Anda di halaman 1dari 20

CRITICAL ANALYSIS DALAM PRAKTIK KEBIDANAN

KESALAHAN ATAU FALLACIES DALAM PENALARAN, RETORIKA


DALAM PENALARAN, INDIKATOR KESALAHAN DAN MACAM
KESALAHAN DALAM PENALARAN

DISUSUN OLEH:

Vira Anggarini P01740322134


Vira Yunita P01740322135
Wulandari P01740322136
Yulia Anggraeni P01740322137
Yunita P01740322138
Zulfa Tania Febriani P01740322139

Zuliana Chandra Wardhana P01740322140

Dosen Pembimbing:
Eva Susanti, SST, M.Keb

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES BENGKULU
PRODI D4 ALIH JENJANG KEBIDANAN CURUP
T.A 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur marilah kita haturkan kepada kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan begitu banyak nikmat yang mana makhluk-Nya pun tidak akan
menyadari begitu banyak nikmat yang telah didapatkan dari Allah SWT. Selain
itu, kami juga merasa sangat bersyukur karena telah mendapatkan hidayah-Nya
baik iman maupun islam.
Dengan nikmat dan hidayah-Nya pula kami dapat menyelesaikan
penulisan makalah ini yang merupakan tugas kuliah mata kuliah Critical Analysis
Dalam Praktik Kebidanan. Kami menyampaikan terimakasih kepada semua pihak
yang turut membantu proses penyusunan makalah ini.
Kami menyadari dalam makalah ini masih begitu banyak kekurangan dan
kesalahan baik dari isi maupun struktur penulisannya, oleh karena itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran positif untuk perbaikan dikemudian hari.
Demikian semoga makalah ini memberikan manfaat umumnya pada para
pembaca dan khususnya bagi kami sendiri. Aamiin.

Curup, 28 Juli 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..................................................................................................i
Daftar Isi...........................................................................................................ii
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................1
C. Tujuan...................................................................................................2
BAB II Pembahasan
A. Kesalahan atau Fallacies dalam Penalaran...........................................3
B. Retorika dalam Penalaran.....................................................................5
C. Indikator dan Macam Kesalahan dalam Penalaran...............................12
BAB III Penutup
A. Kesimpulan...........................................................................................16
B. Saran.....................................................................................................16
Daftar Pustaka...................................................................................................iii

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penalaran merupakan proses berpikir yang bertolak dari kemampuan
pengamatan indera yang menghasilkan sejumlah pengertian dan konsep
matematika. Jika dilihat dari prosedurnya, penalaran matematika dibedakan
menjadi dua yaitu induktif dan deduktif (Effendi, 2001). Penalaran induktif
yaitu suatu proses berfikir berupa penarikan kesimpulan yang bersifat umum
atas dasar pengetahuan tentang hal-hal yang bersifat khusus atau fakta.
Penalaran deduktif berarti membuat beberapa kesimpulan logis berdasarkan
informasi atau premis yang diberikan (Mustofa, 2009).
Penalaran ilmiah mencakup keterampilan penalaran dan pemecahan
masalah yang terlibat di dalamnya menghasilkan, menguji dan merevisi
hipotesis atau teori, dan dalam kasus yang dikembangkan sepenuhnya
keterampilan, merefleksikan proses akuisisi pengetahuan dan perubahan
pengetahuan yang dihasilkan dari kegiatan penyelidikan tersebut. Ilmu
pengetahuan, sebagai institusi budaya, mewakili ciri khas pencapaian
intelektual spesies manusia dan pencapaian ini didorong oleh keduanya
penalaran individu dan kognisi kolaboratif (Bradley,2012).
Penalaran yang merupakan proses berpikir logis dan sistematis ini
sangat diperlukan oleh mahasiswa khususnya mahasiswi bidan. Mata kuliah
logika mengajarkan tentang proses berpikir matematis. Proses berpikir
matematis merupakan kejadian yang dialami seseorang ketika menerima
respon sehingga menghasilkan kemampuan untuk menghubung-hubungkan
sesuatu dengan sesuatu yang lainnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan kesalahan/ fallacies dalam penalaran?
2. Apa yang di maksud dengan retorika dalam penalaran?

1
3. Apa saja macam-macam indikator kesalahan dan macam- macam
kesalahan penalaran ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui kesalahan/ fallacies dalam penalaran.
2. Untuk mengetahui retorika dalam penalaran.
3. Untuk mengetahui macam-macam indikator kesalaha dan macam- macam
kesalahan penalaran.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kesalahan atau Fallacies dalam Penalaran


Logical fallacy didefinisikan sebagai kesalahan dalam penalaran yang
menyebabkan suatu argumen menjadi tidak valid. Kesalahan logika adalah
kesalahan penalaran. Ketika seseorang mengadopsi posisi tertentu atau
mencoba membujuk orang lain untuk mengadopsi posisi tersebut, berdasarkan
sepenggal penalaran yang jelek, maka mereka melakukan kekeliruan.
Kesalahan penalaran merupakan ketidakmampuan seseorang dalam
memberikan dan menentukan pengertian, pernyataan, dan penyimpulan dalam
menyelesaikan masalah. Pengertian yaitu bagaimana cara seseorang untuk
mengerti atau mengetahui apa saja yang ditanya dan diketahui dari suatu
persoalan. Pernyataan yaitu bagaimana pemahaman seseorang terhadap
persoalan berdasarkan pengertian yang sudah mereka pahami. Sedangkan
penyimpulan yaitu bagaimana cara seseorang menetapkan bahwa suatu hasil
pemecahan masalah bersifat masuk akal atau logis berdasarkan dari pengertian
dan pernyataannya. Persoalannya adalah bagaimana kesalahan penalaran,
dalam menyelesaikan soal-soal logika dasar memerlukan cara atau metode
penelitian. Metode penelitian adalah suatu metode ilmiah yang memerlukan
sistematika dan prosedur yang harus ditempuh dengan tidak meninggalkan
setiap unsur komponen yang diperlukan dalam suatu penelitian (Sugiyono:
2013).
Penalaran adalah suatu proses berpikir manusia untuk menghubungkan
data atau fakta yang ada sehingga sampai pada suatu simpulan. Data atau fakta
tersebut boleh benar dan boleh juga tidak. Jika data yang disampaikan salah,
penalaran yang dihasilkan tentu saja salah dan jika data yang disampaikan
benar, tetapi cara penyimpulannya (penalarannya) tidak benar, akan dihasilkan
simpulan yang tidak sah. Jadi, simpulan yang dihasilkan lewat penalaran itu
haruslah benar dan sah.

3
Kegiatan penalaran merupakan kegiatan pikir yang abstrak karena
berkaitan dengan penarikan kesimpulan dari sebuah pernyataan atau lebih
(Effendi, M.M, 2001). Oleh karena itu, tidak ada penalaran tanpa pernyataan,
tidak ada pernyataan tanpa pengertian. Penalaran dapat digambarkan sebagai
suatu proses berfikir dengan menghubung-hubungkan bukti, fakta atau
petunjuk menuju suatu kesimpulan.
Proses menghubung-hubungkan tersebut masih lemah sehingga wajar
kalau sebagian besar penalarannya tergolong rendah dan sedang. Kesalahan
yang banyak terjadi adalah menuliskan pengertian termasuk penyimbolan atau
merepresentasi. Aspek ini sebenarnya banyak menggunakan hafalan atau me-
recall informasi, dan ini termasuk berpikir tingkat rendah. Hal tersebut juga
disebutkan dalam Taksonomi Bloom, bahwa menghafal dan memanggil
kembali informasi diklasifikasikan sebagai berpikir tingkat rendah sedangkan
menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi diklasifikasikan sebagai berpikir
tingkat tinggi (Zohar dan Dori: 2003).
Kesalahan pada dasarnya merupakan bentuk penyimpangan dari hal
yang sudah diketahui kebenarannya. Kesalahan ini dapat terjadi karena
beberapa terkait dengan dirinya sendiri (Dewi dan Kusrini, 2014). Hal ini
terjadi karena ada kesalahan pada cara penarikan kesimpulan. Salah nalar
lebih dari kesalahan karena gagasan, struktur kalimat, dan karena dorongan
emosi.

4
B. Retorika dalam Penalaran
1. Pengertian
Retorika berasal dari bahasa Inggris “rhetoric” dan bersumber dari
bahasa Latin “rhetorica” yang berarti ilmu berbicara. Retorika sebagai
ilmu memiliki sifat-sifat rasional, empiris, umum, dan akumulatif
(Harsoyo dalam Susanto dalam Rajiyem, 2005). Rasional berarti apa yang
disampaikan oleh seorang pembicara harus tersusun secara sistematis dan
logis. Empiris berarti menyajikan fakta-fakta yang dapat diverifikasi oleh
panca indera. Umum artinya kebenaran yang disampaikan tidak bersifat
rahasia dan tidak dirahasikan karena memiliki nilai sosial. Akumulatif
merupakan ilmu yang mengatakan retorika sebagai public speaking atau
berbicara di depan umum.
Pengertian retorika juga dapat dilihat secara sempit dan secara luas.
Secara sempit retorika hanya meliputi seni berbicara, sedangkan secara
luas retorika mengenai penggunaan bahasa, baik lisan maupun tulisan.
Pengertian yang umum diketahui di masyarakat adalah pengertian retorika
secara sempit, dimana retorika hanya meliputi seni berbicara.
Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan zaman,
muncul pandangan-pandangan negatif tentang retorika. Pandangan-
pandangan tersebut antara lain:
a. Retorika dianggap sebagai kemampuan menggunakan bahasa yang
indah yang dapat mempesona orang lain, tetapi tidak mempunyai isi.
Retorika dipandang sebagai pemakaian bahasa yang bombastis yang
hanya merupakan omong kosong belaka.
b. Retorika dianggap sebagai penggunaan bahasa belaka yang jauh dari
realitas, sehingga muncul ungkapan “Ini realitas atau hanya retorika
belaka?” dan tidak bisa dipercaya.
c. Retorika dianggap sebagai gaya bahasa atau gaya penyajian saja.
Anggapan ini menimbulkan sikap yang tidak menghargai retorika.
d. Retorika dianggap sebagai sebutan untuk semua bentuk komunikasi
dengan media apapun. Anggapan ini memperluas pengertian retorika,

5
dan menghilangkan esensi makna retorika yang sesungguhnya, yakni
penggunaan bahasa yang tertata dalam komunikasi.
Berdasarkan beberapa rumusan pengertian tersebut, maka esensi
retorika adalah upaya-upaya yang dilakukan pembicara (pada bahasa lisan)
dan penulis (pada bahasa tulisan) dalam memilih bentuk ungkapan yang
dianggap paling efektif untuk menarik perhatian pendengar atau pembaca.
Hakikat retorika adalah kemampuan berkomunikasi secara efektif dengan
menggunakan bahasa sebagai alatmya.
Dalam peristiwa komunikasi itu, tujuan utama komunikator adalah
menyampaikan pesan yang diharapkan dapat diketahui, dipahami, dan
dapat diterima oleh komunikan. Penyampaian pesan itu dilakukan secara
persuasif dengan mengembangkan kemungkinan-kemungkinan cara yang
paling efektif untuk menunjang pesan komunikasi yang ingin disampaikan
itu. Sebaliknya, pendengar juga memilih kemungkinan-kemungkinan itu
untuk dapat menerima pesan komunikasi yang disampaikan. Memilih
ungkapan yang dipandang paling cocok adalah ciri utama dalam retorika.
Dalam proses pemilihan itulah persuasif tidaknya suatu ungkapan
dipertimbangkan masak-masak oleh pembicara atau penulis.
2. Unsur Pendukung Retorika
Ungkapan yang baik secara retoris harus didukung oleh unsur
bahasa, etika dan nilai moral, nalar yang baik, serta pengetahuan yang
memadai. Keempat unsur ini merupakan pendukung utama retorika. Jika
unsur-unsur ini diabaikan, maka terjadi penyimpangan hakikat retorika.
a. Bahasa
Bahasa merupakan pendukung utama retorika. Boleh dikatakan
bahwa tanpa bahasa, maka tidak ada retorika. Bahasa berhubungan
dengan penyajian pesan dalam komunikasi. Wujud fisik retorika
adalah penggunaan bahasa. Pada penggunaan bahasa inilah dilakukan
pemilihan-pemiliham kemungkinankemungkinan unsur bahasa yang
dipandang paling persuasif oleh komunikator. Pemilihan unsur-unsur

6
bahasa itu bisa dalam bentuk istilah, kata, ungkapan, gaya bahasa,
kalimat, dan lain-lain.
Termasuk dalam masalah bahasa adalah delivery, yakni
mengatur susunan bahasa, mengatur cara penyajian, dan memilih gaya
pengungkapan. Semua ini dilakukan agar komunikasi bisa menarik
minat lawan bicara, di sinilah letak persuasinya. Meskipun ada
kebebasan dalam memilih unsur-unsur bahasa, mengatur susunan
bahasa, mengatur cara penyajian, dan memilih gaya pengungkapan,
bukan berarti bahwa komunikator tidak bertanggung jawab atas isi
yang disampaikan. Komunikator tetap harus bertanggung jawab atas
isi yang ingin disampaikan. Karena itulah diperlukan unsur pendukung
retorika yang kedua, yakni dengan etika dan nilai moral.
b. Etika dan Nilai
Moral Etika dan niai moral adalah hal yang penting dalam
retorika. Adanya etika dan nilai moral dalam retorika menjadikan
aktifitas komunikasi yang dilakukan bertanggung jawab. Komunikator
harus memperhatikan isi yang dibicarakan, tidak sekedar memamerkan
kemampuan berkomunikasi dengan menggungkan gaya bahasa yang
memukau. Etika dan nilai moral inilah menjadi tumpuan bahwa orang
yang menguasai retorika harus bertanggung jawab dalam aktifitas
komunikasinya.
Ada tiga syarat yang berhubungan dengan etika yang perlu
diperhatikan oleh komunikator dalam menyampaikan pesannya, yaitu:
1) Bertanggung jawab atas pemilihan unsur-unsur persuasif dan
menyadari kemungkinan berbuat salah,
2) Berusaha mengetahui dan menyadari secara jujur akan kerugian
yang timbul sebagai akibat kecurangan diri sendiri,
3) Toleran terhadap pendengar yang tidak setuju terhadap apa yang
disampaikan

7
c. Penalaran yang Benar
Penyampaian pesan dalam komunikasi harus didukung oleh
penalaran yang benar agar pesan yang disampaikan mempunyai
kekuatan atau landasan. Ini merupakan syarat yang sejak awal
diperingatkan oleh Aristoteles bahwa retorika bukan sekedar
permainan kata-kata atau permainan bahasa. Dengan penalaran yang
benar, penyampai pesan diharapkan menggunakan argumen-argumen
yang logis dalam mempersuasi pendengarnya.
Untuk mendukung penalaran yang benar, maka penyampai
pesan atau pemakai retorika dapat menggunakan induksi, deduksi,
silogisme, entimem, atau menunjukkan contoh-contoh. Oleh karena itu
dalam retorika terkandung dua hal, yakni alasan-alasan dan karakter
komunikator. Alasan- alasan merupakan bukti yang digunakan dasar
persuasi, dan karakter merupakan penanda psikologis apakah
penyampai pesan berbohong atau jujur.
d. Pengetahuan yang Memadai
Jika tidak ditunjang oleh pengetahuan yang memadai, maka
penyampai pesan bisa menjadi tukang bual. Komunikator harus
memahami benar tentang apa yang ingin disampaikan. Untuk itu, ia
harus memiliki pengetahuan yang luas terhadap hal yang ingin
disampaikan. Selain itu harus mempunyai fakta- fakta yang relevan
tentang apa yang hendak disampaikan, dan memiliki ide atau gagasan
yang jelas tentang bagaimana menyampaikan kepada pendengarnya.
Ini berarti, komunikator harus menguasai benar tentang materi dan
strategi penyampaian. Berkaitan dengan materi dan strategi
penyampaian diperingatkan bahwa:
1) Pemahaman atau pengetahuan tentang materi yang ingin
disampaikan merupakan hal esensial bagi penutur.
2) Keberhasilan retorika tergantung pada pengetahuan penutur
terhadap manusia (pendengar) dengan segala aspeknya.

8
3. Manfaat Retorika dalam Penalaran
Sejak awal kemunculannya, retorika dianggap sebagai ilmu yang
amat bermanfaat untuk mempengaruhi pendapat umum. Aristoteles saat
itu sudah merumuskan empat manfaat atau kegunaan dari retorika, yakni:
a. Retorika menuntun pembicara dalam mengambil keputusan
Apa yang terjadi dalam kehidupan ini, menurut Aristoteles ada
hal-hal yang memang benar dan ada hal-hal yang memang tidak beanr
tetapi cenderung mengalahkan lawannya tanpa mempertimbangkan
kebenaran. Pertama tampak misalnya pada fakta- fakta kehidupan,
sedang yang kedua terlihat dari perwujudan perasaan negatif terhadap
fakta-fakta tersebut. Misalnya ketidaksukaan, kemarahan, prasangka,
dan sebagaina. Hal-hal yang benar pasti akan muncul karena
bagaimanapun kebenaran akan mengalahkan ketidakbenaran.
Selain itu, semua manusia mempunyai instink alamiah tentang
kebenaran yang akan menunjukkan mana yang benar dan mana yang
tidak benar. Karena itu jika dalam kegiatan berbicara pembicara salah
dalam mengambil keputusan karena didorong oleh perasaan negatif
atau cenderung ingin menang saja, maka dia akan digilas oleh
pilihannya itu. Untuk menyelamatkan pembicara dari kemungkinan
itu, Aristoteles menegaskan kembali bahwa retorika adalah sarana
yang dapat menuntun pembicara dalam mengambil keputusan yang
benar.
b. Retorika mengajar pembicara dalam memilih argument
Menurut Aristoteles argumen dibedakan menjadi dua jenis,
yakni argumen artistik dan nonartistik. Argumen artistik diperoleh dari
pokok persoalan atau topik yang ditampilkan, sedang argumen
nonartistik diperoleh dengan melihat fakta-fakta yang ada di sekitar
topik, baik yang terkait langsung maupun tidak langsung. Misalnya
topik dengan tujuan pengarahan, maka argumen nonartistiknya antara
lain: kondisi ekonomi, politik, keamanan, perundang-undangan dan
lain-lain.

9
c. Retorika mengajar penutur dalam mempersuasi
Dalam hubungan ini, tampak sekali misalnya ketika retorika
mengajarkan bagaimana menata pembicaraan secara sistematis,
memilih materi bahasa yang tepat untuk mewadahi unit-unit topik, dan
menampilkannya menurut cara-cara yang efektif.
d. Retorika membimbing berbicara secara rasional
Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa dalam realitas
kehidupan ada sesuatu yang benar, dan ada sesuatu yang salah tetapi
diperjuangkan. Karena itu untuk memperjuangkan kebenaran yang
pertama demi mengimbangi kesesatan yang dibenar-benarkan, seorang
pembicara perlu memanfaatkan retorika.
Dengan berbicara secara rasional inilah pembicara akan sangat
dibantu menghindari kekonyolan- kekonyolan yang mungkin dibuat,
sebagai akibat ketidakmampuannya membahas topik itu. Keuntungan
lain adalah bahwa tuntunan rasional akan mempercepat terungkapnya
ketidakbenaran.
4. Pemahaman- pemahaman yang Keliru tentang Retorika
a. Penyamaan Retorika dengan Gaya Bahasa
Ada anggapan bahwa retorika itu tidak lain adalah gaya bahasa
(style). Mereka berpendapat bahwa di samping retorika itu berkaitan
dengan cara-cara menampilkan pembicaraan yang menarik, retorika
juga memberi petunjuk cara-cara memilih materi bahasa, baik kata,
ungkapan, istilah, kemudian menatanya menjadi kalimat dan
selanjutnya menyusun kalimat-kalimat itu menjadi pembicaraan yang
menarik. Kelihatannya pengertian retorika seperti itu cukup baik.
Tetapi jika dicermati lebih dalam, maka akan tampak bahwa rumusan
itu amat sempit. Memang benar retorika membahas masalah gaya
berbicara. Tetapi masalah ini hanya merupakan bagian kecil dari
keseluruhan bahasan retorika sebagai ilmu. Gaya bahasa hanya
merupakan aspek teknis retorika.
b. Penyamaan Retorika dengan Karang-Mengarang

10
Dalam sejarah perkembangannya, ada pula yang menganggap
bahwa retorika adalah ilmu kecakapan bersilat lidah. Ada dikatakan
bahwa retorika itu sebagai ilmu yang mengajarkan kecakapan
mempermainkan bahasa, sekadar untuk memengaruhi khalayak.
Anggapan ini jelas merupakan penyimpangan dan dapat digolongkan
sebagai anggapan yang paling sempit, serta paling tidak sesuai dengan
pengertian retorika yang sesungguhnya. Bahkan pengertian itu dapat
digolongkan sebagai pengertian yang paling merugikan terhadap
retorika.
Jika diruntut tentang munculnya anggapan ini, maka kita dapat
menemukan bahwa yang memiliki pengertian ini adalah kaum Sophis.
Sebagaimana diketahui melalui sejarah, kaum Sophis mengajarkan
bahwa retorika itu adalah alat untuk memenangkan suatu kasus. Untuk
mencapai kemenangan ini, seorang pembicara harus memiliki
keterampilan yang baik untuk mempermainkan bahasa, menggunakan
ulasan, dan bergaya bicara yang mencekam emosi untuk menundukkan
lawan bicara.
Kecakapan semacam ini, dalam bahasa Indonesia lazim disebut
sebagai kecakapan bersilat lidah, atau berdebat kusir. Padahal
sesungguhnya retorika adalah ilmu yang memberikan bimbingan
secara efektif agar seseorang berhasil menguraikan kebenaran kepada
pihak lain. Retorika juga diperlukan sebagai pembimbing dalam
memahami masalah berbicara secara ilmiah. Dari pemahaman ini
diharapkan setiap pembicara mampu mengaplikasikannya, sehingga
terbina saling pengertian, kerja sama, dan kedamaian dalam kehidupan
bermasyarakat.

11
C. Indikator dan Macam- macam Kesalahan dalam Penalaran
Kesalahan penalaran yang sering terjadi akibat dari faktor-faktor
berikut ini:
1. Deduksi yang salah
Simpulan dari suatu silogisme dengan diawali premis yang salah
satu atau tidak memenuhi kriteria. Contoh kalimat deduksi yang salah:
Kalau bantuan dari pemerintah cukup, maka masyarakat tidak akan
mengalami gizi buruk.
2. Generalisasi Terlalu Luas
Salah nalar jenis ini disebabkan oleh jumlah premis yang
mendukung generalisasi tidak seimbang dengan besarnya generalisasi
tersebut sehingga kesimpulan yang diambil menjadi salah. Contoh kalimat
generasi terlalu luas : Ibu hamil dilarang duduk di depan pintu karena
dapat menyebabkan kecacatan pada bayinya.
3. Pemilihan terbatas pada dua alternative
Salah nalar ini dilandasi oleh penalaran alternatif yang tidak tepat
dengan pemilihan jawaban yang ada. Contoh: Pasien Bidan A yang
berobat itu kabur sebelum bidan A memeriksanya karena malu tidak
memiliki biaya.
4. Penyebab yang salah Nalar
Salah nalar ini disebabkan oleh kesalahan menilai sesuatu sehingga
mengakibatkan terjadi pergeseran maksud. Contoh: seorang yang telah
hamil tua dianjurkan membawa alat seperti sapu lidi atau pun jarum agar
makhlus halus tidak mengikuti.
5. Analogi yang Salah
Salah nalar ini dapat terjadi bila orang menganalogikan sesuatu
dengan orang lain dengan anggapan persamaan salah satu segi akan
memberikan kepastian persamaan pada segi yang lain. Contoh : Bidan A
adalah orang yang cakap dalam memberikan pelayanan, Bidan A pasti bisa
memecahkan masalah di lingkungannya.

12
6. Argumentasi bidik orang
Salah nalar jenis ini disebabkan oleh sikap menghubungkan sifat
seseorang dengan tugas yang diembannya. Contoh : Bidan A tidak bisa
menolong persalinan sungsang karena selama pendidikan bidan A tidak
menguasai pelajarannya.
7. Meniru yang sudah ada
Salah nalar jenis ini berhubungan dengan anggapan bahwa sesuatu
itu dapat kita lakukan kalau orang lain melakukan hal itu. Contoh: Dukun
beranak itu melakukan tindakan manual plasenta sehingga menyebabkan
perdarahn pada ibu, hal ini dilakukan karena dukun itu pernah melihat
bidan A melakukan tindakan tersebut.
8. Penyamarataan para ahli
Salah nalar ini disebabkan oleh anggapan orang tentang berbangi
ilmu dengan pandangan yang sama. Hal ini akan mengakibatkan
kekeliruan mengambil kesimpulan. Contoh : Bidan A adalah bidan
terkenal yang pintar dan banyak membantu pemecahan masalah yang ada,
hal ini karena ialah bekerja sebagai bidan.
9. Kesalahan dalam memberi argumentasi
Agumentasi adalah alasan yang diberikan untuk membenarkan atau
menguatkan suatu pendirian atau suatu pendapat. Kesalahan dalam
memberikan argumentasi dapat terjadi karena argumentasi yang diberikan
tidak mengenai pokok masalah, atau menukar pokok masalah dengan
pokok lain, dan argumentasi yang diberikan menggunakan pokok yang
tidak langsung atau remeh.

Menurut Newman (White, 2005: 17) mengklasifikasikan kesalahan


berdasarkan prosedur Newman adalah sebagai berikut:
1. Kesalahan membaca (Reading Errors)
Pernyataan tersebut bermakna bahwa kesalahan akan
diklasifikasikan sebagai reading jika bidan tidak dapat membaca sebuah

13
kata kunci atau simbol yang tertulis dalam masalah sehingga mencegahnya
untuk memproses lebih lanjut ke pemecahan masalah yang tepat.
2. Kesalahan pemahaman (Comprehension Errors)
Pernyataan di atas bermakna bahwa siswa mampu membaca semua
kata dalam pertanyaan, tetapi tidak memahami arti keseluruhan dari kata-
kata dan oleh karena itu tidak mampu memproses lebih lanjut ke
pemecahan masalah yang tepat.
3. Kesalahan transformasi (Transformation Error)
Pertanyaan tersebut bermakna bahwa siswa telah mengerti
pertanyaan yang dia baca tetapi tidak mampu mengidentifikasikan operasi
atau urutan operasi yang diperlukan untuk memecahkan masalah.
4. Kesalahan keterampilan proses (Process Skills Errors)
Pernyataan tersebut bermakna bahwa siswa mampu
mengidentifikasikan operasi yang sesuai tetapi tidak mengetahui prosedur
yang diperlukan untuk melaksanakan operasi ini secara akurat.
5. Kesalahan penulisan jawaban akhir (Encoding Errors)
Pernyataan tersebut bermakna bahwa siswa secara benar
memecahkan solusi sebuah masalah, tetapi tidak bisa mengungkapkan
sebuah solusi dalam bentuk tertulis yang tepat.

Seorang psikolog dan ahli filsafat, John Locke, mengidentifikasi


beberapa kekeliruan atau kesesatan berfikir akhirnya termanifestasi dalam
perilaku yang juga sesat seperti subjek jarang berfikir sendiri, tidak
menggunakan rasionya sendiri dengan baik dan tidak terbuka untuk melihat
persoalan secara komprehensif (Adib, 2015). Salah nalar dapat dibedakan atas
empat macam :
1. Generalisasi yang terlalu luas
Kesalahan penalaran ini terjadi karena kurangnya data, malas
mengumpulkan dan menguji data yang memadai, sikap menggampangkan,
atau ingin cepat meyakinkan orang lain dengan bahan yang terbatas.
Paling tidak ada dua kesalahan generalisasi yang muncul.

14
2. Generalisasi sepintas
Penulis mengeneralisasi berdasarkan data atau evidensi yang
sangat sedikit.
3. Generalisasi apriori
Penulis mengeneralisasi berdasarkan data yang belum diuji
kebenarannya atau kesalahannya. Biasanya didasarkan atas prasangka
terhadap suatu anggota dari kelompok, keluarga, ras atau suku, agama,
organisasi dan pekerjaan yang melakukan kesalahan atau kekeliruan maka
semua anggota kelompok tersebut dianggap sama.
4. Kerancuann analogi
Kesalahan penaralan ini terjadi karena penggunaan anologi yang
kurang tepat. Kedua hal yang dibandingkan tidak memiliki kesamaan
esensial (pokok).
a. Kekeliruan kausalitas (sebab akibat)
Kesalahan penalaran ini terjadi karena kekeliruan menentuan
sebab. Generalisasi induktif sering disusun berdasarkan pengamatan
sebab dan akibat, tetapi kita kadang-kadang tidak menilai dengan tepat
sebab suatu peristiwa atau hasil kejadian.
b. Kesalahan relevansi
Kesalahan penalaran ini terjadi apabila bukti yang diajukan
tidak berhubungan atau tidak menunjang kesimpulan. Kesalahan ini
dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu : pengabaian persoalan,
penyembunyian persolan, dan kurang memahami persoalan.
c. Penyandaran terhadap presti seseseorang
Kesalahan penalaran ini terjadi karena penulis menggunakan
pendapat seseorang yang terkenal namun bukan ahlinya. (Adib, 2015)

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Seseorang dikatakan berpikir ilmiah jika dapat berpikir secara logis
dan empiris. Logis adalah masuk akal, dan empiris adalah dibahas secara
mendalam berdasarkan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan. Kemudian
menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan, memutuskan, dan
mengembangkannya. Penalaran sebagai salah satu langkah menemukan titik
kebenaran.
Logika melahirkan deduksi dan induksi, yang merupakan suatu proses
pemikiran untuk menghasilkan suatu kesimpulan yang benar didasarkan pada
pengetahuan yang dimiliki. Suatu proses pemikiran dapat dituangkan dalam
pembuatan metode ilmiah dan pembuktian penalaran, yang melahirkan logika
sehingga terciptalah pengetahuan yang baru. Dengan metode berpikir ilmiah
lah pengetahuan akan dianggap sah.
Dalam penalaran, dapat dijadikan dasar konklusi adalah premis. Jadi
semua premis harus benar. Benar di sini harus meliputi sesuatu yang benar
secara formal maupun material. Formal berarti penalaran memiliki bentuk
yang tepat, diturunkan dari aturan- aturan berpikir yang tepat sedangkan
material berarti isi atau bahan yang dijadikan sebagai premis tepat.

B. Saran
Diharapkan pembaca dapat melatih pola berpikir secara logis dan
sistematis dalam setiap proses mendalami berbagai macam pengetahuan. Hal
ini penting mengingat filsafat ilmu adalah akar berbagai keilmuan yang terus
berkembang pesat seiring waktu.

16
DAFTAR PUSTAKA

Sukartha IN, Suparwa IN, Putrayasa IGNK, dan Teguh IW, 2015, Bahasa
Indonesia Akademik Untuk Perguruan Tinggi, Udayana University Press, Bali.

Molan B, 2017, Logika: Ilmu dan Seni Berpikir Kritis, Penerbit PT Indeks,


Jakarta.

Adib M., 2015. Filsafat Ilmu Ontologi, Epistemiologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
Pengetahuan, Edisi ke-3 (revisi), Cetakan I Maret 2015. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Dhanik Sulistyarini, 2020, Buku Ajar Retorika, CV. AA Rizky, Bandar Lampung

Dea Tria Putri, Moh. Mahfud Effendi, 2017, Jurnal Analisis Kesalahan
Penalaran, Universitas Muhammadiyah Malang

iii

Anda mungkin juga menyukai