Anda di halaman 1dari 9

Penanda Ajaran Tantrayana di Pura Kebo Edan

Menuntun Kesitus Purbakala

ARTIKEL ILMIAH

DISUSUN OLEH

Kadek Emy Widya Wirawati


Kelas XII P2

ARTIKEL

SMK KESEHATAN SANJIWANI GIANYAR

TAHUN PELAJARAN 2021/2022


DATA PRIBADI

1. Nama : Kadek Emy Widya Wirawati


2. Tempat /Tgl lahir : Gianyar, 8 Mei 20
3. Kelas : XII P2
4. NISN : 0044678074
5. Alamat : Perumahan Tedung Sari Damai, Jalan Mulawarman
Gianyar
Penanda Ajaran Tantrayana di Pura Kebo Edan
Menuntun Kesitus Purbakala

Veda sebagai akar bagi Hindu dibagi dalam dua bagian (kodifikasi), yaitu: Sruti dan
Smrti. Kemudian bagian-bagian itu memiliki “cabang”. Cabang-cabang ini memberikan
pengaruh terhadap ajaran Hindu di berbagai belahan dunia termasuk  Indonesia.

Agama Shakta menjelaskan tentang peraturan dalam membangun tempat suci untuk
mengukir dan membuat pratima dewa-dewi. Agama Shakta atau Tantra memiliki pengaruh yang
cukup besar terhadap keberadaan Hindu di Indonesia, dilihat dari berbagai bentuk bangunan suci
seperti candi di Jawa, pura di Bali dan gerbang Pura maupun gerbang rumah (paduraksa) di Bali.
Pura di Bali banyak peninggalan-peninggalan bersejarah, yang juga merupakan tujuan wisata.
Salah satu peninggalan bersejarah yang banyak ditemukan di pulau Bali adalah pura. Salah satu
pura yang menyimpan peninggalan bersejarah dalam perkembangan kerajaan Hindu di Indonesia
adalah Pura Kebo Edan yang terdapat di Desa Pejeng. Salah satu pura yang menjadi situs
purbakala adalah Pura Kebo Edan. Pura Kebo Edan merupakan sebuah pura yang menyimpan
tinggalan arkeologi yang unik dan khas. Salah satu keunikan dari pura ini adalah adanya sebuah
arca Siwa Bhirawa yang cukup besar yang menggambarkan Dewa Siwa sedang berdiri diatas
mayat. Untuk itu sangat menarik untuk kita kaji lebih mendalam mengenai situs peninggalan
sejarah dan ajaran yang terkandung didalamnya.

Ajaran Tantrayana

Istilah Tantrayana ini berasal dari akar kata “Tan” yang artinya memaparkan kesaktian
atau kekuatan dari pada Dewa itu. Kitab- kitab yang memuat ajaran Tantrayana banyak sekali
antara lain : Maha Nirwana Tantra, Kularnawa Tantra,Tantra Bidhana, Yoginirdaya Tantra dan
Tantra sara. Tantrayana berkembang luas sampai ke Cina, Tibet, dan Indonesia. Dari Tantrisme
munculah suatu faham “Bhirawa” atau “Bhairawa” yang artinya hebat. Ciri khas arca aliran
Tantrayana berdiri di atas tengkorak. Ada beberapa hal penting menyangkut ritual-ritual Tantra,
salah satu ritual yang dikenal sebagai Cakra Puja atau “puja pada lingkaran” . Dalam ritual ini
menurut Goris (baca; Sekte-sekte di Bali, diterjemahkan oleh P.S. Kusumo Sutojo), pria dan
wanita yang menjadi penyembah bertemu pada tengah malam di suatu tempat sepi, misalnya
sebuah kuburan, kemudian melakukan hubungan “seksual suci”, ini merupakan penyatuan laki-
laki dan perempuan. Tentu pendapat Goris ini terkesan menyimpang dari etika, padahal sejatinya
yang dimaksud dengan cakra puja adalah membangkitkan kekuatan (energy kundalini) yang
terpendam dalam tubuh dengan melaksanakan beberapa tahapan yang disebut dengan istilah
Panca Makara, yaitu: Madya, Mangsa/Mamsa, Matsya, Mudra, dan Maithuna. Ajaran Tantrayana
pada hakikatnya berdasarkan pada bhakti marga yoga yang memberikan penghormatan utama pada karma
marga yoga dan jnana marga yoga. Dalam ajarannya menerima filsafat sankhya dan yoga dengan teori
purusa dan prakerti, menekankan pada ilmu gaib raja marga yoga. Ajaran Tantrayana asas wanita
diwujudkan dan sangat diutamakan pemujaannya sebagai dewi, sedangkan kedudukan dewa-dewa lebih
di bawah.

Bhairawa dan jejak Tradisinya di Bali

Menurut maknanya “bhairawa” berarti menakutkan atau mengerikan. Bhairawa


merupakan salah satu perwujudan Dewa Siwa dalam aspek peleburan dengan perwujudan yang
sangat menyeramkan. Bhairawa sering dilukiskan dengan perwujudan fisik dengan atribut-atribut
yang menyeramkan seperti memakai ular sebagai: anting-anting, kalung, gelang tangan, gelang
kaki, serta memakai tali suci yang disebut “yajnopavita”. Selain itu ada juga atribut lainnya,
seperti memakai kulit harimau sebagai alas tempat duduknya, sabuk dari untaian tengkorak
manusia dan sebagai persembahan yang paling cocok untuk Bhairawa adalah “cicing selem”.
Dan dalam beberapa hal, Bhairawa sering dilukiskan dengan perwujudan makhluk yang
memegang beberapa kepala manusia dan ditunggui oleh anjing di sampingnya.

Asal Mula Bhairawa

Mengenai kemunculan tentang Bhairawa ini ada beberapa cerita yang berkembang
dilingkungan masyarakat pemeluk Hindu. Menurut cerita masyarakat Hindu di daerah Rajasthan,
Tamil Nadu dan Nepal bahwa kemunculan Bhairawa berkaitan erat dengan penghukuman Dewa
Brahma. Pada jaman dahulu bercakap-cakaplah Dewa Wisnu dengan Dewa Brahma. Dewa
Wisnu bertanya, “siapakah Sang Pencipta alam semesta ini”?. Dengan angkuhnya Dewa Brahma
menyuruh Dewa Wisnu untuk menyembah Dewa Brahma, karena Dewa Brahmalah sang
pencipta tertinggi di alam semesta ini. Hal inilah yang membuat Dewa Siwa marah sekali dan
menghukum Dewa Brahma dengan memenggal salah satu dari lima kepala Dewa Brahma.
Sehingga kepala Dewa Brahma masih tersisa empat. Atas perbuatannya itu, Dewa Siwa dianggap
bersalah karena memenggal kepala salah satu kepala Dewa Brahma dan Dewa Siwa pun dikutuk
menjadi “gegendong” dengan membawa mangkok dari tengkorak Dewa Brahma dan “Bhairawa”
ini disebut “Kapalin” atau gegendong dengan mangkok dari tengkorak. Dan sejak itu sang
Bhairawa terus meraung dan menari, dengan berpenampilan seperti orang gila dengan wajah
hitam. Dia juga terus mengganggu upacara para “sadhu”, juga mengambil istri-istri para “sadhu”
tersebut sehingga “lingga” sang Bhairawa dikutuk dan “lingga” ini jatuh dan berubah menjadi
pilar api yang membara. Sang “Kapalin” terus meminta-minta dan menari. Pada suatu saat
tibalah Dia di kediaman Dewa Wisnu, dimana kehadiran sang “gegendong” dihalang-halang
sang penjaga pintu Dewa Wisnu, yang bernama Visvaksena. Karena menghalangi sang
Bhairawa, maka sang penjaga pintu disiksa dengan trisula sampai mati. Kemudian Dewa Wisnu
menyambut sang Bhairawa dengan memberikan sang Bhairawa darah dari kepala Dewa Wisnu,
sang pemelihara alam semesta. Dan hal tersebut membuat sang Bhairawa senang. Dia terus
berjalan, menari serta membawa mayat Visvaksena dan mangkok yang penuh berisi darah dari
Dewa Wisnu. Akhirnya sang Bhairawa dengan mangkok dari kepala Dewa Brahma ini mencapai
kota suci yang disebut Varanasi atau Benares, dan segera setelah sampai di daerah tersebut sang
“Kapalin” dibebaskan dari kutukan Dewa Brahma. Menurut cerita bahwa Bhairawa memiliki
delapan perwujudan, seperti “Kala”(hitam), “Asitanga” (berbibir hitam), “Sanhara”
(penghancuran), “Ruru”(cicing borosan), “Krodha”(kemarahan), “Kapala”(tengkorak),
“Rudra”(badai), dan “Unmatta”(kekejaman). Seiring waktu, Bhairawa berkembang sesuai
dengan keadaan daerah masing-masing pengikut Bhairawa tersebut, misalnya “Kapalika” atau
Bhairawa dengan mangkok dari tengkorak, yang pada awalnya diberi persembahan berupa
“cicing selem” kemudian di beberapa wilayah digambarkan sebagai Bhairawa yang bermandikan
abu dari upacara pembakaran mayat, meminta persembahan dengan pengorbanan manusia, dan
lain sebagainya. Orang-orang menyembah “Bhairawa Kapalika”, gegendong dengan mangkok
tengkorak karena para pemuja ini percaya bahwa dengan memuja sang Bhairawa ini mereka
akan diberikan kekuatan magis yang luar biasa oleh Sang Bhairawa dan para pengikut Kapalika
menganggap bahwa Bhairawa adalah Tuhan dari semua dewa (pencipta, pemelihara dan
pelebur).
Para pengikut Kapalika memang berpenampilan yang sangat seram, memiliki kekuatan
magis dan senang mempersembahkan manusia sebagai korban suci. Prabodha Chandrodaya
melukiskan pengikut Kapalikas sebagai berikut: “Kalung dan perhiasannya dari tulang-tulang
manusia, tinggal di abu pembakaran mayat, makan dengan mangkok dari tengkorak manusia,
melihat dengan mata mendelik Setelah berpuasa mereka minum cairan yang keluar dari kepala
brahmana, mempersembahkan otak, paru-paru, daging serta darah segar yang mengalir dari
kerongkongan untuk sang Bhairawa.”

Paham Bhirawa secara khusus memuja kehebatan dari pada sakti, dengan cara-cara khusus.
Dari bukti peninggalan purbakala dapat diketahui ada tiga peninggalan purbakala
yaitu : Bhairawa Heruka yang terdapat di Padang Lawas Sumatra barat, Bhairawa
Kalacakra yang dianut oleh Kertanegara – Raja Singasari Jawa Timur, serta oleh Adityawarman
pada zaman Gajah Mada di Majapahit, dan Bhairawa Bima di Bali yang arcanya kini ada di
Kebo Edan – Bedulu Gianyar. Dalam upacara memuja Bhairawa yang dilakukan oleh para
penganut aliran Tantrayana yaitu cara yang dilakukan oleh umat Hindu/ Budha untuk dapat
bersatu dengan dewa pada saat mereka masih hidup karena pada umumnya mereka bersatu atau
bertemu dengan para dewa pada saat setelah meninggal sehingga mereka melakukan upacara
jalan pintas yang disebut dengan Upacara ritual Panca Makara Puja. Panca Makara Puja adalah
upacara ritual dengan melakukan 5 hal yang dilarang dikenal dengan 5 MA

1. MADA atau mabuk-mabukan
2. MAUDRA atau tarian melelahkan hingga jatuh pingsan
3. MAMSA atau makan daging mayat dan minum darah
4. MATSYA atau makan ikan gembung beracun
5. MAITHUNA atau bersetubuh secara berlebihan

Hubungan Peninggalan Purbakala Sebagai Penanda Ajaran Tantrayana

Raja Kertanegara dari kerajaan Singasari di Jawa Timur adalah seorang raja yang sangat
taat melaksanakan ajaran Tantrayana Mengenai sejarah berdirinya Pura Kebo Edan adalah
melalui masa yaitu sekitar abad ke-13 masehi. Tantrayana adalah suatu aliran atau sekte yang
pada masa lampau pernah cukup banyak pemeluknya dan berkembang luas di Indonesia, bahkan
raja Kertanegara dari kerajaan Singasari adalah seorang penganut yang taat dari agama Budha
Tantra. pendirian pura ini tentunya berhubungan dengan masa kerajaan Kediri dengan rajanya
Kertanegara di Jawa. adapun Mahapatih beliau yang bernama Kebo Parud datang ke Bali. Pada
masa itu di kerajaan kediri menganut dua aliran ajaran Hindu yaitu Siwa dan Bairawa. maka
kedatangan patih Kebo Parud ke Bali pun membawa ajaran Siwa dan Bairawa yang pada
akhirnya banyak pula dianut oleh masyarakat. Kedua ajaran ini walaupun berbeda namun
tujuannya tetaplah sama yaitu untuk mencapai kelepasan (Moksa). Di Pura Kebo Edan ini kedua
ajaran tersebut disatukan sehingga menjadilah Siwa Bairawa dengan bukti peninggalannya
adalah terdapat sebuah Arca yang berbentuk seperti dewa Siwa dengan hiasan ular pada leher
dan menari diatas mayat serta kemaluannya (penisnya) yang bergerak ke kanan dan ke kiri. Ini
berarti ada dua jalan yang berbeda yang dapat ditempuh untuk mencapai satu tujuan. Selain Arca
Kebo Nandini dan Arca Siwa Bairawa, di Pura Kebo Edan juga terdapat beberapa arca yang
lainnya termasuk Arca Dewa Ganesa. Khusus untuk Arca yang terbesar tadi yaitu Siwa Bairawa
juga memiliki versi cerita yang lainnya yaitu dikatakan bahwa Arca tersebut terkait dengan
Cerita Mahabharata, dan arca tersebut dinamakan sebagai Arca Bima karena mirip dengan tokoh
Bima yang juga memakai kalung berupa ular dilehernya. Mengenai Purana yang terkait dengan
Pura Kebo Edan dikatakan tidak ada ditemukan, dan menurut informasi yang diwawancarai
memperkirakan bahwa purana tentang pura ini dijarah pada masa penjajahan. Kemungkinan
Patih Kebo Parud bertugas sebagai seorang Gubernur atau semacam itu yang mewakili
pemerintah Singasari di Bali. Agama yang dianut Patih Kebo Parud rupa-rupanya adalah
Tantrayana. Dalam prasasti-prasastinya juga tidak terdapat sapatha yang ditujukan kepada Maha
Rsi Agastya, sering terdapat dalam prasasti-prasasti yang ditemukan di Bali yang dikeluarkan
lebih dahulu. Pada sekitar abad ke XIII di Kerajaan Singasari Jawa Timur memang sedang
berkembang bahkan menjadi pusat alian Tantrayana dan sebagai pemimpinnya adalah Raja
Kertanegara sendiri yang memerintah tahun 1268–1292.

Dari jaman Kebo Parud di Bali, di daerah Pejeng didapatkan sebuah Arca Siwa dalam
bentuk Bhaiwara menari. Arca itu tingginya 360 cm dengan bentuk badannya yang besar dan
tegap, berdiri di atas mayat manusia. Bentuknya yang demikian menunjukkan Dewa Siwa dalam
keadaan marah (krodha), rambut arca ikal berombak menunjukkan sifat keraksasaan. Mukanya
memakai kedok muka atau tapel, dapat dilihat dari adanya pita pengikat dibelakang kepalanya
yang menegaskan bahwa muka yang tampak adalah sebuah kedok atau tapel. Pergelangan kaki
dan tangan dibelit ular. sedangkan kemaluannya dilukiskan berayun-ayun dan mencuat kearah
kiri yang mengakibatkan kainnya tersingkap. Arca di tempatkan pada satu bangunan yang
disebut Pelinggih Bhatara Siwa Bhairawa. Bentuk arca itu serupa dengan Arca Bhairawa di
Singasari. Kemungkinan besar bahwa latihan-latihan Tantrayana dilakukan pula pada masa
pemerintahan pegawai-pegawai Kerajaan Singasari di Bali. Arca Bhairawa yang terdapat di
daerah Pejeng itu disimpan di daerah Pura Kebo Edan. Sebutan Siwa Bhairawa oleh penduduk di
sekitar pura itu menunjukkan bahwa arca itu adalah sebuah arca yang dibuat oleh para penganut
Tantrayana untuk kepentingan upacara-upacara kepercayaan.

Gambar : Arca Siwa Bhairawa di Pura Kebo Edan

Setelah abad XIV perkembangan ajaran Bhairawa semakin berkurang. Hal ini disebabkan
oleh karena berkembangnya pola pikir manusia, dan juga banyak ritual-ritual yang dilakukan
bertentangan dengan nilai kesopanan manusia, seperti melakukan seks seperti layaknya binatang,
makan daging bagaikan harimau, dan lain sebagainya. Mengenai cocok atau tidak cocoknya
mengenai ajaran tersebut pada jaman ini, kita harus pandai memilih sesuai dengan desa, kala,
patra, apakah hal semacam itu diterima di lingkungan jaman modern ini atau tidak agar kita nanti
tidak disebut “menyimpang.” Suatu harapan bagi kita semua, mudah-mudahan dalam
berspiritualitas kita bisa beradaptasi sesuai dengan keadaan jaman.

Penulis

Emi
Daftar Pustaka

Miasa, Wayan. 2012.Bhairawa-Bhairawi dan jejak tradisinya di Bali, Denpasar

Sumber: http:/ /wirajhana-eka.blogspot.com

Sumber : arie saksono: http://ariesaksono.wordpress.com/2008/01/21/arca-siwa-bhairawa-


museum-nasional-jakarta/

Anda mungkin juga menyukai