Disusun Oleh:
Muhammad Rafif Rizqullah
NIM
200600107 (A)
Kelompok 5
Fasilitator:
Tri Widyawati, dr., M.Si, Ph.D
Skenario:
Seorang pasien laki-laki, berumur 55 tahun, perokok berat datang berobat ke dokter gigi
dengan keluhan ada luka yang tidak sembuh-sembuh pada pinggir kanan lidah sejak 2 tahun
yang lalu. Dari hasil anamnese menyatakan luka tersebut telah diobati dengan salep antibiotik.
Pasien merokok sejak 15 tahun laludengan mengonsumsi 2 bungkus kretek per hari. Hasil
pemeriksaan intra oral menunjukkan adanya ulkus berdiameter 2x2 cm, merah, tepi meninggi,
dan keras. Permukaan ulkus kotor dan bau. Ulkus tersebut tidak sakit kecuali bila tergigit.
Pemeriksaan gigi menunjukkan gigi 16 elongasi hampir ke permukaan alveolus regio 46. Gigi 15
karies dengan permukaan gigi tajam dan kasar. Gigi 46, 47 edentulous. Hygiene mulut kotor
diikuti dengan gingivitis baik pada gigi rahang atas maupun rahang bawah. Pada pemeriksaan
ekstra oral, menunjukkan pembengkakan kelenjar getah bening daerah submandibularris kanan
berdiameter 3 cm, dapat digerakkan, dan tidak sakit. Selanjutnya pasien dirujuk ke bagian
Patologi Anatomi FK USU untuk dilakukan scapping pada ulkus lidah dan aspirasi jarum halus
pada kelenjar getah bening submandibularis kanan. Diagnosa histopatologi berupa squamous
carcinoma pada lidah dan metastase lokal pada kelenjar getah bening.
Learning Issue:
Patologi Anatomi
Farmakologi
PEMBAHASAN:
1. Jelaskan keadaan patofisiologis iritasi kronis yang menyebabkan luka pada bagian
pinggir lidah pada kasus di atas. (PA)
Patofisiologi penyebab timbulnya luka pada bagian pinggir lidah pada pasien tersebut
diantaranya luka yang sering tergigit, tidak bagusnya oral higine pasien dan luka tidak
mendapatkan perawatan yang tepat . Lesi luka yang melibatkan rongga mulut biasanya dapat
menyebabkan pembentukan permukaan ulserasi. Cedera mungkin terjadi akibat peristiwa seperti
secara tidak sengaja menggigit diri sendiri saat berbicara, tidur, atau sekunder untuk
pengunyahan. Bentuk lain dari trauma mekanis, serta stimulus kimia, listrik, atau termal,
mungkin juga terlibat sebagai tambahan, retak, karies, malposed, atau gigi cacat.1
Berdasarkan kasus diketahui pemeriksaan gigi menunjukkan gigi 16 elongasi hampir ke
permukaan alveolus regio 46. Gigi 15 karies dengan permukaan gigi tajam dan kasar. Gigi 46, 47
edentulous. Luka pada pinggir lidah kemungkinan terjadi karena tergigit oleh gigi 16 yang
elongasi hampir kepermukaan alveolus gigi 46. Luka yang tidak mendapatkan perawatan yang
baik dan berada di lokasi yang sering tergigit membuat luka pada pinggiran lidah tidak sembuh
sembuh. Oral higine yang buruk memperburuk keadaan luka sehingga menjadikan ulkus semakin
membesar, dan berbau amis.1
4. Jelaskan hubungan antara kondisi gigi 16 yang elongasi, gigi 15 permukaan kasar, oral
hygiene buruk, 46 edentulous pada kasus di atas. (BO)
Terdapat ulkus pada pinggir lidah kanan pasien yang berdiameter 2x2 cm, merah, tepi
meninggi, dan keras. Ulkus traumatik adalah salah satu penyakit mukosa yang paling umum lesi
dalam pengobatan oral. Cedera lesi pada rongga mulut sering membentuk permukaan ulserasi.
Cedera dapat terjadi akibat peristiwa seperti secara tidak sengaja menggigit diri sendiri saat
berbicara, tidur, atau sekunder untuk mastikasi.
Beberapa diagnosis banding ulkus traumatikus adalah: stomatitis aftosa rekuren, karsinoma
sel skuamosa, dan tukak tuberkulosis. Diagnosis tukak traumatik berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan klinis. Apabila ulkus masih persisten setelah 2 minggu atau adanya manifestasi
klinis keganasan pada ulkus, maka harus dilakukan biopsi yang diperlukan untuk menyingkirkan
keganasan. Ulkus pada pasien adalah chronic traumatic ulcer, ada selama 2 tahun, dan hasil
histopatologi adanya karsinoma sel skuamosa.5
Ulkus kronik pada mulut pasien muncul akibat trauma terus-menerus pada lidah. Di mana
permukaan gigi 15 yang karies tajam dan gigi 16 elongasi hampir ke permukaan alveolus regio
46, menyebabkan luka pada lidah. Gigi 46 dan 47 yang edentulous mengakibatkan gusi rentan
atau tidak terlindungi. Luka yang timbul tidak terhindarkan karena aktivitas makan (mengunyah)
dan berbicara. Kondisi ini diperparah dengan oral-hygiene buruk. Oral hygiene yang buruk
menurunkan daya tahan tubuh dan rentan terhadap infeksi. Hal ini berkaitan dengan defisiensi
imun yang merupakan faktor risiko kanker mulut. Respon imun yang rusak, seperti yang terlihat
pada individu yang terinfeksi human immunodeficiency virus (HIV), dapat menjadi predisposisi
kanker. Limfoma, sebagian besar limfoma sel B non-Hodgkin pada orang yang terinfeksi HIV,
atau keadaan imunosupresi lainnya, umumnya terkait dengan virus Epstein-Barr dan dapat terjadi
di kepala dan leher. Gingivitis yang dialami pasien juga disebabkan oleh oral hygiene yang
buruk, pembentukan plak akibat sisa-sisa makanan yang menempel di permukaan gigi dan
bercampur dengan bakteri di mulut.6
6. Jelaskan peran exfoliative cytology, biopsy, fine needle aspiration untuk mendiagnosa
kasus di atas (disertai gambar). (PA)
Exfoliative Cytology
Pemeriksaan sitologi eksfoliatif misalnya cairan efusi pleura dan ascites yang dapat
mendeteksi adanya sel tumor ganas atau suatu proses peradangan oleh Tuberculosa atau
peradangan lain. Sitologi eksfoliatif lainnya adalah pemeriksaan pap smear adalah pemeriksaan
dari apusan cervix uteri untuk mendeteksi adanya keganasan servik. Peran sitologi ekspoliatif
pada kasus diatas adalah mendeteksi adanya ulkus pada intra oral pasien dengan cara melakukan
scraping pada ulkus lidah. Pengambilan sampel mukosa mulut dengan cara scraping atau
brushing akan mengambil sel sampai bagian parabasal.
Biopsy
Biopsi adalah pengambilan Sebagian jaringan yang patologi atau abnormal dan juga
mengambil sebagian batas yang normal. Dari hasil pemeriksaan exfoliative cytology, ditemukan
unsur-unsur keganasan pada lesi, sehingga Manajemen yang tepat untuk pasien dengan lesi
mulut ganas atau pra ganas dimulai dengan diagnosis yang akurat. Standar yang paling baik saat
ini untuk menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan histopatologis dari biopsi jaringan lesi yang
dicurigai. Tanpa biopsi, banyak lesi yang tidak bisa ditentukan apakah dia alami dysplasia,
prekanker, ataupun kanker.8
Fine Needle Aspiration
Fine Needle Aspiration Biopsy adalah salah satu pemeriksaan biopsi sitologi. Indikasi
mendasar pemeriksaan FNAB adalah massa atau lesi yang teraba atau terlihat oleh metode
pencitraan radiologi dan lesi yang dalam dengan akses yang sulit. Pada regio kepala dan leher
FNAB banyak digunakan untuk biopsi di tiroid, kelenjar getah bening, kelenjar saliva mayor dan
neoplasma lainnya. FNAB idealnya dilakukan pada lesi yang berisi cairan. Prosedurnya adalah
untuk mendapatkan sel-sel dan fragmen jaringan melalui aspirasi jarum yang berukuran 22 atau
25 gauge ke dalam jaringan. Metodenya cepat, mudah, aman, hemat biaya, dan prosedurnya
sederhana serta hasilnya cepat tersedia merupakan keunggulan FNAB dan menjadikan FNAB ini
populer. Kelemahan dari pemeriksaan FNAB adalah spesimen sitologi yang didapatkan tidak
memberikan jumlah yang cukup karena jarumnya berukuran kecil, dan sulitnya menentukan
lokasi yang akurat dari lesi serta tidak bisa menentukan diagnosis histopatologis.9
Peran FNAB pada kasus tersebut adalah dapat membantu kita mengetahui apakah benjolan
yang ada di leher pasien tersebut merupakan keadaan radang atau suatu metastase. Dan ternyata
setelah diperiksa, benjolan tersebut merupakan suatu metastase lokal pada kelenjar getah bening.
Dikatakan metastase karena ditemukannya sel-sel squamous selain sel limfosit pada kelenjar
getah bening. Hasil pemeriksaan FNAB ini membantu klinisi dalam menegakkan diagnosa untuk
kelanjutan terapi.
7. Menurut saudara mengapa luka pada lidah tersebut tidak sembuh-sembuh meskipun
telah diolesi salep antibiotic. (FK)
8. Jelaskan pengertian tentang terapi rasional dan jenis-jenis cara pemberian obat (CPO)
serta keuntungan dan kerugiannya. (FK)
Penggunaan obat dikatakan rasional menurut WHO apabila pasien menerima obat yang
tepat untuk kebutuhan klinis, dalam dosis yang memenuhi kebutuhan untuk jangka waktu yang
cukup, dan dengan biaya yang terjangkau baik untuk individu maupun masyarakat. Konsep
tersebut berlaku sejak pertama pasien datang kepada tenaga kesehatan, yang meliputi ketepatan
penilaian kondisi pasien, tepat diagnosis, tepat indikasi, tepat jenis obat, tepat dosis, tepat cara
dan lama pemberian, tepat informasi, dengan memperhatikan keterjangkauan harga, kepatuhan
pasien, dan waspada efek samping. Pasien berhak mempertanyakan hal-hal itu kepada tenaga
kesehatan.10
Jalur pemberian obat turut menetukan kecepatan dan kelengkapan resorpsi obat. Tergantung
dari efek yang diinginkan, yaitu efek sistemik (di seluruh tubuh) atau efek local (setempat)
keadaan pasien dan sifat-sifat fisiko-kimiawi obat, dapat dipilih dari banyak cara untuk
memberikan obat.
Terdapat 2 rute pemberian obat yang utama, enteral dan parenteral. Dan ada rute pemberian obat
lainnya.11
A. Enteral
Enteral adalah rute pemberian obat yang nantinya akan melalui saluran cerna.
1. Oral
Keuntungan:12
- Sangat menyenangkan
- Biasanya harganya terjangkau
- Aman, tidak merusak pertahanan kulit
- Pemberian biasanya tidak menyebabkan stress
Kerugian:
- Sulit bagi yang enggan menelan obat
- Rasa cenderung pahit
- Proses cenderung lama
2. Sublingual
Penempatan di bawah lidah memungkinkan obat tersebut berdifusi kedalam anyaman
kapiler dan karena itu secara langsung masuk ke dalam sirkulasi sistemik.
Keuntungan:12
- Proses absorpsi cepat, langsung pada vena mukosa
- Bentuk kecil tidak ribet diletakkan pada bawah lidah atau pipi
Kerugian:
- Pemakaian bisanya hanya untuk seseorang yang pingsan
- Dapat merangsang mukosa mulut
3. Rektal
50% aliran darah dari bagian rektum memintas sirkulasi portal; jadi, biotransformasi obat
oleh hati dikurangi. Rute sublingual dan rektal mempunyai keuntungan tambahan, yaitu
mencegah penghancuran obat oleh enzim usus atau pH rendah di dalam lambung. Rute rektal
tersebut juga berguna jika obat menginduksi muntah ketika diberikan secara oral atau jika
penderita sering muntah-muntah. Bentuk sediaan obat untuk pemberian rektal umumnya adalah
suppositoria dan ovula.11
Keuntungan:12
- Terhindar dari rasa pahit
- Absorpsi cepat karena langsung memasuki vena mukosa
- Cepat melebur pada suhu tubuh
Kerugian:
- Pemakaian kurang menyenangkan
- Sediaan mudah tengik dan harus di jaga kesterilannya dari mikroorganisme
B. Parental
Penggunaan parenteral digunakan untuk obat yang absorbsinya buruk melalui saluran cerna,
dan untuk obat seperti insulin yang tidak stabil dalam saluran cerna. Pemberian parenteral juga
digunakan untuk pengobatan pasien yang tidak sadar dan dalam keadaan yang memerlukan kerja
obat yang cepat. Pemberian parenteral memberikan kontrol paling baik terhadap dosis yang
sesungguhnya dimasukkan kedalam tubuh.11
1. Intravena (IV)
Suntikan intravena adalah cara pemberian obat parenteral yan sering dilakukan. Untuk obat
yang tidak diabsorbsi secara oral, sering tidak ada pilihan. Dengan pemberian IV, obat
menghindari saluran cerna dan oleh karena itu menghindari metabolisme first pass oleh hati.11
Keuntungan:12
- Efek kerja cepat
Kerugian:
- Terbatas pada obat dengan daya larut tinggi
- Distribusi obat mungkin dihambat oleh sirkulasi darah yang menurun
2. Intramuskular (IM)
Keuntungan:12
- Nyeri akibat iritasi kurang
- Dapat diberikan dalam jumlah yang besar dari pemberian SC
- Obat diabsorpsi dengan cepat
Kerugian:
- Merusak barier kulit
- Dapat menyebabkan kecemasan
3. Subkutan
Suntikan subkutan mengurangi resiko yang berhubungan dengan suntikan intravaskular.
Keuntungan:12
- Kerja obat lebih cepat dari pemberian oral
Kerugian:
- Harus menggunakan teknik steril karena merusak barier kulit
- Diberikan hanya dalam jumlah kecil
- Lebih lambat dari pemberian intaramuscular
- Lebih mahal dari obat oral, beberapa obat dapat mengiritasi jaringan kulit dan menyebabkan
nyeri
- Dapat menimbulkan kecemasan
C. Lain-lain
1. Inhalasi
Inhalasi memberikan pengiriman obat yang cepat melewati permukaan luas dari saluran
nafas dan epitel paru-paru, yang menghasilkan efek hampir sama dengan efek yang dihasilkan
oleh pemberian obat secara intravena.11
Keuntungan:12
- Pemberian obat melalui saluran pernapasan
- Obat dapat diberikan pada pasien yang tidak sadar
Kerugian:
- Obat dimaksudkan pada efek setempat
- Menghasilkan efek sistemik
- Hanya digunakan untuk saluran pernapasan
2. Intranasal
Desmopressin diberikan secara intranasal pada pengobatan diabetes insipidus; kalsitonin
insipidus; kalsitonin salmon, suatu hormon peptida yang digunakan dalam pengobtana
osteoporosis, tersedia dalam bentuk semprot hidung obat narkotik kokain, biasanya digunakan
dengan cara mengisap.11
3. Intratekal/intraventrikular
Kadang-kadang perlu untuk memberikan obat-obat secara langsung ke dalam cairan
serebrospinal, seperti metotreksat pada leukemia limfostik akut.11
4. Topikal
Pemberian secara topikal digunakan bila suatu efek lokal obat diinginkan untuk pengobatan
Keuntungan:12
- Memberikan efek local
- Efek samping sedikit
Kerugian:
- Mungkin kotor dan dapat mengotori pakaian
- Cepat memasuki tubuh melalui abrasi dan efek sistematik
5. Intradermal
Cara pemberian obat ini paling sering digunakan untuk pengiriman obat secara lambat,
seperti obat antiangina, nitrogliserin.11
Keuntungan:12
- Absorpsi lambat
- Digunakan untuk melihat reaksi alergi
Kerugian:
- Jumlah obat yang digunakan harus kecil
- Merusak barier kulit
DAFTAR PUSTAKA
1. Apriasari Ml. The management of chronic traumatic ulcer in oral cavity. Dental Journal
2012; 45(2): 68-72
2. Budhy TI. Mengapa Terjadi Kanker. Surabaya: Airlangga University Press, 2019: 6-33.
3. Siagian KV. Kehilangan sebagian gigi pada rongga mulut. J e-Clinic 2016; 4(1).
4. Moningka M. Perkembangan terapi kanker terkait senyawa tripenol, p53, dan caspase 3. J e-
Biomedik 2019; 7(1): 37-41.
5. https://www.alodokter.com/radang-gusi#:~:text=Penyebab%20Radang%20Gusi,bercampur
%20dengan%20bakteri%20di%20mulut.
6. https://www.indianjcancer.com/article.asp?issn=0019-
509X;year=2006;volume=43;issue=2;spage=60;epage=66;aulast=Mehrotra
7. Divya U. Evaluation of immunomorphological patterns of cervical lymph nodes in oral
squamous cell carcinoma. J of Oral and Maxillofacial Pathology May-August 2020; 24(2):
285-292.
8. Noviani N. Nurilawati V. Bahan Ajar Keperawatan Gigi. Farmakologi. Pusat Pendidikan
Sumber Daya Manusia Kesehatan. Jakarta; 2017
9. Damanhuri RY, Widiastuti MG, dkk. Kesalahan diagnosis pada pemeriksaan aspirasi jarum
halus. MKGK (Majalah Kedokteran Gigi Klinik) (Clinical Dental Journal) UGM. April
2017; 3(1): 26 – 32.
10. Utami M. Inilah Penggunaan Obat Rasional yang Harus Dipahami Masyarakat. 29 Maret
2018. http://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20180329/3525429/inilah-penggunaan-
obat-rasional-yang-harus-dipahami-masyarakat/ (18 September 2020).
11. Noviani N, Nurilawati V. Bahan Ajar Keperawatan Gigi Farmakologi. 1st ed. Jakarta:
Kemenkes Ri, 2017: 14-19.
12. Nastity, Gemy. Farmakologi. Yogyakarta: Cakrawala Publishing, 2009: 46.