Anda di halaman 1dari 4

Nama : Aulia Azzahra A.F.

NIM : 19510199

Kelas : MSDM II C

A. Pengertian Kepemimpinan Dalam Islam

Kepemimpinan adalah keperluan yang azasi dalam kehidupan manusia. Tugas kepemimpinan
adalah memimpin jiwa-jiwa manusia untuk tunduk dan taat kepada Allah dan rasul-Nya, bukan
sekedar hal-hal yang bersifat material, atau dengan kata lain mendidik iman dan taqwa.

Pemimpin dalam Islam memiliki fungsi ganda yang harus dilaksanakan secara integral. Pertama,
adalah melaksanakan fungsi sebagai leader, yakni untuk menggantikan misi kenabian dalam
rangka menjaga al-din (likhilafati al-nubuwah fi kharosati al-din). Kedua, fungsi manajerial, yaitu
mengatur organisasi untuk urusan duniawi (fi syiyasati al-dunya) (Imam al-Mawardi).

Manusia dihadirkan ke bumi adalah sebagai abdullah dan khalifatullah fi al ardh. Kedua peran tak
bisa dipisahkan, sebagai abdullah tugasnya menjadi khalifah dan menjadi khalifah adalah dalam
rangka abdullah. The two faces of the same coin. Di bumi ada tanah, air, udara, flora, fauna, dan
sebagainya, dan manusia. Jadi tugas manusia adalah mengelola alam dan memimpin sesama
manusia. Dan setiap individu harus bertanggung jawab.

Firman Allah :

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan
berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS 2:30)

Menjadi khalifah adalah karena tugas mengabdi kepada Allah (abdullah), karena itu pemimpin
sejatinya adalah Allah. Ketundukan dan ketaatan sejatinya kepada Allah. Manusia ditakdirkan
sebagai mahluk sosial, maka harus dan hanya bisa bekerja dalam jama’ah (kelompok). Tak ada
sukses sendiri. Di setiap kelompok diharuskan ada pemimpinnya.
Kelompok kecil misalnya keluarga atau kelompok dalam bepergian, maupun kelompok besar
misalnya institusi, suku atau bangsa harus ada satu orang menjadi pemimpinnya. Untuk
mendapatkan pemimpin yang tepat, maka harus mengikuti tuntunan Allah dan Rasul-Nya.

B. Pengertian PHK Dalam Islam

Pemberian pesangon sebagai kompensasi PHK dalam hukum Islam adalah wajib hukumnya,
sebagaimana Islam mewajibkan dikuatkannya akad-akad atau perjanjian kerja demi terjaminnya
hak-hak dan tegaknya keadilan di antara sekalian manusia, dan Islam juga memperhatikan agar
akad-akad dilaksanakan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan dan disepakati. Dalam hal ini,
tujuan diberlakukannya ketentuan kewajiban membayar uang pesangon sebagai kompensasi PHK
adalah untuk memperkuat akad perjanjian kerja. Penguatan akad dalam perjanjian kerja mutlak
diperlukan, mengingat dengan adanya PHK pekerja yang bersangkutan akan kehilangan mata
pencahariannya, sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup bagi diri dan keluarganya. Di
sisi lain terdapat kecenderungan pengusaha untuk seenaknya melakukan PHK, lebih-lebih saat ini
jumlah tenaga kerja lebih besar dari lowongan pekerjaan yang ada.

Rasulullah SAW mempertegas pentingnya kelayakan upah dalam sebuah Hadis, “Mereka (para
budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah SWT menempatkan mereka di bawah asuhanmu,
sehingga barangsiapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan
seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri),
dan tidak membebankan pada mereka tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya
dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).”(HR. Muslim)

C. Pengertian Kepuasan Dalam Islam

Seorang muslim untuk mencapai tingkat kepuasan harus mementingkan beberapa hal, yaitu barang
yang dikonsumsi adalah halal, baik secara zatnya maupun cara memperolehnya, tidak bersifat israf
(royal) dan tabzir (sia-sia). Oleh karena itu, kepuasan seorang muslim tidak didasarkan barang
yang dikonsumsi, tetapi didasarkan atas berapa besar nilai ibadah yang didapatkan dari yang
dikonsumsinya.

Dalam Islam, tujuan konsumsi bukanlah konsep utilitas melainkan kemaslahatan. Konsep utilitas
sangat subjektif karena bertolak pada pemenuhan kebutuhan atau needs. Mashlahah dipenuhi
berdasarkan pertimbangan rasional normatif dan positif, maka ada kriteria yang objektif tentang
suatu barang ekonomi yang memiliki mashlahah ataupun tidak. Konsumsi bukanlah aktifitas tanpa
batas, melainkan juga terbatasi oleh sifat kehalalan dan keharaman yang telah digariskan oleh
syara’, sebagaimana firman Allah dalam Alquran. Al-Mā-idah ayat 87.

Dalam Islam ada tiga hukum yang berlaku dalam konsumsi, yaitu halal, mubah, dan haram; halal
(orang wajib makan); mubah di mana seseorang harus berhati-hati dalam makan karena telah
mencapai kepuasan optimal; dan makan menjadi haram jika seseorang telah mencapai kepuasan
maksimum tetapi masih terus menambah barang yang dimakannya saat inilah seseorang telah
mencapai kepausan optimum. Sedangkan bila telah mencapai kepuasan maksimum, maka harus
berhenti makan karena bila melebihi batas-batas kemampuan konsumsi barang yang semula halal
bisa menjadi haram.

D. Manajemen Global Dalam Islam

Globalisasi dalam pandangan Islam adalah sebuah keniscayaan, karena Islam sendiri adalah ajaran
yang bersifat global, tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Dalam Al-Qur’an surat AlHujurat
(49):13 yang artinya:Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah
orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha
Mengenal”. Su’uba wa Qabaila li ta’arofu dalam ayat di atas menggambarkan bahwa manusia itu
akan terdiri dari berbagai macam suku bangsa, tetapi ujungnya adalah lita’arofu (untuk saling
kenal mengenal).

Kata-kata lita’arofu merupakan perintah untuk memahami dan mengerti suku-suku bangsa.
Implikasinya bermakna bahwa seorang muslim harus mengglobal jauh melintas batas kesukuan
dan teritorial.Ayat 13 surat AlHujurat itu menegaskan bahwa dalam mensikapi globalisasi seorang
muslim harus mempunyai sikap taqwa. Taqwa mempunyai makna seorang muslim harus
mempunyai kekuatan dan kemandirian serta ketundukan kepada Allah SWT dalam keseluruhan
tatanan kehidupan.Taqwa tercermin dalam kekuatan aqidah, kekuatan ilmu pengetahuan, kekuatan
ukhuwwah dan sinergi serta kekuatan pendidikan dan budaya.

Jika ummat Islam menjadi ummat yang kuat, ia akan memberikan arahan dan warna terhadap
setiap perubahan dalam era globalisasi, ia akan mampu pula melakukan seleksi terhadap berbagai
fenomena.Untuk menghadapi globalisasi diperlukan kekuatan-kekuatan atau daya saing, antara
lain:1).daya saing kualitas. 2). daya saing harga.3)daya saing Marketing. 4).daya saing Networking
(jaringan) yang dilandasi oleh ketakwaan.

Anda mungkin juga menyukai