Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH HIV/AIDS

“Asuhan Keperawatan pada HIV/AIDS Infeksi Oportunitis :

Candiiasis dan Herpes Simplex”

Dosen Pengampu :

Ns. Frana Andrianur S.Kep, M.Kep

Disusun:

Alfinurannisa P07220220042
Alvi Miftahul Hasanah P07220220043
Alya Octa Jafita Putri P07220220044
Clara Marselina Huring P07220220048
Retno Fitriana Sya’adah P07220220066
Rizka Febriani Adha P07220220069
Tiara P07220220076

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN

TAHUN AKADEMIK 2022/2023


Daftar Isi
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Penyakit herpes simpleks merupakan penyakit menular yang disebabkan


oleh virus herpes simpleks (HSV). Hingga kini herpes simpleks menjadi salah satu
penyakit menular yang sering di jumpai di masyarakat dan bersifat sangat infeksius.
Penyembuhan herpes simpleks belum bisa secara tuntas, karena dapat kambuh
ketika sistem kekebalan tubuh seseorang yang terinfeksi menurun atau dalam
keadaan immunocompromised. Penyakit ini semakin meningkat dipicu oleh
beberapa faktor diantaranya oleh karena rendahnya pengetahuan masyarakat
mengenai penyakit herpes simpleks itu sendiri dan juga karena perilaku seks yang
menyimpang (Fatmuji, 2012:12).

Terdapat dua tipe virus herpes simpleks, yaitu herpes simpleks virus tipe 1
(herpes labial) atau yang di singkat HSV-1 dan herpes simpleks virus tipe 2 (herpes
genital) atau biasa di singkat HSV-2 (Hadisaputro, 2014:739). Prevalensi penyakit
ini lebih tinggi pada wanita dibandingkan pada pria dan umumnya lebih tinggi di
negara berkembang daripada di negara maju. Di Indonesia diperoleh prevalensi
penderita herpes simpleks khususnya di rumah sakit umum daerah Tangerang
periode tanggal 1 januari 2010 hingga 31 desember 2011 adalah 6,22%. Distribusi
penderita berjenis kelamin laki-laki (48,6%) dan perempuan (51,4%). Distribusi
penderita herpes simpleks terbanyak terdapat pada kelompok usia 23-27 tahun
(31,4%), lulusan SMA (38,6%), dan tidak bekerja (35,7%) (Fatmuji, 2012:vii). Pada
neonatal, infeksi dapat berbahaya, karena mengakibatkan mortalitas sekitar 54%
(Hadisaputro, 2014:739). Dari segi ekonomi, infeksi herpes neonatal dikatakan
sebagai kondisi yang mahal karena biasanya melibatkan perawatan di rumah sakit,
pemantauan intensif, terapi obat intravena, pengujian laboratorium yang luas, dan
sering mengakibatkan biaya jangka panjang yang berhubungan dengan cacat akibat
gejala sisa neurologis yang cukup parah (Looker, et al, 2017:300).

B. RUMUSAN MASALAH

C. TUJUAN
D. SISTEMATIKA PENULISAN
E.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Candidiasis

1. Pengertian

Kandidiasis adalah suatu infeksi jamur yang disebabkan oleh Candida spp.
dan merupakan salah satu infeksi jamur yang sering ditemukan menyerang
manusia (Yugo, 2011). Kandidiasis terjadi karena adanya pertumbuhan jamur
secara berlebihan yang dalam kondisi normal muncul dalam jumlah yang kecil.
Kandidiasis terdapat di seluruh dunia dengan sedikit perbedaan variasi penyakit
pada setiap area. Infeksi yang disebabkan oleh jamur Candida dapat berupa akut,
subakut atau kronis pada seluruh tubuh manusia. Kandidiasis sistemik paling
sering dijumpai dan terjadi jika jamur Candida masuk ke dalam aliran darah
terutama ketika ketahanan host menurun (Mutiawati, 2016).

Kandidiasis adalah infeksi opurtunistik yang sangat umum pada orang


dengan HIV (Irianto, 2014). Faktor risiko yang terkait dengan kandidiasis
superfisial meliputi AIDS, kehamilan, diabetes, usia muda atau lanjut usia, pil
KB, dan trauma (luka bakar, maserasi kulit). Ruam bisa terjadi pada lidah, bibir,
gusi, atau langit-langit mulut. Invasi ragi ke mukosa vagina menyebabkan
vulvovaginitis, ditandai dengan iritasi, pruritus, dan keputihan. Kondisi ini sering
didahului oleh faktor-faktor seperti diabetes, kehamilan, atau obat antibakteri
yang mengubah flora mikroba, keasaman lokal, atau sekresi. Bentuk kandidiasis
kutaneous lainnya termasuk invasi kulit. Hal ini terjadi saat kulit dilemahkan oleh
trauma, luka bakar, atau maserasi (Jawetz, Melnick and Adelberg’s, 2013).

2. Morfologi

Candida albicans adalah suatu jamur yang berbentuk sel ragi lonjong,
bertunas, berukuran 2-3×4-6 μm yang menghasilkan pseudomiselium baik dalam
biakan maupun dalam jaringan dan eksudat. Ragi ini sebenarnya adalah anggota
flora normal kulit, membran mukosa saluran pernafasan, pencernaan, dan
genitalia wanita. Di tempat-tempat ini, ragi dapat menjadi dominan dan
menyebabkan keadaan-keadaan patologik (Jawetz, Melnick and Adelberg’s,
2013).albicans memperbanyak diri dengan membentuk tunas yang akan terus
memanjang membentuk hifa semu. Hifa semu terbentuk dengan banyak kelompok
blastospora berbentuk bulat atau lonjong di sekitar septum. Dinding sel C.
albicans berfungsi sebagai pelindung dan juga sebagai target dari beberapa
antimikotik. Dinding sel berperan pula dalam proses penempelan dan kolonisasi
serta bersifat antigenik. Membran sel C. albicans seperti sel eukariotik lainnya
terdiri dari lapisan fosfolipid ganda. Membran protein ini memiliki aktifitas enzim
seperti manan sintase, khitin sintase, glukan sintase, ATPase dan protein yang
mentransport fosfat (Hasanah, 2012).

Sel-sel ragi berbentuk bulat sampai oval dan mudah terpisah dari satu
sama lain. Pseudohifa tersusun memanjang, berbentuk elips yang tetap menempel
satu sama lain pada bagian septa yang berkonstriksi dan biasanya tumbuh dalam
pola bercabang yang berfungsi untuk mengambil nutrisi yang jauh dari sel induk
atau koloni. Hifa sejati berbentuk panjang dengan sisi paralel dan tidak ada
konstriksi yang jelas antar sel. Perbedaan antara ketiganya adalah pada derajat
polarisasi pertumbuhan, posisi dariseptin, derajat pergerakan nukleus serta derajat
kemampuan melepas selanak dari sel induk secara individual (Maharani, 2012).
Organisme Candida tumbuh dengan mudah dalam botol kultur darah dan pada
media agar. Dalam kebanyakan situasi, mereka tidak memerlukan kondisi khusus
untuk pertumbuhan. Pada media kultur, spesies Candida terbentuk halus,
berwarna putih krem, berkilau. Spesies Candida dapat diidentifikasi berdasarkan
karakteristik pertumbuhan, asimilasi karbohidrat, reaksi fermentasi dan
karakteristik isolat Candida dalam 2-4 hari. Identifikasi C. albicans yang cepat
namun nonspesifik dapat dilakukan dengan menguji produksi germ tube (Jawetz,
Melnick and Adelberg’s, 2013). Pada Sabouraud Dextrose Agar (SDA) yang
diinkubasi selama 24 jam pada suhu kamar, berbentuk koloni-koloni lunak
berwarna coklat yang mempunyai bau seperti ragi. Pertumbuhan permukaan
terdiri atas sel-sel bertunas lonjong. Pertumbuhan di bawahnya terdiri atas
pseudomiselium (massa pseudohifa) yang membentuk blastospora pada nodus-
nodus dan kadang-kadang klamidospora pada ujung-ujungnya (Jawetz, Melnick
and Adelberg’s, 2013).

3. Klasifikasi
Genus Candida terdiri dari lebih dari 200 spesies dan merupakan spesies ragi
yang sangat beragam yang ikatannya sama dengan tidak adanya siklus seksual.
Spesies Candida yang memiliki pengaruh yang signifikan secara medis meliputi: C.
albicans, C. glabrata, C. parapsilosis, C. tropicalis, C. krusei, C. kefyr, C.
guilliermondii, C. lusitaniae, C. stellatoidea, dan C. dubliniensis. C. albicans
merupakan jamur patogen utama manusia dan penyebab paling umum infeksi jamur
mukosa dan sistemik, dan merupakan ciri khas spesies Candida (Dismukes, Pappas
and Sobel, 2003).

Klasifikasi C. albicans yaitu sebagai berikut (Maharani, 2012) :

Kingdom : Fungi

Phylum : Ascomycota

Subphylum : Saccharomycotina

Class : Saccharomycetes

Ordo : Saccharomycetales

Family : Saccharomycetaceae

Genus : Candida

Spesies : Candida albicans

Sinonim : Candida stellatoidea dan Oidium albicans

4. Pertumbuhan dan Metabilosme Sel

Albicans dapat tumbuh pada variasi pH yang luas, tetapi pertumbuhannya


akan lebih baik pada pH antara 4,5-6,5. Jamur ini dapat tumbuh dalam perbenihan
pada suhu 28o C-37o C. C. albicans membutuhkan senyawa organik sebagai sumber
karbon dan sumber energi untuk pertumbuhan dan proses metabolismenya. Unsur
karbon ini dapat diperoleh dari karbohidrat. Jamur ini merupakan organisme anaerob
fakultatif yang mampu melakukan metabolisme sel, baik dalam suasana anaerob
maupun aerob (Maharani, 2012).

Proses fermentasi pada C. albicans dilakukan dalam suasana aerob dan


anaerob. Karbohidrat yang tersedia dalam larutan dapat dimanfaatkan untuk
melakukan metabolisme sel dengan cara mengubah karbohidrat menjadi CO2 dan
H2O dalam suasana aerob. Sedangkan dalam suasana anaerob hasil fermentasi berupa
asam laktat atau etanol dan CO2. Proses akhir fermentasi anaerob menghasilkan
persediaan bahan bakar yang diperlukan untuk proses oksidasi dan pernafasan
(Maharani, 2012). Selain morfologi dan sifat-sifat koloninya, C. albicans juga dapat
dibedakan dari spesies lain berdasarkan kemampuan melakukan proses fermentasi
dan asimilasi. Kedua proses ini membutuhkan karbohidrat sebagai sumber karbon.
Pada proses asimilasi, karbohidrat dipakai oleh C. albicans sebagai sumber karbon
maupun sumber energi untuk melakukan pertumbuhan sel. Pada proses fermentasi,
jamur ini menunjukkan hasil terbentuknya gas dan asam pada glukosa dan maltosa,
terbentuknya asam pada sukrosa dan tidak terbentuknya asam dan gas pada laktosa.
Pada proses asimilasi menunjukkan adanya pertumbuhan pada glukosa, maltosa dan
sukrosa namun tidak menunjukkan pertumbuhan pada laktosa (Maharani, 2012).

5. Patogenitas

Tempat paling umum terdapat jamur C. albicans yaitu bagian mulut, saluran
anorektal, saluran kelamin dan kuku. C. albicans adalah spesies penyebab pada lebih
80% kasus infeksi kandida pada genetalia. Cara penularan terutama adalah kontak
langsung manusia ke manusia, khususnya tinggi pada kelompok aktif seksual
(Hasanah, 2012).

Kandidiasis superfisial (kulit atau mukosa) ditetapkan oleh peningkatan


jumlah Candida dan kerusakan pada kulit atau epitel yang memungkinkan invasi
lokal oleh ragi dan pseudohifa. Kandidiasis sistemik terjadi saat Candida memasuki
aliran darah dan pertahanan host fagosit tidak mencukupi untuk menahan
pertumbuhan dan penyebaran ragi. Dari sirkulasi, Candida dapat menginfeksi ginjal,
menempel pada katup jantung buatan, atau menghasilkan infeksi hampir di mana saja
(misalnya, artritis, meningitis, endophthalmitis). Histologi lokal lesi kutaneous atau
mucocutaneous ditandai oleh reaksi inflamasi yang bervariasi dari abses pyogenik
sampai granuloma kronis. Lesi ini mengandung sel-sel ragi dan pseudohifa yang
melimpah (Jawetz, Melnick and Adelberg’s, 2013).

B. Konsep Dasar Herpes Simplex

1. Pengertian
Nama Herpesviruses berasal dari bahasa Yunani dari kata herpein yang
berarti kain sutera tipis, merupakan golongan famili Herpesviridae. Lebih dari
100 virus herpes telah diisolasi dari berbagai macam hospes (host), diantaranya
host mamalia, burung, ikan, reptil, binatang amfibi dan moluska. Delapan virus
diantaranya terjadi pada manusia yang disebut Human Herpesviruses. Jenis virus
yang dimaksud adalah virus herpes simpleks-1, virus herpes simpleks-2, virus
varicella-zoster, virus Epstein- Bahr, human cytomegalovirus, human herpesvirus 6,
human herpes virus 7, dan Kaposi’s Sarcoma Associated Herpesvirus (Hadisaputro,
2014:739).

Virus herpes simpleks atau yang disingkat dengan HSV, merupakan virus
dengan ukuran yang sangat besar dengan diameter sekitar 120-200 nanomikron,
dimana genomnya mengkode sedikitnya 80 jenis protein. Genom HSV juga
mengkode beberapa jenis enzim, DNA-dependent, DNA polymerase, timidin
kinase (berfungsi untuk fosforilasi timidin dan nukleosida lainnya),
ribonukleotida reduktase (untuk mengubah ribonukleotida menjadi
deoksiribonukleotida) dan serin protease (Radji, 2015:263). Asam
deoksiribonukleat HSV-1 dan HSV-2 umumnya kolinear dan genom kedua virus
ini adalah homolog, sehingga dapat terjadi reaksi silang antara glikoprotein VHS
tipe 1 dan 2, meskipun masing-masing virus memiliki antigen tersendiri.
Glikoprotein pada permukaan HSV sebagai perantara melekatnya HSV dan
penetrasinya ke dalam sel pejamu sehingga merangsang respon imun (Yuliantini,
2013:169).

Virus masuk melalui permukaan mukosa kulit, sistem saraf pusat, dan
mungkin terjadi pada organ viseral, selanjutnya dapat berkembang menjadi
infeksi laten pada ujung saraf dorsal dan ganglia trigeminal. Infeksi virus tersebut
menimbulkan sindroma klinik yang bervariasi, pada umumnya menginfeksi
seorang anak dan dewasa sehat, tetapi dapat juga menginfeksi seseorang yang
dalam keadaan immunocompromised, yang
mengakibatkan keadaan penyakit menjadi berat (Hadisaputro, 2014:739).

Virus herpes simpleks terdiri dari dua jenis virus, yaitu herpes simpleks
tipe 1 (HSV-1) dan herpes simpleks tipe 2 (HSV-2). Virus herpes simpleks 1 dan
2 pertama kali menginfeksi sel epitel mukosa rongga mulut, genital dan kulit.
Herpes simpleks virus dapat menyebabkan infeksi yang bersifat laten, dimana
infeksi dan reaktivasi virus akan timbul saat sistem imun dalam tubuh hospes
mengalami penurunan, atau dalam keadaan immunocompromised, keadaan stres
juga dapat menimbulkan kekambuhan dan dalam keadaan infeksi yang berat,
komplikasi serius seperti ensefalitis dapat terjadi. Herpes simpleks tipe 1
ditularkan melalui oral terutama akibat kontak oral yang kemudian menyebabkan
infeksi pada atau di sekitar mulut (herpes mulut). Kebanyakan infeksi HSV-1
diperoleh selama masa kanak- kanak, dan merupakan infeksi seumur hidup.
Infeksi HSV-1 disebut juga sebagai infeksi orolabial (oral-labial atau oral-wajah
herpes), tetapi sebagian dari infeksi HSV-1 dapat ditularkan ke alat kelamin yang
kemudian menjadi herpes genital (infeksi pada kelamin atau daerah anal).
Tercatat bahwa HSV-1 merupakan penyebab herpes genital, terutama di negara
berkembang akibat adanya perilaku seksual yang menyimpang. Herpes simpleks
tipe 2 adalah penyebab infeksi menular seksual yang dapat menyebabkan infeksi
di daerah kelamin atau dubur (herpes genital). Di berbagai negara penyebab
paling umum dari ulkus genital adalah HSV-2, yang diperkirakan infeksi terjadi
di kalangan orang dewasa dan remaja berusia 15-49 tahun dengan tingkat
tertinggi di antara kelompok usia yang lebih muda. Herpes simpleks tipe 2 juga
merupakan infeksi seumur hidup. Kedua infeksi dari HSV-1 dan HSV-2 sebagian
besar memiliki gejala yang asimtomatik, tetapi dapat juga menimbulkan gejala
yang ringan atau lepuh pada kulit dan mukosa kulit yang terasa menyakitkan,
juga berupa borok pada tempat terjadinya infeksi (World Health Organization,
2017:1)

2. Epidemiologi

Penyakit ini tersebar kosmopolit dan menyerang baik pria maupun wanita
dengan frekuensi yang tidak berbeda. Prevalensi antibodi dari HSV-1 pada sebuah
populasi bergantung pada faktor-faktor seperti negara, kelas sosial ekonomi dan usia.
HSV-1 umumnya ditemukan pada daerah oral pada usia anak-anak, terlebih pada
kondisi sosial ekonomi terbelakang. Adanya kebiasaan, orientasi seksual dan gender
mempengaruhi HSV-1 untuk menginfeksi daerah genital dan berubah menjadi HSV-2
(Fatmuji, 2012:5).
HSV tersebar dengan baik diseluruh dunia, dengan lebih dari 23 juta kasus
baru per tahun. Data peningkatan seroprevalensi antibodi terhadap HSV-2 telah
terkumpul di seluruh dunia (termasuk Amerika Serikat) selama 20 tahun terakhir.
HSV adalah penyebab paling umum ulkus yang ditemukan pada kelamin baik pria
maupun wanita di Amerika Serikat. HSV-1 sering ditemukan pada masa kanak-kanak
akibat kontak dengan sekret oral yang mengandung virus. Adanya HSV-2 diakibatkan
karena tindakan yang berhubungan langsung dengan aktivitas seksual (Ayoade,
2017:1).
Secara epidemiologi HSV-1 dan HSV-2 dapat menyebabkan infeksi mukosa
oral dan genital, dimana penularannya tergantung pada cara kontak yang terjadi.
Virus HSV dapat ditularkan melalui tangan dengan sentuhan langsung ke organ
lainnya termasuk mata dan organ anogenitalia. HSV-2 biasanya ditularkan melalui
hubungan seksual dan ditemukan pada anus, rektum, dan pada daerah genital. Bayi
yang terinfeksi pada saat dilahirkan oleh ibu yang mengidap HSV-2, dapat berakibat
fatal dan dapat menyebabkan kematian, karena sistem imun bayi belum berkembang
dengan baik (Radji, 2015:267).

Penularan infeksi HSV terjadi tidak tergantung musim atau cuaca, dimana
virus ini dapat bertahan dalam fase laten dalam tubuh hospes dan kemungkinan
adanya infeksi ulangan. Ekskresi virus tertinggi pada pasien dengan lesi aktif, tetapi
ekskresi virus juga dapat terjadi pada 15% pasien yang asimtomatik atau tanpa gejala.
Reaktivasi infeksi genital HSV-2 lebih banyak dibandingkan HSV-1, dan umumnya
karena rekurensi (kekambuhan) herpes genital. Diperkirakan 30% pasien mengalami
kekambuhan lebih dari 8-9 kali tiap tahun. Herpes neonatal terjadi sekitar 1 dalam
5.000 kelahiran di Amerika, pada beberapa daerah lain bahkan lebih tinggi. Sebagian
besar anak (75%) terinfeksi dalam proses persalinan selama melewati traktus genitalis
(Hadisaputro, 2014:740).

3. Etiologi

Virus herpes simpleks merupakan golongan Alphaherpesvirinae, sebagai


subfamily dari human herpesviruses bersama dengan virus varicella-zoster. Semua
virus herpes pada manusia mempunyai karakteristik enveloped double-stranded DNA
viruses. HSV merupakan virus bentuk besar dengan inti berisi double-stranded DNA
yang dilapisi oleh icosahedron dengan 162 capsomeres. Partikel lengkap diameternya
sekitar 120-200 nanomikron. Virus masuk ke sel melalui fusi membran sel setelah
menempel pada reseptor spesifik yaitu pembungkus glikoprotein. (Hadisaputro,
2014:740).
Pada molekul HSV terdapat senyawa glikoprotein yang menonjol, strukturnya
menyerupai paku, terdapat pada setiap virion dan melingkar penuh pada seluruh
molekulnya. Nukleokapsid menempati posisi eksentrik (pada satu sisi virion) dan
dekat dengan amplop, jaraknya 30-35 nm dari inti. Tegument adalah lapisan amorf
dengan beberapa daerah terstruktur yang mengandung filamen berukuran 7 nm yang
mengelilingi membran virus. Inti berisi double-stranded DNA yang dibungkus
sebagai toroida (membentuk lingkaran). Tegument terdiri dari 26 protein, beberapa di
antaranya berperan dalam transportasi kapsid ke nukleus dan organel lainnya,
masuknya DNA virus ke dalam nukleus, pengaktifan transkripsi gen awal, penekanan
biosintesis protein seluler, dan degradasi mRNA. Amplop luar virion terdiri dari lipid
bilayer dan 11 glikoprotein (gB, gC, gD, gE, gG, gH, gI, gJ, gK). Fungsi glikoprotein
dalam masuknya virus ke dalam sel sekarang dipelajari secara ekstensif (Kukhanova
2014:1637).

4. Patogenesis

Infeksi tergantung pada paparan kontak pribadi dari individu seronegative


terhadap individu seropositive yang rentan menularkan virus herpes simpleks. Untuk
terjadinya penularan virus yaitu melalui sentuhan langsung pada permukaan mukosa
atau kulit yang terkelupas kemudian virus akan melakukan replikasi di dalam tubuh
hospes. Siklus hidup virus dapat dibagi menjadi beberapa langkah utama berikut:
masuk ke sel inang, ekspresi gen virus, replikasi, perakitan virion, dan jalan keluar
dari partikel virus generasi baru. Siklus ini membutuhkan waktu sekitar 18-20 jam.
Sampai saat ini, telah diidentifikasi bagaimana cara masuk virus, yaitu dengan dua
jalur masuk. Mekanisme jalur utama yaitu dengan adanya interaksi antara amplop
virus dengan membran plasma dan kemudian terjadinya pengangkutan kapsid virus
ke inti. Tahap inti dari proses ini adalah interaksi antara glikoprotein pada permukaan
virus dengan reseptor permukaan sel tertentu. Jalur tambahan dimana virus memasuki
sel adalah endositosis dari virion yang diikuti oleh peleburan amplop dengan vesikula
intraselular. Keterikatan virion ke permukaan sel di mediasi oleh glikoprotein virus C
(gC) dan B (gB), yang berinteraksi dengan glikosaminoglikan permukaan sel.
Interaksi antara empat glikoprotein, gD, gB, dan heterodimer gH / gL, diperlukan
virus untuk masuk ke sel inang dengan peleburan amplop luar virus dengan membran
plasma. (Kukhanova 2014:1638).

Setelah replikasi virus di lokasi infeksi primer, baik sebagai virion atau lebih
sederhana, kapsid virus diangkut oleh neuron menuju ganglia dorsal akar. Setelah
virus bereplikasi, infeksi laten dimulai. Semakin parah infeksi primer yang tergambar
dari ukuran, jumlah, dan luasnya lesi, semakin besar kemungkinan untuk kambuh.
Meskipun replikasi kadang-kadang asimtomatik, namun respon hospes terhadap virus
dapat menyebabkan infeksi laten yang lebih mendominasi. Setelah infeksi laten
terjadi, adanya stimulus yang tepat dapat menyebabkan virus aktif, kemudian dapat
menjadi infeksi primer di mucocutaneous, yang muncul sebagai vesikel kulit atau
luka mukosa (Arvin, 2007:32).
Infeksi herpes simpleks biasanya diperoleh dari keadaan subklinik, walaupun
infeksi yang menimbulkan gejala klinik sangat berhubungan dengan adanya replikasi
virus yang memungkinkan masuk kedalam ujung saraf sensorik ataupun otonom.
Pada awal masuknya virus kedalam sel saraf, dimana terjadinya replikasi di ganglia
dan jaringan saraf yang berdekatan, yang kemudian menyebar ke permukaan kulit
lainnya, dan ke mukosa melalui migrasi virion yang infeksius. Cara penyebaran ini
membantu menjelaskan luasnya daerah permukaan yang ikut terkena dan banyaknya
lesi baru yang jauh dari infeksi primer berupa vesikel infeksi herpes simpleks di
daerah genital maupun daerah bibir dan mulut, termasuk menjelaskan terjadinya
penyembuhan pada daerah yang jauh dari pintu masuknya virus. Kedua antibodi yaitu
mediated dan reaksi cell-mediated memiliki arti penting secara klinis. Pada pasien
immunocompromised dengan defek kekebalan cell-mediated ablasi limfosit yang
terkena infeksi akan menjadi berat dan luas, dibandingkan infeksi pada pasien dengan
defisit imunitas humoral, seperti agammaglobulinemia. Berbagai manifestasi klinis
penyakit herpes simpleks tampaknya sangat berkaitan dengan respon kekebalan
hospes (Hadisaputro, 2014:740).

5. Patofisiologi

Virus herpes simpleks menginvasi dan bereplikasi di dalam neuron serta


epidermal dan dermal sel. Virion berjalan dari tempat awal infeksi pada kulit atau
mukosa menuju ke sensorik ganglion akar dorsal, di mana infeksi laten dimulai.
Replikasi virus dalam ganglia sensoris menyebabkan kekambuhan. Kekambuhan ini
dapat disebabkan oleh berbagai rangsangan, seperti trauma, radiasi ultraviolet, suhu
ekstrem, stres, imunosupresi, atau fluktuasi hormonal. Pelepasan virus yang
menyebabkan penularan mungkin terjadi selama infeksi primer, selama kekambuhan
berikutnya dan selama periode pelepasan virus yang asimtomatik. Reaktivasi virus
herpes simpleks tipe 1 paling efisien pada ganglia trigeminal (mempengaruhi wajah
dan orofaringeal dan mukosa mata), sedangkan virus herpes simpleks tipe 2 memiliki
reaktivasi yang lebih efisien pada ganglia lumbosakral (mempengaruhi pinggul,
bokong, genitalia, dan ekstremitas bawah). Adanya perbedaan klinis yang spesifik
dalam reaktivasi virus antara herpes simpleks tipe 1 dan herpes simpleks tipe 2,
karena dalam setiap populasi virus memiliki infeksi laten yang berbeda pada neuron
ganglionik (Eastern, 2016:1).

6. Gejala Klinis

Infeksi virus herpes simpleks ini berlangsung dalam 3 tingkatan, dimana pada
setiap tingkatan infeksi memiliki tahap infeksi, tempat predileksi, dan gejala yang
berbeda-beda pada setiap tingkatannya. Tahap Infeksinya yaitu berupa infeksi primer,
infeksi laten, dan infeksi rekuren.
a. Infeksi Primer
Tempat predileksi HSV-1 di daerah pinggang ke atas terutama di
daerah mulut dan hidung, biasanya dimulai pada usia anak-anak. Inokulasi
dapat terjadi secara kebetulan, misalnya kontak kulit pada perawat, dokter
gigi, atau pada orang yang sering menggigit jari. Virus ini juga sebagai
penyebab herpes ensefalitis. Infeksi primer oleh HSV-2 mempunyai tempat
predileksi di daerah pinggang ke bawah, terutama di daerah genital, juga dapat
menyebabkan herpes meningitis dan infeksi neonatal. Infeksi primer
berlangsung lebih lama dan lebih berat, kira-kira 3 minggu dan sering disertai
gejala sistemis, misalnya demam, melase, dan anoreksia, dapat juga
ditemukan pembengkakan kelenjar getah bening regional. Pada perabaan tidak
terdapat indurasi, kadang-kadang dapat timbul infeksi sekunder sehingga
memberi gambaran yang tidak jelas. Umumnya didapati pada orang yang
kekurangan antibodi untuk virus herpes simpleks (Wresti, 2015:478).

b. Infeksi laten
Dalam fase ini berarti pada penderita tidak ditemukan gejala klinis,
partikel HSV dapat menginfeksi sel neuron dan bersifat laten tanpa
menimbulkan efek sitopatogenik. Infeksi laten ini dapat menjadi aktif kembali
setelah virus berada di sel saraf perifer, sehingga menimbulkan infeksi
kembali pada daerah dimana infeksi pertama kali terjadi. Reaktivasi HSV
dapat terjadi karena berbagai hal, antara lain dapat disebabkan karena stres,
terpapar panas matahari, demam dan faktor immunocompromised. Hal ini
dapat menyebabkan proliferasi HSV pada sel saraf (Radji, 2015:265).

c. Infeksi rekurens
Infeksi ini berarti virus herpes simpleks pada ganglion dorsalis yang
dalam keadaan tidak aktif dengan suatu pemicu dapat menjadi aktif dan
mencapai kulit sehingga menimbulkan gejala klinis. Pemicu timbulnya infeksi
dapat berupa trauma fisik (demam, infeksi, kurang tidur, dan hubungan
seksual), trauma psikis (gangguan emosional, menstruasi), dan dapat pula
timbul akibat jenis makanan dan minuman yang dapat merangsang. Gejala
klinis yang timbul lebih ringan daripada infeksi primer, dan berlangsung kira-
kira 7-10 hari. Sering ditemukan gejala awal lokal, sebelum timbul vesikel
berupa rasa panas, gatal, dan nyeri. Infeksi rekuren ini dapat timbul pada
tempat yang sama atau tempat lain/tempat di sekitarnya (Wresti, 2015:479).
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai