Anda di halaman 1dari 68

HUBUNGAN SELF CARE DENGAN KUALITAS HIDUP

PASIEN DIABETES MELITUS DI WILAYAH KERJA


PUSKESMAS SUKABUMI KOTA SUKABUMI

PROPOSAL

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Skripsi


Pada Program Studi Sarjana Keperawatan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sukabumi

BAGAS LETU PAMUNGKAS


C1AA17029

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
SUKABUMI KOTA SUKABUMI
2022

BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Diabetes melitus merupakan suatu penyakit kronis yang terjadi karena

pankreas tidak bisa menghasilkan kadar insulin yang cukup sehingga terjadi

kelebihan gula didalam darah, Kadar glukosa yang berlebih akan menjadi

racun bagi tubuh karena sebagian glukosa yang tertahan didalam tubuh akan

mengakibatkan air kencing penderita diabetes melitus menggandung glukosa

dengan kadar yang tinggi (Chaidir et al., 2017).

Diabetes melitus memiliki efek serius bagi tubuh, adapun faktor penyebab

terjadinya diabetes melitus yaitu; faktor keturunan, obesitas, usia, tekanan darah,

aktivitas fisik, kadar kolestrol, stress, dan riwayat diabetes gestasional

(Damayanti, 2017). Pasien yang menderita diabetes melitus memiliki beberapa

tanda dan gejala seperti; meningkatnya frekuensi buang air kecil, rasa haus yang

berlebihan, penurunan berat badan, rasa lapar yang berlebihan, kulit menjadi

bermasalah, infeksi jamur, iritasi genital, keletihan, pandangan kabur, kesemutan

atau mati rasa (Kementrian Kesehatan RI, 2019). Tanda dan gejala lain yang

sering dijumpai namun tidak secara terus terang dikemukanakan oleh

penderitanya yaitu seperti gangguan ereksi dan keputihan pada wanita

(Tumanggor, 2019).

Organisasi Internasional Diabetes Federasion (IDF) memperkirakan

sedikitnya terdapat 463 juta orang pada usia 20-79 tahun di dunia menderita

diabetes melitus pada tahun 2019, diprediksi pada tahun 2030 angka terus

meningkat hingga mencapai 578 juta dan ditahun 2045 diperediksi penderita

diabetes melitus mencapai 700 juta (Kemenkes RI, 2020). Indonesia adalah

salah satu dari 21 Negara dan wilayah IDF-WP (Internasional Diabetes

Federatiaon Kawasan Asia Pasifik), Menurut IDF-WP (2017) kawasan Asia


Pasifik merupakan kawasan terbanyak yang menderita diabetes melitus,

dengan angka kejadian 159

American Diabetes Association (ADA) 2014, menyebutkan diabetes

melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemi yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja

insulin, atau kedua-duanya (Dzusturia, 2016). Kasifikasi dari diabetes melitus

yaitu diabetes melitus tipe 1, diabetes melitus tipe 2, diabetes melitus tipe

gestasional, dan diabetes melitus tipe lainnya, dari semua jenis diabetes

diabetes tersebut diabetes melitus tipe 2 adalah tipe diabetes yang paling banyak

diderita (Hastuti et al., 2019).

Hasil penelitian Younis pada tahun 2017 yang menunjukan terdapat 74% dari

populasi penderita DM mengalami depresi dan memiliki kualitas hidup rendah.

Adanya kualitas hidup rendah dikaitkan dengan munculnya komplikasi pada

penderita DM (Younis ddk (2017) dalam (Azizah, 2019). Hasil Penelitian Ali, Masi

& Kallo (2017) dalam (Umam et al., 2020) mengatakan bahwa kualitas hidup pasien

diabetes melitus memiliki kualitas hidup buruk. Perubahan yang terjadi seperti pada

domain fisik, psikologis, hubungan sosial dan lingkungan hidup, hal tersebut

menjadi faktor yang mengakibatkan kualitas hidupnya kurang dan terganggu.

Berdasarkan data Riskesdas (2018) menyebutkan bahwa prevalensi penyakit

diabetes melitus berdasarkan pemeriksaan gula darah, di Indonesia naik dari

6,9% menjadi 8,5% dan Prevalensi diabetes melitus di Jawa Barat 1,7% dari

seluruh penderita yang ada di Indonesia (Kemenkes RI, 2018).Pada penderita

diabetes militus terdapat beberapa aspek yang dapat mempengaruhi kualitas

hidupnya, aspek tersebut adalah adanya kebutuhan khusus yang terus menerus

berkelanjutan dalam perawatan diabetes melitus, gejala yang muncul ketika


kadar gula darah tidak stabil, komplikasi yang dapat timbul akibat dari penyakit

diabetes melitus dan disfungsi seksual (Chaidir et al., 2017).

Menurunnya kualitas hidup pasien DM dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor

yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien diabetes melitus diantaranya faktor

usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status perkawinan,self care, pekerjaan, dan

lama menderita diabetes melitus (Istianah et al., 2017; Umam et al., 2020). Faktor

lain yang dapat mempengaruhi kualitas diantaranya penghasilan, hubungan dengan

orang lain, standar referensi, dan kesehatan fisik menjadi salah satu faktor yang

mempengaruhi kualitas hidup pasien diabetes melitus (Tumanggor, 2019).

Beberapa studi mengatakan self care akan memberi pengaruh terhadap kualitas

hidup pasien DM, menurut (Rantung et al., 2015) salah satu faktor yang

mempengaruhi kualitas hidup pasien DM yaitu self care. Aktivitas self care yang

meliputi: Pengaturan pola makan, pemantauan kadar gula darah, terapi obat,

perawatan kaki, dan latihan fisik. World Health Organization (2009) menyebutkan

Self care merupakan kemampuan individu, keluarga dan masyarakat dalam

meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, menjaga kesehatan dan mengatasi

penyakit dan kecacatan denga atau tanpa dukungan daei penyedia layanan

kesehatan. Self care merupakan kebutuhan manusia terhadap kondisi dan perawatan

diri sendiri yang penatalaksanaannya dilakukan secara terus menerus dalam upaya

mempertahankan kesehatan dan kehidupan, serta penyembuhan dari penyakit dan

mengatasi komplikasi yang ditimbulkan (Putri, 2017).

Kegiatan self care sangat penting dilaksanakan oleh pasien DM, karena

merupakan cara yang efektif untuk memantau kadar gula darah

Tabel 1.1 Penderita Diabetes Melitus

REKAPITILASSI DATA PESERTA DM DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS


SUKABUMI
No Kelurahan Jumlah Presentase
1 Cisarua 44 36,1%
2 Kebonjati 53 43,4%
3 Subang Jaya 25 20,5%
Jumlah 100%
Berdasarkan tabel 1.1 menunjukan bahwa penderita diabetes melitus sebesar

dengan 122 kasus. Dampak Diabetes melitus jika tidak ditangani dengan baik adalah

retinopati diabetic, nefropati diabetik, dan neuropati diabetik, penderita diabetes

juga dapat mengalami hilangnya harapan, depresi, kesepian, tidak berdaya,

kecemasan kemarahan, malu, dan merasa bersalah yang mengakibatkan turunnya

kualitas hidup penderita Diabetes milititus (Umam et al., 2020).

Kualitas hidup merupakan perasaan puas dan bahagia sehingga pasien diabetes

melitus dapat menjalankan kehidupan sehari-hari dengan semestinya. Pada penderita

diabetes militus terdapat beberapa aspek yang dapat mempengaruhi kualitas

hidupnya, aspek tersebut adalah adanya kebutuhan khusus yang terus menerus

berkelanjutan dalam perawatan diabetes melitus, gejala apa saja yang kemungkinan

muncul ketika kadar gula darah tidak stabil, komplikasi yang dapat timbul akibat

dari penyakit diabetes melitus dan disfungsi seksual (Chaidir, 2017).

Pasien diabetes melitus yang tidak dikelola dengan baik rentan sekali

mengalami komplikasi yang terjadi karena defisiensi insulin atau kerja insulin yang

tidak adekuat. Komplikasi yang ditimbulkan bersifat akut maupun kronik, ketika

penderita diabetes melitus mengalami komplikasi, maka bisa berdampak kepada

penurunan umur harapan hidup (UHP), serta meningkatnya angka kesakitan dan

pada akhirnya akan mengganggu kualitas hidup pasien DM (Nwankwo dkk dalam

(Tumanggor, 2019).

Beberapa studi mengatakan self care akan memberi pengaruh terhadap kualitas

hidup pasien DM, menurut (Rantung et al., 2015) salah satu faktor yang
mempengaruhi kualitas hidup pasien DM yaitu self care. Aktivitas self care yang

meliputi: Pengaturan pola makan, pemantauan kadar gula darah, terapi obat,

perawatan kaki, dan latihan fisik. World Health Organization (2009) menyebutkan

Self care merupakan kemampuan individu, keluarga dan masyarakat dalam

meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, menjaga kesehatan dan mengatasi

penyakit dan kecacatan denga atau tanpa dukungan daei penyedia layanan

kesehatan. Menurut Dorothea Orem, self care merupakan kebutuhan manusia

terhadap kondisi dan perawatan diri sendiri yang penatalaksanaannya dilakukan

secara terus menerus dalam upaya mempertahankan kesehatan dan kehidupan, serta

penyembuhan dari penyakit dan mengatasi komplikasi yang ditimbulkan (Putri,

2017).

Kegiatan self care sangat penting dilaksanakan oleh pasien DM, karena

merupakan cara yang efektif untuk memantau kadar gula darah. Analisis hubungan

self care kualitas hidup menunjukan semakin meningkat self care maka akan

meningkatkan kualitas hidup. Aktivitas self care yang baik akan mencapai

pemantauan kadar glukosa yang akurat sehingga dapat mengurangi resiko terjadinya

komplikasi. berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rantung, Yetti &

Herawati (2015) bahwa ada hubungan bermakna antara aktivitas self care dengan

kualitas responden.

Dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh (Hastuti et al., 2019) terdapat

hubungan antar self care dengan kualitas hidup pasien DM. sejalan dengan Penelitan

yang dilakukan (Asnaniar & Safruddin, 2019) menunjukkan bahwa ada hubungan

antara self care dengan kualitas hidup pada penderita pasien diabetes mellitus.

Menurut (Minarni et al., 2018) dalam hasil penelitan yang dilakukan ada hubungan

self care dengan kualiats hidup penderita diabetes melitus dimana penderita DM
yang self care-nya tinggi lebih berpeluang memiliki kualitas hidup yang baik baik

dibandingkan dengan penderita yang self carenya rendah. Namun berdasarkan yang

dilakukan oleh (Rantung et al., 2015) Menunjukan tidak ada hubungan yang

bermakna antara Self Care dengan kualitas hidup responden Diabetes Melitus (DM)

Di Persatuan Diabetes Indonesia (PERSADIA) Cabang Cimahi setelah dikontrol

oleh variable jenis kelamin dan depresi.

Puskesmas Sukabumi adalah salah satu pusat kesehatan masyarakat yang

berada Kota Sukabumi. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan dengan pihak

puskesmas Sukabumi yang mendapatkan skrining berjumlah 122 orang dan

Penderita diabetes melitus sebagian besar sudah memiliki komplikasi seperti

hipertensi, kolestrol dan penyakit jantung yang dapat memeperberat penyakit

diabetes melitus tersebut,

Program yang dibuat oleh pemerintah menjadi solusi saat ini, penyakit tidak

menular (PTM) merupakan penyakit yang saat ini menjadi salah satu penyebab

kematian. Oleh sebeb itu upaya puskesmas sagaranten dalam meningkatkan kualitas

hidup para penderita diabetes melitus supaya lebih optimal yaitu dengan

mengadakan program kegiatan prolanis (program pengelolaan penyakit kronis)

adalah sistem pelayanan kesehatan yang melibatkan penderita diabetes melitus,

fasilitas kesehatan, dan BPJS. Prolanis dipuskesmas sagaranten dilaksanakan setiap

satu minggu sekali. Kegiatan prolanis ini dilakukan mulai dengan pengukuran berat

badan, tinggi badan, tekanan darah, pemeriksaan GDS dan kolestrol, senam dan

selanjutnya diakhiri dengan penyuluhan kesehatan.

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

dengan judul Hubungan self care Dengan Kualitas Hidup Pasien Diabeters Melitus

Di Wilayah Kerja Puskesmas Sukabumi Tahun 2022.


2. Tujuan Penelitin

1. Tujuan umum

Penelitian ini bertujuaan untuk mengetahui Hubungan self care Dengan

Kualitas Hidup Pasien Diabeters Melitus Di Wilayah Kerja Puskesmas

Sukabumi kota Sukabumi Tahun 2022.

2. Tujuan khusus

a. Mengidentifikasi Gambaran Self Care Pada Pasien Diabetes Melitus Di

Wilayah Kerja Puskesmas Sukabumi kota Sukabumi Tahun 2022.

b. Mengidentifikasi Gambaran Kualitas Hidup Pasien Pada Pasien Diabetes

Di Wilayah Kerja Puskesmas Sukabumi kota Sukabumi Tahun 2022.

c. Mengidentifikasi Hubungan Self Care Dengan Kualitas Hidup Pada Pasien

Diabetes Melitus Di Wilayah Kerja Puskesmas Sukabumi kota Sukabumi

Tahun 2022.

3. Manfaat penelitian

1. Bagi Peneliti

Manfaat yang didapat dari penelitian ini yaitu bertambahnya

pengetahuan dan pemahaman mengenai Hubungan Self Care dengan Kualitas

Hidup Pasien Diabetes Melitus di Wilayah Kerja Puskesmas Sukabumi kota

Sukabumi Tahun 2022. Bagi Institusi

Diharapkan dapat menambah informasi dan referensi yang berguna bagi

mahasiswa/I Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kota Sukabumi tentang

hubungan self care dengan kualitas hidup pasien diabetes melitus di Wilayah

Kerja Puskesmas Sukabumi kota Sukabumi

2. Bagi Puskesmas

Diharapakan hasil penelitian ini dapat digunakan untuk meningkatkan


mutu pelayanan tenaga keperawatan dalam meningkatkan kualitas hidup

pasien diabetes melitus.


BAB II

TINJAUAN

PUSTAKA

A. Diabetes Melitus

1. Definisi Diabetes Melitus

Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit gangguan metabolik akibat

pankreas tidak menproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat menggunakan

insulin yang di produksi secara efektif, insulin merupakan hormon yang mengatur

keseimbangan kadar gula darah, akibatnya terjadi peningkatan konsentrasi

glukosa didalam darah (hiperglikemia) (Kemenkes RI, 2020).

American Diabetes Association (ADA) 2010, diabetes melitus (DM)

merupakan suatu kelompok metabolik dengan karakteristik hiperglikemi yang

terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduaduanya. Bila

insulin yang dihasilkan tidak cukup untuk mempertahankan gula darah dalam

batas normal atau jika sel tubuh tidak mampu merespon atau tepat sehingga akan

muncul keluhan berupa poliuria, polidipsi, poliifagia, Penurunan berat

badan, kelemahan, kesemutan, pandang dan disfungsi ereksi pada laki-laki dan

pruritus vulva pada wanita (Damayanti, 2017).

2. Tanda Gejala Diabetes Melitus

Tanda gejala diabetes melitus menurut (Kementrian Kesehatan RI, 2019) yaitu:

a. Meningkatnya frekuensi buang air kecil


Karena sel-sel tubuh tidak dapat menyerap glukosa, ginjal mencoba

mengeluarkan glukosa sebanyak mungkin. akibatnya, penderita jadi lebih

sering kencing daripada orang normal dan mengeluarkan lebih dari 5 liter air

kencing sehari. ini berlanjut bahkan di malam hari. penderita terbangun

beberapa kali untuk buang air kecil itu pertanda ginjal berusaha Singkirkan

semua glukosa ekstra dalam darah.

b. Rasa haus berlebihan

Dengan hilangnya air dari tubuh karena sering buang air kecil, penderita

Merasa haus dan Butuh banyak air. yang rasa haus yang Berlebihan berarti

tubuh mencoba mengisi kembali cairan yang hilang itu.Sering Buang air kecil

dan rasa haus berlebihan merupakan beberapa cara tubuh untuk mencoba

mengelola gula darah tinggi

c. Penurunan berat badan

Kadar gula darah Terlalu tinggi bisa menyebabkan penurunan berat

badan yang cepat. karena hormon insulin tidak mendapatkan glukosa untuk

sel, Yang digunakan sebagai energi, tubuh memecah protein dari otot

sebagai sumber alternatif bahan bakar.

d. Kelaparan

Rasa lapar yang berlebihan, merupakan tanda diabetes lainnya. ketika

kadar gula darah Turun drastis tubuh mengira belum diberi makan dan lebih

menginginkan Glukosa yang dibutuhkan sel.

e. Kulit jadi bermasalah


Kulit gatal, mungkin akibat kulit kering seringkali bisa menjadi

tanda peringatan diabetes, seperti juga kondisi kulit lainnya misalnya kulit

jadi gelap di sekitar daerah leher atau ketiak. infeksi, luka, dan memar yang

tidak sembuh dengan cepat merupakan tanda diabetes lainnya. Hal ini

biasanya terjadi karena pembuluh darah mengalami kerusakan akibat glukosa

dalam jumlah berlebihan yang mengelilingi pembuluh darah dan arteri.

diabetes mengurangi efisiensi sel progenitor Endotel atau EPC,Yang

melakukan perjalanan ke lokasi cedera dan membantu pembuluh

darah menyembuhkan luka.

f. Infeksi jamur

Diabetes dianggap sebagai keadaan imunosupresi, (Dr. Collazo-Clavell)

Menjelaskan hal itu berarti meningkatkan kerentanan terhadap berbagai

infeksi, meskipun yang paling umum adalah candida dan infeksi

jamur lainnya. jamur dan bakteri tumbuh di lingkungan yang kaya akan gula.

g. Iritasi genital

Kandungan Glukosa yang tinggi dalam urin membuat daerah genital

jadi seperti sariawan dan akibatnya menyebabkan pembengkakan alat genital

h. Keletihan dan mudah tersinggung

Ketika orang memiliki kadar gula darah tinggi, tergantung Sudah

beberapa lama merasakannya, mereka kerap merasa tak enak badan (Dr.

Collazo-Clavell).Bangun untuk pergi ke kamar mandi beberapa kali di malam

membuat orang lelah. akibatnya, bila lelah orang cenderung mudah

tersinggung.
i. Pandangan yang kabur

Penglihatan kabur atau sesekali melihat kilatan Cahaya merupakan

akibat langsung adat gula darah tinggi. membiarkan gula darah tidak

terkendali dalam waktu lama bisa menyebabkan kerusakan permanen, bahkan

mungkin kebutaan. pembuluh darah di retina menjadi lemah Setelah bertahun-

tahun mengalami hiperglikemia dan mikro aneurisma, yang melepaskan

protein berlemak yang disebut eksudat.

j. Kesemutan atau mati rasa

Kesemutan di tangan atau kaki, bersih yang membakar atau bengkak,

merupakan tanda bahwa saraf sedang rusak oleh diabetes. masih seperti

penglihatan, kadar gula darah dibiarkan merajalela terlalu lama kerusakan

saraf bisa menjadi permanen. pada diabetes, gula darah yang tinggi bertindak

bagaikan racun. diabetes sering disebut silent killer jika gejalanya terabaikan

dan ditemukan sudah terjadi komplikasi.

3. Etiologi Diabetes Melitus

Menurut Damayanti, 2017 terdapat etiologi terjadinya diabetes melitus

berdasarkan tipenya diantaranya:

a. Diabetes melitus tipe 1

Dibetes tipe 1 ditandai dengan penghancuran sel-sel beta pankreas.

Kombinasi factok genetic, imuniologi dan kemungkinan pula lingkungan

(misalkan infeksi virus) diperkirakan turut menimbulkan destruksi sel beta.

Fakto-faktor genetic penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe 1 itu


sendiri tapi mewarisi suatu presdiposisi atau kenderungan genetic ke arah

terjadinya diabetes tipe 1. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada

indipidu yang memiliki tipe antigen HLA (Human Leucocyte Antigen)

tertentu. HLA merupakam kumpulan gen yang bertanggung jawab atas

antigen transplantasi dan proses imun lainnya. 95% pasien berkulit putih

(Caucasian) dengan diabetes tipe 1 memperlihatkan tipe HLA yang spesifik

(DR3 dan DR4). Resiko terjadinya diabetes tipe 1 meningkatkan 3 hingga 5

kali lipat individu yang memilikki salah satu adri dua tipe HLA ini. Resiko

tersebut meningkat sampai 10 kali lipat pada individu yang memiliki tipe

HLA DR3 maupun DR4 (jika dibandingkan dengan populasi umum).

Faktor-faktor imunologi. Pada pasien diabetes tipe 1 terdapat bukti

adanya suatu respon auto imun. Respon merupakan abnormal dimana

antibody terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap

jaringan tersebut yamg dianggap seolah-olah sebagai asing auto antibody

terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin indogen (internal) terdeteksi

pada saan diagnosis timbulnya tanda-tanda klinis diabetes tipe 1. Riset

dilakukan untuk mengevaluasi efek reparat imunosupresip terhadap

perkembagan penyakit pada pasien diabetes tipe1 yang baru terdiagnosis atau

pada pasien pra diabetes (pasien dengan antibodi byang terdeteksi tetapi tidak

memperlihatkan gejala klinis diabetes). Riset lainnya menyelidiki efek

propektif yang ditimbulkan insulin dengan dosis kecil terhadap fungsi sel

beta.

Factor-faktor lingkungan. Penyelidiksn juga sedang dilakukan terhadap

kemungkinan factor-faktor ekternal yang dapat memicu destruksi sel beta.

Sebagai contoh, hasil penyelidikan yang menyatakan bawha virus atau toksin
tertentu dapat memicu proses autoimun yang menimbulkan destruksi sel beta.

b. Diabtetes melitus tipe 2

Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan

gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe 2 masih belum diketahui. Factor

genetik memperkirakan memegang pern dalam proses terjadinya resistensi

insulin.

4. Klasifikasi diabetes melitus

Menurut Damayanti, 2017 mengklasifikasikan diabetes menjadi empat jenis

anatara lain:

a. Diabetes Tipe 1

Diabetes melitus tipe 1 ditandai oleh destruksi Sel Beta pankreas

terbagi dalam 2 sub tipe yaitu tipe 1A yaitu diabetes yang diakibatkan proses

imnunologi (immune-mediated diabetes) dan tipe 1B yaitu diabetes idiopatik

yang tidak diketahui penyebabnya. diabetes 1A ditandai oleh destruksi

autoimun Sel Beta. sebelumnya disebut dengan diabetes juvenile, terjadi lebih

sering pada orang muda tetapi dapat terjadi pada semua usia. diabetes Tipe 1

merupakan gangguan katabolisme yang ditandai oleh kekurangan insulin

absolut, peningkatan glukosa darah, dan pemecahan lemak dan protein tubuh.

b. Diabetes tipe 2

Diabetes melitus tipe 2 atau juga dikenal sebagai Non-Insulin

Devendent Diabetes (NIDDM).Dalam diabetes melitus tipe 2, Jumlah insulin


yang diproduksi oleh pankreas biasanya cukup untuk mencegah ah

ketoasidosis tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh total.

jumlahnya mencapai 90 - 95% dari seluruh pasien dengan diabetes, dan

banyak dialami oleh orang dewasa tua 20 dari 40 tahun serta lebih sering

terjadi pada individu obesitas. kasus diabetes tipe 2 umumnya mempunyai

latar belakang kelainan yang diawali dengan terjadinya resistensi insulin.

resistensi insulin awalnya belum menyebabkan diabetes melitus secara klinis.

Sel Beta pankreas masih dapat melakukan konvensasi bahkan sampai

overkompensasi, insulin disekresi secara berlebihan sehingga terjadi kondisi

hiperinsulinemia dengan tujuan normalisasi kadar glukosa darah. mekanisme

konsentrasi yang terus-menerus menyebabkan kelelahan Sel Beta pankreas

(exhausen) yang disebut dekonsentrasi, mengakibatkan produksi insulin yang

menurun secara absolut kondisi resistensi insulin diperberat oleh produksi

insulin yang menurunkan akibatnya kadar glukosa darah semakin meningkat

sehingga memenuhi kriteria diagnosis diabetes melitus (Decroli, 2019).

c. Diabetes gestasional

Diabetes melitus gestasional yaitu diabetes mellitus yang timbul

selama kehamilan. Pada masa kehamilan terjadi perubahan yang

mengakibatkan lambatnya reabsorbsi makanan, sehingga menimbulkan

keadaan hiperglikemia yang cukup lama. menjelang atarm kebutuhan insulin

meningkat hingga 3 kali lipat dibandingkan keadaan normal, yang disebut

sebagai tekanan diabetonik dalam kehamilan. keadaan ini menyebabkan

terjadinya resistensi insulin secara fisiologik. diabetes mellitus gestasional

terjadi ketika tubuh tidak dapat membuat dan menggunakan seluruh insulin
saat selama kehamilan. tanpa insulin, glukosa tidak dihantarkan kejaringan

untuk dirubah menjadi energi, sehingga glukosa meningkat dalam darah yang

disebut dengan hiperglikemia

d. Diabetes tipe lainnya

Merupakan gangguan endokrin yang menimbulkan hiperglikemia

akibat peningkatan produksi glukosa hati atau penurunan penggunaan glukosa

oleh sel. sebelumnya dikenal dengan istilah diabetes sekunder, diabetes tipe

ini menggambarkan diabetes hubungkan dengan keadaan dan sindrom

tertentu, misalnya diabetes yang terjadi dengan penyakit pankreas atau

pengangkatan jaringan pankreas dan penyakit endokrin seperti akromegali

atau syndrome chusing, karena zat kimia atau obar, infeksi dan endokrinopati

(Damayanti, 2017). Biasanya disebabkan karena adanya nutrisi disertai

kekurangan protein, gangguan genetik pada fungsi sel beta dan kerja insulin,

namun dapat pula terjadi karena penyakit endokrin pankreas (seperti cystik

fibrosis), endokrinopati, akibat obat-obatan tertentu atau induksi kimia.

5. Faktor-Faktor Resiko Diabetes Melitus

Dalam buku Diabetes Melitus & Penatalaksanaan Keperawatan (Damayanti,

2016) faktor faktor resiko terjadi diabetes melitus antara lain:

a. Faktor Keturunan

Riwayat keluarga dengan DM tipe 2 akan mempunyai peluang

menderita DM sebesar 15% dan risiko mengalami intoleransi glukosa yaitu

ketimbang dengan metabolisme karbohidrat secara normal sebesar 30%.

b. Obesitas

Kegemukan menyebabkan berkurangnya jumlah faktor insulin yang


dapat bekerja didalam sel pada otot skeletal dan jaringan lemak kegemukan

juga merusak kemampuan Sel Beta untuk melepas insulin saat terjadi

peningkatan glukosa darah

c. Usia

Faktor usia yang resiko penderita diabetes melitus tipe 2 adalah usia

diatas 30 tahun, Hal ini karena adanya perubahan anatomis, fisiologis, dan

biokimia. perubahan dimulai dari tingkat sel, kemudian berlanjut pada tingkat

jaringan dan akhirnya pada tingkat organ yang dapat mempengaruhi

hemostatis. setelah seseorang mencapai umur 30 tahun maka kadar glukosa

darah naik 1 sampai 2 mg% tiap tahun saat puasa dan akan naik 6 sampai 13%

pada 2 jam Setelah makan.

d. Tekanan Darah

Hipertensi yang tidak dikelola dengan baik akan mempercepat

kerusakan pada ginjal dan kelainan kardiovaskuler. patogenesis hipertensi

pada penderita DM tipe 2 sangat kompleks, banyak Faktor yang berpengaruh

pada peningkatan tekanan darah antara lain : resistensi insulin, kadar gula

darah plasma, obesitas Selain faktor lain pada sistem regulasi pengaturan

tekanan darah.

e. Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik berdampak terhadap aksi insulin pada orang yang

beresiko DM. kurangnya aktivitas merupakan salah satu faktor yang ikut

berperan yang menyebabkan resistensi insulin pada DM tipe 2. mekanisme

aktivitas fisik dalam mencegah atau menghambat perkembangan DM tipe

2 antara lain : penurunan resistensi insulin/ peningkatan sensitifitas insulin,


peningkatan toleransi glukosa, penurunan lemak adiposa tubuh secara

menyeluruh, pengurangan lemak Sentral, dan perubahan jaringan otot.

f. Kadar Kolestrol

Kadar HLD kolestrol ≤ 35 mg/dl (0,09 mmol/L) dan atau kadar

trigleserida ≥ 259 mg/dl (2,8 mmol).

g. Stress

Stres adalah segala situasi dimana tuntutan non spesifik mengharuskan

individu untuk berespon atau melakukan tindakan. Stress muncul katika

adanya ketidakcocokan antara tuntutan yang dihadapi dan kemampuan yang

dimiliki.

h. Riwayat diabetes gestasional

Wanita yang mempunyai riwayat diabetes gestasional atau melahirkan

bayi dengan berat badan lahir lebih dari 4 Kg mempunyai resiko untuk

menderita DM tipe 2, DM tipe ini terjadi ketika ibu hamil gagal

mempertahankan euglikemia ( kadar glukosa darah normal). faktor resiko DM

gestasional adalah riwayat keluarga, obesitas dan glikosuria.

6. Komplikasi Diabetes Melitus

Dalam buku Diabetes Melitus & Penatalaksanaan Keperawatan (Damayanti,

2016)

a. Akut

Terjadi akibat ketidakseimbangan akut kadar glukosa darah, yaitu:

hipoglikemia, diabetik ketoasidosis dan hiperglikemia hipersomolar

nonketosis. Hipoglikemia secara harfiah berarti kadar glukosa dibawah


normal. Hipoglikemia merupakan komplikasi akut diabetes melitus yang

dapat terjadi secata berulang dan dapat memeperberat penyakit diabetes

bahkan menyebabkan kematian. Hipoglikemia diabetik (insulin reaction)

terjadi karena peningkatan insulin dalam darah dan penurunan kadar glukosa

darah yang diakibatkan olet terapi insulin yang tidak adekuat.

Resiko hipoglikemia terjadi akibat ketidaksempurnaan terapi saat ini

dimana pemberi insulin masih belum sepenuhnya dapat menirukan

(mimicking) pola sekresi insulin yang fisiologis.

Faktor utama hipoglikemia yang menjadi fokus pengelolaan diabetes

melitus adalah ketergantungan jaringan saraf pada asupak glukosa secara

terus menerus. Gangguan asupan glukosa yang berlangsung beberapa

menit

menyebabkan gangguan sistem saraf pusat, dengan gejala gangguan koognisi,

bingung dan koma.

Berdasarlkan kriteria diatas hipoglikemia diabetik dibagi sebagai

berikut:

1) Hipoglikemia ringan: simptomatik, dapat diatasi sendiri, tidak ada

gangguan aktivitas sehari-hari yang nyata.

2) Hipoglikemia sedang: simptomatik dapat diatasi sendiri,

dan menimbulkan gangguan aktivitas sehari-hari yang

nyata.

3) Hipoglikemia berat: sering (tidak selalu) tidak simptomatik, karena

gangguan koognitif, pasien tudak mampu mengatasi sendiri

b. Kronis
Komplikasi kronis terdiri dari komplikasi makrovaskuler, mrovaskuler

dan neoropati

1) Komplikasi moskuler

Komplikasi ini diakibatkan karena perubahan ukuran diameter

pembuluh darah. Pembuluh darah akan menebal, sclerosis dan timbul

sumbatan (occlusion) akibat plaque yang menempel. Komplikasi

makrovaskuler yang sering terjadi adalah: penyakit arteri coroner,

penyakit cerebrovaskuler dan penyakit vaskuler perifer.

2) Komplikasi mikrovaskuler

Perubahan mikrovaskuler melibatkan kelainan stuktur dalam

membrane pembuluh darah kecil dan kapiler. Kelaianan pada pembuluh

darah ini menyebabkan dinding pembuluh darah menebal, dan

mengakibatka penurunan perpusi jaringan. Komplikasi mikrovaskuler

terjadi di retina yang menyebabkan retinopati diabetik dan di ginjal

menyebabkan nefropati diabetik.

3) Komplikasi neuropati

Neuropathic diabetes merupakan sindrom penyakit yang

mempengaruhi semua jenis saraf, yaitu saraf perifer, otonom dari spinal.

Komplikasi neuropati perifer dan otonom menimbulkan permasalahan di

kaki, yaitu perubahan ulkus kaki diabetik, pada umumnya tidak terjadi

dalam 5-10 tahun pertama setelah diagnosis, tetapi tanda-tanda komplikasi

mungkin ditemukan pada saat mulai terdiagnosis DM tipe 2 dan DM

yang dialami pasien tidak terdiagnosis selama beberapa tahun.


Masalah kaki juga merupakan masalah yang umum pada pasien

dengan diabetes dan hal ini menjadi cukup berat akibat adanya ulkus serta

infeksi, makan akhirnya dapat menyebabkan amputasi. Penyebab

terjadinya ulkus diabetik bersifat multifaktorial, yang dapat dikategorikan

menjadi tiga kelompok, yaitu akibat perubahan patofisiologi, deformitas

anatomi faktor lingkungan. Perubahan patofisiologi menyebabkan

neuropati perifer, Penyakit vaskular dan penurunan sistem imunitas. faktor

lingkungan terutama adalah trauma akut maupun kronis (akibat tekanan

sepatu, benda tajam, dan lain sebagainya) merupakan faktor yang memulai

terjadinya ulkus.

7. Penatalaksanaan Diabetes Melitus

Dalam buku Diabetes Melitus & Penatalaksanaan Keperawatan

(Damayanti, 2017) Tujuan utama terapi diabetes adalah menormalkan aktivitas

insulin dan kadar glukosa darah dalam mengurangi komplikasi yang ditimbulkan

akibat DM. Ada Lima Komponen dalam pelaksanaan diabetes tipe 2, yaitu terapi

nutrisi (diet), Latihan fisik, pemantauan, terapi farmakologi dan Pendidikan.

a. Edukasi

Edukasi yang diberikan merupakan pemahaman tentang perjalanan

penyakit diabetes melitus, pentingnya mengendalikan penyakit, komplikasi

yang timbul dan resikonya, pentingnya intervensi obat dan pemantauan

glukosa darah, cara mengatasi hipoglikemia, perlunya melakukan latihan

fisik yang teratur, dan cara menggunakan fasilitas kesehatan, mendidik

pasien diabetes melitus bertujuan supaya pasien dapat mengontrol gula darah,
mengurangi komplikasi dan supaya meningkatkan kemampuan merawat diri

sendiri (Tumanggor, 2019).

b. Manajemen Diet

Tujuan umum penatalaksanaan diet pasien DM antara lain: mencapai

dan mempertahankan kadar glukosa darah dan lipid mendekati normal,

mencapai dan mempertahankan berat badan dalam batas-batas norma atau ±

10% berat badan idaman, mencegah komplikasi akut dan kronik, Serta

meningkatkan kualitas hidup. Bagi pasien obesitas, penurunan berat badan,

merupakan kunci dalam penanganan DM. Penurunan berat badan ringan atau

sedang (5-10 % dari total berat badan) telah menunjukkan perbaikan dalam

mengontrol DM tipe 2. Penatalaksanaan nutrisi dimulai dari menilai kondisi

pasien, salah satunya menilai status gizi. penilaian status gizi dengan

menghitung indeks massa tubuh (IMT) = BB (Kilogram)/TB2 (Meter) Untuk

melihat apakah penderita DM mengalami kegemukan atau obesitas, normal

atau kurang gizi. IMT normal pada orang dewasa antara 18,5 - 25.

c. Latihan Fisik (Olahraga)

Olahraga mengaktivasi ikatan insulin dan reseptor insulin di membran

plasma sehingga dapat menurunkan kadar glukosa darah. latihan fisik yang

memelihara berat badan normal dengan indeks massa tubuh (BMI) ± 25.

Manfaat latihan fisik adalah menurunkan kadar glukosa darah dengan

meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian

insulin, memperbaiki sirkulasi darah dan tonus otot, mengubah kadar lemak

darah yaitu meningkatkan kadar HDL-kolesterol menurunkan kadar kolesterol

total serta trigliserida.


Semua manfaat ini penting bagi pasien DM mengingat adanya

peningkatan rasio untuk terkena penyakit kardiovaskular pada diabetes.

prinsip latihan fisik pasien DM pada prinsipnya sama saja dengan prinsip

latihan jasmani pada umumnya.

d. Pemantauan (Monitoring) kadar gula darah

Pemantauan kadar glukosa darah secara mandiri atau self monitoring

Blood glucose (SMBG) memungkinkan untuk deteksi dalam mencegah

hiperglikemia atau hipoglikemia, pada akhirnya akan mengurangi komplikasi

diabetik jangka panjang. pemeriksaan ini sangat dianjurkan bagi pasien

dengan penyakit DM yang tidak stabil, kecenderungan untuk mengalami

ketosis berat, Hiperglikemia dan hipoglikemia tanpa gejala ringan. kaitannya

dengan pemberian insulin, dosis insulin yang diperlukan pasien ditentukan

oleh kadar glukosa darah yang adekuat. SMBG setelah menjadi dasar dalam

memberikan terapi insulin.

Beberapa hal yang harus dimonitor dalam berkala adalah glukosa

darah, glukosa urine, keton darah, keton urine. Selain itu juga, pengkajian

tambahan seperti cek berat badan secara reguler; pemeriksaan fisik teratur,

dan pendidikan tentang diit, kemampuan monitoring diri, injeksi.

Pengetahuan umum tentang diabetes dan perubahan-perubahan Dalam

diabetes

8. Terapi Farmakologi

Tujuan terapi insulin adalah menjaga kadar gula darah normal atau

mendekat normal. pada DM tipe 2, insulin terkadang diperlukan sebagai terapi


jangka panjang untuk mengendalikan kadar glukosa darah Jika dengan diet,

latihan fisik dan obat Hipoglikemia oral (OHO) tidak dapat menjaga gula darah

dalam rentang normal. Pada pasien DM tipe 2 kadang membutuhkan insulin

secara temporer selama mengalami sakit, Infeksi, Kehamilan, pembedahan atau

beberapa kejadian stres lainnya.

Berdasarkan cara kerja, OHO dibagi menjadi 3 golongan:

a. Memicu produksi insulin

1) Sulfonylurea

Mekanisme kerja obat ini cukup rumit. sulfonilurea bekerja pada sel

beta pankreas untuk meningkatkan produksi insulin sebelum maupun

setelah makan. Sel Beta pankreas merupakan sel yang memproduksi

insulin dalam tubuh

2) Golongan Glinid

Meglitinide merupakan bagian dari kelompok yang meningkatkan

produksi insulin (selain sulfonilurea). Maka dari itu meglinitide

merupakan sel beta yang masih berfungsi baik. Repaglinid dan

Nateglinid termasuk dalam kelompok ini, mempunyai efek kerja cepat,

lama kerja sebentar, dan digunakan untuk mengontrol kadar glukosa

darah setelah makan. Repaglinid diserap secara cepat segera setelah

dimakan, mencapai kadar Puncak di dalam darah dalam 1 jam.

b. Meningkatkan kerja insulin ( sensitifitas terhadap insulin)

1) Biguanid

Metformin adalah salah satunya biguanid yang tersedia saat ini.


Metformin berguna untuk diabetes gemuk yang mengalami penurunan

kerja insulin. Penggunaan metformin pada diabetes gemuk karena obat ini

menurunkan nafsu makan dan menyebabkan penurunan berat badan.

2) Tiazolidinedion

Di Indonesia terdapat dua tiazolidindion yaitu rosiglitazon dan

pioglitazon. Obat golongan ini memperbaiki kadar glukosa darah dan

menurunkan hiperinsulinemia (tinnginya kadar insulin) dengan

meningkatkan kerja insulin (menurunkan resistensi insulin) pada

penyandang diabetes melitus tipe 2 obat golongan ini menurunkan kadar

trigliserida dan asam lemak bebas.

3) Resiglitazone (Avandia)

Obat ini dapat digunakan kombinasi dengan morfin pada diabetes

yang gagal mencapai target kontrol glukosa darah dengan pengaturan

makan dan olahraga. piaglitazone (actos) menit meningkat kerja (

sensitifitas) insulin.

Efek samping dari obat golongan ini dapat berupa bengkak di daerah

perifer (misalnya kaki), yang disebabkan oleh peningkatan volume cairan

dalam tubuh. Obat golongan ini tidak boleh diberikan pada diabetes

dengan gagal jantung berat. Selain itu, pada penggunaan obat ini

pemeriksaan fungsi hati secara berkala harus dilakukan.

c. Penghambat enzim alfa glucosidase

Kerja enzim Alfa glukosidase seperti akarbose, menghambat penyerapan

karbohidrat dengan enzim disakarida diusus (enzim ini bertanggung jawab


dengan pencernaan karbohidrat). Efek samping dari obat ini yaitu kembung,

buang angin dan diare.

Obat ini sangat efektif sebagai obat tunggal pada diabetes tipe 2 dengan

kadar glukosa darah puasanya kurang dari 200 mg/dL (11.1 mmol/l) dan

kadar glukosa darah setelah makin tinggi. Obat ini tidak mengakibatka

hipoglikemia, dan pada penyandang diabetes gemuk maupun tidak, serta

dapat diberikan bersama dengan sulfonilurea, metformin atau insulin.

B. Self Care

1. Definisi Self Care

Teori keperawatan self care dikemukakan oleh Dorothea E. Orem pada

tahun 1971 dan dikenal dengan teoti self care deficit nursing theory (SCDNT).

Teori SCDNT sebagai grand teori nursing system. self care adalah wujud

perilaku seseorang dalam menjaga kehidupan, kesehatan, perkembangan dan

kehidupan disekitarnya. self care merupakan perilaku yang dapat dipelajari dan

merupakan suatu tindakan sebagai respons atau suatu kebutuhan (Nursalam,

2020).

2. Deskripsi Konsep Self Care (Dorothea Orem)

a. Manusia

Suatu kesatuan yang dipandang sebagai berfungsinya secara biologis,

simbolik, dan sosial serta berinisiasi dan melakuan kegiatan asuhan/perawatan

mandiri untuk mempertahankan kehidupan, kesehatan, dan kesejahteraan.


Kegiatan asuhan keperawatan mandiri meliputi; udara, air, makanan,

eliminasi, kegiatan dan istirahat, interaksi sosial, pencegahan terhadap bahaya

kehidupan, kesejahteraan dan peningkatan fungsi manusia (Tumanggor,

2019).

b. Masyarakat/lingkungan

Merupakan lingkungan disekitar individu yang terbentuk menjadi

system yang terintregasi dan intraktif.

c. Sehat

Merupakan suatu keadaan yang dibentuk oleh keutuhan stuktur manusia

sehingga berkembang secara fisik dan jiwa, melipti aspek fisik, psikologik,

interpersonal, dan sosial. Kesejahteraan digunakan untuk menjelaskan kondisi

persepsi individu terhadap keberadaanya. Kesejahteraan adalah suatu keadaan

yang dicirikan oleh pengalaman yang menyenangkan dan berbagai bentuk

kebahagiaan lain, pengalaman spiritual gerakan untuk memenuhi ideal diri

dan melalui personalisasi yang berkesinambungan. Kesejahteraan mempunyai

hubungan dengan kesehatan, keberhasilan dalam berusaha dan sumber yang

memadai (Tumanggor, 2019).

d. Keperawatan

Merupakan pelayanan yang membantu manusia akan tingkat

ketergantungan sepenuhnya atau sebagian, sewaktu individu tidak lagi

mampu merawat dirinya. Keperawatan artinya tindakan yang dilakukan

secara

sengaja, suatu fungsi yang dilakukan oleh perawat karena memiliki suatu

kecerdasan serta tindakannya dapat meluluhkan kondisi secara manusiawi


(Tumanggor, 2019).

3. Teori self care (Dorothea Orem)

Pandangan teori menurut Dorothea Orem dalam pelayanan keperawatan

yang ditunjukan pada keutuhan individu dalam melakukan keperawatan mandiri

dan mengatur kebutuhannya

a. Perawatan diri sendiri

1) Self care

Merupakan kemampuan individu, keluarga, dan masyarakat dalam

upaya menjaga kesehatan, meningkatkan status kesehatan, mencegah

timbulnya penyakit, mengatasi kecacatan dengan atau tanpa dukugan

penyedia layanan kesehatan (Hartati et al., 2019).

2) Self care agency

Self care agency adalah kemampuan atau kekuatan yang dimiliki

oleh seseorang individu untuk mengidentifikasi, menetapkan, mengambil

keputusan dan melaksanakan self care.

3) Therapeutic self care deman

Merupakan tuntutan atau permintaan dalam perawatan diri sendiri

yang merupakan tindakan mndiri sehingga dilakukan dalam waktu

tertentu

untuk perawatan diri sendiri yang menggunakan metode dan alat dalam

tindakan secara tepat.

4) Self care requesites

Self care requesites adalah suatu tindakan yang ditunjukan kepada


penyediaan dan perawatan didi sendiri yang bersifat universal dan

hubungan dengan proses kehidupan manusia serta dalam upaya

mempertahankan fungsi tubuh

5) Self care deficit

Self care deficit merupakan hal utama dari teori general keperawatan

menurut Orem. Keperawatan jika seseorang dewasa (atau pada kasus

ketergantungan) tidak mampu atau terbatas dalam melakukan self care

secara efektif. Keperawatan diberikan jika kemampuan merawat

berkurang atau tidak dapat terpenuhi atau adanya ketergantungan.

Ketidakseimbngan antara self care therapeutic demand dengan self care

agency berdampak self care deficit pada seseorang individu (Muhlisin &

Irdawati, 2010; Nursalam, 2015).

4. Faktor-Faktor Yang Mendukung Self Care Pasien Diabetes Melitus

Menurut (Chaidir et al., 2017) menyebutkan bahwa self care yang

dilakukan pada pasien diabetes melitus meliputi; pengaturan pola makan,

pemantauan kadag gula darah, terapi obat, perawatan kaki, dan latihan fisik

(olahraga).

a. Pengaturan pola makan bertujuan mengontrol metabolic supaya kadar gula

darah dapat dipertahankan dengan baik.

b. Pemantauan kadar gula darah bertujuan mengetahui kefektifitasan aktivitas

yang dilakukan oleh penderita diabetes melitus.

c. Terapi obat bertujuan untuk mengendalikan kadar gula darah sehingga dapat

mengurangi resiko terjadinya komplikasi.


d. Latihan fisik atau olahraga mempunyai tujuan untuk

meningkatkan sensitivitas reseptor insulin supaya dapat melakukan aktivitas

dengan baik.

e. Perawatan kaki mempunyai tujuan untuk mencegah terjdinya kaki diabetik.

C. Kualitas Hidup

1. Definisi Kualitas Hidup

WHO mendefinisikan kualitas hidup adalah sebagai persepsi individu

mengenai posisi mereka dalam kehidupan dalam konteks budaya dan sistemnilai

dimana mereka dan dalam kaitannya dengan tujuan, harapan standard dan

perhatian mereka. Kualitas hidup digunakan dalam bidang pelayanan kesehatan

untuk menganalisis emosional seseorang, faktor sosial, kemampuan untuk

memenuhi tuntutan, kegiatan dalam kehidupan secara normal dan dampak sakit

bisa berpotensi untuk menurunkan kualitas hidup terkait kesehatan. Kualitas

hidup (Quality Of life) merupakan konsep analisis kemampuan individu untuk

mendapatkan hidup yang normal terksit dengan persepsi secara individu

mengenai, tujuan, harapan, standar, dan perhatian secara spesifik terhadap

kehidupan yang dialami dengan dipengaruhi oleh nilai dan budaya pada

lingkungan individu tersebut berada (Adam, 2006 ; Brooks & Anderson, 2007)

dalam (Nursalam, 2015).

Kualitas hidup adalah suatu konsep yang sangat luas dan dipengaruhi oleh

berbagai kondisi seperti kondisi fisik individu, psikolagis, tingkat kemandirian,

serta hubungan individu dengan lingkungan (Nursalam, 2020).

2. Quality Of Life / Penilaian Kualitas Hidup


Menurut Nursalam, 2020 Penilaian kualitas hidup WHOQOL_100 (The

Word Health Organization Quality of Life) dikembangkan oleh WHOQOL grup

bersama lima belas pusat kajian (field centers) internasional, secara bersamaan

dalam upaya untuk mengembangkan penilaian kualitas hidup yang akan berlaku

secara lintas budaya. Prakarsa WHO untuk mengembangkan penilaian kualitas

hidup muncul karena beberapa alasan:

a. Dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi perluasan focus pada pengukuran

kesehatan, diluar indicator kesehatan tradisional seperti mortalitas dan

morbiditas serta untuk memasukan ukuran dampak penyakit dan gangguan

pada alktivitas dan perilaku sehari-hari. Hal ini memberikan ukuran dampak

penyakit, tidak menilai kualitas hidup semata, yang telah tepat digambarkan

sebagai “pengukuran yang hilang dalam kesehatan.

b. Sebagian besar upaya dari status kesehatan ini telah dikembangkan di

Amerika Utara dan Inggris, dan penjabaran langkah-langkah tersebut yang

digunakan dalam situasi lain banyak menyita waktu, dan tidak sesuai karena

sejumlah alasan.

c. Model kedokteran yang semakin mekanistikyang hanya peduli pada

pemberantasan penyakit dan gejalanya, memperkuat perlunya pengenalan

unsure humanistic keperawatan kesehatan. Dengan memperbaiki assesmen

kualitas hidup dalam perawatan kesehatan, perhatian difokuskan pada aspek

kesehatan, dan intervensi yang dihasilkan akan meningkatkan perhatian pada

aspek kesejahteraan pasien.


Menurut Nursalam, 2020 Pengukuran Kualitas hidup The WHOQOL-

BREF (The Word Health Organization Quality of Life breef) menghasilkan

kualitas profil hidup adalah mungkin untuk menurunkan empat skor domain.

Keempat skor domain menunjukan sebuat persepsi individu tentang kualitas

hidup disetiap domain tertentu. Domain skor berskalakan kearah yang positif

(yaitu skor yang lebih tinggi menunujukan kualitas hidup lebih tinggi). Biasanya

seperti cakupan indeks antara 0 (mati) dan (1) kesehatan sempurna. Semua skala

dan faktor tunggal diukur dalam rentan skor 0-100 nilai skala yang tinggi

mewakili tingkat respon yang lebih tinggi. Jadi nilai tinggi untuk mewakili skala

fungsional tinggi atau tingkat kesehatan lebih baik; nilai yang tinggi untuk status

kesehatan umum atau QoL menunjukan QoL yang tinggi; tetapi nilai tinggi untuk

skala gejala menunjukan tingginya symptomatology atau masalah. Dengan

menggunakan teknik Tem Trade Off (TTO) dimana 0 menujukan kematian dan

100 menunjukan lebih buruk dari mati.

Rating scale (RS) mengukur QoL dengan cara yang sangat mudah, RS

menanyakan QoL, secara langsung sebagai sebuat titik dari 0 yang berhubungan

dengan kematian. Dan kurang dari 100, yang berhubngan dengan kesehatan yang

sempurna (Nursalam, 2020).

Untuk pengukuran kualitas hidup ini menggunakan WHOQOL-BREF

namun sudah di modifikasi oleh (Tumanggor, 2019) dan telah di uji oleh peneliti

sebelumnya. Kuesioner kualitas hidup tediri dari 22 pertanyaan dimana pada

nomor 1-5 adalah pertanyaan kesehatan fisik, 6-12 pertanyaan psikologis, 14-17

pertanyaan untuk hubungan sosial, 10-22 pertanyaan lingkungan dengan kriteria


apabila pertanyaan bernilai 1 tidak pernah, 2 kadang-kadang, 3 sering, 4 selalu

dengan skor 22-88. Untuk hasil ukur kualitas hidup baik jika nilai K3 < T, cukup

jika K2 < T ≤ K3 , dan kurang jika T ≤ K2.

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Hidup

a. Usia

Menurut penelitian Wicaksono (2011) dalam (Utami et al., 2014)

menjelaskan bahwa penderita diabetes melitus yang usianya muda akan

mempunyai kualitas hidup yang lebih baik dibandingkan dengan penderita

diabetes melitus yang berusia tua. Bertambahnya usia akan meningkatkan

resiko terhadap DM dan intoleransi glukosa karena faktor degeneratif yang

umumnya menurunkan fungsi tubuh.

b. Jenis kelamin

Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas

hidup pasien DM. terdapat beberapa perbedaaan antara laki-laki dengan

perempuan, diamana kualitas hidup pasien laki-laki cenderung lebih baik

dibandingkan dengan pasien perempuan (tumanggor 2019).

c. Tingkat pendidikan

Dalam pengelolaan penyakit DM, pengetahuan menjadi Faktor yang

penting. Sebuah studi menyatakan bahwa kurangnya pengetahuan akan

menghambat pengelolaan kualitas hidup. Sementara penderita dengan tingkat

pendidikan yang rendah akan mengalami kesulitan dalam meningkatkan

kualitas hidup.

d. Status perkawinan
Status perkawinan memiliki hubungan terhadap kualitas hidup, hal

tersebut disebabkan oleh dukungan dari pasangannya. Pasangan hidup

memiliki fungsi sebagai supporting dalam berbgai hal seperti; emosi

(problem solving), keuangan ataupun pengasuhan (papalia & Feldman, 2009)

dalam (Utami et al., 2014)

e. Pekerjaan

Orang yang tidak memiliki pekerjaan pada usia dewasa muda akan

mempengaruhi kualitas hidup maka kondisi tersebut juga akan mempengaruhi

kebahagiaan individu. Pekerjaan menjadi hal yang utama karena pekerjaan

memberikan aktivitas yang menghabiskan sepertiga waktu individu (8

jam/hari), dimana waktu ini setara dengan waku yang dihabiskan individu

untuk tidur daan melakukan berbagai aktivitas lainnya. Akibat tingginya

tingkat pengangguran serta peluang usaha yang tidak dapat dilakukan

maksimal oleh penduduk, dimana semakin tinggi faktor psikologis semakin

rendah kualitas hidup (Jacob, 2018).

f. Lama menderita diabetes

Penderita yang mengalami penyakit DM dalam kurun waktu yang lama

akan mempengaruhi pengalaman dan pengetauan individu tersebut dalam

pengobatan DM (Rusli, 2011) dalam (Utami et al., 2014) penderita DM yang

Lebih lama biasanya lebih memahami perilaku berdasarkan pengalamannya

selama menjalani penyakit tersebut.

g. Penghasilan

Bidang penelitian dan bidang teknologi kesehatan yang berkembang


mengevaluasi manfaat, efektivitas biaya, dan keuntungan bersih dan terapi.

Sehingga hal tersebut dilihat dari penilaian perubahan kualitas hidup secara

fisik, fungsional, mental, dan kesehatan sosial dalam engevaluasi biaya dan

manfaat dari program baru dan intervensi.

h. Hubungan dengan orang lain

Pada saat kebutuhan hubungan dengan orang lain terpenuhi, baik

hubungan dalam pertemanan yang saling mendukung maupun melalui

pernikahan, manusia akan memiliki kualitas hidup yang lebih baik secara fisik

ataupun emosional (tumanggor 2019)

i. Kesehatan fisik

Kesehatan merupakan tongkat yang penting dalam perkembangan

tentang kepedulian kesehatan hidup seseorang. WHO mendefinisikan

kesehatan bukan saja sebagai sesuatu penyakit akan tetapi bisa dilihat dari

fisik, mental, dan kesejahteraan sosial (tumanggor 2019)

4. Stuktur Kualitas Hidup

Pandangan kualitas hidup mengacu pada evaluasi subjektif yang tertanam

dalam konteks budaya, sosial dan lingkungan. Karena definisi kualitas

hidupterpokus pada kualitas hidup yang “diterima” responden, definisi ini tidak

diharapkan untuk menyediakan cara untuk mengukur gejala, penyakit atau

kondisi dengan pola terperinci, melainkan efek dari penyakit dan intervensi

kesehatan terhadap kualitas hidup. Dengan demikian kualitas hidup tidak bisa

disamakan hanya dengan istilah status kesehatan, gaya hidup, kepuasan hidup,

kondisi mental atau kesejahteraan. Pengukuran sifat multidimensi kualitas hidup


tercermin dalam stuktur WHOQOL-100 (Nursalam 2020).

Dalam praktik klinis, penilain WHOQOL akan membantu tim medis dalam

membuat penilain. WHOQOL akan memungkinkan para professional kesehatan

untuk menilai perubahan kualitas hidup selama pengobatan (Nursalam, 2020).

Perlu diantisipasi bahwa dimasa depan WHOQOL-100 dan WHOQOL

BREF akan terbuki bergunadalam penilaian kebijakan kesehatan, dan akan

membuat sebuat aspek penting dari audit rutin kesehatan dan pelayanan sosial.

Karena instrument dikembangkan secara lintas budaya, penyedia layanan

kesehatan, pemerintan dan anggota legislative di Negara-negara diaman tidak ada

kualitas yang dilakukan, bisa memastikan data yang dihasilkan oleh kerja yang

melibatkan asesmen WHOQOL akan benar-benar sensitive bagi setting mereka

(Nursalam, 2020).

5. Domain Qol Menurut WHOQOL – BREF

Menurut Nursalam (2020) ada empat domain yang dijadikan untuk

mengetahui kualitas hidup. Setiap domain dijabarkan dalam berbagai aspek,

yaitu:

Domain kesehatan fisik, yang dijabarkan dalam bebbagai aspek, sebagai

berikut :

a. Kegiatan kehidupan sehari-hari

1) Ketergantungan pada bahan obat dan bantuan medis

2) Energy dan kelelahan

3) Mobilitas

4) Rasa sakit dan ketidaknyamanan


5) Tidur dan istirahat

6) Kepastian kerja

b. Domain psikolagis, yang dijabarkan dalam berbagai aspek, sebagai berikut:

1) Bentuk dan tampilan tubuh

2) Perasaan negatif

3) Persaan positif

4) Penghargaan diri

5) Spiritualitas Agama atau keyakinan pribadi

6) berpikir, bekerja, memori dan konsentrasi

c. Domain hubungan sosial, yang dijabarkan dalam berbagai aspek, sebagai

berikut :

1) Hubungan pribadi

2) Hubungan sosial

3) Hubungan seksual

f. Domain lingkungan, yang dijabarkan dalam berbagai aspek, sebagai berikut :

1) Sumber daya keuangan

2) Kebebasan, keamanan, dan kenyamanan fisik

3) Kesehatan dan kepedulian sosial : aksebilitas dan kualitas

4) Lingkungan rumah

5) Peluang untuk memperoleh informasi dan keterampilan baru

6) Partisifasi dan kesempatan untuk rekreasi dan keterampilan baru

7) Lingkungan fisik (polusi atau kebisingan atau lalu lintas atau iklim)

8) Transfortasi
D. Hubungan Self Care dengan Kualitas Hidup Pasien Diabetes Melitus

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Rantung et al., 2015), Hasil

penelitian menunjukan rata-rata usia 62,7 tahun. Sebagian besar responden berjenis

kelamin perempuan, dengan tingkat endidikan responden sebagian besar adalah

pendidikan dasar (SD, SMP) dan penghasilan perbulan diatas UMK. Lama responden

menderita DM rata-rata adalah 8.2 tahun, sebagian besar mengalami komplikasi dan

tidak mengalami depresi. Sebagian responden tidak melakukan self care dengan

maksimal, rata-rata responden merasa puas dengan kualitas hidupnya. Ada hubungan

bermakna antara aktivitas self care, jenis kelamin, dan depresi dengan kualitas hidup

responden. Selanjutnya, ditemukan tidak ada hubungan antara usia tingkat

pendidikan, penghasilan, lama menderita DM dengan kualitas hidup. Sehingga

Penelitian ini menunjukan tidak ada hubungan yang bermakna antara Self Care

dengan kualitas hidup responden Diabetes Melitus (DM) Di Persatuan Diabetes

Indonesia (PERSADIA) Cabang Cimahi setelah dikontrol oleh variable jenis kelamin

dan depresi.

Berdasarkan penelitian yang dila`kukan oleh (Istianah et al., 2017) dapat

disimpulkan bahwa sebagian responden memiliki self care yang tinggi sebanyak

52,8% dan kualitas hidup yang baik sebanyak 61,1%. Berdasarkan uji statistik

dengan menggunakan chi-Square menunjukan nilai signifikan p value 0,017 < α 0,05

yang artinya ada hubungan antara self care dengan kualitas hidup pasien DM tipe 2 di

Wilayah Kerja Puskesmas Karang Palu Mataram.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Chaidir et al., 2017) dapat

disimpulkan bahwa dari distrubusi karakteristik responden yang menderita diabetes


melitus diwilayah kerja Puskesmas Tigo Baleh diperoleh hasil yaitu sebagian besar

responden berjenis kelamin perempuan dengan persentase 74.2% (66 responden) dan

seluruh responden menderita DM < 10 tahun dengan persentase 100% (89 responden)

lebih dari separoh responden menderita DM memiliki tingkat self care yag tinggi

dengan persentase 51.7% (46 responden) lebih dari separoh responden memiliki

kualitas hidup yang huruk dengan persentase 52.8% (47 responden) besaran korelasi

antara self care dengan kualitas hidup pasien DM yaitu sebesar 0.432, maka dapat

disimpulkan bahwa hubungan self care denga kualitas hidup pasien DM di Wilayah

Kerja Puskesmas Tigo Baleh berbanding lurus dan memiliki tingkat korelasi sedang.

Berdasarkan hasil peneltian yang dilakukan (Minarni et al., 2018) Ada

hubungan self care dengan kualitas hidup penderita diabetes melitus tipe 2 diwilayah

kerja Puskesmas Samaerna Kecamatan Sinjai Selatan Kabupaten Sinjai dimana

penderita yang self care-nya tinggi berpeluang memiliki kuaitas hidup yang lebih

baik disbanding dengan penderita yang self care-nya rendah.

Berdasarkan hasil penelitia yang dilakukan oleh (Hastuti et al., 2019)

berdasarkan hasil analisis bivariat, hubungan antara self care dengan kualitas hidup

pasien DM diperoleh bahwa responden yang memiliki self care baik lebih banyak

yang memiliki kualitas hidup hidup baik sebanyak 17 responden, disbanding dengan

responden yang memiliki kualtitas hidup baik baik sebanyak 13 responden. Hasil uji

statistik diperoleh nilai p = 0,003 (p value < 0,05) hal ini menunjukan ada hubungan

antara self care dengan kualitas hidup. Sehingga ditark kesimpulan bahwa dalam

penelitian ini adalah terdapat hubungan anatara self care dengan kualitas hidup pasien

diabetes melitus Diruang Garuda RSU Anutapura Palu.


Berdasarkan hasl penelitian yang dilakukan (Hartati et al., 2019) antara lain: 1)

hasil penelitian menunjukan bawha dari 97 responden, didapatkan bahwa responden

yang melakukan sebanyak 26 (26,8%) responden melakukan perawatan (self care)

dengan tergantung dengan orang lain. 2) hasil penelitian menunjukan bahwa dari 97

responden, didapatkan bahwa responden yang memiliki kualitas hidup yang sedang

sebanyak 62 (63,9%) responden.sedangkan responden yang memiliki kualitas hidup

tinggi yaitu sebanyak 35 (36,1%) responden. 3) Terdapat hubungan yang signifikan

antara perawatan diri (self care) dengan kualitas hidup pasien diabetes melitus di poli

Penyakit Dalam RSUD Kota Langsa

E. Kerangka pemikiran

Kerangka berpikir adalah sebuah model atau gambaran yang berupa konsep

yang didalamnya menjelaskan tentang hubungan antara variabel yang satu dengan

variabel yang lainnya. Kerangka berpikir dapat dikatakan sebagai rumusan-rumusan

masalah yang sudah dibuat berdasarkan dengan proses deduktif dalam rangka

menghasilkan beberapa konsep dan juga proposisi yang digunakan untuk

memudahkan peneliti merumuskan hipotesisi penelitiannya (Hardani et al., 2020).

Self care merupakan performance atau peraktek kegiatan individu untuk

berinisiatif dan membentuk perilaku mereka dalam memelihara kehidupan, kesehatan

dan kesejahteraan. Apabila self care dibentuk dengan efektif maka hal tersebut

mampu membentuk integritas stuktur dan fungsi manusia (Muhlisin & Irdawati,

2010).
Self care menurut WHO (2009) mendefinisikan sebagai kemampuan individu,

keluarga dan masyarakat dalam meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, dan

menjaga kesehatan dan mengatasi penyakit dan kecacatan dengan atau tanpa

dukungan dari penyedia layanan kesehatan (Putri, 2017). Aktivitas self care meliputi

: pengaturan pola makan, pemantauan kadar gula darah, terapi obat, perawatan kaki,

dan latihan fisik.

Kualitas hidup merupakan konsep analisis kemampuan individu untuk

mendapatkan hidup yang normal terkait dengan persepsi secara individu mengenai

tujuan, harapan, standar dan perhatian secara spesifik terhadap kehidupan yang

dialami dengan dipengaruhi oleh nilai dan budaya pada lingkungan individu tersebut

berada. Kualitas hidup merupakan sasaran utama yang ingin dicapai dibidang

pembangunan sehingga kualitas hidup sejalan dengan tingkat kesejahteraan

(Nursalam, 2013) dalam (Minarni et al., 2018).

Self care dapat mempengaruhi kualitas hidup karena apabila self care dilakukan

dengan baik maka secara tidak langsung dapat meningkatkan kualitas hidup pasien

diabetes melitus sehingga pasien DM dapat menjalankan aktivitas sehari-hari.

Terdapat beberapa aspek yang dapat mempengaruhi kualitas hidup, aspek tersebut

lebih dititik beratkan pada pencegahan komplikasi dan pegontrolan kadar gula pada

penderita DM, apabila pasien dapat melakukan pengontrolan gula darah melalui

perubahan gaya hidup yang teratur, tepat dan permanen maka tidak akan terjadi

komplikasi yang dapat menurunkan kualitas hidup pasien diabetes melitus.

Penurunan kualitas hidup pada pasien DM sering diikuti dengan ketidaksanggupan

pasien dalam melakukan perawatan diri secara mandiri, yang biasa disebut self care.
Sehingga ketidaksanggupan pasien dalam melakukan self care dapat mempengaruhi

kualitas hidup dari segi kesehatan fisik, kesehatan psikologis, dan hubungan sosial

dengan lingkungan (Utami et al., 2014) : (kusniawati 2011) dalam (Chaidir et al.,

2017).

Bagan 2.1 Kerangka pemikiran Hubungan Self Care Dengan Kualitas Hidup

Pasien Diabetes Melitus Di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Sukabumi.

Variabel independen variabel dependen

Self care Kualitas hidup

Keterangan :

: faktor yang diteliti

: variabel yang berhubungan

F. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan

penelitian. Menurut La Biando-Wood dan Haber 2002 Dalam (Nursalam, 2015).

Menjelaskan bahwa hipotesis adalah suatu pernyataan asumsi tentang hubungan

antara dua atau lebih variabel yang diharapkan mampu menjawab suatu pertanyaan

dalam penelitian.

Hipotesisi dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :“Ada

Hubungan Self Care Dengan Kualitas Hidup Pasien Diabetes Melitus Di Desa
Cibaregbeg Wilayah Kerja Puskesmas Cikole Kota Sukabumi”

H₀ = Tidak Ada Hubungan Self Care Dengan Kualitas Hidup Pasien Diabetes

Melitus Di Wilayah Kerja Puskesmas Cikole Kota Sukabumi

H₁ = Ada Hubungan Self Care Dengan Kualitas Hidup Pasien Diabetes Melitus Di

Wilayah Kerja Puskesmas Cikole Kota Sukabumi.

BAB III

METODE

PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan peneliti adalah penelitian korelasion yaitu

mengkaji hubungan antar variable. Penelitian korelasi bertujuan mengungkapkan

hubungan korelasi antar variabel, Hubungan korelasi mengacu kapeda kecenderungan

bahwa variasi suatu variable diikuti oleh variasi oleh variable lain (Nursalam, 2020).

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan cross sectional. Cross

sectional merupakan jenis penelitian secara tidak langsung mengukur sifat dan

tingkat yang sama dengan mengambil sampel yang berbeda dari tingkatan atau studi

kecenderungan yang dirancang untuk menentukan pola-pola perubahan masa lalu

dalam rangka meramalkan pola kondisi masa depan (Hardani et al., 2020). Penelitian

cross sectional memiliki tiga ciri distingtif yaitu tidak berdimensi waktu, bergantung

pada perbedaan-perbedaan yang ada daripada perubahan akibat intervensi, kelompok

didasarkan pada perbedaan yang ada daripada pengelompokan acak (Hardani et al.,

2020).

Pada penelitian ini peneliti mengkaji hubungan self care dengan kualitas

hidup pasien diabetes melitus di Desa Cibaregbeg Wilayah Kerja Puskesmas Cikole
Kota Sukabumi.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Lokasi dalam penelitian ini dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Cikole

Kota Sukabumi.

2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei.

C. Variable Penelitian

1. Variabel Bebas (Independen Variable)

Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi

sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen (terikat) (Sugiyono, 2019).

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah self care.

2. Variabel Tak Bebas (Dependen Variable)

Vatiabel tidak bebas merupakan variabel terikat yang dipengaruhi atau yang

menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2019). Variabel tidak

bebas dalam penelitian ini adalah kualitas hidup.

D. Definisi Konseptual dan Operasional

1. Definisi Konseptual

Kerangka konsep penelitian pada hakikatnya adalah suatu uraian dan

visualisasi konsep-konsep serta variable-variabel yang akan diukur (diteliti).

Supaya memperoleh gambara secara jelas kearah mana penelitian itu berjalan, atau

data apa yang dikumpulkan (Notoatmodjo, 2018). Adapun definisi konsep yang
akan dipaparkan adalah pasien penderita Diabetes melitus, self care, dan kualitas

hidup.

Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit gangguan metabolik akibat

pankreas tidak menproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat menggunakan

insulin yang di produksi secara efektif, insulin merupakan hormon yang mengatur

keseimbangan kadar gula darah, akibatnya terjadi peningkatan konsentrasi glukosa

didalam darah (hiperglikemia) (Kemenkes RI, 2018).

self care merupakan kebutuhan manusia dimana individu berusaha menjaga,

mempertahankan serta meningkatkan kualitas hidup pasien untuk meningkatkan

kehidupan, kesejahteraan serta penyembuhan dari penyakit dan terhindar dari

komplikasi (Alligood, (2014) dalam (Sabil et al., 2019).

Kualitas hidup merupakan konsep analisis kemampuan individu untuk

mendapatkan hidup yang normal terkai dengan persepsi secara individu mengenai

tujuan, harapan, standar, dan perhatian secara spesifik terhadap kehidupan yang

dialami dengan dipengaruhi oleh nilai dan budaya pada lingkungan individu

tersebut berada (Todaro-Franceschi (2019) dalam (Nursalam, 2020).

2. Definisi Operasional

Definisi Oprasional merupakan uraian tentang batasan variabel yang

dimaksud, atau tentang apa yang di ukur oleh variabel yang bersangkutan. Definisi

operasional ini juga bermanfaat untuk mengarahkan kepada pengukuran atau

pengamatan terhadap variabel-variabel yang bersangkutan serta mengembangkan

instrument (alat ukur) (Notoatmodjo, 2018).

E. Populasi dan Sampel

1. Populasi
(Nursalam, 2015) populasi dalam penelitian adalah subjek (misalnya

manusia; klien) yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan. Populasi

dalam penelitian ini adalah seluruh pasien diabetes melitus di wilayah kerja

Puskesmas Cikole Kota Sukabumi.

2. Sampel

Sample terdiri atas bagian populasi terjangkau yang dapat

dipergunakan sebagai subjek penelitian melalui sampling (Nursalam,

2020). Sample pada penelitian ini adalah semua pasien diabetes melitus di

wilayah kerja Puskesmas Cikole Kota Sukabumi.

Penentuan sample tersebut didasarkan atas kriteria inklusi. Kriteria

inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari suatu populasi

target yang terjangkau dan akan diteliti (Nursalam, 2020).

Karakteristik inklusi responden dalam penelitian ini adalah :

a. Pasien yang sudah terdiagnosa DM di Puskesmas Sagaranten

b. Dapat berkomunikasi verbal dengan baik

c. Pasien DM yang berusia > 15 Tahun

d. Bersedia untuk dijadikan responden

57

Menurut Nursalam 2020 kriteria eklusi adalah menghilangkan /

mengeluarkan subjek yang memenuhi kriteria inklusi dari studi karena

berbagai sebab.

Kriteria eksklusi responden dalam penelitian ini adalah :


a. Pasien yang mengalami sakit berat pada saat pengambilan data

b. Pasien yang tidak bisa membaca dan mendengar

3. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik sampling adalah cara untuk menentukan sampel yang

jumlahnya sama dengan ukuran data sebenarnya, dengan memperhatikan

sipat-sipat dan penyebaran populasi agar diperoleh sampel yang

representatif. (Murgono, 2004) Dalam (Hardani et al., 2020).

Teknik Pengambilan sampel dalam penelitian ini dengan cara total

sampling. Total sampling adalah teknik pengambilan sample dimana

jumlah sample sama dengan populasi (Sugiyono, 2019). Sample diambil di

Wilayah Kerja Puskesmas Cikole Kota Sukabumi.

F. Teknik Pengumpulan Data

Teknik Pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama

dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan

data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti akan

mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan

(Sugiyono, 2019).

Teknik pengumpulan data dimulai dengan memberikan informed concent

kepada responden. Setelah responden menyetujui, responden, mengisi data

demografi dan mengisi pertanyaan yang terdapat pada kuesioner.

1. Jenis Data

a. Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung

dari sumber aslinya (tidak melalui perantara). Data primer dapat


berupa opini/persepsi orang secara individual dan kelompok

serta hasil observasi terhadap suatu benda atau kegiatan

(Budhiana, 2019).

Data primer dalam penelitian ini adalah data hasil dari

kuesioner yang diberikan dengan mengajukan pertanyaan-

pertanyaan kepada pasien penderita diabetes mellitus di wilayah

kerja Puskesmas Cikole Kota Sukabumi.

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan sumber data yang diperoleh

secara tidak langsung melalui media perantara (dicatat oleh

orang lain). Data sekunder umumnya berupa bukti, catatatan

yang disimpan (data

dokumenter) yang dipublikasi dan tidak dipublikasikan

(Budhiana, 2019).

Data sekunder dalam penelitian ini yaitu data yang diperoleh

dari Puskesmas Cikole , data yang diperoleh dari Dinas

Kesehatan Kota Sukabumi, buku-buku sumber yang terkait

dengan materi penelitian, jurnal penelitian sebelumnya, internet,

dan beberapa literatur-literatur lainnya

2. Cara Pengumpulan Data

Cara pengumpulan data dalam penelitian ini adalah kuesioner,

dengan mengajukan beberapa pertanyaan dalam bentuk kuesioner.

Kuesioner adalah suatu pengumpulan data atau penelitian mengenai


suatu masalah yang umumnya dapat menyangkut kepentingan umum,

dan kuesioner ini dapat diartikan sebagai daftar pertanyaan yang

sudah tersusun dengan baik, sudah matang, dimana responden (dalam

hal angket) dan interview (dalam hal wawancara) tinggal

memberikan jawaban atau dengan memberikan tanda-tanda tertentu.

Dengan demikian kuesioner sering disebut juga “daftar pertanyaan”

(Notoatmodjo, 2018).

Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan

dengan cara memberi seperangkat atau pertanyaan tertulis kepada

responden untuk dijawabnya. Kuesioer dapat berupa pertanyaan

tertutup atau terbuka (Sugiyono, 2019).

G. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian menurut Ibnu Hadjar adalah alat ukur yang di

gunakan untuk mendapatkan informasi kuantitatif tentang variasi karakteristik

variabel secara objektiv (Hardani et al., 2020).

(Notoatmodjo, 2018) Instrument penelitian adalah alat–alat yang

digunakan untuk mengumpulkan data, instrument ini dapat berupa kuesioner

(pertanyaan), formulir observasi, formulir-formulir lain yang berkaitan dengan

penetapan data lain. Pada jenis pengukuran ini peneliti mengumpulkan data

secara formal kepada subjek untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan secara

tertulis.
H. Uji Validitas dan Reabilitas Instrumen

1. Uji Validitas

Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-

benar mengukur apa yang di ukur (Notoatmodjo, 2018). Uji validitas ini

untuk mengukur varibel Sikap Remaja dan Pemanfaatan Sumber Informasi.

Uji Validitas dalam penelitian ini menggunakan rumus Pearson Product

Moment (validitas konstruk). Teknik korelasi pearson product moment

dirumuskan sebagai berikut :

𝑛(∑ X𝑌) − (∑ X) − (∑ 𝑌)
𝑅=
√{𝑛(∑ X2 − (∑ X)2 {𝑛(∑ 𝑌2) − (∑ 𝑌)2}

Keterangan

R : Koefisien korelasi

∑Xi : Jumlah skor item

∑Yi : Jumlah skor

total n : Jumlah

responden

Suatu instrumen di kataan valid apabila mempunyai angka

standar validitas kurang yaitu <0,05 dengan

perhitungan menggunakan

SPSS(statistik product and service solution) versi 16,0. Instrumen

yang diuji validitasnya dalam penelitian ini yaitu variabel self care
dan kualitas hidup.

2. Uji Reabilitas

Reliabilitas ialah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat

pengukuran dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal ini berarti

menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten atau tetap

asas bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang

sama, dengan menggunakan alat ukur yang sama (Notoatmodjo, 2018).

Penelitian ini teknik untuk menghitung indeks reliabilitas yaitu

dengan teknik Cronbach Alpha. Rumus untuk menghitung koefisien

reliabilitas instrument dengan menggunakan Cronbach Alpha adalah

sebagai berikut :

Rumus :

𝑘
𝑟= [ ] [1 −
(𝑘 − 1)
∑𝜎𝑏2
]
𝜎2𝑡

Keterangan :

r : Koefisien reliabilitas instrument

k : Banyaknya butir pertanyaan

∑σb² : Total varians butir

σ²t : Total varians

Uji reabilitas pada penelitian ini mengacu pada aturan Guilford


Tabel 3.2 Indeks Reliabilitas Menurut Aturan Guiford

0,00 – 0,19 Reliabilitas Sangat Lemah

0,20 – 0,39 Reliabilitas Lemah

0,40 – 0,69 Reliabilitas Cukup Kuat

0,70 – 0,89 Reliabilitas Kuat

0,90 – 1,00 Reliabilitas Sangat Kuat

Sumber : Budhiana,Johan.2019.Modul Analisa Data


I. Pengolahan Data

Dalam suatu penelitian, pengolahan data merupakan salah satu langkah

yang penting. Hal ini disebabkan karena data yang diperoleh langsung dari

peneliti masih mentah, belum memberikan informasi apa-apa dan belum siap

untuk disajikan. Untuk memperoleh penyajian data sebagai hasil yang berarti

dan kesimpulan yang baik, diperlukan pengolahan data (Notoatmodjo, 2018).

Setelah data terkumpul dari angket atau kuisioner, maka dilakukan

pengolahan data yang melalui beberapa tahap proses. Proses pengolahan data

menurut Notoatmodjo (2018) melalui tahap-tahap berikut

1. Editing

Setelah dilakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan dan kejelasan

jawaban kuesioner dan penyesuaian data yang diperoleh dengan kebutuhan

penelitian tidak terdapat kekeliruan dalam pengisian kuesiner atau jawaban

dari responden.
2. Coding

Merupakan mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi

data angka atau bilangan. Koding atau pemberian kode ini sangat berguna

dalam memasukkan data (data entry).

3. Scoring
Scorsing merupakan kegiatan memberikan nilai atau skor pada setiap
item jawaban responden seperti “ya” diberi nilai 1 dan tidak diberi nilai “0”.

4. Masukan Data (Data Entry) atau Processing

Setelah data di skoring maka langkah selanjutnya memasukkan data

yang telah dikumpulkan ke dalam data base computer. Proses entry data

pada penelitian ini menggunakan Software Microsoft Office Excel

kemudian untuk kepentingan analisis data menggunakan SPSS 16.0 for

windows.

5. Cleaning (Pembersihan Data)

Merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di entry

apakah ada kesalahan atau tidak. Pada proses cleaning ini dilakukan

pengecekan kembali, pada penelitian ini terdapat beberapa kesalahan

pengetikan data kemudian langsung diperbaiki kembali.

J. Teknik Analisa Data

Setelah data di proses dan dicek kembali maka langkah selanjutnya

menganalisis data yang telah dikumpulkan di dalam data base computer.


Proses ini ini menggunakan Software Microsoft Office Excel kemudian

untuk kepentingan analisis data menggunakan SPSS 16.0 for windows.

1. Analisis Karakteristik Responden

Analisa data yang digunakan adalah analisa secara deskriptif untuk

gambaran karakteristik responden yang meliputi usia, jenis kelamin,

pendidikan, dan pekerjaan.

Secara umum analisa deskriptif dalam penelitian ini dilakukan

dengan rumus sebagai berikut:

a
P x 100%
a. b

Keterangan :

P : Persentase jumlah responden kategori

tertentu a : Jumlah responden kategori

tertentu

b : Jumlah seluruh responden

2. Analisis Univariat Variabel

Analisis univariat dalam penelitian ini dilakukan pada variabel self

care dan kualitas hidup sebagai berikut :

a. Analisis Univariat Self Care

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur self care adalah

kuisioner yang diberikan kepada responden. Terdapat pertanyaan

favorable (positif) dan unfaroble (negatif).


Analisis Univariat untuk variabel self care dihitung menggunakan

distribusi frekuensi, sedangkan pengkategorian pada variabel self care

berdasarkan instrument The Summary of Diabetes Self Care Activitas

(SDSCA) membagi data menjadi dua yaitu Baik dan Kurang.

Tabel 3.3 Pembagian Kategori Pada Variabel Self care

No Kategori Self Cere

1 Baik ≥ 45,5

2 Kurang < 45,5

Analisis univariat untuk variabel self care dilakukan dengan

menggunakan Median. Sedangkan untuk mengkategorikan setiap indikator

secara umum dilakukan dengan menggunakan rata – rata. Adapun Langkah-

langkah pembuatan kategori dengan mengacu pada nilai median adalah

sebagai berikut:

Menentukan

Xmax Xmax

= 91

Menentukan

Xmin Xmin

=0

Menentukan
Range

R = Xmax – Xmin

= 91 – 0

= 91

Menentukan nilai

Median (Me) Me

= 2 𝑥 𝑅𝑎𝑛𝑔𝑒 +

X𝑚i𝑛
4

Keterangan :

Me = Median

R = range (Xmax-

Xmin) Xmax =

skor terbesar

Xmin = skor
terkecil

b. Analisis Univariat Kualitas Hidup

Analisis Univariat untuk variabel kualitas hidup dihitung

menggunakan distribusi frekuensi, sedangkan pengkategorian pada

variabel kualitas hidup pengkategorian data menjadi tiga yaitu : Baik,

Cukup, Kurang

Tabel 3.4 Pembagian Kategori Pada Variabel Kualitas Hidup

No Kategori Kualitas Hidup

1 Baik (68,25 – 84)

2 Cukup (52,6 - 68,24)

3 Kurang (21- 52,5)

Untuk pengukuran kualitas hidup menggunakan Skala liket. Analisa

univariat kualitas hidup mengacu pada nilai kuartil. Adapun langkah-

langkahnya sebagai berikut:

1) Menentukan jumlah nilai

minimal, Xmin =

2) Menentukan jumlah nilai

maximal Xmax =

3) Menentukan

rentang skor Range

= Xmax – Xmin

4) Membuat nilai kuartil:


K3 =

K2 =
K1 =

Kriteria hasil ukur kualitas hidup menggunakan kuartil

sebagai berikut:

1) Baik, jika K3

< T Baik jika,

68,25 < T

2) Cukup, jika K2 < T ≤

K3 Cukup, jika 52,5 <

T ≤ 68,25

3) Kurang, jika T

≤ K2 Kurang,

jika T ≤ 52,5

3. Analisis Bivariat

Analisa data bivariat merupakan analisa yang dilakukan terhadap dua

variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi (Notoatmodjo,2019).

Analisa bivariat penelitian ini akan menggunakan uji statistik Chi-Square.

Rumus yang digunakan sebagai berikut:

(ƒ𝑜 − ƒℎ)
𝑥2 = ∑ ƒℎ

Keterangan:

𝑥2 : Nilai Chi-square

ƒ𝑜 : Nilai hasil pengamatan untuk tiap kategori

ƒℎ : Nilai hasil yang diharapkan untuk kategori


H0 ditolak dan H1 diterima jika didapatkan nilai bahwa p-value ≤ 0,05

(ada hubungan) dan H0 diterima dan H1 ditolak jika didapatkan nilai > 0,05

(tidak ada hubungan).

K. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitan menurut (Arikunto, 2013) yang digunakan dalam

penelitian ini yaitu:

1. Pembuatan Rancangan Penelitian

Tahap pembuatan rancangan penelitian bertujuan untuk memperoleh

gambaran yang jelas dan lengkap mengenai masalah yang hendak diteliti.

Tahap ini diawali dengan menentukan permasalahan atau fokus penelitian

yang meliputi:

a. Memilih lahan penelitian.

b. Bekerjasama dengan lahan penelitian untuk studi pendahuluan.

c. Melakukan studi kepustakaan tentang hal-hal yang berkaitan dengan

masalah penelitian.

d. Menyusun proposal penelitian.

e. Menyajikan seminar proposal penelitian.

2. Pelaksanaan Penelitian

Pada tahap ini peneliti akan mengumpulkan data sesuai dengan fokus

dan tujuan penelitian. Pengumpulan data atau informasi melalui kuisioner.

Untuk mempermudah penelitian dalam hal ini peneliti berusaha untuk

memahami hal- hal berikut, yakni:


a. Pemahaman latar belakang dan persiapan diri dengan maksud untuk

menghindari dari data-data yang kurang diperlukan, data yang

terkumpul semata-mata dari sudut pandang informasi tanpa

mempengaruhinya

b. Tata cara memasuki berkonumikasi pada kader dan responden, dalam

hal ini peneliti berusaha untuk membuat suasana yang lebih akrab

dalam posisi sebagai peneliti.

c. Peran serta dan pengumpulan data, dalam hal hal ini peneliti berusaha

memperhitungkan waktu, tenaga dan biaya dalam upaya

mengumpulkan data yang diperlukan.

Adapun tahap pelaksanaan dalam penelitian ini meliputi:

1) Permohonan izin penelitian.

2) Menentukan besaran populasi dan ukuran sampel target.

3) Mencari data informasi sampel.

4) Melakukan informed consent dengan kader dan responden.

5) Membagikan kuesioner

6) Mengumpulkan kuesioner setelah data lengkap.

7) Melakukan Pengolahan dan analisa data.

8) Menarik kesimpulan.

3. Pembuatan Laporan

Kegiatan ini merupakan kegiatan akhir dalam penyusunan. yang

kemudian diikuti dengan pencentakan dan penggandaan laporan untuk

dikomunikasikan pada pihak lain.


L. Etika Penelitian

Kode etika penelitian adalah suatu pedoman etika yang berlaku untuk

setiap kegiatan penelitian yang melibatkan antara pihak peneliti, pihak yang

diteliti (subjek penelitian), dan masyarakat yang akan memperoleh dampak

hasil penelitian tersebut (Notoatmodjo, 2018).

1. Prinsip Manfaat

Dengan berprinsip pada aspek manfaat, maka segala bentuk penelitian

yang dilakukan memiliki harapan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan

manusia. Pada penelitian ini, peneliti mempertimbangkan manfaat dan

resiko yang mungkin terjadi dan manfaat yang diperoleh harus lebih besar

dari pada resiko yang terjadi. Selain itu, penelitian yang dilakukan tidak

boleh membahayakan dan menjaga kesejahteraan bagi responden.

Adapun manfaat dalam penelitian ini yaitu kita bisa mengetahui

hubungan self care dengan kualitas hidup pasien diabetes melitus di

Wilayah Kerja Puskesmas Cikole Kota Sukabumi, sehingga kita bisa

menentukan intervensi yang tepat sesuai dengan kondisi yang terjadi

dilapangan. Sedangkan untuk responden sendiri dengan dilakukannya

observasi ketika

penelitian diharapkan responden mengetahui status kesehatannya sendiri

khususnya masalah yang berkaitan dengan pasien diabetes melitus.

2. Prinsip Menghormati Manusia

Penelitian ini dilakukan dengan menjungjung tinggi martabat

seseorang (subjek penelitian). Peneliti menghargai hak asasi responden


karena responden memiliki hak dan makhluk yang mulia yang harus

dihormati dimana responden memiliki hak dalam menentukan pilihan

antara mau atau tidak untuk diikutsertakan menjadi subjek penelitian.

3. Prinsip Keadilan

Prinsip ini dilakukan untuk menjunjung tinggi keadilan manusia

dengan menghargai hak atau memberikan pengobatan secara adil, hak

menjaga privasi manusia, dan tidak berpihak dalam perlakuan terhadap

manusia.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode Total Sampling

untuk memlilih responden akan tetapi menggunakan stratifikasi pada

karakteristik usia responden, sehingga tidak semua aspek memiliki

kesempatan yang sama. Hal tersebut bertujuan agar tidak terjadi kebiasan

terhadap variabel tidak bebas yang kemungkinan dipengaruhi faktor usia.

4. Informed Consent

Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan

responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Informed

consent

tersebut diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan memberikan

lembar persetujuan untuk menjadi responden.

Tujuan informed consent adalah agar subjek mengerti maksud dan

tujuan penelitian, mengetahui dampaknya. Jika subjek bersedia, maka

mereka harus menandatangani lembar persetujuan. Jika responden tidak

bersedia, maka peneliti harus menghormati hak pasien. Beberapa informasi


yang harus ada dalam informed consent tersebut antara lain: partisipasi

pasien, tujuan dilakukannya tindakan, jenis data yang dibutuhkan,

komitmen, prosedur pelaksanaan, potensial masalah yang terjadi, manfaat,

kerahasiaan, informasi yang mudah dihubungi, dan lain-lain.

Semua responden dalam penelitian ini telah menceklis lembar

persetujuan (Inform Consent) yang artinya semua responden telah bersedia

untuk dijadikan sampel dalam penelitian ini.

5. Anonymity (Tanpa Nama)

Masalalah etika ini memberikan jaminan dalam penggunaan subyek

penelitian dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan nama

responden pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan

disajikan.

Dalam pengumpulan data yang didapat dari responden, peneliti tidak

mencantumkan identitas responden seperti nama, tetapi peneliti

menggunakan penomoran terhadap kuesioner yang dibagikan kepada

responden.

6. Confidentiality (Kerahasiaan)

Data yang diperoleh dari subjek penelitian akan dijamin kerahasiaannya,

dan dan dalam penggunaan data hanya untuk kepentingan penelitian saja.

Semua data dan informasi yang didapat dari responden dalam penelitian ini

tidak akan dipublikasikan untuk umum, melainkan hanya digunakan untuk

kepentingan laporan hasil penelitian.


Azizah, N. (2019). Hubungan Penerimaan Diri dengan Kualitas Hidup pada
Pasien Diabetes Melitus Tipe II. Repository Universitas Jember, 1–122.
http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/92257

Budhiana, J. (2019). Modul Metodologi Penelitian. Stikes Sukabumi.

Chaidir, R., Wahyuni, A. S., Furkhani, D. W., Studi, P., Keperawatan, I., Yarsi,
S., & Bukittinggi, S. (2017). Hubungan self care dengan kualitas hidup
pasien diabetes melitus. Journal Endurance, 2(June), 132–144.

Damayanti, S. (2017). Penatalaksanaan Keperawatan Diabetes Melitus.


Nuha Medika.
Decroli, E. (2019). Diabetes Melitus Tipe 2. Pusat Penerbitan Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.

Dzusturia, D. N. (2016). Pengaruh Diabetes Self-Management Education


and Support (DSME/S) Terhadap Kualitas Hidup Pada Pasien
Diabetes Melitus Tipe II Di Wilayah Kerja Puskesmas Patrang
Kabupaten Jember. Universitas Jember.

Hardani, H., Medica, P., Husada, F., Andriani, H., Sukmana, D. J., & Mada, U.
G. (2020). Buku Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif (Issue March).
CV. Pustaka Ilmu.

Hartati, I., Pranata, A. D., & Rahmatullah, M. R. (2019). Hubungan Self Care
Dengan Kualitas Hidup Pasien Diabetes Melitus Di Poli Penyakit Dalam
RSUD Langsa. JP2K, 2(2), 94–104.

Hastuti, Januarista, A., & Suriawanto, N. (2019). Hubungan Self Care Dengan
Kualitas Hidup Pasien Diabetes Melitus Di Ruang Garuda Rsu Anutapura
Palu. Journal of Midwifery And Nursing, 1(3), 24–31.

Istianah, Uswatun, N., Hadi, I., & Arifin, Z. (2017). Hubungan Self Care
Dengan Kualitas Hidup Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Wilayah
Kerja Puskesmas Karak Pulu Kota Mataram. Jurnal Ilmiah Kesehatan
Stikes Yarsi Mataram, 10(2).

Jacob, D. E. (2018). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Hidup


Masyarakat Karubaga District Sub District Tolikara Propinsi Papua.
Jurnal Nasional Ilmu Kesehatan (JNIK), 1, 1–16.

Kemenkes RI. (2018). Hari Diabetes Sedunia Tahun 2018. Pusat Data Dan
Informasi Kementrian Kesehatan RI, 1–8.
https://pusdatin.kemkes.go.id/article/view/20111800001/diabetes-
melitus.html. Diakses 10 April 2021

Kemenkes RI, P. D. D. I. (2020). Infodatin-2020-Diabetes-


Melitus.pdf. https://pusdatin.kemkes.go.id/. Diakses 1 April
2021
Kementrian Kesehatan RI. (2019). Tanda dan Gejala Diabetes. Direktorat
Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular.
http://www.p2ptm.kemkes.go.id/artikel-sehat/tanda-dan-gejala-diabetes.
Diakses 1 April 2021

Minarni, Darwis, & Wahyuni, S. (2018). Hubungan Self Care Dengan


Kualitas Hidup Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Diwilayah Kerja
Puskesmas Samaendre Kecamatan Sinjai selatan Kabupaten Sinjai. Jurnal
Ilmiah Kesehatan Diagnosis, 12, 655–660.

Muhlisin, A., & Irdawati. (2010). Teori Self Care Orem Dan Pendekatan Dalam
Praktek Keperawatan. Berita Ilmu Keperawtantan, 2(2), 97–100.

Notoatmodjo, S. (2018). Metodologi Penelitian Kesehatan. PT. Rineka

Cipta. Nursalam. (2015). Metodolagi Penelitian Ilmu Keperawtan

Pendekatan Praktis.
Salemba Medika.

Nursalam. (2020). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Salemba Medika.

Putri, L. R. (2017). Gambaran Self Care Penderita Diabetes melitus (DM)


Diwilayah Kerja Puskesmas serondol Semarang. Universitas Dipenegoro
Semarang, Dm.

Rantung, J., Yetti, K., & Herawati, T. (2015). Hubungan self-care dengan
kualitas hidup pasien diabetes melitus (dm) di persatuan diabetes
indonesia (persadia) cabang cimahi. Skolastik Keperawatan, 1(1), 38–
51.

Sabil, F. A., Kadar, K. S., & Sjattar, E. L. (2019). Faktor-Faktor Yang


Mendukung Self Care Management Diabetes Melitus Tipe 2 : A Literatur
Riview. 10, 48–57.

Sugiyono. (2019). Metode Penelitian Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan


R&D. Alfabeta.

Tumanggor, W. A. (2019). Hubungan Self Care Dengan Kualitas Hidup


Pasien Diabetes Melitus Di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan 2019.
STIKes Santa Elisabeth Medan.

Umam, M. H., Solehati, T., & Purnama, D. (2020). Gambaran Kualitas Hidup
Pasien Diabetes melitus Di Pukesmas Wanaraja. Jurnal Kesehatan
Kusuma Husada, 70–80.

Utami, D. T., Karim, D., & Agrina. (2014). Faktor-Faktor Yang


Mempengaruhi Kualitas Hidup Pasien Diabetes Melitus Dengan Ulkus
Diabetikum. JOM PSIK, 1–7.

Anda mungkin juga menyukai