Anda di halaman 1dari 11

PENGEMBANGAN PROGRAM INTERVENSI DINI

ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS BERSUMBERDAYA KELUARGA


Ervina Yuliandini, Rizky Gustian, Nabilah Qurrotu’aini, Ayu Susanti
Program Magister Pendidikan Khusus, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan
Indonesia
ervinayd@upi.edu, rizkygustian@upi.edu, nabilahkim@upi.edu, ayususanti@upi.edu

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan program intervensi dini bersumberdaya keluarga.
Tujuannya adalah membantu mengatasi sedini mungkin masalah yang dialami oleh anak
berkebutuhan khusus pada aspek perkembangan untuk mengoptimalkan kemampuannya.
Penelusuran masalah dilakukan melalui proses identifikasi dan asesmen aspek perkembangan
berdasarkan milestone perkembangan yang dikembangkan dari para ahli. Berdasarkan hasil
identifikasi dan asesmen, maka ditemukan tiga studi kasus dengan program intervensi yang
disesuaikan dengan kebutuhannya yaitu diantaranya 1) Anak dengan hambatan majemuk dengan
hambatan penglihatan atau multiple disabilities with visual impairment (MDVI) yang mengalami
gangguan pada aspek atensinya, program dikembangkan untuk mengontrol fokus anak pada satu
kegiatan dengan metode dot fingerprint. 2) Anak dengan hambatan intelektual yang mengalami
hambatan pada aspek bahasa ekspresif, program yang dikembangkan bertujuan untuk
mengembangkan bahasa ekspresif anak agar mampu mengungkapkan keinginannya dalam hal
ADL dengan bantuan alat media kartu berbicara. 3) Anak dengan hambatan intelektual yang
mengalami gangguan pada aspek sosial, program yang dikembangkan bertujuan untuk
mengembangkan interaksi sosial anak dengan temannya dengan metode bermain.

Kata Kunci: intervensi dini, intervensi dini bersumberdaya keluarga, MDVI, Hambatan
intelektual,
PENDAHULUAN
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah anak yang memerlukan penanganan khusus
sehubungan dengan gangguan perkembangan dan kelainan yang dialami anak. Mereka
yang digolongkan pada anak yang berkebutuhan khusus dapat dikelompokkan berdasarkan
gangguan atau kelainan pada aspek fisik/motorik, kognitif, bahasan dan bicara,
pendengaran, pengelihatan, serta sosial dan emosi (Ratnasari, 2013).
Intervensi dini menurut Sunardi dan Sunaryo (2007) adalah suatu kondisi anak
berdasarkan permasalahan yang dihadapi sehingga hasilnya bisa digunakan untuk
memenuhi kebutuhan anak. Menurut Fallen dan Umansky (1985, hlm. 189) intervensi dini
merupakan layanan yang diperuntukkan untuk anak yang mengalami hambatan
perkembangan, merujuk pada modifikasi, strategi atau teknik penanganan. Intervensi dini
dilakukan berdasarkan kondisi objektif anak. Intervensi dini digunakan untuk membantu
anak dalam mengoptimalkan kemampuannya. Kemampuan paling penting anak di masa
usia keemasan atau perkembangan awal (Chasanah & Pradipta, 2019).
Layanan intervensi dini bersumberdaya keluarga ini, merupakan layanan intervensi
yang mengoptimalkan fungsi keluarga dalam pelaksanaannya. Layanan intervensi
bersumberdaya keluarga ini, merupakan hasil pergerseran paradigma dari layanan
pendidikan model medis ke model sosial. Layanan intervensi pada tahun 1970 an berpusat
pada professional, intervensi pada masa ini sepenuhnya dilakukan oleh ahli yang
profesional dalam bidangnya, sedangkan keluarga tidak dilibatkan sama sekali dalam
proses intervensi tersebut. Seiring, berjalannya waktu pada tahun 1980-an proses intervensi
juga mengalami perubahan, pendekatan intervensi pada masa ini lebih berorietasi pada
keluarga, dimana diagnosis dan resep perlakuan masih dilakukan oleh professional, akan
tetapi, orang tua dan pihak lain yang berada di sekitar anak dilibatkan dalam tingkat yang
lebih besar. Perubahan konsep intervensi tersebut menghasilkan perubahan yang lebih
besar.
Anak berkebutuhan khusus membutuhkan layanan yang sesuai dengan kemampuan,
hambatan dan kebutuhannya agar anak dapat berkembang dengan optimal. Penanganan
yang diberikan untuk anak berkebutuhan khusus dapat dilakukan oleh ahli atau profesional
seperti terapis, dokter, psikolog dan sebagainya. Namun, tidak menutup kemungkinan
bahwa orang tua pun dapat memberikan pelayanan bagi anaknya dengan diberikan latihan
untuk mencapai pemenuhan kompetensi yang terampil, sehingga dalam hal ini
keberhasilan pelaksanaan intervensi dini bersumberdaya keluarga ini berada pada
keterampilan orang tua melakukan kegiatan intervensi melalui perubahan yang dialami
oleh anak.

KAJIAN TEORI
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) intervensi merupakan campur tangan
dalam perselisihan antara dua pihak (orang, golongan, negara dan sebagainya).
Selanjutnya, menurut Sukinah, intervensi merupakan suatu proses mediasi antara seorang
individu dan lingkungannya. Melalui intervensi dapat membantu seseorang mengalami,
mengatur, memahami dan merespon lebih baik kepada informasi yang diterima dari dunia
sekitarnya.
Nawawi mengemukakan bahwa intervensi adalah campur tangan kepada pihak lain
dengan tujuan tertentu. Intervensi merupakanan penanganan atau layanan terhadap anak
yang mengalami resiko hambatan perkembangan dalam aspek motorik, komunikasi dan
bahasa, sosial emosi, kognisi dan persepsi sensori. Intervensi lebih ditekankan kepada anak
yang mengalami hambatan perkembangan dan merupakan upaya atau bantuan yang
diberikan kepada anak yang mengalami hambatan perkembangan atau anak berkebutuhan
khusus (ABK).
Intervensi dini merupakan usaha yang dilakukan seawal mungkin pada anak
berkebutuhan khusus yang berusia nol sampai lima tahun untuk menghindari akibat buruk
yang diakibatkan terhambatnya satu perkembangan yang dapat menghambat
perkembangan lainnya serta untuk meningkatkan kualitas hidup anak berkebutuhan khusus
tersebut. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan Greco, V & Leonard, D. (1988) dalam
Sunardi & Sunaryo (2007) menyatakan bahwa intervensi dini merupakan program yang
sengaja didesain untuk mengopintervensionisalkan pengalaman belajar anak selama
periode perkembangan yang paling krusial, yaitu pada masa awal perkembangan.
Pernyataan senada pun diutarakan oleh Kusnadi (2004) dalam Sunardi & Sunaryo
(2007) menjelaskan bahwa intervensi dini adalah kegiatan untuk merangsang kemampuan
dasar anak, dilakukan pada anak dengan keterlambatan perkembangan dengan maksud
mengejar ketinggalan atau agar penyimpangan yang terjadi tidak bertambah berat, serta
dapat melakukan kegiatan sehari-hari sesuai usianya.
Dari pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa untuk terlaksananya kegiatan
intervensi dini guna tercapainya perkembangan anak yang optimal, perlu adanya
keterlibatan orang terdekat anak yaitu keluarga atau orang tua. Hal tersebut sejalan dengan
pernyataan Sunardi (2012) bahwa pelaksanaan intervensi dini pada anak berkebutuhan
khusus haruslah menempatkan orang tua sebagai fokus utamanya dan intervensi dini harus
pula dipandang sebagai proses untuk membantu melayani keluarga dalam mengatasi
masalah-masalah anak. Intervensi ini juga merupakan pendidikan transisi sebelum anak
memasuki sekolah formal, sehingga peran orang tua sebagai pendidik sangat diperlukan
oleh anak.
Anak yang dimaksud dalam pernyataan diatas adalah anak berkebutuhan khusus yang
memiliki karakteristik tersendiri sehingga hasil akhir dari intervensi dini tentu akan sangat
beragam sesuai dengan karakteristik setiap anak. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan
Kaiser, Peggy, Hester, and Mc. Duffie (2003), bahwa:
Almost all children with developmental disabilities can learn increasingly complex
communication skills, if the community can provide condition sufficient to support tis
learning. Although the general condition for language learning will be similar to those
of typical children, the specifics conditions needed by children with developmental
disabilities will vary based on the individual characteristics of the language learner.

Pernyataan di atas dapat diartikan bahwa hampir semua anak-anak dengan hambatan
perkembangan dapat mempelajari keterampilan komunikasi yang semakin kompleks/rumit,
jika kondisi lingkungannya dapat menyediakan kondisi yang cukup untuk mendukung
pembelajaran ini. Meskipun cara yang dilakukan dalam pembelajaran bahasa sama seperti
yang diberikan pada anak tipikal, kondisi khusus diperlukan oleh anak dengan hambatan
perkembangan akan bervariasi sesuai dengan karakteristik individu anak tersebut.
Penjelasan pernyataan di atas sejalan dengan pernyataan: Intervensi dini adalah suatu
kegiatan edukatif dengan memberikan pengaruh dengan layanan-layanan khusus pada anak
yang mengalami masalah atau gangguan, sesuai dengan kebutuhan anak tersebut
(Winarsih, 2007).
Semua penjelasan terkait pelayanan intervensi dini pada anak berkebutuhan khusus
tidak akan terlaksana tanpa keterlibatan peranan keluarga atau orang tua didalamnya.
Zigler (1990) dalam Winarsih (2007) berpendapat bahwa intervensi dini bertujuan
membantu anak dalam keluarga dengan harapan agar anak dapat bertahan dengan
opintervensionisal dalam pertumbuhan dan perkembangannya.
Pertumbuhan dan perkembangan tersebut dapat terhenti saat intervensi dini dihentikan
seperti yang dikatakan Bronfenbrenner (2004):
The family seems to be the most and effective and economical system for fostering and
sustaining the child’s development. Without family involvement, intervention inlikely to
be unsuccessful, and what few effects are achieved are likely to disappear once in the
intervention is discontinued (Harvard Family Research Project).
Pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa keluarga dapat dinyatakan sebagai suatu
sistem yang paling efektif dan ekonomis untuk mengembangkan dan mendukung tugas
perkembangan anak. Tanpa keterlibatan keluarga, keberhasilan intervensi mungkin tidak
berhasil dan beberapa kemajuan yang telah dicapai anak mungkin akan hilang begitu
intervensi dihentikan.
Agar tindakan intervensi dapat berjalan dengan baik dan tepat sasaran, maka harus
dipahami dengan tepat permasalahan-permasalahan pada anak berkebutuhan khusus untuk
menentukan langkah apa saja yang akan dilakukan selanjutnya.

Konsep Intervensi Dini Berbasis Keluarga


Intervensi Dini Bersumber Daya Keluarga adalah penyediaan dukungan dan sumber
daya yang ditujukan pada keluarga anak usia dini yang secara langsung maupun tidak
langsung berpengaruh terhadap anak, orang tua dan fungsi keluarga (Alimin).
Keluarga adalah satu sistem yang terdiri dari orang-orang yang saling berhubungan
dan berinteraksi seperti yang dikatakan Santrock (2007) bahwa keluarga merupakan suatu
sistem yaitu suatu kesatuan yang dibentuk oleh bagian-bagian yang saling berhubungan
dan berinteraksi, dan haruslah diingat bahwa hubungan itu tidak pernah berlangsung satu
arah. Artinya, ada interaksi yang saling memperngaruhi setiap anggota keluarga seperti
interaksi antara ibu dan anak, interaksi ayah dan anak, interaksi antar anak, dan interaksi
ayah – ibu – anak. Di dalam keluarga inilah anak menghabiskan waktu interaksi dengan
anggota keluarga. Menurut teori ekologi yang dikembangkan Bronfenbrenner, fokus
utamanya adalah konteks sosial dimana hidup atau tinggal dan orang-orang akan
mempengaruhi perkembangan anak.
Intervensi dini bersumberdaya keluarga adalah penyediaan dukungan dan sumber daya
yang ditunjukan pada keluarga anak, yang secara langsung atau tidak langsung
berpengaruh terhadap anak, keluarga dan fungsi keluarga sesegera mungkin. Teori yang
mendasarinya adalah Ecologizal Sosial System dengan asumsi bahwa belajar dan
perkembangan pada manusia ditentukan oleh intensitas interaksi dan partisipasi orang tua,
anak dan keluarga. Lingkungan alamiah di pandang sebagai sarana pengembangan diri.
Konsep dasar yang digunakan adalah Capacity Building View, yaitu anak dan keluarga
memiliki kekuatan dan aset bervariasi, maka fokus intervensi dini bersumber daya keluarga
adalah supporting and promoting competence and other positif aspects of function.
Intervensi secara operasional difokuskan pada anak belajar pada setting kegiatan
keluarga, dukungan terhadap pengasuhan anak, interaksi orang tua dan anak, membuka
kesempatan pada keikutsertaan orang tua dalam pengasuhan, pemberian bantuan dan
dukungan yang berpusat pada keluarga.
Menurut Connard dan Novick (1996) dalam Sunardi & Sunaryo (2007) menyatakan
bahwa model ekologis adalah suatu pendekatan yang berpusat pada keluarga. Prinsip
utamanya bahwa seluruh pertumbuhan dan perkembangan anak berlangsung dalam
konteks hubungan dengan keluarganya.
The ecological systems theory holds that we encounter different environments
throughout our lifespan that may influence our behavior in varying degrees. These
systems include the micro system, the mesosystem, the exosystem, the macro system,
and the chronosystem. (Sincero, FM)

Pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa teori sistem ekologi menyatakan bahwa
kita menjumpai lingkungan yang berbeda sepanjang umur kita yang dapat mempengaruhi
perilaku kita dalam berbagai sudut pandang. Sistem ini meliputi sistem mikro, mesosystem,
exosystem, dan sistem makro. (Sincero, FM).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Intervensi dini bersumberdaya keluarga adalah penyediaan dukungan dan sumber daya
yang ditunjukan pada keluarga anak, yang secara langsung atau tidak langsung
berpengaruh terhadap anak, keluarga dan fungsi keluarga sesegera mungkin.
Urie Bronfenbenner dalam (Santrock, 2007, hlm 56) menjelaskan bahwa “Lingkungan
keluarga sebagai bagian dari mikrosistem lingkungan akan memberikan kontribusi positif
terhadap pertumbuhan anak.” teori ini memfokuskan pada konteks sosial tempat anak
tumbuh dan berkembang. Pada awal masa kehidupannya, anak lebih banyak menghabiskan
waktu bersama keluarga sehingga menuntut pentingnya perhatian dan tanggungjawab lebih
dari keluarga khususnya pada orang tua. Pendampingan dari orang tua sebagai mediator,
motivator maupun pengawasan anak dalam proses belajar menjadi kebutuhan esensial yang
seharusnya mendapatkan perhatian.
Johnson, Eilleen S. (2008) menjelaskan bahwa keluarga merupakan ekologi
perkembangan bagi manusia yang paling penting. Dapat dikatakan bahwa,keluarga
merupakan lingkungan pertama dalam kehidupan anak untuk belajar. Alasan tersebut
mendorong peneliti untuk mengembangkan,merumuskan serta melaksanakan program
intervensi dini bersumberdaya keluarga pada anak dengan keterlambatan perkembangan
komunikasi agar keluarga dapat memberikan layanan intervensi dini yang tepat sesuai
dengan kebutuhan anak. Allen dan Marotz (2010, hlm 14) menjelaskan bahwa, keluarga
memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan seorang anak. Intervensi dini
merupakan suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk memaksimalkan perkembangan anak
atau meminimalisir hambatan dan ketertinggalan perkembangan anak.

STUDI KASUS 1
Berdasarkan hasil identifikasi, ditemukan terdapat subyek berinisial AA berusia 5
tahun 6 bulan mengalami MDVI (Multiple Disabilities with Visual Impairment) yaitu low
vision karena glukoma dan gangguan spektrum autis (autism spectrum disorder). Selain
itu, berdasarkan hasil asesmen anak mendapatkan hasil terendah pada aspek atensi. Pada
aspek atensi anak menunjukkan ketidakmampuan dalam mengontrol fokus pada kegiatan
belajar dan ketika orang lain mengajaknya berbicara, memberikan perhatian pada satu
kegiatan yang membutuhkan integrasi auditori, mengalihkan perhatian dan kembali
memperhatikan sesuatu tanpa bantuan dari orang lain, melakukan kegiatan selama 3-8
menit dan melakukan kegiatan selama 15 menit, melakukan aktivitas sambil
mendengarkan seseorang berbicara tanpa berhenti melakukan aktivitas yang sedang
dilakukannya, mengikuti pembelajaran secara berkelompok, melakukan kegiatan selama
7-8 menit dan 15 menit, melakukan k egiatan secara mandiri yang dipilih oleh orang
dewasa selama 2-3 menit, mengintegrasikan dua aktivitas secara bersamaan, memusatkan
konsentrasi pada suatu kegiatan tanpa gangguan, memilih dan memilih informasi yang
dibutuhkannya dan mampu berkonsentrasi pada hal yang dianggap penting, mengabaikan
gangguan kecil dan tetap fokus pada aktivitas yang menarik selama 10-15 menit,
menyelesaikan tugas mudah dan menarik selama 4-6 menit serta bekerja dan bermain
bersama tanpa gangguan selama 10-25 menit.
Disamping ketidakmampuannya,, anak juga mempunyai kemampuan dalam aspek
atensi yaitu memfokuskan perhatian pada kegiatan bermain, situmulus visual, serta
situmulus visual dan auditori dan tetap fokus pada permainan yang disukainya ketika orang
lain menyuruhnya makan, istirahat dan mandi.
Atensi menurut Matlin (1994, hlm. 34) diartikan sebagai aktivitas mental yang
mengabaikan stimulus lain yang mengganggu, dan berusaha memberikan konsentrasi pada
suatu aktivitas. Selanjutnya, Bimo Walgito dan Drever (2004) menyebutkan bahwa salah
satu indikator atensi adalah konsentrasi. Menurut Graf dan Schachter (1985, dalam Brand,
M. L., 2010, hlm. 10) bahwa konsentrasi dapat dikatakan sebagai perhatian penuh
menggunakan kemampuan yang ada pada mental seseorang, sehingga konsentrasi sering
disamakan dengan selective attention.
Hambatan dalam pemusatan perhatian atau atensi yang dialami oleh anak disebabkan
karena kondisi yang dialaminya, yakni mengalami MDVI (Multiple Disabilities with
Visual Impairment) yaitu low vision karena glukoma dan gangguan spektrum autis (autism
spectrum disorder). Menurut Budiman (2001), ketidakmampuan anak penyandang autis
untuk mengalihkan perhatian atau berkonsentrasi pada hal yang lain dengan cepat
merupakan ciri khas dari anak autis (Budiman, 2001). Selanjutnya, Dharmono (2010)
mengungkapkan bahwa jika anak penyandang autis kesulitan dalam berkonsentrasi, maka
jelas terlihat kegiatan yang dilakukan akan sia-sia, apalagi saat anak berada di kelas. Anak
akan dapat belajar dengan baik jika memiliki kemampuan konsentrasi yang baik, dengan
kata lain anak penyandang autis harus memiliki kebiasaan untuk memfokuskan pikiran
atau berkonsentrasi. Arumsani (2015) mengungkapkan bahwa anak autism mengalami
kelainan pada fungsi atensi orienting. Orienting adalah kemampuan untuk memfokuskan
atensi langsung terhadap lokasi stimulus yang akan datang.
Pada anak, diperlukan kemampuan untuk melakukan atensi/perhatian pada satu tugas
khusus, dan kemampuan dasar yang harus dimiliki anak adalah fokus atensi (Flick, 1998).
Dengan demikian, berdasarkan hasil asesmen dan diskusi dengan orang tua maka program
intervensi dini bersumberdaya keluarga dikembangkan pada aspek atensi/perhatian anak.
Metode yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan memusatkan perhatian
anak adalah dengan menggunakan metode dot fingerprint. Dot atau pointilims painting
merupakan cara mewarnai gambar dengan menggunakan media tangan atau alat melalui
pola lingkaran-lingaran kecil disesuaikan dengan pola gambar yang akan diwarnai Wagner,
S. dan Marx (tanpa tahun). Sedangkan, fingerprint merupakan media menggambar atau
mewarnai untuk anak hanya dengan menggunakan jari (Sofyan, A, 2016, hlm. 4). Menurut
Aflahah (2018), aktivitas dot fingerprint merupakan salah satu cara untuk meningkatkan
konsentrasi
Alat dan bahan yang digunakan dalam kegiatan dot fingerprint ini yaitu kertas
gambar dot portable, cat serta palet. Karena anak menyukai berbagai macam warna, maka
cat yang digunakanpun bervariasi. Anak akan tertarik melakukan kegiatan intervensi jika
kegiatan pembelajarannya menarik minat dan perhatiannya, juga menyenangkan.
Menurut Sofyan, A. (2016, hlm. 5) manfaat dari penggunaan dot fingerprint yaiut
dapat meningkatkan konsentrasi anak sehingga metode ini digunakan untuk meningkatkan
konsentrasi subyek AA. Sebagai bahan evaluasinya, maka diberikan latihan berupa
memasukkan bola-bola dari bahan playdough ke dalam botol dan memasukkan sedotan ke
dalam alas yang sudah di lubangi.
Pelaksanaan implementasi program intervensi dini bersumberdaya keluarga
dilaksanakan melalui beberapa tahapan, yaitu 1) Tahap modeling secara penuh oleh
intervensionis dan dilihat oleh orang tua. 2) Tahap modeling sebagian oleh intervensionis
dan dilanjutkan oleh orang tua. 3) Tahap pengalihtanganan oleh orang tua dan didampingi
oleh intervensionis. 4) Tahap pelaksanaan intervensi oleh orang tua secara mandiri.
Berdasarkan hasil kegiatan implementasi program intervensi dini bersumberdaya
keluarga, anak menunjukkan peningkatan perhatian dalam melakukan satu kegiatan. Ia
mampu duduk lebih lama setelah kegiatan intervensi diberikan, selain itu frekuensi off task
anak terus mengalami penurunan meskipun bersifat fluktuatif namun dalam melakukan
satu kegiatan, perilaku off task seperti tidak mampu memperhatankan posisi duduk saat
mengerjakan tugas, melamun, melihat ke objek lain, fokus yang mudah teralihkan, kontak
mata yang mudah goyah, berbicara pada saat mengerjakan tugas, koordinasi mata dan
tangan yang kurnag, dan menginterupsi pada saat mengerjakan tugas terus mengalami
penurunan. Selain itu, durasi kemampuan fokus anak dalam mengerjakan tugas mengalami
peningkatan.
Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan intervensi dini oleh orang tua berhasil
dilakukan. Melihat hasil intervensi pada anak yang mengalami perubahan dan
keterampilan orang tua dalam melakukan intervensi kepada anak mengalami peningkatan.
Orang tua dapat menerapkan langkah-langkah kegiatan intervensi dengan baik. Karena
intervensi dini menurut Winarsih (2007) adalah suatu kegiatan edukatif dengan
memberikan pengaruh dengan layanan-layanan khusus pada anak yang mengalami
masalah atau gangguan, sesuai dengan kebutuhan anak tersebut. Selain itu, Bronfenbrenner
(2004) mengungkapkan bahwa keluarga sebagai suatu sistem yang paling efektif dan
ekonomis untuk mengembangkan dan mendukung tugas perkembangan anak. Tanpa
keterlibatan keluarga, keberhasilan intervensi mungkin tidak berhasil dan beberapa
kemajuan yang telah dicapai anak mungkin akan hilang begitu intervensi dihentikan.
Selanjutnya, orang tua menyampaikan testimoni atau kesan pesan terhadap
pelaksanaan intervensi dini bersumberdaya keluarga. Orang tua merasa senang dan
terbantu karena ada kegiatan ini. Selain itu, orang tua menyampaikan bahwa kegiatan ini
memberikan manfaat dan pengaruh terhadap kemampuan fokus anak, dari yang tadinya
tidak mau duduk diam untuk dibelajarkan, hingga saat ini anak menunjukkan kemampuan
fokus yang baik dan mau duduk diam untuk belajar.

STUDI KASUS 2
Aspek terakhir dari perkembangan bahasa adalah ekspresif (ekspresif language).
Menurut Myklebust (dalam Somantri, 2006: 114) expressive language berkembang setelah
pemantapan pemahaman. Bahasa ekspresif anak muncul pada usia kira-kira satu tahun.
Perkembangan bahasa erat kaitannya dengan perkembangan kognisi, keduanya mempunyai
hubungan timbal balik. Perkembangan kognisi anak tunagrahita mengalami hambatan,
karena itu perkembangan bahasanya juga terhambat. Anak tunagrahita pada umumnya
tidak bisa menggunakan kalimat majemuk, dalam percakapan sehari-hari banyak
menggunakan kalimat tunggal. Ketika anak tunagrahita dibandingkan dengan anak normal
pada CA yang sama, anak tunagrahita pada umumnya mengalami gangguan artikulasi,
kualitas suara, dan ritme. Selain itu anak tunagrahita mengalami kelambatan dalam
perkembangan bicara (expressive auditory language). Perkembangan vocabulary anak
tunagrahita menunjukan bahwa anak tunagrahita lebih lambat daripada anak normal (kata
per menit), lebih menggunakan kata-kata positif, lebih sering menggunakan kata-kata yang
lebih umum, hampir tidak pernah menggunakan kata-kata yang bersifat khusus, tidak
pernah menggunakan kata ganti, lebih sering menggunakan kata-kata bentuk tunggal, dan
anak tunagrahita dapat menggunakan kata-kata yang bervariasi.
Kemampuan bahasa ekspresif merupakan kemampuan yang sangat penting dalam
menunjang pembelajaran di sekolah. Pembelajaran meningkatkan kemampuan bahasa
ekspresif menekankan praktik secara langsung di lapangan agar siswa dapat
mengaplikasikan semua konsep yang telah dipelajarinya selain itu kemampuan bahasa
ekspresif dapat meningkatkan rasa percaya diri dalam bergaul pada anak dan membantu
anak dalam mengungkapkan apa yang diinginkan. Menurut Tarigan (dalam Suhartono
2005:20) mengemukakan bahwa bahasa ekspresif adalah kemampuan mengucapkan
bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta
menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan.
Menurut Somantri (2006:106) Anak tunagrahita ringan adalah anak yang mempunyai
keterbatasan inteligensi dan memiliki IQ antara 69-55. Dengan keterbatasan inteligensi
yang mereka miliki namun anak tunagrahita ringan masih dapat belajar membaca, menulis,
dan berhitung sederhana namun dengan bimbingan dan pendidikan yang baik, selanjutnya
Somantri (2006:106) mengungkapkan bahwa di samping memiliki keterbatasan inteligensi,
anak tunagrahita ringan juga memiliki keterbatasan dalam komunikasi dan penguasaan
bahasa, mereka bukannya mengalami kerusakan artikulasi, akan tetapi pusat pengolahan
(pembendaharaan kata) yang kurang berfungsi sebagaimana mestinya. Karena keterbatasan
penguasaan yang dialamai anak tunagrahita ringan, maka anak tunagrahita ringan perlu
layanan khusus untuk memenuhi kebutuhan program pendidikan yang disusun sedemikian
rupa yang meliputi membaca, menulis, berhitung, pengetahuan alam dan sekitarnya.
Pelaksanaan implementasi program intervensi dini bersumberdaya keluarga
dilaksanakan melalui beberapa tahapan, yaitu, 1) Tahap penjelasan, orang tua dijelaskan
tujuan dari program intervensi. 2) Tahap demonstrasi dan praktek secara penuh oleh
intervensionis dan dilihat oleh orang tua. 3) Tahap demonstrasi dan praktek sebagian oleh
intervensionis dan dilanjutkan oleh orang tua. 4) Tahap pengalihtanganan oleh orang tua
dan didampingi oleh intervensionis. 5) Tahap pelaksanaan intervensi oleh orang tua secara
mandiri.
Berdasarkan hasil kegiatan implementasi program intervensi, anak menunjukkan
peningkatan pada aspek Bahasa ekspresif dalam mengungkapkan keinginan. Selanjutnya,
orang tua menyampaikan testimoni atau kesan pesan terhadap pelaksanaan intervensi dini.
Orang tua merasa senang dan terbantu karena ada kegiatan ini, selain itu juga orang tua
menyampaikan bahwa kegiatan ini memberikan manfaat dan sangat membantu dalam
memahami apa yang sedang anak inginkan tinggal dikembangkan dan dilanjutkan dalam
keseharian.

STUDI KASUS 3
Berdasarkan hasil identifikasi didapati subjek dengan inisial KSI mengalami
ketunagrahitaan ringan, kemudian setelah dilakukan asesmen diketahui KSI mendapatkan
hasil terendah pada aspek social. KSI kesulitan untuk bergabung pada permainan dengan
temannya, ia cenderung bermain sendiri, ketika diminta untuk berbaur dengan anak lain
cenderung menarik diri. KSI juga mempunyai kemampuan pada aspek social, seperti
ketika dipanggil anak menoleh, merespon saat diberikan mainan, merespon atau teralihkan
perhatiannya dengan suara kerincingan, merespon atau teralihkan perhatiannya dengan
suara dering handphone.
Keterbatasan inteligensi yang ada pada anak tunagrahita ringan berpengaruh pada
kemampuan anak dalam melakukan interaksi sosial. Pada penelitian sebelumnya
disebutkan oleh Lana Pratiwi Rukmana dan Dr. Ari Wahyudi (2013: 2), bahwa anak
tersebut tidak tidak bisa berinteraksi sosial dengan kelompoknya karena dia tidak mengerti
peraturan-peraturan yang ada dalam kelompok tersebut. Mereka kesulitan memahami
fenomena sosial yang terjadi di sekitarnya, sehingga tidak memberikan respon yang
semestinya pada apa yang terjadi di sekitarnya. Kesulitan ini juga terjadi saat lingkungan di
sekitarnya mengajak berkomunikasi dengan bahasa verbal yang tidak sesuai dengan daya
tangkap anak tunagrahita. Hal inilah yang menjadi alasan seringnya lingkungan menolak
untuk melakukan interaksi sosial dengan anak tunagrahita.
Berinteraksi sosial tidak pernah terlepas dari bekerja sama dengan orang lain.
Bekerjasama terwujud dari berbagai macam aktifitas seperti, menyelesaikan masalah
kelompok, mengantri, membantu orang lain, meminjamkan perlatan sekolah,
melaksanakan tugas, dan mengambil keputusan. Aktifitas ini bagi orang normal merupakan
kegiatan yang sangat mudah untuk dilakukan, akan tetapi bagi anak tunagrahita ringan
aktifitas tersebut belum tentu dapat dilakukan dengan baik. Anak tunagrahita cenderung
tidak punya inisiatif membantu orang lain, berjejalan saat mengantri, tidak mampu bekerja
secara kelompok, tidak dapat mengambil keputusan dalam kelompok dan lain-lain. Pada
anak tunagrahita ringan inisiatif untuk bekerjasama masih ada dibandingkan dengan anak
tunagrahita sedang ataupun berat. Akan tetapi masih memerlukan arahan pada
tindakannya.
Berinteraksi sosial merupakan kebutuhan semua manusia, tidak terkecuali untuk
anak tunagrahita. Menurut Willerman dalam Tin Suharmini (2007: 162) menyebutkan
bahwa pemberian kesempatan untuk berhubungan sosial pada anak tunagrahita membantu
perkembangan sosialnya. Meskipun mereka memiliki keterbatasan inteligensi, hubungan
sosial merupakan kebutuhan yang perlu dipenuhi. Akan tetapi, dengan adanya keterbatasan
inteligensi yang dimiliki oleh anak tunagrahita, mereka sering mengalami kesulitan ketika
akan melakukan komunikasi atau bekerjasama dengan orang lain. Dalam memberikan
respon, anak tunagrahita sering kesulitan dalam mengekspresikan yang mereka rasakan.
Hal ini perlu diperhatikan agar pemenuhan kebutuhan berhubungan sosial pada anak
tunagrahita ringan dapat terpenuhi.
Pelaksanaan implementasi program intervensi dini bersumberdaya keluarga
dilaksanakan melalui beberapa tahapan, yaitu: 1) Tahap modeling secara penuh oleh
intervensionis dan dilihat oleh orang tua. 2) Tahap modeling sebagian oleh intervensionis
dan dilanjutkan oleh orang tua. 3) Tahap pengalihtanganan oleh orang tua dan didampingi
oleh intervensionis. 4) Tahap pelaksanaan intervensi oleh orang tua secara mandiri.
Berdasarkan hasil kegiatan implementasi program intervensi dini bersumberdaya
keluarga, anak menunjukkan peningkatan aspek interaksi sosial dalam melakukan satu
kegiatan. Kemudian anak mulai dapat berbaur dengan temannya, dan ketika dilibatkan
dalam satu permainan dengan temannya anak tidak lagi menghindar.
Selanjutnya, orang tua menyampaikan testimoni atau kesan pesan terhadap
pelaksanaan intervensi dini bersumberdaya keluarga. Orang tua merasa senang dan
terbantu karena ada kegiatan ini. Selain itu, orang tua menyampaikan bahwa kegiatan ini
memberikan manfaat dan pengaruh terhadap perkembangan anaknya.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Kesimpulan
Intervensi dini adalah suatu kegiatan edukatif dengan memberikan pengaruh dengan
layanan-layanan khusus pada anak yang mengalami masalah atau gangguan, sesuai dengan
kebutuhan anak tersebut. Selanjutnya, intervensi dini bersumberdaya keluarga bertujuan
membantu anak dalam keluarga dengan harapan agar anak dapat bertahan dengan
intervensionisal dalam pertumbuhan dan perkembangannya karena keluarga sebagai suatu
sistem yang paling efektif dan ekonomis untuk mengembangkan dan mendukung tugas
perkembangan anak. Tanpa keterlibatan keluarga, keberhasilan intervensi mungkin tidak
berhasil dan beberapa kemajuan yang telah dicapai anak mungkin akan hilang begitu
intervensi dihentikan.
Program intervensi dini bersumberdaya keluarga dibuat berdasarkan hasil asesmen
anak maupun hasil asesmen keluarga. Selanjutnya, keluarga diikutsertakan dalam
perumusan program dan pelaksanaannya sehingga orang tua mempunyai keterampilan
dalam merumuskan rancangan program serta melaksanakan kegiatan intervensi untuk
mengembangkan dan mendukung tugas perkembangan anak.

Rekomendasi
Berikut ini beberapa rekomendasi yang dapat disampaikan antara lain.
1. Kegiatan intervensi dapat terus dilakukan oleh keluarga di rumah agar tujuan yang
diharapkan dapat tercapai dan kemampuan yang telah dicapai anak saat ini tidak
hilang atau mengalami penurunan, minimal anak mampu mempertahankan dan
maksimal mampu meningkatkan.
2. Orang tua juga dapat mengembangkan kegiatan intervensi untuk meningkatkan
atensi/perhatian anak
3. Orang tua juga dapat mengembangkan aspek lain yang belum dikuasai anak saat ini
4. Orang tua dapat berselancar bebas di dunia maya untuk mencari informasi dan
wawasan tambahan untuk melaksanakan kegiatan intervensi
5. Orang tua juga dapat mengikuti pelatihan atau forum diskusi yang ada di media sosial
untuk menambah wawasan dan pengetahuan untuk melaksanakan kegiatan intervensi.

REFERENSI
Aflahah, Nurbaeti & Een Ratnengsih. (2018). Dot Fingerprint untuk Meningkatkan
Kemampuan Konsentrasi Belajar Anak dengan Hambatan Kecerdasan Ringan.
Jurnal Asesmen dan Intervensi Anak Berkebutuhan Khusus, 18(1)
Alimin, Z. (tanpa tahun). Konsep dan Stimulasi Intervensi Dini. Bandung: PLB FIP UPI.
Diakses pada tanggal 24 maret. Tersedia di [online].
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195903241 984031-
ZAENAL_ALIMIN/Konsep_Stimulasi_dan_Intervesi_Dini_%5BCompati
bility_Mode%5D.pdf
Arumsani, Puti. (2015). Pengaruh Rehidrasi dengan Minuman Isotonik terhadap Atensi:
Studi Perbandingan dengan Air Mineral. Laporan Hasil Penelitian Karya Tulis
Ilmiah. Semarang: Program Pendidikan Sarjana Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro
Bimo Walgito. (1994). Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Offset
Brand, M., L. (1995). THE Effect of Technology on Attention and Concentration within
The Classroom Context. Sage Publication. SAGE Social Science Collection. hlm.
10-11, 54-56, 60
Christie, et al. (1995). Modification of Inattemtive Classroom Behavior Hyperactive
Children’s Use of Self-Recording with Teacher Guidance. Sage Publication. SAGE
Social Science Collection. Hlm. 396
Desmita. (2006). Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Dharmono. (2010). Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit FKUI
Flick, G. L. (1998). ADD/ADHD behavioral change resource kit. The Center For Applied
Research In Education
Kartini Kartono. (1996). Psikologi Umum. Bandung: Mandar Maju
Mohammad Surya. (2013). Psikologi Guru Konsep Dan Aplikasi. Bandung: Alfabeta
Pellegrini A., D., et al. (1995). The Effects of Recess Timing on Children’s Playground and
Classroom Behaviours. Sage Publication. American Educational Research Journal
Winter. hlm. 850.
Robert L. Solso. (2007). Psikologi Kognitif Terjemahan“Cognitive Psychology. Jakarta:
Erlangga
Robert J. Stemberg. (2008). Psikologi Kognitif Terjemahan “Cognitive Psychology Fourth
Edition”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Rochyadi, Endang. (2005). Pengembangan Program Pembelajaran Individual Bagi Anak
Tunagrahita. Jakarta: Depdiknas. PUNYAKU
Rokhimah, Rina & Ira Darmawati. (2013). Pengaruh Permainan Lasy terhadap
Peningkatan Konsentrasi pada Anak Autis. Jurnal Psikologi Teori % Terapan, 4(1):
48-55
Slameto. (2013). Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi. Jakarta: Rineka Cipta.
Sofyan, A. (2016). Erlangga for Kids: Kreasi Cap Jari. Jakarta: Erlangga.
Sunardi, S. (2007). Intervensi dini anak berkebutuhan khusus. Jakarta: Depdiknas

Anda mungkin juga menyukai