Anda di halaman 1dari 17

1.

Akidah (Bahasa Arab: ُ‫ ;اَ ْل َعقِ ْي َدة‬transliterasi: al-'Aqīdah) dalam istilah Islam yang berarti iman. Semua


sistem kepercayaan atau keyakinan bisa dianggap sebagai salah satu akidah. Fondasi akidah Islam
didasarkan pada hadits Jibril, yang memuat definisi Islam, rukun Islam, rukun Iman, ihsan dan
peristiwa hari akhir.
Dalam bahasa Arab akidah berasal dari kata al-'aqdu (ُ‫)ال َع ْقد‬ ْ yang berarti ikatan, at-tautsiiqu (ُ‫ )التَّوْ ثِ ْيق‬yang
berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu (‫)اِإل حْ َك ا ُم‬ ْ yang artinya mengokohkan
(menetapkan), dan ar-rabthu biquw-wah (‫ )ال َّر ْبطُ بِقُ َّو ٍة‬yang berarti mengikat dengan kuat.
Sedangkan menurut istilah (terminologi), akidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada
keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya.
Jadi, Akidah Islamiyyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah dengan segala
pelaksanaan kewajiban, bertauhid[2] dan taat kepadaNya, beriman kepada para malaikatNya, rasul-
rasulNya, kitab-kitabNya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang telah
shahih tentang prinsip-prinsip Agama (Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa
yang menjadi ijma' (konsensus) dari salafush shalih, serta seluruh berita-berita qath'i (pasti), baik secara
ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih
serta ijma' salaf as-shalih.

2.
Ruang Lingkup Aqidah Islam
Menurut buku sistematika Hasan Al-Banna maka ruang lingkup Aqidah Islam meliputi :
1. Ilahiyat : yaitu pembahasan tentang segala susuatu yang berhubungan dengan Tuhan(Allah), seperti
wujud Allah, sifat Allah dll
2. Nubuwat : yaitu pembahsan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan
Rasul,pembicaraan mengenai kitab-kitab Allah dll
3. Ruhaniyat : yaitu tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik seperti jin, iblis,
setan, roh dll
4. Sam'iyyat : yaitu pembahsan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat sam'i, yakni dalil
Naqli berupa Al-quran dan as-Sunnah
tidak hanya diatas namun pembahsan Aqidah juga dapat mengikuti Arkanul iman yaitu :
1. Kepercayaan akan adanya Allah dan segala sifat-sifatNya
2. Kepercayaan tentang alam ghaib
3. Kepercayaan kepada kitab-kitab Allah yang dituruankan kepada rasul
4. Kepercayaan kepada hari akhir serta peristiwa-peristiwa yang terjadi pada saat itu
5. Kepercayaan kepada takdir(qadha dan qadar) Allah

3.
Menurut Kaelany, Islam menggolongkan kedudukan manusia berdasarkan hubungannya kepada Allah
dan tujuan hidupnya.
(1) Muttaqi, yang berarti orang yang bertaqwa, yaitu orang yang cinta dan hormat kepada Alla, dengan
terus merasakan kehadiran-Nya di mana saja berada, sehingga akan selalu menjaga diri dari perbuatan
dosa, dan selalu mendapat dorongan dari imannya untuk melaksanakan perintah-perintah-Nya dengan
indikasi senantiasa berbuat baik dalam bentuk ibadah maupun di bidang mu’amalah, berlandaskan iman
karena Allah dan asas manfaat bagi kehidupan;
(2) Muhsin, yang berarti orang yang berbuat baik, yaitu orang mukmin (beriman) dan melakukan
perbuatan baik atau amal shaleh, atau muhsin bisa dikatakan sebagai suatu peringkat martabat dari taqwa
yang setiap saat kita harus meningkatkanya;
(3)Mu’min, yang berarti orang yang beriman, yaitu orang yang percaya kepada Allah, malaikat-
malaikatNya, Rasul-rasulNya, Kitab-kitabNya, Hari Kemudian dan Qadla dan QadarNya. Iman
sesungguhnya ada di dalam hati (qalb), diucapkan dengan lisan, dan diaplikasikan dalam amal;
(4) Muslim, yang berarti orang Islam , yaitu orang yang tunduk patuh, berserah diri semata kepada Allah.
Ia akan menyelamatkan tangan dan lidahnya pada orang lain dan memandang manusia sama di hadapan
Allah dengan menyebarkan kedamaian di antara manusia;
(5) Kafir, yaitu orang yang tidak percaya, ingkar, dan menolak kebenaran. Kafir terbagi menjadi 5 jenis,
yaitu Kafir lillah (tidak percaya kepada Tuhan, atheis), Kafir liwahdatillah (tidak percaya kepada keesaan
Tuhan, musyrik), Kafir li Muhammad Rasulillah (tidak percaya kepada Muhammad SAW sebagai rasul),
Kafir li kitabillah (kafir kepada kitab-kitab Allah), dan Kafir lini’matillah (ingkar terhadap nikmat Allah,
tidak bersyukur);
(6) Musyrik, yaitu orang-orang yang menyekutukan Allah seperti mengambil atau menganggap ada Tuhan
selain Allah, seperti Tuhan serupa makhluk, memiliki anak, dilahirkan, ataupun berada dalam suatu
benda;
(7) Munafiq, yaitu orang yang bermuka dua, di lahir dia mengatakan beriman, tapi dihatinya tidak. Orang
munafik jika bicara ia berdusta, jika berjanji mangkir, dan bila diberi amanat berkhianat (tidak bisa
dipercaya);
(8)Fasiq, yaitu orang yang melakukan dosa, padahal dia mengerti bahwa perbuatannya melanggar
ketentuan Tuhan.

4.
Karakteristik Agama Islam

Rabbaniyah

Karakter agama Islam yang pertama ialah Rabbaniyah, yang memiliki arti bahwa Islam merupakan agama
yang bersumber dari Allah Swt, bukan dari manusia, sedangkan Nabi Muhammad Saw tidak membuat
agama ini melainkan hanya menyampaikannya.
Allah SWT berfirman QS. 32: 1-3 yang artinya:
 
“Alif Laam Miim. Turunnya Al Qur’an yang tidak ada keraguan padanya, (adalah) dari Tuhan semesta
alam. Tetapi mengapa mereka (orang kafir) mengatakan: “Dia Muhammad mengada-adakannya”.
Sebenarnya Al Qur’an itu adalah kebenaran (yang datang) dari Tuhanmu, agar kamu memberi
peringatan kepada kaum yang belum datang kepada mereka orang yang memberi peringatan sebelum
kamu; mudah-mudahan mereka mendapat petunjuk.”
 
Dengan karakteristik ini, Islam sangat berbeda dengan agama manapun yang ada di dunia pada saat ini.
Karena semua agama selain Islam, adalah buatan manusia, atau paling tidak terdapat campur tangan
manusia dalam pensyariatannya.

2. Insaniyah

Karakteristik Islam yang ke-2 adalah insaniyyah, artinya bahwa Islam memang Allah jadikan pedoman
hidup bagi manusia yang sesuai dengan sifat dan unsur kemanusiaan. Islam bukan agama yang
disyariatkan untuk malaikat atau jin, sehingga manusia tidak kuasa atau tidak mampu untuk
melaksanakannya. Oleh karenanya, Islam sangat menjaga aspek-aspek ‘kefitrahan manusia’, dengan
berbagai kelebihan dan kekurangan yang terdapat dalam diri manusia itu sendiri. Sehingga dari sini, Islam
tidak hanya agama yang seolah dikhususkan untuk para tokoh agamanya saja (baca: ulama). Namun
dalam Islam semua pemeluknya dapat melaksanakan Islam secara maksimal dan sempurna. Bahkan bisa
jadi, orang awam akan lebih tinggi derajatnya di hadapan Allah dari pada seorang ahli agama. Karena
dalam Islam yang menjadi standar adalah ketakwaannya kepada Allah.

3. Syumuliyah

Artinya bahwa Islam merupakan agama yang universal yang mencakup segala aspek kehidupan manusia.
Kelengkapan ajaran Islam itu nampak dari konsep Islam dalam berbagai bidang kehidupan mulai dari
urusan pribadi, keluarga, masyarakat sampai pada persoalan-persoalan berbangsa dan bernegara.
Kesyumuliyahan tidak hanya dari segi ajarannya yang rasional dan mudah diamalkan tapi juga keharusan
menegakkan ajaran Islam dengan metodologi yang Islmai. Karena itu, di dalam Islam kita dapati konsep
tentang dakwah, jihad dan sebagainya. Dengan demikian, segala persoalan ada petunjuknya dalam Islam. 
Allah berfirman dalam Q.S An-Nahl : 89 yang artinya :
 
”Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat
dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”

4. Al-Wasathiyah/al-Tawazun (pertengahan/moderat)

Wasatiyyah memiliki arti bahwa Islam merupakan agama yang bersifat moderat. Agama yang
mengajarkan pada pemeluknya agar tidak condong pada kehidupan materi saja akan tetapi dapat
memperhatikan keseimbangan  kehidupan dunia dan akhirat, spiritual dan material.
Ini bersesuaian dengan maksud firman Allah s.w.t di dalam surah Al-Baqarah 185 yang artinya :
“Allah menghendaki untuk kamu kemudahan dan tidak menginginkan kesukaran…“
 
Begitu juga dengan maksud sabda Rasulullah s.a.w dari Anas bin Malik r.a berkata bahawa Rasulullah
s.a.w bersabda : “Permudahkanlah, janganlah memberat-beratkan, tenangkanlah janganlah meliarkan
…..“

5. Al-Waqi’iyyah (kontekstual)

Karakteristik lain dari ajaran Islam adalah al waqi’iyyah (realistis), ini menunjukkan bahwa Islam
merupakan agama yang dapat diamalkan oleh manusia atau dengan kata lain dapat direalisir dalam
kehidupan sehari-hari. Islam dapat diamalkan oleh manusia meskipun mereka berbeda latar belakang,
kaya, miskin, pria, wanita, dewasa, remaja, anak-anak, berpendidikan tinggi, berpendidikan rendah,
bangsawan, rakyat biasa, berbeda suku, adat istiadat dan sebagainya.
Disamping itu, Islam sendiri tidak bertentangan dengan realitas perkembangan zaman bahkan Islam
menjadi satu-satunya agama yang mampu menghadapi dan mengatasi dampak negatif dari kemajuan
zaman. Ini berarti, Islam agama yang tidak takut dengan kemajuan zaman.

6. Al-Wudhuh (terang/jelas)

Karakteristik penting lainnya dari ajaran Islam adalah konsepnya yang jelas (Al Wudhuh). Kejelasan
konsep Islam membuat umatnya tidak bingung dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam, bahkan
pertanyaan umat manusia tentang Islam dapat dijawab dengan jelas, apalagi kalau pertanyaan tersebut
mengarah pada maksud merusak ajaran Isla itu sendiri.
Dalam masalah aqidah, konsep Islam begitu jelas sehingga dengan aqidah yang mantap, seorang muslim
menjadi terikat pada ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Konsep syari’ah atau hukumnya juga
jelas sehingga umat Islam dapat melaksanakan peribadatan dengan baik dan mampu membedakan antara
yang haq dengan yang bathil, begitulah seterusnya dalam ajaran Islam yang serba jelas, apalagi
pelaksanaannya dicontohkan oleh Rasulullah Saw.

7. Al-Takamuliyah (Integrasi)

Karakteristik islam Al-Takamuliyah memiliki arti integrasi, yaitu bahwa agama Islam mengajarkan
penganutnya untuk mengimplikasikan integrasi semua hal ke dalam ruh Islam.
Agama islam mempunyai karakteristik sebagai berikut.1. Agama islam sesuai dengan fitrah manusia.
Allah telah menciptakan manusiasesuai fitrah alah.2. Ajaran agama islam adalah agama yang
sempurna. Dalam ajaran agama islamtelah ditetapkan tentang beberapa makanan
haram/halal.3. Kebenaran agama islam mutlak. Agama islam merupakan agama yang berasaldari Allah
SWT, jadi tidak ada kerugian didalamnya.4. Islam mengajarkan keseimbangan
dalam berbagai aspek kehidupan.5. Islam
fleksibel dan ringan.6. Islam, ajaran yang universal, terasa bagi seluruh manusia.7. Islam rasional.8
. Islam agama tauhid, hanya menyembah dan mengabdi kepada Allah SWT.9. Islam sebagai rahmat
bagi seluruh alam
 

5.
SUMBER AQIDAH ISLAM
Jika kita menelaah tulisan para ulama dalam menjelaskan akidah, maka akan didapati 2 sumber
pengambilan dalil penting. Dua sumber tersebut meliputi :
1. Dalil asas dan inti yang mencakup Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’ para ulama.
2. Dalil penyempurnaan yang mencakup akal sehat manusia dan fitrah kehidupan yang telah diberikan
oleh Allah azza wa jalla.
A. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah perkataan Allah yang hakiki, diturunkan kepada Rasulullah dengan proses wahyu,
membacanya termasuk ibadah, disampaikan kepada kita dengan jalan mutawaatir (jumlah orang yang
banyak dan tidak mungkin bersepakat untuk berbohong), dan terjaga dari penyimpangan, perubahan,
penambahan dan pengurangan. Dalam hal ini Allah Iberfirman:
َ‫ِإنَّا نَحْ نُ نَ َّز ْلنَا ال ِّذ ْك َر وَِإنَّا لَهُ لَ َحافِظُون‬
"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar
memeliharanya". (Q.S. Al-Hijr: 9)
Al Qur’an adalah firman Allah yang diwahyukan kepada Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam melalui
perantara Jibril. Di dalamnya, Allah telah menjelaskan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh hamba-Nya
sebagai bekal kehidupan di dunia maupun di akhirat. Ia merupakan petunjuk bagi orang-orang yang diberi
petunjuk, pedoman hidup bagi orang yang beriman, dan obat bagi jiwa-jiwa yang terluka. Keagungan
lainnya adalah tidak akan pernah ditemui kekurangan dan celaan di dalam Al Qur’an, sebagaimana dalam
firman-Nya
“Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (Al Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang
dapat merubah-rubah kalimat-Nya dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Q.S. Al
An’am:115)
Al Imam Asy Syatibi mengatakan bahwa sesungguhnya Allah telah menurunkan syariat ini kepada Rasul-
Nya yang di dalamnya terdapat penjelasan atas segala sesuatu yang dibutuhkan manusia tentang
kewajiban dan peribadatan yang dipikulkan di atas pundaknya, termasuk di dalamnya perkara akidah.
Allah menurunkan Al Qur’an sebagai sumber hukum akidah karena Dia tahu kebutuhan manusia sebagai
seorang hamba yang diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Bahkan jika dicermati, akan ditemui
banyak ayat dalam Al Qur’an yang menjelaskan tentang akidah, baik secara tersurat maupun secara
tersirat. Oleh karena itu, menjadi hal yang wajib jika kita mengetahui dan memahami akidah yang
bersumber dari Al Qur’an karena kitab mulia ini merupakan penjelasan langsung dari Rabb manusia,
yang haq dan tidak pernah sirna ditelan masa.
B. As Sunnah
Seperti halnya Al Qur’an, As Sunnah adalah satu jenis wahyu yang datang dari Allah subhanahu wata’ala
walaupun lafadznya bukan dari Allah tetapi maknanya datang dari-Nya. Hal ini dapat diketahui dari
firman Allah
“Dan dia (Muhammad) tidak berkata berdasarkan hawa nafsu, ia tidak lain kecuali wahyu yang
diwahyukan” (Q.S An Najm : 3-4)
Yang menjadi persoalan kemudian adalah kebingungan yang terjadi di tengah umat karena begitu
banyaknya hadits lemah yang dianggap kuat dan sebaliknya, hadits yang shohih terkadang diabaikan,
bahkan tidak jarang beberapa kata “mutiara” yang bukan berasal dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wassalam dinisbatkan kepada beliau. Hal ini tidak lepas dari usaha penyimpangan yang dilakukan oleh
musuh-musuh Allah untuk mendapatkan keuntungan yang sedikit. Akan tetapi, Maha Suci Allah yang
telah menjaga kemurnian As Sunnah hingga akhir zaman melalui para ulama ahli ilmu. Allah menjaga
kemurnian As Sunnah melalui ilmu para ulama yang gigih dalam menjaga dan membela sunnah-sunnah
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dari usaha-usaha penyimpangan. Ini tampak dari ulama-ulama
generasi sahabat hingga ulama dewasa ini yang menjaga sunnah dengan menghafalnya dan
mengumpulkannya serta berhati-hati di dalam meriwayatkannya. Para ulama inilah yang disebut sebagai
para ulama Ahlusunah. Oleh karena itu, perlu kiranya jika kita menuntut dan belajar ilmu dari mereka
agar tidak terseret dalam jurang penyimpangan.
Selain melakukan penjagaan terhadap Sunah, Allah menjadikan Sunnah sebagai sumber hukum dalam
agama. Kekuatan As Sunnah dalam menetapkan syariat-termasuk perkara akidah-ditegaskan dalam
banyak ayat Al Qur’an,Dan firman-Nya
“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul” (Q.S An Nisaa:59)
Firman Allah tersebut menunjukkan bahwa tidak ada pilihan lain bagi seorang muslim untuk juga
mengambil sumber-sumber hukum akidah dari As Sunnah dengan pemahaman ulama. Ibnul Qoyyim juga
pernah berkata “Allah memerintahkan untuk mentaati-Nya dan mentaati Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi
wassalam dengan mengulangi kata kerja (taatilah) yang menandakan bahwa menaati Rasul wajib secara
independent tanpa harus mencocokkan terlebih dahulu dengan Al Qur’an, jika beliau memerintahkan
sesuatu. Hal ini dikarenakan tidak akan pernah ada pertentangan antara Qur’an dan Sunnah.

C. Ijma’ Para Ulama


Ijma’ adalah sumber akidah yang berasal dari kesepakatan para mujtahid umat Muhammad sholallahu
‘alaihi wassalam setelah beliau wafat, tentang urusan pada suatu masa. Mereka bukanlah orang yang
sekedar tahu tentang masalah ilmu tetapi juga memahami dan mengamalkan ilmu. Berkaitan dengan
Ijma’, Allah subhanahu wata’ala berfirman yang artinya
”Dan barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti kebenaran
baginya dan mengikuti jalan bukan jalannya orang-orang yang beriman, maka Kami akan biarkan ia
leluasa berbuat kesesatan yang ia lakukan dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali” (Q.S An Nisaa:115)
Imam Syafi’i menyebutkan bahwa ayat ini merupakan dalil pembolehan disyariatkannya ijma’, yaitu
diambil dari kalimat “jalannya orang-orang yang beriman” yang berarti ijma’. Beliau juga menambahkan
bahwa dalil ini adalah dalil syar’i yang wajib untuk diikuti karena Allah menyebutkannya secara
bersamaan dengan larangan menyelisihi Rasul. Di dalam pengambilan ijma’ terdapat juga beberapa
kaidah-kaidah penting yang tidak boleh ditinggalkan. Ijma’ dalam masalah akidah harus bersandarkan
kepada dalil dari Al Qur’an dan Sunnah yang shahih karena perkara akidah adalah perkara tauqifiyah
yang tidak diketahui kecuali dengan jalan wahyu. Sedangkan fungsi ijma’ adalah menguatkan Al Quran
dan Sunnah serta menolak kemungkinan terjadinya kesalahan dalam dalil yang dzani sehingga menjadi
qatha’i.
D. Akal Sehat Manusia
Selain ketiga sumber akidah di atas, akal juga menjadi sumber hukum akidah dalam Islam. Hal ini
merupakan bukti bahwa Islam sangat memuliakan akal serta memberikan haknya sesuai dengan
kedudukannya. Termasuk pemuliaan terhadap akal juga bahwa Islam memberikan batasan dan petunjuk
kepada akal agar tidak terjebak ke dalam pemahaman-pemahaman yang tidak benar. Hal ini sesuai
dengan sifat akal yang memiliki keterbatasan dalam memahami suatu ilmu atau peristiwa.
Agama Islam tidak membenarkan pengagungan terhadap akal dan tidak pula membenarkan pelecehan
terhadap kemampuan akal manusia, seperti yang biasa dilakukan oleh beberapa golongan (firqah) yang
menyimpang. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Akal merupakan syarat untuk memahami ilmu
dan kesempurnaan dalam amal, dengan keduanyalah ilmu dan amal menjadi sempurna. Hanya saja ia
tidak dapat berdiri sendiri. Di dalam jiwa, ia berfungsi sebagai sumber kekuatan, sama seperti kekuatan
penglihatan pada mata yang jika mendapatkan cahaya iman dan Al Qur’an ia seperti mendapatkan cahaya
matahari dan api. Akan tetapi, jika ia berdiri sendiri, ia tidak akan mampu melihat (hakikat) sesuatu dan
jika sama sekali dihilangkan ia akan menjadi sesuatu yang berunsur kebinatangan”.
Eksistensi akal memiliki keterbatasan pada apa yang bisa dicerna tentang perkara-perkara nyata yang
memungkinkan pancaindera untuk menangkapnya. Adapun masalah-masalah gaib yang tidak dapat
tersentuh oleh pancaindera maka tertutup jalan bagi akal untuk sampai pada hakikatnya. Sesuatu yang
abstrak atau gaib, seperti akidah, tidak dapat diketahui oleh akal kecuali mendapatkan cahaya dan
petunjuk wahyu baik dari Al Qur’an dan As Sunnah yang shahih. Al Qur’an dan As Sunnah menjelaskan
kepada akal bagaimana cara memahaminya dan melakukan masalah tersebut. Salah satu contohnya adalah
akal mungkin tidak bisa menerima surga dan neraka karena tidak bisa diketahui melalui indera. Akan
tetapi melalui penjelasan yang berasal dari Al Qur’an dan As Sunnah maka akan dapat diketahui
bahwasanya setiap manusia harus meyakininya. Mengenai hal ini Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa apa
yang tidak terdapat dalam Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’ yang menyelisihi akal sehat karena sesuatu
yang bertentangan dengan akal sehat adalah batil, sedangkan tidak ada kebatilan dalam Qur’an, Sunnah
dan Ijma’, tetapi padanya terdapat kata-kata yang mungkin sebagian orang tidak memahaminya atau
mereka memahaminya dengan makna yang batil.

E. Fitrah Kehidupan
Dalam sebuah hadits Rasululloh sholallohu ‘alaihi wassalam bersabda
“Setiap anak yang lahir dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang membuat ia menjadi
Yahudi, Nasrani atau Majusi” (H.R Muslim).
Dari hadits ini dapat diketahui bahwa sebenarnya manusia memiliki kecenderungan untuk menghamba
kepada Alloh. Akan tetapi, bukan berarti bahwa setiap bayi yang lahir telah mengetahui rincian agama
Islam. Setiap bayi yang lahir tidak mengetahui apa-apa, tetapi setiap manusia memiliki fitrah untuk
sejalan dengan Islam sebelum dinodai oleh penyimpangan-penyimpangan. Bukti mengenai hal ini adalah
fitrah manusia untuk mengakui bahwa mustahil ada dua pencipta alam yang memiliki sifat dan
kemampuan yang sama. Bahkan, ketika ditimpa musibah pun banyak manusia yang menyeru kepada
Alloh seperti dijelaskan dalam firman-Nya.
“Dan apabila kalian ditimpa bahaya di lautan niscaya hilanglah siapa yang kalian seru kecuali Dia. Maka
tatkala Dia menyelamatkan kalian ke daratan, kalian berpaling, dan manusia adalah sangat kufur” (Q.S Al
Israa’:67)
Semoga Alloh memahamkan kita terhadap ilmu yang bermanfaat, mengokohkan keimanan dengan
pemahaman yang benar, memuliakan kita dengan amalan-amalan yang bermakna.

6.
Aspek-aspek ajaran Islam

1. Aqidah merupakan fondasi agama Islam yang sifat ajarannya pasti, mutlak kebenarannya, terperinci
dan monoteistis. Inti ajarannya adalah mengesakan Allah SWT.

2. Syariah secara bahasa berarti “jalan yang harus dilalui” sedangkan menurut istilah berarti “ketentuan
hukum Allah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan
Allah, manusia dengan manusia, manusia dengan flora dan founa serta alam sekitarnya.

Syariah dibagi menjadi beberapa bidang, yaitu:


 Ibadah adalah hubungan manusia dengan Allah. Ibadah dibagi menjadi 2 macam yaitu Mahmudah dan
Ghoiru Mahmudah.
 Muamalah yaitu aturan tentang hubungan manusia dalam rangka memenuhi kepentingan hidupnya.

3. Akhlaq menurut bahasa berarti “perbuatan”, sedangkan menurut istilah adalah aturan tentang perilaku
lahir dan batin yang dapat membedakan antara yang terpuji dan tercela. Akhlak yang benar menurut islam
adalah yang dilandasi iman yang benar. Secara garis besar akhlaq islam mencakup manusia kepada Allah,
diri sendiri, sesama manusia, maupun terhadap flora dan fauna serta alam sekitar kita.

7.
TAUHIDULLAH

Secara bahasa tauhid berasal dari kata   ‫ ت َْو ِح ْي ًدا‬ ‫ يُ َو ِّح ُد‬ ‫ َو َّح َد‬   artinya mengesakan, Secara istilah tauhid adalah
mengesakan Allah dalam beribadah Sesungguhnya Allah menciptakan makhluq untuk beribadah
menyembah hanya kepadaNya dan tidak menyekutukanNya. Oleh karena itu Allah mengutus para Rasul
dan menurunkan kitab-kitab.
Allah berfirman  Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
beribadah  kepada-Ku.(QS. Adz-Dzariyat : 56)

Dan Allah juga berfirman Artinya: Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatupun. (QS. An-Nisaa’ : 36)

\]Maka Allah memerintahkan untuk beribadah hanya kepada-Nya semata, dan meninggalkan ibadah
kepada selainNya.
Ada 3 macam tauhid
1. Tauhid Rububiyah
2. Tauhid Uluhiyah
3. Tauhid Asma’ dan Sifat
 
Rabb dan Rububiyyah
Secara literal, term atau istilah ’Rububiyyah’  berasal dari kata ’Rabb’ dan berarti pemelihara, pengasuh,
penolong, pengusa, pengatur, pelindung, pendidik, dan pencipta alam semesta seisinya, lengkap dengan
hukum-hukum yang berlaku atau secara teknis disebut sunnatullah di dalamnya.

Kemudian, secara praktis tauhid Rububiyyah adalah beriman bahwa Allah sebagai pencipta, penguasa,
dan pengatur segala sesuatu yang ada di alam semesta. Tauhid rububiyyah meliputi antara lain: Beriman
kepada Allah sebagai  Yang Berbuat, seperti mencipta, memberi rezeki, mematikan dan menghidupkan.
Beriman bahwa  Allah lah  yang menentukan qada’ dan qadar yang berlaku bagi setiap makhluk.

Dalil yang menunjukkan Allah sebagai Rabb antara alain:


‫اال له الخلق و االمر‬  (Ketahuilah milik-Nya segala makhluk dan urusan.QS.al-A’raf/7 : 54).
‫( الحمد هلل رب العالمين‬Segala puji milik Allah Rabbul-‘alamiin – QS. al-Fatihah/1 :1
‫خلق لكم ما في االرض جميعا‬   (Dia telah menciptakan bagi kamu apa-apa yang di bumi secara keseluruhan –
QS al-Baqarah/2 : 29)  

Secara prinsip orang kafir, dulu kafir Makkah, tetap percaya tentang tauhid Rububiyyah ini, Demikian
Alquran menyatakan:
Katakanlah: “Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya ‘Arsy yang besar. Mereka
akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak bertakwa?” (QS. al-
Mu’min/23 : 86-87).
 
Uluhiyyah
Arti literal term ’Ilah’ adalah Tuhan yang disembah. Dari kata ‘Ilah’ setelah dibentuk menjadi term
‘uluhiyyah’ berarti hal-hal yang terkait dengan persembahan. Kata ‘Ilah’ (Tuhan) menunjuk nama
tertentu, dalam Islam ‘Ilah’ itu adalah Allah swt. Dengan demikian, yang dimaksud dengan tauhid
uluhiyyah adalah meyakini bahwa hanya Allah saja lah yang berhak disembah atau diibadahi, termasuk di
dalamnya adalah disucikan, dihormati, dimohoni pertolongan, dipuja dan dipuji, disanjung, diagungkan,
dan dijadikan dasar bersumpah dalam meyakinkan suatu kebenaran – umpama tidak mengakui tuduhan
berzina karena memang tidak melakukannya. Allah memang memerintahkan kepada orang-orang beriman
untukmenyembah kepadanya, demikian firman-Nya:

Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain Dia;
Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu (QS. Al-
An’Am/6 : 102).
 
Menyembah hanya kepada Allah itu satu-satunya jalan yang benar.
Demikian Alquran menyatakan:
  
Sesungguhnya Allah, Tuhanku dan Tuhanmu, karena itu sembahlah Dia. Inilah jalan yang
lurus.”(QS.AliImran/:51; Baca pula QS.Maryam/19 : 36; dan QS.az-Zukhruf/43 : 64).
 
Menurut perintahnya, di dalam menyembah Allah harus benar-benar sampai kulaitas yakin, demikian
perintah-Nya:
 
dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang keyakinan (QS. Al-Hijir/15 : 99).
Sudah barang tentu, untuk sampai pada penyembahan berkualitas yakin haruslah benar mukhlish. Pikiran,
perasaan, keyakinan, dan gerakan-gerakan dalam menyembah kepada-Nya benar-benar berkonsentrasi
secara penuh. Itulah yang dikehendaki Allah. Demikian firman-Nya:
 
Artinya:
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-
Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan
zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (QS. Al-Bayyinah/98 : 5).
  
Tauhid Asma’ wa Sifat.
Beriman bahwa Allah itu memiliki sifat dan nama yang hanya dimiliki Allah semata, meskipun secara
bahasa ada kesamaan dengan sifat yang dimiliki manusia atau secara umum makhluk. Sifat-sifat makhluk,
termasuk manusia sangat terbatas, sedanf sifat Allah tidak terbatas. Manusia memang memiliki sifat cinta
kasih, sekali lagi, amat terbatas. Cinta kasih Allah tidak terbatas, cinta kasih-Nya dicurahkan kepada
kepada seluruh makhluk secara abadi. Itulah yang dimaksud dengan ar-Rahmaan dan ar-Rahiim.
Dalil bahwa Allah memiliki asma’ dasebutkan dalamAlquran sebagai berikut:
 
Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu
dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya.
Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan (QS. al-A’raf/7 : 180).
 
Kemudian sifat atau nama-nama Allah itu, mengacu pada ayat tersebut populer disebut al-asma’ al-
husna (nama-nama Allah yang indah). Jika kita berdoa supaya menyeru dengan nama-nama tersebut,
umpama memohon kepada-Nya supaya diberi ilmu pengetahuan, maka dalam berdoa berseru kepada-Nya
‘Yaa ‘Aliim’ (wahai Dzat Yang Maha Pintar); memohon supaya diberi kemurahan rezeki, maka berseru
kepada-Nya ‘Ya Razzaaq(wahai Dzat Pemberi rezeki); memohon supaya dianugerahi keselamatan dan
kesucian iman, maka berseru kepada-Nya ‘Ya Qudduusu Ya Salaam’ (wahai Dzat Yang Maha Suci dan
Maha Pemberi keselamatan, dan memohon kepada-Nya supaya permohonanya dikabulkan maka berseru
lepada-Nya yaa Wahhaab, yaa Mujiib as-Saailiin.
Allah memiliki sifat. Oleh para teolog, utamanya dari kaum Asy’ariyyah, sifat Allah dibagi menjadi tiga
bagian: 

(1) Sifat wajib berjumlah 20, yaitu: wujud (Ada), Qidam (Dahulu),Baqa.’ (Kekal), Mukhalafatu lil


Hawadisi (Berbeda dengan segala sesuatu), Qiyamu binafsihi (Berdiri sendiri), wahdaniyyah (Yang
Esa), Qudrah (Yang Kuasa), Iradah (Yang berkehendak), ‘Ilmu ( Mengetahui), Hayyah ( Hidup),  Sama’ 
(Mendengar), Bashar ( Melihat), Kalam ( Berfirman), Qaadiran (Yang Maha Berkuasa), Muriidan (Yang
Memiliki Kehendak), ‘Aliman (Yang Maha Mengetahui), Hayyan (Yang Maha Hidup), Samii’an(Yang
Maha Mendengar), Bashiiran (Yang Maha Melihat), Mutakaaliman( Yang Berfirman.

(2) Sifat muhaal (mustahil – tidak mungkin terjadi) berjumlah 20, yaitu: ‘adam(yang tidak


ada), Mumaasilatu lilhawaadis (menyamai dengan yang baru), fanaa’ (yang hancur), qiyamuhu
ma’a ghairihi (berdiri bersama-sama dengan yang lain), ta’addud(berbilang),
‘ajzun (lemah), karahah (terpaksa),  jahl (bodoh), al-maut (meninggal), al-a’ma (yang
buta), al-‘umyu (yang buta), al-bukmu (yang bisu), ash-shummu (yang tuli),‘Aajizan (yang
lemah), jaahilan (yang bodoh), Mayyitan (yang mati), ‘amiyan (yang buta), baakiman (yang
bisu), shaamiyan (yang tuli),

(3), Jaaiz (yang berwenang untuk          berbuat atau tida berbuat.

8.
Dalil Dalil Tentang Wujud ALLAH
Dalil Fitrah
Pada dasarnya benih keyakinan terhadap wujud Allah merupakan fitrah atau sesuatu yang bersifat kodrat
yang dibawa oleh manusia seiring kelahirannya di alam dunia. Hal ini diakui oleh beberapa pakar dari
berbagai kalangan, di antaranya:

1. Ali Issa Othman, yang menjelaskan bahwa arti fitrah tidak lain adalah inti dari sifat alami manusia,
yang secara alami pula ingin mengetahui dan mengenal Allah swt (Ali Issa Othman, Manusia
Menurut al-Ghazali: 28).
2. Mircea Eliade, yang menyebutnya sebagai homo religious atau naturalier religiosa (makhluk
beragama).
3. Danah Zohar dan Ian Marshal yang menamakannya dengan istilah God Spot atau Titik Tuhan (Danah
Zohar, Ian Marshall, SQ: Spiritual Intelligence – The Ultimate Intelligence, 2000: 79).
4. Sayid Sabiq, yang menyebutnya dengan istilah Ghorizah Diniyah. (insting keberagamaan) (Anasirul
Quwwah fil Islam: 11).
5. Yasien Muhammad, yang menerangkan bahwa karena fitrah Allah dimasukkan dalam jiwa manusia,
maka manusia terlahir dalam keadaan dimana tauhid menyatu dengan fitrah. (Yasien Muhammad:
21).

‫ڪنَّا ع َۡن ه َٰـ َذا‬ ْ ُ‫وا بَلَ ۛىٰ‌ َش ِه ۡدنَ ۛٓا‌ َأن تَقُول‬
ُ ‫وا يَ ۡو َم ۡٱلقِيَ ٰـ َم ِة ِإنَّا‬ ُ ‫ُور ِهمۡ ُذرِّ يَّتَہُمۡ َوَأ ۡشہَ َدهُمۡ َعلَ ٰ ٓى َأنفُ ِس ِہمۡ َألَ ۡس‬
ْ ُ‫ت بِ َربِّ ُك ۖمۡ‌ قَ ال‬ َ ُّ‫َوِإ ۡذ َأخَ َذ َرب‬
ِ ‫ك ِم ۢن بَنِ ٓى َءا َد َم ِمن ظُه‬
١٧٢- َ‫ َغ ٰـفِلِين‬-
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka
menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah   orang-orang yang
lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. (QS al-A’raf: 172)
Ayat di atas menjelaskan bahwa setiap manusia sejak masih berada dalam alam ruh (arwah) telah
ditanamkan benih iman, kepercayaan dan penyaksian (syahadah) terhadap keberadaan Allah SWT. Dalam
hal ini Rasulullah SAW bersabda:
 ‫ َأوْ يُ َمجِّ َسانِ ِه) البخاري‬،‫ص َرانِ ِه‬ ْ ِ‫ُكلُّ َموْ لُو ٍد يُولَ ُد َعلَى ْالف‬
ِّ َ‫ َأوْ يُن‬،‫ط َر ِة فََأبَ َواهُ يُهَ ِّودَانِ ِه‬
Semua bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, ibu bapaknyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani, atau
Majusi. (HR. al-Bukhari).
Jadi, Allah menciptakan manusia disertai dengan berbagai macam naluri, termasuk naluri bertuhan, naluri
beragama, yaitu Agama Tauhid. Jika ada manusia yang mengingkari adanya Tuhan atau tidak beragama
Tauhid, maka dia telah menyalahi fitrahnya sendiri yang disebabkan oleh pengaruh lingkungan terutama
kedua orang tuanya. Dan pada dasarnya para Rasul Allah diutus di muka bumi ini hanyalah dalam rangka
untuk mengingatkan manusia akan fitrahnya tersebut.
Gejala adanya Fitrah ini secara universal dapat diamati cukup signifikan diantaranya pada dua fenomena
berikut:
Pertama, dalam sepanjang sejarah perjalanan hidup manusia dari dahulu hingga saat ini   umat manusia
tidak bisa dilepaskan dari kehidupan keagamaan. Hubungan manusia dengan Tuhan dapat dilihat dari
kehidupan keberagamaan yang paling sederhana hingga kehidupan keberagamaan yang paling komplek
sekalipun, walaupun dalam perjalanannya banyak terjadi penyimpangan. Hal ini membuktikan bahwa
peran Tuhan dalam kehidupan manusia sangat dominan.
Penelusuran tentang sejarah pengembaraan manusia dalam pencarian menggapai Tuhan, dapat ditemukan
dalam buku Karen Amstrong A History of God: 4000 Year Quest of Judaism, Christianity, and
Islam (Sejarah Tuhan: 4000 Tahun Pengembaraan Manusia Menuju Tuhan).
Kedua, tatkala seseorang mengalami suatu kondisi yang mencekam, misalnya sedang berada di tengah
ombak lautan yang bergulung-gulung atau sedang mengalami terpaan musibah yang bertubi-tubi. Disaat
itulah naluri ketuhanannya akan muncul, tanpa disadari ia akan meng-ucapkan: “Tuhan, tolonglah aku”.
Hal ini dijelaskan Allah swt dalam al-Qur’an sebagai berikut:
‫ض ٍّر َم َّس هُ َك َذلِكَ ُزيِّنَ ِل ْل ُم ْس ِرفِينَ َم ا َك انُوا‬
ُ ‫ض َّرهُ َم َّر َك َأ ْن لَ ْم يَ ْد ُعنَا ِإلَى‬
ُ ُ‫َوِإ َذا َمسَّ اِإْل ْنسَانَ الضُّ رُّ َدعَانَا ِل َج ْنبِ ِه َأوْ قَا ِعدًا َأوْ قَاِئ ًما فَلَ َّما َك َش ْفنَا َع ْنه‬
]12 : ‫يَع َملونَ [يونس‬ ُ ْ
Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau
berdiri. Tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang
sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah
menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka
kerjakan. (QS Yunus: 12)
Dalil Akal (Aqli)
Renungan manusia dengan menggunakan akal fikiran yang bersih dan kritis disertai dengan pengamatan
intuisi yang halus dan tajam pasti akan membuahkan hasil semakin bertambah kuat
keyakinannya (belief) bahwa sesungguhnya jagat raya beserta seluruh isinya ini adalah makhluk Allah,
yang diciptakan oleh Sang Maha Pencipta dengan penuh perencanaan dan bertujuan.

Dalil Al Hissyi (Dalil Indrawi)


Bukti indera tentang wujud Allah dapat dibagi menjadi dua:
a. Kita dapat mendengar dan menyaksikan terkabulnya doa orang-orang yang berdoa serta pertolongan-
Nya yang diberikan kepada orang-orang yang mendapatkan musibah. Hal ini menunjukkan secara pasti
tentang wujud Allah. Allah berfirman:
“Dan (ingatlah kisah) Nuh, sebelum itu ketika dia berdoa dan Kami memperkenankan doanya, lalu Kami
selamatkan dia beserta keluarganya dari bencana yang besar.” (Al Anbiyaa 76)
“(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabbmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu…” (Al
Anfaal 9)
Anas bin Malik berkata, “Pernah ada seorang Badui datang pada hari Jum’at. Pada waktu itu Nabi tengah
berkhutbah. Lelaki itu berkata, “Hai Rasul Allah, harta benda kami telah habis, seluruh warga sudah
kelaparan. Oleh karena itu mohonkanlah kepada Allah untuk mengatasi kesulitan kami. ” Rasulullah lalu
mengangkat kedua tangannya dan berdoa. Tiba-tiba awan mendung bertebaran bagaikan gunung-gunung.
Rasulullah belum turun dari mimbar, hujan turun membasahi jenggotnya.Pada hari Jum’at yang kedua,
orang Badui atau orang lain berdiri dan berkata, “Hai Rasul Allah, bangunan kami hancur dan harta benda
pun tenggelam, doakanlah akan kami ini (agar selamat) kepada Allah. ” Rasulullah lalu mengangkat
kedua tangannya, seraya berdoa: “Ya Rabbku, turunkanlah hujan di sekeliling kami dan janganlah
Engkau turunkan sebagai bencana bagi kami. ” Akhirnya beliau tidak mengisyaratkan pada suatu tempat,
kecuali menjadi terang (tanpa hujan). ” (HR. Al Bukhari)

b. Tanda-tanda para Nabi yang disebut mu’jizat, yang dapat disaksikan atau didengar banyak orang
merupakan bukti yang jelas tentang keberadaan Yang Mengutus para Nabi tersebut, yaitu Allah, karena
hal-hal itu berada di luar kemampuan manusia. Allah melakukannya sebagai pemerkuat dan penolong
bagi para Rasul.

Ketika Allah memerintahkan Nabi Musa untuk memukul laut dengan tongkatnya, Musa memukulkannya,
lalu terbelahlah laut itu menjadi dua belas jalur yang kering, sementara air di antara jalur-jalur itu menjadi
seperti gunung-gunung yang bergulung. Allah berfirman, yang artinya: “Lalu Kami wahyukan kepada
Musa: “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.” Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah
seperti gunung yang besar. ” (Asy Syu’ara 63)
Contoh kedua adalah mu’jizat Nabi Isa ketika menghidupkan orang-orang yang sudah mati; lalu
mengeluarkannya dari kubur dengan ijin Allah.
“…dan aku menghidupkan orang mati dengan seijin Allah…” (Al Imran 49)
“…dan (ingatlah) ketika kamu mengeluarkan orang mati dari kuburnya (menjadi hidup) dengan ijin-
Ku…” (Al Maidah 110)
Contoh ketiga adalah mu’jizat Nabi Muhammad ketika kaum Quraisy meminta tanda atau mu’jizat.
Beliau mengisyaratkan pada bulan, lalu terbelahlah bulan itu menjadi dua, dan orang-orang dapat
menyaksikannya. Allah berfirman tentang hal ini, yang artinya: “Telah dekat (datangnya) saat (Kiamat)
dan telah terbelah pula bulan. Dan jika mereka (orang-orang musyrik) melihat suatu tanda (mu’jizat),
mereka berpaling dan berkata: “ (Ini adalah) sihir yang terus-menerus. ” (Al Qomar 1-2)

Tanda-tanda yang diberikan Allah, yang dapat dirasakan oleh indera kita itu adalah bukti pasti wujud-
Nya.

9.
Untuk membuktikan keberadaan Tuhan dengan dalil akal dapat digunakan dengan melalui dua
pendekatan, yakni Pendekatan Hukum Akal dan Pendekatan Fenomenologis.
Pertama: Pendekatan Hukum Akal
Pendekatan ini dikemukakan oleh Prof. Dr. Yunahar Ilyas, Lc. M.Ag, dalam bukunya “Kuliah Aqidah”.
Beliau menyebutkan empat macam hukum akal yang dapat dijadikan sebagai dalil wujud   Allah swt.
Keempat hukum akal tersebut adalah:

1. Hukum Sebab (Qanun al-’Illah)

Segala sesuatu, pasti ada sebabnya. Setiap ada perubahan tentu ada yang menjadi sebab terjadinya
perubahan itu. Begitu juga sesuatu yang ada tentu ada yang mengadakannya. Sesuatu, menurut akal,
mustahil ada dengan sendirinya. Maka, alam raya ini pun pasti ada yang mengadakannya. Itulah Tuhan
Yang Maha Pencipta Segala Sesuatu.

2. Hukum Wajib (Qanun al-Wujub)

Wujud segala sesuatu tidak bisa terlepas dari salah satu di antara tiga kemungkinan: wajib ada, mustahil
ada, atau mungkin ada. Tentang alam semesta, adanya tidaklah wajib dan tidak pula mustahil, tetapi
bersifat mungkin. Ia mungkin ada dan mungkin tidak ada.
Karena alam ini bersifat mungkin, maka ia mustahil diadakan oleh dirinya sendiri yang bersifat mungkin,
karena sesuatu yang mungkin adanya mustahil akan mengadakan sesuatu yang mungkin menjadi ada,
tetapi ia harus diadakan oleh kekuatan diluar dirinya yang bersifat wajib adanya, dan itulah yang disebut
Tuhan yang bersifat wajib adanya (wajibul wujud)

3. Qanun al-Huduts

Huduts artinya baru. Alam semesta seluruhnya adalah sesuatu yang hadits (baru, ada awalnya), bukan
sesuatu yang qadim (tidak berawal). Kalau hadits, tentu ada yang mengadakannya. Dan yang
mengadakan itu tentulah bukan yang bersifat hadits tetapi haruslah yang bersifat qadim. Dan itulah
Tuhan Yang Maha Qadim

4. Qanun an-Nizham

Nizham artinya aturan, teratur. Alam semesta dengan seluruh isinya seperti matahari, bulan, bintang dan
planet-planet lainnya termasuk bumi dengan segala isinya adalah segala sesuatu yang “sangat teratur”.
Sesuatu yang teratur tentu ada yang mengaturnya, mustahil menurut akal semuanya itu teratur dengan
sendirinya secara kebetulan.
Kedua: Pendekatan Fenomenologis
Pendekatan ini disampaikan oleh Sa’id Hawwa dalam buku Allah Jalla wa Jalaluhu. Pendekatan
fenomenologis adalah pembuktian tentang keberadaan Tuhan dengan mengacu kepada rahasia-rahasia
fenomena yang terjadi di alam semesta. Fenomena yang terjadi di alam semesta ini dari makhluk yang
terkecil sampai alam yang membentang luas, semuanya menyingkapkan rahasia akan keberadaan Tuhan.
Menurut Said Hawa, ada sembilan fenomena yang dapat dijadikan dalil akan keberadaan Tuhan. Berikut
ini kami nukilkan secara ringkas sembilan feno-mena tersebut:

1. Fenomena Huduts-nya Alam.
Sebagaimana diakui oleh para ilmuwan, alam raya ini bersifat baru, artinya ia bermula dari tiada lalu
menjadi ada. Adanya Hukum Panas, Hukum Gerakan Elektron, dan Energi Matahari, semuanya telah
memberikan bukti yang amat jelas terhadap fenomena ini. Matahari yang membakar, bintang-bintang
yang menghiasi langit, dan bumi yang kaya dengan bermacam-macam kehidupan semuanya manjadi
bukti jelas bahwa dasar alam ini berkaitan dengan masa yang dimulai pada suatu waktu tertentu. Karena
itu, ia adalah bagian dari materi yang huduts (baru). Itu artinya pastilah ada sang Pencipta yang azali bagi
alam semesta ini yang tidak berawalan. Dia memiliki kekuatan menciptakan segala sesuatu.
Seorang ilmuwan Barat, Erving William, mengatakan: “Astronomi, misalnya, menunjukkan bahwa alam
semesta ini memiliki awalan pada masa lampau dan sedang bergerak ke arah akhir yang sudah pasti.
Tidak sejalan dengan ilmu pengetahuan jika kita menyakini bahwa alam semesta ini adalah azali, yang
tidak mempunyai awalan, atau abadi, tanpa akhiran, karena ia berdiri di atas dasar perubahan yang terus
menerus”
Dalam hal ini Allah ta’ala berfirman:
َ ْ‫ت َواَأْلر‬
]36 ، 35 : ‫ض بَلْ اَل يُوقِنُونَ [الطور‬ ِ ‫) َأ ْم خَ لَقُوا ال َّس َما َوا‬35( َ‫َي ٍء َأ ْم هُ ُم ْالخَالِقُون‬
ْ ‫ُخلِقُوا ِم ْن َغي ِْر ش‬
Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?
Ataukah mereka yang telah menciptakan langit dan bumi itu bahkan mereka tidak meyakini. (QS at-Thur:
35-36)

2. Fenomena Iradah (Kehendak)

Sudah menjadi aksioma bagi akal, bahwa sesuatu yang tersusun rapi tentu ada ilmu, kehendak,
kemampuan, dan kehidupan. Di mana pun ada sifat-sifat semacam itu, tentu ada Zat yang dapat
memanifestasikannya. Matahari, misalnya, adalah salah satu diantara benda-benda angkasa yang
mempunyai keistimewaan dan hukum yang khas. Matahari sebagai pusat perputaran di antara bintang-
bintang yang berputar secara teratur, termasuk bumi yang sedang kita tempati sekarang ini, tentu tidak
bergerak dengan sendirinya, tetapi atas kehendak Zat Yang Maha Berkehendak.
Begitu juga manusia, dengan mekanisme yang luar biasa, pabrik yang menakjubkan, pemilik pencernaan
dan pemilik sistem pembuangan; Pohon dengan akar dan kulit, pokok pohon dengan getah yang naik
turun dan proses yang terjadi seperti fotosintetis, interaksi, formasi dan produksi dalam berbuah dan
berbunga; alam atom dengan apa yang di dalamnya mengandung kekuatan, gerakan, dan persenyawaan
serta apa-apa yang dihasilkan darinya melalui reaksi-reaksi. Bukankah semua ini menunjukan adanya
kehendak yang agung yang bersumber dari Zat Maha Pintar dan Maha Bijaksana. Dia berkehendak
menentukan segala sesuatu sebagai ketetapan terbaik.
ْ ‫وت ُك ِّل ش‬
]83 ، 82 : ‫) [يس‬83( َ‫َي ٍء وَِإلَ ْي ِه تُرْ َجعُون‬ َ ُ‫نَّ َما َأ ْم ُرهُ ِإ َذا َأ َرا َد َش ْيًئا َأ ْن يَق‬
ُ ‫) فَ ُس ْبحَانَ الَّ ِذي بِيَ ِد ِه َملَ ُك‬82( ُ‫ول لَهُ ُك ْن فَيَ ُكون‬
Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!”
maka terjadilah ia. Maka Maha Suci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaaan atas segala sesuatu dan
kepada-Nyalah kamu dikembalikan. (Qs. Yasin: 82-83)

3. Fenomena Hidup

Sungguh menakjubkan ketika kita melihat dengan mata kepala kita sendiri pada organ-organ tubuh yang
terdapat pada makhluk hidup dan akan bertambah takjub ketika melihat lebih teliti lagi akan
ketepatannya, kerjasama di antara bagian-bagiannya, kolaborasi akan tugas-tugasnya, sirkulasi di antara
beberapa faktor pertumbuhan sesuai dengan proporsi yang dibutuhkan, sesuai dengan umur, spesies, dan
kelompok masing-masing. Hal tersebut terjadi baik dalam tubuh manusia, tubuh hewan, tubuh serangga,
maupun tubuh tumbuh-tumbuhan. Lebih menakjubkan lagi jika mengetahui melalui mikroskop dan
analisis tentang apa-apa yang tersusun dari organ-organ tersebut atas kerjasama yang unik tentang tugas-
tugas organ.
Di atas bumi ini terdapat miliaran makhluk hidup dan setiap satu dari mereka mengundang rasa takjub
yang tidak ada habis-habisnya. Jumlah yang bermiliaran itu terbagi menjadi ribuan jenis dan spesies.
Setiap jenis dan spesies mempunyai keistimewaannya sendiri-sendiri, kelebihan, bentuk tubuh, cara
makan, cara hidup dan masing-masing mempunyai kerumitan hidup sendiri. Seluruhnya tersedia rezeki
dan dan makanan yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
Perkembangan hidup ini tidak dapat dijelaskan kecuali dengan keberadaan Allah. Adanya segala jenis
spesies tidak dapat ditafsirkan tanpa adanya Allah. Juga, segala sesuatu yang menyangkut keajaiban
makhluk hidup tidak dapat dijelaskan tanpa keberadaan Allah. Setiap bagian terkecil dari semua ini
menunjukkan tanda-tanda keberadaan Allah.
 
2 : ‫ق ْال َموْ تَ َو ْال َحيَاةَ لِيَ ْبلُ َو ُك ْم َأيُّ ُك ْم َأحْ َسنُ َع َماًل َوهُ َو ْال َع ِزي ُز ْال َغفُو ُر [الملك‬
َ َ‫الَّ ِذي َخل‬
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik
amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun (QS al-Mulk: 2)
Bagaimanapun pintarnya manusia, ia tak akan sanggup menciptakan seekor lalat pun. Allah swt
berfirman:
ُ‫ُون هَّللا ِ لَ ْن يَ ْخلُقُوا ُذبَابًا َولَ ِو اجْ تَ َمعُوا لَهُ َوِإ ْن يَ ْس لُ ْبهُ ُم ال ُّذبَابُ َش ْيًئا اَل يَ ْس تَ ْنقِ ُذوهُ ِم ْن ه‬
ِ ‫ب َمثَ ٌل فَا ْستَ ِمعُوا لَهُ ِإ َّن الَّ ِذينَ تَ ْد ُعونَ ِم ْن د‬ ِ ‫يَا َأيُّهَا النَّاسُ ض‬
َ ‫ُر‬
73 : ‫طلُوبُ [الحج‬ ْ ‫ضعُفَ الطَّالِبُ َو ْال َم‬ َ [
Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, Maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya
segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun
mereka bersatu menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, Tiadalah mereka
dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah)
yang disembah. (al-Hajj: 73)

4. Fenomena Istijabah Do’a

Banyak kejadian yang dialami manusia mempunyai hubungan erat dengan


fenomena istijabah (pengabulan) do’a. Dalam berbagai kesempatan, kita dapat menemukan pertolongan
yang tidak disangka-sangka atau terkabulnya do’a yang terjadi tidak biasa. Secara sekilas, manusia
merasakan adanya pengaruh kekuasaan Allah dengan dikabulkan do’anya. Kejadian semacam ini
membuktikan keberadaan Allah azza wa jalla.
Allah swt berfirman:
62 : ‫ض َأِإلَهٌ َم َع هَّللا ِ قَلِياًل َما تَ َذ َّكرُونَ [النمل‬
ِ ْ‫َأ َّم ْن ي ُِجيبُ ْال ُمضْ طَ َّر ِإ َذا َدعَاهُ َويَ ْك ِشفُ السُّو َء َويَجْ َعلُ ُك ْم ُخلَفَا َء اَأْلر‬
Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya,
dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi.
Apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati-(Nya). (QS an-Naml:
62)
Fenomena istijabah (terkabulnya) do’a ini akan selalu terjadi setiap kali syarat-syaratnya terpenuhi. Yang
paling jelas dalam hal ini adalah do’a istisqo’ (do’a minta hujan), di mana kaum muslimin mengadukan
kepada Allah keadaan mereka di musim paceklik, dan seringkali permohonannya terkabul. Hal ini
menunjukkan sejelas-jelasnya bahwa ada wujud tertentu yang mempunyai Zat Mahatinggi, selalu
mendengar seruan do’a seseorang, memperhatikan permohonan do’anya, dan apabila Dia menghendaki,
dikabulkan do’a orang tersebut, kapan saja dan dengan cara apa saja, baik ia seorang muslim maupun
kafir.q

10.
Syirik
Syirik adalah itikad ataupun perbuatan yang menyamakan sesuatu selain Allah dan disandarkan pada
Allah dalam hal rububiyyah dan uluhiyyah. Umumnya, menyekutukan dalam Uluhiyyah Allah yaitu hal-
hal yang merupakan kekhususan bagi Allah, seperti berdo'a kepada selain Allah, atau memalingkan suatu
bentuk ibadah seperti menyembelih (kurban), bernadzar, berdo'a dan sebagainya kepada selainNya.
Secara umum, syirik dimasukkan ke dalam dua kelompok, yaitu Syirik besar dan Syirik kecil
Syirik Besar
Syirik besar bisa mengeluarkan pelakunya dari agama Islam dan menjadikannya kekal di dalam Neraka,
jika ia meninggal dunia dan belum bertaubat kepada Allah.
Syirik besar adalah memalingkan sesuatu bentuk ibadah kepada selain Allah, seperti berdo'a kepada
selain Allah atau mendekatkan diri kepadanya dengan penyembelihan kurban atau nadzar untuk selain
Allah, baik untuk kuburan, jin atau syaitan, atau mengharap sesuatu selain Allah, yang tidak kuasa
memberikan manfaat maupun mudharat.
Bentuk-bentuk syirik besar:

 Syirik Do'a, yaitu di samping dia berdo'a kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, ia juga berdo'a kepada
selainNya.[1]
 Syirik Niat, Keinginan dan Tujuan, yaitu ia menunjukkan suatu ibadah untuk selain Allah Subhanahu
wa Ta'ala.[2]
 Syirik Ketaatan, yaitu mentaati kepada selain Allah dalam hal maksiyat kepada Allah [3]
 Syirik Mahabbah (Kecintaan), yaitu menyamakan selain Allah dengan Allah dalam hal kecintaan.[4]

Syirik Kecil
Syirik kecil tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam, tetapi ia mengurangi tauhid dan
merupakan wasilah (perantara) kepada syirik besar.
Bentuk-bentuk syirik kecil:

 Syirik Zhahir (Nyata), yaitu syirik kecil yang dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Dalam bentuk
ucapan misalnya, bersumpah dengan nama selain Allah.
Rasulullah bersabda:[5]
"Barangsiapa bersumpah dengan nama selain Allah, maka ia telah berbuat kufur atau syirik."
— HR. At-Tirmidzi (No.1535), Al-Hakim (I/18, IV/297), Ahmad (II/34, 69, 86) dari Abdullah bin
Umar r.a
Dalam sebuah riwayat hadits:[6]

Ada seorang Yahudi yang datang kepada Nabi  , dan berkata: "Sesungguhnya kamu sekalian
melakukan perbuatan syirik. Kamu mengucapkan: Atas kehendak Allah dan kehendakmu dan
mengucapkan: Demi Ka'bah. Maka Nabi   memerintahkan para sahabat apabila hendak bersumpah
supaya mengucapkan, Demi Allah Pemilik Ka'bah dan mengucapkan: Atas kehendak Allah kemudian atas
kehendakmu
— HR. An-Nasa'i (VII/6) dan Amalul Yaum wal Lailah (No. 992), Al-Hafizh Ibnu Hajar r.a berkata
dalam Al-Ishaabah (IV/389), "Hadits ini shahih, dari Qutailah r.a, wanita dari Juhainah r.a
Syirik dalam bentuk ucapan, yaitu perkataan."Kalau bukan karena kehendak Allah dan kehendak
fulan". Ucapan tersebut salah, dan yang benar adalah."Kalau bukan karena kehendak Allah, kemudian
karena kehendak si fulan". Kata kemudian menunjukkan tertib berurutan, yang berarti menjadikan
kehendak hamba mengikuti kehendak Allah.[7]

 Syirik Khafi (Tersembunyi), yaitu syirik dalam hal keinginan dan niat, seperti riya' (ingin dipuji
orang) dan sum'ah (ingin didengar orang) dan lainnya.
Rasulullah bersabda:[8]
"Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil. "Mereka (para sahabat) bertanya:
"Apakah syirik kecil itu, ya Rasulullah?" .Dia   menjawab: "Yaitu riya'"
— HR. Ahmad (V/428-429) dari sahabat Mahmud bin Labid r.a

Anda mungkin juga menyukai