Anda di halaman 1dari 49

Tinjauan Kimia

Obat Sistem Gastrointestinal

Nur Syamsi Dhuha, S.Farm., M.Si


Jurusan Farmasi
UIN Alauddin Makassar
2019
DAFTAR ISI

VISI MISI PROGRAM STUDI FARMASI ........................................................... 2


Bagian 1 TINJAUAN KIMIA OBAT PENYAKIT GASTRO ESOPHAGEAL
REFLUX DESEASE (GERD) ................................................................ 3
Bagian 2 TINJAUAN KIMIA MEDISINAL PENGOBATAN DIARE ................ 7
Bagian 3 TINJAUAN KIMIA SENNA ALATA SEBAGAI LAKSATIF .............. 12
Bagian 4 TINJAUAN KIMIA MEDISINAL OBAT ANTI-EMETIK ................. 20
Bagian 5 TINJAUAN KIMIA OBAT PEPTIC ULCER DESEASE (PUD) ......... 26
Bagian 6 TINJAUAN KIMIA OBAT PENYAKIT VIRAL HEPATITIS (A, B) 33
Bagian 7 TINJAUAN KIMIA OBAT GASTRO INTESTINAL INFECTION....... 42
Bagian 8 TINJAUAN KIMIA OBAT INTESTINAL BOWEL SYNDROME (IBL)
............................................................................................................. 43
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 48

1
VISI MISI PROGRAM STUDI FARMASI

Visi Program Studi Farmasi FKIK UIN Alauddin Makassar

“Pusat Pencerahan dan Pengembangan Ilmu Farmasi berbasis Peradaban


Islam yang Berdaya Saing Tinggi diTingkat Internasional pada Tahun 2039”

Misi Program Studi Farmasi FKIK UIN Alauddin Makassar

1. Menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada


masyarakat yang merefleksikan Ilmu Farmasi berbasis peradaban Islam;
merupakan penjabaran visi dalam upaya mewujudkan Program Studi farmasi
sebagai pusat pencerahan bagi sarjana farmasi yang berbasis peradaban Islam.
2. Menciptakan atmosfir yang kondusif bagi pengembangan Ilmu Farmasi
yang unggul dan bermutu;
merupakan penjabaran visi terkait upaya menjadikan Program Studi farmasi
sebagai pusat pengembangan ilmu farmasi dalam mewujudkan integrasi
keilmuan dan spiritualitas.
3. Mewujudkan Program Studi Farmasi yang mandiri, bertatakelola baik,
dan berdaya saing tinggi;
merupakan penjabaran visi terkait upaya menjadikan Program Studi farmasi
yang berdaya saing di tingkat nasional.
4. Menjalin kerjasama dalam bidang kefarmasian sesuai kebutuhan
masyarakat kini dan di masa datang;
merupakan penjabaran visi terkait upaya mewujudkan pengembangan
keterampilan kefarmasian yang unggul dan berdaya saing

2
Bagian 1
TINJAUAN KIMIA OBAT PENYAKIT GASTRO ESOPHAGEAL REFLUX
DESEASE (GERD)

Gastro Esophageal Reflux Desease (GERD) adalah gejala yang tidak


menyenangkan dan cukup mengganggu kualitas hidup seseorang, atau cedera, atau
komplikasi yang dihasilkan dari aliran balik isi lambung ke kerongkongan dan/atau
saluran pernafasan (World Gastroenterology, 2015). Salah satu alternatif dalam
pengobatan GERD adalah penghentian stimulasi asam yang di mediasi oleh
reseptor dengan menggunakan inhibitor pompa asam (Proton Pump Inhibitor/PPI).
Penghambat enzim H+, K+, ATP-ase, contoh: omeprazole, esomeprazole,
lansoprazole, pantoprazole, dan rabeprazole, (lihat tabel 1.a. berikut) (Siswandono,
2016).
Struktur Umum:

Tabel 1.a. Struktur senyawa penghambat enzim H+, K+, -ATP-ase


R1 R2 R3 R4 Nama Obat
OCH3 CH3 OCH3 CH3 : Omeprazol
H CH3 OCH2CF3 H : Lansoprazol
OCH2F3 OCH3 OCH3 H : Pantprazol
H CH3 OCH2 CH2 CH2 CH3 H Raberprazol
Sifat farmakokinetik beberapa senyawa penghambat enzim H+, K+, ATP-ase
dapat dilihat pada tabel 1.b.:

3
Tabel 1.b. Sifat farmakokinetik beberapa senyawa penghambat enzim H+, K+, ATP-
ase
Nama Obat Dosis Ketersediaan Pengikatan Waktu Ekskresi
Ekivalen Hayati Oral Protein Paro Urin (%)
(%) (%) (Jam)
Omperazol 20 30-40 95 0,7 77
Esomeprazol 10-40 64 97 0,9 80
Lansoprazol 30 80 97 1,2 33
Pantoprazol 40 77 98 1,2 71
Raberprazol 10 52 96 1,0 90
1. Omeprazol (Dudencer, Inhipump, Losec, Morecon, Onic), adalah
benzimidazole yang sangat spesifik, dapat mengurangi produksi asam
lambung melalui mekanisme krja yang sangat spesifik, yaitu menghambat
enzim H+, K+, ATP-ase (pompa proton) di sel parietal, yang berperan pada
tahap akhir pembentukan asam lambung.
Mekanisme reaksi omeprazole dengan gugus SH sistein dari enzim H+, K+,
ATP-ase dapat dilihat pada gambar 1.a Piridinium sulfenamida mengikat
gugus SH sistein dari enzim H+, K+, ATP-ase melalui ikatan kovalen, diikuti
dengan perubahan struktur enzim, sehingga menyebabkan inaktivasi fungsi
pompa proton.
Omeprazol digunakan untuk pengobatan tukak lambung dan usus, serta
tidak menimbulkan efek pada reseptor asetilkolin dan histamin. Awal kerja
cepat ±1 jam, dengan masa kerja cukup Panjang (di atas 72 jam) dan
memerlukan waktu pengobatan yang relative lebih pendek dibanding obat
antisekresi yang lain. Absorpsi obat dalam saluran cerna cepat dan
bervariasi, ketersediaan hayatinya ±30-40%, kadar darah maksimal dicapai
±1-2 jam setelah pemberian secara oral, pengikatan protein plasma 95%.
Diekskresikan terutama melalui urin (77%), waktu paro eliminasi 0,5-3 jam.
Dosis: 20 mg 1 dd, selama 1-2 bulan.
2. Esomeprazol (Nexium), adalah bentuk enantiomer S dari Omeprazol yang
mempunyai ketersediaan hayati lebih baik dibanding omeprazole

4
(enantiomer R). Mekanisme kerja, sifat dan kegunaan mirip dengan
omeprazole. Awal kerja cepat ±1 jam, dengan masa kerja cukup Panjang (di
atas 72 jam). Absorpsi obat dalam saluran cerna cepat dan adanya makanan
akan memperlambat dan menurunkan absorpsi senyawa. Ketersediaan
hayatinya ±90%, kadar darah maksimal dicapai ±1-2 jam setelah pemberian
secara oral, pengikatan protein plasma 97%. Diekskresikan terutama
melalui urin (80%), waktu paro eliminasi 1,3 jam. Dosis: 10-40 mg 1 dd.
3. Lansoprazol (Prosogan), mekanisme kerja, sifat dan kegunaan mirip
dengan omeprazole. Awal kerja cepat ±1-3 jam, dengan masa kerja cukup
Panjang (>1hari). Absorpsi obat dalam saluran cerna cepat dan adanya
makanan akan memperlambat dan menurunkan absorpsi senyawa (±50%).
Ketersediaan hayatinya ≥80%, kadar darah maksimal dicapai ±1,5-2 jam
setelah pemberian secara oral, pengikatan protein plasma 97%.
Diekskresikan terutama melalui feses, waktu paro eliminasi 1-2 jam. Dosis:
30 mg 1 dd, untuk tukak lambung dan usus, pengobatan selama 1 bulan.
4. Pantoprazol (Pantozol), mekanisme kerja, sifat dan kegunaan mirip dengan
omeprazole. Awal kerja cepat dengan masa kerja cukup Panjang (>1 hari).
Absorpsi obat dalam saluran cerna cepat, ketersediaan hayatinya ±77%, dan
kadar darah maksimal dicapai ±2-2,5 jam setelah pemberian secara oral.
Pengikatan protein plasma 98%. Diekskresikan terutama melalui urin
(90%), waktu paro eliminasi ±1-2 jam. Dosis: 10 mg 1 dd, untuk tukak
lambung dan usus, pengobatan selama 6 minggu.

5
Gambar. 1.a. Mekanisme reaksi omperazol dengan gugus SH sistein dari enzim
H+, K+, ATP-ase.

6
Bagian 2
TINJAUAN KIMIA MEDISINAL PENGOBATAN DIARE

Salah satu penyebab penyakit diare adalah bakteri Escherichia coli,


Salmonella, Shigella, Vibrio, Clostridia perfingens, dan Staphylococcus. Untuk
menangani penyebab diare tersebut biasanya digunakan antibiotika turunan
amfenikol. Dalam tinjauan kimia medisinal dibawah ini akan membahas lebih jauh
tentang struktur turunan amfenikol yang dihubungkan dengan aktivitas anti-
bakterinya (Siswandono, 2016).
Turunan Amfenikol
Turunan amfenikol adalah antibiotik yang terdiri dari kloramfenikol dan senyawa
sintetik analognya. Merupakan senyawa bakteriostatik dengan spektrum luas,
bersifat mudah larut dalam lemak sehingga mudah menembus sel bakteri.
Mekanisme kerja
Mekanisme kerja antibakteri turunan amfenikol adalah dengan menghambat
biosintesis protein pada siklus pemanjangan rantai asam amino, yaitu dengan
menghambat pembentukan ikatan peptida. Setelah menembus sel bakteri, turunan
amfenikol mengikat subunit ribosom 50-S secara terpulihkan, menghambat enzim
peptidyl taransferase sehingga mencegah penambahan asam amino pada rantai
peptide. Akibatnya terjadi hambatan pembentukan ikatan peptide dan biosintetis
protein, dan hal ini terjadi selama antibiotika tetap terikat oleh ribosom. Dengan
kata lain turunan amfenikol menghambat pemanjangan rantai peptide dan
pergerakan ribosom sepanjang mRNA. Penghambatan ini bersifat stereospesifik,
hanya isomer D-(-)treo yang aktif.
Turunan amfenikol juga menghambat sintesis protein mitokondria mamalia, karena
ada persamaan antara ribosom 70-S bakteri dan mamalia.

7
Struktur umum turunan amfenikol dapat dilihat pada Tabel 4.11.

Hubungan struktur dan aktivitas


a. Modifikasi pada cincin benzen:
1) P-nitrobenzen dapat diganti dengan bifenil, 4’-brombifenil ata 4’-metil
bifenil tanpa kehilangan aktivitas antibakteri secara bermakna;
2) Penggantian gugus fenil dengan gugus aromatik atau alisiklik lain,
seperti sikloheksil, furil, naftil, priil, kuinolil dan tienil, menghilangkan
aktivitas. Hanya turunan nitro tienil yang aktif sebagai antibakteri,
meskipun ativitasnya lebih rendah dibanding kloramfenikol;
3) Penggantian gugus nitro dengan gugus penarik electron kuat, seperti
asetil (setofenikol) atau metilsulfonil (tiamfenikol), senyawa tetap aktif
sebagai antibakteri. Penggantian dengan substituent lain, seperti CNm
CONH2, halogen, NH2, NHR, NHCH2R, N(CH3)2, OH, SO2R, SO2NHR
atau gugus heterosiklik, menghilangkan aktivitas karena terjadi
perubahan keelektronegatifan, volume molekul dan system tipe p-
kuinoid;
4) Pemindahan gugus nitro ke posisi orto atau meta menurunkan aktivitas
antibakteri.
b. Rantai samping asil sangat penting untuk aktivitas antibakteri, meskipun
demikian pada rantai samping tersebut dapat dilakukan banyak substitusi.

8
Peningkatan ukuran rantai menyebabkan penurunan aktivitas. Substitusi
gugus dikloroasetil dengan gugus asidoasetil (azidamfenikol)
menghasilkan senyawa yang tetap aktif sebagai antibakteri.
c. Stereokimia sangat berperan untuk aktivitas antibakteri. Karena
kloramfenikol mempunyai dua pusat kiral, maka dapat membentuk empat
isomer, yaitu (-)treo, (+)treo, (-)eritro, (+)eritro. Dari keempat isomer
tersebut yang aktif sebagai antibakteri hanyalah isomer D-(-)tero.
Stereokimia kloramfenikol dapat dijelaskan dalam gambar gambar berikut.

d. Penggantian dua gugus hidroksil, perluasan atau pemendekan gugus


CH2OH ujung dan substitusi atom H pada C-2, menghilangkan aktivitas
antibakteri.
e. Penggantian atom dikloro dengan dibromo menurunkan kekuatan
antibakteri, sedang penggantian dengan gugus CF3 dapat meningkatkan
aktivitas (1,7 kali) terhadap E.coli
Contoh:
1. Kloramfenikol (Chloramex, Chloromycetin, Colain, Fenicol,
Kemicetine, Neophenicol, Paraxin), adalah antibiotic yang bersifat
bakteriostatik dan mempunyai spectrum luas. Merupakan obat pilihan
untuk pengobatan demam tifoid akut yang disebabkan oleh Salmonella
sp. Kloramfenikol pertama kali diisolasi dari Streptomyces venezuelae,
sekarang telah dapat dibuat melalui sintesis total, yang metodanya
relative lebih sederhana dan biayanya lebih murah dibanding cara

9
ekstraksi media fermentasi. Kloramfenikol efektif terhadap riketsia dan
konjungtivitas akut yang disebabkan oleh mikroorganisme, termasuk
Pseudomonas sp. Kecuali Pseudomonas aeruginosa. Senyawa juga
efektif untuk pengobatan infeksi berat yang disebabkan oleh bakteri
Gram-positif dan Gram-negatif, seperti Bacteroides fragilis,
Haemophylus influenza, Neisseria meningitides, dan Streptococcus
pneumonia, yang telah kebal terhadap turunan penisilin. Penggunaan
kloramfenikol tidak dianjurkan untuk pengobatan infeksi pada saluran
seni, karena hanya 5-10% bentuk tak terkonjugasinya yang
diekskresiakn melalui urin. Efek samping yang ditimbulkan
kloramfenikol antara lain adalah depresi sumsum tulang belakang, yang
menimbulkan kelainan darah yang serius, seperti anemia aplastic,
anemia hipoblastik, granulositopenia dan trombositopenia. Selain itu,
obat juga menyebabkan gangguan saluran cerna, neurotoksik,
suprainfeksi, dan reaksi hipersensitivitas. Oleh karena itu,
kloramfenikol tidak boleh digunakan untuk pengobatan infeksi yang
bukan indikasinya, seperti influenza, infeksi kerongkongan atau untuk
pencegahan infeksi. Pada bayi yang baru lahir premature atau neonatal,
kloramfenikol dapat menimbulkan toksisitas yang fatal yaitu sindrom
bayi abu-abu. Sindrom ini disebabkan oleh terbatasnya kemampuan bayi
untuk konjugasi obat sehingga ekskresi melalui ginjal menurun dan obat
akan ditimbun di jaringan. Absorpsi obat melalui saluran cerna cukup
baik (75090%), kadar plasma tertinggi dicapai dalam 2-3 jam. Waktu
paro kloramfenikol pada orang dewasa ±3 jam, sedang pada bayi di
bawah 1 bulan 12-24 jam. Dosis oral atau I.V: 50-100 mg/KgBb per
hari, dalam dosis terbagi 3-4 kali.
Kloramfenikol mempunyai rasa sangat pahit, untuk pemakaian oral pada
anak-anak biasanya digunakan bentuk esternya, yaitu kloramfenikol
palmitat (Lanacetine, Pharocetin), yang disuspensikan dengan
pembawa air. Dalam saluran cerna, ester terhidrolisis secara perlahan-
lahan melepaskan kloramfenikol aktif. Untuk pemakaian parenteral

10
digunakan bentuk garam yang mudah larut dalam air, yaitu
kloramfenikol sodium suksinat.
2. Tiamfenikol (Anicol, Kalticol, Lanacol, Nilacol, Thiamycin, Thianicol,
Tiacin, Thiaven, Urfamycin), adalah antibiotic yang brsifat
bakteriostatik dan mempunyai spectrum luas seperti kloramfenikol.
Tiamfenikol merupakan obat pilihan untuk pengobatan demam tifoid
(enteric) dan paratipoid akut yang disebabkan oleh Salmonella sp.
Tiamfenikol diabsorpsi cukup baik dalam saluran cerna, mudah terdifusi
dalam cairan serebrospinal dan mucus bronkial. Sebagian besar obat
tidak dimetabolisis di tubuh tetapi diekskresikan dalam bentuk tak
berubah melalui urin. Tiamfenikol efektif untuk pengobatan infeksi
meningitis, infeksi pada saluran nafas, dan saluran urogenital. Absorpsi
obat melalui saluran cerna cukup baik (50-70%), dengan waktu paro
1,6-4,2 jam. Dosis oral: 2-3- mg?KgBb per hari, dalam dosis terbagi 3-
4 kali. Untuk pengobatan gonorhu dosis tunggal: 2,5 g sesudah makan.

11
Bagian 3
TINJAUAN KIMIA SENNA ALATA SEBAGAI LAKSATIF

Herba yang biasa digunakan untuk penanganan konstipasi adalah Senna


alata (Bassey, 2013) (L. Omur Demirezer, 2011). Potensi tersebut karena tanaman
ini memiliki kemampuan untuk menstimulasi motilitas propulsive (Washabau,
1994). Potensinya sebagai laksatif digunakan secara tradisional dalam bentuk
dekok daun dan dekok bunga, akar, atau ranting (Bassey, 2013). Penelitiannya telah
lama diterbitkan yakni tahun 1993. Daunnya diketahui mengandung antrakuinon
dengan kandungan yang bervariasi bergantung pada lokasi dan waktu panen. Senna
juga digunakan untuk Irritable bowel syndrome, hemoroid, dan penurunan berat
badan. Senna mengandung jenis senyawa kimia yang disebut sennosides yang dapat
mengiritasi lapisan usus dan menyebabkan efek laksatif (Oke D.G., 2018).

Gambar 1. Tanaman Senna alata (https://www.prota4u.org)

12
Gambar 2. Sennosides
(https://pubchem.ncbi.nlm.nih.
gov)
A. Evaluasi Ekstrak Senna alata dari ekstrak air
Skrining fitokimia telah dilakukan terhadap Senna alata menggunakan
metode standar Trease and Evans (1989) dan Harborne (1998). Komponen
fitokimia yang diujikan meliputi alkaloid, tannin, saponin, flavonoid, terpenoid,
dan steroid. Hasil dari pengujian tersebut sebagai berikut (Oke D.G., 2018):
Tabel 1. Hasil Analisis Fitokimia Senna alata (Oke D.G., 2018)

Hasil analisis fitokimia ekstrak air Senna alata mengungkap metabolit


sekunder yang penting termasuk tannin, saponin, alkaloid, terpenoid, dan
steroid. Golongan senyawa yang dianggap penting terhadap efek laksatifnya
adalah alkaloid, terpenoid, dan steroid (Oke D.G., 2018).
Berdasarkan penelitian Essiet dan Bassey (2013), skrining fitokimia
kelopak Senna alata adalah sebagai berikut (Bassey, 2013):

13
Tabel 2. Hasil Skrining Fitokimia metabolit sekunder pada
kelopak Senna alata (Bassey, 2013)

B. Evaluasi Ekstrak Kelopak Senna alata


Selain itu, juga telah dilakukan Evaluasi Kuantitatif dan analisis
proksimat terhadap kelopak Senna alata dengan hasil sebagai berikut (Bassey,
2013):
Tabel 3. Hasil Evaluasi Kuantitatif Kelopak Senna alata
(Bassey, 2013)

Tabel 4. Hasil Analisis Proksimat Senna alata (Bassey,


2013)
Parameter Evaluasi Jumlah Kandungan (% B/B)
Protein 5,1
Lemak 5
Serta 25
Karbohidrat 53.7

Berdasarkan hasil skrining fitokimia metabolit sekunder di atas


menunjukkan keberadaan senyawa bioaktif seperti saponin, tannin, flavonoid,
dan cardiac glycosides yang sangat potensial digunakan dalam terapeutik.

14
Keberadaan tannin dapat menurunkan protein dengan kompetisi antagonis dan
selanjutnya dapat menimbulkan sindrom defisiensi protein. Saponin
bertanggungjawab terhadap anti ragi, anti jamur, antidotum, antimikroba, anti-
inflamasi, dan dipercaya dapat melawan pathogen potensial. Flavonoid
memiliki indeks terapeutik yang lebar yakni sebagai antiipertensi, antireumatik,
antimikroba, diuretic, dan antioksidan. Cardiac glycosides berguna dalam
pengobatan asma. Evaluasi kuantitatif yang dijelaskan di atas merupakan
ukuran atau standar parameter yang penting dalam kualitas ekstrak kasar.
Kandungan air yang kecil pada ekstrak menunjukkan bahwa kecil kemungkinan
mikroba dapat mendegradasi selama penyimpanan sampel. Hal ini dikarenakan
kandungan air dapat merusak konstituen sampel sehingga terjadi aktivitas
enzimatik dan menghasilkan pertumbuhan ragi dan jamur (Bassey, 2013).
Kadar abur Senna alata menunjukkan bahwa tanaman ini memiliki senyawa
inorganic dan organic yang kompleks tetapi nilai kadar abu yang tidak larut
asam nya menunjukkan bahwa kandungan tanaman ini sangat penting sebagai
garam dalam tubuh ketika dikonsumsi. Ini juga menunjukkan bahwa tanaman
ini sangat mudah dicerna ketika dimakan (Bassey, 2013).

C. Analisis Fingerprint terhadap kandungan sennoside A dan B pada Slimming


Tea Senna alata dan obat Laksatif.
Dalam penelusuran terkait kandungan kimia dari tanaman Senna alata,
telah dilakukan metode Fingerprint sebagai metode yang dapat menentukan
evaluasi dan kontrol kualitas terhadap materi herba dan produk akhir. Penentuan
kandungan kimia melalui metode fingerprint penting untuk standardisasi herba
obat karena perubahan konsentrasi komponen kimia dapat menyebabkan
aktivitas terapeutik yang berbeda.
Dalam penelitian tersebut, herba Senna alata (sinonim: Cassia alata,
Cassia acutifolia) diuji dalam bentuk produk jadi sebagai Slimming tea atau
teh pelangsing yang dibandingkan dengan obat laksatif. Hasil isolasi herba
teridentifikasi lima senyawa yaitu: senyawa 1: kaempferol 3-O-βD-
gentiobioside; senyawa 2: aloeemodine 8-O-β-D-glucopyranoside; senyawa 3:

15
rhein 8-O-β-Dglucopyranoside; senyawa 4: torachrysone 8-O-β-D-
glucopyranoside; senyawa 5: isorhamnetine 3-O-β-D-gentiobioside.

Gambar 3. Struktur senyawa hasil isolasi The herba Senna (L. Omur Demirezer,
2011)

Pada teh herbal yang menunjukkan efek pelangsing karena adanya sennosides dari
daun Senna. Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa sennosides yang
bertanggungjawab untuk efek laksatif ternyata kurang jumlahnya.

16
Gambar 4. Spektrum UV dan Kromatogram UV dari The Pelangsing/Herba Senna
(L. Omur Demirezer, 2011)
Ket: (CB-1 and CB-5: kaempferol-3-O-β-D-gentiobioside and isorhamnetine-3-O-
β-D-gentiobioside, CB-2: aloe-emodine-8O-β-D-glucopyranoside, CB-3:
rhein-8-O-β-D-glucopyranoside, CB-4: torachrysone-8- O-β-D-
glucopyranoside, SA: sennoside A)

Gambar 5. Spektrum UV dan Kromatogram HPLC dari Obat Laksatif (L. Omur
Demirezer, 2011)

17
Ket: (CB-1 and CB-5: kaempferol-3-O-β-D-gentiobioside and isorhamnetine-3-O-
β-D-gentiobioside, CB-4: torachrysone-8O-β-D-glucopyranoside, SA:
sennoside A, SB: sennoside B)

Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa jumlah turunan


hydroxyanthracene sangat kecil pada teh pelangsing seperti 8-O-β-D-
glucopyranoside hanya 0,006-0,03% dan begitupun dengan jumlah aloe-emodin 8-
O-β-D-glucopyranoside. Jumlah naftalen, torachrysone 8–O–β- glucopyranoside
merupakan substansi terbanyak dibanding lainnya.
Sebaliknya keberadaan sennoside B, rhein 8–O–β-D-glucopyranoside
telah diidentifikasi pada teh herba.
Perbedaan jalur degradasi telah dikaji antara material herba bubuk dan
ekstraknya, yang bergantung pada kondisi penyimpanan dan materi kemasan. Pada
material tanaman asli, sennosides kemungkinan terdegradasi menjadi monomer
Sennoside B, yakni rhein 8–O-β–D-glucopyranoside melalui proses enzimatik.
Dekomposisi dari materi herba dibawah temperatur yang tinggi menyebabkan
dekomosisi oksidatif sennosides menjadi 8-O-β-D-glucopyranoside.
Sebaliknya pada obat laksatif, sennoside B telah teramati dibanding rhein
8-O-β-D-glucosides (Gambar 5). Ekstrak Senna yang menjadi sediaan farmasi telah
terstandardisasi mengandung sennoside A dan sennoside B.
Berdasarkan kajian fingerprint tersebut, teh herba Senna tidak memiliki
sennoside B dan persentase antranoid tidak menunjukkan nilai yang signifikan.
Namun demikian, teh herba Senna menunjukkan efek laksatif kuat seperti obat
laksatif yang mengandung Sennoside B yang tinggi. Efek laksatif dari teh herba
Senna kemungkinan memiliki substansi yang belum diketahui (L. Omur Demirezer,
2011).

18
Tabel 5. Persentase antrakuinon, naftalen, dan flavonoid pada the herba Senna dan
obat laksatif (L. Omur Demirezer, 2011)

19
Bagian 4
TINJAUAN KIMIA MEDISINAL OBAT ANTI-EMETIK

A. Proses Desain Obat Anti-emetik


Obat dirancang untuk berinteraksi dengan target tertentu karena
target tersebut diyakini sangat penting terhadap proses perkembangan
penyakitnya. Namun kadang-kadang, target yang telah ditentukan tersebut
ternyata tidak begitu penting seperti yang dipikirkan pertama kali.
Misalnya, dopamin sebagai reseptor D2 yang awalnya dipercaya sebagai
penyebab mual. Olehnya itu, dikembangkan antagonis reseptor D2
metoklopramid sebagai anti-mual.

Gambar 1. Ringkasan jalur yang bertanggung jawab


terhadap induksi mual dan muntah (panah biru), daerah
integratif di batang otak (kotak biru menunjukkan batang
otak dorsal dan nukleus tractus solutarius) dan jalur keluar
untuk mual (hijau) dan motor output untuk muntah (kotak
merah menunjukkan jalur di batang otak ventral). Reseptor
CB1, cannabinoid1; D2, reseptor dopamin 2; H1, reseptor
histamin 1; M3 / 5, reseptor muskarinik 3 / 5 asetilkolin;
Reseptor 5-HT3-5-hydroxytryptamine3; Reseptor 5-HT4-5-
hydroxytryptamine4; NK1, reseptor neurokinin1 tachykinin
(PLR, 2018).

20
Namun ternyata, perkembangan berikutnya menunjukkan bahwa
antagonis D2 kurang efektif terhadap penanganan mual. Hal ini
mengimplikasikan bahwa ada reseptor yang lebih mempengaruhi proses
terjadinya mual. Metoklopramid juga merupakan antagonis reseptor 5-
Hidroksitriptamin (5HT3) sehingga penelitian lebih lanjut mengkaji
kemungkinan hal ini. Selanjutnya dikembangkanlah obat antiemetik
granisteron dan ondansetron (Patrick, 2013)

21
B. Ondansetron: Antagonis Reseptor 5-HT3 yang selektif
Ondansetron merupakan obat antagonis reseptor subtipe 5-HT3 yang
selektif. Obat ini telah digunakan sebagai pilihan terapi bagi mual-muntah
yang disebabkan oleh efek kemoterapi, radioterapi, anastesi atau pada saat
pembedahan. Selanjutnya, ondansetron juga digunakan pada mual-muntah
akibat overdosis obat atau keracunan, sebagai antidepressant, memperbaiki
pruritus, sindrom infeksi saluran cerna, diare yang berhubungan dengan
cryptosporidiosis atau diabetes, diare refraktonik kronik, beberapa nyeri
tertentu (certain pain states), ketergantungan alcohol, terapi pemberhentian
opiate, vertigo, tramor serebral, dan pengobatan penyakit Parkinson yang
berhubungan dengan psychosis.
Reseptor HT3 merupakan gerbang serotonin saluran ion selektif
yang permeable terhadap ion Na+, K+, dan Ca2+, yang terlibat dalam proses
polarisasi. Rentang efek ondansetron pada beberapa penyakit berhubungan
dengan distribusi reseptor HT3 dalam tubuh dan ragam perannya de
beberapa organ (Jiang-Hong Ye, 2001)
Ondansetron memiliki 1000:1 selektivitas terhadap reseptor HT3.
Ondansetron bekerja pada SSP dan juga pada sistem saraf tepi (PNS).

22
Meskipun mekanisme keseluruhan ondansetron tidak sepenuhnya
dipahami, ondansetron sudah sangat jelas tidak memiliki sifat antagonis
reseptor dopamin. Ondansetron kemungkinan menghambat reseptor 5-HT3
di area CNS (termasuk area postrema, nucleus tractus solitarius, amygdala
dan nukleus dorsal raphe) dan, melalui antagonisme reseptor 5-HT3,
ondansetron menghambat pelepasan dopamin pada nukleus accumbens.
Pada PNS, ondansetron juga menghambat reseptor 5-HT3, sehingga
menghalangi depolarisasi saraf aferen vagal dan neuron mienterika, yang
mengarah pada pengurangan respon nociceptive yang diperantarai oleh
reseptor 5-HTs (Jiang-Hong Ye, 2001).
C. Repurposing: Obat yang telah lama ditemukan namun baru digunakan untuk
kontrrol Emesis
Beragam obat di table berikut tidak didesain sebagai anti-emetik;
namun aktivitas anti-emetik nya baru ditemukan ketika digunakan dalam
terapeutik yang lain. Sekarang ini, berkembang daftar obat yang awalnya
digunakan dalam perawatan psikosis dan depresi, dan ternyata
menunjukkan aktivitas inhibisi mual-muntah dalam beberapa kasus yang
sulit ditangani, termasuk pasien yang mendapatkan perawatan paliatif.
Daftar obat tersbeut diuraikan pada tabel dibawah ini.

23
Tabel 1. Resume dari berbagai obat yang di “repurposed” untuk menegndalikan
emesis (PLR, 2018)

D. Tantangan dalam pengembangan Obat Mual-Muntah


Telah diketahui selama 30 tahun belakangan ini bahwa antagonis reseptor
5-HT3 dan NK1 telah menunjukkan perkembangan yang besar dalam
penanganan mual-muntah. Namun demikian, masih terdapat celah besar
yang masih sulit ditangani (PLR, 2018):

24
a. Pengetahuan tentang mual-muntah masih kurang dibanding dengan
nyeri.
b. Hubungan antara nafsu makan, motilitas lambung yang tidak teratur,
dan mual masih belum dipahami yang menyebabkan kurangnya
kemajuan dalam pengobatan seperti pada gastroparesis dan dispepsia
fungsional
c. Tidak ada pengobatan spesifik yang resmi untuk mual terlepas dari
penyebab mual atau anti-emetik-universal yang dapat menangani mual-
muntah dari apapun penyebabnya.

25
Bagian 5
TINJAUAN KIMIA OBAT PEPTIC ULCER DESEASE (PUD)

Terapi farmakologi yang dapat diberikan bagi pasien tukak lambung


adalah dengan pemberian obat-obatan Proton Pump Inhibitor (PPI) dan
antagonis H2. Obat PPI telah dijelaskan sebelumnya pada sehingga di bawah
ini akan dibahas tentang obat antagonis H2.
Antagonis H2 adalah senyawa yang menghambat secara bersaing
interaksi histamin dengan reseptor H2 sehingga dapat menghambat sekresi
asam lambung. Secara umum digunakan untuk pengobatan tukak lambung dan
usus. Efek samping antagonis-H2 antara lain adalah diare, nyeri otot dan
kegelisahan (Siswandono, 2016).
Mekanisme kerja
Antagonis H2 mempunyai struktur serupa dengan histamin, yaitu
mengandung cincin imidazole atau bioisosteriknya, tetapi berbeda pada lama
gugus rantai samping, yang meskipun polar tetapi tidak bermuatan. Pada
interaksi obat dengan reseptor H2, cincin imidazole atau bioisosterinya terikat
pada sisi reseptor spesifik melalui ikatan dipol, sedang rantai samping yang
lama dan tidak bermuatan terikat melalui ikatan hidrofob dan kekuatan Van
der Waals pada sisi reseptor tidak spesifik.
Hipotesis sederhana mekanisme kerja senyawa antagonis-H2 dijelaskan
sebagai berikut.
Sekresi asam lambung dipengaruhi oleh histamin, gastrin, dan
asetilkolin. Antagonis H2 menghambat secara langsung kerja histamin pada
sekresi asam (efikasi intrinsic) dan menghambat kerja potensiasi histamin pada
sekresi asam, yang dirangsang oleh gastrin atau asetilkolin (efikasi potensiasi).
Jadi histamin mempunyai efikasi intrinsik dan efikasi potensiasi, sedang
gastrin dan asetilkolin hanya mempunyai efikasi potensiasi. Hal ini berarti
bahwa hanya histamin yang dapat meningkatkan sekresi asam, sedang gastrin
atau asetilkolin hanya meningkatkan sekresi asam karena efek potensiasinya
dengan histamin.

26
Hubungan struktur dan aktivitas
Dari studi hubungan struktur dan aktivitas dalam usaha pengembangan
obat antagonis H2, telah dilakukan modifikasi struktur histamin dan didapat
hal-hal menarik sebagai berikut.
R=H : Histamin
R = CH3 : 4-metilhistamin

a. Modifikasi pada cincin


Cincin imidazole dapat membentuk dua tautomer, yaitu τN-H dan πN-H.
Bentuk τN-H lebih dominan dan diperlukan untuk aktivitas antagonis H2.
Metiamid, dengan bentuk τN-H, mempunyai aktivitas 5 kali lebih besar
dibanding burimamide yang mempunyai bentuk πN-H.
Cincin imidazole pada umumnya mengandung rantai samping gugus yang
bersifat penarik electron. Pemasukan gugus metil pada atom C2 cincin
imidazole secara selektif dapat merangsang reseptor H1.
Pemasukan gugus metil pada atom C4 ternyata senyawa bersifat selektif H2-
agonis dengan efek H1-agonis lemah. Hal ini disebabkan substituent 4-metil
yang bersifat donor electron akan memperkuat efek tautomeri rantai
samping penarik electron sehingga bentuk tautomer τN-H lebih stabil.
Modifikasi yang lain pada cincin ternyata tidak menghasilkan efek H2-
antagonis yang lebih kuat.
b. Modifikasi pada rantai samping
Untuk aktivitas optimal cincin harus terpisah dari gugus N oleh 4 atom C
atau ekivalennya. Pemendekan rantai akan menurunkan aktivitas antagonis
H2. Penambahan lama gugus metilen pada rantai samping turunan guanidine
akan meningkatkan kekuatan H2-antagonis tetapi senyawa masih
mempunyai efek parsial-agonis yang tidak diinginkan. Penggantian 1 gugus
metilen (-CH2-) pada rantai samping dengan isosteric tioeter (-S-)
meningkatkan aktivitas antagonis.

27
c. Modifikasi pada gugus N
Penggantian gugus amino rantai samping dengan gugus guanidine yang
bersifat basa kuat (Nα-guanilhistamin) ternyata menghasilkan efek H2-
antagonis lemah, dan masih bersifat parsial agonis. Sifat basis senyawa
(pKa = 13,6) menyebabkan senyawa terionisasi sempurna pada pH
fisiologis. Histamin (pKa = 5,9) di dalam tubuh hanya 3% terionkan.

Gambar . Nα-Guanilhistamin
Penggantian gugus guanidine yang bermuatan positif dengan gugus
metiltiourea yang tidak bermuatan atau tidak terionisasi pada pH tubuh dan
bersifat polar, serta masih mampu membentuk ikatan hydrogen, seperti pada
burimamide, akan menghilangkan efek agonis dan memberikan efek H2-
antagonis 100 kali lebih kuat dibanding Nα-Guanilhistamin, tetapi pada
pemberian secara oral ketersediaan hanyatinya kecil.

Gambar. Burimamid
Pemasukan gugus 4-metil dan penggantian 1 gugus metilen (-CH2-) pada
rantai samping dengan isosteric -S- (metiamide) akan meningkatkan efek
H2-antagonis dan secara oral meningkatkan ketersediaan hayatinya.

Gambar . Metiamid

28
Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa burimamide dan metiamide
menimbulkan efek samping kelainan darah (agranulositosis, neutropenia)
yang disebabkan oleh adanya gugus tiourea.
Modifikasi lebih lanjut adalah mengganti gugus tiourea dengan gugus N-
sianoguanidin yang tidak bermuatan dan masih bersifat polar, seperti pada
simetidin akan menurunkan efek samping di atas.

Gambar. Simetidin
Gugus siano yang bersifat elektronegatif kuat mengurangi sifat kebasaan
atau ionisasi gugus guanidine sehingga absorpsi pada saluran cerna menjadi
lebih besar, aktivitas simetidin 2 kali lebih besar dibanding metiamide.
Simetidin merupakan senywa penghambat reseptor H2 pertama yang
digunakan secara klinik untuk menghambat sekresi asam lambung pada
pengobatan tukak lambung dan usus. Etinidin adalah analog simetidin di
mana mengandung gugus metiletinil pada ujung N-guanido, aktivitasnya 2
kali lebih besar dibanding simetidin.

Gambar. Etinidin
Modifikasi isosteric dari inti imidazole telah diselidiki dan dihasilkan
senyawa-senaywa analog simetidin yang berkhasiat lebih baik dan efek
samping yang lebih rendah. Penggantian inti imidazole dengan cincin furan,
pemasukan gugus dimetilaminoetil pada cincin dan penggantian gugus
sianoguanidin dengan gugus nitrometenil, menghasilkan ranitidine yang
bersifat basa (pKa=8,44), dapat menghilangkan efek samping simetidin,
seperti ginekomastia dan konfusi mental, dan mengurangi kebasaan

29
senyawa. Tidak seperti simetidin, ranitidine tidak menghambat metabolism
dari fenitoin, warfarin, dan aminofilin, dan juga tidak mengikat sitokrom P-
450.

Gambar. Ranitidin
Penggantian inti imidazole dengan cincin tiazol, pemasukan gugus
guanidine pada cincin dan penggantian gugus sianoguanidin dengan gugus
sulfonamidoguanidin, menghasilkan famotidine, yang mempunyai efek
aktivitas lebih poten dibanding simetidin dan ranitidine, dapat menurunkan
efek antiandrogenic, dan mengurangi sifat kebasaan senyawa.

Gambar. Famotidin
Contoh antagonis-H2 simetidin, ranitidin, famotidine, roksatidin, etinidin,
tiotidin, lamitidin dan nizatidine (Siswandono, 2016).
1. Simetidin (Cimet, Corsamet, Nelcer, Tagamet, Ulcedine), merupakan
antagonis kompetitif histamin pada reseptor H2 dari sel parietal sehingga
secara efektif dapat menghambat sekresi asam lambung. Simetidin juga
memblok sekresi dan insulin. Simetidin digunakan untuk pengobatan
tukak lambung atau usus dan keadaan hipersekresi yang patologis,
missal sindrom Zollinger-Ellison. Efek samping yang ditimbulkan
antara lain adalah diare, pusing, kelelahan dan rash. Keadaan
kebingungan, ginaekomastia dan impotensi juga dapat terjadi tapi
bersifat terpulihkan. Absorpsi obat dalam saluran cepat, kadar plasma
tertinggi dicapai selama 1 jam bila diberikan dalam keadaan lambung
kosong dan 2 jam bila diberikan bersama-sama dengan makanan. Jadi
pemberian simetidin sebaiknya bersama-sama dengan makanan karena

30
dapat menghambat obsorpsi obat sehingga memperlama masa kerja
obat. Ketersediaan hayati oral cukup baik (60-70%), waktu paro plasma
_+ 2 jam. Dosis: 200 mg 3 dd, pada waktu makan dan 400 mg, sebelum
tidur.
2. Ranitidine HCI (Ranin, Rantin, Renatac, Zantac, Zantadin), mempunyai
mekanisme kerja, dan kegunaan sama dengan simetidin. Perbedaan
struktur dengan simetidin adalah pergantian inti imidazole dengan
cincin furan, pemasukan gugus dimetilaminoetil pada cincin dan
penggantian gugus sianoguanidin dengan gugus nitrometenil.
Perubahan struktur tersebut dapat menghilangkan efek samping
simetidin, seperti ginekomastia dan konfusi mental, dan mengurangi
kebasaan senyawa. Tidak seperti simetidin, ranitidine tidak
menghambat metabolism dari fenitoin, warfarin, dan aminofilin, dan
juga tidak mengikat sitokrom P-450. Setelah pemberian oral, ranitidine
diabsorpsi lebih kurang 50%. Ranitidin mempunyai masa kerja cukup
lama, pemberian dosis 150 mg efektif menekan sekresi asam lambung
selama 8-12 jam. Kadar plasma tertinggi dicapai dalam 2-3 jam setelah
pemberian oral, dengan waktu paro eliminasi 2-3 jam. Dosis 150 mg 2
dd atau 30 mg, sebelum tidur.
3. Famotidin (Facid, Famocid, Gaster, Pepcid, Regastin, Restadin),
mempunyai mekanisme kerja, dan kegunaan sama dengan simetidin.
Perbedaan struktur dengan simetidin adalah penggantian inti imidazole
dengan cincin tiazol, pemasukan gugus guanidine pada cincin dan
penggantian gugus sianoguanidin dengan gugus sulfonamidoguanidin.
Perubahan struktur tersebut dapat memperkuat ikatan obat dengan
reseptor sehingga famotidine mempunyai aktivitas lebih poten
dibanding simetidin dan ranitidine, dapat menurunkan efek
antiandrogenic, serta mengurangi sifat kebasaan senyawa. Efek samping
obat antara lain trombositopenia, konstipasi, diare, artralgia, sakit
kepala, dan pusing. Absorpsi famotidine dalam saluran cerna tidak
sempurna ±37-45% dan pengikatan protein plasma relative rendah ±15-

31
22%. Kadar plasma tertinggi dicapai dalam 1-3 jam setelah pemberian
oral, waktu paro eliminasi 2,5-4 jam, dengan masa kerja obat ±12 jam.
Dosis terapi: 40 mg 1-2 dd., dosis pemeliharaan: 20 mg sebelum tidur.

32
Bagian 6
TINJAUAN KIMIA OBAT PENYAKIT VIRAL HEPATITIS (A, B)

Penyakit Viral Hepatitis disebabkan oleh virus sehingga terapi


farmakologi yang dapat diberikan adalah obat yang akan menghambat
pertumbuhan dan perkembangan virus. Virus adalah parasite dalam sel,
strukturnya terdiri dari DNA atau RNA dan lapisan protein, dengan membran
terluar terbentuk dari sakarida, lemak dan protein. Obat Antivirus adalah
senyawa yang digunakan untuk pengobatan dan pencegahan penyakit yang
disebabkan oleh virus (Siswandono, 2016).
Berdasarkan kandungan asam nukleatnya virus dibagi menjadi 2
kelompok yaitu virus yang mengandung DNA dan yang mengandung RNA.
1. Virus yang mengandung DNA
a. Adenoviridae : adenovirus (penyakit pernafasan dan mata yang akut)
b. Chordoxviridae : virus variola (cacar = smallpox), Virus vaccinia (cacar
sapi = cowpox), chickenpox (cacar air) dan ekzem.
c. Herpesviridae : sitimegalovirus (penyakit sitomegalik), virus Epstein-
Barr (Berhubungan dengan Limfoma Burkitt dan infeksi
mononukleosis), herpes simpleks tipe 1 dan 2 (infeksi genital, labial,
keratitis kulit, keratokonjungtivitis pada mata dan ensefalitis), varicella-
zoster dan herpes-zoster (shingles).
d. Papavaviridae : virus papilloma (kutil = warts)
2. Virus yang mengandung RNA
a. Arenaviridae : arena virus (virus limpositik koriomeningitis dan virus
demam lassa)
b. Coronaviridae : koronavirus (penyakit pernapasan)
c. Orthomyxoviridae : virus influenza A, B dan C
d. Paramyxoviridae : virus paraifluenza (bronchitis, pneumonia, croup),
virus pernafasan (bronkiolitis, pneumonia), virus campak dan virus
gondong.

33
e. Picornaviridae : rhinovirus (penyakit pernapasan, common cold), virus
polio (poliomyelitis), coxsackievirus dan echovirus (meningitis aseptic)
f. Reoviridae : rotavirus (diare)
g. Retroviridae : Human Immunodeficiency Virus (HIV) atau human T-
lymphotropic Virus III (HTLV-III) atau Acquired Immunodeficiency
Syndrome (AIDS), Human T-cell Lympotropic Virus (HTLV-I),
retrovirus yang berhubungan dengan limpadenopatiatau Hairy Cell
Leukemia (HCL)
h. Rhabdoviridae : Virus Rabies
i. Togaviridae : virus rubella, virus demam kuning (Hepatitis) dan virus
meningoensefalitis.
Hanya sedikit obat antivirus yang telah digunakan dalam klinik.
Berdasarkan struktur kimianya, obat antivirus dibagi menjadi 3 kelompok
yaitu turunan adamantan amin, analog nukleosida dan turunan interferon
(Siswandono, 2016).
1. Turunan Adamantan Amin
Contoh : amantadine HCL, metisoprinol, rimantidin dan tromantadin.
Mekanisme kerja :
Amantadin dan turunannya bekerja engan menghambat penetrasi partikel virus
ke sel tuan rumah dan menghambat tahap awal replikasi virus dengan cara
memblok protein inti yang tidak terlapisi sehingga mencegah pemindahan asam
nukleat ke sel tuan rumah.
Contoh :
a. Amantadine HCL (symmetrel), suatu trisiklik amin yang simetrik. Secara
klinik obat hanya efektif untuk pencegahan dan pengobatan infeksi yang
disebabkan oleh virus influenza A. absorpsi obat dalam saluran cerna cukup
baik (±95%) dengan waktu paro eliminasi 20-24 jam. Dosis oral untuk
pencegahan influenza A : 100 mg 2 dd.
b. Tromantidin HCl (Viru-Merz-Serol), digunakan secara setempat untuk
pengobatan infeksi herpes simpleks pada kulit dan mukosa membrane,

34
manifestasi dermal oleh herpes zoster dan ekzem herpetikatum. Dosis
setempat: krim 1% 3 dd.

R
NH2 : Amantadin
-CH(CH3)NH2 : Rimantadin
: Tromantadin

Metisoprinol (Isoprinosine), adalah kompleks 1:3 dari inosin dan garam 1-


(dimetilamino)-2-propanol dari asam 4-asetamidobenzoat. Efek
antivirusnya mempunyai spektrum luas, efektif terhadap virus herpes, rhino,
dan influenza.
Mekanisme kerjanya melalui du acar, yaitu merangsang sel T tuan rumah
yang berfungsi sebagai mediator kekebalan dan secara langsung
menghambat replikasi sel virus. Dosis oral: 50-60 mg/Kg Bb/hari, dalam
dosis terbagi 4-6 kali.

Inosin 1-dimetilaminoisopropanol

Asetamidobenzoat

35
2. Analog Nukleosida
Contoh: Asiklovir dan turunannya, famsiklovir, zidovudine,idoksuridin,
ribavirin, vidarabine, ritonovir, atazanovir, adenovir, didadosin, lamivudine,
dan stavudine.
Mula-mula mengalami fosforilasi oleh sel tuan rumah membentuk turunan
trifosfat yang aktif, kemudian bergabung ke dalam DNA virus dan tuan rumah
sebagai pengganti nukleotida normal sehingga terjadi hambatan proses replikasi
sel.
a. Asiklovir (danovir, kenrovir, poviral, zovirax) adalah analog asiklik dari
deoksiguanosin. Asiklovir mempunyai mekanisme kerja yang unik, yaitu
bekerja secara katalitik terhadap enzim timidin kinase virus herpes yang
khas. Di sini obat terikat lebih kuat (±200kali) disbanding pada enzim sel.
Mula-mula asiklovir diubah menjadi bentuk monofosfat dan selanjutnya
diaktifkan menjadi bentuk trifosfat oleh enzim kinase sel. Bentuk ini dapat
menghambat aktivitas enzim DNA polymerase virus yaitu melalui
kompetisi dengan deoksiguanosin trifosfat dan kemudian bergabung dengan
DNA, menyebabkan berhentinya pembentukan rantai. Hal ini dapat
menjelaskan mengapa asiklovir aktif terhadap (herpes genital) serta virus
varicella-zoster. Asiklovir merupakan obat pilihan untuk pencegahan dan
pengobatan virus herpes simlpeks dan untuk pengobatan ulang infeksi
herpes genital dan varicella-zoster. Pada pemberian secara oral absorpsi
obat rendah (15-30%), 15% obat terikat oleh plasma protein dengan waktu
paro 2,5-5 jam. Ketersediaan hayati asiklovir rendah sehingga lebih baik
digunakan turunannya yang lebih mudah larut yaitu 6-deosiasiklovir, suatu
pra-obat yang segera mengalami metabolisme oleh xantin oksidase menjadi
asiklovir. Efek samping obat antara lain iritasi dan rasa nyeri pada tempat
injeksi, kulit kemerah-merahan, sakit kepala, insomnia, hematuria dan
perubahan ensefalopati. Penggunaan obat secara setempat hanya efektif
untuk infeksi herpes genital primer yaitu dapat mengurangi lama infeksi dan

36
meringankan gejala penyakit. Dosis oral 200 mg 5 dd, selama 5-7 hari.
Dosis setempat: salep 5% 5 dd, selama 14 hari.
b. Gansiklovir Na (cymevene), turunan asiklovir yang lebih mudah larut,
mempunyai aktivitas lebih besar terhadapp virus siromegalo dan efektif
terhadap virus yang telah resisten terhadap asiklovir. Dosis infus: 5 mg/kgbb
2 dd, selama 1-2 minggu
c. Valasiklovir HCl (Valtrex) merupakan pra-obat L-valin ester dari asiklovir.
Mekanisme kerja mirip dengan asiklovir. Dosis: 1000 mg 3 dd selama 7
hari.
d. Famsiklovir (famir), mekanisme kerja dan kegunaan mirip dengan
asiklovir. Dosis: 500 mg 3 dd, selama 8 hari.

Gambar. Famsiklovir
e. Zidovudin (Azidotimidin, AZT, Retrovir) adalah anti metabolit timidin
yang mengalami fosforilasi anabolic dalam sel T manusia menjadi
nukleosida-5-trifosfat, kemudian berkompetisi dengan timidin-5’-trifosfat
dan bergabung degan rantai pertumbuhan DNA. Obat kenudian bekerja
sebagai penghambat terminasi rantai HIV reverse transkripte, mencegah
translasi kode ARN retrovirus kedalam double stranded DNA sehingga
menghentikan pembuatan rantai DNA baru dan menghentikan replikasi
virus. Zidovudin digunakan terutama untuk memperbaiki fungsi kekebalan
dan lain-lain ketidaknormalan yang berhubungan dengan AIDS. Obat ini
dapat memperpanjang kemungkinan hidup penderita AIDS tetapi tidak
dapat menhilangkan virus HIV dari organ penderita. Efek samping obat

37
yang serius adalah penekanan fungsi sumsum tulang belakang sehingga
menyebabkan anemia dan neutropenia. Sesudah pemberian secara oral,
zidovudin mempunyai ketersediaan hayati yang baik dan mampu menebus
sawar darah otak dengan waktu paro ±1 jam. Dosis: 200 mg setiap 4 jam.

Tabel. Struktur turunan asiklovir

X R1 R2 Nama Obat
C=O H CH2OH : Asiklovir
CH2 H CH2OH : 6-Deoksiasiklovir
C=O CH2OH CH2OH : Gansiklovir
C=O H CH2OCOCH2CH(NH2)CH(CH3)2 : Valasiklovir
f. Idoksuridin, strukturnya mirip timidin dan merupakan substrat enzim
timidin kinase virus. Mula-mula isoksuridin mengalami fosforilasi menjadi
benuk aktifnya dan kemudian bergabung dengan DNA virus. Karena
idoksuridin menimbulkan efek teratogenic, mutagenic, dan menekan
kekebalan maka hanya digunakan secara setempat untuk pengobatan herpes
keratokonjungtivitis dan herpes labial, dalam bentuk salep mata atau
larutan. Dosis: salep mata 0,5%, 5 dd, larutan 0,1%, 0,1 ml 10-20 kali per
hari.

Zidovudin Idoksuridin

38
g. Ribavirin, strukturnya berhubungan dengan guanosin bekerja sebagai
penghambat tidak spesifik enzim yang mengkatalisis biosintesis basa
guanine. Pada kasus influenza, ribavirin dapat menghambat selektif sistesis
protein virus influenza. Ribavirin adalah senyawa antivirus dengan
spectrum luas karena efektif baik terhadap virus DNA maupun RNA.
Seperti hepatitis, infeksi herpes dan infeksi influenza. Absorpsi obat dalam
saluran cerna cukup baik dengan waktu paro eliminasi ± 24 jam.
h. Vidarabin¸ Turunan nukleotida dari adenine arabinose, ada in vivo cepat
mengalami deaminasi menjadi arabinosilhipoxantin. Senyawa induk dan
metabolit tersebut mengalami fosforilasi menjadi bentuk trifosfat yang aktif
dan dapat menghambat secara kompetitif dan selektif aktivitas enzim DNA-
Polimerase virus. Bentuk trifosfat tersebut bergabung ke dalam DNA virus
dan menyebabkan berakhirnya perpanjangan rantai. Dalam jumlah cukup
besar, bentuk aktif di atas dapat menghambat enzim sel tuan rumah.
Vidarabin sangat efektif, melalui penggunaan setempat, untuk pengobatan
herpetic keratitis. Secara infus intravena sebbagai obat pilihan untuk
pengobatan herpes simpleks ensefalitis karena mampu menembus cairan
serebrospinal. Obat ini juga efektif untuk pengobatan herpes zoster yang
terlokalisasi ada penderita imunosupresif dan infeksi herpes simpleks
neonatal. Waktu paro serum vidarabin ± 15 menitsedang waktu paro
arabinosilhipoxantin ±4 jam. Efek samping obat yang terutama adalah
gangguan saluran cerna, dalam dosis tinggi kemungkinan dapat
menyebabkan penekanan sumsum tulang belakang. Pada percobaan dengan
binatang, vidabarin mempunyai efek mutagrnik, karsinogenik dan
teratogenik sehingga tidak dianjurkan untuk wanita hamil. Dosis salep 5%
5 dd, dengan selamg 3 jam
i. Didanosin (vadex), adalah nukleosida hipoxantin yang mempuyai efek
antivirus. Digunakan untuk pengobatan penderita HIV yang telah diberikan
zidovudin dalam jangka waktu yang lama. Dosis: 200 mg 2 dd.

39
Didanosin Ribavirin Vidarabin
j. Ritonavir (norvir), penghambat peptidomimetik HIV-1 protease digunakan
untuk pengobatan infeksi HIV. Dosis: 600 mg 2 dd
k. Atazanavir (Reyataz), sifat dan penggunaan sama dengan ritonavir, hanya
aktivitasnya lebih besar dan masa kerjanya lebih lama. Untuk pengobatan
biasanya dikombinasi dengan obat antivirus yang lain. Dosis: 400 mg 1 dd.

Ritonavir Atazanavir
l. Lamivudin (3 TC-HBV), bekerja dengan menghambat pembalikan enzim
transcriptase. Digunakan untuk pengobatan infeksi hepatitis B yang kronik.
Dosis: 100 mg 1 dd.
m. Stavudin (zerit) digunakan untuk pengobatan penderita HIV yang telah
diberikan zidovudin dalam jangka waktu yang lama. Dosis: 30-40 mg 2 dd.

Stavudin Lamivudin

40
3. Turunan Interferon
Contoh : interferon alfa-n1, interferon alfa-2a dan interferon alfa-2b
Interferon, dapat bekerja melalui beberapa mekanisme sebagai berikut:
a. Merangsang enzim yang mampu menhambat translasi m-ARN virus
b. Menghambat pelepasan virion pada oembentukan sel virus
c. Meningkatkan kekebalan tuan rumah terhadap infeksi virus melalui efek
imunomodulasi.
Interferon alfa. Dalam peradangan tersedia rekombinan interferon alfa-2a
(Reveron-A) dan alfa-2b (intron-A) yang masing-masing merupakan subtype
tunggal, dan human lymphablastoid interferon alfa (interferon alfa-n1) yang
mengandung campuran subtype alfa digunakan untuk pengobatan hairy cell
leukemia, myeloma, sarcoma kaposi’s dan veneral warts.
Interferon alfa, dapat menimbulkan syndrome interferon dengan gejala seperti flu,
lesu, leukopenia, sdan kebingunan. Bila diberikan secara intravena, obat secara
cepat didistribusikan ke jaringan. Setelah 4 jam tidak dapat di deteksi adanya
interferon dalam plasma. Oleh karena itu, interferon hanya diberikan secara
intramuscular atau subkutan dengan waktu paro 4-12 jam. Dosis interferon alfa-2a.
I.M atau S.C.: 2 juta IU/m2 tiga kali per minggu.

41
Bagian 7
TINJAUAN KIMIA OBAT GASTRO INTESTINAL INFECTION

Sulfonamida digunakan secara luas untuk pengobatan infeksi yang


disebabkan oleh bakteri gram-positif dan gram-negatif tertentu, beberapa jamur dan
protozoa. Golongan ini efektif terhadap penyakit yang disebabkan oleh
mikroorganisme, seperti Actinomycetes sp., Bacillus anthracis, Brucella sp.,
Corinebacterium diphteriae, Calymmantobacterium granulomatis, Chlamidia
trachtomatis, Escherichia coli, Haemophylus influenzae, Nocardia sp., Proteus
mirabilis, Pseudomonas pseudomallei, Streptococcus pneumoniae, S. pyogenes,
dan Vibrio cholerae (Siswandono, 2016).
Obat Gastro Intestinal Infection dirancang agar sedikit diabsorpsi dalam
saluran cerna yaitu dengan memasukkan gugus hidrofil kuat seperti ptalil, suksinil
atau guanil. Membentuk turunan sulfanomida yang lebih polar dan sukar diabsorpsi
dalam saluran cerna (±5 %). Di usus besar, senyawa dihidrolisis oleh bakteri usus,
melepaskan secara perlahan-lahan sulfanomida induk aktif.
Contoh (Siswandono, 2016):
1. Ptalilsulfatiazol (ptalazol) dosis: 1 gram setiap 4 jam sampai infeksi
terkendali
2. Sulfaguanidin, dosis awal: 1 gram diikuti 0,5 gram setiap 4 jam. Sampai
infeksi terkendali.
3. Sulfasalazine (Sulcolon), adalah pra-obat, di usus besar senyawa akan
dipecah oleh bakteri menjadi asam 5-aminosalisilat yang aktif untuk colitis
dan sulfapiridin yang relative tidak aktif. Asam 5-amiosalisilat sedikit
diabsorpsi pada usus besardan dikeluarkan dalam bentuk tidak berubah
melalui tinja. Asam 5-aminosalisilat digunakan untuk infeksi colitis pada
tukak lambung dan penyakit Crohn’s akut. Dosis awal: 1gram/hari, diikuti
0,5gram/ hari.

42
Bagian 8
TINJAUAN KIMIA OBAT INTESTINAL BOWEL SYNDROME (IBL)

Salah satu terapi farmakologi yang dapat diberikan terhadap penderita


Intestinal Bowel Syndrome (IBL) adalah dengan memberikan antidepresan
Trisiklik. Antidepresan Trisiklik digunakan secara luas untuk pengobatan pasien
yang depresi oleh berbagai macam sebab. Hal ini disebabkan antidepresan trisiklik
dapat meningkatkan suasana hati, meningkatkan aktivitas fisik dan kesiapan
mental, serta memperbaiki nafsu makan dan pola tidur (Siswandono, 2016).
Antidepresan Trisiklik lebih efektif dibanding senyawa penghambat
monoamin oksidase dan menimbulkan efek samping yang lebih rendah. Efek
samping tersebut antara lain adalah mulut kering, mata kabur, konstipasi,
takikardia, dan hipotensi.
Mekanisme kerja
Mekanisme Kerja antidepresan trisiklik masih belum sepenuhnya diketahui.
Diduga bahwa efeknya disebabkan oleh penghambatan reuptake dari pelepasan
biogenik monoamin, seperti norepinefrin dan serotonin, di ujung saraf pada sistem
saraf pusat.
Struktur kimia dan potensi relative beberapa antidepresan trisiklik dapat dilihat
pada Tabel 8.a
Hubungan struktur dan aktivitas
Sejumlah sistem cincin trisiklik, seperti cincin dibenzazepin, dibenzosiklihepten
dan fenotiazin dengan modifikasi tertentu yang dapat menimbulkan efek antidepresi
(Siswandono, 2016).
a. Modifikasi pada rantai samping
1. Senyawa menunjukkan aktivitas yang tinggi bila jumlah atom C pada
rantai samping = 2 atau 3 (etilamin atau propilamin). Bila jumlah atom
C = 1 atau lebih besar dari 3 dan adanya percabangan pada rantai
samping akan menyebabkan senya menjadi tidak aktif.
2. Gugus amin pada rantai samping biasa amin sekunder, tidak amin tersier
eperti pada antipsikotik. Senyawa akan aktif bila atom N tidak

43
tersubstitusi atau tersubstitusi dengan gugus metil. Substitusi dengan
gugus etil atau gugus alkil yang lebih tinggi akan menurunkan aktivitas
secara drastis dan menimbulkan toksisitas. Jumlah atom C makin besar
toksisitasnya semakin meningkat pula.
Tabel. 8.a Struktur kimia dan potensi relative beberapa senyawa penghambat
monoamine oksidase
Struktur Kimia Nama Obat Potensi
Relatif
Iproniazid 1

Isokarboksazid 3,1

Fenelzin 18

Metamfetamin -

Feniprazin 31

44
Tranilsipromin 45

Tabel. 8.b. Struktur kimia dan aktivitas beberapa senyawa antidepresan trisiklik
Struktur kimia Nama Obat Potensi relative
Cincin 10,11-dihidro-5H- Desipramin (R=H) 3000
dibenzazepin Imipramin (R=CH3) 38
Klomipramin (R=CH3,
3-Cl)

Cincin 5H-dibenzosiklohepten Protriptilin 280

Cincin 10,11-dihiro-5H- Nortriptilin (R=H) 120


dibenzosiklohepten Amitriptilin (R=CH3) 16

b. Modifikasi pada cincin trisiklik


1. Adanya substituen 3-Cl, 10-metil dan 10,11-dimetil dapat
meningkatkan aktivitas.

45
2. Jembatan pada posisi 10,11 dapat terbentuk dari -CH2-CH2-
(dihidrodibenzazepin, misal desipramin), -CH = CH -(dibenzazepin)
atau -S- (fenotiazin, misal desmetilpromazin) dan ketiganya aktif
sebagai antidepresi. Hilangnya jembatan 10,11 (difenilamin) juga tidak
menghilangkan aktivitas antidepresi. Diduga bahwa jembatan pada
posisi 10,11 tidak penting aktivitas antidepresi.
3. Atom N cincin pada desipramin dapat diganti dengan atom C
(nortriptilin) dan tetap aktif sebagai antidepresi. Penghilangan salah
satu cincin benzen akan menghilangkan aktivitas antidepresi.
4. Dari 20 turunan fenotiazin, setelah uji hanya desmetilpromazin dan
desmetiltriflupromazin yang aktif sebagai antidepresi.
Imipramin dan amitriptilin adalah pra-obat, aktivitasnya relatif rendah,
dalam tubuh mengalami metabolisme (N-demetilasi) membentuk
metabolisme aktif desipramin dan nortriptilin dengan potensi relatif
yang cukup tinggi (lihat Tabel 8.b).
Contoh:
1. Imipramin HCI (Tofranil), digunakan untuk pengobatan depresi
endogenik dan psikogenik. Absorpsi obat dalam saluran cerna cepat
walaupun tidak sempurna +50%. Di hati secara cepat mengalami N-
demetilasi menjadi metabolit aktif desipramin. Kadar plasma
tertinggi obat dicapai 0,5-1jam setelah pemberian oral, waktu paro
imipramin +16 jam sedang waktu paro desipramin +18 jam. Dosis:
100-200 mg / hari, dalam dosis terbagi. Desipramin HCI,
mempunyai awal kerja yang lebih cepat disbanding imipramin tetapi
aktivitasnya lebih rendah. Dosis: 150 mg / hari, dalam dosis terbagi.
2. Klomipramin HCI (Anafranil), efektif terhadap semua gejala
depresi dan mempunyai aktivitas yang lebih tinggi dibanding
turunan antidepresan trisiklik lain. Absorpsi obat dalam saluran
cerna cepat dan sempurna, pengikatan oleh protein plasma +97,6%,
awal kerja obat cepat dan waktu paro plasma +21 jam. Dosis awal:

46
10 mg / hari, kemudian meningkat hingga 50-100 mg / hari dalam
dosis terbagi .
3. Amitriptilin HCI (Laroxyl), digunakan terutama untuk pengobatan
depresi endogenik, mencegah migrain dan mengontrol rasa nyeri
yang tetap. Absorpsi obat dalam saluran cerna cepat. Di hati secara
ekstensif obat mengalami N-demetilasi menjadi metabolit aktif
nortriptilin. Awal kerja obat lambat, kadar plasma tertinggi dicapai
dalam 6 jam setelah pemberian oral, waktu paro amitriptilin
+15,1jam sedang waktu paro nortriptilin 26,6 jam. Efek obat
berakhir setelah 1-3 minggu. Dosis: 100-200 mg / hari, dalam dosis
terbagi.
Nortriptilin HCI, mempunyai sifat antidepresi dan tranquilizer
serupa dengan dengan amitriptilin. Efek samping antikolinergik
lebih rendah dibanding amitriptilin tetapi masih dapat digunakan
untuk pengobatan glaukoma. Tidak dianjurkan untuk digunakan
pada anak-anak. Dosis: 20-100 mg / hari, dalam dosis terbagi.
4. Opipramol (Insidon), merupakan turunan 5-H-dibenzazepin,
terutama digunakan untuk antidepresi endogen dan antipsikotik.
Dosis: 50 mg 1-2 dd.

Gambar. Opipramol

47
DAFTAR PUSTAKA

Bassey, U. A. (2013). Comparative Phytochemical Screening and Nutritional


Potentials of the Flowers (petals) of Senna alata (l) roxb, Senna hirsuta (l.)
Irwin and barneby, and Senna obtusifolia (l.) Irwin and barneby (fabaceae).
Journal of Applied Pharmaceutical Science Vol 3 No. 08, 98.
Jiang-Hong Ye, R. P. (2001). Ondansetron: A Selective 5-HT3 Receptor Antagonist
and Its Applications in CNS-Related Disorders. CNS Drugs Review Vol. 7,
No. 2, 199.
L. Omur Demirezer, N. K.-U. (2011). HPLC Fingerprinting of Sennosides in
Laxative Drugs with . Rec. Nat. Prod Vol 5 No. 4, 261.
Oke D.G., O. O. (2018). Preliminary studies on the laxative properties of Senna
alata L. and Hollandia yoghurttm . African Journal of Biotechnology , 429.
Patrick, G. L. (2013). An Introduction of Medicinal Chemistry 5th Ed. Oxford:
Oxford University Press.
PLR, S. G. (2018). A History of Drug Discovery for Treatment of Nausea and
Vomiting and the Implications for Future Research. Front. Pharmacol. Vol.
9, 913.
Siswandono. (2016). Kimia Medisinal Bag. 2. Surabaya: Airlangga University
Press.
Washabau, R. J. (1994). Laxative Agents. In J. H. Lewis, Pharmacologic Approach
to Gastrointestinal Disease (p. 523). Williams & Wilkins.
World Gastroenterology, O. (2015). GERD: Global Perspective on
Gastroesophageal Reflux Disease. USA: World Gastroenterology
Organisation.
https://www.prota4u.org
https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov

48

Anda mungkin juga menyukai