Proposal
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Untuk Mengikuti Ujian Proposal
Oleh:
VANESSA SUAK
NIM: 821319059
3. Usia
Diabetes selalu muncul setelah usia 40 tahun, tetapi dapat terjadi pada usia
muda terutama pada kelompok populasi dengan frekuensi DM yg
tertinggi, seperti Amerika. Menurut Askandar orang uang berusia ˃ 40
tahun mempunyai risiko lebih tinggi terkena penykit diabetes mellitus
dibanding yang berumur < 40 tahun Umumnya manusia mengalami
perubahan fisiologis yang secara drastis menurun dangan cepat setelah
usia 40 tahun. Diabetes sering mucul setelah seorang memiliki usia rawan
tersebut, terutama setelah usia 40 tahun pada mereka yang mempunyai
berat badan lebih, sehingga terjadi kelebihan glukosa dan dibutuhkan
insulin dalam jumlah banyak untuk mengubah glukosa menjadi energy
(Trisnawati dkk, 2012).
4. Konsumsi makanan
Pola makanan merupakan perilaku manusia dalam memenuhi
kebutuhannya akan makanan yang meliputi sikap, kepercayaan, jenis
makanan, frekuensi, cara pengolahan dan pemilihan makanan. Nutrisi atau
konsumsi makanan yang berlebih merupakan faktor utama yang diketahui
menyebabkan DM. Semakin berat badan berlebih akibat kelebihan nutrisi,
semakin besar kemungkinan terjangkit DM. Adakalanya seorang sangat
sensitif terhadap karbohidrat atau gula. Makan karbohidrat menyebabkan
peningkatan produksi insulin sehingga yang bersangkutan akan
kekurangan gula. Sebagai akibatnya, ia akan makan kembali dan reaksi
yang sama akan berulang. Lambat laun orang tersebut akan menjadi
gemuk karena terus makan dan kadar gula darah naik karena konsumsi
gula terlalu banyak dan insulin yang dikeluarkan tidak dapat
mengimbanginya. Karbohidrat dalam pangan yang dipecah dengan cepat
dalam pencernaan memiliki indeks glikemik tinggi dan respon gula darah
terhadap jenis pangan ini pun cepat dan tinggi. Sedangkan, karbohidrat yang
dipecah dengan lambat selama pencernaan memiliki indeks glikemik rendah
sehingga melepaskan glikosa ke dalam darah dengan lambat. Konsumsi
karbohidrat yang tinggi inilah yang diduga menyebabkan terjadinya penyakit
diabetes mellitus tipe 2. Konsep indeks glikemik memperkuat dugaan tersebut.
Peningkatan kadar gula darah yang cepat akan meningkatkan kebutuhan insulin.
Selama insulin dapat mengimbangi, peningkatan kadar gula darah jangka pendek
tidak menjadi masalah. Namun, bila peningkatan kadar gula berlangsung lama,
insulin tidak mampu lagi menjaga kadar gula darah dalam batas normal sehingga
toleransi tubuh terhadap glukosa menurun dan akhirnya timbul diabetes.
5. Obesitas
abnormal Individu dengan obesitas abnormal berisiko tinggi mengalami
resistensi insulin yang menyebabkan berkembangnya penyakit diabetes.
Penelitian steven dan teman-temannya menemukan bahwa subyek dengan
peningkatan lemak viseral atau intraabdominal lebih resisten terhadap insulin
dari pada subyek dengan peningkatan lemak subkutan di bagian sentral (pusat
data dan informasi PERSI, 2011).
2.1.8 Manifestasi klinik
Beberapa gejala DM tipe 2 yaitu sering berkemih (poliuria), meningkatnya rasa
haus (polidipsia), banyak makan (polifagia), kehilangan berat badan secara drastis,
pandangan kabur, dan merasa kelelahan (fatigue). Selain itu, ditandai dengan sering
buang air kecil pada malam hari (nokturia) dan lesu (lethargy) (Dipiro dkk., 2015).
2.1.9 Komplikasi Penyakit Diabetes Mellitus
Penderita diabetes mellitus memiliki risiko tinggi mengalami komplikasi.
Komplikasi diabetes mellitus dapat bersifat akut dan kronis. Komplikasi akut dapat
terjadi secara mendadak. Keluhan dan gejala yang terjadi secara cepat dan biasanya
berat. Komplikasi akut umumnya terjadi akibat kadar glukosa darah yang terlalu
rendah (hipoglikemia) atau terlalu tinggi (hiperglikemia). Komplikasi diabetes
mellitus biasanya tidak muncul secara langsung, tetapi bisa muncul setelah 10-20
tahun, komplikasi ini disebabkan karena tingginya kadar gula yang persisten di dalam
darah, sehingga menimbulkan kerusakan pada pembuluh darah dan saraf (Wijaya,
2013).
2.1.10 Diagnosis
Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus adalah sebagai berikut (ADA, 2020) :
1. Kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL. Puasa adalah kondisi tidak ada
asupan kalori minimal 8 jam.
2. Glukosa plasma 2 jam setelah makan ≥ 200 mg/dL. Tes Toleransi
Glukosa Oral (TTGO) adalah pemeriksaan glukosa setelah mendapat
pemasukan glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrat yang
dilarutkan dalam air.
3. Nilai A1C ≥ 6,5%. Dilakukan pada sarana laboratorium yang telah
terstandardisasi dengan baik.
4. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl dengan keluhan
klasik (poliuria, polidipsi, dan polifagia).
2.1.11 Tata laksana terapi
Tujuan terapi DM adalah untuk mengurangi dan menghilangkan gejala
(poliuria, polidipsia, polipagia), mengurami timbulnya komplikasi makrovaskuler dan
mikrovaskuler, mengurangi progresivitas komplikasi makrovaskuler dan
mikrovaskuler, mengurangi mortalitas dan meningkatkan kualitas hidup, menurunkan
kadar glukosa darah pada kondisi normal dan HbA1c < 7% (Dipiro et al., 2008).
a. Terapi non Farmakologi
Menurut PERKENI (2011), terapi non farmaokologi meliputi edukasi, terapi
gizi, latihan jasmani dan pengendalian gula darah. Pada pasien DM tipe 2 yang
terpenting adalah mengubah pola hidup terlebih dahulu, kemudian diteruskan dan
dibantu dengan pengobatan secara farmakologi.
1. Edukasi
Pada DM tipe 2 umumnya terjadi perubahan pola hidup. Pola hidup yang baik
perlu diterangkan dan dilaksanakan dengan pemantauan dari tenaga medis dan
dukungan dari keluarga. Edukasi dapat berupa tanda dan gejala DM tipe 2, faktor
pencetus, pencegahan, mengenal komlikasi serta bagaimana cara mengatsinya.
2) Terapi gizi
Perencanaan makanan yang baik dan manajemen nutrisi pada pasien DM tipe 2
bertujuan untuk mengkatkan kualitas hidup pasien yaitu mempertahankan kadar
glukosa darah, profil lemak dan tekanan darah dalam rentang normal serta mencegah
terjadinya komplikasi (ADA, 2011). Adapun kebutuhan nutrisi yang dianjurkan untuk
pasien DM tipe 2 yaitu terdiri dari 60-70% karbohidrat, 15-20% protein, 30% lemak
dengan 10% berasal dari lemak jenuh.
3) Latihan Jasmani
Latihan jasmani pada pasien DM tipe 2 perlu disesuaikan dengan umur dan
status kesegaran jasmani. Olahraga yang dianjurkan bisa dimulai secara bertahap dan
teratur (3-4 kali dalam seminggu). Hal yang harus diperhatikan, penderita DM tidak
dianjurkan berolahraga jika kadar glukosa darahnya (≥ 250mg/dL) karena pada saat
itu terjadi peningkatan glukagon dan kortisol plasma (hormon kontra insulin) yang
akan menyebabkan timbulnya benda keton.
4) Pengendalian Kadar Glukosa
Menurut Soewondo (2009), pemantauan status metabolik pada pasien DM
merupakan hal yang penting dan menjadi bagian dari pengendalian DM. Pemeriksaan
kadar glukosa bisa dilakukan melalui pemeriksaan di laboratorium maupun
pemeriksaan mandiri, karena dengan hal ini dapat menurunkan potensi terjadinya
komplikasi.
b. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi meliputi obat-obatan yang digunakan oleh pasien, baik itu itu
pemberian diabetik oral, insulin, atau kombinasi keduanya
1) Obat Hipoglikemik
Oral (OHO) Menurut Sugondo, (2006) dalam Farmakoterapi pada
pengendalian glikemia diabetes melitus tipe 2. Obat-obat diabetes oral adalah
sebagai berikut:
a. Sulfonilurea Sulfonilurea memiliki efek utama meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas dan menjadi pilihan utama untuk pasien
dengan berat badan normal atau kurang tetapi tidak dianjurkan untuk
pasien geriatrik, gangguan ginjal, gangguan hati serta malnutrisi. Contoh
dari obat ini adalah glibenklamid, glimepirid dan glipizid.
b. Glinid Secara umum cara kerjanya hampir sama dengan sulfonilurea,
namun lebih ditekankan pada sekresi insulin fase pertama. Obat ini baik
untuk mengatasi hiperglikemi postprandial. Contoh dari obat golongan ini
adalah repaglinid.
c. Biguanid Biguanid paling banyak digunakan adalah metformin yang
merupakan pilihan pertama untuk penderita DM gemuk disertai
dislipidemia dan resistensi insulin. Cara kerjanya menurukan kadar glukosa
darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, 19
distal reseptor insulin dan menurunkan produksi glukosa hati. Contoh dari
obat golongan ini adalah metformin.
d. Tiazolidinedion Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan
jumlah protein pengangkut glukosa sehingga meningkatkan ambilan
glukosaperifer. Tiazolidindion dikontraindikasi pada gagal jantung karena
meningkatkan retensi cairan. Contoh dari obat golongan ini adalah
pioglitazone.
e. Acarbose Obat ini bekerja mengurangi absorbsi glukosa di usus halus.
Acarbose tidak memiliki efek samping hipglikemi seperti sulfonilurea
tetapi efek sampingnya pada saluran cerna seperti kembung dan flatulens.
2. Insulin
Untuk pasien DM tipe 2 hanya memerlukan insulin apabila tidak dapat
mengontrol kadar glukosa darah. Pemberian insulin kepada penderita diabetes hanya
bisa dilakukan dengan cara suntikan, jika diberikan melalui oral insulin akan rusak
didalam lambung. Setelah disuntikan, insulin akan diserap kedalam aliran darah dan
dibawa ke seluruh tubuh. Disini insulin akan bekerja menormalkan kadar gula darah
(blood glucose) dan merubah glukosa menjadi energi. 20 Berdasarkan lama kerjanya,
insulin dibagi menjadi 4 macam, yang pertama insulin kerja pendek (short acting).
Yang termasuk di sini adalah insulin regular (Crystal Zinc Insulin / CZI ). Saat ini
dikenal 2 macam insulin CZI, yaitu dalam bentuk asam dan netral. Preparat yang ada
antara lain : Actrapid, Velosulin, Semilente. Insulin jenis ini diberikan 30 menit
sebelum makan, mencapai puncak setelah 1– 3 macam dan efeknya dapat bertahan
samapai 8 jam. Kedua kerja sedang (intermediate acting). Yang dipakai saat ini
adalah Netral Protamine Hegedorn (NPH), Monotardo, Insulatardo. Jenis ini awal
kerjanya adalah 1.5 – 2.5 jam. Puncaknya tercapai dalam 4 – 15 jam dan efeknya
dapat bertahan sampai dengan 24 jam. Ketiga adalah insulin kerja panjang (long
acting). Merupakan campuran dari insulin dan protamine, diabsorsi dengan lambat
dari tempat penyuntikan sehingga efek yang dirasakan cukup lam, yaitu sekitar 24 –
36 jam. Preparat: Protamine Zinc Insulin ( PZI ), Ultratard. Terakhir adalah insulin
infasik (short and intermediate acting). Merupakan kombinasi insulin jenis singkat
dan menengah. Preparatnya: Mixtard 30 / 40.
2.2Rumah Sakit
2.2.1 Definisi Rumah Sakit
Rumah Sakit menurut Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
4 Tahun 2018 adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat
inap, rawat jalan, dan gawat darurat.
(Supartiningsih, 2017) juga mendefinisikan rumah sakit adalah suatu organisasi
yang dilakukan oleh tenaga medis professional yang terorganisir baik dari sarana
prasarana kedokteran, asuhan keperawatan yang berkesinambungan, diagnosis serta
pengobatan penyakit yang diderita oleh pasien.
(Bramantoro, 2017) juga menjelaskan bahwa rumah sakit merupakan suatu
fasilitas pelayanan kesehatan yang melaksanakan upaya kesehatan secara
berdayaguna dan berhasil guna pada upaya penyembuhan dan pemulihan yang
terpadu dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan upaya
rujukan.
2.2.2 Tugas dan Fungsi Rumah Sakit
Menurut (Rikomah, 2017) rumah sakit memiliki tugas dan fungsi berdasarkan
undang-undang No. 44 tahun 2009 tentang rumah sakit. Tugas rumah sakit adalah
melaksanakan upaya pelayanan kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna
dengan mengutamakan penyembuhan dan pemulihan yang dilaksanakan secara serasi
dan terpadu dengan peningkatan dan pencegahan serta pelaksanaan upaya rujukan,
rumah sakit juga mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan
secara paripurna.
Sedangkan untuk fungsi rumah sakit adalah :
1. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai
dengan standar pelayanan rumah sakit.
2. Pemeliharaan dan peningkataan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan
medis.
3. Pelayanan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka
peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.
4. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi
bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.
2.2.3 Klasifikasi Rumah Sakit
Menurut Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia nomor 56 tahun 2014
ada dua macam rumah sakit :
1. Rumah sakit umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan
kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit.
2. Rumah sakit khusus adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan
utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan
disiplin ilmu, golongan umur,organ, jenis penyakit atau kekhususan
lainnya.
Rumah Sakit Umum mempunyai misi memberikan pelayanan kesehatan yang
bermutu dan terjangkau oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat. Tugas rumah sakit umum adalah melaksanakan upaya
pelayanan kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan
penyembuhan dan pemulihan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan
peningkatan dan pencegahan serta pelaksanaan upaya rujukan (Listiyono, 2015).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia 2019 berdasarkan
kelasnya rumah sakit umum dikategorikan ke dalam 4 kelas mulai dari A,B,C,D.
Dimana untuk yang membedakan keempat kelas tersebut adalah sebagai berikut:
a. Bangunan dan prasarana
b. Kemampuan pelaayanan
c. Sumber daya manusia
d. Peralatan
Keempat kelas rumah sakit umum tersebut mempunyai spesifikasi dan kemampuan yang
berbeda dalam kemampuan memberikan pelayanan kesehatan, keempat rumah sakit tersebut
diklasifikasikan menjadi:
A. Rumah Sakit Umum Tipe A
Rumah sakit tipe A merupakan rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan
kedokteran spesialis dan subspesialis secara luas. Rumah sakit umum tipe A
sekurangkurangnya terdapat 4 pelayanan medik spesialis dasar yang terdiri dari:
pelayanan penyakit dalam, kesehatan anak , bedah dan obstetri dan ginekologi. 5
spesialis penunjang medik yaitu: pelayanan anestesiologi, radiologi, rehabilitasi
medik, patologi klinik dan patologi anatomi. 12 spesialis lain yaitu: mata, telinga
hidung tenggorokan, syaraf, jantung dan pembuluh darah, kulit dan kelamin,
kedokteran jiwa, paru, orthopedic, urologi, bedah syaraf, bedah plastic dan
kedokteran forensik dan 13 subspesialis yaitu: bedah, penyakit dalam, kesehatan
anak, obstetric dn ginekologi, mata, telinga hidung tenggorokan, syaraf, jantung dan
pembuluh darah, kulit dan kelamin, jiwa, paru, onthopedi dan giggi mulut.
B. Rumah Sakit tipe B
Rumah sakit tipe B adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan
kedokteran spesialis luas dan subspesialis terbatas. Rumah sakit umum yang
mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 spesialis dasar
yaitu: pelayanan penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, obstetric dan ginekologi. 4
spesialis penunjang medik: pelayanan anastesiologi, radiologi, rehabilitasi medik dan
patologi klinik. Dan sekurang-kurangnya 8 dari 13 pelayanan spesialin lain yaitu:
mata, telinga hidung tenggorokan, syaraf, jantung dan pembuluh darah, kulit dan
kelamin, kedokteran jiwa, paru, orthopedic, urologi, bedah syaraf, bedah plastik dan
kedokteran forensik: mata, syaraf, jantung dan pembuluh darah, kulit dan kelamin,
kedokteran jiwa, paru, urologi dan kedokteran forensic. Pelayanan medik subspesialis
2 dari 4 subspesialis dasar yang meliputi: bedah, penyakit dalam, kesehatan anak,
obstetric dan ginekologi.
DAFTAR PUSTAKA
American Diabetes Association, 2018. Standards of Medical Care in Diabetes2018 M.
Matthew C. Riddle, ed.
ADA (American Diabetes Association), 2019. Classification and Diagnosis of
Diabetes : Standards of Medical Care in Diabetes. Diabetes Care, 42 (1), hal
13-28.
Bramantoro Taufan, 2017, Pengantar Klasifikasi dan Akreditasi Pelayanan
Kesehatan, Surabaya: UNAIR (AUP).
Depkes RI, 2014, Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 34 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1148/Menkes/Per/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi, Jakarta: Depkes
RI
Dewi, R. K. 2014. Diabetes Bukan Untuk Ditakuti. Jakarta: FMedia (Imprint Agro
Media Pustaka)
Mentri Kesehatan RI. 2018. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
47 Tahun 2018 Tentang Pelayanan Kegawatdaruratan.
Restyana N.R. 2015. Diabetes Melitus Tipe 2. Artikel. Medical Faculty. Lampung
University.
Rikomah, Setya Enti. 2017. Farmasi Rumah Sakit. Penerbit Deepublish: Yogyakarta
Soelistijo, S.A., Novida, A., Rudijanto, A. (2015). Konsensus Pengelolaan dan
Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2015. Jakarta: PB. Perkeni.
Supartiningsih, S. 2017. Kualitas Pelayanan Kepuasan Pasien Rumah Sakit: Kasus
Pada Pasien Rawat Jalan. Jurnal Medicoeticolegal dan Manajemen Rumah
Sakit, 6(1), pp.9-15.
Suiraoka, IP. (2012). Penyakit Degeneratif. Mengenal, Mencegah dan Mengurangi
Faktor Risiko 9 Penyakit Degeneratif. Yogyakarta: Nuha Medika.
Tandra, Hans. 2007. Segala Sesuatu yang Harus Anda Ketahui tentang Diabetes.
Surabaya : EGC
Totok Turdiyanto. 2013. Tri Rahayu Ningsih., editors. Farmakologi untuk SMK
Farmasi. Jakarta: EGC, 2013.
Trisnawati, S.K dan Setyorogo.S. 2013. Faktor Risiko Kejadian Diabetes Melitus
Tipe II Di Puskesmas Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat Tahun 2012.
Jurnal Ilmiah Kesehatan, 5(1): pp. 6-11
WHO. (2016). Global Report on Diabetes. Geneva: World Health Organization