Anda di halaman 1dari 6

BAB

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Pengamatan
1. Uji FFA
Perlakuan Pengamatan
Minyak goreng dipipet ke dalam V minyak goreng = 15 ml.
erlenmayer
Minyak dilarutkan dengan etanol dan V etanol = 50 ml
ditambahkan larutan indikator V indikator phenolphthalein = 7
phenolphthalein. tetes.
Larutan dititrasi dengan KOH sampai [KOH] = 0,1 N
terbentuk warna merah muda yang
betahan selama 30 detik.
Volume larutan KOH yang V1 KOH = 88 ml
diperlukan dicatat. V2 KOH = 37,6 ml
Asam lemak bebas dinyatakan %FFA = 14,077667%
sebagai %FFA.

2. Proses Esterifikasi
Perlakuan Pengamatan
Minyak goreng dipanaskan pada suhu V minyak goreng = 125 ml
60-65 °C. T = 61°C
Larutan ditambahkan dengan metanol V CH3OH = 2,8 ml
dan asam sulfat. V H2SO4 = 2 tetes
Pengadukan dilakukan dengan t = 60 menit
magnetic stirrer.
Larutan didinginkan sampai terbentuk Lapisan tidak terbentuk
2 lapisan dan diukur kembali %FFA.
B. Pembahasan

Ester merupakan senyawa berbau harum dan sering digunakan dalam pemberi
aroma pada makanan maupun parfum. Ester dapat disintesis melalui reaksi esterifikasi,
antara lain esterifikasi Fischer, esterifikasi dengan asil halida, dan esterifikasi
menggunakan asam karboksilat dengan diena terkonjugasi.

Esterifikasi merupakan reaksi antara asam karboksilat dengan senyawa alkohol


menggunakan katalis asam yang membentuk ester (Fessenden & Fessenden, 1982).
Proses esterifikasi dilakukan jika %FFA hasil titrasi > 2%. Titrasi yang dilakukan
berdasarkan pada penambahan volume tertentu larutan standar (KOH) yang diperlukan
untuk bereaksi secara sempurna dengan larutan yang belum diketahui konsentrasinya
(minyak goreng).

Mekanisme reaksi esterifikasi dapat dijelaskan melalui beberapa tahap reaksi, yaitu
pembentukan senyawa proton pada asam karboksilat yang kemudian alkohol nukleufil
menyerang karbon positif dan protonasi terhadap salah satu gugus hidroksil yang diikuti
dengan pelepasan molekul air menghasilkan ester (Fessenden, 2010). Menurut Hart
(1983), faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi esterifikasi adalah suhu reaksi, waktu
reaksi, perbandingan pereaksi, pengadukan dan katalisator.

Uji FFA

Free Fatty Acid (FFA) atau biasa disebut Asam Lemak Bebas (ALB) merupakan
salah satu parameter penting dalam menetukan kualitas minyak. FFA adalah banyaknya
volume KOH 0,1 N yang dibutuhkan untuk menetralkan 28 gram minyak atau lemak.
Semakin tinggi FFA maka tingkat kerusakan minyak semakin tinggi (Ketaren, 1986).
Langkah kerja yang dilakukan yaitu, memipit minyak goreng sebanyak 15 dan
dimasukkan ke dalam erlem mayer. Minyak merupakan lipida sebagai trigliserida
(triestergliserol) yang berasal dari gliserol dan asam lemak berantai C panjang berwujud
padat pada suhu kamar. Kemudian dilarutkan dengan etanol 50 ml dan ditambahkan 7
tetes indikator phenolphthalein. Penggunaan pelarut etanol yang polar ini dimaksudkan
agar asam lemak bebas yang bersifat non polar dan larut dalam minyak dapat larut pada
fase yang sama dengan KOH. Larutan KOH ini bersifat polar, sehingga pada saat titrasi
ALB dengan KOH dapat berinteraksi, karena gugus OH etanol bersifat hidrofil (suka air)
dan rantai karbon CH3CH2 bersifat hidrofob. Pengguanaan indikator phenolphthalein
dikarenakan memiliki rentang pH yang cenderung bersifat basa dan tidak berwarna
sehingga perubahan warna mudah diamati (Mulyono, 2005; Ketaren, 1986).
Larutan yang telah dicampur selanjutnya dititrasi dengan KOH 0,1 M sampai
terbentuk warna merah muda yang bertahan selama 30 detik dan dilakukan duplo agar
volume KOH yang diperoleh lebih akurat. Penggunaan KOH untuk titrasi dikarenakan
sifat dari KOH yaitu basa kuat. Terbentuknya warna merah muda setelah dititrasi dengan
sejumlah KOH menunjukkan KOH telah bereaksi sepurna dengan asam lemak bebas
karena pada kenaikan pH 8,3-9,8 indikator phenolphthalein yang tidak berwarna akan
berubah menjadi merah muda (Mulyono, 2005). Menurut Waser (1967), proses titrasi
sudah tidak layak digunakan untuk menentukan nilai Ka dan kadar suatu larutan karena
kurva titrasi dalam media berair tidak bisa dibedakan satu sama lain.
Volume KOH yang diperlukan saat titrasi dicatat dan dilakukan pengukuran asam
lemak bebas dalam %FFA. Pada percobaan ini dihasilkan volume KOH 88 ml dan 37,6
ml dengan %FFA sebesar 14,077667%. Menurut Ketaren (1986), pada proses pembuatan
biodiesel, kandungan FFA dari Crude Jatropha Curcas Seed Oil (CJCO) harus pada
kisaran kurang dari 1%. Semakin tinggi %FFA maka tingkat kerusakan minyak akibat
hidrolisa semakin tinggi sehingga kualitas minyak menurun. Jika FFA > 5% maka
dilakukan proses esterifikasi dan transesterifikasi. Nilai FFA yang tinggi dalam minyak
jika dikonsumsi dapat menimbulkan rasa gatal ditenggorokan.

Gambar 1. Uji FFA Gambar 2. Reaksi Minyak dengan


Metanol Menggunakan Katalis Basa
(Fessenden & Fessenden 1982)

Berdasarkan reaksi pada Gambar 2 terjadi reaksi bolak balik, dimana salah satu
reaktan (mentol) harus dibuat berlebih agar diperoleh hasil yang optimal. Metanol yang
berlebih dapat meningkatkan hasil konversi metil ester secara optimal. Gugus alkoksida
(:OR) berperan sebagai nukleufil pada reaksi tersebut. Reaksi pembentukan ester dalam
kondisi basa adalah reaksi substitusi nukleufil melalui pembentukan intermediate
tetrahedral (Fessenden, 2010).

Proses Esterifikasi

Proses esterifikasi adalah salah satu metode yang banyak digunakan untuk
memproduksi produk turunan gliserol. Reaksi ini menghasilkan berbagai macam ester
yang memiliki banyak kegunaan dan bernilai tinggi. Reaksi esterifikasi merupakan reaksi
antara asam karboksilat dengan senyawa alkohol yang membentuk ester menggunakan
asam sebagai katalis dan bersifat reversible (Fessenden & Fessenden, 1982).
Metode refluks merupakan ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,
selama waktu tertentu dengan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dan adanya
pendinginan balik. Prinsip dari metode refluks adalah pelarut yang digunakan akan
menguap pada suhu tinggi dan kemudian didinginkan dengan kondensor. Pelarut yang
tadinya dalam bentuk uap akan mengembun pada kondensor dan turun lagi kedalam
wadah reaksi sehingga pelarut akan tetap ada selama reaksi berlangsung (Susanty &
Bachimad, 2016).
Langkah kerja yang dilakukan yaitu, memanaskan minyak goreng sebanyak 125 ml
pada suhu 61°C. Pemanasan dilakukan untuk menghilangkan kadar air tahan yang
terkandung dalam minyak goreng (Ningtyas, dkk., 2013). Kemudian ditambahkan
metanol 2,8 ml dan 2 tetes asam sulfat untuk setiap gram asam lemak bebas dalam
minyak. Asam sulfat dan metanol dicampur terlebih dahulu kemudian menambahkannya
secara perlahan kedalam minyak. Hal ini dilakukan agar asam sulfat tidak bereaksi
langsung dengan asam lemak sehingga asam lemak tidak rusak (Ningtyas, dkk., 2013).
Berdasarkan penelitian Ningtyas, dkk. (2013) konversi metil ester (biodiesel) dari
minyak yang mengandung asam lemak bebas tinggi harus dilakukan dengan reaksi
terkatalis asam/ H2SO4 (esterifikasi). Reaksi esterifikasi bertujuan untuk mengkonversi
ALB menjadi ester sampai jumlah asam lemak dibawah standar yang selanjutnya
dilakukan dengan reaksi transesterifikasi untuk mengkonversi trigliserida menjadi metil
ester dengan katalis basa tanpa terbentuk sabun. Semakin kecil kadar ALB, maka sabun
yang terbentuk (reaksi saponifikasi) semakin kecil sedangkan metil ester semakin
banyak.
Faktor penting yang dapat mempengaruhi reaksi esterifikasi adalah penggunaan
metanol yang berlebih agar air yang terbentuk dari reaksi yang dapat diserap oleh
metanol sehingga tidak menghalangi jalannya reaksi pengubahan ALB menjadi metil
ester. Dimungkinkan terjadi kompetisi dari metanol dalam reaksi esterifikasi sebagai
reaktan maupun sebagai pelarut. Metanol juga berperan sebagai pelarut protik yang dapat
menyeimbangi anion yang terbentuk dari katalis setelah melepaskan proton, sehinga
metanol yang terikat akan berkurang dari seharusnya dan mengakibatkan reaksi
esterifikasi menjadi tidak optimal dan ALB yang ada dalam minyak goreng tidak
teresterkan (Ningtyas, dkk., 2013).
Reaksi esterifikasi menggunakan katalis H2SO4 dapat mengoptimalkan produksi
metil ester karena adanya proton (H+ ) yang dimiliki H2SO4 serta lebih mudah
melepaskan proton karena terionisasi sempurna (α=1). Keunggulan dari penggunaan
katalis asam dibandingkan dengan katalis basa adalah tetap efektif selama reaksi
berlangsung dalam minyak yang masih memiliki kandungan ALB, tetapi memiliki
kekurangan pada saat pemisahan produk hasil reaksi (Ningtyas, dkk. 2013).
Minyak yang telah dicampurkan kemudian diaduk menggunakan magnetic stirrer
selama 1 jam. Penggunaan magnetic stirrer adalah untuk mempertahankan kestabilan
sugu dan pengadukan pada sistem refluks. Sistem refluks juga berfungsi untuk mengatasi
kehilangan pereaksi metanol karena titik didih metanol adalah 65°C. Bola-bola
pendingin yang yang terdapat pada sistem refluks harus senantiasa dalam kondisi “tidak
panas”, sehingga dalam mekanisme “air masuk dan keluar sistem” dari ember yang
berisikan air harus ditambah es batu, serta untuk penghematan air air digunakan alat
bantu pompa. Sistem ini sangat berpengaruh dengan produk yang terbentuk, sehingga
mengakibatkan tidak samanya hasil yang diperoleh dari tiap tahap reaksi esterifikasi
(Ningtyas, dkk., 2013).
Campuran minyak yang telah diaduk kemudian didinginkan sampai terbentuk 2
lapisan, dimana lapisan bawah adalah metanol-air-asam sulfat dan %FFA diukur
kembali. Hasil yang diperoleh menunjukkan reaksi negatif dimana tidak terbentuk 2
lapisan sehingga kadar FFA minyak goreng tidak dapat diketahui. Menurut Hart (1983),
faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi esterifikasi adalah suhu reaksi, waktu reaksi dan
pengadukan. Berdasarkan penelitian Ningtyas, dkk. (2013) proses esterifikasi seharusnya
dilakukan pengadukan selama 2 jam pada suhu 70°C dan didinginkan selama 24 jam
untuk mendapatkan 2 lapisan, dimana lapisan atas berupa metil ester dan lapisan bawah
berupa gliserol.
Gambar 3. Proses Esterifikasi Gambar 4. Mekanisme Reaksi
Esterifikasi (Fessenden & Fessenden
1982).

Berdasarkan reaksi pada Gambar 4 mekanisme reaksi esterifikasi dapat dijelaskan


melalui beberapa tahap, yaitu pembentukan senyawa proton pada asam karboksilat. Pada
proses ini terjadi perpindahan proton dari katalis asam atom oksigen pada gugus karbonil.
Alkohol nukleufil menyerang karbon positif, dimana atom karbon karbonil kemudian
diserang oleh atom oksigen dari alkohol, yang bersifat nukleufilik sehingga terbentuk ion
oksonium. Pada proses ini terjadi pelepasan proton (deprotonasi) dari gugus hidroksil
milik alkohol, menghasilkan senyawa kompleks teraktivasi. Kemudian terjadi protonasi
terhadap salah satu gugus hidroksil yang diikuti pelepasan molekul air sehingga
menghasilkan air (Fessenden, 2010).

Anda mungkin juga menyukai