Anda di halaman 1dari 18

STUDI Al-QUR’AN

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

METODOLOGI STUDI ISLAM

Dosen Pengampu :

Ghulam Falach L.c., M.Ag.

Disusun Oleh Kelompok 1

1. Septia Nur Fadila ( 21402028 )


2. Baharudin Noer ( 21402083 )
3. Firda Rochmawati ( 21402133 )
4. Khofifah Anjar W ( 21402163 )

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Studi Al-Qur’an”. Tujuan penulisan Makalah ini
adalah untuk memenuhi tugas Mata kuliah yang diampu oleh Bapak GhulamFalach L.c., M.Ag.
Pada mata kuliah Metodologi Studi Islam.

Kami telah menyusun makalah ini secara maksimal dengan bantuan dari berbagai pihak
sehingga makalah ini bisa selesai dengan lancar. Untuk itu, kami banyak terimakasih kepada
semua pihak yang tidak bisa sebutkan satu persatu atas segala bantuan dan supportnya selama
ini.

Kami menyadari, bahwa makalah yang kami buat jauh dari sempurna dan masih banyak
kekurangan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca, guna menghasilkan laporan makalah yang lebih baik.

Kediri, 06 September 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................ i

DAFTAR ISI .......................................................................................................................... ii

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .......................................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ...................................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ........................................................................................................ 1

BAB II: PEMBAHASAN

A. Al-Qur’an : Pengertian dan Sejarah Turunnya ............................................................ 2


B. Studi Klasik Al-Quran (pendekatan dan metode tafsirbi al-ma’tsur, bi al-ra’yi) .......... 5
C. Perkembangan Studi Al-Quran Pasca Klasik Hingga Modern ..................................... 10

BAB II: PENUTUPAN

A. Kesimpulan ................................................................................................................ 14
B. Saran .......................................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam yang berisi firman Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad Saw, dengan perantara malaikat Jibril untuk dibaca, dipahami dan
diamalkan sebagai petunjuk atau pedoman hidup bagi umat manusia (KBBI, 2008:44). Umat
Islam percaya bahwa Al-Qur’an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang
diperuntukkan bagi manusia, dan bagian dari rukun iman yang disampaikan kepada Nabi
Muhammad Saw melalui perantara Malaikat Jibril. 1

Tujuan utama diturunkan Al-Qur’an adalah untuk menjadikan pedoman manusia dalam
menata kehidupan supaya memperoleh kebahagiaan di dunia dan akherat. Agar tujuan itu dapat
direalisasikan oleh manusia, maka Al-Qur’an datang dengan petunjuk-petunjuk,
keteranganketerangan dan konsep-konsep, baik yang bersifat global maupun yang bersifat
terinci, yang tersurat maupun tersirat dalam berbagai persoalan dan bidang kehidupan (Nurdin,
2006:1). Bahasa yang digunakan dalam terjemahan Al-Qur’an tidak seperti bahasa yang
digunakan manusia dalam kehidupan sehari-hari, karena Al-Qur’an merupakan wahyu dari Allah
Swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Untuk dapat memahami makna yang
terkandung dalam Al-Qur’an, manusia perlu megkaji lebih dalam

B. Rumusan Masalah
1. Apakah definisi Al-Qur’an dan bagaimana sejarah turunnya Al-Qur’an?
2. Bagaimana studi klasik Al-Qur’an?
3. Bagaimana perkembangan studi Al-Qur’an pasca klasik hingga modern?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui definisi Al-Qur’an dan sejara turunnya Al-Qur’an.
2. Mengetahui studi klasik Al-Qur’an.
3. Mengetahui perkembangan studi Al-Qur’an pasca klasik hingga modern

1 http://eki-blogger.blogspot.com/2012/11/perkembangan-studi-al-quran.html?m=1

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Sejarah Turunnya Al-Qur’an


1. Pengertian Al-Qur’an

Secara etimologi Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab dalam bentuk kata benda abstrak
mashdar dari kata [Qara’a – Yaqrau – Qur’anan] yang berarti bacaan. Sebagian bukanlah
musytak dari qara’a melainkan isim alam (namasesuatu) bagi kitab yang mulia, sebagaimana
halnya sebuahnama Taurat dan Injil. Penamaan ini dikhususkan menjadinama bagi Kitab Suci
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Menurut gramatika bahasa Arab bahwa kata “AL-Qur’an” adalah bentuk mashdar dari kata
qara’a yang maknanya muradif (sinonim) dengan kata qira’ah, artinya bacaan tampaknya tidak
menyalahi aturan, karena mengingat pemakaian yang dipergunakan Al-Qur’an dalam berbagai
tempat dan ayat2. Misalnya, antara lain dalam surah Al-Qiyamah ayat 17-18:
ٗ َٰ ُ ٗ َ َََْ
َََََّّّّّۚ‫َّج ْم َعه ََّوق ْرانه‬‫ِانََّّعلينا‬

“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan


(membuatmu pandai) membacanya”.

Dalam surah lain, seperti Al-A’raf ayat 204:


َ ُ ُ َ ُ َْ ٗ َ َ ْ َ ُ ْٰ ُ ْ َ ُ َ َ
َّ‫است ِم ُع ْواَّله ََّوان ِصت ْواَّل َعلَّك ْمَّت ْر َح ُم ْون‬ ‫وِاذاَّق ِرئَّالقرانَّف‬

“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah


dengan tenang agar kamu mendapat rahmat”.

Surah An-Nahl ayat 98:

ٰ ‫َ َ َ ْ َ ُْ ٰ َ َ ْ َ ْ ه‬
َّ‫اّٰلل َِّم َنَّالش ْيط ِنَّالر ِج ْي ِم‬
ِ ‫ف ِاذاَّق َرأتَّالق ْرانَّفاست ِعذ َِّب‬

2
Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits Fi Ulumil Quran terj. Mudzakir AS, (Jakarta , PT. Litera Antar Nusa : 2009 ) hlm.7

2
“Apabila kamu membaca Al-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah
dari syaitan yang terkutuk”.

Sedangkan pengertian Al-Qur’an menurut istilah (terminologi), para ulama berbeda


pendapat dalam memberikan definisi, sesuai dengan segi pandangan dan keahlian masing-
masing. Berikut beberapa definisi Al-Qur’an yang dikemukakan para ulama, antara lain:

a. Menurut Imam Jalaluddin Al-Suyuthy seorang ahli Tafsir dan Ilmu Tafsir di dalam
bukunya “Itmam Al-Dirayah” menyebutkan: “Al-Qur’an ialah firman Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk melemahkan pihak-pihak yang
menentangnya, walaupun hanya dengan satu surat saja dari padanya”
b. Muhammad Ali Al-Shabuni menyebutkan pula sebagai berikut: “Al-Qur’an adalah
Kalam Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan malaikat Jibril a.s dan ditulis pada
mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta
membaca dan mempelajarinya merupakan suatu ibadah, yang dimulai dengan surah Al-
Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas.
c. As-Syekh Muhammad Al-Khudhary Beik dalam bukunya “Ushul Al-Fiqh” “Al-Kitab itu
ialah Al-Qur’an, yaitu firman Allah SWt. Yang berbahasa Arab, yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW. Untuk dipahami isinya, untuk diingat selalu, yang disampaikan
kepada kita dengan jalan mutawatir, dan telah tertulis didalam suatu mushaf antara kedua
kulitnya dimulai dengan surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surah An-Nas. 3
2. Sejarah Turunnya Al-Qur’an

Alquran merupakan sumber utama bagi umat Islam yang berfungsi sebagai petunjuk bagi
kehidupan di dunia untuk meraih kehidupan di akhirat. Al-Qur’an turun kepada Nabi Saw. Tidak
sekaligus, tetapi secara berangsur-angsur. Maka bila AlQur’an belum sempat dibukukan seperti
yang ada sekarang, karena Al-Qur’an ketika itu secara keseluruhan belum selesai diturunkan.

Turunnya Alquran yang pertama kali pada malam Lailatul Qadar merupakan
pemberitahuan kepada alam tingkat tinggi yang terdiri dari malaikat-malaikat yang memberikan
kemulian umat Muhammad. Tentang turunnya Alquran secara berangsur-angsur di jelaskan oleh

3 M. Yasir,S. Th.I, MA dan Ade Jamarudin, MA (PekanBaru, CV. Asa Riau 2016) hal.1-9

3
Allah SWT dalam firmannya Surat Al Isra ayat 106: “Dan Alquran itu telah Kami turunkan
dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahanlahan kepada manusia dan Kami
menurunkannya bagian demi bagian.” (Q.S. Al Isra: 17/106).4 Secara kronologis proses
penurunan Alquran Al-Karim, diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad dalam tiga
fase:

a. Tahapan pertama, penyampaian Alquran dari Allah kepada Lauh alMahfuzh, Maksudnya,
sebelum Alquran disampaikan kapada Rasulullah Saw. Sebagai utusan Allah terhadap
manusia, Alquran terlebih dahulu disampaikan kepada Lauh al-Mahfuzh, yakni suatu
tempat lembaran yang terpelihara dimana Alquran pertama kali ditulis pada lembaran
tersebut. Menurut al Zarqani Alquran diturunkan ke Lauh Mahfudzh sekaligus, tidak
bertahap seperti tatkala diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
b. Tahapan Kedua, Alquran diturunkan pada satu malam yang diberkahi, yaitu malam
kemuliaan (lailatul qadar) dan malam itu adalah salah satu dari malam-malam Ramadhan.
Hal ini di dasarkan atas Riwayat Ibn abbas berdasarkan firman Allah, yaitu:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Alquran) pada malam kemuliaan.” (Q.S. Al
Qadar: 97/1). “Beberapa hari yang ditentukan itu ialah bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Alquran.” (Q.S. Al Baqarah: 2/185).5
c. Tahapan Ketiga, Adapun proses atau tahap yang ketiga ini ialah perantara malaikat Jibril
kepada Nabi Muhammad SAW di dalam Gua Hira (Mekkah). Pada permulaan turunnya
wahyu yang pertama (Al-Alaq 1-5) pada saat itu Nabi Muhammad saw belum diangkat
menjadi Rasul. Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril,
tidak secara sekaligus, melainkan turun sesuai dengan kebutuhan. Ayat yang menerangkan
tentang ini adalah firman Allah, yaitu: “Dan Alquran itu telah kami turunkan dengan
berangsurangsur agar kamu membacanya perlahan kepada manusia. Dan kami
menurunkannya bagian demi bagian.”(Q.S. Al-Isra: 17/106).

Turunya Alquran secara berangsur memudahkan Nabi untuk menghafal dan


memahaminya, terutama Nabi sangat takut apabila Alquran tidak menetap di hatinya. Hal ini
berdampak positif bagi umatnya, karena pada masa Nabi menulis dan membaca sangat langka.
Mereka menghandalkan kekuatan akal dalam menghafal. Dalam kajian Nuzul Qur’an sangat
4
Qurais Shihab dkk, Sejarah dan Ulumul Quran ( Jakarta, Pustaka Firdaus : 1994 ) hlm. 4
5
Subhi As-Shalih, 1985, Mabahits Fi Ulumul Quran, hlm. 144.

4
penting untuk membuktikan bahwa Alquran memang benar-benar berasal dari Allah SWT,
bukan karya Nabi Muhammad SAW.

B. Studi Klasik Al-Qur’an [Pendekatan Dan Metode Tafsir Bi Al-Ma’tsur, Bi Al-Ra’yi]


1. Pendekatan dan Metode Tafsir Bi Al-Ma’tsur

Pendekatan dengan tafsîr Bi Al-Ma’tsûr merupakan sebuahcara menafsirkan ayat-ayat al-


Qur’an yang bersumber nash, baik nash al-Qur’an, sunnah Rasulullah sAw, pendapat (aqwal)
sahabat, ataupun perkataan (aqwal) tabi’in. Dengan kata lain yang dimaksud tafsîr bi al-ma’tsûr
memiliki empat tipe penafsiran diantaranya:

Tipe penafsiran yang disebutkan pertama dan kedua penafsiran ayat al-Qur’an dengan ayat
al-Qur’an dan penafsiran ayat al-Qur’an dengan sunnah Rasulullah tidak ada keraguan bagi kita
untuk menerimanya, karena Allah swt lebih mengetahui terhadap apa yang dikehendaki oleh
diri-Nya daripada yang lainnya, kedua, sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah swt, ketiga,
bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad saw. Sedangkan untuk tipe
penafsiran yang ketiga, yaitu penafsiran ayat al-Quran dengan pendapat sahabat dapat dihukumi
sebagai marfu’, yaitu statusnya sama seperti penafsiran Nabi sendiri. Hal ini sebagaimana
dikatakan oleh Imam al-Hakim dalam Al-Mustadrak-nya, ia berkata: "Sesungguhnya penafsiran
dari sahabat yang menyaksikan turunnya wahyu maka baginya dihukumi sebagai marfu’6.

Sedangkan untuk tipe penafsiran yang disebutkan terakhir, yaitu menafsirkan ayat al-
Qur’an dengan perkataan (aqwal) tabi’in, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama,
sebagian ulama berpendapat bawasanya Aqwa Tabi’in dapat dikategorikan sebagai bagian Tafsir
bi al-ma’tsur, dan sebagian ulama yang lain menganggapnya sebagai bagian dari Tafsir bi al-ra’y
dan tidak dapat dijadikan sebagai sumber penafsiran.

Sementara itu, kebanyakan ulama tafsir mengkategorikan aqwal tabi’in sebagai bagian dari
tafsîr bi al-ma’tsûr dan menerima tafsir tabi’in sebagai sumber penafsiran terhadap ayat-ayat al-
Qur’an, dengan alasan bahwa pada umumnya mereka menerima riwayat secara keseluruhan dari
para sahabat. Dari beberapa pendapat yang saling kontroversial berkaitan dengan Aqwal tabi’in
sebagai bagian dari Tafsir bi al-ma’tsur, yang jelas selama tafsir tabi’in tidak didominasi oleh

6 al-‘Aridl, Ali Hasan, Dr., Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom. Jakarta: Rajawali pers, 1994.

5
akal fikiran dan di dalamnya tidak terdapat keraguan serta telah menjadi kesepakatan para ulama,
maka aqwal tabi’in dapat dijadikan sebagai sumber penafsiran.

2. Tafsîr bi al-Ma’tsûr: Perkembangan dan Pertumbuhannya

Muhammad Husain al-Dzahabi dalam kitab Tafsîr wa al-Mifassirûn menyebutkan bahwa


tafsir bi al-ma’tsur dapat dikategorikan menjadi dua periode, preode yang pertama adalah
periode periwayatan (daur al-riwâyah); dan kedua, periode kodifikasi/pembukuan (daur al-
tadwin). Untuk periode yang pertama menurut al-Dzahabi lebih lanjut dapat dibedakan menjadi
empat tahap, yaitu:

a. Tahap pertama pada masa Rasulullah saw. Rasulullah dalam hal ini bertugas menjelaskan
kepada para sahabatnya tentang sesuatu hal yang berkaitan dengan makna-makna ayat al-
Qur’an yang dirasa masih sulit. Pengetahuan para sahabat dalam bidang tafsir yang
mereka peroleh secara periwayatan dari Nabi saw tersebut selain disampaikan kepada
para sahabat yang lainnya, juga disampaikan kepada generasi yang datang sesudah
mereka (tabi’in). Metode yang demikian dilakukan karena Rasulullah saw semasa
hidupnya, melarang kepada para sahabatnya untuk menuliskan hadits, sehingga struktur
susunan al-Qur’an dapat dibedakan dengan hadits Nabi saw.
b. Tahap kedua, pada masa sahabat. Pada masa ini banyak para sahabat yang menafsirkan
al-Qur’an berdasarkan riwayat yang mereka terima dari Rasulullah saw, demikian pula
mereka juga menggunakan hasil pemikiran dan ijtihadnya, disebabkan oleh rasa
keagamaannya yang tinggi serta didukung oleh tingkat intelektual yang cemerlang. Di
sisi lain mereka juga beranggapan bahwa tafsir merupakan persaksian kepada Allah
bahwa makna itulah yang dimaksudkan oleh Allah swt.
c. Tahap Ketiga ini terjadi pada masa tabi’in. Dalam menafsirkan al-Qur’an para tabi’in di
samping bersumber pada riwayat yang datang dari Rasulullah saw; juga menggunakan
riwayat yang mereka peroleh dari para sahabat, yang kemudian mereka tambah dengan
pendapat.
d. Tahap keempat, pada masa sesudah tabi’in. Sebagaimana pada masa sebelumnya, pada
masa ini pun penafsiran berkembang sesuai dengan perkembangan masalah-masalah

6
yang dihadapinya dan dirasakan banyak dijumpai hal-hal yang sulit dari lafazh al-Qur’an
sehubungan dengan keadaan suatu masa tertentu.7

Periode kedua adalah periode kodifikasi/pembukuan (daur al-tadwin). Pada periode ini
yang mula-mula ditulis dan dibukukan adalah tafsir bi al-ma’tsur, yaitu segala yang diriwayatkan
dari Rasulullah saw dan para sahabat, baik yang terjadi pada permulaan tahun 100 atau 200
Hijriyah. Periode kedua ini dalam perkembangannya juga melalui beberapa tahap, yaitu:

a. Tahap pertama, pembukuan tafsîr bi al-ma’tsûr belum mengambil bentuknya yang


sempurna dan belum berdiri sendiri, yaitu tafsir ditulis dalam kitab-kitab hadits. Dan di
dalamnya banyak didapati berbagai macam bab hadits yang berbeda-beda, juga masih
berupa kumpulan riwayat yang berasal dari Nabi, para sahabat, dan juga tabi’in,
sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Malik bin Anas.
b. TahapKedua dimulai dilakukanya pemisahan antara tafsîr bi al-ma’tsûr dengan
kumpulan-kumpulan tulisan hadits, sehingga tafsir menjadi suatu disiplin ilmu yang
berdiri sendiri. Dan orang yang pertama kali memeloporinya adalah Ali bin Abi Thalhah
berdasarkan riwayat dari Ibn Abbas.
c. Ketiga adalah Tafsir bi al-ma’tsur mulai dibukukan menjadi beberapa juz secara khusus,
seperti yang dilakukan oleh Abi Rauq yang menulis satu juz saja dan tiga juz lainnya oleh
Muhammad bin Tsaur dari Ibn Juraij.
d. Tahapan yang keempat, pengkodifikasian tafsir yang secara khusus memuat se lengkap
lengkapnya dengan jalur sanad sampai kepada Rasulullah, kepada para sahabat, Tabi’in,
dan tabi’ al-tabi’in, seperti yang dilakukan oleh Ibn Jarir al-Thabari.
e. Tahapan yang kelima, yaitu pemodifikasian tafsir bi al-ma’tsur tanpa mengemukakan
sanad periwayatannya dan kebanyakan para mufassir mengemukakan pendapat-pendapat
tertentu di dalam kitab tafsir mereka tanpa membedakan antara hadits yang shahih dan
yang keliru. Sehingga mengakibatkan bagi para peneliti tidak tertarik kepada isi kitab
tafsir tersebut, karena ada kekhawatiran akan adanya unsur pemalsuan,
3. Tafsîr bi al-Ma’tsûr: Nilai kedhoifan dan Sebab-sebabnya

7
al-Dzahabi, Muhammad Husain, Penyimpangan penyimpangan dalam Penafsiran Al-Qur’an, terj. Hamim Ilyas, B.A. dan Machnun Husein, cet.
IV, Jakarta: Rajawali Pers, t.th

7
Tafsîr bi al-ma’tsûr yang bersumber dari al-Qur’an atau riwayat dari Rasulullah saw, maka
dalam hal ini tidak ada perbedaan di kalangan para ulama dan mereka sepakat untuk
menerimanya. Sedangkan untuk riwayat yang bersumber dari sahabat dan tabi’in, harus diadakan
penelitian terhadap keshahihan dan kedhoifan riwayat tersebut. Di antara sebab-sebab kedhoifan
suatu riwayat dan dapat menyebabkan kedhoifan tafsir bi al-ma’tsur antara lain:

a. Pertama, banyaknya pemalsuan hadits (katsrah al-wadl’ fî al-tafsîr). Pemalsuan beberapa


riwayat yang dilakukan oleh kelompok yang fanatik terhadap madzhabnya (ta’ashub
madzhab) tersebut sangat berpengaruh sekali dalamtafsir bi al-ma’tsur, seperti
bercampurnya tafsir bi al-ma’tsur yang murni dengan yang palsu, yang mengakibatkan
hilangnya warisan dari para mufassir salaf yang telah berusaha memisahkan antara riwayat
hadits yang menafsirkan al-Qur’an dari hadits-hadits lainnya. Sehingga para peneliti akan
menolak semua riwayat tanpa membedakan antara hadits yang shahih dengan yang palsu.
Pengaruh negatif lainnya adalah dengan bercampurnya antara hadits yang shahih dengan
yang palsu akan membuat kesulitan bagi seorang peneliti yang tidak memiliki ilmu
pengetahuan yang memadai tentang hadits untuk membedakan antara hadits yang shahih
dan yang cacat, atau bisa jadi semuanya dianggap sebagai hadits shahih.
b. Sebab Yang kedua kedhoifan dalam bidang tafsir bi al-ma’tsur, adalah masuknya cerita
israiliyyat (duhul al-israilliyat fihi). Menurut al-Dzahabi, masuknya cerita israilliyat \ ini
sebenarnya sudah ada sejak zaman sahabat. Para sahabat telah menjadikan keterangan yang
datang dari orang-orang Nasrani yang telah masuk Islam sebagai sumber penafsiran
mereka. Sebagaimana diketahui bahwa apa yang ada dalam al-Qur’an, Taurat, dan Injil
terdapat persamaan yang prinsipil di dalam menjelaskan beberapa masalah tertentu. Namun
demikian ada perbedaan metodologis antara ketiganya dalam mengungkapkan kisah-kisah.
Al-Qur’an pada umumnya mengemukakannya secara global dan ringkas, karena al-Qur’an
bertujuan memberikan Ibrah Untuk manusia, sementara itu Taurat dan Injil dalam kisah
tersebut secara detail, baik yang menyangkut pelaku, waktu, dan tempatnya.
c. Sebab ketiga dan terakhir yang menjadikanTafsir ini bi al-ma’tsur banyak yang dhoif
adalah pembuangan sanad (hadf al-isnad). Para sahabat selalu bersikap hati-hati dan sangat
ketat dalam meriwayatkan suatu hadits yang akan mereka gunakan sebagai sumber
penafsiran al-Qur’an, yaitu dengan jalan memilih riwayat-riwayat yang bernilai Shahih
tanpa harus menanyakan isnadnya terlebih dahulu, hal ini dikarenakan telah diketahui

8
bahwa mereka sebagai orang yang adil dan terpercaya. Meskipun demikian, ada sebagian
sahabat yang meriwayatkan hadits dengan jalan meneliti lebih dulu keshahihannya dengan
dibuktikan adanya sumpah dari perawi hadits, yang demikian dilakukan bukan karena
mereka tidak terpercaya, tetapi dimaksudkan untuk menambah kekuatan dan
ketepatannya.8
4. Tafsîr bi al-Ra’y: Memahami Pesan Tuhan Melalui Ijtihad

Yang dimaksud denganTafsîr bi al-ra’y adalah suatu cara menafsirkan al-Qur’an yang pola
pemahamannya dilakukan melaluiIjtihad setelah seorang mufassir al-ra’y mengetahui beberapa
syaratnya, seperti pola-pola bahasa Arab, kata-kata Arab dan maknanya serta menguasai ilmu-
ilmu al-Qur`an, seperti asbab al-nuzul, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih dan lain-
lain.

Dalam corak tafsîr bi al-ra’y lalu timbul dua macam tafsir,pertama tafsir mahmûd
(terpuji), yaitu apabila seorang mufassir al-ra’y dalam penafsirannya telah memenuhi syarat-
syarat dimaksud; dan kedua, tafsir madzmûm (tercela), yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
yang tidak dilandasi oleh ilmu pengetahuan dan berdasarkan hawa nafsu. Tafsir yang demikian
ini haram hukumnya. Oleh karena itu, seorang mufassir al-ra’y harus menjauhkan diri dari hal-
hal berikut:

a. memaksakan diri untuk menjelaskan firman Allah swt dengan minimnya pengetahuan
tentang kaidah-kaidah bahasa Arab dan dasar-dasar agama (ushûl al-syarî’ah) serta tidak
memenuhi syarat-syarat sebagai seorang mufassir;
b. memaksakan diri menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang hanya diketahui oleh Allah swt,
seperti ayat-ayat mutasyâbihatyang tidak diketahui seorang pun kecuali Allah serta
melangkah lebih jauh pada masalah-masalah ghaib bersifat rahasia
c. menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang didasari oleh hawa nafsu dan sangkaan-sangkaan
yang dianggap baik;
d. melegitimasi firman Allah swt sebagai pembenaran terhadap paham-paham yang sesat dan
mengklaim bahwa yang dikehendaki Allah swt dalam firman-Nya adalah begini dan
begitu, tanpa didasari argumen yang kuat.
5. Contoh Kitab Tafsîr bi al-Ra’y

8
Baidan, Nashruddin, Dr., Metodologi Penafsiran al-Quran, cet. II, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

9
Di antara mufassir bi al-ra’yi, kita bisa menemukan ada orang yang ahli di bidang ilmu-
ilmu rasional yang sibuk menguraikan masalah-masalah teologi, pendapat-pendapat para filosuf,
kerancuan-kerancuan mereka dan sanggahan terhadap mereka, sehingga menjadi pilar bagi ilmu-
ilmu rasional, seperti al-Fakhr al-Razi. Demikian juga ada yang ahli di bidang fiqih, seperti
Imam al-Qurthubi dan al-Qadli Abu Bakar ibn al-Arabi. Keduanya sangat ahli di bidang fiqih,
sehingga memberikan perhatian lebih pada masalah-masala furu’iyyah fiqhiyyah, mengukuhkan
dalil-dalilnya dan menyanggah orang-orang yang berbeda pendapat. Ada juga yang ahli di
bidang bahasa Arab dan cabang-cabangnya, seperti al-Zajjaj, al-Wahidi, Abu Hayyan dan al-
Samin. Sehingga mereka memberikan perhatian seriuskepada masalah I’rab dan kaidah
nahwiyyah. 9

Sementara itu, juga ada yang ahli sejarahyang memberikan perhatian serius kepada
masalah kisah-kisah dan berita-berita masa lampau, yang benar maupun yang salah. Ada juga
yang ahli isyarat dan para pelaku tasawuf. Mereka memberikan perhatian kepada masalah,
tarhib, targhib, zuhud, qana’ah dan ridla. Mereka menafsirkan al-Qur`an sesuai dengan
pengetahuan dan praktek mereka. Pendek kata, setiap mufassir memberikan perhatian kepada
segi yang dikuasainya dan mewarnai tafsir dengannya. Sehingga karya-karya mereka lebih
bersifat keilmuan ketimbang tafsir karena sedikitnya porsi tafsir di dalamnya.

C. Perkembangan Studi Al-Qur’an Pasca Klasik Hingga Modern

Pada Pasca Klasik fase sebelum kodifikasi, ulumul qur’an telah dianggap sebagai benih
yang kemunculannya sangat dirasakan sejak masa Nabi. Hal itu ditandai dengan kegairahan para
sahabat untuk mempelajari al-qur’an dengan sungguh-sungguh terlebih lagi diantara mereka
sebagaimana diceritakan oleh Abu Abdurrahman As-Sulami, memiliki kebiasaan untuk tidak
berpindah kepad ayat lain, sebelum memahami dan mengamalkan ayat yang sedang
dipelajarinya.10

Hingga Modern Fase Kodifikas Sebagaimana diketahui pada fase sebelum kodifikasi,
ulumul qur’an dan ilmu-ilmu lainnya sebelum dikodifikasikan dalam bentuk kitab atau mushaf,
satu-satunya yang sudah dikodofikasikan pada saat itu hanyalah Al-Qur’an. Hal it uterus
berlangsung sampai ketika Ali Bin Abi Thalib memerintahkan Abu Al-Aswad untuk menulis

9
Faudah, Mahmud Basuni, Dr., Tafsir-tafsir Al-Qur’an, Perkenalan Metodologi Tafsir, Bandung: Pustaka, 1987
10 Manna Khalil Al Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur'an, terj. Mudzakir (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2013),

10
nahwu. Perintah Ali inilah yang membuka gerbang pengodifikasian ilmu-ilmu agama dan bahasa
arab, pengodifikasisan itu semakin marak dan meluas ketika Islam berada di bawah
pemerintahan Bani Umayyah dan Abbasyah pada periode-periode awal pemerintahannya.

1. Perkembangan Ulumul Qur’an Abad II H.

Pada masa penyusunan ilmu-ilmu agama yang dimulai sejak permulaan abad II H. pada
ulama memberikan prioritas atas penyusunan tafsir sebab sebab tafsir merupakan induk ulumul
qur’an. Diantara ulama abad II. Adalah: Syu’bah Bin Hijjaj, Sufyan Bin Umayah, Sufyan Ats-
Tsauri, Waqi’ Bin Al-Jarrh, Muqotil Bin Sulaiman IbnJarir Ath-Thobar

2. Perkembangan Ulumul Qur’an Abad III H.

Pada abad III selain tafsir dan ilmu tafsir para ulama mulai menyusun beberapa ilmu Al-Qur’an
(ulumul qur’an), diantaranya:

a. Ali Bin Al-Madani melalui karyanya Ilmu Asbab An-Nuzul


b. Abu Ubaid Al-Qosimi Bin Salam karyanya Ilmu Nasikh Wa Al-Mansukh, Ilmu Qiraat,
Dan Fadha’il Al-Qur’an
c. Muhammad Bin Khalaf Al-Marzuban karyanya Kitab Al-Hawei Fi Ulum Al-Qur’an
3. Perkembangan Ulumul Qur’an Abad IV H.

Pada abad IV H. Mulai disusun ilmu gharib al-qur’an dan beberapa diantaranya memakai
istilah ulumul qur’an, diantara kitabnya adalah:

a. Gharib Al-Qur’an
b. Aja’ib Ulum Al-Qur’an
c. Al-Mukhtazan Fi Ulum Al-Qur’an
d. Al-Astigna’ Fi Ulum Al-Qur’an [16]
4. Perkembangan Ulumul Qur’an Abad V H.

Pada abad ini mulai disusun ilmu-ilmu I’rab al-qur’an dalam satu kitab. Namun demikian
penulisan kitab-kitab ulumul qur’an masih terus dilakukan oleh para ulama masa ini diantaranya:

a. Ali Bin Ibrahim Bin Sa’id Al-Hufi


b. Abu Amr-Dani
5. Perkembangan Ulumul Qur’an Abad VI H.

11
Pada abad ini disamping ada ulama yang meneruskan pengembangan ulumul qur’an, juga
terdapat ulama yang mulai menyusun ilmu mubhamat al-qu’an diantaranya:

a. Abu Al-Qosim Bin Abdurrahamn As-Suhali karyanya Kitab Mubhamat Al-Qur’an


b. Ibn Al-Jauzi karyanya Funun Al-Afnan Fi Aja’ib Al-Qur’an Dan Kitab Al-Mujtab Fi Ulum
Tata’allaq Bi Al-Qur’a
6. Perkembangan Ulumul Qur’an Abad VII H.

Pada abad VII H ilmu-ilmu Al-qur’an terus berkembang dengan mulai tersusunnya ilmu
majaz al-qur’an dan ilmu qira’at. Diantara ulamanya:

a. Alamuddin As-Sakhawi karyanya Hidayat Al-Murtab Fi Mutasyabih


b. Ibn ‘Abd As-Salam / Al Izz karyanya Ilmu Majaz Al-Qur’an
c. Abu Syamah karyanya Al-Mursyid Al-Wajiz Fi Ulum Al-Qur’an Tata’allaq Bi Al-Qur’an
Al-Aziz
7. Perkembangan Ulumul Qur’an Abad VIII H.

Pada abad ini muncullah ulama yang menyusun ilmu-ilmu baru tentang al-qur’an,
namundemikian penulisan kitab-kitab tentang ulumul qur’an tetapo berjalan, diantaranya:

a. Ibn Abi Al-Isba’ karyanya Ilmu Badu’i Al-Qur’a


b. Najmuddin Ath-thufi karyanya Ilmu Hujjaj Al-Qur’an
8. Pada abad IX dan permulaan abad X.

Makin banyak karya para ulama tentang ulumul qur’an pada masa ini ulumul qur’an
mencapai kesempurnaan. Diantara ulamanya antara lain:

a. Jalaludin Al-Bulqini karyanya Mawaqi’ An-Nujum


b. Muhammad Bin Sulaiman Al-Kafiyaji karyanya At-Tafsir Fi Qowa’id At-Tafsir
c. Jalaludin Abdurrahman Bin Kamaluddin As-Suyuti karyanya At-Tahbir Fi Ulum At-Tafsir

Setelah as-suyuti wafat pada tahun 911 H. perkembangan ilmu al-qur’an seolah-olah telah
mencapai puncaknya dan berhenti dengan berhentinya para ulama’dalam pengembangan ilmu-
ilmu al-qur’an keadaan ini berlanjut sampai abad XIII H.11

11
Fazlur Rahman, Islam, terjemahan. Ahsin Muhammad ( Bandung: Pustaka, 1994), hlm. 354

12
9. Pengembangan Ulumul Qur’an Abad Abad Modern.

Sebagaimana penjelasan diatas, bahwa setelah wafatnya imam as-suyuti tahun 911 H,
maka terhentilah gerakan penulisan al-qur’an dan pertumbuhannya sampai abad ke-XIV H.
sebab pada abad ke-XIV H atau pada abad modern ini bangkit kembali kegiatan penulisan
ulumul qur’an dan perkembangan kitab-kitabnya. Hal itu ditengarai dengan banyaknya ulama’
yang mengarang ulumul qur’an dan menuls kitb-kitabnya, baik tafsir maupun macam-macamnya
kitab ulumul qur’an. 12
Diantara para ulama’ yang menulis tafsir/ ulumul qur’an pada abad
modern ini adalah sebagai berikut:

a. Ad-Dahlawi karyanya Al-Fauzul Kabir Fi Ushulil Tafsir


b. Thahir Al-Jaziri karyanya At-Tibyan Fi ‘Ulumil Qur’an.
c. Abu Daqiqah karyanya ‘Ulumul Qur’an
d. M. Ali Salamah karyanya Minhajul Furqon Fi ‘Ulumil Qur’an

12 MIMBAR: Vol. 37 No. 2, July - December 2020, Hikmah Penurunan Al-Qur'an, Hal. 14-16

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Studi Al-Qur’an adalah ilmu yang membahas tentang segala sesuatu yang ada kaitannya
dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai kitab suci umat islam yang berlaku sepanjang zaman tidak
akan pernah habis dan selesai untuk dibahas. Dan melalui perkembangan studi Al quran yang
berupa ilmu tafsir mulai dari masa klasik hingga modern yang berupa metode metode pentafsiran
Al-quran sehingga membuka gerbang ilmu agama dan bahasa arab.

B. Saran

Dari penjelasan yang telah dipaparkan, penulis menyarankan kepada pembaca, agar dapat
memanfaatkan makalah ini sebagai sumber ilmu dan referensi untuk membuat tulisan terkait,
yang lebih baik lagi. Selain itu, agar dapat memahami Studi Al-Qur’an meliputi pengertian,
sejarah turunnya. Dan juga mempelajari tentang Ilmu Tafsir yang meliputi pengertian,
pentingnya ilmu tafsir, corak-corak ilmu tafsir dan kitab-kitab tafsir yang terkenal

14
DAFTAR PUSTAKA

http://eki-blogger.blogspot.com/2012/11/perkembangan-studi-al-quran.html?m=1

Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits Fi Ulumil Quran terj. Mudzakir AS, ( Jakarta ,
PT. Litera Antar Nusa : 2009 )

Qurais Shihab dkk, Sejarah dan Ulumul Quran ( Jakarta, Pustaka Firdaus : 1994)

Subhi As-Shalih, 1985, Mabahits Fi Ulumul Quran, al-‘Aridl, Ali Hasan, Dr.,
Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom. Jakarta: Rajawali Pers, 1994.

al-Dzahabi, Muhammad Husain, Penyimpangan penyimpangan dalam Penafsiran


Al-Qur’an, terj. Hamim Ilyas, B.A. dan Machnun Husein, cet. IV,
Jakarta:Rajawali Pers, t.th

Baidan, Nashruddin, Dr., Metodologi Penafsiran al-Quran, cet. II, Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 2000.

Faudah, Mahmud Basuni, Tafsir-tafsir Al-Qur’an, Perkenalan Metodologi Tafsir,


Bandung: Pustaka, 1987

Manna Khalil Al Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur'an, terj. Mudzakir (Bogor: Pustaka
Litera Antar Nusa, 2013)

Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad ( Bandung: Pustaka, 1994),


MIMBAR: Vol. 37 No. 2, July - December 2020, Hikmah Penurunan Al-Qur'an

15

Anda mungkin juga menyukai