Anda di halaman 1dari 50

KONSEP DASAR KONSELING EKOLOGI

Makalah
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Konseling Keluarga dan
Anak Berkebutuhan Khusus
yang diampu oleh:
Dr. Imas Diana Aprilia, M.Pd
Dr. H. Musjafak Assjari, M.Pd

Disusun oleh:
Kelompok 6
Ervina Yuliandini (2105181)
Nabilah Qurrotu’aini (2107322)
Rizky Gustian (2105212)
Vina Pemila Apriyanti (2106974)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KHUSUS


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil'alamin. Puji dan syukur penyusun panjatkan kepada


Allah SWT, shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpah curahkan kepada
Nabi Muhammad SAW, juga kepada para keluarga-Nya, sahabat, serta pengikut-
Nya sampai akhir zaman, karena berkat rahmat dan karunia-Nya, sehingga
penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Konsep Dasar Konseling
Ekologi” untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Konseling Keluarga dan
Anak Berkebutuhan Khusus.
Makalah ini memuat tentang konsep dasar konseling ekologi, asumsi
konseling ekologi, tujuan konseling ekologi, langkah-langkah konseling ekologi,
peran konselor dalam konseling ekologi, dan implementasi konseling ekologi di
sekolah dan untuk Anak Berkebutuhan Khusus.
Makalah ini dibuat sebagai bahan pembelajaran pada mata kuliah Konseling
Keluarga dan Anak Berkebutuhan Khusus yang selanjutnya diharapkan dapat
dijadikan sebagai referensi untuk diimplementasikan oleh praktisi untuk mengatasi
permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh anak-anak berkebutuhan khusus
dan keluarganya di lapangan melalui Konseling Ekologi.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penyusun dan
umumnya bagi kita semua. Aamiin.

Bandung, April 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata pengantar………………………………………………………… i
Daftar isi………………………………………………………………. ii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………….. 1
A. Latar Belakang………………………………………………... 1
B. Rumusan Masalah…………………………………………….. 2
C. Tujuan Penulisan Makalah……………………………………. 3
BAB II KAJIAN PUSTAKA………………………………………….. 4
A. Konsep Dasar Konseling Ekologi……………………………... 4
B. Asumsi Konseling Ekologi……………………………………. 16
C. Tujuan Konseling Ekologi…………………………………….. 17
D. Peran Konselor dalam Konseling Ekologi…………………….. 18
E. Langkah-langkah Konseling Ekologi…………………………. 21
BAB III PEMBAHASAN…………………………………………….. 28
A. Asumsi………………………………………………………… 28
B. Tujuan Konseling Ekologi…………………………………….. 28
C. Implementasi Konseling Ekologi di Sekolah………………….. 29
D. Implementasi Konseling Ekologi ABK……………………….. 41
BAB IV SIMPULAN…………………………………………………. 45
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………. 46

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak Berkebutuhan Khusus diartikan sebagai individu-individu yang
mempunyai karakteristik yang berbeda dari individu lainnya yang dipandang
normal oleh masyarakat pada umumnya. Secara lebih khusus, anak
berkebutuhan khusus menujukkan karakteristik fisik, intelektual, dan
emosional yang lebih rendah atau lebih tinggi dari anak normal sebayanya atau
berada di luar standar normal yang berlaku di masyarakat. Menurut Somangkir
(2019, hlm. 7-8), anak berkebutuhan khusus diartikan sebagai anak yang
memiliki kelainan fisik, mental, emosi, dan sosial atau gabungan dari kelainan
tersebut yang sifatnya sedemikian rupa sehingga memerlukan layanan
pendidikan secara khusus.
Anak berkebutuhan khusus dengan segala karakteristiknya, tidak dapat
dipungkiri, dalam perkembangannya sering terjadi berbagai hambatan,
sehingga terjadinya permasalahan dalam perkembangan selanjutnya. Adanya
berbagai hambatan pada berbagai aspek seperti, pada aspek akademik,
perkembangan, sosial dan lainnya yang tentunya membutuhkan bantuan
seorang pendidik yaitu melalui penyediaan fasilitas dan stimulus yang tepat
dalam perkembangannya agar anak berkebutuhan khusus dapat berkembang
secara optimal.
Upaya ini dapat dilakukan melalui pembinaan baik pada jalur pendidikan
formal maupun non formal. Salah satu bentuk pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus pada jalur pendidikan formal adalah Sekolah Luar Biasa
yang memiliki peran untuk mengarahkan pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus pada pengembangan sikap, kemampuan kepribadian anak, bakat,
kemampuan mental, dan fisik sampai mencapai potensi mereka yang optimal
(Rizki, 2013).

1
Suatu upaya untuk mengembangkan menangani permasalahan-
permasalahan anak-anak berkebutuhan khusus dan mengembangkan
kemampuannya agar optimal, salah satunya melalui upaya konseling.
Menurut Division of counseling Psychology, konseling adalah proses
yang dapat membantu individu untuk mengatasi hambatan-hambatan
perkembangan dirinya dan untuk mencapai perkembangan kemampuan pribadi
yang dimilikinya secara optimal.
Ada banyak macam-macam konseling yang dapat digunakan oleh
konselor dalam menangani permasalahan yang dihadapi oleh peserta didiknya,
salah satunya ialah konseling ekologi yang akan dipaparkan dalam makalah ini.
Menurut Coyne dan Cook (2004), konseling ekologi didefinisikan
sebagai pemberian bantuan kontekstual yang bergantung pada makna yang
diperoleh klien dari interaksi lingkungan mereka, menghasilkan kesesuaian
ekologi yang lebih baik.
Untuk lebih memahami mengenai konseling keluarga sebagai salah satu
pilihan dalam menangani permasalahan pada anak-anak berkebutuhan khusus
agar berkembang secara optimal, maka berikut dalam makalah ini akan
dipaparkan mengenai konsep dasar konseling ekologi, asumsi konseling
ekologi, tujuan konseling ekologi, langkah-langkah konseling ekologi, dan
implementasi konseling ekologi untuk ABK.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka
didapat rumusan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana konsep dasar konseling ekologi?
2. Bagaimana asumsi konseling ekologi?
3. Bagaimana tujuan konseling ekologi?
4. Bagaimana peran konselor dalam konseling ekologi?
5. Bagaimana langkah-langkah konseling ekologi?
6. Bagaimana implementasi konseling ekologi untuk ABK?

2
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu untuk:
1. mengkaji konsep dasar konseling ekologi;
2. mengkaji asumsi konseling ekologi;
3. mengkaji tujuan konseling ekologi;
4. mengkaji peran konselor dalam konseling ekologi;
5. mengkaji langkah-langkah konseling ekologi;
6. mengkaji implementasi konseling ekologi untuk ABK.

3
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Konseling Ekologi


Istilah ekologi pertama kali dikenalkan oleh seorang sarjana biologi
bangsa Jerman bernama Ernest Haeckel pada tahun 1869 (dalam Sarwono,
1992, hlm. 6). Istilah itu berasal dari kata-kata oikos yang artinya rumah dan
logos yang artinya ilmu. Jadi secara harfiah, ekologi berarti ilmu tentang
rumah. Maksud rumah disini adalah alam semesta dengan segala alam
semesta dengan segala isinya, baik makhluk hidup maupun benda tidak hidup,
yang satu sama lain terkait dalam suatu sistem kehidupan tertentu.
Menurut Southwide (dalam Sarwono, 1992, hlm. 6), ekologi
merupakan ilmu yang mempelajari hubungan-hubungan antar makhluk hidup
dalam alam ini dan hubungan antara makhluk-makhluk hidup itu dengan
lingkungannya.
Menurut Cook (2012, hlm. 5), ekologi kehidupan manusia sehari-hari
mengikuti hukum alam yang serupa. Masing-masing dari kita adalah bagian
dari dinamika yang terus berubah dengan makhluk hidup dan tak hidup
lainnya. Istilah ekosistem mengacu pada jumlah total pengaruh interaktif
yang beroperasi dalam kehidupan individu dalam berbagai tingkat kedekatan,
mulai dari karakteristik yang ditentukan secara biologis hingga konteks
sosiokultural yang lebih luas yang menyusun interaksi manusia. Setiap
kehidupan manusia dipengaruhi oleh faktor dan proses yang umum bagi
semua manusia.
Lebih lanjut lagi Ellen P. Cook menjelaskan dalam bukunya
Understanding the Ecological Perspective, bahwa manusia dapat memilih
untuk mencabut dan menanam kembali diri mereka sendiri di lingkungan
yang sama asingnya. Kemampuan untuk melihat dan memahami susunan,
hubungan, konteks, dan potensi seseorang inilah yang membuat ekologi
manusia secara kualitatif berbeda dari ekologi makhluk hidup lainnya.

4
Kompleksitas ekologi manusia inilah yang membuat konseling bermanfaat
bagi pertumbuhan manusia seperti halnya pupuk bagi tanaman.
Teori ekologi memunculkan cara pandang baru yang secara konseptual
lebih luas daripada teori-teori tradisional. Teori ekologi menganggap
bahwa perkembangan manusia merupakan hasil interaksi atau transaksi antar
kekuatan internal dan eksternal. Interaksi adalah hal yang pokok bagi
kehidupan manusia. Interaksi dapat diartikan sebagai aktivitas yang dapat
saling mempengaruhi antara kekuatan internal (organisme dengan berbagai
atributnya) dan kekuatan eksternal (lingkungan baik fisik, psikologis,
maupun sosial). Bentuk interaksi yang terjadi besar kemungkinan akan
dipengaruhi lingkungan, lingkungan, individu mempengaruhi lingkungan
atau individu dan lingkungan menetap berinteraksi satu sama lain sehingga
mengalami perubahan.
Teori ekologi mencoba melihat interaksi manusia dalam sistem atau
subsistem (Bronfenbrenner, 1979). Secara sederhana interaksi tersebut terlihat
pada gambar berikut ini.

Gambar 2.1. Teori Ekologi Perkembangan Manusia


Berdasarkan gambar di atas, teori ekologi memandang perkembangan
anak dari tiga sistem lingkungan yaitu mikrosistem, eksosistem, dan
makrosistem. Ketiga sistem tersebut membantu perkembangan individu dalam
membentuk ciri-ciri fisik dan mental tertentu.

5
1) Mikrosistem
Mikrosistem adalah lingkungan di mana individu tinggal, konteks ini
meliputi keluarga individu, teman sebaya, sekolah dan lingkungan tampat
tinggal. Dalam sistem mikro terjadi banyak interaksi secara langsung
dengan agen sosial, yaitu orang tua, teman dan guru. Dalam proses
interaksi tersebut individu bukan sebagai penerima pasif, tetapi turut aktif
membentuk dan membangun setting mikrosistem.
Setiap individu mendapatkan pengalaman dari setiap aktivitas, dan
memiliki peranan dalam membangun hubungan interpersonal dengan
lingkungan mikrosistemnya. Lingkungan mikrosistem yang dimaksud
adalah lingkungan sosial yang terdiri dari orang tua, adik-kakak, guru,
teman-teman dan guru. Lingkungan tersebut sangat mempengaruhi
perkembangan individu terutama pada anak usia dini sampai remaja.
Subsistem keluarga khususnya orangtua dalam mikrosistem dianggap
agen sosialisasi paling penting dalam kehidupan seorang anak sehingga
keluarga berpengaruh besar dalam membentuk karakter anak-anak.
Setiap sub sistem dalam mikrosistem tersebut saling berinteraksi,
misalnya hubungan antara pengalaman keluarga dengan pengalaman
sekolah, pengalaman sekolah dengan pengalaman keagamaan, dan
pengalaman keluarga dengan pengalaman teman sebaya, serta hubungan
keluarga dengan tetangga. Dampaknya, setiap masalah yang terjadi dalam
sebuah sub sistem mikrosistem akan berpengaruh pada sub sistem
mikrosistem yang lain. Misalnya, keadaan dirumah dapat mempengaruhi
perilaku anak di sekolah. Anak-anak yang orang tuanya menolak mereka
dapat mengalami kesulitan mengembangkan hubungan positif dengan
guru.
2) Eksosistem
Ekosistem adalah sistem sosial yang lebih besar di mana anak tidak
terlibat interaksi secara langsung, tetapi begitu berpengaruh terhadap
perkembangan karakter anak. Sub sistemnya terdiri dari lingkungan

6
tempat kerja orang tua, kenalan saudara baik adik, kakak, atau saudara
lainnya,dan peraturan dari pihak sekolah.
Sebagai contoh, pengalaman kerja dapat mempengaruhi hubungan
seorang perempuan dengan suami dan anaknya. Seorang ibu dapat
menerima promosi yang menuntutnya melakukan lebih banyak perjalanan
yang dapat meningkatkan konflik perkawinan dan perubahan pola
interaksi orang tua anak. Sub sistem eksosistem lain yang tidak langsung
menyentuh pribadi anak akan tetapi besar pengaruhnya adalah koran,
televisi, dokter, keluarga besar, dan lain-lain.
3) Makrosistem
Makrosistem adalah sistem lapisan terluar dari lingkungan anak. Sub
sistem makrosistem terdiri dari ideologi negara, pemerintah, tradisi,
agama, hukum, adat istiadat, budaya, dan lain sebagainya, dimana semua
sub sistem tersebut akan memberikan pengaruh pada perkembangan
karakter anak.
Menurut Berk (dalam Mujahidah, tahun 2015, hlm.175) “budaya
yang dimaksud dalam sub sistem ini adalah pola tingkah laku, kepercayaan
dan semua produk dari sekelompok manusia yang diwariskan dari generasi
ke generasi.” Dengan demikian manusia sebagai bagian dari suatu sistem
akan mendapatkan berbagai pengaruh dari berbagai lingkungannya.
Perkembangan anak berlangsung secara berkesinambungan yang
berarti tingkat perkembangan yang dicapai pada suatu tahap diharapkan
meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif pada tahap selanjutnya.
Walaupun setiap anak adalah unik, karena proses perkembangannya berbeda
satu sama lain yang dipengaruhi oleh faktor internal (biologis) dan eksternal
(lingkungan fisik dan sosial), namun demikian perkembangan anak tetap
mengikuti pola yang umum. Agar anak mencapai tingkat perkembangan yang
optimal, maka dibutuhkah upaya pembinaan dari berbagai pihak termasuklah
konselor di sekolah. Konsekuensinya program bimbingan harus mampu
merancang layanan yang dapat memfasilitasi dan menstimulasi pencapaian
perkembangan anak dengan mempertimbangkan linkungan yang sehat.

7
Perkembangan individu akan berlangsung baik apabila adanya keserasian
antara pribadi dengan lingkungan. Artinya, harus terdapat lingkungan yang
mampu menopang terjadinya perkembangan anak secara sehat. Namun
banyak kasus, misalnya adanya kekerasan atau penganiayaan terhadap anak
baik kekerasan fisik maupun psikis masih saja terjadi dalam kehidupun anak
(Rizki, 2013).
Selain itu, menurut Conyne dan Cook (2004), bahwa terdapat tiga
paradigma dalam memandang perilaku manusia, yaitu:
1) Paradigma yang berfokus pada orang (person-focused paradigm), yaitu
paradigma yang memandang bahwa perilaku manusia adalah fungsi
dari karakteristik personal seperti seperti faktor genetik, motivasi,
emosi, dan sebagainya.
2) Paradigma yang berfokus pada lingkungan (environment-focused
paradigm) yaitu paradigma yang memandang bahwa perilaku
merupakan fungsi dari lingkungan seseorang.
3) Paradigma atau pandangan ekologi, yaitu paradigma yang memandang
bahwa perilaku manusia fungsi dari interaksi seseorang dengan
lingkungannya. Paradigma yang ketiga ini pertama kali
doskematisasikan oleh psikolog sosial Kurt Luwin (1936) yang
selanjutnya menjadi basis dari perspektif konseling ekologi.
Berdasarkan pandangan Kauchak & Eggen (2007), mengisyaratkan
bahwa lingkungan sangat berpengaruh pada perkembangan anak. Setiap
rentang kehidupan anak, terdapat tugas perkembangan pada setiap aspek yang
membutuhkan peran lingkungan dalam optimalisasi pencapaian
perkembangannya.
Selanjutnya, Conyne dan Cook (2004) mengemukakan bahwa:
“ecological counseling is defined as contextualized help-giving that is
dependent on the meaning client derive from their environmental interaction,
yielding an imorived ecological concordance”. Yang artinya, konseling
ekologi didefinisikan sebagai pemberian bantuan kontekstual yang

8
bergantung pada makna yang diperoleh klien dari interaksi lingkungan
mereka, menghasilkan kesesuaian ekologi yang lebih baik.
Sama halnya dengan yang diungkapkan oleh Anwar, Moh. Khoeril dan
Ruly Ningsih (2019, hlm. 2), konseling ekologis merupakan strategi yang
menghubungkan antara personal dan lingkungan.
Adapun prinsip-prinsip yang mendasari konseling ekologis adalah
interdisipliner dan methateoritikal menjadikan individu yang terintegrasi.
Individu adalah bagian dari ekosistem, interaksional, mempertimbangkan
konteks yang jamak, mengakui pentingnya waktu, peduli dengan makna,
menggunakan rentang target intervensi yang hemat,
kolaborasi, pemberdayaan klien dan sistem, dan kemandirian.
Menurut Conyne & Cook (2004), mengatakan bahwa target intervensi
dalam konseling ekologi dapat merentang dari mulai individual (perorangan),
kelompok utama (misalnya keluarga), kelompok asosiasi (seperti klub dan
organisasi), institusi, sampai pada komunitas.
Sesuai dengan pemahaman ekologi sebagai lingkungan belajar
(Blocher, 1987; Kartadinata, 1996), terdapat tiga struktur lingkungan belajar
yang harus dikembangkan sebagai keutuhan oleh konselor yaitu struktur
peluang, struktur dukungan dan struktur penghargaan.
1) Struktur peluang atau kesempatan adalah struktur yang mengacu pada
sejumlah situasi yang memungkinkan individu dapat mencoba dan
mengembangkan tingkah laku baru menuju kearah keberhasilan atau
kesuksesan.
2) Struktur dukungan adalah struktur yang mampu struktur yang merujuk
pada perlunya dorongan atau kekuatan dari lingkungan yang mampu
menunjang keberhasilan belajar.
3) Struktur penguatan penguatan adalah struktur yang berhubungan
dengan pentingnya pemberian penghargaan dari lingkungan yang
mampu menunjang keberhasilan belajar.
McMahon, Masson, Dalug-Guenther, dan Ruiz (2014) mengkaji
mengenai model ekologis dalam konteks penerapan konseling pada

9
komunitas sekolah. Model ekologis dipandang penting karena adanya
populasi yang beragam di sekolah yang harus dilayani oleh konselor. Menurut
McMahon, Mason, Daluga-Guenther, & Ruiz (2014) kerangka ini juga
dipandang menawarkan perspektif baru bagi konselor sekolah untuk bekerja
dengan melibatkan level yang berbeda-beda dan berbagai stakeholder yang
memiliki kepentingan untuk bersama-sama untuk menjalankan fungsi
sekolah. Selain itu, Leonard et.al., (2011) juga mengkaji mengenai kerangka
kerja ekologis untuk memahami relasi komunitas. Kajian tersebut
mempersoalkan dampak kehadiran lulusan, dan angka putus sekolah. Peneliti
memandang bahwa relasi yang sukses antarkomunitas akan mencapai
“cultural cohesion” dengan membangun kolaborasi bersama pihak-pihak
yang dekat dengan diri siswa. Selain dikembangkan dalam konteks sekolah,
konseling ekologis juga berkembang dalam konteks komunitas di
masyarakat. Model ekologis juga salah satu upaya intervensi yang penting
sejalan dengan semangat dan paradigm bimbingan dan konseling yang
komprehensif (Hidayat, 2016).
Bronfenbreneur memandang bahwa karakteristik bawaan sejak lahir
dan ekosistem yang melingkupi seseorang menentukan perkembangan
seseorang (Wells, 2010). Lebih lanjut, Bronfenbreneur menjelaskan bahwa
perkembangan anak dan remaja didasarkan pada kualitas lingkungan sosial
yang ditentukan oleh faktor hubungan orangtua dan orang dewasa yang
berpengaruh, teman sebaya di tetangga dan sekolah, dan guru di sekolah.
(Garbarin dalam Wells, 2010). Hal ini menunjukkan bahwa peran orang lain
yang berada di sekitar tidak dapat diabaikan. Individu berbagi perasaan,
sikap, maupun persepsinya dengan orang-orang yang terdekat dengan
dirinya. Hal ini sekaligus menunjukkan pentingnya peran ekologis bagi
individu.
Konsep ekologi di era milenial memiliki peranan penting. Ekologi
memunculkan cara pandang baru secara konseptual sampai dengan upaya
intervensi. Teori ekologi menganggap bahwa perkembangan manusia
merupakan hasil interaksi atau transaksi antar kekuatan internal dan eksternal.

10
Selain itu, pandangan teori ekologi menganggap bahwa manusia relatif
dipengaruhi oleh faktor-faktor luar. Manusia memulai kehidupannya dengan
memberikan reaksi terhadap lingkungan dan interaksi yang menghasilkan
pola-pola perilaku yang berperan dalam membentuk kepribadian.
Konsep ekologis pada dasarnya mengajarkan paradigma bahwa
persoalan tidak dipandang sebagai sesuatu yang tunggal. Kesalahan individu
bukanlah kesalahan individu itu sendiri, tetapi banyak variabel yang mungkin
memiliki kontribusi secara sistemik. Kerangka kerja ekologis menawarkan
perspektif baru terkait perkembangan manusia, lingkungan, dan interaksi
manusia dan lingkungan (Bronfenbreneur, 1979, hlm. 2).
Bronfenbrenner melakukan konseptualisasi terhadap Lewin yang
berpandangan bahwa B = f (P × E). B= f (P x E) merupakan konsep kunci
Lewin yang berarti bahwa perilaku manusia merupakan fungsi dari interaksi
seseorang dengan konteks lingkungannya (Cook, 2012, hlm. 6).
1) P (Person)
P mengacu kepada orang yang hidup dalam konteks kehidupan
(Cook, 2012). Perilaku adalah fungsi dari karakteristik pribadi seperti
warisan genetik, emosi, atau perilaku yang dipelajari sebelumnya.
Lingkungan mungkin memang mempengaruhi perilaku juga, tetapi
dalam paradigma yang berpusat pada orang ini diyakini sebagai peran
sekunder yang terbaik, mungkin memodifikasi bagaimana atau di mana
karakteristik pribadi diekspresikan. Fokusnya tetap pada orang tersebut
dan apa yang dia lakukan untuk mempengaruhi apa yang terjadi dalam
hidup.
Misalnya, seorang klien baru mengeluh merasa sedih, terlalu
emosional, dan putus asa untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik.
Jenis faktor apa yang terlintas dalam pikiran untuk dijelajahi dalam
konseling? Mungkin harga diri yang rendah, proses berpikir yang tidak
teratur, keterampilan sosial yang tidak layak, trauma masa lalu,
neurotransmiter yang tidak berfungsi, atau penyakit fisik? Semua faktor
ini adalah faktor P, faktor yang dihipotesiskan sebagai karakteristik klien

11
yang bertahan lama yang secara teratur berkontribusi pada
ketidaknyamanan dan disfungsi pribadi klien. Banyak sekali klien yang
telah terbantu dengan konseling yang berfokus pada faktor-faktor P
tersebut. Perspektif ekologis mengingatkan kita, bagaimanapun, bahwa
faktor-faktor lain mungkin hadir daripada atau dalam interaksi dengan
faktor-faktor P: merawat anggota keluarga yang cacat, mungkin, atau
pelecehan dan serangan dari orang lain karena orientasi seksual klien.
Kita mungkin juga perlu mencari jawaban secara lebih luas: ekonomi
yang menawarkan sedikit harapan bagi penduduk kota untuk masa depan
atau upaya untuk mengakomodasi konteks budaya baru dalam komunitas
di mana semua orang terlihat sama. Karakteristik P adalah tempat yang
baik untuk memulai, tetapi seringkali tidak cukup untuk mendapatkan
gambaran lengkap tentang situasi klien.
Selanjutnya, Cook (2012) menjelaskan bahwa ada banyak cara di
mana karakteristik pribadi dapat mempengaruhi kehidupan seseorang,
tetapi adalah suatu kesalahan untuk berpikir bahwa faktor P saja yang
menentukan perilaku. Juga merupakan kesalahan untuk mengabaikan
kecenderungan pribadi ini sebagai hal yang tidak penting.
2) P x E (Person x Environment)
Cook (2012), menjelaskan bahwa perilaku orang terjadi dalam
konteks kehidupan. Perilaku tidak hanya acak tetapi bermakna bagi orang
tersebut, orang tersebut berusaha mencapai sesuatu dengan apa yang dia
lakukan. Pembuatan makna melibatkan bagaimana orang memandang
lingkungan dan mengapa mereka membuat pilihan hidup di masa
sekarang. Akhirnya, apakah suatu kecocokan adalah kecocokan yang
baik atau kecocokan yang buruk (P × E) mempengaruhi sifat perilaku
yang dihasilkan darinya.
Proses interaksi P × E ini terjadi sepanjang hidup kita. Siapa kita
dan menjadi apa kita dipengaruhi oleh serangkaian interaksi dengan
konteks fisik dan interpersonal di mana kita hidup.

12
Konselor membantu klien menyusun rencana untuk masa depan
mereka harus melihat secara dekat bagaimana klien telah berinteraksi
dengan berbagai lingkungan yang membentuk kehidupan sejauh ini:
“lingkungan dari masa lalu dan masa kini, interaksi orang dengan
lingkungan ini, dan cara lingkungan diamati dan ditafsirkan oleh
individu” (Savickas et al., 2009, hlm. 244).
Tantangan bagi konselor adalah membantu klien menentukan apa
yang cocok antara karakteristik mereka dan apa yang ditawarkan atau
diminta oleh lingkungan dari mereka di dunia yang sedang berubah di
bawah kaki mereka.
Selanjutnya, Cook (2012) menjelaskan apa yang tampak bagi
pengamat sebagai pasangan yang baik atau sesuatu yang cocok mungkin
tidak begitu baik dari sudut pandang orang yang terlibat dalam interaksi.
Konsep kecocokan berguna dalam memikirkan sifat interaksi antara
klien dan lingkungan (atau konteks). Kesesuaian klien dan lingkungan
dapat memberikan titik awal untuk mendiskusikan cara klien berinteraksi
dengan berbagai konteks yang membentuk kehidupan mereka. Kita
semua ingin menemukan tempat di dunia yang rumit ini di mana kita
merasa memiliki dan berkontribusi pada orang-orang di sekitar kita.
Dalam perspektif ekologis, konselor berperan untuk mengajari
klien keterampilan yang akan mereka butuhkan saat kehidupan mereka
terungkap. Tugas-tugas ini bersifat perkembangan.

Cook (2012, hlm. 6), mengemukakan bahwa perspektif ekologis


bukanlah teori semata tetapi cara berpikir tentang perilaku lintas teori.
Perspektif ekologi mencoba untuk merangkul beragam teori konseling di
bawah payung konseptual tunggal dengan membantu konselor dalam
memutuskan kapan, di mana, dan bagaimana menggunakan berbagai strategi
perubahan. Prinsip-prinsip ekologi telah banyak dianut dalam konseling,
psikologi, dan pekerjaan sosial. Tiga aspek perilaku manusia, yaitu sifat
pribadi dan kontekstualnya, sifat interaksionalnya, dan pentingnya

13
pembuatan makna, berfungsi sebagai blok bangunan konseptual dalam
perspektif ekologis.
1) Perilaku baik pribadi dan kontekstual
Konselor terbiasa menghubungkan masalah klien mereka dengan
beberapa kombinasi karakteristik pribadi dan sifat, perilaku yang
dipelajari, harga diri yang buruk, dan sebagainya.
Ajaran mendasar dalam perspektif ekologi adalah pernyataan ulang
dari rumusan Kurt Lewin (1935) yang terkenal, yaitu: “Semua perilaku
manusia harus dipahami sebagai hasil interaksi manusia dengan
lingkungannya.” (Cook, 2012, hlm. 6)
Individu dengan fungsi biologis, psikologis, dan sosialnya yang unik
di pusat konteks yang saling mempengaruhi ini, dipengaruhi paling
langsung oleh hubungan interpersonal dalam kehidupan sehari-hari.
Tingkat kedekatan berikutnya adalah kelompok di mana individu
menjadi anggota, diikuti oleh lingkungan, komunitas, organisasi besar,
dan lembaga sosial yang lebih luas. Meliputi semua tingkat lainnya
adalah pengaruh tingkat makro, yang mewakili adat istiadat sosiokultural
yang lebih luas, pola perilaku, nilai, dan sebagainya yang secara efektif
menyusun kehidupan secara implisit atau eksplisit bagi anggota
masyarakat. Sifat manusia, interaksi dalam kelompok sosial, dan model
tindakan manusia dalam berbagai pengaturan semua mewujudkan
kerangka makna yang koheren dan implisit di seluruh budaya. Konselor
juga perlu mengingat bahwa lingkungan fisik, apakah alami (misalnya,
topografi) atau buatan manusia (misalnya, arsitektur), memberikan
pengaruh yang sering kali tidak kentara tetapi tidak dapat disangkal pada
perilaku.
Selanjuntya, Cook (2012) menjelaskan bahwa perspektif ekologis
menekankan fakta bahwa perilaku yang tampaknya sederhanapun dapat
dipengaruhi oleh rantai interaksional yang tidak aka pernah dapat kita
urai. Maka dari itu, tugas dari konselor yang menggunakan perspektif
ekologi adalah membantu klien mengubah hidup mereka bukan dengan

14
menemuka penyebab utama masalah tetapi dengan membuat perubahan
hari ini yang efektif, layaj, dan bermakna bagi klien.
2) Perilaku bersifat interaksional
Individu bukan penampung pasif dalam lingkungan ini tetapi secara
aktif berinteraksi dengan mereka. Individu dipengaruhi oleh, dan pada
gilirannya mempengaruhi, konteks kehidupan mereka. Individu memang
memiliki beberapa kecenderungan berbasis genetik untuk perilaku, tetapi
apakah dan bagaimana kecenderungan ini diaktualisasikan dalam
kehidupan individu kemungkinan akan dimoderasi oleh interaksi
individu dengan konteks hidupnya. Sangat penting untuk memahami
bagaimana individu tertentu bereaksi terhadap peristiwa penting dalam
konteks kehidupan langsung.
Budaya adalah konstruksi multidimensi yang mewakili interaksi
orang-lingkungan di berbagai tingkat. Pada dasarnya, perilaku terkait
budaya dipengaruhi oleh interaksi variabilitas individu dan kontekstual.
Konselor yang berpikiran ekologis secara rutin mengingatkan diri
mereka sendiri untuk mencari keragaman dalam kelompok di antara
kelompok orang yang mereka prediksi akan berperilaku serupa.
Selanjutnya, Cook (2012), menjelaskan bahwa perspektif ekologi
memfasilitasi intergasi isu keragaman ke dalam konseling. Dengan
memahami berbagai interaksi yang membentuk hidupnya, kita lebih
mampu menghargai keteraturan dan ketidakkonsistenannya dan
membantu klien menguraikan kehidupan yang sesuai dengan siapa dan
apa yang dia inginkan.
3) Perilaku itu berarti
Perspektif ekologi menekankan pembuatan makna. Seseorang
merespons peristiwa seperti yang dia rasakan dan pahami. Perspektif
ekologi menguraikan bagaimana perbedaan dalam pembuatan makna
dapat terjadi karena pengaruh pada setiap tingkat kontekstual (misalnya,
perkembangan spiritual individu, nilai-nilai keluarga yang mendorong
pilihan karir tertentu, pernyataan misi organisasi yang membentuk

15
perilaku di tempat kerja). Jenis kelamin biologis, penanda fisik ras, dan
perbedaan makna kultural lainnya mengaktifkan sistem makna yang
kompleks yang pada gilirannya menyusun peran sosial, hak politik,
peluang karier, dan penentu kemungkinan kuat lainnya dalam tatanan
kehidupan sosial. Namun ada juga variabilitas yang kredibel antar
individu dalam kategori yang sama karena interaksi antara orang dan
konteks. Konselor dan klien dapat menentukan makna yang tersirat
dalam kehidupan klien yang dapat berkontribusi pada penderitaannya
dan makna mana yang mungkin atau bahkan diinginkan untuk diubah.
Konselor yang menghargai kekuatan pembuatan makna dapat
membantu orang untuk memperhatikan bagaimana mereka membuat
makna dan kemudian membuat keputusan tentang hidup mereka dengan
pemahaman ini dalam pikiran.

B. Asumsi Konseling Ekologi


Menurut Kartadinata (2009a, hlm. 8), pendekatan ekologis dibangun
berdasarkan asumsi dasar ekologi perkembangan manusia, yakni
menciptakan lingkungan yang memberi kesempatan dan kemudahan bagi
individu untuk belajar dan berkembang sebagai manusia.
Selain itu, Bronfenbrenner juga menjelaskan mengenai konsep Lewin
yang menawarkan tiga preposisi penting mengenai perspektif ekologi dalam
konseling.
1) Preposisi pertama, perilaku manusia dipengaruhi oleh karakteristik
individu dan konteks tempat hidup.
2) Preposisi kedua, perilaku manusia merupakan hasil dari interaksi diri
dengan lingkungannya.
3) Preposisi ketiga, perilaku manusia terbentuk melalui pemaknaan.
Preposisi ini menyajikan kerangka kerja yang komprehensif bagi profesi
yang menawarkan layanan psikologis seperti seorang konselor.
Berdasarkan pendapat diatas mengisyaratkan bahwa interaksi yang
terjadi tidak hanya dengan manusia sebagai lingkungan sosial, tertapi juga

16
lingkungan fisik seperti beberapa perlengkapan (bisa berupa benda fisik atau
alam) yang memungkinkan dapat memfasilitasi terjadinya proses belajar
anak. Kedua lingkungan ini memberikan pengaruh bagi anak, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Lingkungan sosial dengan berbagai nilai,
ide atau contoh perilaku yang dapat dipedomanidan dijadikan materi untuk
dipelajari. Lingkungan sosial seperti lingkungan keluarga, teman bermain,
maupun lingkungan yang lebih luas, (dalam hal ini lingkungan sekolah).
Lingkungan sosial ini mempunyai pengaruh yang besar bagi perkembangan
dan perilaku anak, oleh karena itu dalam memahami dan membantu
perkembangan anak lingkungan sosial penting untuk di kondisikan sebagai
lingkungan sosial yang sehat bagi perkembangan anak. Rahman (2006, hlm.
3) menyatakan “teori ekologi ini dapat dijadikan pijakan teoretis dalam
menganalisis kebuntuan pemahaman dan pendekatan kita terhadap masalah
individu dan relasinya dengan lingkungan”. Sementara, alam dapat
dimanfaatkan sebagai ekologi yang memungkinkan anak memahami berbagai
konsep maupun fenomena yang terjadi didunia yang nantinya berguna ketika
mereka dewasa.

C. Tujuan Konseling Ekologi


Anwar, Moh. Khoerul & Ruly Ningsih (2019), mengemukakan bahwa
visi reformatif konseling ekologis sejalan dengan konseling pada umumnya,
akan tetapi tetapi konseling ekologis menyandingkan dengan konteks tempat
individu melangsungkan kehidupannya.
Cook (2012, hlm. 8) mengungkapkan bahwa konseling ekologis
bertujuan untuk membantu individu mengembangkan kehidupan yang
memuaskan, produktif, dan bermakna melalui pemahaman mengenai
bagaimana kehidupannya berakar dalam konteks yang beragam, interaksi
dengan dunia sekitar konseli, dan proses pemberian makna terhadap
kehidupannya. Konsep dan tujuan ini membawa implikasi bagi konselor
dalam menjalankan praktik profesionalnya dalam membantu melayani
individu.

17
Selanjutnya, menurut Robert Conyne (dalam Conyne & Cook, 2004,
hlm. 24) menekankan bahwa tujuan konseling ekologi untuk membantu
orang untuk memaksimalkan kesesuaian dalam hidup mereka, yang
didefinisikan sebagai “interaksi yang saling menguntungkan antara orang dan
lingkungan” yang melibatkan “keseimbangan yang harmonis antara
tantangan dan dukungan”. Perasaan ketidaksesuaian kadang-kadang bersifat
universal dan umum di antara klien, seperti sesuatu yang esensial dalam hidup
hilang atau ada namun terganggu, seseorang tidak cocok dalam peran,
hubungan atau jalan hidup. Individu mengalami ketidaksesuaian sesuai
dengan pembuatan maknanya.

D. Peran Konselor dalam Konseling Ekologi


Konselor merupakan salah satu helper yang menawarkan jasa layanan
konseling. Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 mengatakan
bahwa konselor dalam konteks profesi di Indonesia salah satunya
menyediakan layanan dalam seting pendidikan. Selain itu, konselor berperan
sebagai individu yang membantu dalam memberikan pengenalan,
pemahaman dan penyadaran terhadap indivoidu yang mengalami masalah.
Secara perspektif ekologis, konselor memiliki peranan penting sebagai
indvidu yang mampu meredesain perilaku-perilaku yang terjadi pada individu
maupun masyarakat. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Sue (Campbell1,
Vance1 & Dong, 2017) yang mengatakan bahwa model tripartite digunakan
dalam pelatihan konseling yang ditujukan pada tiga karakteristik kritis
konselor multikultural yakni kesadaran, keterampilan/skill, dan pengetahuan.
Dengan demikian, konselor mampu melakukan redesain perilaku individu
maupun masyarakat melalui pendekatan ekologis yakni memberikan
pengetahuan dan penyadaran serta memberikan ketarampilan dasar konseling
bagi individu di masyarakat.
Kartadinata (1996, hlm. 6) menegaskan bahwa dalam kerangka kerja
pendekatan ekologis, hakikat proses Bimbingan Konseling terletak pada
keterkaitan antara lingkungan belajar dengan perkembangan individu, dan

18
konselor berperan sebagai perekayasa lingkungan atau environmental
engineer.
Konseling ekologis menawarkan dua tantangan penting bagi konselor.
Konseling ekologis menantang konselor berkaitan dengan pemahaman
keberagaman. Hal ini sejalan dengan Rychlak (Everett L. Worthington, 1989)
yang menjelaskan bahwa salah satu motif mendasar konseling yaitu
scholarly. Scholarly mengacu pada motif untuk memahami perilaku manusia
dan untuk memiliki kesadaran mengenai penyebab perilaku. Kedua,
konseling ekologis menantang pengembangan kompetensi multikultural
melalui validitas ekologis (Cook, 2012, hlm. 161).
Selanjutnya, Cook (2012, hlm. 8), menjelaskan seorang konselor yang
menggunakan perspektif ekologi dapat membedakan bagaimana seseorang
dapat mengalami diri sendiri, lingkungan interpersonal/budaya/fisik, atau
interaksi antara orang dan lingkungan sebagai sumber rasa sakit. Peristiwa
kehidupan masa lalu, konflik masa kini di seluruh hubungan, dan harapan
serta impian masa depan mungkin menjadi fokusnya. Dari antara kekayaan
koneksi yang membentuk kehidupan setiap orang, konselor
mempertimbangkan sumber kehidupan mana yang memberi kekuatan
(nutrisi) dan tantangan mana dari dalam dan luar klien yang memperumit
pencariannya untuk membuat kehidupan yang layak dijalani. Konselor yang
memanfaatkan perspektif ekologi menghargai bahwa ada banyak cara untuk
memfasilitasi perubahan. Konselor dapat bekerja dalam ekosistem unik
seseorang atau menangani konteks yang tidak terlalu dekat (misalnya,
kelompok, lingkungan) untuk intervensi perbaikan, pengembangan, atau
pencegahan. Individu mengalami ketidaksesuaian sesuai dengan pembuatan
maknanya. Perspektif ekologis dapat memperluas kemampuan konselor
untuk menggambarkan kompleksitas perilaku manusia dan bagaimana profesi
konseling dapat bekerja secara kolaboratif dengan klien dan sistem untuk
mengubah kehidupan.

19
Selain itu, konselor berperan untuk membantu klien berperilaku lebih
efektif di masa sekarang dan masa depan dengan mengubah interaksi orang
dan lingkungan.
Selanjutnya, Cook (2012) mengemukakan dua metafora yang berguna
dalam mendeskripsikan konselor dari perspektif ekologi, yaitu satu berkaitan
dengan hubungan konseling (konselor adalah pemandu wisata) dan satu
berkaitan dengan intervensi (konselor menggunakan kotak peralatan).
1) Pemandu wisata: Melalui proses konseling, kami sebagai konselor
menemani klien kami dalam perjalanan perubahan yang diinginkan klien.
Kami mengetahui medan, perlengkapan psikis apa yang dibutuhkan klien
kami untuk perjalanan, dan bagaimana memandu tergantung pada
bagaimana klien kami ingin melakukan perjalanan (misalnya, apakah
mereka ingin sampai ke tujuan dengan cepat atau membiarkan perjalanan
berlangsung dengan santai?). Kami mencoba berbagai cara untuk
membantu klien kami mendapatkan hasil maksimal dari perjalanan
mereka dengan membantu mereka menghargai sejarah daerah tersebut
(yaitu, terlibat dalam eksplorasi mendalam tentang masa lalu), misalnya,
atau mungkin mengundang orang lain untuk bergabung dengan kami di
perjalanan (yaitu, melalui kerja kelompok). Kami perlu mempelajari cara
untuk mencapai tujuan mereka yang dapat ditoleransi oleh klien kami
dan bagaimana memetakan tujuan baru jika rencana perjalanan awal
tidak berhasil.
2) Kotak Alat: Tidak ada konselor yang bisa menjadi ahli dalam setiap jenis
perilaku atau klien yang mungkin muncul dalam pekerjaannya. Namun
seperti kata pepatah lama, jika yang Anda miliki hanyalah palu (satu jenis
intervensi konseling), maka semuanya tampak seperti paku (setiap klien
membutuhkan palu Anda)! Sebaliknya konselor yang kompeten
mengandalkan kotak peralatan pengetahuan dan strategi yang konsisten
dengan berbagai interaksi orang-lingkungan (P × E) yang menjadi ciri
ruang lingkup praktiknya. Dengan kata lain, palu masih merupakan alat
yang berguna, tetapi dengan beberapa proyek pembangunan klien, Anda

20
mungkin perlu menggunakan obeng atau gergaji sebagai gantinya.
Mempelajari perspektif ekologis dapat menambahkan beberapa alat baru
ke dalam kotak atau menyarankan penggunaan baru untuk alat yang
sudah dikenal. (Dimungkinkan untuk menggunakan dispenser selotip
untuk memalu paku untuk kait gambar, tetapi kami tidak akan
merekomendasikannya.)

E. Langkah-Langkah Konseling Ekologi


Cook (2012) menjelaskan bahwa konseling berparadigma ekologis
dipertimbangkan sejak asesmen sampai dengan perencanaan layanan
konseling. Pada tahap asesmen, konselor dihadapkan pada teka-teki
mengenai apa yang akan dilakukan setelah menjalin hubungan dengan
konseli. Pemahaman konseli tidak hanya diupayakan untuk melihat diri
konseli sendiri tetapi juga mencakup asesmen lingkungan.
Kerangka ekologi melihat kesalahan dan gangguan dari aspek diri,
lingkungan, dan interaksi antara diri dengan lingkungan (Cook, 2012).
Sebelum melaksanakan asesmen, penting kiranya seorang konselor
menyampaikan hal berikut ini seperti yang dikutip dari Cook (2012):
“Teman-teman, kita dapat membantu kita karena mereka mengenal
kita. Untuk membantu Anda, saya perlu mengenal Anda juga, tetapi
akan lebih baik jika saya bisa mengenal Anda lebih cepat daripada yang
biasanya terjadi dalam persahabatan. Misalkan kita mulai dengan
berbicara tentang hal-hal apa tentang Anda yang menyebabkan Anda
merasa buruk atau khawatir dan hal-hal apa tentang Anda yang tampak
baik dan berguna bagi Anda; apa di dunia sekitar Anda yang
menyebabkan Anda bermasalah dan apa yang Anda nikmati atau
andalkan; dan apa yang baik tentang hubungan yang Anda miliki
dengan orang-orang di dunia Anda dan apa yang terasa buruk atau tidak
berjalan dengan baik. Saat kita berbicara, saya mungkin mengajukan
pertanyaan untuk memastikan saya mengerti bagaimana keadaan Anda.
Jika Anda tidak mengerti mengapa saya bertanya tentang sesuatu, beri
tahu saya dan saya akan menjelaskan mengapa saya bertanya, dan jika
saya tampaknya bertanya tentang hal-hal yang tampaknya tidak terlalu
penting atau relevan bagi Anda, beri tahu saya dan kita bisa bicara
tentang itu.”

21
Langkah selanjutnya yang dilakukan konselor yaitu melakukan
diagnosis mengenai masalah yang sebenarnya dihadapi oleh konseli. Cook
(2012) mengatakan bahwa diagnosis mengenai hal-hal yang dihadapi konseli
yang muncul dari diri konseli sendiri, masalah yang muncul dari lingkungan,
dan masalah yang muncul dari interaksi antara keduanya. Diagnosis
digunakan sebagai dasar untuk melakukan intervensi. Cook (2012),
menjelaskan bahwa selama proses diagnostik, sangat penting untuk
memperhatikan budaya. Secara umum, konselor perlu mengetahui bagaimana
masalah umum dapat disebabkan, diungkapkanm dan ditangani secara
berbeda sesuai dengan budaya klien.
Tabel 2.1
Asesmen Status Kesehatan Mental Berdasarkan Elemen: B = f (P)
No. Elemen Contoh
1. Penampilan baju, gaun yang dikenakan
2. Perilaku perilaku berkendara
3. Cara berbicacra keras, lembut, kualitas pembicaraan
4. Suasana hati stabil, berubah-ubah
5. Proses pemikiran derajat dan jenis pemikiran yang kacau
6. Isi pikiran potensi kekerasan, delusi, fobia
7. Persepsi halusinasi, ilusi
8. Kapasitas kognitif atensi/perhatian, konsentrasi, memori,
inteligensi
9. Penggunaan zat jenis, kuantitas, frekuensi, efek
psikoaktif
10. Kesadaran dan kesadaran akan asal dan sifat masalah,
penilaian alasan dari suatu keputusan
Asesmen lingkungan tersebut berguna sebagai tolak ukur untuk
mengetahui masalah-masalah yang terjadi. Masalah-masalah yang dihadapi
individu bukan atas kemauan individu itu sendiri. Masalah muncul sebagai
timbal balik atau konsekuensi diri yang hidup dilingkungan tertentu. Oleh
sebab itu, Cook (2012) juga memberikan panduan untuk melakukan asesmen
lingkungan.
Tabel 2.2
Status Penilaian Lingkungan Berdasarkan Komponen: B = f(E)
Mikrosistem:

22
Elemen ini memungkinkan individu untuk melakukan kontak secara
langsung.
a. Struktur dan fungsi kelompok sosial primer (keluarga asal, keluarga
saat ini)
b. Keanggotaan sosial (pertemanan, kelompok sosial)
c. Sumber daya di sekitar dan toksin yang ada (perumahan, perawatan
kesehatan, sekolah)
d. Kesempatan kerja
Ekosistem:
Elemen ekosistem yaitu sistem yang lebih luas yang mempengaruhi
kehidupan konseli.
a. Kesempatan pendidikan
b. Pelayanan kesehatan medis, perlindungan psikologism perlindungan
spiritual, perlindungan emosi
c. Keterlibatan dengan hukum/aturan

Makrosistem:
Makrosistem merupakan daya sosial yang lebih luas yang mempengaruhi
individu.
a. Kebudayaan, etnis, pertimbangan religi
b. Ketetanggaan, organisasi komunitas, dan pemerintahan
c. Kebijakan sosial politik dan dinamikanya.

Tabel tersebut menggambar bahwa setiap elemen baik mikrosistem,


ekosistem dan makrosistem memiliki peranan dan komponen masing-masing
dalam mempengaruhi perkembangan individu dan masalah yang
dihadapinya. Selanjutnya, Cook (2012) melihat interaksi yang terjadi antara
diri dengan lingkungan ekologi. Interaksi ini juga dipertimbangkan sebagai
dasar untuk melakukan diagnosis. Secara lebih lengkap seperti tampak pada
tabel berikut:
Tabel 2.3
Status interakis: Hirarki Pola Interpersonal: B = f (P x E)
Bentuk sederhana dari interaksi:
a. Interaksi yang tidak resiprokal
b. Kontak singkat tanpa komitmen
c. Hubungan resiprokal tanpa tanggung jawab
d. Hubungan dengan kedekatan personal yang terbatas
e. Hubungan yang menyenangkan dan ko-evolusioer dengan komitmen
yang mengikat

23
Tabel tersebut menggambarkan bahwa status interaksi memiliki pola
dan hubungan masing-masing. Setiap interaksi akan memiliki hubungan
terkait antar individu. Oleh karenanya, status interaksi perlu dilakukan
dengan cara yang baik
sehingga mampu mengidentifikasi kondisi konseli dan lingkungan.
Selanjutnya, Cook (2012), merumuskan pertanyaan untuk
pertimbangan dalam mengembangkan analisis ekologi. Berikut ini disajikan
dalam bentuk tabel.
Tabel 2.4
Pertanyaan untuk pertimbangan dalam mengembangkan analisis
ekologi
1. Apa yang klien nyatakan sebagai masalah? Apa cara komunikasi
(misalnya, bahasa, infleksi vokal, pilihan kata) memberitahu Anda?
2. Mengapa klien tampaknya merasa bahwa bantuan profesional
diperlukan saat ini? Solusi apa yang sudah dia coba?
3. Bagaimana masalah ditempatkan dalam ekologi klien (misalnya,
siapa, apa, kapan di mana)? Dan apa artinya bagi klien?
4. Peristiwa apa yang diyakini klien penting dalam situasi hidupnya?
Apakah ada yang berubah dalam kehidupan klien? apa dampak
perubahan ini pada klien, pada orang-orang yang penting bagi klien,
pada interaksi orang-lingkungan, atau pembuatan makna klien?
5. Di mana klien menjalani hidupnya secara fisik dan interpersonal
(yaitu, di mana ceruk ekologi klien)? Apakah ceruk ini tampaknya
berhasil memenuhi kebutuhannya? Bagaimana kesehariannya?
kehidupan sehari- hari yang dirasakan klien? Apakah dia biasanya
puas, tidak puas, atau sengsara?
6. Apa orang-orang interaksi penting klien? Grup? Komunitas atau
lingkungan ? sistem yang lebih besar? Bagaimana interaksi ini
mempengaruhi kehidupan klien ? Peran kehidupan apa yang
menghubungkan klien dengan dunia di sekitarnya? Apa yang klien
rasakan bahwa dia berkontribusi pada orang lain?
7. Apa relevansi konsep kecocokan atau sinergi dalam kehidupan klien?
8. Apa karakteristik pribadi (misalnya, tubuh, sifat) yang tampaknya
berpengaruh pada klien dalam kehidupan klien saat ini? Dalam hal apa
klien itu unik? Bagaimana karakteristik pribadi klien berinteraksi satu
sama lain atau dengan fitur koteksual untuk menciptakan keadaan
yang unik?
9. Seberapa tangguh klien itu muncul ? Bagaimana dia cenderung
mengatasi masalah secara umum? Apa yang membuat situasi saat ini
berbeda atau lebih menantang dari yang pernah dihadapi kliennya?

24
10. Apa peran dan identitas hidup yang tampak menonjol bagi klien? Ke
orang lain dalam kehidupan klien? Apa tekanan dan kekuatan
sosiokultural yang tampak sebagai sebuah karya? Isu keragaman apa
yang berkontribusi pada perasaan diri seseorang dan interaksinya
dengan orang lain? Bagaimana banyak aspek ini berintegrasi untuk
membentuk diri yang unik?
11. Nilai-nilai apa yang sentral dalam kehidupan klien? Apa yang klien
rasakan tentang makna kehidupan sehari-hari? Sistem nilai formal apa
(misalnya, agama, militer, pelatihan) yang memainkan peran penting
dalam kehidupan sehari-hari klien?
12. Apa dampak waktu terhadap klien? Bagaimana dia mengalami waktu
setiap hari (misalnya, apakah terlalu sedikit atau terlalu banyak,
apakah waktu berlalu terlalu cepat atau terlalu lambat)? Di mana orang
merasa dia berada dalam siklus hidup? Seberapa pantas orang tersebut
merasakan peristiwa atau masalah penting ?
13. Sumber daya atau tantangan koping apa yang beroperasi dalam
kehidupan sehari-hari klien? Bagaimana klien memandang
keseimbangan antara sumber daya dan tantangan?
14. Sumber daya apa yang dapat digunakan klien sekarang untuk
membuat perubahan? Tantangan atau hambatan apa terhadap
perubahan yang harus diakui dan ditangani?
15. Apa makna hidup sentral yang menonjol dalam perhatian klien yang
ditargetkan? Bagaimana makna sentral ditantang atau dihancurkan
oleh peristiwa-peristiwa kehidupan? Apakah dalam diri klien ingin
menemukan, menegaskan, atau mengganti makna penting dalam
hidupnya? Bagaimana perubahan yang diantisipasi dari konseling
dapat mempengaruhi pembuatan makna?
16. Apa yang dapat Anda ceritakan tentang proses berpikir klien yang
mungkin memengaruhi kerja sama Anda? Misalnya, apakah klien
tampak sangat cerdas, kreatif dalam menggambarkan orang dan
peristiwa kehidupan, atau lebih menyukai pola berpikir hitam-putih?
17. Jika Anda berlatih menggunakan sistem diagnostik psikologis formal
(misalnya, manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental),
diagnosis mana yang paling baik mengkomunikasikan masalah klien
kepada profesional lain? Informasi lain apa yang harus ditambahkan
untuk menggambarkan masalah dalam kekayaannya?
18. Bagaimana seharusnya pernyataan masalah atau diagnosis
dikomunikasikan kepada klien dengan cara yang membantunya
memahami masalah (membuat makna) dan yang memberdayakannya
dalam proses perubahan?
19. Bagaimana hubungan konseling dapat membantu klien dalam
membuat perubahan? Bagaimana Anda bisa menjadi bagian hidup
klien yang berarti dan dapat dipercaya? Bagaimana keterlibatan kita
mengubah sistem interaksi yang menjadi ciri kehidupan klien?
Sumber daya atau tantangan apa yang Anda dan lembaga atau
lingkungan Anda bawa ke dalam proses (misalnya, keterampilan

25
pribadi, regulasi sistem)? Bagaimana profesional atau sistem lain
dapat membantu sekarang atau di masa depan?
20. Bagaimana proses perubahan dapat dikalibrasi dengan cukup baik
untuk mencapai kesuksesan namun cukup menantang untuk
merangsang perkembangan?
21. Bagaimana Anda dapat membantu klien mempersiapkan diri
menghadapi tantangan hidup di masa depan (misalnya, mengantisipasi
terulangnya masalah atau memperkuat hubungan klien untuk
membantunya mengatasi masalah baru)? Secara khusus, tantangan
hidup apa yang mungkin terjadi sebagai akibat dari konseling?

Selanjutnya, penetapan tujuan dipandang urgen sebagai bagian dari


pengembangan persetujuan konselor dengan konseli mengenai hal yang akan
diselesaikan dan cara penyelesaian masalah. Tujuan yang ditetapkan tidak
hanya tujuan umum, tetapi tujuan interpersonal, tujuan lingkungan, dan
tujuan diri. Cook (2012) mengungkapkan dalam konseling ekologis, target
proses perubahan mungkin adalah lingkungan dan juga klien. Karena
pemahaman yang berlaku tentang sifat perilaku, konselor bekerja dengan
klien individu cenderung untuk berpikir pertama tentang mengubah individu
disfungsional. Ketika kita juga berpikir tentang kekuatan interaksi orang-
lingkungan, kita dapat mengenali bahwa masalahnya mungkin terletak pada
lingkungan yang melemahkan, menyalahgunakan, menekan, menguras,
meracuni, memadati, melemahkan, gagal memvalidasi, mengabaikan,
menyiksa, merendahkan, tidak menghargai, dan seterusnya, orangnya. Dalam
konseling, kita dapat membantu seseorang membuat perubahan dalam
lingkungan itu sendiri atau dalam cara dia berinteraksi di dalam lingkungan.
Pengakuan kesalahan lingkungan dapat mengubah cara seseorang melihat
hidupnya dan kemungkinan untuk pembaruan.
Selain itu, konselor juga perlu menetapkan alat untuk perencanaan
intervensi. Kunci penetapan tujuan dan perencanaan intervensi didasarkan
pada kecocokan model antara konseli dengan perencanaan yang telah
dilakukan (Rollnick, Mason, & Butler dalam Cook, 2012). Cook
menyarankan untuk menggunakan grounded problem guide yang
dikemukakan oleh Wilson. Hal tersebut seperti tampak pada contoh berikut:

26
Tabel 2.5
Contoh kerangka masalah yang dihadapi konseli

Tabel ini menggambarkan bahwa setiap elemen memiliki peranan


masing-masing berkenaan dengan masalah yang dihadapi konseli. Individu,
orang lain dan masyarakat saling berkontribusi dalam proses pelaksanaan
konseling ekologi untuk membantu menangani masalah konseli.
Selanjutnya, Cook (2012) mengemukakan bahwa konselor dan klien
bekerja secara kolaboratif untuk membantu klien menciptakan kemungkinan
baru bagi kehidupan mereka. Klien ahli dalam kehidupan mereka; konselor
ahli dalam strategi perubahan perilaku.

27
BAB III
PEMBAHASAN

A. Asumsi
Ada beberapa asumsi atau hipotesis mengenai apakah konseling
ekologis ada pengaruhnya terhadap perkembangan ABK secara
komprehensif, yaitu diantaranya:
1. Lingkungan sekitar berpengaruh terhadap perkembangan ABK
2. Perkembangan ABK merupakan hasil interaksi atau transaksi antara
kekuatan internal dan eksternal
3. Lingkungan belajar ABK dapat membantu dalam mengatasi
permasalahan yang dihadapi harus dianalisis dan perspektif keseluruhan
sistem sehingga perkembangan sesuai dengan yang diharapkan

B. Tujuan konseling ekologi


Tujuan konseling ekologi bagi ABK, diantaranya:
1. Mampu membantu setiap individu menjadi insan yang berguna dalam
kehidupannya yang memiliki wawasan, pandangan, sikap, penilaian,
pilihan, penyesuaian, dan keterampilan yang tepat sesuai dengan
keadaan diri dan lingkungannya.
2. Mampu memiliki sikap kemandirian, kemampuan memahami dan
menerima diri serta lingkungan secara tepat, obyektif, realistik, positif,
serta mampu mengambil keputusan secara tepat, bijaksana, dan
bertanggung jawab sehingga pada akhirnya mampu mengembangkan
diri dalam kehidupan yang bermakna bagi diri dan lingkungannya
3. Membantu perkembangan pribadi seutuhnya secara optimal sesuai
dengan dimensi-dimensi kemanusiaannya menuju kebahagiaan hidup
sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya serta kemuliaan diri melalui
jalan yang diridhloi sesuai dengan fitrah, harkat, dan martabat sebagai
makhluk Tuhan.

28
C. Implementasi Konseling Ekologi di Sekolah
1. Contoh Kasus
Dalam sebuah studi kualitatif, Crowell (2007) mengeksplorasi satu
taman kanak-kanak perkotaan hingga sekolah Kelas 8 di komunitas
miskin untuk memahami karier unik lima guru dengan siswa dan
keluarga. Sekolah itu berada di gedung bersejarah tetapi terletak di area
di mana acara tidak dapat diadakan pada malam hari karena alasan
keamanan. Lingkungan itu dianggap sebagai daerah dengan tingkat
kriminalitas tinggi yang terkait dengan perdagangan narkoba, kekerasan,
dan prostitusi. Pintu sekolah selalu dikunci, dan pengunjung diharuskan
mengumumkan kedatangan dan tujuan mereka melalui interkom kepada
anggota staf, yang memutuskan apakah akan mengizinkan mereka
masuk. Warna interior sekolah gelap dan pencahayaannya buruk. Ini, di
samping lorong-lorong yang bising dan ruang kelas dengan suara-suara
bermusuhan yang berteriak, menciptakan suasana yang tegang. Tidak ada
taman bermain, jadi istirahat diadakan di area parkir beraspal yang penuh
lubang. Pendapatan rumah tangga rata-rata di masyarakat adalah
$15.500, dan 81% siswa menerima makan siang gratis atau dengan harga
lebih murah (Biro Sensus AS, 2000). Penduduk komunitas didominasi
Afrika Amerika tetapi juga termasuk keluarga Appalachian yang
Kaukasia dan multiras.
Iklim sekolah digambarkan oleh semua peserta studi sebagai
memiliki tingkat kebisingan dan ketegangan yang tinggi di dalam
gedung, kurangnya sumber daya materi, moral guru yang rendah, dan
kurangnya keamanan di masyarakat (Crowell, 2007). Personil sekolah
menggunakan teriakan sebagai strategi manajemen perilaku. Siswa yang
sulit ditegur dan diisolasi karena kebijakan kantor pusat tidak
mengizinkan kepala sekolah untuk menangguhkan atau mengeluarkan
siswa dari halaman sekolah kecuali dalam keadaan yang paling
mengerikan. Guru menggambarkan siswa berperilaku tidak hormat dan
memiliki reaksi emosional yang tinggi, yang mengakibatkan masalah

29
disiplin yang memakan waktu bagi pendidik. Ketika masalah disiplin
muncul, guru merasa terdorong untuk melibatkan siswa dalam bentuk
"konseling" untuk membangun kembali ketertiban kelas. Misalnya,
seorang guru berkata bahwa dia mengajarkan "keterampilan orang"
sehingga siswa akan belajar bahwa mereka harus menunjukkan rasa
hormat kepada orang lain agar bisa bergaul di dunia. Dia melatih siswa
dalam menggunakan sopan santun dan kesopanan umum dalam interaksi
dengan teman sebaya dan orang dewasa.
Kepemimpinan organisasi memiliki pengaruh terhadap lingkungan
di sekolah. Guru-guru yang diwawancarai dalam penelitian ini
melaporkan bahwa mereka merasakan kurangnya kepemimpinan dari
kepala sekolah. Dengan semua laporan, kepala sekolah tidak memiliki
hubungan yang baik dengan staf atau keluarga, dan kehidupan pribadinya
merambah ke kehidupan profesionalnya, mengakibatkan kurangnya rasa
hormat dari stafnya (Crowell, 2007). Seorang guru berkomentar bahwa
kepribadian kepala sekolah yang tidak stabil berkontribusi pada
rendahnya moral di lingkungan sekolah. Guru jarang berinteraksi di siang
hari dan tetap sendirian di kelas mereka atau meninggalkan tempat
setelah siswa dibubarkan.
Guru merasa bahwa siswa dan keluarga mereka lebih fokus pada
kelangsungan hidup daripada prestasi akademik dan membutuhkan kasih
sayang untuk kesulitan keluarga. Keluarga sering pindah karena masalah
keuangan, mencari perumahan yang lebih murah, pekerjaan yang lebih
baik, dan kondisi hidup yang lebih aman. Keluarga besar sering kali
tinggal bersama, dan anak-anak berpindah di antara anggota keluarga
untuk tinggal bersama mereka yang stabil secara finansial pada waktu
tertentu. Keluarga sering kekurangan kebutuhan hidup seperti air, listrik,
dan makanan yang cukup. Transportasi sering menjadi masalah bagi
keluarga, karena beberapa lingkungan yang lebih kecil terputus oleh jalan
raya utama dan kawasan bisnis dan seringkali tidak ada rute transportasi
umum langsung. Orang tua merasa sulit atau tidak mungkin untuk

30
mengunjungi sekolah untuk konferensi orang tua-guru, sukarela,
kegiatan ekstrakurikuler, dan sebagainya. Meskipun positif bahwa orang
tua menghargai kehadiran dan memastikan bahwa anak-anak mereka
datang ke sekolah secara teratur, ini seringkali merupakan satu-satunya
jenis keterlibatan orang tua dalam sistem pendidikan (Crowell, 2007).
Ketika ditemukan bahwa hampir 50% siswa di daerah tersebut
tidak berhasil melanjutkan ke sekolah menengah, kantor pusat pindah
untuk “mendesain ulang” sekolah tersebut (Crowell, 2007). Membuat
perubahan besar-besaran dalam kepegawaian, kurikulum, dan prosedur
sekolah adalah salah satu cara yang dilakukan kabupaten untuk
memulihkan sekolah berkinerja rendah. Akibatnya, semua guru sekolah
kecuali empat orang dipindahkan ke sekolah lain atau dibebaskan dari
tugasnya. Ini tidak hanya merusak rasa stabilitas siswa tetapi juga
memutuskan hubungan yang telah terjalin antara orang tua dan anggota
masyarakat dengan staf sekolah. Bagi banyak keluarga dalam situasi
kehidupan yang kacau, hubungan dengan personel sekolah sangat
penting karena rutinitas dan prediktabilitas sering hilang di rumah, dan
sekolah dapat memberi anak-anak rasa stabilitas, konsistensi, dan
ketertiban.
Meskipun siswa sering berperilaku buruk, guru juga melaporkan
bahwa siswa sangat menginginkan hubungan yang tulus dengan orang
dewasa yang peduli dan menunjukkan ketahanan meskipun mereka
mengalami kesulitan. Seorang guru kelas enam membimbing dua siswa,
termasuk memberikan bantuan pekerjaan rumah dan sesekali jalan-jalan
informal untuk makan atau mengunjungi museum. Guru lain sering
tinggal sepulang sekolah untuk mengatur kelasnya dan berbicara dengan
siswa secara informal. Dia melaporkan bahwa dia mencoba membantu
siswa belajar disiplin diri agar sukses dalam hidup, bukan hanya di
sekolah. Ia juga prihatin bahwa siswa sekolah menengahnya berbicara
tentang bertahan hidup di masa sekarang, bukan tentang mengejar impian
mereka, sehingga tampaknya tidak memiliki rasa masa depan. Siswa

31
telah belajar untuk menurunkan harapan mereka untuk masa depan untuk
meminimalkan kekecewaan (Crowell, 2007).
Semua lima guru dalam penelitian ini, bagaimanapun, menciptakan
lingkungan belajar yang positif dengan mendorong, mendengarkan,
memberdayakan, memuji, dan/atau memberikan penguatan positif
kepada siswa. Mereka mengawasi anak-anak untuk membuat pilihan
yang baik dan menegaskan perilaku positif, karena hal itu
memberdayakan siswa untuk lebih mengontrol reaksi mereka dan
mengajari mereka bahwa perubahan itu mungkin. Guru ingin melihat
dampak positif yang mereka buat dalam kehidupan siswa yang
menghasilkan pembelajaran dan kesuksesan akademis berikutnya. Guru
menggunakan berbagai strategi untuk membuat kelas mereka kondusif
untuk belajar, seperti penggunaan alat bantu visual dan poster motivasi.
Beberapa menggunakan proyeksi suara yang kuat dan kontak mata
langsung, sedangkan yang lain menemukan memberikan arahan khusus
tentang apa yang harus dilakukan untuk menjadi strategi yang paling
efektif. Semua guru menghadapi perilaku yang tidak pantas dan meminta
siswa untuk membuat pilihan yang lebih baik. Misalnya, seorang guru
berlutut untuk berinteraksi di tingkat mata siswa termuda, menawarkan
perhatian penuh kepada anak itu. Semua guru menggunakan campuran
bahasa formal dan informal, menciptakan suasana santai di kelas mereka.
Namun saat mereka menjelaskan materi baru dengan hati-hati dan
menjawab pertanyaan dengan lengkap, mereka juga memproyeksikan
harapan bahwa siswa mengambil pendidikan mereka dengan serius
(Crowell, 2007).
Kelima guru dalam penelitian ini percaya bahwa siswa dapat
mengatasi tantangan di lingkungan sekolah dengan dukungan dari orang
dewasa yang peduli. Empat dari lima guru telah membentuk hubungan
mentoring dengan siswa. Semuanya melaporkan “misi” untuk bekerja
dengan siswa di sekolah perkotaan. Seorang guru berkomentar bahwa
anak-anak pinggiran kota akan dididik terlepas dari jenis guru yang

32
mereka miliki karena keuntungan ekonomi dan keterlibatan orang tua
yang dianggap mereka miliki. Dia frustrasi dengan kurangnya sumber
daya yang tersedia untuk siswa perkotaannya, seperti komputer di rumah,
akses Internet, dan transportasi. Guru lain menawarkan bahwa ia
mengalami banyak peran dengan murid-muridnya, seperti terapis semu,
orang tua, pendeta, dan penasihat bagi anak-anak yang sering mengasuh
saudara kandung mereka sendiri.
Sekolah memang memiliki sejumlah aset yang membantu para
guru dan siswa menghadapi tantangan yang mereka hadapi. Ada
kerjasama positif dengan lembaga masyarakat, termasuk yang melayani
sejumlah besar keluarga tunawisma di beberapa sekolah. Sebuah dewan
penasihat komunitas dibuat dengan para guru dan pemangku kepentingan
masyarakat, termasuk dua gereja yang bekerja erat dengan para siswa dan
keluarga mereka. Guru gigih, banyak akal, dan peduli dan empatik
terhadap siswa dan keluarga mereka. Mereka juga berpengalaman dalam
bekerja di lingkungan ini dan menggunakan kreativitas mereka untuk
meningkatkan lingkungan belajar di sekolah (Crowell, 2007).

2. Analisis Ekologi
Semua orang ada dalam aliran yang saling berhubungan dan
interaksional dalam mikrosistem mereka yang unik, berhubungan dengan
orang lain dan lingkungan. Hubungan anak-anak dengan keluarga,
teman, dan anggota masyarakat membentuk tingkat dampak mesosistem,
di mana dukungan atau tantangan dari hubungan tersebut meningkatkan
atau mengurangi pengalaman anak-anak. Pengaruh eksosistem termasuk
perubahan sistem, seperti pemotongan dana pemerintah dalam layanan
kesehatan mental untuk keluarga di daerah tersebut (Abrams, Theberge,
& Karan, 2005). Pengaruh makrosistem termasuk isu politik, seperti
pemotongan perumahan dan pendidikan pemerintah, dan efek budaya,
seperti identitas komunitas sebagai komunitas Appalachian (Crowell,
2007).

33
Guru menggunakan prinsip-prinsip ekologi dalam praktik kerja
mereka serupa dengan yang digunakan oleh konselor sekolah untuk
melakukan penilaian dan intervensi holistik, “untuk mengetahui siswa
melalui interaksi, dengan pemahaman tentang berbagai konteks di mana
siswa tinggal, dan sejauh mana pengalaman siswa sesuai dan
konkordansi” (Crowell, 2007, hlm. 133). Conyne dan Cook (2004)
mendefinisikan konkordansi ekologis sebagai keselarasan dan
keselarasan, atau “keadaan yang memungkinkan dan mendorong
pertumbuhan . . . memanfaatkan kekuatan dan dukungan; interaksi yang
saling menguntungkan antara orang dan lingkungan” (hal. 24). Dengan
demikian, kemampuan seorang guru untuk menegosiasikan pengaturan
secara efektif melibatkan interaksi kompleks dari konten pekerjaan,
konteks, dan kepuasan pribadi, yang mempengaruhi hubungan dengan
guru lain dan dengan siswa.
Konteks adalah pertimbangan ekologis utama dalam diskusi guru
tentang strategi kelas dan akomodasi mereka terhadap gaya belajar anak
yang berbeda (Crowell, 2007). Faktor kontekstual dicatat tidak hanya
dalam pengaturan fisik sekolah tetapi juga dalam gaya mengajar dan
manajemen kelas. Guru menerapkan berbagai metode pedagogis dan
memanfaatkan aplikasi realistis dalam kurikulum. Mengingat daftar
tunggu yang panjang untuk penilaian pendidikan khusus, guru memilih
untuk mengembangkan alternatif untuk menyediakan metode
pembelajaran terbaik bagi siswa secara individu daripada menunggu
ketidakmampuan belajar didiagnosis. Pelatihan tentang budaya
kemiskinan (Payne, 2001) ditawarkan di seluruh distrik sekolah, dan
guru menggunakan informasi ini untuk memilih pilihan bacaan yang
bekerja lebih baik untuk siswa mereka daripada banyak dari yang
disediakan dalam kurikulum. Misalnya, cerita tentang seorang gadis
kecil yang berlibur ke luar negeri dengan serigala kutub digantikan oleh
cerita tentang seorang gadis yang tinggal bersama neneknya di pinggiran
kota besar. Banyak guru menggambarkan kurikulum standar sebagai

34
kelas dan bias terhadap nilai dan pengalaman kelas menengah, yang tidak
seperti keluarga siswa mereka. Dengan demikian, guru menggambarkan
kegiatan kelas mereka sebagai responsif terhadap kebutuhan siswa
(Crowell, 2007).
Prinsip ekologi yang paling berpengaruh dalam studi Crowell
(2007) adalah pembuatan makna, yang dipahami sebagai kombinasi dari
pengalaman, nilai, sikap, tujuan, dan tujuan seseorang. Pengaruh
pembuatan makna secara khusus dicatat pada guru yang menggambarkan
rasa penghargaan pribadi dan "panggilan" untuk bekerja dengan siswa
mereka. Makna digambarkan oleh Young dan Collin (2003) sebagai
"tindakan dan wacana di mana kita membentuk hubungan dan
komunitas" (hal. 378). Makna bagi guru diciptakan melalui interaksi
siswa dan keluarga di mana mereka terhubung pada tingkat pribadi. Pada
tingkat mesosistem, hubungan guru-murid dan bahkan guru-keluarga
yang positif dapat melindungi siswa dari terlibat dalam perilaku
bermasalah (Fusick & Charkow Bordeau, 2004; Patrick, Kaplan, &
Ryan, 2007; Way, Reddy, & Rhodes, 2007).
Guru menunjukkan efektivitas mereka di lingkungan perkotaan
dengan menciptakan suasana saling percaya dan menghormati siswa
mereka terlepas dari identitas budaya. Bagaimana mereka membuat
makna dari aspek multidimensi dari pekerjaan mereka menentukan
kemampuan mereka untuk berkembang dalam pengaturan. Praktik
pengajaran reflektif digunakan untuk menemukan bias pribadi dan untuk
lebih menyelaraskan pengajaran mereka dengan populasi yang mereka
layani. Beberapa guru menekankan mengenal siswa mereka dengan baik
untuk memahami bagaimana mereka belajar dengan baik. Konteks
lingkungan siswa sering dipertimbangkan dalam interaksi guru-siswa
(Crowell, 2007). Pengalaman bertahun-tahun telah mengajar seorang
guru untuk menghindari perebutan kekuasaan dengan siswa, mengakui
bahwa siswa mungkin mencari rasa kontrol di sekolah karena mereka
percaya bahwa mereka tidak memiliki kendali di sebagian besar bidang

35
kehidupan mereka. Guru lain memulai hari dengan meminta siswa
membuat jurnal perasaan mereka sebagai cara untuk mengesampingkan
kejadian malam sebelumnya atau kejadian yang terjadi dalam perjalanan
ke sekolah pagi itu.
Guru menunjukkan tingkat kesadaran yang cukup besar akan
tantangan eksternal dan internal siswa. Keyakinan bahwa guru dapat
berdampak positif bagi kehidupan siswa di luar kelas terdengar melalui
pernyataan bahwa siswa membutuhkan bimbingan dan arahan, disiplin
diri, dan rasa tanggung jawab pribadi. Di tingkat mesosistem, seorang
guru menghubungi orang tua dengan komentar positif dan bukan hanya
dengan laporan perilaku buruk. Guru menyadari bahwa keterlibatan
orang tua sering hilang dalam budaya perkotaan. Meskipun beberapa
orang tua ingin melihat anak-anak mereka berprestasi, beberapa guru
melaporkan bahwa banyak orang tua tampaknya tidak memiliki nilai itu.
Beberapa orang tua bahkan tampaknya membenci kenyataan bahwa
anak-anak mereka mencapai lebih dari yang mereka miliki. Beberapa
orang tua yang memiliki pengalaman sekolah yang negatif takut anak-
anak mereka juga akan gagal dan tidak yakin bagaimana membantu
mereka. Meskipun kurangnya keterlibatan orang tua, guru berulang kali
menekankan keinginan yang kuat bagi siswa untuk mengembangkan
kekuatan pribadi, seperti kepercayaan diri dan wawasan, rasa ingin tahu
tentang dunia, dan harga diri yang positif (Crowell, 2007).
Guru yang mendukung secara emosional berkontribusi pada
lingkungan sekolah yang mendukung dan peduli secara emosional, yang
telah dikaitkan dengan perkembangan siswa yang positif (Wang, 2009).
Pembangunan yang sehat adalah “adanya pilihan adaptif, kebahagiaan,
optimisme untuk masa depan, tujuan, dan hubungan yang bermakna”
(Theokas et al., 2005, hlm. 114). Siswa di sekolah yang mendukung dan
peduli secara emosional lebih mungkin untuk memenuhi harapan guru
dan mengembangkan keterampilan mengatasi yang ditingkatkan,
kompetensi sosial yang lebih baik, dan perasaan yang lebih positif

36
tentang kehidupan (Wang, 2009). Menekankan rasa misi dan panggilan
mereka untuk karir mengajar, Crowell (2007) menganggap para guru
dalam studinya sebagai profesional yang serius, berpengetahuan, dan
pengertian. Terlepas dari keterpisahan sekolah dari komunitas perkotaan
yang lebih besar, para pendidik memiliki banyak akal dalam
mendapatkan dukungan lokal dari organisasi untuk mengikat komunitas
ke sekolah. Kelompok masyarakat, termasuk gereja, organisasi
persaudaraan, bisnis lokal, dan pusat lingkungan, membantu dalam
pembelajaran, pertumbuhan, dan pengembangan pemuda di daerah
tersebut. Intervensi yang ditargetkan pada tingkat sistem mikro termasuk
peningkatan jumlah hubungan pendampingan dengan siswa secara
individu. Pada tingkat sistem yang lebih luas, koalisi lokal menyediakan
seperangkat alat musik untuk sekolah. Upaya kolaboratif meningkatkan
kemungkinan berdampak pada lingkungan terdekat dan memengaruhi
lebih dari satu bagian dari perjuangan sistemik yang kompleks.

3. Intervensi Konselor Sekolah di Lingkungan Sekolah


Konselor sekolah dilatih untuk mengidentifikasi intervensi yang
mungkin mencakup keluarga, teman sebaya, dan hubungan masyarakat
lainnya yang signifikan bagi kehidupan anak-anak. D. Brown (2003)
melaporkan bahwa “pengasuhan pribadi yang dibutuhkan anak-anak
terkadang hilang dari rumah siswa . . . sehingga [kebutuhan] perawatan
harus terpenuhi di sekolah” (hal. 279). Dengan penurunan jumlah
penyedia layanan kesehatan mental, konselor sekolah terkadang menjadi
satu-satunya profesional yang tersedia untuk memberikan layanan
tersebut bagi beberapa siswa dan keluarga, terutama di masyarakat
pedesaan (Abrams et al., 2005). Penelitian di bidang pendidikan
menunjukkan bahwa prestasi siswa akan meningkat jika upaya tambahan
dilakukan untuk memastikan bahwa pengelolaan kelas dikaitkan secara
responsif dengan budaya rumah siswa dari berbagai latar belakang (M.
R. Brown, 2007).

37
Konselor sekolah juga mahir dalam melatih guru dan siswa dalam
keterampilan seperti pemecahan masalah dan pengambilan keputusan,
kerja tim kelompok, dan komunikasi. Keterampilan ini juga membantu
guru dalam berkolaborasi dengan teman sebaya dan profesional lainnya
atas nama siswa mereka dan dalam meningkatkan kemampuan siswa
dalam kemiskinan untuk memenuhi tantangan situasi mereka.
Kompetensi pribadi guru dapat ditingkatkan di bidang ini dengan bekerja
sama dengan konselor di lingkungan sekolah. Konselor dapat bekerja
sama dengan guru dengan mengumpulkan dan menilai data siswa,
mengadvokasi dengan lembaga masyarakat untuk sumber daya, dan
membuat program untuk memberikan dukungan dan kesempatan belajar
bagi semua siswa (ASCA, 2005).
Keterampilan kolaborasi sangat penting bagi konselor sekolah
yang harus bekerja dalam berbagai sistem untuk mencapai keberhasilan
siswa. Model Nasional ASCA (ASCA, 2005) berusaha untuk mencapai
perubahan sistemik melalui kolaborasi, kepemimpinan, dan advokasi.
Konselor sekolah memiliki berbagai peran dalam intervensi, seperti
mediator, konselor individu, spesialis pencegahan, pemimpin kelompok,
advokat, dan konsultan. Mereka harus menentukan tindakan mereka
berdasarkan penilaian individu yang terlibat dan lingkungan mereka.
Memodelkan komunikasi positif merupakan kekuatan penting yang
dapat digunakan konselor sekolah dalam penilaian dan interpretasi
(Geltner & Leibforth, 2008). Contoh nyata dari kebutuhan akan
kolaborasi dan peran yang berbeda dari konselor sekolah ini adalah
Tommy dan keluarganya.
Tommy adalah anak kelas empat yang berulang kali dipulangkan
dari sekolah karena kutu rambut, yang bermasalah karena mencuri di
sekolah, dan yang juga terlibat dengan Layanan Perlindungan Anak
(CPS) karena dilaporkan diabaikan di rumah. Guru dan kepala sekolah
melaporkan riwayat masalah akademik dengan Tommy, meskipun orang
tuanya menolak untuk mengizinkannya diuji untuk layanan pendidikan

38
khusus. Hubungan antara sekolah dan orang tua tegang, saling
menyalahkan atas masalah akademik dan perilaku Tommy. Ketika
konselor sekolah baru mulai di sekolah, Tommy segera dirujuk untuk
konseling. Konselor sekolah mulai bekerja dengan Tommy secara
teratur, menyiapkan rencana perilaku positif dan sesi konseling reguler.
Meski sulit membangun hubungan dan kepercayaan dengan Tommy,
perlahan konselor sekolah mulai menjalin hubungan positif dengan
Tommy.
Dengan berbicara dengan gurunya dan melacak detail spesifik
tentang pencurian Tommy, konselor mengetahui bahwa satu-satunya hal
yang Tommy curi di sekolah adalah perlengkapan sekolah dan makanan.
Konselor sekolah terkejut karena tidak ada personel sekolah yang
menyadari hal ini. Tommy menceritakan kepada konselor bahwa dia
sering tidak memiliki perlengkapan sekolah atau cukup makan ketika dia
di rumah. Bekerja sama dengan guru Tommy dan pekerja sosial CPS-
nya, konselor sekolah meminta guru itu menyediakan laci di ruang
kelasnya dengan makanan bergizi dan perlengkapan sekolah. Tommy
diberitahu bahwa dia diam-diam dapat mengambil apa yang dia butuhkan
dari laci ini. Tommy tidak mencuri sama sekali setelah laci perbekalan
yang dibutuhkan ini disediakan.
Dalam sesi konseling individu, Tommy mengungkapkan sejarah
panjang kekerasan fisik dan psikologis, terutama oleh ayahnya. Sebagai
anak sulung, Tommy kerap berusaha melindungi ibunya dari kekerasan
dalam rumah tangga dan adik-adiknya dari amukan ayahnya. Meskipun
insiden dugaan pelecehan dilaporkan ke CPS dan rujukan dibuat untuk
konseling kesehatan mental dan keluarga di luar, keluarga tidak
menindaklanjuti dengan layanan konseling. Konselor sekolah terus
bertemu dengan Tommy secara teratur untuk memproses perasaannya,
mendiskusikan cara-cara untuk menjaga dirinya tetap aman di rumah,
dan membantunya mempelajari strategi untuk mengelola perilakunya
sendiri di sekolah.

39
Pada saat yang sama, konselor sekolah mulai berusaha menjalin
hubungan positif dengan orang tua Tommy. Setelah awalnya
memperkenalkan dirinya kepada mereka, dia mengirim pesan positif ke
rumah dan menelepon mereka untuk memberi tahu mereka saat Tommy
sedang bersenang-senang. Dia bekerja dengan pekerja sosial CPS dan
bisnis lokal untuk mendapatkan transportasi atau kartu bensin yang
disumbangkan untuk orang tuanya sehingga mereka dapat menghadiri
acara sekolah. Belakangan dia berhasil membuat ibu Tommy setuju
untuk menghadiri kelompok dukungan orang tua di pusat komunitas
lokal, meskipun ayahnya menolak untuk berpartisipasi. Ibunya
tampaknya belajar dan menggunakan keterampilan mengasuh anak baru
dari kelompok dan mendapat manfaat dari dukungan berbicara dengan
orang tua lain.
Ketika sekolah dimulai pada tahun berikutnya, konselor sekolah
kecewa mengetahui bahwa Tommy tidak lagi terdaftar di sekolah
tersebut. Ketika dia memeriksa pekerja sosial CPS, dia menemukan
bahwa keluarga tersebut telah pindah ke luar daerah tanpa memberi tahu
CPS. Sayangnya sekolah tidak pernah tahu apa yang terjadi dengan
Tommy setelah dia pindah, tetapi konselor sekolah berharap bahwa dia
telah membuat perubahan positif yang langgeng dalam kehidupan
Tommy dan keluarganya.
Agar sekolah membuat perbaikan yang berarti, kebutuhan saat ini
yang mempengaruhi siswa, sekolah, dan lingkungan masyarakat harus
ditangani (Holcomb-McCoy, 2005). Ringeisen dkk. (2003) menunjukkan
bahwa sistem pendidikan harus menjadikan prestasi siswa, salah satu dari
empat pilar UU No Child Left Behind, sebagai prioritas. Namun, distrik
sekolah harus mengalokasikan sumber daya yang terbatas untuk
melayani kebutuhan banyak anak di banyak sekolah. Selain itu, personel
sekolah perlu responsif secara budaya untuk mendidik pemuda yang
beragam (Locke, 2003).

40
Menciptakan lingkungan yang membantu proses belajar hanyalah
salah satu tugas konselor sekolah. Wang (2009) menyatakan bahwa
dengan mencegah perilaku dan kesulitan sosial, profesional sekolah
dapat meningkatkan iklim sekolah. Akibatnya, iklim sekolah yang sehat
berorientasi pada tujuan, dengan nilai-nilai umum yang ditanamkan di
seluruh sistem, yang pada akhirnya meningkatkan prestasi siswa.
Intervensi berbasis sekolah harus didasarkan pada penilaian kebutuhan
sumber daya dunia nyata dalam kaitannya dengan ketersediaan sumber
daya. Terlibat dalam penilaian ekologi memungkinkan konselor sekolah
untuk mendukung siswa dengan intervensi untuk perilaku bermasalah.
Sebagai contoh, perhatikan kasus Shyla, seorang siswa sekolah
menengah yang mengkhawatirkan banyak hal baik karena faktor pribadi
(dia yakin dia mungkin hamil) dan faktor lingkungan (dukungan keluarga
yang buruk). Shyla berbicara kembali ke gurunya setelah beberapa
permintaan kerjasama dan kemudian dikeluarkan dari kelas oleh petugas
sumber daya sekolah dan dikirim ke kantor kepala sekolah. Ibu Shyla
yang menganggur dipanggil ke sekolah, jadi dia sekarang juga
menghadapi murka ibunya. Kepala sekolah memanggil konselor sekolah
dan membentuk kolaborasi dengan pekerja sosial sekolah, yang mungkin
dapat membantu menyediakan sumber daya untuk keluarga, dan
dukungan di sekolah disediakan oleh konselor untuk masalah pribadi dan
perilaku sekolah Shyla. Meskipun terlalu disederhanakan, skenario ini
tidak jarang di sekolah menengah dan menunjukkan nilai evaluasi dan
intervensi kolaboratif dalam lingkungan sekolah. Ini adalah kebutuhan
bagi profesional sekolah untuk mempertimbangkan intervensi baik di
tingkat individu dan sekolah (Abrams et al., 2005; Wang, 2009

D. Implementasi Konseling Ekologi untuk Anak Berkebutuhan Khusus


Jamie adalah seorang gadis muda dengan disabilitas perkembangan
yang bermasalah dengan otoritas sekolah karena perilakunya yang
mengganggu di bus sekolah. Jamie sama sekali tidak “cocok” di bus. Personil

41
sekolah segera berasumsi bahwa kecacatan Jamie (P) yang harus disalahkan
dan bahwa dia tidak memiliki kapasitas untuk mengubah perilakunya cukup
cepat untuk memastikan keselamatan pengendara lain dan dirinya sendiri
(interaksi P × E, mengatasi). Personil sekolah siap meminta Jamie dan orang
tuanya yang putus asa mencari transportasi lain.
Untungnya, orang tuanya beralih ke agensi yang memberikan dukungan
perilaku kepada orang-orang seperti Jamie. Seorang anggota staf yang
berpengalaman naik bus yang sama dengan Jamie selama beberapa hari dan
berbicara dengan orang tua Jamie. Dia belajar bahwa naik bus sangat penting
bagi Jamie (berarti membuat) dan bahwa Jamie mampu mengerahkan
beberapa kendali atas perilakunya dengan bujukan yang tepat (kekuatan,
mengatasi). Orang tuanya bersedia memberlakukan segala jenis rencana
transportasi yang diperlukan untuk kesejahteraan (sumber daya) Jamie tetapi
berharap Jamie dapat terus naik bus karena itu sangat penting baginya (nilai-
nilai, keterampilan mengasuh anak sebagai sumber daya). Mereka juga
percaya bahwa Jamie mampu berubah dan bahwa agensinya bisa sangat
membantu dalam mencapai solusi (pembuatan makna).
Anggota staf dengan cepat melihat bahwa perilaku buruk Jamie
dipengaruhi oleh prosedur disiplin yang longgar di bus, dorongan dari anak-
anak lain untuk berperilaku tidak baik, dan kesepian Jamie karena anak-anak
lain tidak berteman dengannya (konteks, interaksi P × E, masalah keragaman
yang melibatkan stigmatisasi). Anggota staf juga tahu dari pengalaman bahwa
anak-anak seperti Jamie menghadapi harapan negatif setiap hari mengenai
kemampuan mereka untuk menyesuaikan perilaku mereka dan menyesuaikan
diri dalam situasi sekolah yang khas (mengatasi, interaksi P × E, yang berarti
membuat orang lain tentang kecacatan). Serangkaian intervensi multifaset
menghilangkan masalah: disiplin yang lebih baik di bus untuk menghilangkan
contoh buruk dan dorongan untuk berperilaku tidak baik (konteks, interaksi
P × E), diskusi antara orang tua Jamie dan personel sekolah tentang
bagaimana saling mendukung secara lebih efektif dalam membentuk perilaku
Jamie (konteks, interaksi P × E, sumber daya), dan permainan cerdas yang

42
menyita perhatian Jamie dan memfasilitasi interaksi positif dengan anak-anak
lain di dalam bus (faktor orang, peningkatan koping, interaksi P × E). Personil
sekolah juga belajar sesuatu tentang kebutuhan dan potensi anak seperti Jamie
(artinya membuat dalam bentuk sikap, sumber daya sekolah). Jamie berhasil
beradaptasi dengan situasi bus dan mengendarainya selama tahun-tahun
sekolahnya.
Jika dipetakan dalam kerangka masalah yang dikemukakan oleh Wilson
(2010), maka masalah yang dihadapi oleh Jamie adalah sebagai berikut:
Lokus Masalah P PxE E
Sosial Mengalami Kurang mampu Kehilangan
disabilitas menyesuaikan teman dan
perkembangan diri merasa kesepian
sehingga
mengalami
perilaku yang
kurang sesuai

Saat Jamie tumbuh, dia mengalami saat-saat ketika dia tidak patuh
dengan rutinitas keluarga yang sudah dikenalnya dan masa-masa menakutkan
ketika dia berulang kali memukul orang tua atau pengasuhnya. Agensi yang
sama yang membantu Jamie naik bus turun tangan untuk membantu sekali
lagi. Anggota staf tiba di rumah Jamie sebelum jam 6 pagi sehingga mereka
dapat diam-diam mengamati kebiasaan dan suasana pagi Jamie, dan mereka
kembali sepulang sekolah untuk pengamatan lebih lanjut.
Personil agensi ini memberi keluarga Jamie bantuan yang sangat
berdedikasi dan ahli. Mereka membantu keluarga membangun rutinitas
perawatan harian yang lebih efektif, dan untuk membantu mengelola episode
kekerasan Jamie, mereka memberikan beberapa strategi untuk
mempertahankan batasan yang aman dan membantu Jamie mendapatkan
kembali kendali diri. Intervensi mereka bersifat ekologis dalam banyak hal,
berdasarkan pengamatan cermat terhadap perilaku Jamie di lingkungannya.

43
Konsisten dengan rasa hormat mereka terhadap Jamie sebagai individu,
mereka mencari strategi yang akan berarti baginya
Contoh ini mengilustrasikan bagaimana konselor dapat menggunakan
prinsip-prinsip ekologi untuk memperkaya pekerjaan mereka dengan menarik
perhatian pada aspek kontekstual, interaksional, dan makna yang terkait
dengan masalah yang disajikan klien. Konselor tidak perlu menanyakan
setiap pertanyaan yang tercantum dalam Tabel 2.5 pada makalah ini;
kemungkinan besar konselor yang berpengalaman sudah menanyakan
sebagian besar pertanyaan ini di awal proses konseling. Namun, mungkin
juga beberapa dari pertanyaan ini tidak begitu rutin, dan konselor mungkin
menemukan bahwa menanyakannya dapat menghasilkan informasi yang
menarik dan berguna untuk dijelajahi. Misalnya, apa sifat ceruk ekologis
klien, dan seberapa memenuhi parameter kehidupan sehari-hari ini?
Bagaimana klien memandang konteks fisik kehidupannya? Nilai-nilai
kehidupan penting apa yang dia coba jalani, dan nilai-nilai lain apa yang
kurang mendapat perhatian dalam tantangan pragmatis untuk
mempertahankan kehidupan sehari-hari? Bagi banyak konselor saat ini,
kegiatan yang diperlukan pada tahap awal proses konseling adalah
mengembangkan diagnosis formal. Diagnosis dapat sesuai dengan analisis
ekologi, seperti yang akan kita bahas selanjutnya. Konselor mungkin merasa
berguna untuk membuat daftar pertanyaan yang sering belum dijelajahi dan
bertanya pada diri sendiri apakah kelalaian ini mungkin berdampak pada
kelengkapan identifikasi masalah mereka, apresiasi empatik mereka terhadap
tantangan yang dihadapi klien mereka, hubungan mereka dalam hubungan
konseling. Ide-ide mereka untuk intervensi, dan akhirnya keberhasilan
konseling dalam membantu klien membuat perubahan hidup.
Konselor yang berpengalaman tahu bahwa jumlah masalah yang
dieksplorasi dalam konseling tidaklah penting; yang penting adalah mampu
fokus pada masalah yang berarti bagi klien dan yang dapat diatasi melalui
strategi yang layak. Untuk beberapa klien, sekadar meminta orang yang
peduli mengungkapkan pemahaman empatik tentang situasi mereka dapat

44
menyembuhkan; klien lain membutuhkan ide-ide spesifik tentang bagaimana
mengubah dinamika pribadi, kontekstual, bermakna, dan/atau interaksional
yang relevan.

45
BAB IV
SIMPULAN

Manusia dapat memilih untuk mencabut dan menanam kembali diri mereka
sendiri di lingkungan yang sama asingnya. Kemampuan untuk melihat dan
memahami susunan, hubungan, konteks, dan potensi seseorang inilah yang
membuat ekologi manusia secara kualitatif berbeda dari ekologi makhluk hidup
lainnya. Kompleksitas ekologi manusia inilah yang membuat konseling bermanfaat
bagi pertumbuhan manusia seperti halnya pupuk bagi tanaman. Konseling ekologi
didefinisikan sebagai pemberian bantuan kontekstual yang bergantung pada makna
yang diperoleh klien dari interaksi lingkungan mereka, menghasilkan kesesuaian
ekologi yang lebih baik.
Konseling ekologis bertujuan untuk membantu individu mengembangkan
kehidupan yang memuaskan, produktif, dan bermakna melalui pemahaman
mengenai bagaimana kehidupannya berakar dalam konteks yang beragam, interaksi
dengan dunia sekitar konseli, dan proses pemberian makna terhadap kehidupannya.
Konsep dan tujuan ini membawa implikasi bagi konselor dalam menjalankan
praktik profesionalnya dalam membantu melayani individu. Maka dari itu, dengan
menggunakan pendekatan konseling ekologi mampu menyelesaikan permasalahan-
permasalahan yang dihadapi oleh anak-anak berkebutuhan khusus dan keluarga
dengan merancang lingkungan agar mampu mengembangkan kemampuan anak dan
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh keluarga dan anak berkebutuhan
khusus sehingga anak berkebutuhan khusus dapat mencapai perkembangan yang
optimal dan sesuai harapan dari lingkungannya.

46
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Moh. Khoerul & Ruly Ningsih. (2019). Faith-Base Communities (FBCs) in
Ecological Counseling (EC) to Promote Well-Being (WB) in Millenial Era,
Counsellia: Jurnal Bimbingan dan Konseling, 9(1), 2019: 1-13
Bronfenbrenner, U. (1979). The ecology of human development: Experiments by
nature and design. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Cook, E. P. (2012). Understanding People in Context, the Ecological Perspective
in Counseling. ASCA.
Conyne, R. K., & Cook, E. P. (Eds.). (2004). Ecological counseling: An innovative
approach to conceptualizing person–environment interaction. Alexandria,
VA: American Counseling Association.
Lewin, K. (1935). A dynamic theory of personality. New York, NY: McGraw-Hill.
Lewis, J. a., Lewis, M. D., Daniels, J. a., & D’Andrea, M. J. (2010). Community
Counseling: A Multicultural-Social Justice Perspective, 360. Retrieved from
http://books.google.com/books?i d=yI67jM3BP_IC&pgis=1
Muhajidah. (2015). Implementasi Teori Ekologi Bronfenbrenner dalam
Membangun Pendidikan Karakter yang Berkualitas. Lentera, Vol 17, 174.175
Rahman, F. (2006). Konseling Tiga Dimensi; Ide dan Praktik Ekologi
Perkembangan dalam Memahami Problem Klien dan Komunitas, Seminar
Bimbingan dan Konseling di Yogyakarta, 15 September 2006
Rizki, Fani Aulia. (2013). Peran Sekolah Luar Biasa Pelita Hati dalam Menangani
Anak Tunagrahita di Kota Pekanbaru. JOM FISIP: 5(1):1-13
Sarwono, Sarlito Wirawan. (1992). Psikologi Lingkungan. Jakarta: Grasindo
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Wells, I. E. (2010). Psychological Well-Being. New York: Nova Science
Publishers, Inc

47

Anda mungkin juga menyukai