapun diagnosis klinis dapat ditetapkan apabila pada penderita terdapat dua dari
empat tanda kardinal skabies yaitu:3,6
1. Pruritus nokturna
2. Terdapat sekelompok orang yang menderita penyakit yang sama, misalnya dalam satu
keluarga atau di pemukiman atau di asrama.
3. Terdapat terowongan, papul, vesikel atau pustul di tempat predileksi yaitu sela-sela jari
tangan, pergelangan tangan, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola mamae
(perempuan), umbilikus, bokong, genitalia eksterna (lakilaki), dan perut bagian bawah.
Perlu diingat bahwa pada bayi, skabies dapat menginfestasi telapak tangan dan telapak
kaki bahkan seluruh badan.
4. Menemukan tungau pada pemeriksaan laboratorium.
2.7 Tatalaksana
Prinsip pengobatan skabies adalah menggunakan skabisida topikal diikuti dengan
perilaku hidup bersih dan sehat baik pada penderita maupun lingkungannya. Pengolesan
obat topikal umumnya selama 8-12 jam namun ada yang perlu digunakan sampai lima
hari berturut-turut, bergantung pada jenis skabisida. Pada bayi dan anak kecil absorbsi
obat lebih tinggi sehingga pengolesan tidak dianjurkan saat kulit dalam keadaan hangat
atau basah setelah mandi. Apabila terdapat infeksi sekunder oleh bakteri, perlu diberikan
antibiotik topikal atau oral terlebih dahulu sesuai indikasi dengan memerhatikan interaksi
antar obat.3,6,
Pada umumnya, satu kali pengolesan skabisida topikal cukup untuk
menyembuhkan skabies. Meskipun demikian, untuk menentukan apakah terapi skabies
12
harus diulang perlu diperhatikan apakah obat yang digunakan bersifat ovisida
(membunuh telur) dan skabisida (membunuh tungau) atau hanya bersifat skabisida.Ada
beberapa jenis obat topikal yang dapat dipakai untuk mengobati skabies sebagai
berikut:6,13,14,15
1. Belerang endap (sulfur prespitatum) dengan kadar 4-20% dalam bentuk salep atau
krim. Pengobatan ini tidak efektif terhadap stadium telur sehingga hanya digunakan
selama 3 hari berturut-turut. Kekurangan yang lain adalah bau yang menyengat dan bisa
mengotori pakaian. Belerang dapat digunakan pada bayi berumur kurang dari 2 tahun.
2. Emulsi Benzil Benzoas (20-25%) efektif terhadap semua stadium ddan diberikan setiap
malam selama 3 hari. Obat ini dapat memberikan efek panas setelah dipakai.
3. Gama benzena heksa klorida (gemeksan) kadarnya 1% krim atau losio. Obat ini efektif
terhadap semua stadium dan jarang memberikan iritasi. Obat ini tidak boleh digunakan
pada bayi balita dan ibu hamil. Pemberian nya cukup sekali kecuali jika masih ada gejala
diulangi seminggu kemudian.
4. Krotamiton 10% dalam krim atau losio juga merupakan obat pilihan, mempunyai dua
efek sebagai antiskabies dan antigatal.
5. Permetrin 5% dalam krim. Aplikasi hanya sekali dan dibersihkan denhan mandi setelah
8 hingga 10 jam. Pengobatan diulangi setelah seminggu. Tidak dianjurkan pada bayi di
bawah umur 2 bulan
Di luar negeri dianjurkan penggunaan ivermectin terutama pada pasien yang
persisten dan resisten terhadap permetrin.
13
terhindar dari berbagai macam penyakit.16,17,18,19
14
BAB III
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS
3.4 Variabel
16
3.5. Definisi Operasional
Variabel Independen
Variabel Dependen
17
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
19
4.5.2 Penghitungan Jumlah Sampel
20
4.6 Kriteria Inklusi dan Kriteria Eksklusi
Kriteria inklusi di penelitian ini adalah:
1. Pasien dengan penyakit skabies yang memenuhi 2 dari 4 tanda kardinal
skabies dan yang tidak memenuhi kriteria skabies
2. Pasien bersedia untuk mengikuti penelitian dan mengisi lembar
persetujuan.
3. Pasien tinggal di wilayah kecamatan Balaraja.
4. Pasien usia 1 - 50 tahun
Kriteria Eksklusi di penelitian ini adalah:
1. Pasien tidak bersedia untuk mengikuti penelitian dan tidak lembar
persetujuan.
2. Pasien tidak tinggal di wilayah kecamatan Balaraja.
3. Pasien usia < 1 tahun dan >50 tahun .
21
4.8 Alur Penelitian
22
BAB V
5.1 Hasil
Penelitian ini dilakukan kepada 52 pasien yang datang ke ruang pelayanan anak,
umum dan lansia di Puskesmas Balaraja yang dibagi menjadi dua kelompok sampel yaitu
26 pasien yang memiliki skabies dan 26 orang yang tidak memiliki skabies. Sampel
tersebut dibagi berdasarkan umur, jenis kelamin, dan status pendidikan dapat dilihat pada
tabel 5.1.
Ya Tidak
Umur
1- 10 15 11 26
11-20 6 9 15
21-30 2 1 3
31-40 0 2 2
41-50 3 3 6
Jenis Kelamin
Laki-Laki 15 14 29
Perempuan 11 12 23
Status Pendidikan
Tidak Sekolah 7 6 13
SD 9 6 15
SMP 4 4 8
SMA 6 6 12
S1 0 4 4
Tabel tersebut menunjukkan hasil dari pengujian yang telah dilakukan kepada
responden masyarakat yang terdiagnosa skabies dan tidak terdiagnosa skabies yang
berobat ke ruang pelayanan anak, umum dan lansia. Dari 52 responden ditemukan 26
responden memiliki skabies dan 26 tidak memiliki skabies. Tabel tersebut menunjukkan
bahwa dari 26 responden yang memiliki skabies, 9 (31,0%) memiliki personal hygiene
yang baik dan 17 (73,9%) memiliki personal hygiene tidak baik. Pada pasien yang tidak
memiliki skabies, ditemukan 20 (69,0%) memiliki personal hygiene baik dan 6 (26,0%)
24
memiliki personal hygiene yang tidak baik. Kesimpulan dari hasil tersebut adalah ada
hubungan signifikan antara personal hygiene dan kejadian skabies di puskesmas Balaraja
dengan p value = 0.005 (<0.05).
5.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil statistik di Tabel 5.3, dapat disimpulkan bahwa orang yang
memiliki personal hygiene yang buruk memiliki risiko skabies 6,2 (95% CI: 1.861-21.30)
kali lebih besar dibandingkan dengan orang yang memiliki personal hygiene yang baik.
Pada tabel 5.3, Peneliti mendapatkan hasil persentase skabies yang cukup besar
pada orang dengan personal hygiene yang buruk yaitu sebesar 73,9%, Hal ini disebabkan
karena penderita skabies akan mengalami rasa gatal yang hebat terutama pada malam hari
dan mereka akan menggaruk untuk meredakan rasa gatalnya sehingga telur, larva ataupun
tungau dewasa dapat menempel di kuku jari dan ketika kuku tersebut menggaruk bagian
lain maka skabies akan mudah menular dengan singkat. Seseorang dengan personal
hygiene yang buruk ketika berkontak dalam waktu yang lama baik secara langsung
(sentuhan) atau tidak langsung (penggunaan alat bersama) dengan penderita skabies akan
lebih berisiko tertular tungau Sarcoptes scabie.
25
Dalam tabel 5.3, dapat dilihat bahwa terdapat 9 (31%) pasien skabies yang
memiliki personal hygiene yang baik. Hal ini bisa saja terkait dengan kemungkinan
adanya faktor-faktor lain seperti kebersihan air dan juga kepadatan penghuni masing-
masing rumah. Hasil penelitian oleh Haile et al (2019) yang dilakukan di daerah Wadila,
Ethiopia Utara menunjukkan bahwa partisipan yang menggunakan kualitas sumber air
tidak baik memiliki kemungkinan 2 kali lebih (OR 95% CI = 2.08(1.38-3.14)) besar untuk
terkena penyakit skabies jika dibandingkan dengan yang menggunakan sumber air yang
baik. 20 Menurut laporan WHO, mayoritas (80%) dari populasi global tanpa akses sumber
21
air minum baik tinggal di daerah pedesaan dibandingkan di perkotaan.
Pada penelitian ini, Sebagian besar penderita skabies berada pada kelompok umur
1- 20 tahun yaitu sebanyak 41 (78%) pasien. Golongan usia ini merupakan golongan usia
anak-anak dan remaja yang masih menempuh pendidikan. Peneliti mengasumsikan
tingginya kejadian skabies pada anak dan remaja diakibatkan karena daya tahan tubuh
yang lebih rendah dari orang dewasa, kurangnya kebersihan diri, dan lebih seringnya
mereka bermain bersama anak-anak lain dengan kontak yang erat. 3,9
26
mempengaruhi tingkat prestasi seseorang. Penderita skabies juga bisa merasa tidak
percaya diri karena bekas lesinya yang dapat mengakibatkan tekanan psikis dari
lingkungan nya. Oleh sebab itu, penting untuk melakukan penyuluhan yang bekerja sama
dengan dokter puskesmas tentang bagaimana praktik personal hygiene yang baik dan
penerapanya dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat mengurangi tingkat kejadian
skabies dan meningkatkan kualitas hidup di wilayah Balaraja
27
BAB VI
6.1 Kesimpulan
6.2 Saran
Bagi penelitian:
Bagi masyarakat :
DAFTAR PUSTAKA
29
13. Johnston G, Sladden M. Scabies: diagnosis and treatment. BMJ. 2005;17:619-22.
14. Vasanwala FF, Ong CY, Aw CWD, How CH. Management of scabies. Singapore
Med J. 2019;69:281
15. Welch E, Romani L, Whitfeld MJ. Recent advances in understanding and treating
scabies. Fac Rev. 2021;11:10:28.
16. Al-Rifaai JM, Al Haddad AM, Qasem JA. Personal hygiene among college students
in Kuwait: A Health promotion perspective. J Educ Health Promot. 2018;6:7-92
17. Sackou Kouakou JG, Desquith AA, Barro-Kiki PCM, Kouame J, Tiade ML, Gokpeya
MB, Kouadio LK. Personal hygiene in schools: retrospective survey in the northern
part of Côte d'Ivoire. J Prev Med Hyg. 2021;75-81.
18. Ramos-Morcillo AJ, Moreno-Martínez FJ, Susarte AMH, Hueso-Montoro C, Ruzafa-
Martínez M. Social Determinants of Health, the Family, and Children's Personal
Hygiene: A Comparative Study. Int J Environ Res Public Health. 2019;16:4713.
19. Ahmadu BU, Rimamchika M, Ibrahim A, Nnanubumom AA, Godiya A, Emmanuel
P. State of personal hygiene among primary school children: A community based
cohort study. Sudan J Paediatr. 2013;13:38-42.
20. Haile T, Sisay T, Jemere T. Scabies and its associated factors among under 15 years
children in Wadila district, Northern Ethiopia, 2019. Pan Afr Med J. 2020 ;6:37:224.
21. WHO. WHO guideline. The Guidelines: a framework for safe drinking-water.
2011:1-20
30
BAB VIII
LAMPIRAN
Lampiran 1
Saya telah membaca atau memperoleh penjelasan, sepenuhnya menyadari, mengerti dan
memahami tentang tujuan dan manfaat penelitian, serta telah diberi kesempatan untuk
bertanya dan telah dijawab dengan memuaskan, juga sewaktu-waktu dapat
mengundurkan diri dari keikut sertaanya, maka saya Setuju/Tidak Setuju* ikut dalam
penelitian ini, yang berjudul:
Saya dengan sukarela memilih untuk ikut serta dalam penelitian ini tanpa
tekanan/paksaan siapapun. Saya akan diberikan Salinan lembar penjelasan dan formulir
persetujuan yang telah saya tanda tangani untuk arsip saya.
Saya setuju:
Ya/ Tidak*
_____________________ _____________________
31
Lampiran 2
Kuesioner
1. Kebiasaan mandi
a. mandi dua kali sehari memakai sabun
b. mandi kurang dari dua kali sehari atau tidak memakai sabun
5. Mengganti pakaian
a. minimal dua kali sehari
b. kurang dari dua kali sehari
32
7. Mencuci pakaian
a. mencuci pakaian setelah digunakan sekali
b. mencuci pakaian setelah digunakan beberapa kali
8. Menyetrika pakaian
a. menyetrika pakaian setelah dicuci
b. tidak menyetrika pakaian setelah dicuci
33