Awaluddin ma’rifatullah (ungkapan ulama) : perkara pertama dlm agama adalah mengenal
allah. Jika kita sudah kenal Allah maka semua perbuatan indah.
Cara mengenal Allah itu pakai asmaul husna.
Kemuliaan suatu ilmu tergantung pada perkara yang dipelajari dalam ilmu tersebut. Karena
tidak ada yang lebih mulia daripada Allâh Subhanahu wa Ta’ala, maka ilmu mengenal Allâh
merupakan ilmu yang paling mulia. Cara mengenal Allâh itu bisa dilakukan melalui :
• Ayat-ayat kauniyah (tanda-tanda keagungan Allâh pada alam semesta atau seluruh
makhlukNya), dan
Keempat bagian ini merupakan satu kesatuan, tidak boleh dipisah-pisahkan. Berikut ini
penjelasan singkat tentang empat perkara di atas.
Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun (yakni tanpa Pencipta), ataukah mereka yang
menciptakan (diri mereka sendiri)? [ath-Thûr/52:35]
Maksudnya, keadaan manusia atau makhluk yang sudah ada ini tidak lepas dari salah satu
dari tiga keadaan :
a. Mereka ada tanpa Pencipta. Ini tidak mungkin. Tidak ada akal sehat yang bisa menerima
bahwa sesuatu itu ada tanpa ada yang membuatnya.
b. Mereka menciptakan diri mereka sendiri. Ini lebih tidak mungkin lagi. Karena bagaimana
mungkin sesuatu yang awalnya tidak ada menciptakan sesuatu yang ada.
c. Inilah yang haq, yaitu Allâh Azza wa Jalla yang telah menciptakan mereka, Dialah Sang
Pencipta, Penguasa, tidak ada sekutu bagi-Nya.
Seorang Arab Baduwi ditanya, “Apakah bukti tentang adanya Allâh Azza wa Jalla?” Dia
menjawab, “Subhânallâh (Maha Suci Allâh)! Sesungguhnya kotoran onta menunjukkan
adanya onta, bekas telapak kaki menunjukkan adanya perjalanan! Maka langit yang memiliki
bintang-bintang, bumi yang memiliki jalan-jalan, lautan yang memiliki ombak-ombak,
tidakkah hal itu menunjukkan adanya al-Lathîf (Allâh Yang Maha Baik) al-Khabîr (Maha
Mengetahui).”
Imam Ahmad rahimahullah ditanya tentang hal ini, beliau menjawab, “Ada sebuah benteng
yang kokoh, halus, tidak ada pintu dan jendela. Luarnya seperti perak putih, dalamnya seperti
emas murni. Ketika dalam keadaan demikian, tiba-tiba temboknya terbelah, lalu keluarlah
darinya seekor binatang yang dapat mendengar dan melihat, memiliki bentuk yang indah dan
suara yang merdu.”
Yang dimaksudkan oleh Imam Ahmad adalah seekor ayam yang keluar dari telurnya. [Lihat
Tafsîr Ibnu Katsîr, surat al-Baqarah, ayat ke-21]
Sesungguhnya keyakinan adanya Sang Pencipta, Allâh Azza wa Jalla , merupakan fithrah
makhluk. Oleh karena itulah Fir’aun, bahkan Iblis, juga meyakini hal ini. Allâh Subhanahu
wa Ta’ala berfirman tentang Fir’aun dan kaumnya yang mengingkari mu’jizat Nabi Musa
Alaihissallam :
ََو َج َحدُوا بِهَا َوا ْستَ ْيقَنَ ْتهَا َأ ْنفُ ُسهُ ْم ظُ ْل ًما َو ُعلُ ًّوا ۚ فَا ْنظُرْ َك ْيفَ َكانَ عَاقِبَةُ ْال ُم ْف ِس ِدين
Dan mereka (Fir’aun dan kaumnya) mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan
(mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa
kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan. [an-Naml/27:14]
Oleh karena itu, tidaklah semata-mata seseorang meyakini adanya Allâh berarti dia adalah
orang Islam atau beriman.
Segala puji bagi Allah, Rabb (Pemilik, Penguasa) semesta alam. [al-Fâtihah/1:2]
Jenis tauhid ini tidak diingkari oleh orang-orang musyrik di zaman Rasûlullâh, bahkan
mereka mengakuinya, sebagaimana dinyatakan oleh beberapa ayat al-Qur’ân. Antara lain,
firman Allâh Azza wa Jalla .
ت َوي ُْخ ِر ُج ْال َميِّتَ ِمنَ ْال َح ِّي َو َم ْن ِ ِّي ِمنَ ْال َمي َّ صا َر َو َم ْن ي ُْخ ِر ُج ْال َح
َ ك ال َّس ْم َع َواَأْل ْب
ُ ِض َأ َّم ْن يَ ْمل
ِ ْقُلْ َم ْن يَرْ ُزقُ ُك ْم ِمنَ ال َّس َما ِء َواَأْلر
َيُ َدبِّ ُر اَأْل ْم َر ۚ فَ َسيَقُولُونَ هَّللا ُ ۚ فَقُلْ َأفَاَل تَتَّقُون
“Katakanlah, “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah
yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan
yang hidup dari yang mati dan yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah
yang mengatur segala urusan” Maka mereka (orang-oran