Dosen :
Oleh Kelompok 6:
Ridwan 11180430000044
Firmansyah 11180430000087
1443 H/2021 M
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.
Makalah ini berjudul “FATWA DI BIDANG EKONOMI, KEUANGAN BAN BISNIS
SYARIAH” bertujuan untuk memenuhi tugas pada matakuliah Meode Analisis Fatwa.
Penulis berharap makalah ini dapat berguna untuk menambah wawasan serta
pengetahuan. Penulis juga menyadari sepenuhnya banyak kekurangan didalam makalah
ini jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, Penulis berharap adanya kritik saran
membangun dari pembaca khususnya dari dosen mata kuliah guna menyempurnakan
makalah yang akan kami buat di masa mendatang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.
Pemakalah
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..............................................................................................4
B. Rumusan Masalah.........................................................................................5
C. Tujuan Penulisan...........................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN
A. Karakteristik dan Sifat Fatwa......................................................................6
B. Fatwa Tentang Ijarah Muntahiyah Bi Al-Tamlik......................................9
C. Analisis Fatwa DSN-MUI No27 Tahun 2002 Tentang Ijarah Muntahiyah Bi
Al- Tamlik......................................................................................................42
D. Urgensi Fatwa Dalam Kontek Regulasi.......................................................45
E. Urgensi Fatwa Dalam Konteks Masyarakat...............................................52
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan....................................................................................................54
B. Saran..............................................................................................................55
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................56
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehadiran perekonomian syariah di Indonesia sejak tahun 1992
menunjukkan eksistensi yang semakin kuat dan progress yang terus meningkat
hingga saat ini. Diawali dengan pelaksanaan perbankan syariah melalui berdirinya
Bank Muamalat Indonesia sebagai Bank Umum Syariah pertama di Indonesia,
kegiatan ekonomi syariahmerambah ke sektor lainnya, yaitu asuransi, pasar modal,
reksadana, pembiayaan, pegadaian, dan bidang bisnis lainnya. Pada awal
pelaksanaanya, pelaku kegiatan ekonomi syariah menempatkan posisi pengawas
syariah di dalam perusahaanya dengan tuuan untuk mengawasi kegiatan
operasionalnya agar sesuai dengan syariah. Keberadaan pengawas ini didasarkan
pada ketenuan dalam PP No. 72 Tahun 1992 dan SEBI No. 25/4/BPPP.
Kedudukan pengawas syariah ini kemudian diperkuat melalui pelaksanaan
Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Tahun 1999. Melaui
Munas MUI dibentuk Dewan Syariah Nasional (DSN) sebagai bagian dari tubuh
MUI yang berwenang, diantaranya untuk membentuk fatwa-fatwa tentang
ekonomi syariah dan memberikan rekomendasi anggota-anggota dewan pengawas
syariah (DPS) yang akan ditempatkan pada perusahaan-perusahaan atau lembaga-
lembaga keuangan syariah (LKS) yang begerak di bidang ekonomi syariah.
Sejak berdiri tahun 1999, DSN, telah mengeluarkan lebih dari 80 fatwa
tentang ekonomi syariah, antara lain fatwa tentang giro, tabungan, murabahah,
jual beli saham, istisna’, mudharabah, musyarakah, ijarah, wakalah, kafalah,
hawalah, uang muka dalam murabahah, sistem distribusi hasil usaha dalam
lembaga keuang syariah, diskon dalam murabahah, sanksi atas nasabah mampu
yang menunda-nunda pembayaran, pencadangan penghapusan aktiva produktif
dalam Lembaga Keuangan Syariah, al-qaradh, investasi reksadana syariah,
pedoman umum asuransi syariah, jual beli istisna’ pararel, potongan peluanasan
dalam murabahah, safe deposit box, raha (gadai), rahn emas, ijarah muntahiyah
bit tamlik, jual beli mata uang, pembiayaan pengurusan haji di Lembaga Keuangan
Syariah, pembiayaan rekening koran syariah, pengalihan hutang, obligasi syariah,
obligasi syariah mudharabah, Letter of Credit (LC), impor syariah,LC unuk
ekspor, sertifikat wasiah bank indonesia, pasar uang antar bank syariah, sertifikat
investasi mudharabah (IMA), asuransi haji, pedoman umum penerapan prinsip
syariah di pasar modal, obligasi syariah ijarah, kartu kredit, dan sebagainya. 1
B. Rumusan Masalah
1. Apa karakteristik dan sifat fatwa di bidang ekonomi, keuangan dan bisnis
syariah?
2. Bagaimana contoh fatwa tentang ijarah muntahiyah bi al-tamlik?
3. Bagaimana Analisis fatwa nya?
4. Bagaimana kedudukan dan urgensi fatwa dalam konteks regulasi?
5. Apa urgensi fatwa dalam konteks masyarakat?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui karakteristik dan sifat fatwa di bidang ekonomi,
keuangan dan bisnis syariah
2. Untuk mengetahui fatwa tentang ijarah muntahiyah bi al-tamlik
3. Untuk mengetahui analisis fatwanya
4. Untuk mengetahui kedudukan dan urgensi fatwa dalam konteks regulasi
5. Untuk mengetahui urgensi fatwa dalam konteks masyarakat
1
Ahyar A. Gayo, Laporan akhir penelitian hukum tentang kedudukan fatwa mui dalam upaya mendorong
pelaksanaan ekonomi syariah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sifat dan karakteristik fatwa
2
Soleh Hasan Wahid, Dinamika Fatwa dari Klasik ke Kontemporer (Tinjauan Karakteristik
Fatwa Ekonomi Syariah Dewan Syariah Nasional Indonesia (DSN-MUI),(IAIN
Ponorogo:2019),Jrnl.Yudisia, Vol.10, No.2, Hlm.193.
3
Lihat (https://dsnmui.or.id/kategori/fatwa/)
b) Pemohon fatwa DSN-MUI di dominasi oleh Lembaga Keuangan Syariah,
Lembaga Pemerintah dan Asosiasi keuangan tertentu, selain itu tidak
semua fatwa DSN-MUI berasal dari mustafti;
c) DSN-MUI merupakan lembaga fatwa yang mendapat otoritas langsung
dari peraturan perundang-undangan dan terbatas pada fatwa di bidang
ekonomi syariah, dari sisi istinbaṭ DSN-MUI merupakan lembaga fatwa
yang lebih menekankan pada kemaslahatan umum;
d) Format penulisan putusan fatwa DSN-MUI merupakan format penulisan
yang hampir mendekati pola penulisan peraturan perundang-undangan.
4
Soleh Hasan Wahid, Dinamika Fatwa dari Klasik ke Kontemporer (Tinjauan Karakteristik
Fatwa Ekonomi Syariah Dewan Syariah Nasional Indonesia (DSN-MUI),(IAIN
Ponorogo:2019),Jrnl.Yudisia, Vol.10, No.2
meningkatkan idedan kreativitas-kreativitas baru mengubah status quo
dibanding hanya bertindak pasif dalam menghadapi kondisi saat ini.
ِ ِ
ْ َم ِن
ْ ُاستَْأ َجَر َأجْيًرا َف ْلُي ْعل ْمه
.َُأجَره
"Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah
upahnya"
ِِ ِئ
َأح َّل َحَر ًام ا ُ َّني ِإال
َ ص ْل ًحا َح َّر َم َحالَالً َْأو َ الص ْل ُح َج ا ٌز َبنْي َ الْ ُم ْس لم
ُّ
ِ ِإ ِ
َ َوالْ ُم ْسل ُمو َن َعلَى ُشُروط ِه ْم الَّ َشْرطًا َحَّر َم َحالَالً َْأو
.َأح َّل َحَر ًاما
"Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin
kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat
dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram."
6. Kaidah Fiqh:
MEMUTUSKAN
Menetapka : FATWA TENTANG AL-IJARAH AL-MUNTAHIYAH BI AL-
n TAMLIK
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 14 Muharram 1423 H
6
28 Maret 2002 M
DEWAN SYARI'AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua
K.H. MA Sahal Mahfudh
Sekretaris
Prof. Dr. H. M Din Syamsuddin
C. Analisis Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 27 Tahun 2002
Tentang Al-Ijarah Al-Muntahiyah Bi Al-Tamlik
1. Latar Belakang Lahirnya Fatwa
a. Pertama, Dalam fiqh mu’amalah terdapat sebuah istilah
yang dikenal dengan nama wa’ad. Wa’ad adalah perjanjian
yang dilakukan oleh satu pihak dengan pihak lainnya yang
mana sifat dari perjanjian tersebut adalah mengikat bagi
satu pihak saja yakni pihak yang memberi janji
berkewajiban untuk memenuhi atau melaksanakan
kewajibannya. Sedangkan pihak yang diberi janji tidak
memikul kewajiban apapun.5
b. Kedua, Wa’ad merupakan salah satu instrument yang
digunakan dalam akad-akad syar’I pada setiap Lembaga
Keuangan Syariah (LKS) baik perbankan ataupun non
perbankan dalam memenuhi kebutuhan konsumen.
Selanjutnya wa’ad juga termasuk kedalam unsur beberapa
akad, terutama akad-akad yang berkaitan dengan multi
kontrak (akad murakkab). Salah satu akad yang
menggunakan sistem hybrid contract adalah Akad Ijarah
Muntahiyah Bi Al-Tamlik.6 Akad murakkab adalah
himpunan beberapa akad kebendaan yang dikandung oleh
sebuah akad. Multi akad atau hybrid contract merupakan
terobosan terbaru dalam transaksi mu’amalah modern.7
c. Ketiga, praktik sewa-beli, yaitu perjanjian sewa-menyewa
yang disertai dengan pemindahan hak milik atas benda
5
www.kompasiana.com, diakses pada 23 November 2021.
6
Mujhid Budi Luhur, “Analisis Hukum Wa’ad IMBT (Ijarah /muntahiyah Bittamlik)
Dalam Fatwa DSN MUI (Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia) Berdasarkan
Kaidah Fiqhiyyah Irtikaabu Akhaffi al-Dhararain”, Tesis, (Jakarta: Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta), h. 1
7
Abdul Wahab, dkk, ”Identifikasi Konsep Al-‘Uqud Al-Murakkabah Dan Al-‘Uqud Al-
Muta’addidah Dalam Mu’amalah Kontemporer”, Jurnal Islamadina Volume 21 Nomor 1 Maret
2020, (Banjarmasin: Universitas Islam Kalimantan MAB, 2020), h. 4.
42
yang disewa kepad penyewa pada saat berakhirnya masa
sewa.
d. Keempat, oleh karena itu dalam menjalankan kegiatan
keuangan, Lembaga Keuangan Syariah merujuk pada
Fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syari’ah
Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Dewan
Syariah Nasional merupakan komisi fatwa dalam bidang
ekonomi yang bertugas membidangi fatwa dalam persoalan
ekonomi, dan berfungsi sebagai rujukan hukum dalam hal
kegiatan keuangan syari’ah baik dalam perbankan maupun
non perbankan. Dalam hal ini DSN-MUI berperan dalam
memberikan pedoman dan panduan dalam kegiatan
ekonomi syraiah yang berkaitan dengan akad Ijarah
Muntahiyah Bi Al-Tamlik.8 Jadi keempat latar belakang
yang telah dipaparkan diatas menjadi bahan pertimbangan
penetapan Fatwa DSN-MUI Nomor 27 Tahun 2002 tentang
Ijarah Muntahiyah Bi Al-Tamlik.
2. Metode Istinbath Hukum
Dalam menetapkan suatu hukum suatu hukum terhadap suatu
masalah yang muncul di masyarakat komisi fatwa Majeis Ulama
Indonesia diwajibkan mengikti prosedur dan pedoman yang
terdapat dalam peraturan Organisasi tentang Pedoman Penetapan
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor Kep705/MUI/XII/2015
yang merupakan penyempurnaan dari Pedoman Fatwa Nomor U-
596/MUI/X/1997.
Fatwa DSN-MUI Nomor 27 Tahun 2002 yang ditetapkan oleh
Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia menggunakan
metode istinbath hukum yaitu Maslahah Mursalah. Hal tersebut
8
Mujhid Budi Luhur, “Analisis Hukum Wa’ad IMBT (Ijarah /muntahiyah Bittamlik)
Dalam Fatwa DSN MUI (Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia) Berdasarkan
Kaidah Fiqhiyyah Irtikaabu Akhaffi al-Dhararain”, Tesis, (Jakarta: Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta), h.1
43
dapat dilihat dari segi pertimbangan yang diambil dari latar
belakang penetapan fatwa yaitu banyaknya praktik Ijarah
Muntahiyah Bi Al-Tamlik yag dilakukan dan menjadi bagian dari
kehidupan masyarakat. Selanjutnya pada bagian kaidah Fiqhiyyah,
44
Pembiayaan Ijarah. Hal ini berkaitan dengan Fatwa DSN-MUI no
27 tahun 2002, karena pada bagian ketentuan umumnya DSN-MUI
memutuskan bahwa akad Ijarah Muntahiyah Bi Al-Tamlik hanya
dapat diperbolehkan jika semua ketentuan rukun maupun syarat
yang berlaku pada akad Ijarah yang ditetapkan oleh DSN-MUI
nomor 9 tahun 2000 tersebut diberlakukan.
D. Kedudukan dan urgensi fatwa dalam konteks regulasi.
1. Kedudukan Fatwa
Fatwa menjadi landasan penting bagi umat Islam. Pada
umumnya fatwa merupakan respon atau jawaban dari para ahli agama
untuk menyesaikan permasalahan dalam hukum Islam. Fatwa berasal
dari kata bahasa arab al-ifta, al-fatwa yang berarti pemberian sebuah
keputusan. Pemberian fatwa dari kalangan cendekiawan muslim,
bukanlah sebuah keputusan yang terbilang gampang atau tidak
memiliki landasan hukum yang jelas. Akan tetapi hukum fatwa ini,
dibuat dengan konstruksi ilmu pengetahuan agama yang jelas.10 Allah
SWT berfirman dalam QS. an-Nahl ayat 43 yang artinya:
“Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau (Muhammad),
melainkan orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka;
maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika
kamu tidak mengetahui.” (QS. an-Nahl ayat 43).
Dalam ayat di atas menjelaskan anjuran bagi seseorang yang
kurang berpengetahuan agama, untuk menanyakan sekaligus meminta
solusi dalam permasalahan yang dihadapinya. Sehingga kedudukan
hukum fatwa disini sangatlah penting. Hukum fatwa akan digunakan,
ketika muncul sebuah masalah baru yang belum ada ketentuannya
secara tegas, baik Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ maupun pendapat-
pendapat para fuqaha terdahulu. Maka disini fatwa merupakan sasaran
masyarakat untuk memberikan arahan normatifnya terhadap gejala
10
Ahyar A. Gayo, Kedudukan Fatwa MUI dalam Upaya Mendorong Pelaksanaan Ekonomi
Syariah, (Jakarta: Laporan Akhir Penelitian Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementerian Hukum dan HAM RI, 2011), h. 13.
45
permasalahan hukum Islam. Karena kedudukannya yang begitu
penting (urgent), orang-orang barat mengistilahkan fatwa sebagai
yurisprudensi Islam11
Penggalian dasar hukum dari fatwa sendiri mengacu pada Al-
Quran dan Hadis yang kemudian dielaborasi dengan ilmu ushul fiqh,
menjadi sebuah petunjuk untuk menggali hukum-hukum yang abstrak.
Metode ijtihad yang menjadi andalan para ulama untuk menyakinkan
masyarakat terhadap hukum yang belum ada solusinya. Berbeda
dengan kedudukan fatwa dalam hukum nasional sebagaimana yang
dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan menyatakan bahwa
hierarki peraturan perundang-undangan dalam sistem hukum nasional
di antaranya: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan
Daerah. Peraturan daerah meliputi: Peraturan Daerah Provinsi,
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa/Peraturan
yang setingkat. Sedangkan untuk sumber hukum formal yang berlaku
di Indonesia ada lima, di antaranya: Undang-Undang, kebiasaan,
yurisprudensi (putusan hukum), traktat, dan doktrin.
Fatwa merupakan pendapat para pakar/ulama/ahli hukum yang
didapat melalui proses penggalian hukum yang disepakati guna
menemukan kepastian hukum yang dijadikan sebagai salah satu
petunjuk atau nasehat masyarakat muslim dalam menjalankan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Fatwa ini bersifat responsif,
dinamis dan informatif. Dikatakan responsif karena adanya fatwa,
sebuah tanggapan atas adanya persoalan-persoalan masyarakat yang
belum ada aturan hukum pasti yang mengaturnya. Sebagaimana
kaidah hukum yang dikemukakan oleh Ibn Qayyim al-Jauziyyah fatwa
11
Ahmad Hatta, Tafsir Qur’an Perkata, (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2009), h. 272. Lihat
juga, M. Erfan Riadi, “Kedudukan Fatwa Ditinjau Dari Hukum Islam dan Hukum Positif
(Analisis Yuridis Normatif)”, Ulumuddin, Vol. 7, No. 1, 2010, h. 472.
46
dikatakan dinamis karena tidak menutup kemungkinan bahwa fatwa
itu akan berubah seiring dengan berubah dan berkembangnya waktu,
tempat, keadaan, niat bahkan kebiasaan.12 Sedangkan fatwa dikatakan
informatif karena fatwa bersifat memberi informasi yang
menerangkan terkait permasalahan-permasalahan yang belum
mendapatkan jalan keluar, sehingga fatwa disini berfungsi juga
menjelaskan sesuatu yang dipertanyakan masyarakat muslim pada
khususnya dan masyarakat Indonesia pada umunya.
Perlu diketahui bahwa keberlakuan fatwa tidak mengikat
secara menyeluruh kepada seluruh masyarakat Indonesia. Sehingga
pemaksaan tidak akan terjadi dalam konteks penerapan fatwa MUI
bagi seluruh masyarakat Indonesia. Meskipun orang tersebut selaku
peminta fatwa, tidak ada keharusan baginya untuk mengikuti ataupun
menjalankan fatwa tersebut. Bisa dikatakan bahwa keberlakuan secara
khusus kepada masyarakat muslim Indonesia karena dasar penggalian
hukum yang digunakan lembaga pembuat fatwa MUI tidak terlepas
bersumber dari Al-Quran dan Sunnah Rasulullah s.a.w. “Sebagaimana
diketahui bahwa mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam”,
orientasi tujuan hukum nasional negara ini adalah melindungi
kehidupan seluruh Warga Negara Indonesia tanpa terkecuali. Dalam
hal ini, keberlakuan hukum tetap berpegang pada keberagaman ras,
agama, suku, dan budaya yang dimiliki Indonesia.13 Oleh karena itu,
negara tidak mengakomodir fatwa MUI ke dalam hukum positif yang
berlaku di Indonesia.
2. Urgensi Fatwa MUI
Kemajemukan masyarakat Indonesia tumbuh beriringan
dengan berkembangnya kemajuan teknologi yang sangat pesat.
Pola penyampaian dan penerimaan informasi yang sangat cepat
serta munculnya berbagai macam persoalan baru yang bersifat
kompleks, baik itu menyangkut masalah keagamaan maupun non-
12
Isa Ansori, “Kedudukan Fatwa di Beberapa Negara Muslim (Malaysia, Brunei
Darussalam dan Mesir)”, Analisis, Vol. 17, No. 1, 2017, h. 139.
47
keagamaan, seperti sosial kemasyarakatan menciptakan berbagai
persoalan baru yang muncul terkadang belum ada peraturan
perundang-undangan yang mengaturnya. Bahkan, tidak jarang
timbul keraguan di kalangan masyarakat terkait jawaban-jawaban
yang dilontarkan oleh segelintir orang. Apalagi jika pemberi
jawaban tersebut dinilai kurang kompeten akan bidang persoalan
tersebut.13 Segala sesuatu yang ada di muka bumi ini sesuai dengan
kehendak Sang Maha Pencipta. Allah SWT menurunkan Al-Quran
sebagai petunjuk hidup umat manusia, dan semua sudah diatur di
dalamnya baik berkenaan dengan kehidupan dunia maupun akhirat.
Al-Quran merupakan sumber dari segala sumber hukum. Oleh
karena itu, di dalam proses penggalian hukum atau proses
berijtihad akan mengacu pada Al-Quran. Selain itu, juga akan
mengacu kepada Sunnah. Kedua sumber hukum tersebut
mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Sebagaimana sabda
Rasulullah s.a.w. yang artinya: Al-Quran itu dalil, dalil yang
bersifat mujmal (global). Sedangkan hadis adalah penjelasannya
atau perinciannya” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Perlu diketahui bahwa ada tiga indikasi mendasar yang
terkadung di dalam hukum Allah SWT yaitu indikasi menemukan
hukum Allah dengan cara tersurat, tersirat dan tersembunyi.
Pertama secara tersurat, cara ini bisa dilakukan dengan menemukan
hukum Allah yang terdapat di dalam lafaz Al-Quran dengan cara
melihat makna harfiah yang ada pada lafaz Al-Quran tersebut.
Kedua secara tersirat. Cara yang kedua ini bisa dikatakan lebih
susah daripada cara yang pertama, dikarenakan untuk menemukan
hukum Allah yang tersirat seseorang harus jeli melihat
petunjuk/isyarat yang ada pada suatu lafaz di dalam Al-Quran.
13
Al Fitri Johar, Kekuatan Hukum Fatwa Majelis Ulama Indonesia (Mui) Dari
Perspektif Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia, Pengadilan Agama Ruteng, Nusa
Tenggara Timur, (Online), (https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/, diakses pada 23 Nov
2021).
48
Ketiga, secara tersembunyi, cara inilah yang paling sulit dan tidak
bisa dilakukan oleh orang awam. Hal ini dilakukan ketika
seseorang sudah melakukan cara pertama dan kedua namun belum
bisa menemukan hukum Allah. Untuk cara ketiga ini bisa
dilakukan dengan melihat isi kandungan suatu lafaz sehingga bisa
diketahui maksud Allah ketika menetapkan suatu hukum.
Serangkain proses yang dilaluipun cukup menyita banyak waktu,
tenaga serta pikiran. Dimulai dari proses pengkajian, penelitian
kemudian penggalian secara mendalam yang melibatkan berbagai
metode yang sistematis disertai dengan penerapan ilmu beberapa
ilmu bantu yang terkait, seperti ilmu tafsir, balaghah, nahwu,
sharaf, ushul fiqh, dan lain sebagainya.
Masyarakat memerlukan adanya sebuah wadah yang
terorganisir yang didalamnya terdapat para pakar/para ulama/para
cendekiawan yang mempunyai strata ilmu pengetahuan yang
tinggi, berwawasan luas serta peka terhadap realitas yang tumbuh
di tengah-tengah masyarakat. Dengan penduduk yang mayoritas
beragama Islam terbentuknya suatu lembaga yang bertugas
membimbing, membina serta mengayomi kaum muslimin di
Indonesia menjadi sebuah kebutuhan. Hal ini selaras dengan
munculnya permasalahan-permasalahan kontemporer yang tidak
menutup kemungkinan memicu adanya pro dan kontra di dalam
pencarian jalan keluar akan permasalahan-permasalahan tersebut.14
Sudah sepatutnya menjadi kesadaran bersama untuk tidak
membiarkan masyarakat senantiasa merasa bingung dan resah
karena adanya pro dan kontra yang kerap terjadi ketika adanya
permasalahan-permasalahan kontemporer. Bayangkan apabila di
dunia ini tidak ada para ulama yang bersedia melakukan proses
penggalian hukum yang mendalam terkait suatu persoalan yang
14
Rohadi Abdul Fatah, Analisis Fatwa Keagamaan dalam Fikih Islam, (Jakarta: PT. Bumi
Aksara, 2010), h. 87-88.
49
terjadi di masyarakat, niscaya kebingungan, keresahan akan
membelenggu khalayak luas. Kebenaran akan sebuah informasi
menjadi salah satu kebutuhan dasar masyarakat yang kini hidup di
era digital. Kebenaran itu bisa saja terkuak salah satunya dengan
adanya fatwa.
Masyarakat membutuhkan adanya petunjuk dan bimbingan,
kecepatan dan ketepatan respon para ulama pemberi fatwa atas
pertanyaan-pertanyaan terkait isu yang tumbuh dan berkembang di
kalangan masyarakat kini menjadi hal yang tak kalah penting.
Untuk menemukan jalan keluar terkait permasalahan-permasalahan
yang berkembang para ulama melakukan penggalian hukum
dengan menggunakan metodologi yang sistematis dan teori-teori
yang tegas, konsisten serta bertanggung jawab berdasarkan dalil-
dalil yang kuat. Kemunculan fatwa secara tidak langsung
mengkonkretkan ajaran Islam yakni dibuktikan dengan adanya
penerapan dari sumber hukum Islam, yaitu Al-Quran dan Sunnah.
Selain itu dengan adanya kemunculan fatwa itu membuktikan
bahwa umat manusia mengalami pola pikir yang dinamis, yang
senantiasa mengikuti perkembangan zaman. Hal itu juga dapat
diartikan bahwa umat manusia semakin maju. Fatwa juga
merupakan salah satu cara umat manusia dalam rangka
menyebarluaskan ajaran agama Islam. Tanpa adanya fatwa, ajaran
agama Islam yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia
akan mengalami stagnansi dikarenakan dianggap tidak mampu
menjawab permasalahan-permasalahan yang berkembang di masa
sekarang. Disinilah letak urgensitas fatwa di kalangan masyarakat.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Wahbah Zuhayli
dalam kitab al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, salah satu metode
yang digunakan dalam berfatwa adalah yang pertama melakukan
kajian terhadap nash-nash yang terdapat dalam al-Quran dengan
menggunakan disiplin ilmu yang berhubungan seperti seperti ilmu
50
bahasa dengan memperhatikan beberapa kata di antaranya seperti
kata mujmal, musytarak, atau lafadz yang diragukan termasuk
lafadz ‘am atau khash, haqiqah atau majaz, haqiqah atau ‘urf,
muthlaq atau muqayyad, dan lain sebagainya.15 Ini baru masih
terkait satu contoh penerapan ilmu yang dilakukan dalam rangka
menemukan kepastian hukum dari isu-isu atau masalah-masalah
kontemporer yang terjadi. Maka untuk bisa melakukan kajian
terhadap nash, seseorang disyaratkan untuk mengetahui dan
memahami Al-Quran meskipun tidak menyeluruh, namun ia
mengetahui ayat-ayat hukum yang berjumlah sekitar 500 ayat
menurut pendapat al-Ghazali yang telah disepakati oleh al-Qadhi
Ibnu al-Arabi, ar-Razi, Ibnu Qudamah, dan al-Qarafi. Pendapat al-
Ghazali ini juga dibantah oleh ulama lain sebagaimana yang
dinukil dari Imam Abdullah bin Mubarak bahwa ada 900 jumlah
ayat hukum. Tidak semua orang menguasai disiplin ilmu, teori-
teori kebahasaan serta ayat-ayat hukum tersebut.
Hal di atas selaras dengan usulan Ibnu Qayyim yang
menukil pendapat dari Imam Ahmad bahwa tidak ada kebolehan
bagi seseorang yang akan berfatwa namun dirinya tidak
mengetahui hal ihwal manusia atau apa yang terjadi disekitarnya.
Apabila hal itu diabaikan, maka dikhawatirkan akan muncul fatwa-
fatwa yang tidak terpakai karena dianggap tidak sesuai dengan
culture atau budaya masyarakat setempat. Tentu untuk memenuhi
persyaratan di atas bukanlah sesuatu yang mudah. Maka dari itu,
posisi fatwa bagi umat Islam disini mempunyai peran yang sangat
penting dalam kehidupan bernegara.
15
Faridatus Suhadak, “Urgensi Fatwa dalam Perkembangan Hukum Islam”, De Jure, Vol. 5,
51
Pada awal muncul dan berkembangnya kegiatan ekonomi syariah
di Indonesia, pemerintah tidak memberikan instrument hukum yang cukup
bagi pelaksana ekonomi syariah. Maka dalam melaksanakan kegiatan
ekonomi syariah, timbul banyak pertanyaan apakah kegiatan operasional
ekonomi konvensional yang selama ini dilakukan sesuai atau tidak dengan
syariah. Pada masa itu, belum begitu banyak orang-orang yang menguasai
ekonomi syariah. Namun, masyarakat percaya bahwa orang-orang tersebut
dapat di temukan di lembaga MUI, yaitu suatu lembaga tempat
berkumpulnya para ulama yang menguasai keilmuan syariah termasuk
tentang ekonomi syariah. Tentunya hal ini diterima baik oleh MUI untuk
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
Fatwa ekonomi syariah yang diterbitkan oleh DSN-MUI adalah
didasarkan adanya pertanyaan atau persoalan baik yang muncul ataupun
yang belum muncul dalam masyarakat pelaku ekonomi syariah. Selain itu
DSN-MUI menjadi sumber pemikiran hukum ekonomi syariah, baik untuk
di implementasikan ke dalam peraturan perundang-undangan maupun
untuk dilaksanakan secara praktik oleh pelaku ekonomi syariah. Kalangan
pelaku ekonomi syariah dan pemerintah telah banyak mengajukan
permohonan fatwa yang berkaitan dengan ekonomi syariah yang akan
dilaksanakan kemudian. Keterlibatan banyak institusi dalam proses
penyusunan fatwa merupakan suatu cara untuk memahami lebih dalam
atas suatu kegiatan ekonomi syariah untuk dikaji ketentuannya dalam
syariah.
Fatwa DSN yang saat ini bersifat mengikat secara hukum bagi para
pelaku ekonomi syariah, tentunya menjadi suatu hukum positif yang harus
ditaati. Adanya perbedaan sifat hukum antara fatwa (yang bersifat nasihat)
dan peraturan perundang-undangan (yang mengikat secara hukum)
seringkali menjadi perdebatan untuk ditaati dan tidak ditaati. Disaat fatwa
tersebut bersifat mengikat secara hukum, maka tidak perlu merubah
bentuk fatwa menjadi bentuk produk hukum lainnya yang lebih jelas dan
tegas statusnya dalam hierarki peraturan perundang-undangan UU. NO. 10
52
Tahun 2004 bahwa fatwa tetap harus eksis dalam masyarakat ekonomi
syariah, baik lembaga fatwa sebagai lembaga pemerintahan ataupun bukan
lembaga pemerintah.
Permohonan dan penerbitan fatwa tidak karena didasarkan
“tradisi” yang mengakar dalam masyarakat Islam saja, tetapi fatwa telah
menjadi social tools untuk mengubah perilaku masyarakat dan pola pikir
masyarakat tentang ekonomi yang syariah. Sementara peran ulama pun
tetap sangat diperlukan oleh mustafti sebagai tempat bertanya mengenai
persoalan dalam Islam. Oleh karena itu, adanya pertanyaan-pertanyaan
mengenai ekonomi syariah dari masyarakat tidak hanya karena adanya
tuntutan masyarakat yang hendak melaksanakan ekonomi syariah secara
kaffah, tetapi nilai-nilai ekonomi syariah telah hidup dalam masyarakat.
BAB III
53
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sifat dan karakteristik fatwa Dinamisnya permasalahan di
bidang ekonomi syariah yang membutuhkan adanya dasar hukum
yang tepat dan disepakati secara nasional maupun internasional.
Sedang fatwa DSN menjadi rujukan yang mengikat bagi
lembagalembaga keuangan syari’ah (LKS) yang ada di tanah air,
demikian pula mengikat masyarakat yang berinteraksi dengan LKS
fatwa DSN-MUI adalah sebagai berikut Dari segi tipologi dan
sifatnya, DSN-MUI merupakan Lembaga Fatwa semi pemerintah
yang berada di bawah pengawasan Negara secara langsung, Sifat
dari fatwa yang dikeluarkan DSN-MUI mengikat bagi mustaftī,
apabila telah di tuangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Dari segi produknya, fatwa DSN-MUI memiliki karakteristik
sebagai berikut Jenis fatwa DSN-MUI hanya khusus dalam
permasalahan ekonomi syariah yang berkaitan langsung dengan
Lembaga Keuangan Syariah atau permasalahan global, Pemohon
fatwa DSN-MUI di dominasi oleh Lembaga Keuangan Syariah,
Lembaga Pemerintah dan Asosiasi keuangan tertentu, selain itu
tidak semua fatwa DSN-MUI berasal dari mustafti, DSN-MUI
merupakan lembaga fatwa yang mendapat otoritas langsung dari
peraturan perundang-undangan dan terbatas pada fatwa di bidang
ekonomi syariah, dari sisi istinbaṭ DSN-MUI merupakan lembaga
fatwa yang lebih menekankan pada kemaslahatan umum, Format
penulisan putusan fatwa DSN-MUI merupakan format penulisan
yang hampir mendekati pola penulisan peraturan perundang-
undangan.
Selain itu, berdasarkan Keputusan Dewan Syariah Nasional
No: 01 Tahun 2000 Tentang Pedoman Dasar Dewan Majelis
Ulama Indonesia (PD DSN-MUI) atas pedoman dasar dan
54
Pedoman Rumah Tangga Majelis Ulama Indonesia periode 1995-
2000, dan Surat Keputusan Dewan Pimpinan Majelis Ulama
Indonesia No: Kep-754/MUI/II/99 tentang pembentukan Dewan
Syariah Nasional huruf d dinyatakan sebagai berikut: Dewan
Syariah Nasional berperan secara pro-aktif dalam menanggapi
perkembangan masyarakat Indonesia yang dinamis dalam bidang
ekonomi dan keuangan. Karena kedudukannya yang begitu penting
(urgent), orang-orang barat mengistilahkan fatwa sebagai
yurisprudensi Islam Penggalian dasar hukum dari fatwa sendiri
mengacu pada Al-Quran dan Hadis yang kemudian dielaborasi
dengan ilmu ushul fiqh, menjadi sebuah petunjuk untuk menggali
hukum-hukum yang abstrak. Berbeda dengan kedudukan fatwa
dalam hukum nasional sebagaimana yang dijelaskan dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan
peraturan perundang-undangan menyatakan bahwa hierarki
peraturan perundang-undangan dalam sistem hukum nasional di
antaranya: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden,
Peraturan Daerah.
B. Saran
Pemakalah menyadari sepenuhnya bahawa dalam penulisan
makalah ini masih terdapat banyak sekali kekurangan baik dari
penyajiannya, sumber materi maupun kejelasan materi untuk itu
penulis mengharapkan kritik dan saran agar pemakalah dapat
memperbaiki makalah ini dan menjadikannya lebih baik lagi.
55
DAFTAR PUSTAKA
Fatah, Rohadi Abdul, 2010, Analisis Fatwa Keagamaan dalam Fikih Islam, Jakarta:
PT. Bumi Aksara
Gayo, Ahyar A., 2011, Kedudukan Fatwa MUI dalam Upaya Mendorong
Pelaksanaan Ekonomi Syariah, Jakarta: Laporan Akhir Penelitian Hukum
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI.
Johar, Al Fitri, Kekuatan Hukum Fatwa Majelis Ulama Indonesia (Mui) Dari
Perspektif Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia, Pengadilan
Agama Ruteng, Nusa Tenggara Timur, (Online),
(https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/, diakses pada 23 November
2021).
Suhadak, Faridatus, 2013, “Urgensi Fatwa dalam Perkembangan Hukum Islam”, De
Jure, Vol. 5, No. 2.
Mujhid Budi Luhur, “Analisis Hukum Wa’ad IMBT (Ijarah /muntahiyah
Bittamlik) Dalam Fatwa DSN MUI (Dewan Syariah Nasional – Majelis
Ulama Indonesia) Berdasarkan Kaidah Fiqhiyyah Irtikaabu Akhaffi al-
Dhararain”, Tesis, Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
Abdul Wahab, dkk, ”Identifikasi Konsep Al-‘Uqud Al-Murakkabah Dan Al-‘Uqud
Al-Muta’addidah Dalam Mu’amalah Kontemporer”, 2020 Jurnal Islamadina
Volume 21 Nomor 1, Banjarmasin: Universitas Islam Kalimantan MAB.
www.kompasiana.com
www.NU.or.id
56
Nama : Raihan Akbar
NIM : 11180430000002
57
2. Catatan Akademik dan Saran Untuk Mata Kuliah Metode Analisis
Fatwa
Adapun yang menjadi catatan akademik dan saran akbar terhadap
mata kuliah ini yang dalam hal ini berkaitan dengan dosen pengampu mata
kuliah, yakni Bapak Asrorun Ni’am, adalah: (Sebelumnya Akbar pribadi
memohon maaf jikalau ada perkataan Akbar yang menyinggung Bapak
Asrorun Ni’am)
a. Dalam hal pelaksanaan perkuliahan hendaknya tidak dilaksanakan
terlalu pagi mengingat perkuliahan dilaksanakan secara daring
(online) yang mana dalam semester ini perkuliahan dimulai pada
pukul 06.00 WIB, karena ketika melihat jadwal, seharusnya
perkuliahan pertama dimulai pada pukul 07.30. hal tersebut
dikarenakan pada waktu tersebut, berdampingan dengan berbagai
kegiatan dan aktivitas di rumah yang memberikan dampak pada
berkurangnya konsentrasi Akbar pada saat mengikuti perkulian.
Selanjutnya kemungkinan bagi Akbar pribadi perkuliahan pada
pukul 06.00 pagi merupakan suatu hal yang baru, sehingga Akbar
belum terbiasa dengan perubahan tersebut. Jadi Akbar berharap
kedepannya semoga bapak berkenan untuk memberikan
pertimbangan mengenai waktu pelaksanaan perkuliahan.
Mungkin hanya ini yang bisa Akbar sampaikan sebagai saran,
karena secara keseluruhan baik materi maupun cara dan metode yang
digunakan oleh Bapak Asrorun Niam dalam menyampikan materi sudah
sangat bagus dan jelas, sehingga seluruh materi dapat dipahami secara
menyeluruh.
58
merupakan anggota kelompok 6, dengan judul makalah “FATWA
DI BIDANG EKONOMI, KEUANGAN, DAN BISNIS
SYARIAH” dimana kelompok 6 membahas Fatwa DSN-MUI No
27 tahun 2002 mengenai Ijarah Muntahiyah Bi Al-Tamlik.
Selanjutnya pada bagian presentasi Akbar mewakili
kelompok 6 memberikan tanggapan yakni berupa jawaban
terhadap pertanyaan yang diajukan oleh teman-teman dari
kelompok lain. Salah satunya pertanyaan datang dari Kiflan
Radhina yang bertanya mengenai kebolehan penggunaan bank
konvensional dalam kegiatan ekonomi yang dalam hal ini adalah
membuka tabungan, mengingat adanya sistem bunga bank dalam
bank konvensional. Kemudian Akbar merespon pertanyaan
tersebut dengan memberikan jawaban bahwa menggunakan jasa
bank konvensional diperbolehkan dengan syarat apa yang dilarang
oleh syariah tidak boleh dimanfaatkan, dalam hal ini adalah bunga
yang diberikan bank pada saat menabung pada bank konvensional.
Sehingga nasabah hanya boleh memanfaatkan uang yang menjadi
tabungannya saja dan tidak boleh mengambil manfaat terhadap
bunga yang diberikan. Jawaban ini juga diperkuat dengan
penjelasan dari Bapak mengenai metode Tafriq Bainal Halal wal
Haram (memisahkan atau memilah sesuatu antara yang halal dan
haram, jika pada sesuatu tersebut terdapat kedua hal tersebut yakni
terdapat sesuatu yang halal dan juga haram). Selama kedua hal
tersebut dapat dipisahkan secara jelas maka hal tersebut
diperbolehkan.
59
Nama : Ridwan
NIM : 11180430000044
1. Manfaat Akademik
2. Catatan akademik/saran
60
Nama : Hafidz Alkhairi
NIM : 11180430000055
Mata Kuliah : Metode Analisis Fatwa-PM 7A
Dosen : Dr. H. M. Asrorun Ni’am, S.Ag, M.A
Selama mengikuti mata kuliah Metode Analisis Fatwa yang diampu oleh Bapak Dr. H.
M. Asrorun Ni’am, S.Ag., M.A., tentu saja banyak sekali manfaat yang yang dapat
diterima oleh setiap mahasiswa yang mengikuti kelas ini, termasuk saya. Namun,
sebelum menuliskan lebih lanjut dan lebih banyak lagi tentang manfaat pembelajaran
yang saya terima, izinkan saya untuk menyampaikan kesan pribadi terhadap pengampu
mata kuliah ini, yakni Bapak Dr. H. M. Asrorun Ni’am, S.Ag., M.A.
Saya mengetahui bahwa mata kuliah ini bukanlah mata kuliah yang mudah untuk
dipahami, karena selain dibutuhkan keseriusan dan konsentrasi dari mahasiswa dan
kompetensi dari pengajar pun juga tak kalah penting. Disini Bapak Asrorun Ni’am
memiliki kompetensi itu sehingga para mahasiswa mudah untuk memahami penjelasan
yang disampaikan bapak terkait mata kuliah ini.
Atas kerendahan hati dari pengajar (dosen), Selama pembelajaran, bapak banyak
memberikan keleluasan bagi para mahasiswa untuk menyampaikan pendapat serta
argumentnya terkait topik diskusi yang dibahas sesuai dengan KRS yang telah diberikan
bapak diawal perkuliahan. Dengan segala kerendahan hati, bapak menjadikan kelas
sebagai mimbar bebas bagi para mahasiswa untuk menyatakan pendapatnya terkait materi
yang sedang didiskusikan. Beliau tidak pernah memotong diskusi yang sedang
berlangsung dan tentu saja, ketika durasi mimbar bebas habis, maka bapak akan
memberikan penjelasan yang lebih rinci serta meluruskan hal-hal yang sekiranya kurang
pas dan memberikan masukan kepada mahasiswanya supaya bisa lebih baik lagi dalam
penyampaian dimakalahnya maupun dipresentasinya.
Selalu Berlaku adil. Disini bapak selalu berupaya untuk memperlakukan mahasiswa
ataupun kelompok pembelajaran itu secara adil dan tidak membeda-bedakan antar
61
mahasiswa. Hal ini sangat terasa ketika salah satu kelompok mahasiswa tidak bisa
merampungkan tugas makalah atau menjalankan tugasnya sebagaimana komitmen di
awal perkuliahan. Ketika makalah kelompok tersebut tidak bisa rampung sesuai
waktunya, maka bapak tidak serta-merta memangkas jadwal kelompok berikutnya justru
menjelaskan secara umum materi yang belum dipresentasikan. Barang tentu, ada tugas
pengganti yang dalam bahasa bapak disebut dengan “pertaubatan” dari masing-masing
anggota kelompok yang tidak membuat makalah. Beliau menegur mahasiswanya dengan
tegas lagi santun dan tanpa menyinggung perasaan.
Saran untuk kedepannya, yaitu jadwal yang dijalani selama ini memang sesuai
kesepakatan, namun mungkin alangkah lebih baik apabila jadwal mata kuliahnya sesuai
dengan jadwal KRS yang sudah dipilih oleh mahasiswa. Sebab, setiap mahasiswa
memiliki motivasi tersendiri kenapa memilih mata kuliah di hari dan jam tertentu. Selain
itu, penggabungan kelas dalam satu forum zoom bukan berarti tidak bagus. Akan tetapi,
jika kelas tidak digabung, mungkin saja setiap mahasiswa akan lebih PD menyampaikan
pendapat sesuai kelas yang dipilihnya. Salah satu hal yang mungkin saja membuat
mahasiswa tidak PD untuk menyatakan pendapat ketika kelas digabung.
3. Catatan akademik :
Dalam pembelajaran mata kuliah Metode Analisis Penetapan Fatwa ini hendaknya lebih
konsen dan lebih aktif kepada analisis fatwa yang ingin dibahas dan kalo bisa melihat
penyusunan draf fatwa slebih rinci.
62
Dalam proses penganalisisan fatwa itu seharusnyan ada batasan atau tolak ukur apa saja
yang harus dibahas dalam menganalisa fatwa yang ingin dibahas serta runtutan
analisanya itu apa saja biar mahasiswa tidak ada yang rancu dalam menganalisa fatwa
yang ingin di analisa.
Membantu melengkapi seluruh materi yang belum lengkap dimakalah serta merapikan
makalah secara keseluruhan
Membantu mencari draf fatwa terkait hukum ekonomi syari’ah dalam revisi makalah
Penulis juga aktif dalam membantu menjwab pertanyaan dalam diskusi kelompok kami
dalam membahas hukum ekonomi syari’ah
63
Nama : Agung Maulana Ashar
NIM : 11180430000032
Mata Kuliah : Metode Analisis Fatwa-PM 7A
Dosen : Dr. H. M. Asrorun Ni’am, S.Ag, M.A
64
Adapun yang menjadi catatan akademik dan saran akbar terhadap
mata kuliah ini yang dalam hal ini berkaitan dengan dosen pengampu mata
kuliah, yakni Bapak Asrorun Ni’am, adalah: (Sebelumnya Akbar pribadi
memohon maaf jikalau ada perkataan Akbar yang menyinggung Bapak
Asrorun Ni’am)
b. Dalam hal pelaksanaan perkuliahan hendaknya tidak dilaksanakan
terlalu pagi mengingat perkuliahan dilaksanakan secara daring
(online) yang mana dalam semester ini perkuliahan dimulai pada
pukul 06.00 WIB, karena ketika melihat jadwal, seharusnya
perkuliahan pertama dimulai pada pukul 07.30. hal tersebut
dikarenakan pada waktu tersebut, berdampingan dengan berbagai
kegiatan dan aktivitas di rumah yang memberikan dampak pada
berkurangnya konsentrasi Akbar pada saat mengikuti perkulian.
Selanjutnya kemungkinan bagi Akbar pribadi perkuliahan pada
pukul 06.00 pagi merupakan suatu hal yang baru, sehingga Akbar
belum terbiasa dengan perubahan tersebut. Jadi Akbar berharap
kedepannya semoga bapak berkenan untuk memberikan
pertimbangan mengenai waktu pelaksanaan perkuliahan.
Mungkin hanya ini yang bisa Akbar sampaikan sebagai saran,
karena secara keseluruhan baik materi maupun cara dan metode yang
digunakan oleh Bapak Asrorun Niam dalam menyampikan materi sudah
sangat bagus dan jelas, sehingga seluruh materi dapat dipahami secara
menyeluruh.
65
SYARIAH” dimana kelompok 6 membahas Fatwa DSN-MUI No
27 tahun 2002 mengenai Ijarah Muntahiyah Bi Al-Tamlik.
Selanjutnya pada bagian presentasi Akbar mewakili
kelompok 6 memberikan tanggapan yakni berupa jawaban
terhadap pertanyaan yang diajukan oleh teman-teman dari
kelompok lain. Salah satunya pertanyaan datang dari Kiflan
Radhina yang bertanya mengenai kebolehan penggunaan bank
konvensional dalam kegiatan ekonomi yang dalam hal ini adalah
membuka tabungan, mengingat adanya sistem bunga bank dalam
bank konvensional. Kemudian Akbar merespon pertanyaan
tersebut dengan memberikan jawaban bahwa menggunakan jasa
bank konvensional diperbolehkan dengan syarat apa yang dilarang
oleh syariah tidak boleh dimanfaatkan, dalam hal ini adalah bunga
yang diberikan bank pada saat menabung pada bank konvensional.
Sehingga nasabah hanya boleh memanfaatkan uang yang menjadi
tabungannya saja dan tidak boleh mengambil manfaat terhadap
bunga yang diberikan. Jawaban ini juga diperkuat dengan
penjelasan dari Bapak mengenai metode Tafriq Bainal Halal wal
Haram (memisahkan atau memilah sesuatu antara yang halal dan
haram, jika pada sesuatu tersebut terdapat kedua hal tersebut yakni
terdapat sesuatu yang halal dan juga haram). Selama kedua hal
tersebut dapat dipisahkan secara jelas maka hal tersebut
diperbolehkan.
66