Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mola hidatosa adalah jonjot-jonjot korion (Chorionic Villi) yang
tumbuh berganda berupa gelembung-gelembung kecil yang mengandung
banyak cairan sehingga menyerupai buah anggur/mata ikan (Yulizawati,
2020).
Menurut WHO (2019) Angka Kematian Ibu (AKI) didunia yaitu
sebanyak 303.000 jiwa. Angka Kematian Ibu (AKI) di ASEAN yaitu sebesar
235 per 100.000 kelahiran hidup (ASEAN Secretariat, 2020). Menurut Data
Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) Angka Kematian Ibu
(AKI) di Indonesia meningkat dari 228 per 100.000 kelahiran hidup pada
tahun 2002-2007 menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007-
2012. Angka Kematian Ibu (AKI) mengalami penurunan pada tahun 2012-
2015 menjadi 305 per 100.000 kelahiran hidup dan jumlah kematian ibu di
Indonesia pada tahun 2019 yaitu sebanyak 4.221 kasus (Kemenkes RI, 2019).
Berdasarkan profil Kesehatan Indonesia tahun 2019, Jumlah kematian
ibu menurut provinsi tahun 2018-2019 dimana terdapat penurunan dari 4.226
menjadi 4.221 kematian ibu di Indonesia berdasarkan laporan. Pada tahun
2019 penyebab kematian ibu terbanyak adalah perdarahan (1.280 kasus),
hipertensi dalam kehamilan (1.066 kasus), infeksi (207 kasus) rincian per
provinsi (Profil Kesehatan Indonesia, 2019).
Sedang dalam Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2020, jumlah
kematian ibu yang dihimpun dari pencatatan program kesehatan keluarga di
Kementerian Kesehatan pada tahun 2020 menunjukkan 4.627 kematian di
Indonesia. Jumlah ini menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun 2019
sebesar 4.221 kematian. Berdasarkan penyebab, sebagian besar kematian ibu
pada tahun 2020 disebabkan oleh perdarahan sebanyak 1.330 kasus, hipertensi
dalam kehamilan sebanyak 1.110 kasus, dan gangguan sistem peredaran darah
sebanyak 230 kasus (Profil Kesehatan Indonesia, 2020).

1
Insiden mola hidatidosa per 1.000 kehamilan terjadi di Asia di mana 5
negara yang menduduki peringkat atas yaitu Indonesia dengan 13 kasus,
Taiwan 8,0 kasus, Filipina dan China 5,0 kasus, serta Jepang 3.8 kasus.
Sedangkan insidensi terendah terdapat di Amerika Utara, Eropa, dan Oceania
dengan rata-rata 0.5-1.84 kasus per 1.000 kehamilan. Data yang diperoleh dari
Amerika Selatan terdapat 0.23-0.9 kasus per 1.000 kehamilan, sedangkan
dibenua Afrika hanya Uganda dan Nigeria yang mempunyai dokumentasi
kasus yaitu terdapat rata-rata 5.0 kasus per 1.000 kehamilan.7,8,9 Walaupun
mola hidatidosa merupakan kasus yang jarang, namun jika tidak dideteksi dan
ditangani segera maka akan berkembang menjadi keganasan sel trofoblas yaitu
pada 15 - 20 % wanita dengan mola hidatidosa komplet dan 2-3 % pada mola
parsial. Mola hidatidosa dinyatakan ganas jika terjadi metastasis dan invasi
merusak miometrium, misalnya pada mola invasif.10 Jika hal tersebut
dilanjutkan kemungkinan akan menjadi salah satu penyebab angka kematian
ibu di Indonesia semakin meningkat (Kusuma, 2017).

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah agar pembaca
maupun penulis dapat:
1. Memahami definisi mola hidatidosa
2. Mengetahui klasifikasi mola hidatidosa
3. Mengetahui faktor penyebab mola hidatidosa
4. Mampu membuat diagnose mola hidatidosa
5. Memahami dan mampu melaksanakan penanganan mola hidatidosa

1.3 Manfaat
Manfaat dibuatnya makalah ini terhadap bidan adalah:
1. Dapat memahami secara tepat definisi mola hidatidosa
2. Dapat mengklasifikasikan mola hidatidosa
3. Dapat mengetahui faktor resiko mola hidatidosa
4. Dapat membuat diagnose untuk bayi dengan mola hidatidosa

2
5. Dapat menerapkan tatalaksana mola hidatidosa

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Mola hidatosa adalah jonjot-jonjot korion (Chorionic Villi) yang
tumbuh berganda berupa gelembung-gelembung kecil yang mengandung
banyak cairan sehingga menyerupai buah anggur/mata ikan (Yulizawati,
2020).
Penyakit trofoblas gestasional (GTD) adalah sekelompok tumor yang
ditandai dengan proliferasi trofoblas abnormal. Sel trofoblas menghasilkan
hormone human chorionic gonadotropin (hCG). GTD dibagi menjadi mola
hidatidosa (mengandung vili) dan neoplasma trofoblas lainnya (tidak memiliki
vili). Bentuk non-molar atau ganas dari GTD disebut gestasional trofoblas
neoplasia (GTN). Mereka termasuk mola invasif, koriokarsinoma, tumor
trofoblas situs plasenta, dan tumor trofoblas epiteloid. Keganasan ini dapat
terjadi beberapa minggu atau tahun setelah kehamilan tetapi paling sering
terjadi setelah kehamilan mola (NCBI, 2021).
Penyakit trofoblas gestasional (GTD) terdiri dari sekelompok gangguan yang
mencakup kondisi premaligna dari kehamilan mola lengkap dan parsial (juga dikenal
sebagai mola hidatidosa) hingga kondisi ganas mola invasif, koriokarsinoma dan
plasenta yang sangat langka. tumor trofoblas situs (PSTT) dan tumor trofoblas
epiteloid (ETT). Potensi ganas dari nodul situs plasenta atipikal (PSN) masih belum
jelas (RCOG, 2020).

2.2 Epidemiologi
Studi epidemiologis telah melaporkan variasi besar dalam kejadian
kehamilan dengan molahidatidosa. Asia Tenggara dan Jepang memiliki
insiden tertinggi yang dilaporkan yang diperkirakan dua dari 1000 kehamilan.
Di Amerika Serikat, kehamilan mola terjadi pada sekitar 1 dari 600 aborsi
terapeutik dan 1 dari 1500 kehamilan. Dua puluh persen dari pasien ini akan
mengalami transformasi ganas yang membutuhkan kemoterapi setelah

4
penanganan molahidatidosa. Di Amerika Serikat, koriokarsinoma terjadi pada
sekitar 1 dari 20.000 hingga 40.000 kehamilan; 50% terjadi setelah kehamilan
aterm, 25% kehamilan mola, dan 25% setelah kejadian kehamilan lainnya.
Namun, di Asia Tenggara dan Jepang tingkat koriokarsinoma lebih tinggi
pada tiga sampai sembilan per 40.000 kehamilan. Tingkat insiden mola
hidatidosa dan koriokarsinoma telah menurun selama 30 tahun terakhir di
semua populasi. (NCBI, 2021).
Kehamilan mola lengkap biasanya (75-80%) muncul sebagai akibat dari
duplikasi sperma tunggal setelah pembuahan ovum 'kosong'. Beberapa kejadia
molahidatidosa lengkap (20–25%) dapat muncul setelah pembuahan dispermia
dari sel telur 'kosong'. Kehamilan mola parsial biasanya (90%) berasal dari
triploid, dengan dua set kromosom haploid ayah dan satu set kromosom
haploid ibu. Kehamilan mola parsial terjadi, pada hampir semua kasus, setelah
fertilisasi dispermik ovum. Kadang-kadang kehamilan mola menunjukkan
konsepsi tetraploid atau mosaik. Pada molahidatidosa parsial, biasanya ada
bukti janin atau sel darah merah janin. Tidak semua kehamilan triploid atau
tetraploid adalah molahidatidosa parsial. Untuk diagnosis mola parsial, harus
ada bukti histopatologi hiperplasia trofoblas (RCOG, 2020).

2.3 Etiologi
Penyebab mola hidatidosa yang disebukan Yulianti tahun 2020, tidak
diketahui, factor-faktor yang dapat menyebabkan antara lain :
1. Faktor ovum : ovum memang sudah patologik sehingga mati, tetapi
terlambat dikeluarkan
2. Imunosedektif dari Trofoblas
3. Keadaan sosio-ekonomi yang rendah
4. Paritas tinggi
5. Kekurangan protein
6. Inveksi virus dan faktor kromosom yang belum jelas

Faktor resiko lainnya dapat terjadi pada:

5
1. Faktor usia
Wanita yang berumur di bawah 20 tahun rentan menghadapi
kehamilan mola hidatidosa atau hamil anggur, karena alat reproduksi
belum siap untuk dibuahi dan insidennya 4-10 kali dari mereka yang
usianya 20-35 tahun. Sedangkan menjelang awal atau akhir reproduksi
seorang wanita terdapat frekuensi mola hidatidosa yang relatif tinggi
dalam kehamilan dikarenakan ovum lebih rentan terhadap fertilisasi yang
abnormal, biasanya terjadi gangguan meosis yang dapat mengakibatkan
terjadinya mola hidatidosa (Septiyaningsih, 2018).
Dibandngkan dengan wanita berusia 21 sampai 35 tahun, risiko
molahidatidosa lengkap lebih tinggi untuk wanita yang lebih tua dari 35
tahun dan lebih muda dari 21 tahun, dan 7,5 kali lebih tinggi untuk wanita
lebih dari 40 tahun (NCBI,2020).
2. Faktor paritas
Ibu dengan paritas tinggi memberikan gambaran tingkat kehamilan
yang banyak, dapat mengakibatkan berbaga risiko kehamilan termasuk
mola hidatidosa, semakin banyak jumlah kelahiran yang dialami seorang
wanita semakin tinggi risikonya untuk mengalami komplikasi. Hal ini
disebabkan karena secara fisik jumlah paritas yang tinggi mengurangi
kemampuan uterus sebagai media pertumbuhan janin. Kerusakan pada
pembuluh dinding uterus mempengaruhi sirkulasi nutrisi ke janin dimana
jumlah nutrisi akan berkurang dibandingkan kehamilan sebelumnya. Hal
ini dapat menimbulkan komplikasi yang dapat memicu terjadinya mola
hidatidosa (Septiyaningsih, 2018).
3. Etnis ASIA
Sebagai mana yang telah dijelaskan dalam National Center
Biotechnology Information tahun 2020, bahwa Negara-negara di Asia
Tenggara dan Jepang memiliki angka kejadian kehamilan dengan
molahidatidosa dua kali lebih banyak dari Negara lainnya.

6
4. Riwayat kehamilan mola hidatidosa
Risiko kehamilan mola berulang pada wanita dengan riwayat
kehamilan mola adalah sekitar 1% yang sepuluh sampai 20 kali risiko
untuk populasi umum (NCBI,2020).
5. Riwayat Abortus
Kasus mola hidatidosa sering kali terjadi pada wanita dengan usia
kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, dimana pada usia ini sering
kali terjadi abortus. Ibu yang memiliki riwayat abortus dapat
meningkatkan risiko terjadinya abortus kembali, demikian pula dengan
mola hidatodosa yang akan kembali terjadi pada ibu dengan riwayat
kehamilan mola (Sari, 2021).

2.4 Klasifikasi
Mola hidatidosa menurut WHO, berdasarkan atas tendensi keganasannya
dibedakan menjadi mola hidatidosa risiko rendah dan tinggi. Mola hidatidosa
dikelompokkan dalam risiko rendah apabila ditemukan kadar serum β-hCG
kurang dari 100.000 IU/ml, besar uterus lebih kecil atau sama dengan umur
kehamilan, dan dapat disertai kista ovarium dengan ukuran kurang dari 6 cm.
Sedangkan mola hidatidosa dikelompokkan sebagai risiko tinggi apabila kadar
serum β-hCG lebih dari atau sama dengan 100.000 IU/ml, besar uterus lebih
dari umur kehamilan, terdapat kista ovarium dengan ukuran lebih dari atau
sama dengan 6 cm, dan terdapat faktor metabolik atau epidemiologik yang
khas yaitu: umur lebih dari 40 tahun, tanda toksemia, koagulopati, emboli sel
trofoblast, dan hipertiroidisme (Budiana, 2015).
Mola hidatidosa berdasarkan atas keberadaan unsur janinnya dibagi
menjadi komplit dan parsial. Keduanya mempunyai asal sitogenetik,
gambaran patologis, dan gambaran klinis yang berbeda.
1. Mola hidatidosa komplet
Pada mola jenis ini, tidak terdapat adanya tanda-tanda embrio, tali
pusat, atau membran. Kematian terjadi sebelum berkembangnya sirkulasi
plasenta. Villi korionik berubah menjadi vesikel hidropik yang jernih yang

7
menggantung bergerombol pada pedikulus kecil, dan memberi tampilan
seperti seikat anggur. Ukuran vesikel bervariasi, dari yang sulit dilihat
sampai yang berdiameter beberapa sentimeter. Hiperplasia menyerang
lapisan sinsitiotrofoblas dan sitotrofoblas. Massa mengisi rongga uterus
dan dapat cukup besar untuk menyerupai kehamilan (Idaningsih, 2017).
Pada kehamilan normal, trofoblas meluruhkan desidua untuk
menambatkan hasil konsepsi. Hal ini berarti bahwa mola yang sedang
berkembang dapat berpenetrasi ke tempat implantasi. Miometrium dapat
terlibat, begitu pula dengan vena walaupun jarang terjadi. Ruptur uterus
dengan perdarahan massif merupakan salah satu akibat yang dapat terjadi.
Mola komplet biasanya memiliki 46 kromosom yang hanya berasal
dari pihak ayah (paternal). Sperma haploid memfertilasi telur yang kosong
yang tidak mengandung kromosom maternal. Kromosom paternal
berduplikasi sendiri. Korsiokarsioma dapat terjadi dari mola jenis ini
(Soper, 2021).

Gambar 1. Mola Hidatidosa Komplit


2. Mola hidatidosa partial
Tanda-tanda adanya suatu embrio, kantong janin, atau kantong
amnion dapat ditemukan karena kematian terjadi sekitar minggu ke-8 atau
ke-9. Hiperplasia trofoblas hanya terjadi pada lapisan sinsitotrofoblas
tunggal dan tidak menyebar luas dibandingkan dengan mola komplet.
Analisis kromosom biasanya akan menunjukan adanya triploid dengan 69
kromosom, yaitu tiga set kromosom: satu maternal dan dua paternal.
Secara histologi, membedakan antara mola parsial dan keguguran laten

8
merupakan hal yang sulit dilakukan. Hal ini memiliki signifikansi klinis
karena walaupun risiko ibu untuk menderita koriokarsinoma dari mola
parsial hanya sedikit, tetapi pemeriksaan tindak lanjut tetap menjadi hal
yang sangat penting (Soper, 2021).

Gambar 2. Mola Hidatidosa Parsial

Gambaran Klinis Lengkap Parsial


Kariotipe / Kromosom 46,XX atau 46,XY 69,XXX atau 69,XXY
Jaringan Janin Tidak ada Ada
Edema Vili Diseluruh permukaan Beberapa tempat
Poliferasi Tropoblas Menyatu Terpusat
Gejala Klinis Rahim membesar sampai
50% dari usia kehamilan
Rahim kecil untuk usia
Kadar hCG tinggi
gestasi
Sering terjadi komplikasi
Kadar hCG rendah
medis sekitar 25%
Komplikasi medis yang
termasuk hipertensi,
jarang terjadi
hipertiroid, anemia,
hyperemesis gravidarum
Gejala Sisa Sampai 20% Sampai 5%
Presentasi Diagnosis tetap secara Sering sebagai sisa
klinis atau USG abortus
Tabel 1. Perbedaan Jenis Mola Hidatidosa (NCBI,2020)

9
2.5 Patofisiologi
Jonjot-jonjot korion tumbuh berganda dan mengandung cairan
merupakan kista-kista seperti anggur. Biasanya didalamnya tidak berisi
embrio. Secara histopatologik kadang-kadang ditemukan jaringan mola
pada plasenta dengan bayi normal. Bisa juga terjadi kehamilan ganda
mola adalah satu janin tumbuh dan yang satu lagi menjadi mola
hidatidosa. Gelembung mola besarnya bervariasi, mulai dari yang kecil
sampai berdiameter lebih dari 1 cm. Mola parsialis adalah bila dijumpai janin
dan gelembung-gelembung mola.
Secara mikroskopik terlihat trias:
1. Proliferasi dari trofoblas
2. Degenerasi hidropik dari stroma villi dan kesembaban
3. Terlambat atau hilangnya pembuluh darah dan stroma.
Sel-sel Langhans tampak seperti sel polidral dengan inti terang dan
adanya sel sinsisial giantik. Pada kasus mola banyak kita jumpai ovarium
dengan kista lutein ganda berdiameter 10 cm atau lebih (25-60%). Kista
lutein akan berangsur-angsur mengecil dan kemudian hilang setelah mola
hidatidosa sembuh.
Mola hidatidosa yaitu ovum Y telah dibuahi mengalami proses
segmentasi sehingga terjadi blastomer kemudian terjadi pembelahan dan
sel telur membelah menjadi 2 buah sel. Masing-masing sel membelah
lagi menjadi 4, 8, 16, 32, dan seterusnya hingga membentuk kelompok
sel yang disebut morula. Morula bergerak ke cavum uteri kurang lebih 3 hari
dan didalam morula terdapat exozeolum. Sel-sel morula terbagi dalam 2 jenis
yaitu trofoblas (sel yang berada disebelah luar yang merupakan dinding
sel telur) sel kedua yaitu bintik benih atau nodus embrionale (sel yang
terdapat disebelah dalam yang akan membentuk bayi). Pada fase ini sel
seharusnya mengalami nidasi tetapi karena adanya poliferasi dari
trofoblas atau pembengkakan vili atau degenerasi hidrifilik dari stroma
vili dan hilangnya pembuluh darah stroma vili maka nidasi tidak terjadi.

10
Trofoblas kadang berproliferasi ringan kadang keras sehingga saat
proliferasi keras uterus menjadi semakin besar. Selain itu trofoblas juga
mengeluarkan hormone HCG yang akan mengeluarkan rasa mual dan
muntah. Pada mola hidatidosa tidak jarang terjadi perdarahan
pervaginam, ini juga dikarenakan proliferasi trofoblas yang berlebihan.
Pengeluaran darah ini kadang disertai gelembung vilus yang dapat
memastikan diagnose mola hidatidosa.

2.6 Tanda Gejala


A. Anamnesa / Keluhan
1. Terdapat gejala-gejala hamil muda yang kadang-kadang lebih nyata
dari kehamilan biasa seperti mual, muntah, pusing, anorhoe, dan
lainnya. Hanya saja derajat keluhan sering lebih hebat.
2. Kadang kala ada tanda toksemia gravidarium atau preeklamsia selama
kehamilan.
3. Terdapat perdarahan yang sedikit/banyak, tidak teratur, warna
tengguli tua/kecoklatan seperti bumbu rujak. Gejala perdarahana ini
biasanya terjadi antara bulan pertama kehamilan sampai ketujuh
dengan rata-rata 12 sampai 14 minggu. Sifat perdarahan bisa
intermiten, sedikit-sedikit ataua sekaligus banyak yang sudah disertai
dengan syok atau kematian.
4. Keluar jaringan mola seperti buah anggur/mata ikan (tak selalu ada)
yang merupakan diagnosa pasti

B. Inspeksi
1. Muka dan kadang-kadang badan dan kelihatan pucat kekuning-
kuningan yang disebut mukamola (mola face)
2. Wajah terlihat pucat atau anemis
3. Perut terlihat lebih besar dari usia kehamilan. Ada pula kasus-kasus
yang uterusnya lebih kecil atau sama besar dari usia kehamilan meski
jaringannya belum dikeluarkan, yang dicurigai akibat perkembangan

11
jaringan tropoblas tidak begitu aktif sehingga perlu dipikirkan
kemungkinan adanya dying mole.

C. Palpasi
1. Uterus membesar tidak sesuai dengan tua kehamilan, terasa lembek
2. Tidak teraba bagian-bagian janin dan balo temen, juga gerakan janin

D. Auskultasi
1. Tidak terdengar bayi di denyut jantung janin
2. Terdengar bising dan bunyi khas

E. Reaksi kehamilan
1. Gali mainini 1/300 , maka suspek mola hidatidosa.
2. Gali mainini 1/200 , maka kemungkin mola hidatidosa. Bahkan pada
mola/koriokarsinoma, uji biologik atau imonologik cairan serba
sepinal dapat menjadi positif.

F. Pemeriksaan dalam
Pastikan besarnya rahim, rahim terasa lembek, tidak ada bagian-
bagian janin terdapat perdarahan dan jaringan dalam kanalis sevikalis dan
vagina serta evaluasi keadaan serulks

G. Foto rongen abdomen dan USG


Tidak terlihat tulang-tulang janin (pada kehamilan 3 – 4 bulan) dan
pada hasil ultrasonografi, pada mola akan bayangan badai salju dan tidak
terlihat janin.
Mola Hidatidosa bisa disertai dengan preeclampsia atau eklamsia,
hanya perbedaannya ialah bahwa preeclampsia pada mola hidatidosa
terjadinya pada kehamilan muda. Penyulit lain yang mungkin terjadi
ialah emboli sel trofoblas ke paru paru yang dapat dipicu oleh emboli
cairan ketuban.

12
2.7 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, hasil pemeriksaan fisik
yang ditemukan, pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, USG dan
pemeriksaan histologis. Diagnosa baru dapat ditegakkan bila ada gelembung-
gelembung mola yang lahir. Namun, bila menunggu gelembung mola keluar
biasanya sudah terlambat karena pengeluaran gelembung biasanya disertai
oleh pendarahan yang banyak dan keadaan umum pasien menurun. Maka
sebaiknya diagnosis dapat ditegakkan sebelum gelembung mola keluar.
Pada BJOG tahun 2020 mengenai clinical guidelines Management of
Gestational Trophoblast Disease, menyatakan bahwa diagnosis mola
hidatidosa dilakukan dengan pemeriksaan histologis. Gambaran patologis
yang konsisten dengan diagnosis kehamilan mola lengkap meliputi: tidak
adanya jaringan janin; perubahan hidropik yang luas pada vili;dan proliferasi
trofoblas yang berlebihan. Sedangkan Ciri-ciri kehamilan mola parsial
meliputi: adanya jaringan janin;perubahan hidropik fokal ke vili; dan
beberapa proliferasi trofoblas yang berlebihan. Status ploidi dan pewarnaan
imunohistokimia untuk p57, sebuah gen yang dicetak dari pihak ayah, dapat
membantu dalam membedakan kehamilan mola parsial dan lengkap.
Untuk memperkuat diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan kadar hCG
dalam darah atau urin, baik secara bioassay, immunoasaay, maupun
radioimunnoasay. Peningkatan hCG terutama pada hari ke 100 sangat
sugestif. Bila belum jelas dapat dilakukan pemeriksaan USG.
Diagnosis yang paling tepat bila kita telah melihat keluarnya
gelembung pada mola. Namun, bila kita menunggu sampai gelembung
tersebut keluar biasanya sudah sangat terlambat karena pengeluaran
gelembung mola disertai dengan perdarahan yang banyak hingga membuat
pasien pada umumnya menurunkan kesadaran.
Pada kehamilan trimester I gambaran mola hidatidosa tidak spesifik,
sehingga sulit dibedakan dengan kehamilan anembrionik, missed abortion,
abortus inkompletus, atau mioma uteri. Pada kehamilan trimester II gambaran

13
mola lebih spesifik. Kavum uteri berisi massa ekogenik bercampur bagian-
bagian anekoik vesikular berdiameter antara 5-10 mm.
Gambaran tersebut seperti gambaran sarang lebah (honey comb) atau
badai salju (snow strom). Pada 20-50% kasus dijumpai adanya massa kistik
multilokuler di daerah adneksa. Massa tersebut berasal dari kista teka-lutein.
2,8,10 Apabila jaringan mola memenuhi sebagian kavum uteri dan sebagian
berisi janin yang ukurannya relatif kecil dari umur kehamilannya disebut
mola parsialis.
Umumnya janin mati pada bulan pertama, tetapi ada juga yang hidup
sampai cukup besar atau bahkan aterm.

2.8 Komplikasi
Komplikasi mola hidatidosa meliputi :
1. Perdarahan hebat
2. Anemis
3. Syok
4. Infeksi
5. Perforasi uterus
6. Keganasan (PTG)

2.9 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan mola hidatidosa adalah pengosongan kavum
uteri dari jaringan mola dan pengawasan atau pemantauan lanjutan untuk
mendeteksi adanya proliferasi trofoblas kea rah perubahan maligna yang
persisten atau Persistent Trofoblastic Diseases (PTD).
Pengelolaan mola Hidatidosa dapat terdiri dari empat tahapan
pelaksanaan berikut ini.
A. Perbaikan Keadaan Umum
1. Koreksi dehidrasi
2. Transfusi darah bila ada anemia (Hb 8 ggr % atau kurang)

14
3. Bila ada gejala pre eklampsia dan hiperemesis gravidarum diobati
sesuai dengan protokol penanganan di bagian obstetrik dan
ginekologi
4. Bila ada gejala-gejala tirotoksikosis, dikonsultasikan ke bagian
penyakit dalam

B. Pengeluaran jaringan mola


1. Kuretase
Evakuasi jaringan mola yang terbaik adalah dimulai dengan
kuretase isap (suction curettage) oleh karena lebih aman, mudah
dan cepat untuk menghindari perforasi akibat kerokan. Kemudian
dapat dilanjutkan dengan kuret tumpul dan tajam untuk
mengambil bahan biopsi dari endometrium.
Jaringan yang diperoleh dengan kuretasi adalah jaringan mola
dan kerokan endometrium dengan diberikan label dan dikirim
secara tersendiri untuk pemeriksaan histopatologi. Setelah dilakukan
kuretase, apabila jaringan mola sudah bersih maka tindakan kuret ini
cukup dilakukan satu kali.
2. Histerektomi
Tindakan histerektomi dapat dilakukan dengan pertimbangan
umur relatif tua, rata-rata di atas 40 tahun dan paritas cukup,
rata-rata di atas 3. Histerektomi dapat dilakukan secara langsung atau
setelah 7 sampai 10 hari tindakan kuretase pertama.
C. Pemeriksaan Tidak Lanjut
1. Lama pengawasan 1-2 tahun.
2. Selama pengawasan, pasien dianjurkan untuk memakai kontrasepsi
kondom, pil kombinasi atau diafragma. Pemeriksaan fisik dilakukan
setiap kali pasien datang untuk kontrol.
3. Pemeriksaan kadar beta HCG dilakukan setiap minggu sampai
ditemukan kadarnya yang normal 3 kali berturut-turut.

15
4. Setelah itu pemeriksaan dilanjutkan setiap bulan sampai ditemukan
kadarnya yang normal 6 kali berturut-turut.
5. Bila telah terjadi remisi spontan (kadar beta HCG, pemeriksaan
fisik, dan foto toraks semuanya normal) setelah 1 tahun maka
pasien tersebut dapat berhenti menggunakan kontraasepsi dan
dapat hamil kembali.
6. Bila selama masa observasi, kadar beta HCG tetap atau meningkat dan
pada pemeriksaan foto toraks ditemukan adanya tanda-tanda
metastasis maka pasien harus dievaluasi dan dimulai pemberian
kemoterapi.

BJOG tahun 2020 mengenai clinical guidelines Management of


Gestational Trophoblast Disease, pemberian profilaksis anti-D
direkomendasikan setelah pengangkatan mola.
Sedangkan untuk penggunaan oxytocin sebelum pengangkatan
jaringan mola selesai tidak dianjurkan. Ada kekhawatiran teoretis atas
penggunaan rutin agen oksitosin, termasuk ergometrin dan misoprostol,
karena potensinya untuk mengembolisasi dan menyebarkan jaringan
trofoblas melalui sistem vena (BJOG,2020).
Hal ini diketahui terjadi pada kehamilan normal, terutama ketika
aktivitas uterus meningkat, seperti dengan solusio plasenta. Kontraksi
miometrium dapat memaksa jaringan ke dalam ruang vena di tempat
tempat pelengketan plasenta. Penyebaran jaringan ini dapat menyebabkan
kerusakan parah pada pasien, dengan penyakit emboli dan metastasis yang
terjadi diparu-paru. Jika terjadi perdarahan yang mengancam jiwa atau
perdarahan berkelanjutan, infus oksitosin dapat digunakan (BJOG, 2020).

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Penyakit trofoblas gestasional (GTD) adalah sekelompok tumor yang
ditandai dengan proliferasi trofoblas abnormal. Sel trofoblas menghasilkan
hormone human chorionic gonadotropin (hCG). GTD dibagi menjadi mola
hidatidosa (mengandung vili) dan neoplasma trofoblas lainnya (tidak
memiliki vili). Bentuk non-molar atau ganas dari GTD disebut gestasional
trofoblas neoplasia (GTN). Mereka termasuk mola invasif, koriokarsinoma,
tumor trofoblas situs plasenta, dan tumor trofoblas epiteloid. Keganasan ini
dapat terjadi beberapa minggu atau tahun setelah kehamilan tetapi paling
sering terjadi setelah kehamilan mola (NCBI, 2021).
Penyebab mola hidatidosa yang disebukan Yulianti tahun 2020, tidak
diketahui, factor-faktor yang dapat menyebabkan antara lain :
1. Faktor ovum : ovum memang sudah patologik sehingga mati, tetapi
terlambat dikeluarkan
2. Imunosedektif dari Trofoblas
3. Keadaan sosio-ekonomi yang rendah
4. Paritas tinggi
5. Kekurangan protein
6. Inveksi virus dan faktor kromosom yang belum jelas

3.1 Saran
Untuk menghindari terjadinya komplikasi akibat mola hidatidosa, bidan
diharapkan dapat lebih proaktif dalam pemahaman serta penanganan awal ibu
dengan gejala mola hidatidosa, meningkatkan pelayanan pemeriksaan ibu
hamil sesuai standar, dan Dinas Kesehatan dapat membantu untuk
peningkatan mutu penanganan dan pelayanan.

17

Anda mungkin juga menyukai