Anda di halaman 1dari 21

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kecemasan

1. Definisi Kecemasan

Anxiety (kecemasan, kegelisahan): 1) Perasaan campuran berisikan

ketakutan dan keprihatinan mengenai masa-masa mendatang tanpa sebab khusus

untuk ketakutan tersebut. 2) Rasa takut atau kekhawatiran kronis pada tingkat

yang ringan. 3) Kekhawatiran atau ketakutan yang kuat dan meluap-luap

(Chaplin, 2011).

Priest (dalam Safaria & Saputra, 2009) berpendapat bahwa kecemasan

atau perasaan cemas adalah suatu keadaan yang dialami ketika berpikir tentang

sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi. Calhoun dan Acocella (dalam Safaria &

Saputra, 2009) menambahkan, kecemasan adalah perasaan ketakutan (baik

realistis maupun tidak realistis) yang disertai dengan keadaan peningkatan reaksi

kejiwaan.

Kecemasan dapat didefinisikan sebagai kondisi emosional yang tidak

menyenangkan, yang ditandai oleh perasaan-perasaan subyektif seperti

ketegangan, ketakutan, kekhawatiran dan juga ditandai dengan aktifnya sistem

syaraf pusat (Mu’arifah, 2005). Kecemasan adalah gangguan psikologis yang

dicirikan dengan ketegangan motorik (gelisah, gemetar dan ketidakmampuan

untuk rileks), hiperaktivitas dan pikiran serta harapan yang mencemaskan

(Santrock, 2002).
12

Kecemasan sebagai suatu keadaan emosional yang mempunyai ciri

keterangsangan fisiologis, perasaan tegang yang tidak menyenangkan dan

perasaan aprehensif atau keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu

yang buruk akan segera terjadi (Nevid, Rathus & Greene, 2003).

Menurut Kartono (dalam Marvienda, 2007) kecemasan adalah rasa ragu,

gemetar atau tidak berani terhadap hal-hal yang tidak konkrit, semu ataupun tidak

jelas. Selalu penuh dengan ketegangan emosional, serta dipenuhi oleh bayangan-

bayangan kesulitan yang ada dalam khayalan saja.

Kecemasan merupakan suatu respon yang beragam terhadap situasi-situasi

yang mengancam, yang pada umumnya berwujud ketakutan kognitif,

keterbangkitan syaraf fisiologis, dan suatu pengalaman subjektif dari ketegangan

atau kegugupan (Dayakisni & Hudaniah, 2009).

Dari definisi-definisi kecemasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa

kecemasan adalah kondisi yang tidak menyenangkan pada individu yang ditandai

dengan rasa khawatir dan perasaan subjektif lainnya disertai reaksi kejiwaan pada

emosional, kognitif dan fisiologis.

2. Reaksi yang Ditimbulkan oleh Kecemasan

Calhoun dan Acocella (dalam Safaria & Saputra, 2009) mengemukakan

aspek-aspek kecemasan yang dikemukakan dalam tiga reaksi, yaitu sebagai

berikut:

a. Reaksi emosional, yaitu komponen kecemasan yang berkaitan dengan

persepsi individu terhadap pengaruh psikologis dari kecemasan, seperti


13

perasaan keprihatinan, ketegangan, sedih, mencela diri sendiri atau orang

lain.

b. Reaksi kognitif, yaitu ketakutan dan kekhawatiran yang berpengaruh

terhadap kemampuan berpikir jernih sehingga mengganggu dalam

memecahkan masalah dan mengatasi tuntutan lingkungan sekitarnya.

c. Reaksi fisiologis, yaitu reaksi yang ditampilkan oleh tubuh terhadap

sumber ketakutan dan kekhawatiran. Reaksi ini berkaitan dengan sistem

syaraf yang mengendalikan berbagai otot dan kelenjar tubuh sehingga

timbul reaksi dalam bentuk jantung berdetak lebih keras, nafas bergerak

lebih cepat, tekanan darah meningkat.

Blackburn dan Davidson (dalam Safaria & Saputra, 2009) mengemukakan,

reaksi kecemasan dapat mempengaruhi suasana hati, pikiran, motivasi, perilaku,

dan gerakan biologis. Hal ini dapat dilihat dalam analisis gangguan fungsional

yang dibuat oleh Blackburn dan Davidson.

Analisis Gangguan Fungsional Kecemasan dari Blackburn dan Davidson

(dalam Safaria & Saputra, 2009):

Simptom-simptom Psikologis Keterangan

Suasana hati Kecemasan, mudah marah.


Pikiran Khawatir, sukar konsentrasi, dan
sensitif.
Motivasi Ketergantungan tinggi.
Perilaku Gelisah.
Gerakan biologis Jantung berdebar-debar, dan pusing.
14

Dalam bukunya Principles of Psychotherapy: an Experimental Approach

(1996), Maher menyebut tiga komponen dari reaksi kecemasan yang kuat, yaitu

(Sobur, 2003):

a. Emosional: orang tersebut mempunyai ketakutan yang amat sangat dan

secara sadar.

b. Kognitif: ketakutan meluas dan sering berpengaruh terhadap

kemampuan berpikir jernih, memecahkan masalah, dan mengatasi

tuntutan lingkungan.

c. Psikologis: tanggapan tubuh terhadap rasa takut berupa pengerasan diri

untuk bertindak, baik tindakan itu dikehendaki atau tidak.

Pengalaman anxiety dalam gangguan-gangguan neurotik tidak begitu jelas

berbeda dengan ketakutan-ketakutan yang besar. Sesungguhnya, masalah-masalah

ini mempunyai asal atau sumber dalam lingkungan yang secara emosional dirasa

mengerikan atau menakutkan. Kebanyakan individu yang mengalami pengalaman

neurotik tidak mampu mengidentifikasi diri, tidak memiliki pemikiran-pemikiran

yang rasional, serta tidak mempunyai sumber-sumber yang realistis untuk

kecemasan itu (Wiramikardja, 2005).

3. Ciri-ciri Kecemasan

Beberapa ciri-ciri kecemasan (Nevid, Rathus & Greene, 2003):

Ciri-ciri fisik seperti kegelisahan, jantung berdebar keras, suara yang

bergetar, pusing, merasa sensitif atau mudah marah.

Ciri-ciri behavioral seperti perilaku menghindar, perilaku melekat dan

dependen, perilaku terguncang.


15

Ciri-ciri kognitif seperti khawatir tentang sesuatu, perasaan terganggu akan

ketakutan, keyakinan bahwa sesuatu yang mengerikan akan terjadi, ketakutan

akan kehilangan kontrol, ketakutan akan ketidakmampuan untuk mengatasi

masalah, khawatir terhadap hal-hal sepele, pikiran terasa bercampur aduk atau

kebingungan, khawatir akan ditinggal sendirian, sulit konsentrasi.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan dapat ditinjau melalui

beberapa pendekatan, yaitu (Mu’arifah, 2005):

a) Pendekatan Biologis

Pandangan teori biologis menyatakan bahwa peristiwa biologis

mendahului konflik psikologis. Stimulasi sistem saraf otonom

menyebabkan gejala tertentu, kardiovasculer. Orang mengalami cemas

karena terjadi ketidaknormalan fisik atau diawali dengan ganggguan

terhadap fisik yang berefek pada psikologis. Kecemasan yang

abnormal dipandang sebagai akibat suatu peristiwa biologis atau tidak

berfungsinya bagian tertentu dari tubuh manusia dan bukan sebagai

suatu peristiwa psikologis.

b) Pendekatan Belajar

Teori belajar menganggap bahwa kecemasan berkembang melalui

belajar berasosiasi, sehingga stimulus yang mulanya netral menjadi

suatu yang mencemaskan karena kondisioning yang didasarkan pada

hubungan dengan stimulus yang tidak menyenangkan (aversive

stimulus). Teori ini mengatakan bahwa kecemasan dapat diperoleh


16

melalui beberapa cara yang berbeda, yakni muncul melalui klasikal

kondisioning dengan bermacam- macam stimulus yang mendekati.

Dengan dua atau banyak kondisioning, kecemasan dapat meluas dari

satu stimulus ke stimulus yang lain.

c) Pendekatan Teori Kognitif

Pandangan teori kognitif menyimpulkan bahwa terjadinya kecemasan

karena adanya pola pikir yang salah, terdistorsi atau tidak produktif

(counterproductive) menyertai atau mendahului perilaku maladaptif

dan gangguan emosional. Berdasarkan teori kognitif, beberapa faktor

yang menyebabkan seseorang mengalami kecemasan, seperti prediksi

berlebihan terhadap rasa takut, keyakinan yang self-defeating atau

irasional, sensitivitas berlebihan terhadap ancaman, sensitivitas

kecemasan, salah mengatribusikan sinyal-sinyal tubuh serta self-

efficacy yang rendah (Nevid, Rathus & Greene, 2003).

d) Pendekatan Eksistensial dan Humanistik

Teori ini mengatakan bahwa seseorang menjadi cemas karena adanya

kehampaan yang menonjol dalam dirinya. Kecemasan merupakan

respon seseorang terhadap kehampaan eksistensi. Murray berpendapat

bahwa gangguan jiwa dikarenakan orang tidak dapat memuaskan

macam-macam kebutuhan jiwa, diantaranya kebutuhan untuk afiliasi,

yaitu kebutuhan akan kasih sayang dan diterima oleh orang lain dalam

kelompok, kebutuhan untuk otonomi, yakni ingin bebas pengaturan

dari orang lain, kebutuhan untuk berprestasi, yang muncul dalam


17

keinginan untuk sukses mengerjakan sesuatu. Terjadinya gangguan

jiwa disebabkan oleh tekanan dari perasaan rendah diri (inferiority

complex) yang berlebih- lebihan, sebab timbulnya rasa rendah diri

disebabkan adanya kegagalan dalam mencapai superioritas dalam

hidup. Kegagalan yang terus menerus ini dapat menyebabkan

kecemasan dan ketegangan emosi.

Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan antara lain, yaitu

(Marvienda, 2007):

a) Keadaan pribadi individu

b) Pengalaman tidak menyenangkan

c) Dukungan sosial

d) Konflik

e) Lingkungan

f) Kehilangan orang dekat dan kematian

B. Kelekatan (Attachment)

1. Definisi Kelekatan

Kelekatan diartikan oleh Ainsworth (dalam Cahyani, Alsa & Helmi, 1999)

sebagai suatu ikatan yang bersifat afeksional pada seseorang yang ditujukan pada

orang-orang tertentu atau disebut figur lekat dan berlangsung terus- menerus.

Menurut Martin Herbert dalam The Social Sciences Encyclopedia,

“attachment” mengacu pada ikatan antara dua orang individu atau lebih; sifatnya

adalah hubungan psikologis yang diskriminatif dan spesifik, serta mengikat

seseorang dengan orang lain dalam rentang waktu dan ruang tertentu. Feldman
18

mendefinisikan attachment sebagai “ the positive emotional bond that develops

between a child and a particular individual” (Desmita, 2010)

Santrock (2002), kelekatan mengacu kepada suatu relasi antara dua orang

yang memiliki perasaan yang kuat satu dengan yang lain dan melakukan banyak

hal bersama untuk melanjutkan relasi tersebut.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

kelekatan adalah ikatan afeksi dengan figur lekat yang dapat berupa orangtua,

teman dan berlangsung secara terus menerus.

2. Teori Kelekatan (Attachment Theory)

Teori kelekatan pertama kalinya digunakan untuk menjelaskan hubungan

antara bayi dan pengasuh utama (Bretherthon dalam Helmi, 2004). Prinsip dasar

dari teori kelekatan adalah hubungan kelekatan tetap penting sepanjang masa

hidup (Bartholomew & Horowitz, 1991). Para ahli teori kelekatan seperti psikiater

Inggris John Bowlby dan psikolog perkembangan Amerika Mary Ainsworth

menyatakan bahwa kelekatan yang aman di masa bayi penting bagi perkembangan

kompetensi sosial.

Dalam kelekatan yang aman (secure attachment), bayi menggunakan

pengasuhnya biasanya ibu sebagai basis yang aman untuk mengeksplorasi

lingkungannya. Kelekatan yang aman dianggap sebagai landasan yang penting

bagi perkembangan selanjutnya di masa kanak-kanak, remaja, dan dewasa. Dalam

kelekatan yang tidak aman (insecure attachment), bayi mungkin menghindari

pengasuh atau memperlihatkan penolakan atau sikap ambivalen terhadap


19

pengasuh. Kelekatan tidak aman dianggap berkaitan dengan masalah dalam relasi

dan perilaku di masa perkembangan selanjutnya (Santrock, 2007).

Banyak studi yang mengukur kelekatan yang aman dan tidak aman di

masa remaja dengan menggunakan Adult Attachment Inteview (AAI) oleh George,

Main, dan Kaplan. Pengukuran ini menilai memori individu mengenai relasi

kelekatan yang penting. Berdasarkan respons yang diberikan terhadap pertanyaan-

pertanyaan AAI, individu diklasifikasikan sebagai individu yang aman-otonom

atau sebagai salah satu dari tiga kategori tidak aman sebagai berikut (Santrock,

2007):

a) Kelekatan yang menolak/menghindar (dismissing/avoidant

attachment) adalah sebuah kategori dari individu yang tidak aman di

mana individu tersebut kurang menekankan pentingnya kelekatan.

Dalam sebuah studi, kelekatan yang menolak/menghindar berkaitan

dengan perilaku menyimpang dan agresif pada remaja.

b) Kelekatan yang bersifat preokupasi/ambivalen

(preoccupied/ambivalent attachment) adalah kategori individu yang

tidak aman di mana remaja terpaku pada pengalaman kelekatan.

c) Kelekatan yang tidak terselesaikan/disorganisasi

(unresolved/disorganized) adalah kategori yang tidak aman di mana

remaja memiliki tingkat rasa takut yang tinggi dan mungkin

mengalami disorientasi.

Pada dekade 1980-an penelitian kelekatan diaplikasikan untuk

menjelaskan hubungan romantis orang dewasa. Penelitian hubungan romantis


20

yang dikonsepsikan sebagai proses kelekatan dengan menggunakan dasar teori

kelekatan dari Bowbly ini dilakukan oleh Hazan dan Shaver pada tahun 1987.

Selanjutnya peneliti-peneliti lain mengikuti langkahnya dan memperluas topik

penelitian yaitu mengaitkan gaya kelekatan dengan berbagai macam kehidupan

sosial dan interaksi sosial (Helmi, 2004).

Gaya Kelekatan menurut Hazan dan Shaver (dalam Collins & Read, 1990)

terbagi tiga, yaitu:

a) Aman; individu yang mencirikan kebahagiaan, kepercayaan,

persahabatan, merasa disukai dan dipercaya oleh orang lain.

b) Menghindar; individu yang ditandai dengan percaya bahwa tidak

membutuhkan orang lain.

c) Cemas; individu yang ditandai dengan rasa emosional yang tinggi

dan rendah, kecemburuan dan obsesif. Selain itu, memiliki

keraguan pada orang lain.

Bartholomew dan Horowitz (1991) membagi kelekatan menjadi empat

kategori, yaitu:

a) Secure (aman). Kategori ini menunjukkan individu dengan rasa

kelayakan dan harapan bahwa orang lain menerima dan responsif

terhadapnya.

b) Preoccupied (ambivalen). Kategori ini menunjukkan individu

dengan rasa tidak aman yang dikombinasikan dengan evaluasi

positif dari orang lain. Individu seperti ini berjuang untuk diterima

oleh orang lain akan tetapi takut untuk ditolak.


21

c) Fearful-avoidant (takut-menghindar). Kategori ini menunjukkan

individu dengan rasa tidak aman dengan evaluasi negatif pada

orang lain. Pandangan yang negatif terhadap diri sendiri dan orang

lain. Tidak dapat percaya pada orang lain sehingga menghindari

hubungan dekat dengan orang lain.

d) Dismissive-avoidant (menolak-menghindar). Kategori ini

menunjukkan individu yang positif dalam memandang diri sendiri,

merasa patut untuk membuat hubungan dekat dengan orang lain

namun dikombinasikan dengan evaluasi negatif pada orang lain.

Individu ini menolak hubungan dekat dengan orang lain karena

mengharapkan orang lain lebih buruk dari mereka.

3. Dimensi Kelekatan

Kelekatan yang dikembangkan oleh Collins dan Read (1990) terdapat tiga

dimensi, yaitu:

a) Kedekatan (Close); kenyamanan dengan kedekatan dan keintiman.

b) Tergantung (Depend); kenyamanan dengan tergantung pada orang lain.

c) Cemas (Anxiety); khawatir akan ditolak atau tidak disukai.

Dimensi kelekatan yang dikembangkan oleh Collins dan Read (1990)

berdasarkan keyakinan bahwa sifat dan kualitas hubungan seseorang di masa

dewasa sangat dipengaruhi oleh peristiwa afektif yang terjadi selama masa kanak-

kanak. Teori kelekatan menekankan model kognitif yang saat ini sudah mengarah

pada teori-teori hubungan yang lebih umum, seperti sosial, emosional, dan

perkembangan kepribadian.
22

Collins dan Read (1990) menunjukkan adanya kaitan antara kelekatan di

masa awal atau anak-anak dengan menjalin hubungan cinta pada orang dewasa.

Dimensi ini dapat dilihat sebagai prinsip panduan yang menentukan bagaimana

sistem kelekatan memanifestasikan dirinya dalam hubungan dewasa. Ini

menyangkut keyakinan dan harapan yang mendasari perasaan keamanan di masa

dewasa, seperti apakah pasangan akan responsif dan tersedia saat dibutuhkan,

apakah seseorang nyaman berada dengan kontak dekat dan keintiman, dan

keyakinan tentang apakah pasangan akan terus mencintai. Keyakinan dan harapan

mengenai rasa aman ini memiliki implikasi penting bagi perilaku dalam berbagai

hubungan dan situasi.

4. Aspek-aspek Kelekatan

Menurut Papalia, Olds dan Feldman (dalam Hermasanti, 2009) aspek-

aspek kelekatan antara lain:

a) Sensitivitas figur

Sensitivitas figur dapat berupa seberapa besar kepekaan figur terhadap

kebutuhan individu atau sejauh mana figur lekat dapat mengetahui

kebutuhan-kebutuhan individu.

b) Responsivitas figur

Responsivitas figur adalah bagaimana figur lekat menanggapi

kebutuhan individu.

Menurut Erwin (dalam Hermasanti, 2009) aspek utama pembentukan dan

pengembangan kelekatan adalah penerimaan figur lekat, sensitivitas atau

kepekaan figur lekat terhadap kebutuhan individu dan responsivitas kedua belah
23

pihak baik figur lekat maupun individu dalam menanggapi stimulus-stimulus yang

diberikan untuk memperkuat kelekatan antara keduanya.

C. Remaja

1. Definisi Remaja

Istilah “adolescene” atau remaja telah digunakan untuk menunjukkan

suatu tahap perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa, yang

ditandai oleh perubahan fisik, perkembangan kognitif, dan sosial. Batasan usia

remaja yang umum digunakan oleh para ahli adalah antara 12 hingga 21 tahun.

Rentang waktu usia remaja ini biasanya dibedakan atas 3, yaitu 12-15 tahun =

masa remaja awal, 15-18 tahun = masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun =

masa remaja akhir (Desmita, 2010).

Remaja (adolescene) diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara

masa anak-anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif

dan sosial-emosional. Walaupun situasi budaya dan sejarah membatasi

kemampuan kita untuk menentukan rentang usia remaja, di Amerika dan

kebanyakan budaya lain sekarang ini, masa remaja dimulai kira-kira usia 10

sampai 13 tahun dan berakhir antara usia 18 dan 22 tahun (Santrock, 2003).

2. Tugas-tugas Perkembangan pada Masa Remaja

Tugas-tugas perkembangan pada masa remaja yaitu (Hurlock, 2012):

a) Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya

baik pria maupun wanita

b) Mencapai peran sosial pria dan wanita

c) Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif


24

d) Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab

e) Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang-orang

dewasa lainnya

f) Mempersiapkan karier ekonomi

g) Mempersiapkan perkawinan dan keluarga

3. Perkembangan Hubungan dengan Teman Sebaya

Perkembangan kehidupan sosial remaja juga ditandai dengan gejala

meningkatnya pengaruh teman sebaya dalam kehidupan mereka. Sebagian besar

waktunya dihabiskan untuk berhubungan atau bergaul dengan teman-teman

sebaya mereka. Berbeda halnya dengan anak-anak, hubungan teman sebaya

remaja lebih didasarkan pada hubungan persahabatan (Desmita, 2010).

Secara lebih rinci, Kelly dan Hansen (dalam Desmita, 2010) menyebutkan

6 fungsi positif dari teman sebaya, yaitu:

a) Mengontrol impuls-impuls agresif. Melalui interaksi dengan teman

sebaya, remaja belajar bagaimana memecahkan pertentangan-

pertentangan dengan cara-cara yang lain selain dengan tindakan agresi

langsung.

b) Memperoleh dorongan emosional dan sosial serta menjadi lebih

independen. Teman-teman dan kelompok teman sebaya memberikan

dorongan bagi remaja untuk mengambil peran dan tanggung jawab

baru mereka.
25

c) Meningkatkan ketrampilan-ketrampilan sosial, mengembangkan

kemampuan penalaran, dan belajar untuk mengekspresikan perasaan-

perasaan dengan cara-cara yang lebih matang.

d) Mengembangkan sikap terhadap seksualitas dan tingkah laku peran

jenis kelamin. Sikap-sikap seksual dan tingkah laku peran jenis

kelamin terutama dibentuk melalui interaksi dengan teman sebaya.

e) Memperkuat penyesuaian moral dan nilai-nilai. Umumnya orang

dewasa mengajarkan kepada anak-anak mereka tentang apa yang benar

dan apa yang salah.

f) Meningkatkan harga diri (self-esteem). Menjadi orang yang disukai

oleh sejumlah besar teman-teman sebayanya membuat remaja merasa

enak atau senang tentang dirinya.

Bagi sebagian remaja, ditolak atau diabaikan oleh teman sebaya,

menyebabkan munculnya perasaan kesepian atau permusuhan. Di samping itu,

penolakan oleh teman sebaya dihubungkan dengan kesehatan mental dan problem

kejahatan (Desmita, 2010). Menurut Rice dan Dolgin (dalam Santoso & Febriani,

2012) pada masa ini terjadi perubahan besar pada kelompok primer remaja dengan

semakin besarnya pengaruh teman sebaya terhadap kehidupan yang berakibat

pada makin banyaknya waktu dan kegiatan yang dipergunakan untuk

melaksanakan kebutuhan sosial.

Menurut Bronfenbrenner teman sebaya merupakan bagian dari

mikrosistem remaja. Pada level mikrosistem ini hubungan dan interaksi individu
26

dengan lingkungan terdekat disekelilingnya, termasuk teman sebaya, akan sangat

mempengaruhi perkembangannya. Remaja akan sangat tunduk pada kelompok

teman sebaya tetapi cenderung sangat agresif terhadap saingannya (Santoso &

Febriani, 2012).

Remaja memiliki kebutuhan yang kuat untuk disukai dan diterima kawan

sebaya atau kelompok. Sebagai akibatnya, mereka akan merasa senang apabila

diterima dan sebaliknya akan merasa sangat tertekan dan cemas apabila

dikeluarkan dan diremehkan oleh kawan-kawan sebayanya. Kawan-kawan sebaya

(peers) adalah anak-anak atau remaja yang memiliki usia atau tingkat kematangan

yang kurang lebih sama (Santrock, 2007).

Salah satu fungsi terpenting dari kelompok kawan sebaya adalah sebagai

sumber informasi mengenai dunia di luar keluarga. Remaja memperoleh umpan-

balik mengenai kemampuannya dari kelompok kawan sebaya. Remaja

mempelajari bahwa apa yang mereka lakukan itu lebih baik, sama baik, atau

kurang baik, dibandingkan remaja-remaja lainnya. “Kawan sebaya” dan

“kelompok kawan sebaya” merupakan konsep global. Konsep ini dapat

dipergunakan untuk memahami pengaruh kawan sebaya sejauh yang dimaksud

adalah “kondisi situasi”, dan jenis situasi tertentu di mana anak berpartisipasi,

seperti “kenalan,” “klik,” “asosiasi orang-orang di lingkungan tempat tinggal,”

“jaringan sahabat,” dan “kelompok aktivitas.” (Santrock, 2007).

Menurut Bukowski dkk (dalam Santrock, 2007) bahwa relasi yang baik di

antara kawan-kawan sebaya dibutuhkan bagi perkembangan sosial yang normal di

masa remaja. Isolasi sosial, atau ketidakmampuan untuk “terjun” dalam sebuah
27

jaringan sosial, berkaitan dengan berbagai bentuk masalah dan gangguan, mulai

dari masalah kenakalan dan masalah minuman keras hingga depresi. Berdasarkan

sebuah studi yang dilakukan oleh Ryan dan Patrick pada tahun 1996 mengenai

remaja, terungkap bahwa relasi yang positif dengan kawan sebaya berkaitan

dengan penyesuian sosial yang positif (Santrock, 2007).

Menurut Kupersmidt dan DeRosier (dalam Santrock, 2007) bahwa bagi

beberapa remaja, pengalaman ditolak atau diabaikan dapat membuat mereka

merasa kesepian dan bersikap bermusuhan. Di samping itu, pengalaman ditolak

dan diabaikan oleh kawan-kawan sebaya berkaitan dengan masalah kesehatan

mental dan masalah kejahatan di masa selanjutnya. Berdasarkan studi yang

dilakukan Fisher (dalam Santrock, 2007), remaja yang lebih tua yang

mengembangkan kelekatan yang bersifat ambivalen dengan orangtuanya,

cenderung merasa kurang puas ketika berelasi dengan sahabatnya, dibandingkan

dengan remaja yang mengembangkan kelekatan yang aman dengan orangtua.

Kelekatan yang aman dengan orangtua dapat menjadi modal bagi remaja

dan meningkatkan kepercayaan mereka ketika menjalin relasi karib dengan orang

lain, serta meletakkan landasan yang kuat untuk mengembangkan keterampilan

relasi karib. Menurut Saarni, individu yang sering murung dan memiliki emosi

negatif lebih sering mengalami penolakan oleh kawan-kawan sebaya, sementara

individu yang memiliki emosi positif akan lebih popular. Remaja yang memiliki

keterampilan regulasi-diri yang efektif dapat mengatur ekspresi emosinya dalam

konteks membangkitkan emosi yang kuat, seperti ketika seorang kawan

mengatakan sesuatu yang negatif (Santrock, 2007).


28

D. Media Sosial

Menurut kamus umum bahasa Indonesia, “media” adalah alat (sarana)

untuk menyebarluaskan informasi, seperti surat kabar, radio, televisi. Sedangkan

“sosial” adalah segala sesuatu mengenai masyarakat, kemasyarakatan,

perkumpulan; perkumpulan yang bersifat dan bertujuan kemasyarakatan.

Dari definisi masing-masing kata yaitu media dan sosial, maka dapat

disimpulkan bahwa media sosial merupakan alat atau sarana untuk

menyebarluaskan informasi yang bersifat kemasyarakatan. Dalam hal ini media

sosial yang dimaksud merupakan sarana yang digunakan oleh para penggunanya

untuk berpartisipasi, berbagi informasi dalam dunia maya.

Media sosial merupakan sarana untuk menjalin komunikasi dan

pertemanan dengan orang lain. Media sosial yang menjadi fokus dalam penelitian

ini adalah Facebook dan Twitter. Media sosial seperti Facebook dan Twitter

banyak digunakan oleh para remaja. Kelekatan merupakan bentuk ikatan afeksi

seseorang dengan figur lekatnya. Figur lekat remaja adalah hubungan

pertemanannya dengan kawan sebaya. Dalam hal ini remaja yang menjalin

komunikasi dan pertemanan melalui media sosial.

Beberapa situs jaringan sosial yang banyak digunakan yaitu Facebook dan

Twitter. Pengguna dapat menggunakan situs untuk berinteraksi dengan orang

yang mereka offline atau untuk bertemu orang-orang baru. Facebook,

memungkinkan penggunanya untuk menampilkan diri dalam profil online,

menumpuk ''teman'' yang dapat menulis komentar pada halaman masing-masing,

dan melihat profil masing-masing. Anggota Facebook juga dapat bergabung


29

dengan kelompok virtual berdasarkan kepentingan bersama, melihat kelas yang

mereka miliki bersama, dan belajar hobi satu sama lain, kepentingan, selera

musik, dan status hubungan melalui profil (Ellison, Steinfield & Lampe, 2007).

Sedangkan Twitter merupakan sebuah media sosial dalam format

mikroblogging yang sangat terkenal di Indonesia. Penetrasi tingkat penggunaan

Twitter di Indonesia adalah yang tertinggi di dunia (Hasanuddin dkk, 2011).

E. Kerangka Berpikir

Kelekatan merupakan ikatan emosional antara dua orang atau lebih. Teori

awal kelekatan yaitu hubungan emosional antara seorang ibu dan anak. Pada saat

ini, teori kelekatan bukan hanya kedekatan secara fisik saja, namun untuk menjaga

rasa aman (Collins & Read, 1990). Dalam perkembangannya teori awal kelekatan

dapat menjadi tolak ukur hubungan seseorang dengan orang lain di masa-masa

remaja, dewasa dan seterusnya. Hal ini kaitannya di masa-masa perkembangan

seorang anak khususnya masa remaja yang sangat penting untuk diperhatikan.

Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak menuju

dewasa. Masa remaja dipengaruhi oleh adanya teman-teman sebaya dalam

kehidupan mereka. Remaja lebih senang berkomunikasi dan menjalin hubungan

dengan teman-teman sebayanya. Hal ini menjadikan remaja tidak dapat lepas dari

teman-temannya, yang kemudian ini merupakan bentuk kelekatan pada masa

remaja. Kelekatan yang aman dengan orangtua dapat menjadi modal bagi remaja

dan meningkatkan kepercayaan mereka ketika menjalin relasi karib dengan

teman-temannya. Sebagai remaja, mereka akan senang apabila dapat diterima oleh
30

teman-teman sebayanya, dan sebaliknya akan merasa cemas apabila diremehkan

oleh teman-teman sebayanya.

Remaja saat ini dalam berkomunikasi dengan teman sebayanya atau

kerabatnnya lebih banyak menggunakan media sosial. Media sosial merupakan

wadah untuk saling bertukar informasi, menjalin hubungan pertemanan melalui

dunia maya. Kemajuan teknologi menghadirkan kemudahan seseorang untuk

melakukan komunikasi interpersonal, salah satunya dengan mengakses media

sosial yang sedang booming di kalangan remaja (Triwidodo dan Dewi, 2012).

Remaja pengguna media sosial akan merasa khawatir apabila ketinggalan

informasi seputar teman-temannya, merasa selalu harus berinteraksi dengan

teman-teman melalui media sosial. Seiring berjalannya waktu, remaja semakin

banyak aktif menggunakan media sosial untuk memenuhi kebutuhan sosialnya

bersama teman-teman.

Hal ini menyebabkan remaja yang menjalin hubungan dengan teman-

teman melalui media sosial diprediksi menimbulkan kecemasan. Kecemasan

merupakan perasaan kekhawatiran, kegelisahan terhadap sesuatu yang tidak jelas

atau tidak diketahui objeknya. Priest (dalam Safaria dan Saputra, 2009)

berpendapat bahwa kecemasan atau perasaan cemas adalah suatu keadaan yang

dialami ketika berpikir tentang sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi.

Kecemasan pada remaja yang menggunakan media sosial berupa merasa khawatir

apabila tidak komunikasi dengan teman-teman di media sosial, merasa

ketinggalan informasi jika tidak menggunakan media sosial setiap hari, merasa

tidak dapat diterima oleh teman-teman jika tidak aktif dalam media sosial. Hal ini
31

menunjukkan bahwa kecemasan remaja pengguna media sosial dapat diprediksi

sebagai adanya kelekatan pada remaja itu sendiri.

F. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah “terdapat hubungan

antara kelekatan dengan kecemasan pada remaja pengguna media sosial”.

Anda mungkin juga menyukai