Anda di halaman 1dari 14

PENDAHULUAN

Kandidiasis rongga mulut adalah infeksi oportunistik yang terjadi pada rongga mulut. Hal

ini sering dijumpai dan sering terjadi di antara orang tua, terutama pada mereka yang memakai

gigi palsu dan dalam banyak kasus dapat dihindari dengan perawatan mulut yang baik. Ini juga

bisa menjadi tanda penyakit sistemik, seperti diabetes melitus dan merupakan masalah umum di

antara pasien dengan gangguan kekebalan/HIV. Kandidiasis rongga mulut disebabkan oleh

pertumbuhan berlebih atau infeksi pada rongga mulut oleh jamur Candida. Terdapat Lebih dari

20 spesies Candida, tetapi Candida albicans adalah agen penyebab paling umum dan penting dari

oral kandidiasis.1,2,4

C. albicans merupakan organisme dari jamur dimorfik yang biasanya ada di rongga

mulut dalam keadaan normal pada sekitar setengah dari individu yang sehat. Biasanya jamur

C.albicans sebagai ragi, organisme dalam kondisi yang menguntungkan, memiliki kemampuan

untuk berubah menjadi bentuk hip hae patogen (penyebab penyakit). Beberapa spesies Candida

lainnya adalah C. tropicalis, C. glabrata, C. pseudotropicalis, C. guillierimondii, C. krusei, C.

lusitaniae, C. parapsilosis, dan C. stellatoidea. Kondisi yang berkontribusi dalam perkembangan

infeksi jamur seperti terapi antibiotik spektrum luas, xerostomia, OH buruk, penyakit autoimun,

atau adanya protesa lepasan atau gigi tiruan yang tidak dalam keadaan baik. 1,3,4

Insidensi kandidiasis di rongga mulut yang disebabkan oleh C. albicans adalah 45% pada

neonates, 45-65% pada anak-anak, 30-45% orang dewasa sehat, 50-65% dalam kasus pemakai

gigitiruan jangka panjang, 65-88% pada pasien dengan leukemia akut yang menjalani

kemoterapi, dan 95% pada pasien dengan infeksi HIV. 1


Kandidiasis disertai penyakit sistemik memiliki angka kematian 71-79%. Penting bagi

semua dokter yang merawat pasien yang lebih tua untuk menyadari faktor risiko, diagnosis, dan

pengobatan kandidiasis oral. Dalam penelitian terbaru, ditemukan bahwa 30% dokter setuju

bahwa, bahkan tanpa memeriksa rongga mulut, mereka akan meresepkan nistatin untuk

kandidiasis mulut. Kelalaian tersebut dapat mengakibatkan diagnosis yang tidak akurat, kelainan

patologi, dan kegagalan untuk mengatasi faktor risiko yang dapat menyebabkan kambuhnya

kandidiasis. 1

Faktor predisposisi dari oral candidiasis adalah Infeksi kandida muncul karena perubahan

sistem pertahanan tubuh di mana faktor imunologis dan non-imunologis memainkan peran

penting yang membuat kondisi yang menguntungkan untuk perkembangbiakan Candida. 1,4

Acute pseudomembran Candidiasis

Bentuk kandidiasis sering muncul adalah sebagai infeksi akut, meskipun istilah kandidiasis

pseudomembran kronis telah digunakan untuk menunjukkan kasus rekurensi kronis. Ini biasanya

terlihat pada usia anak-anak dan orang tua, seringkali terjadi pasien dengan penurunan sistem

imun terutama pada AIDS, Diabetes, TBC, pasien yang menggunakan kortikosteroid, terapi

antibiotik spektrum luas yang berkepanjangan, hematologi, dan keganasan lainnya. 1,5

Kandidiasis oral mereka umumnya muncul sebagai plak putih melekat yang menyerupai susu

atau keju pada permukaan labial dan mukosa bukal, palatum keras dan lunak, lidah, jaringan

periodontal, dan orofaring dimana Plak putih tersebut bisa dikerok dengan kapas. Dalam keadaan

yang akut yang ringan pasien biasanya hanya mengeluh sedikit sensasi kesemutan atau rasa tidak

enak. 1,5
1. Candidiasis pada pasien Diabetes Melitus

Diabetes mellitus adalah suatu penyakit kronis yang dapat mengurangi resistensi terhadap

infeksi mikroba dan menurunkan kemampuan jaringan dalam memperbaiki strukturnya kembali

Adanya disfungsi dan metabolisme endokrin yang melibatkan kontrol kadar glukosa darah,

menyebabkan terjadinya hiperglikemia. Hiperglikemia kronis dapat memicu gangguan sistem

imunoregulasi, sehingga meningkatkan risiko infeksi, karena menurunnya daya kemotaksis,

fagositosis, dan mikrobiosidal termasuk di rongga mulut. Hiperglikemik ini juga memacu

kerusakan atau disfungsi dari beberapa organ tubuh, salah satunya adalah kelenjar saliva. 2.10

Jamur candida albicans dapat muncul pada pasien yang mengidap penyakit diabetes melitus

yang tidak terkontrol. Diabetes Mellitus menyebabkan pertumbuhan kandida yang cepat. Hal ini

berkaitan dengan kadar glukosa yang tinggi dan tidak terkontrol sehingga mengakibatkan

kerusakan pada beberapa sel asinar pada kelenjar saliva dan mempengaruhi produksi saliva.

Produksi saliva yang menurun menyebabkan beberapa agen infeksi seperti jamur dapat tumbuh

dengan cepat dan menginfeksi mukosa disekitarnya.2

Candida albicans menghasilkan enzim ekstraseluler yang dapat merusak struktur host. Salah

satu enzim yang penting yakni SAP (Secreted Aspartyl Proteinase). Enzim SAP dapat

menghancurkan barier host dengan men degradasi protein dan diikuti dengan penetrasi lebih

dalam ke jaringan. Selain itu, dengan adanya enzim tersebut, kandida dapat menggunakan

protein host sebagai sumber nitrogen yang dibutuhkan bagi lingkungan agar tetap dalam kaadaan

alkalin sehingga per tumbuhan kandida dapat terus berlangsung. SAP juga dapat menggangu

permeabilitas vaskuler sehingga ter jadi proses inflamasi dan respon humoral dari host

terganggu.2,
Candida albicans yang diambil dari penderita diabetes memiliki enzim protease, fosfolipase,

dan memiliki aktivitas hemolisin. Enzim protease dan fosfolipase memiliki kemampuan dalam

menyebabkan patogenesis dari jamur dan banyak dijumpai pada penderita diabetes tipe 2

Hemolisin juga dihasilkan oleh Candida albicans untuk menghancurkan sel darah merah untuk

produksi zat besi yang penting untuk perkembangan dan pertahanan hidup dari jamur.

Permukaan sel yang hidrofobik memiliki peran yang sangat penting dalam menyebabkan invasi

jaringan fase miselia sel jamur. 2,

Pertumbuhan Candida albicans sendiri dapat meningkat dengan kaadaan kebersihan rongga

mulut yang buruk yang merupakan faktor predisposisi terjadinya kandidiasis pseudomembran

akut. Kebersihan rongga mulut yang buruk dapat menyebabkan perubahan mikroflora dalam

rongga mulut dan jumlah Candida albicans meningkat. Candida albicans pun melakukan invasi

ke sel prickel epitel sehingga terjadinya edema interseluler. Sel pun lisis dan terbentuknya ruang

pada daerah tersebut. Dikarenakan adanya jumlah Candida albicans yang meningkat, neutrofil

menyebar di epitel dan terjadi respon sistem imun disana yang mengakibatkan terjadinya

penumpukan hifa, sel deskuamasi, debris, jaringan nekrotik, leukosit dan PMN. Penumpukan

tersebut menyebabkan terbentuknya lesi putih ber kelompok pada dorsum lidah (kandidiasis

pseudomembran akut). 2,

Perawatan kandidiasis pseudomembran akut dapat mengunakan agen antifungal dan dibagi

menjadi tiga kategori utama yakni poliene (nystatin dan amfoterisin B), inhibitor biosintesis

ergosterol azole (myconazole, clotrimazole, ketokonazole, itraconazole, dan fluconazole), dan

agen-agen baru seperti kaspofungin. Tiga target utama dari agen antifungal yakni sel membran,

dinding sel, dan asam nukleat. Nystatin sendiri merupakan salah satu obat yang memiliki efek

samping minimal karena nystatin dapat diabsorpsi oleh saluran pencernaan dan tidak memicu
resistensi fungal. Mekanisme kerja nystatin yakni mampu berikatan dengan ergosterol yang

terdapat pada sel jamur. Ikatan tersebut menyebabkan integritas membran sel jamur rusak

sehingga beberapa bahan intrasel hilang yang mengakibatkan kematian sel jamur. Betadine

kumur juga diberikan pada pasien yang merupakan antiseptik yang berperan dalam menjaga

kesehatan dan kebersihan rongga mulut dengan efek samping iritasi yang jarang terjadi. 2

2. Candidiasis pada pasien HIV

AIDS adalah sekumpulan gejala dan infeksi (sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem

imunitas tubuh manusia akibat infeksi virus HIV. Virusnya sendiri bernama Human

Immunodeficiency Virus (HIV) yaitu virus yang memperlemah imunitas pada tubuh manusia.

Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah

terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan

virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.6.10

Suatu infeksi jamur sangat umum terkait dengan infeksi HIV/AIDS, telah dilaporkan

terdapat hubungan dengan penyakit retroviral akut yang dapat menjadi ciri utama infeksi

HIV/AIDS, tetapi umumnya ditemukan sejak serokonversi fase asimtomatik dan berhubungan

dengan peningkatan risiko untuk perkembangan AIDS. Oral candidiasis telah terbukti menjadi

penanda yang signifikan, tergantung pada jumlah CD4+ dalam perkembangan penyakit HIV. 6.10

Penyakit HIV dimulai dengan infeksi akut yang tidak dapat diatasi sempurna oleh respons

imun adaptif, dan berlanjut menjadi infeksi jaringan limfoid perifer yang kronik dan progresif.

Perjalanan penyakit HIV dapat diikuti dengan memeriksa jumlah virus di plasma dan jumlah sel

T CD4+ dalam darah. Infeksi primer HIV pada fetus dan neonatus terjadi pada situasi sistim
imun imatur, sehingga penjelasan berikut merupakan ilustrasi patogenesis yang khas dapat

diikuti pada orang dewasa. 6

Infeksi primer terjadi bila virion HIV dalam darah, semen, atau cairan tubuh lainnya dari

seseorang masuk ke dalam sel orang lain melalui fusi yang diperantarai oleh reseptor gp120 atau

gp41. Tergantung dari tempat masuknya virus, sel T CD4+ dan monosit di darah, atau sel T

CD4+ dan makrofag di jaringan mukosa merupakan sel yang pertama terkena. Sel dendrit di

epitel tempat masuknya virus akan menangkap virus kemudian bermigrasi ke kelenjar getah

bening. Sel dendrit mengekspresikan protein yang berperan dalam pengikatan envelope HIV,

sehingga sel dendrit berperan besar dalam penyebaran HIV ke jaringan limfoid. Di jaringan

limfoid, sel dendrit dapat menularkan HIV ke sel T CD4+ melalui kontak langsung antar sel.

eberapa hari setelah paparan pertama dengan HIV, replikasi virus dalam jumlah banyak dapat

dideteksi di kelenjar getah bening. Replikasi ini menyebabkan viremia disertai dengan sindrom

HIV akut (gejala dan tanda nonspesifik seperti infeksi virus lainnya). Virus menyebar ke seluruh

tubuh dan menginfeksi sel T subset CD4 atau T helper, makrofag, dan sel dendrit di jaringan

limfoid perifer. Setelah penyebaran infeksi HIV, terjadi respons imun adaptif baik humoral

maupun selular terhadap antigen virus. Respons imun dapat mengontrol sebagian dari infeksi dan

produksi virus, yang menyebabkan berkurangnya viremia dalam 12 minggu setelah paparan

pertama. 6.7

Setelah infeksi akut, terjadilah fase kedua dimana kelenjar getah bening dan limpa

menjadi tempat replikasi HIV dan destruksi sel. Pada tahap ini, sistem imun masih kompeten

mengatasi infeksi mikroba oportunistik dan belum muncul manifestasi klinis infeksi HIV,

sehingga fase ini disebut juga masa laten klinis (clinical latency period). Pada fase ini jumlah

virus rendah dan sebagian besar sel T perifer tidak mengandung HIV. Kendati demikian,
penghancuran sel T CD4+ dalam jaringan limfoid terus berlangsung dan jumlah sel T CD4+

yang bersirkulasi semakin berkurang. Lebih dari 90% sel T yang berjumlah 1012 terdapat

dalam jaringan limfoid, dan HIV diperkirakan menghancurkan 1-2 x 109 sel T CD4+ per

hari. Pada awal penyakit, tubuh dapat menggantikan sel T CD4+ yang hancur dengan yang

baru. Namun setelah beberapa tahun, siklus infeksi virus, kematian sel T, dan infeksi baru

berjalan terus sehingga akhirnya menyebabkan penurunan jumlah sel T CD4+ di jaringan

limfoid dan sirkulasi. 6.7

Pada fase kronik progresif, pasien rentan terhadap infeksi lain, dan respons imun terhadap

infeksi tersebut akan menstimulasi produksi HIV dan destruksi jaringan limfoid. Transkripsi

gen HIV dapat ditingkatkan oleh stimulus yang mengaktivasi sel T, seperti antigen dan

sitokin. Sitokin (misalnya TNF) yang diproduksi sistem imun alamiah sebagai respons

terhadap infeksi mikroba, sangat efektif untuk memacu produksi HIV. Jadi, pada saat sistem

imun berusaha menghancurkan mikroba lain, terjadi pula kerusakan terhadap sistem imun

oleh HIV. Penyakit HIV berjalan terus ke fase akhir dan letal yang disebut AIDS dimana

terjadi destruksi seluruh jaringan limfoid perifer, jumlah sel T CD4+ dalam darah kurang dari

200 sel/mm3, dan viremia HIV meningkat drastis. Pasien AIDS menderita infeksi

oportunistik, neoplasma, kaheksia (HIV wasting syndrome), gagal ginjal (nefropati HIV),

dan degenerasi susunan saraf pusat (ensefalopati HIV). 6.7

Berdasarkan penjelasan sebelumnya dapat disimpulkan bawahwa Infeksi HIV mengarah

pada hilangnya kompetensi imunitas, gambaran yang paling mencolok adalah penurunan sel

T CD4+. Imunosupresi biasanya didahului oleh periode laten secara klinis yang lama.

Selama infeksi fase asimptomatik, jumlah sel T CD4+ masih mendekati normal tetapi fungsi

sel T CD4+ tampaknya terganggu, seperti yang ditunjukkan oleh kegagalan sel T CD4+
berproliferasi dalam respon untuk mengingat antigen, mitogens, dan alloantigen HLA dan

defek produksi sitokin T-helper 1 (Th1), seperti interleukin-2 (IL-2) dan gamma interferon

(IFNˠ).13 Hasil proses patogen ini adalah kerusakan jaringan limfoid, AIDS dapat

didiagnosis. Respon imun terhadap HIV dan patogen lainnya kolaps, dan pasien sangat

rentan terhadap infeksi oportunistik yang disebabkan oleh mikroorganisme yang biasanya

dikendalikan dengan baik oleh imunitas yang diperantarai sel, seperti jamur Candida. 6.7

Jamur Candida adalah organisme komensal dalam mulut dari orang sehat, ada

kemungkinan bahwa mekanisme pertahanan membatasi proliferasi pada status carrier

terganggu selama proses multifase infeksi HIV. Namun, gangguan yang tepat yang

mendukung perkembangan Candida pada permukaan mukosa pada urutan perkembangan

infeksi HIV belum jelas. Meskipun dari data klinis diketahui dengan baik faktor-faktor

predisposisi yang menyebabkan oral candidiasis bahwa keseimbangan antara C. Albicans dan

host melibatkan imunitas yang diperantarai sel yang utuh, populasi sel dan mekanisme yang

terlibat dalam imunitas protektif terhadap mikroorganisme di lokasi mukosa. 6.7

3. Candidiasis pada pasien kanker

Penderita kanker kepala dan leher yang mendapat radioterapi memiliki risiko terjadinya

kandidiasis oral. Terdapat beberapa faktor risiko yang berperan terhadap terjadinya efek

samping radioterapi dalam rongga mulut antara lain adanya keluhan nyeri dalam rongga

mulut sebelum radioterapi, kurang diperhatikannya perawatan kebersihan mulut sebelum,

selama dan setelah radioterapi. Selain itu, faktor-faktor yang berhubungan dengan mukosa itu

sendiri seperti mukositis oral, xerostomia, infeksi bakteri, virus, dan jamur, perubahan

pengecapan, cacat fungsi seperti pada saat makan, minum, menelan dan bicara serta
kekurangan gizi. Faktor risiko tambahan adalah jenis kanker, letak, zat antineoplastik yang

digunakan, dosis, jadwal pemberian zat, daerah radiasi, dan umur pasien. 4

Kandidiasis oral merupakan salah satu bentuk infeksi oportunistik, yaitu infeksi yang

terjadi karena ada kesempatan untuk muncul pada kondisi-kondisi tertentu terutama pada saat

tubuh mengalami penurunan daya tahan tubuh. Lesi kandidiasis oral dapat berupa bercak

putih atau lesi eritema yang terdapat pada mukosa mulut. Pemeriksaan subjektif pada

penderita kandidiasis oral dapat ditemukan keluhan nyeri dan panas dalam rongga mulut,

yang dapat mempengaruhi fungsi makan, minum, dan bicara. Permasalahan dalam

penatalaksanaan penderita kanker terutama selama menerima kemoterapi atau radioterapi

sebagian besar adalah mengalami mukositis oral dan kandidiasis oral akibat penurunan

imunitas seluler rongga mulut. Keadaan ini akan mengakibatkan penundaan dalam

pemberian terapi (kemoterapi atau radioterapi) sesuai dengan rencana yang telah ditentukan

sehingga dapat mempengaruhi perawatan serta meningkatkan morbiditas dan mortalitas. 4

Terlepas dari organ atau sistem yang terkena, pasien kanker yang menjalani pengobatan

antineoplastik, operasi ekstensif, rawat inap lama dengan kateter intravaskular yang

berkepanjangan dan perangkat lain yang mematahkan penghalang alami, merupakan sasaran

empuk kolonisasi dan infeksi Candida tidak hanya di mulut, tetapi juga di bagian manapun

dari kulit dan selaput lendir lainnya. Kandidiasis rongga mulut pada jenis pasien dengan

gangguan kekebalan ini biasanya menyebar melalui aliran darah atau saluran pencernaan

bagian atas ke bagian tubuh lainnya dan menghasilkan infeksi parah yang disebut kandemia,

yang secara signifikan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. 4


Beberapa studi menjelaskan bahwa keberadaan C. albicans di rongga mulut sebagai salah

satu spesies yang paling sering: pada 45-65% anak sehat, 50-65% pasien gigi tiruan, dan 90%

pasien leukemia ; pada populasi normal, kasus pembawa Candida tanpa gejala telah

dilaporkan pada 17%. Ada juga bentuk lain dari kandidiasis dan kandidemia pada pasien

dengan tumor yang berasal dari hematologi, di mana munculnya jamur dan infeksi dikaitkan

dengan keadaan imunosupresi onkologis akibat efek sitotoksik kemoterapi pada kepala dan

leher yange menyebabkan adanya keberadaan mikroorganisme selain jamur. 4

Beberapa penelitian melaporkan hubungan antara keberadaan Candida dan komplikasi

gastrointestinal pada pasien leukemia post kemoterapi, serta tingginya prevalensi OC pada

anak sebagai infeksi umum pada pasien leukemia limfositik akut (LLA). Penulis seperti

Ramla et al mengklaim bahwa agen kemoterapi, seperti kompleks paladium dan cisplatin,

dapat merangsang respirasi seluler epitel mukosa mulut, menyebabkan perubahan besar

dalam pertumbuhan miselium dan mendorong pembentukan pseudohyphae lebih cepat. 4

Ueta et al melaporkan bahwa efek obat antineoplastik pada sel epitel oral memungkinkan

kolonisasi C. albicans dan, secara biologis, peningkatan jumlah proteinase, yang bertanggung

jawab atas kerusakan dan / atau pembengkakan jaringan mulut yang dipengaruhi oleh jamur.

Penulis yang sama menyarankan bahwa, dalam kondisi virulensi tinggi ini, mikroorganisme

ini dapat bertahan di rongga mulut untuk waktu yang lebih lama daripada pada pasien yang

sehat secara sistemik, dan evolusi klinis dari infeksi juga membutuhkan waktu lebih lama

untuk diselesaikan. Namun, efek pengobatan kanker pada virulensi C. albicans masih dalam

penelitian4
Pada pasien kanker yang menjalani terapi antineoplastik, perubahan patogenik, virulen,

dan molekuler tidak begitu terlihat seperti pada kondisi imunologi lainnya, karena

patogenesis OC biasanya sama; namun, Ramla dkk melakukan penelitian pada populasi yang

menjalani kemoterapi untuk waktu yang lama jamur C. albicans menunjukkan bahwa ia

menghasilkan enzim fosfolipase dalam jumlah yang lebih besar, meningkatkan risiko relatif

morbiditas, menunjukkan adanya virulensi yang lebih besar. Bagi Ramla dkk, pasien kanker

lebih banyak dijajah oleh Candida daripada pasien sehat. 4

Infeksi oleh spesies Candida biasanya diproduksi dalam fase miselium, merangsang

sekresi lokal berbagai sitokin proinflamasi dan imunoregulatori oleh sel epitel. Sitokin ini

merangsang kemotaksis dan kekebalan bawaan dengan infiltrasi lokal makrofag, neutrofil,

dan limfosit T, sehingga tingkat rendahnya memberikan kerentanan tinggi terhadap infeksi

mulut oleh Candida4

Hifa adalah bentuk invasif dan patogenik dari Candida. Ini menyebabkan manifestasi

klinis OC dan memiliki protein spesifik yang disebut Hwp-1, yang memediasi adhesi jamur

ke keratinosit epitel. Protein ini membentuk ikatan kovalen yang mengikat ke sel epitel yang

dimediasi oleh adhesins, yang meningkatkan adhesi hingga 80%. Penetrasi mikroorganisme

yang dalam ke dalam epitel dimediasi oleh pembentukan hifa, yang menggunakan

tigmotropisme sebagai mekanisme pemandu. 4

Untuk tumbuh, Candida perlu mendapatkan dan memetabolisme nitrogen, dan ia

memiliki pengatur transkripsi yang mengandung reseptor seng, yang dikenal sebagai faktor

GATA, yang memastikan penggunaan sumber seng yang efisien yang tersedia untuk jamur
secara efisien. Semua ini mengaktifkan ekspresi jalur nitrogen katabolik ketika sumber seng

tidak ada atau terbatas, sebuah fenomena yang dikenal sebagai represi.

Penulis seperti Pemán et al menyatakan bahwa situasi metabolik yang represif ini telah

sangat terdeteksi pada pasien dalam kondisi kritis kanker, sehingga dianggap sebagai

indikator kandidiasis invasif. Dalam kondisi normal, fenomena ini menyebabkan dimorfisme

jamur, pertumbuhan, dan kemampuan untuk menggunakan asam amino serum tetap tidak

berubah. Hal ini menunjukkan pentingnya regulasi nitrogen dalam virulensi C. albicans, yang

selain merupakan jamur patogen paling umum pada manusia, memiliki banyak mekanisme

virulensi yang mendukung kolonisasi dan infeksi pada inang, selain faktor predisposisi

lainnya.4

Setelah diagnosis kandidosis oral dipastikan, lini pertama pengobatan harus bertujuan

untuk menghilangkan atau meringankan penyakit dan/ atau faktor medis yang

berkontribusi terhadap terjadinya candida infeksi pada rongga mulut. Pada

pemeriksaan anamnesis mungkin menemukannya perlu merujuk pasiennya, jika ada

kecurigaan kondisi medis yang bersangkutan.5.8

Terapi antijamur telah berhasil digunakan dalam pengelolaan kandidosis oral.

Sebelum resep apapun agen antijamur, menyarankan pasien untuk berkumur dengan

obat fisiologis larutan garam membantu mengurangi jumlah jamur mulut dan dengan

demikian menenangkan gejala yang terkait. Pengobatan farmakologi oral kandidosis

harus disesuaikan dengan masing-masing pasien sesuai status medis mereka saat ini

dan tingkat keparahan infeksi. Antijamur agen tersedia dalam berbagai bentuk (yaitu
gel, salep, krim, suspensi, tablet hisap, dan tablet) dan dokter gigi harus mengelolanya

untuk memilih formula yang tepat saat menulis resep..5.8

Ada beberapa Agen antijamur yang tersedia untuk pengobatan kandidosis terbagi

dalam tiga kategori utama yaitu poliena (nistatin dan amfoterisin B), penghambat

biosintesis ergosterol azoles (miconazole, clotrimazole, ketoconazole, itraconazole, dan

uconazole), allylaminesthiocarbamates, dan agen yang lebih baru seperti caspofungins.


8.9

Daftar Pustaka

1. Sharma A. Oral candidiasis: An opportunistic infection: A review. International Journal of

Applied Dental Sciences. 2019; 5(1)

2. Astri L. Dewi SRP. PENATALAKSANAAN KASUS KANDIDIASIS

PSEUDOMEMBRAN AKUT PADA DIABETES MELLITUS. Jurnal Ilmiah dan

Teknologi Kedokteran Gigi FKG UPDM. 2019; 15(2)

3. Singh A, Verma R, Murari A, Agrawal A. Oral candidasis: an overview. J. Oral

Maxillofac. Pathol. 2014; 18(1)

4. Cobos MR. Molina MS. Oral pathogen Candida in patients under antineoplastic therapies.

Revista Facultad de Odontología. 2018;30(1)

5. Anggarwal N, Bhateja S. Arora G. Yasmin T. Candidiasis- The Most Common Fungal

Infection of Oral Cavity. Biomedical Journal of Scientific & Technical Research . 2018;

8(3)

6. Lestari PE. INFEKSI JAMUR CANDIDA PADA PENDERITA HIV/AIDS. Jurnal

Kedokteran Gigi Stomagtognatic. 2013; 10(1)


7. Heron SE. Elahi S. Hiv infection and Compromised Mucosal immunity: Oral

Manifestations and Systemic inflammation. Frontiers in Immunology. 2017; 8(241)

8. Patil S. Rao RS. Majumdar B. Aril S. Clinical Appearance of Oral Candida Infection and

Therapeutic Strategies. Frontiers in Immunology. 2015. 6(1391).

9. Cuesta CG. Perez MGC. Bagan JV. Current treatment of oral candidiasis: A literature

review. J Clin Exp Dent. 2014;6(5)

10. Vila T. Sultan AS. Jauregui DM. Rizk MAJ. Oral Candidiasis: A Disease of Opportunity.

Journal of Fungi. 2020;6(15)

Anda mungkin juga menyukai