Anda di halaman 1dari 7

LEGAL OPINION

TINJAUAN HUKUM PENETAPAN TERSANGKA HA YANG TELAH MELAKUKAN PENIPUAN MELALUI


3 APLIKASI SCAM ATAU BODONG

Penulis : Adi Wira Atmadi


(Paralegal & Konsultan Hukum)

POSISI KASUS
Heri Supendi (HRS) yang tergiur dengan Bisnis Investasi Cryptocurrency mirip Bitcoin, bagai mana
tak tergiur melalui Aplikasi dan Website Crypto Mining Biz, USDT Hunter dan MetaTrader 4,
dirinya dijanjikan mendapatkan untung berlipat ganda berupa Mata Uang Kripto Ethereum (ETH)
dan Tether (USDT) dengan nilai Rupiah Ratusan Juta, belakangan diketahui bahwa ternyata
aplikasi tersebut Bodong alias tak Berizin.
Lucunya HRS yang harusnya sebagai Korban malah disomasi oleh Pihak HA yang membujuknya
mengikuti Investasi 3 Aplikasi tersebut dengan nilai Investasi Rp. 144 Juta, HA Warga Kampung
Kebon Kopi RT.01/RW.04 Desa Ciampea Kecamatan Ciampea, yang kini berkediaman di rumah
kontrakan RT.03 RW.12 Desa Bantar Jaya, Kecamatan Racabungur, Kabupaten Bogor ini
melayangkan somasi melalui Kantor Hukum Hadi Darussalam, SH dan Parthner.
Akhirnya Untuk membuktikan semua kebenaran dimata hukum, HRS pun mengadukan hal ini
kepada pihak Penegak Hukum di Polresta Bogor Kota dan juga LBH Pilar Nusa Bogor yang di
ketuai Kusnadi SH, MH, CPL, Arif Triono, SH bersama 6 Paralegal.
Berdasarkan informasi yang penulis baca melalui Media Online ;
https://newskabarnegeri.com/2020/12/18/hrs-tertipu-bisnis-investasi-cryptocurrency-bodong/
Bahwa dalam uraian berita tersebut telah di temukan tuntutan sebagai berikut ;

a. Adanya unsur terkait dugaan penipuan pada akhirnya HRS menyerahkan hak kuasa atas
persoalannya ke pihak ke dua, harapan agar persoalannya dapat diselesaikan.
b. Adanya unsur ketidak adilan penegakan Hukum kepada HRS sebagai korban tetapi yang
bersangkutan malah mendapatkan surat layangan somasi dari terduga HA.

SUMBER HUKUM
Pasal 378 KUHP
Pasal 28 ayat (1) UU ITE Jo. Pasal 45 A ayat (1) UU 19/2016.
Pasal 372 KUHP

Pasal 33 ayat (1) UU Mata Uang Jo. Pasal 34 huruf a Peraturan BI 18/2016
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan

ISI HUKUM

a. Apakah HA menggunakan tipu muslihat untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum dengan kemampuan pengetahuan IT yang ia miliki?, ataupun
rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu
kepadanya? (Pasal 378 KUHP)
b. Apakah HA dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik? (Pasal
28 ayat (1) UU ITE)
c. Apakah HA dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan
yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik? ( Pasal 28 ayat (1)
UU ITE jo. Pasal 45 A ayat (1) UU 19/2016.)
d. Apakah HA dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang
seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam
kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan? (Pasal 372 KUHP)
e. Apakah adanya unsur keterkaitan penggelapan melalui mata uang yang tidak sah atau
bukan merupakan alat pembayaran yang sah di Indonesia? (Pasal 33 ayat (1) UU Mata
Uang Jo Pasal 34 huruf a Peraturan BI 18/2016)
f. Apakah HA menghimpun dana dari masyarakat dengan tenpa idzin atau penampungan
dana secara ilegal? (Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan)

ANALISIS

Pasal 378 KUHP :


Sebelumnya mari kita simak bersama bunyi lengkap Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (“KUHP”) :
Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum dengan menggunakan nama palsu atau martabat (hoedaningheid) palsu; dengan tipu
muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang
sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam,
karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Dengan penjelasan di atas jelas bahwa Penggunaan Pasal 378 KUHP untuk menjerat Terduga HA
melakuykan aksi penipuan, baru bisa digunakan jika :
a. Terduga HA dengan rangkaian kebohongannya tidak mengembalikan Uang kepada
Korban HRS yang di titipkan di rekening pribadinya.
b. Terduga HA terus berkelit dengan rangkaian kebohongannya akan tetapi ternyata dapat
di buktikan bahwa Aplikasi dan Website tersebut Bodong atau Scam.

Kemudian bunyi Pasal 28 ayat (1) UU ITE jo. Pasal 45 A ayat (1) UU 19/2016. :
Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang
mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.

Perbuatan yang diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE merupakan salah satu perbuatan yang
dilarang dalam UU ITE. UU ITE tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “berita bohong dan
menyesatkan”.
Terkait dengan rumusan Pasal 28 ayat (1) UU ITE yang menggunakan frasa “menyebarkan berita
bohong”, sebenarnya terdapat ketentuan serupa dalam Pasal 390 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (“KUHP”) walaupun dengan rumusan yang sedikit berbeda yaitu digunakannya frasa
“menyiarkan kabar bohong”. Pasal 390 KUHP berbunyi sebagai berikut:
Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan
melawan hak menurunkan atau menaikkan harga barang dagangan, fonds atau surat berharga
uang dengan menyiarkan kabar bohong, dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan
bulan.
Menurut R.Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 269), terdakwa hanya dapat dihukum dengan Pasal
390 KUHP, apabila ternyata bahwa kabar yang disiarkan itu adalah kabar bohong. Yang
dipandang sebagai kabar bohong, tidak saja memberitahukan suatu kabar yang kosong, akan
tetapi juga menceritakan secara tidak betul tentang suatu kejadian. Menurut hemat kami,
penjelasan ini berlaku juga bagi Pasal 28 ayat (1) UU ITE. Suatu berita yang menceritakan secara
tidak betul tentang suatu kejadian adalah termasuk juga berita bohong.
Menurut hemat kami, kata “bohong” dan “menyesatkan” adalah dua hal yang berbeda. Dalam
frasa “menyebarkan berita bohong” yang diatur adalah perbuatannya, sedangkan dalam kata
“menyesatkan” yang diatur adalah akibat dari perbuatan ini yang membuat orang berpandangan
salah/keliru. Selain itu, untuk membuktikan telah terjadi pelanggaran terhadap Pasal 28 ayat (1)
UU ITE maka semua unsur dari pasal tersebut haruslah terpenuhi. Unsur-unsur tersebut yaitu:

a. Setiap orang.
b. dengan sengaja dan tanpa hak. Terkait unsur ini, dosen Fakultas Hukum Universitas
Padjadjaran Danrivanto Budhijanto, S.H., LL.M. dalam artikel Danrivanto Budhijanto, "UU
ITE Produk Hukum Monumental" diunduh dari www.unpad.ac.id) menyatakan antara lain
bahwa perlu dicermati (unsur, ed) ’perbuatan dengan sengaja’ itu, apakah memang
terkandung niat jahat dalam perbuatan itu. Periksa juga apakah perbuatan itu dilakukan
tanpa hak? Menurutnya, kalau pers yang melakukannya tentu mereka punya hak.
Namun, bila ada sengketa dengan pers, UU Pers (Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999
tentang Pers, ed) yang jadi acuannya.
c. Menyebarkan berita bohong dan menyesatkan.

Karena rumusan unsur menggunakan kata “dan”, artinya kedua unsurnya harus
terpenuhi untuk pemidanaan, yaitu menyebarkan berita bohong (tidak sesuai dengan
hal/keadaan yang sebenarnya) dan menyesatkan (menyebabkan seseorang
berpandangan pemikiran salah/keliru).[1] Apabila berita bohong tersebut tidak
menyebabkan seseorang berpandangan salah, maka menurut hemat kami tidak dapat
dilakukan pemidanaan.
d. Yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik. Unsur yang terakhir
ini mensyaratkan berita bohong dan menyesatkan tersebut harus mengakibatkan suatu
kerugian konsumen. Artinya, tidak dapat dilakukan pemidanaan, apabila tidak terjadi
kerugian konsumen di dalam transaksi elektronik.
Maka jika terduga HA melanggar ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU ITE dapat diancam pidana
berdasarkan Pasal 45A ayat (1) UU 19/2016, yaitu:

Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan
yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 1 miliar.

Kemudian bunyi Pasal 372 KUHP :


Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya
atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena
kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau
pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
Dengan penjelasan di atas jelas bahwa Penggunaan Pasal 372 KUHP untuk menjerat Terduga HA
melakuykan aksi penggelapan, baru bisa digunakan jika :
a. Terduga HA dengan rangkaian kebohongannya tidak mengembalikan Uang kepada
Korban HRS yang di titipkan di rekening pribadinya.
b. Terduga HA terus berkelit dengan rangkaian kebohongannya akan tetapi ternyata dapat
di buktikan bahwa Aplikasi dan Website tersebut Bodong atau Scam.
c. Terduga HA tidak dapat mengembalikan Uang kepada Korban HRS dalam kurun waktu
yang telah//sudah/akan ditetapkan.

Pasal 33 ayat (1) UU Mata Uang :


Setiap orang yang tidak menggunakan Rupiah dalam:
a. setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran;
b. penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau
c. transaksi keuangan lainnya,

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Terkait dengan mata uang mirip bitcoin ini, Bank Indonesia dalam Siaran Pers Pernyataan Bank
Indonesia Terkait Bitcoin dan Virtual Currency Lainnya menyatakan:

No: 16/ 6 /DKom


Memperhatikan Undang-undang No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang serta UU No. 23 Tahun
1999 yang kemudian diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 2009,
Bank Indonesia menyatakan bahwa Bitcoin dan virtual currency lainnya bukan merupakan mata
uang atau alat pembayaran yang sah di Indonesia.

Pasal 34 huruf a Peraturan BI 18/2016, Bank Indonesia melarang Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran untuk melakukan pemrosesan transaksi pembayaran dengan menggunakan virtual
currency (termasuk bitcoin) atau mirip bitcoin.
Bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang melanggar ketentuan tersebut maka akan
dikenakan sanksi administratif berupa:[3]
a. teguran;
b. denda;
c. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan jasa sistem pembayaran; dan/atau
d. pencabutan izin sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran.

Jadi berdasarkan penjelasan tersebut dapat kita simpulkan bahwa bitcoin bukan merupakan
mata uang atau alat pembayaran yang sah di Indonesia.
Jika Terduga HA terbukti melakukan pelanggaran, maka Terduga dapat dikenakan pidana dengan
Pasal 33 ayat (1) UU Mata Uang.

Kemudian Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang


Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan :
(Undang-Undang Perbankan) mengatur bahwa pihak yang menghimpun dana dari Masyarakat
dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari Pimpinan Bank Indonesia dapat dikenakan pidana
penjara sekurang-kurangnya 5 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda sekurang-kurangnya
Rp 10 Milyar dan paling banyak Rp 200 Milyar.

Dalam penjelasan di atas jika Terduga HA terbukti menghimpun dari Masyarakat tanpa memiliki
Izin terdaftar, Terduga dapat dikenakan sangsi pidana menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

KESIMPULAN

Seharusnya pihak HA lebih koperatif akan hal ini, jangan sampai ada pihak-pihak lain yang pada
ujungnya jadi merugikan masyarakat banyak dengan tawaran-tawaran terkait aplikasi-aplikasi
tersebut. Apalagi saat ini di masa krisis dampak dari Pandemi Covid-19.
Dari alur berita pada sumber yang telah di angkat oleh media di atas tersebut, untuk
membuktikan semua kebenaran dimata hukum dan untuk menetapkan seseorang menjadi
tersangka menggunakan Pasal : (Pasal 378 KUHP), (Pasal 28 ayat (1) UU ITE Jo. Pasal 45 A ayat (1)
UU 19/2016.), (Pasal 372 KUHP), (Pasal 33 ayat (1) UU Mata Uang Jo. Pasal 34 huruf a Peraturan
BI 18/2016), (Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan). haruslah didapati bukti permulaan yang cukup yaitu
paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti ; "dalam bentuk Lisan ataupun Tulisan". Berdasarkan Pasal 1
angka 11 jo. Pasal 14 ayat (1) Perkap 12/2009, prosedur penyelesaian perkara termasuk
penyidikan dan penetapan tersangka, harus dilakukan secara profesional, proporsional dan
transparan agar tidak ada penyalahgunaan wewenang dan lebih jauh tidak semata-mata
bertendensi menjadikan seseorang menjadi tersangka.
Yang harus menjadi Fokus dari pihak Kepolisian Polresta Bogor Kota adalah; Mengusut tuntas
Pelaku yang diduga telah merugikan Masyarakat melalui Media Aplikasi atau semacamnya.
Secara tegas harus diungkap dan dihukum sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

Anda mungkin juga menyukai