Anda di halaman 1dari 16

FINAL

KOMUNIKASI GENDER

DISUSUN OLEH :

HAERIL BINTANG

50500119047

JURNALISTIK B

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2022
Kata pengantar

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala Rahmat-nya sehingga penulis

dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Essay Grafika Dan Penerbitan” tersusun

dengan selesai dan tepat waktu. Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah

penelitian jurnalistik.

Tak lupa pula kami mengucapkan banyak terima kasih kepada ibu Rahmawati Latief, S.

Sos, M. Soc. Sc Selaku dosen mata kuliah ini yakni penelitian jurnalistik yang telah

membimbing penulis dalam pengerjaan makalah analisis framing ini.

Penulis sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam pengerjaan dan penyusunan

makalah ini. Oleh karena itu penulis sangat menerima semua kritikan-kritikan terhdapat makalah

ini untuk membangun makalah ini jauh lebih baik. Semoga makalah ini mampu memberikan

manfaat bagi kita semua.

Makassar, 3 Juli  2022

Penulis
A. BIAS GENDER

Kisah Perempuan di Industri, Hadapi Diskriminasi Upah hingga Jabatan

Perempuan kerap dikatakan tidak bisa berpikir logika sehingga tidak bisa berada di
posisis strategis.

Direktur People and Culture Coca Cola Europacific Partners Lucia Karina.

Penulis: Andi M. Arief

Editor: Tia Dwitiani Komalasari

21/4/2022, 13.49 WIB

Perempuan masih menghadapi diskriminasi gender di dunia kerja meskipun sebagian industri


kini sudah banyak yang menekan hambatan tersebut. Beberapa tantangan itu diantaranya adalah
diskirminasi upah hingga jabatan struktural.

Kondisi itu dikisahkan Plt Direktur People & Culture Coca-Cola Europacific Partners (CCEP)
Indonesia, Lucia Karina dalam sesi wawancara bersama wartawan secara daring, Kamis (21/4).
Sebagai lulusan Teknik sipil, Lucina mengawali karier dengan bekerja di beberapa perusahaan
konstruksi.

Lucia mengatakan, dirinya pernah mengalami bekerja di perusahaan yang membedakan upah
antara perempuan dan laki-laki. Selain itu, struktur sosial perusahaan membatasi jenjang karir
perempuan untuk mencapai jabatan yang lebih tinggi.

“Perempuan sering dikatakan tidak bisa berpikir logis dan banyak menggunakan intuisi, sehingga
tidak bisa berada di posisis strategis” ujarnya.

Dia mengatakan, perempuan juga sering dianggap tidak bisa memegang fungsi manajemen.
Padahal dalam rumah tangga, perempuan sudah terbiasa melakukan fungsi manajemen tersebut
terhadap keluarga.

“Jika suami memikirkan hari ini makan apa, perempuan sudah berpikir apa yang harus dilakukan
anak-anak besok, dan apa saja kebutuhannya, kata Lucia.

Lucia pun memilih untuk pindah dari perusahaan tersebut dan berkarier di tempat yang
mendukung kesetaraan perempuan dan laki-laki. Dia akhirnya bisa menempati posisi manajerial
di beberapa perusahaan.
Bahkan tak jarang dia menjadi manajer termuda di perusahaan tersebut. Bagi
Lucia,pengembangan karier lebih  penting daripada sekedar mencari gaji yang besar.

“Jadi yang dikejar bukan hanya uang atau gaji, tapi yang dikejar adalah penambahan tanggung
jawab sehingga dia bisa berkembang jauh lebih bagus lagi,”ujarnya.

Namun, diskriminasi gender tersebut tidak hanya beerasal dari dalam perusahaan. Lucia kembali
menghadapi tantangan baru ketika harus membangun 500 rumah dalam jangka waktu tiga bulan
bagi korban Tsunami Aceh pada 2005.

“Begitu tahu yang datang perempuan, para pekerjanya meninggalkan lapangan tersebut,”
tuturnya.

Namun tekad Lucia tidak surut. Dia mencari pekerja lain yang mau bekerja sama dengannya.
Strategi yang dipilih Lucina adalah menyerap tenaga kerja konstruksi asal Pulau Jawa yang
berdiam di Medan. Setelah melihat kompetensi Lucia, tenaga kerja konstruksi lokal mulai
kembali berpartisipasi. 

"Agustus, (Presiden) Susilo Bambang Yudhoyono datang. Kami selesaikan 600 unit rumah yang
targetnya 500 unit," kata Lucina. 

Lucia meyakini banyak perempuan di dalam negeri yang mampu berkarir dan menembus
level executive leadership. Saat ini, dirinya banyak melakukan proyek sukarela untuk membuka
wawasan perempuan-perempuan di berbagai daerah terhadap kesetaraan gender.

Pemberdayaan Perempuan di CCEP

Lucia mencatat saat ini kontribusi tenaga kerja perempuan di CCEP telah naik dari satu digit
menjadi 11,5% pada akhir 2021. Dari angka tersebut, hampi 30% menduduki level manajerial,
sedangkan 25% ada di level eksekutif. 

Menurut dia, hal tersebut dimungkinkan karena CCEP betul-betul memegang prinsip
pemberdayaan perempuan. Lucia menilai penerapan prinsip pemberdayaan perempuan justru
menjadi tantangan bagi perusahaan nasional. Pasalnya, kata Lucia, masih banyak manajemen
perusahaan nasional yang tidak menempatkan perempuan pada posisi eksekutif dengan alasan
perempuan umumnya tidak memiliki visi yang panjang. 

"Saya salah satu yang mendobrak perbedaan laki-laki dan perempuan di CCEP, baik dari sisi
benefit maupun posisi. Misalnya ada perusahaan, kalau anak sakit menjadi tanggungan
suaminya. Kenapa begitu? Toh itu anak bersama suami dan istri,"tuturnya.

Dia mengatakan, kinerja dan integritas sebaiknya menjadi tolak ukur bagi karyawan.
Perusahaannya kini sudah menerapkan struktur gaji berbasis kinerja.
"Betul- betul kami berkomitmen, harus berdasarkan kinerja, bukan gender, termasuk disabilitas,
kami tidak ada perbedaan," ujarnya.

 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada 2,82 juta penduduk 15 tahun ke atas yang bekerja
memiliki jabatan manajerial. Dari 2,82 juta pekerja di jabatan manajerial, sebanyak 33,08%
merupakan perempuan.

Reporter: Andi M. Arief

https://katadata.co.id/tiakomalasari/berita/6260fe6ac99a0/kisah-perempuan-di-industri-hadapi-
diskriminasi-upah-hingga-jabatan.

Sri Mulyani: Gaji Perempuan 23% Lebih Rendah Dibanding Pria

Lidya Julita Sembiring, CNBC Indonesia

Jakarta, CNBC Indonesia- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa tenaga


kerja saat ini didominasi oleh kaum pria. Wanita hanya 53 persen dari jumlah wanita yang ada di
usia kerja.

Jauh lebih rendah dibandingkan dengan kaum pria sebanyak 83 persen dari jumlah pria yang ada
di usia kerja.

Sebesar 55 persen wanita bekerja itu ada di sektor informal dan Usaha Kecil Mikro (UKM). Tak
hanya jumlah partisipasi kerjanya, jumlah gaji yang diterima oleh perempuan dan pria juga
berbeda.

Jika anda liat juga memiliki perbedaan besar yang juga mengkonfirmasi yang lain yaitu
perbedaan gaji antara wanita dan pria 23 persen. Perempuan menerima gaji 23 persen lebih
rendah daripada laki-laki," ujarnya dalam acara ABAC di Hotel Shangrila, Jakarta, Rabu
(24/9/2019).

Lanjut, Sri Mulyani, berbeda dengan pekerjaan Menteri yang memang gaji antara Menteri pria
dan perempuan sama. Sedangkan pekerjaan non menteri biasanya berbeda.

"Ini tidak sama untuk pekerjaan non-menteri. Misalnya konstruksi, transportasi. Ini jika kita
berbicara tentang di mana para wanita itu benar-benar bekerja? Kecuali sektor kecil dan
informal," jelasnya.

Menurutnya, di Indonesia masih ada anggapan bahwa pekerjaan terutama di sektor formal itu
sebagai pekerjaan yang harusnya dilakukan oleh lelaki dan tidak cocok untuk perempuan.
Persepsi ini yang menurut dia perlu diubah sehingga ada kesetaraan antara wanita dan pria dalam
pekerjaan.

"Hambatan lain yang merupakan penghalang dalam hal ini adalah persepsi. Mengapa kamu
bekerja untuk area ini, area itu. Ini adalah salah satu persepsi yang menciptakan penghalang yang
tidak perlu bagi banyak perempuan di Indonesia untuk berpartisipasi dalam pasar kerja,"
tegasnya.

NEWS

https://www.cnbcindonesia.com/news/20190424154951-4-68602/sri-mulyani-gaji-perempuan-
23-lebih-rendah-dibanding-pria.

Survei: Hanya 4% Perempuan Bisa Jadi CEO 200 Perusahaan Terbesar BEI

Sebanyak delapan dari 10 perusahaan BUMN memiliki eksekutif perempuan kurang dari
20%. Kemudian, enam dari 10 perusahaan di sektor swasta memiliki eksekutif perempuan
kurang dari 20%.

Koalisi pemberdayaan ekonomi perempuan dan kesetaraan gender, Indonesia Bussiness


Coalition for Women Empowerment (IBCWE) merilis data sensus, hanya sekitar 4% perempuan
yang menjadi pemimpin di perusahaan yang termasuk dalam IDX200 IDX200 merupakan indeks
200 perusahaan terbuka dengan aktivitas transaksi dan kapitalisasi pasar terbesar di Bursa Efek
Indonesia (BEI). Direktur Eksekutif IBCWE Maya Juwita mengatakan, hanya delapan
perusahaan yang memiliki CEO seorang perempuan. Hasil sensus terkait jumlah pemimpin
perempuan di perusahaan-perusahaan yang termasuk dalam kategori IDX 200 ini dilakukan sejak
2019 hingga akhir 2021. 

Sementara itu, dalam periode yang sama, karyawan perempuan mengambil peran sebagai tim
eksekutif atau excecutive leadership team tercatat sebesar 15% dari keseluruhan perusahaan
tersebut.

PR Sebanyak 21% dari total perusahaan telah mencapai kesetaraan gender dalam susunan
eksekutif. Di sisi lain, tercatat 94 dari 200 perusahaan IDX200 tidak memiliki perempuan yang
berperan sebagai tim eksekutif. Maya menjelaskan, terdapat tiga sektor industri dengan
keterwakilan perempuan sebagai eksekutif perusahaan tertinggi yakni, di sektor barang
konsumer non-primer sebesar 29%, sektor kesehatan sebesar 27%, dan sektor teknologi sebesar
23%.
"Terjadi penurunan di eksekutif perempuan dalam peran bisnis, dari 11% pada 2019 dan 2020,
menjadi 10% pada 2021," kata Maya dalam sebuah Webinar, Kamis (21/4). Sementara itu,
terjadi pertumbuhan positif dalam peran fungsional di posisi strategi sebesar 23% dibanding
tahun sebelumnya, terutama di industri infrastruktur.

Ia menambahkan, pada 2021, sebanyak delapan dari 10 perusahaan BUMN memiliki eksekutif


perempuan kurang dari 20%. Kemudian, enam dari 10 perusahaan di sektor swasta memiliki
eksekutif perempuan kurang dari 20%. Untuk meningkatkan kesetaraan gender di perusahaan,
khususnya pada perusahaan-perusahaan terbuka di Bursa Efek Indonesia (BEI), pihaknya
merekomendasikan perusahaan agar mengidentifikasi indikator yang lebih baik guna menangkap
relevansi kinerja perusahaan dengan kinerja kepemimpinan perempuan. Selain itu,
mengeksplorasi representasi perempuan, baik pada line-function maupun fungsional. "Kami juga
menyarankan kepada BEI untuk lebih mendorong perusahaan terbuka menentukan posisi
eksekutif, lebih merinci deskripsi pekerjaan pada posisi eksekutif dan mengembangkan struktur
organisasi dalam laporan tahunan perusahaan," kata dia.

Sementara itu, Direktur Utama BEI Inarno Djajadi menjelaskan upaya-upaya BEI untuk
meningkatkan kesetaraan gender di setiap perusahaan terbuka, di antaranya
dengan meningkatkan kesadaran dan terus menyuarakan pentingnya kesetaraan gender, serta
mendorong perusahaan tercatat untuk lebih transparan dengan melakukan pelaporan terkait
kesetaraan gender. Ia menyebut, saat ini jumlah eksekutif perempuan di BEI sudah mencapai
43% dan pihaknya akan berupaya untuk terus meningkatkan angka tersebut. "BEI akan
mendukung penuh semua usaha untuk mencapai kesetaraan gender. Memang tidak ada jalan
singkat untuk mencapai hal tersebut, tapi kami terus mendorong dan berharap agar ke depannya
akan ada lebih banyak lagi perempuan yang ada di jajaran direksi perusahaan," kata Inarno.

Reporter: Cahya Puteri Abdi Rabbi

Penulis: Cahya Puteri Abdi Rabbi

Editor: Lavinda

https://katadata.co.id/lavinda/finansial/6261044ac1647/survei-hanya-4-perempuan-bisa-jadi-ceo-
200-perusahaan-terbesar-bei.

Kualitas Hidup Perempuan Membaik, Tapi Terus Tertinggal

Menciptakan relasi yang setara dan harmonis di antara perempuan dan laki-laki
memerlukan dukungan berbagai pihak.

Penulis: Dini Hariyanti Editor: Arie Mega Prastiwi 9/3/2022, 17.56 WIB
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia terus meningkat. Tapi, ketimpangan gender
juga tetap tinggi. Guna menciptakan relasi yang harmonis di antara laki-laki dan perempuan
memang memerlukan dukungan dari berbagai pihak. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat IPM
laki-laki maupun perempuan pada 2010 – 2019 trennya membaik, artinya terus meningkat.
Namun, IPM perempuan terus tertinggal di bawah laki-laki. Sementara itu, IPM total per 2019
pada level 71,92. Data tersebut menunjukkan fakta bahwa ketimpangan gender di Indonesia
belum kunjung bisa dientaskan. Pasalnya, perempuan terus tertinggal dari laki-laki pada banyak
bidang, seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, keterwakilan dalam politik, dan lain-lain.

https://katadata.co.id/ariemega/infografik/622887c4a25d8/kualitas-hidup-perempuan-membaik-
tapi-terus-tertinggal.

Penulis: Dini Hariyanti

Editor: Arie Mega Prastiwi

Kekerasan Terhadap Perempuan Secara Online Makin Marak

Kekerasan secara online terhadap perempuan didominasi kasus intimidasi (cyber


harassment), ancaman penyebaran foto/video pribadi (malicious distribution) dan
pemerasan seksual (sextortion)

Penulis: Arie Mega Prastiwi 14/4/2022, 16.11 WIB

Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2022 menyebutkan, kekerasan berbasis


gender secara online yang meningkat cukup signifikan. Pada 2021, kasus yang tercatat sebanyak
1.721 kasus atau naik 83% dibandingkan tahun sebelumnya yakni sebanyak 940. Komnas
Perempuan mencatat kasus yang paling sering terjadi adalah penyebaran konten porno, peretasan
dan pemalsuan akun, hingga pendekatan untuk memperdayai (grooming).

Hal ini menyebabkan efek traumatis pada korban hingga mengalami depresi, kehilangan harga
diri bahkan mempunyai keinginan untuk bunuh diri Bagai pisau bermata dua, tingginya penetrasi
internet di Indonesia memberikan efek negatif pada sisi kekerasan di dunia online. Data laporan
kekerasan secara online terus meningkat dalam 5 tahun terakhir, seiring meningkatnya pengguna
internet di Indonesia. Data We Are Social mencatat lebih dari 70% orang indonesia sudah
mempunyai akses pada internet dengan rata-rata waktu yang dihabiskan mencapai 8 jam per
harinya.
Di sisi lain, Komnas Perempuan juga menyebutkan bahwa selama kurun waktu 10 tahun
pencatatan kasus kekerasan terhadap perempuan (2012-2021), tahun 2021 tercatat sebagai tahun
dengan jumlah kasus Kekerasan Berbasis Gender (KBG) tertinggi, yakni meningkat 50%
dibanding tahun 2020, sebanyak 338.496 kasus. Angka ini bahkan lebih tinggi dari angka KBG
sebelum masa pandemi di tahun 2019. Namun demikian, dalam hal penanganan dan
penyelesaian kasus, Komnas Perempuan mencatat hanya sedikit informasi yang tersedia atau
sekitar 15% dari total kasus yang dicatatkan oleh lembaga layanan dan Komnas Perempuan.
Upaya penyelesaian lebih banyak secara hukum (12%) dibandingkan dengan cara non hukum
(3%). Bahkan banyak kasus tidak ada informasi penyelesaiannya (85%).

Masih banyak ditemukan kendala dalam upaya penyelesaian kasus-kasus tersebut, termasuk
dalam substansi hukum yang terlihat dari penggunaan basis hukum dan pasalnya. Persoalan
keterbatasan infrastruktur yang dibutuhkan untuk penyelesaian kasus, termasuk SDM, fasilitas
dan anggaran berulang-ulang dikeluhkan oleh lembaga layanan untuk dapat menjalankan layanan
secara optimal.

https://katadata.co.id/ariemega/infografik/6257e55282a50/kekerasan-terhadap-perempuan-
secara-online-makin-marak.

Penulis: Arie Mega Prastiwi

Editor: Arie Mega Prastiwi

B. SENSITIF GENDER

Komnas Perempuan Kecam Pelecehan Mahasiswi di KA: Petugas Harus Sensitif Gender

Marlinda Oktavia Erwanti - detikNews

Jumat, 26 Apr 2019 07:14 WIB

Jakarta - Komnas Perempuan menyesalkan peristiwa pelecehan seksual yang dialami penumpang
perempuan saat dalam perjalanan kereta Jakarta-Surabaya. Komnas Perempuan menilai hal itu
menunjukkan rentannya perempuan terhadap kekerasan seksual.

"Kedua, transportasi umum itu kan tempat yang terbuka di mana harusnya orang bisa menjaga
ini ya, orang di tempat terbuka saja tidak bisa menjaga perilaku bagaimana lagi di tempat-tempat
tertutup. Bagaimana kita bisa membayangkan rentannya perempuan terhadap kekerasan seksual,"
ujar Ketua Komnas Perempuan, Azriana kepada detikcom, Jumat (26/4/2019).
Azriana mengatakan, terjadinya pelecehan seksual di transportasi umum ataupun tempat terbuka
memperlihatkan bahwa perempuan masih dilihat sebagai objek. Dia pun meminta pengawasan di
transportasi umum, khususnya kereta api (KA) lebih ditingkatkan.

"Dan itu kenapa bisa terjadi di tempat terbuka seperti itu, karena itu tadi perempuan masih dilihat
sebagai objek dari keisengan, objek dari pelampiasan hasrat seksual dan sebagainya. Dengan
kejadian ini bukan saja soal pengawasan di transportasi umum yang harus ditingkatkan, tapi
petugas juga sudah harus sensitif gender dengan situasi kemudian kalau ada orang yang
mengalami pelecehan dan melaporkan itu ada reaksi cepat yang diambil. Bukan menyalahkan
korbannya tapi harusnya terlebih dulu menangani pelakunya, dan jangan mentolerir sedikitpun.
Karena tidak ada alasan apapun yang membenarkan pelecehan seksual," tuturnya.

Azriana juga menyayangkan respon petugas keamanan KA yang disebut tidak responsif dan
malah menyalahkan korban. Menurut dia, hal itu menunjukkan gambaran bahwa petugas
pelayanan publik dan transportasi di Indonesia masih memiliki budaya menyalahkan korban dan
bias gender.

"Saya ingin mulai dengan sikap petugasnya ya. Ini kan juga gambaran dari petugas-petugas
pelayanan publik kita, transportasi itu masih punya budaya menyalahkan korban, sikap
menyalahkan korban itu masih sangat kuat. Memang budaya yang menghambat akses korban
untuk pulih juga. Sikap petugas itu memperlihatkan budaya menyalahkan korban itu masih
sangat kuat di kalangan petugas pelayanan publik kita," kata Azriana.

"Itu satu dan ini sikap ini lahir dari cara pandang yang bias gender. Yang masih melihat menjaga
urusan, sikap, mengendalikan perilaku masih diletakkan di perempuan saja. Perempuan dilihat
sebagai objek. Kewajiban meletakkan, untuk menjaga perilaku yang diletakkan kepada
perempuan itu kan berdasarkan sikap melihat perempuan sebagai objek. Dua kebiasaan ini masih
berjalan seiring. Itu yang kemudian yang menyebabkan ada pernyataan-pernyataan seperti tadi
kepada perempuan korban pelecehan seksual," sambung dia.

Dia pun meminta PT KAI tak hanya sekadar memberikan pembinaan kepada petugas yang
memberikan jawaban tak pantas kepada korban. Azriana juga meminta PT KAI untuk
mengawasi dan memantau apakah dari pembinaan itu ada perubahan perilaku.

"Yang pertama pembinaan itu salah satu cara mencegah keberulangan, tapi yang harus dipastikan
ada pemantauan juga dari proses yang dilakukan ada perubahan pelaku nggak. Itu juga jadi
nggak cukup pembinaan tanpa pengawasan. Dan pembinaan harus dibarengi juga dengan
infrastruktur yang mendukung untuk gimana pencegahan pelecehan seksual itu bisa terjadi.
Perubahan paradigma, perspektif itu juga didukung oleh infrastruktur dan sarana yang bisa
meminimalkan kejadian pelecehan itu," kata Azriana.

Sebelumnya diberitakan, pengakuan seorang penumpang perempuan yang mendapat pelecehan


seksual dari penumpang pria saat dalam perjalanan kereta Jakarta-Surabaya viral di media sosial.
Peristiwa itu diceritakan seorang penumpang dalam akun Twitter-nya pada Rabu (23/4). Dia
mengatakan pria yang melecehkannya itu berinisial AR, tinggal di Pesona Kalisari, Pasar Rebo,
dan kerap naik kereta api Indonesia (KAI), khususnya rute Jakarta-Surabaya atau sebaliknya.
Mereka sempat berbincang hingga terjadi pelecehan seksual.

Perempuan itu kemudian melaporkan kejadian pelecehan seksual itu kepada petugas keamanan
kereta. Namun, sayangnya petugas malah memberikan jawaban yang tak pantas kepada korban.

"Ironisnya, security kereta malah mengatakan 'ah biasalah mbak, namanya juga cowo. Mending
kita omongin baik-baik, dia pelanggan, saya harus jaga privasinya. Lagi pula, mbaknya terlihat
seperti anak karokean, bukan anak baik-baik, jelas aja dia berani'," kata perempuan itu dalam
akun Twitter-nya, Selasa (23/4). Dia menirukan pernyataan petugas kereta api yang menerima
aduannya.

PT KAI pun memberi penjelasan soal kejadian itu dan menegaskan kasus itu sudah diselesaikan.
VP Public Relations PT KAI Edy Kuswoyo juga meminta maaf kepada mahasiswi tersebut atas
perilaku petugasnya.

"Perihal itu nanti kita lakukan pembinaan petugas terkait ya, kemudian kita evaluasi juga
kejadian tersebut agar tidak terjadi lagi di kemudian hari, semoga ini kejadian terakhir lah ya,"
kata Edy saat dihubungi detikcom, Kamis (25/4/2019).

"PT KAI turut prihatin atas kejadian tersebut, kemudian PT KAI mohon maaf apabila ada
petugas yang mungkin tidak berkenan, PT KAI menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-
besarnya, yang mungkin jawaban dari petugas PT KAI yang tidak berkenan," imbuh dia.

(mae/zap)

https://news.detik.com/berita/d-4525330/komnas-perempuan-kecam-pelecehan-mahasiswi-di-ka-
petugas-harus-sensitif-gender.

Rosiana Silalahi: Jurnalis Perempuan Harus Lebih Berani Bicara soal Ketidaksensitifan
Gender

Liputan6.com, Jakarta - Berbagai persoalan yang dihadapi jurnalis perempuan hampir sama,


yaitu bagaimana jurnalis perempuan harus lebih berani bicara tentang ketidaksensitifan gender.
Hal itu terutama terkait pemberitaan terhadap perempuan.
Pemimpin Redaksi Kompas TV, Rosiana Silalahi menyampaikan hal itu dalam webinar yang
diselenggarakan oleh Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI), Sabtu (5/2/2022). Dalam
kacamata Rosiana, seacrh engine atau SEO bisa sangat merugikan.

"TV mengalami dua pukulan yang sangat besar. Pertama, masih berkutat dengan kecamnya
Nielsen. Kemudian, di era digital ini juga dengan SEO," ujar perempuan yang akrab disapa Rosi
itu.

Ia menilai, di redaksi media online, menentukan berita itu bukan berdasarkan apa yang penting
atau apa yang biasa saat rapat redaksi. Namun, dilihat dulu apa yang sedang tren.

"Jika di Google sedang trending, mereka kemudian menguliknya sedemikian rupa. Ini mungkin
cara baru kerja redaksi media online," kata Rosi.

Rosi menyebut hal itu merupakan sesuatu yang tidak bisa dilawan. Namun, ia tetap mengatakan
di tim Kompas.tv dan Kompas TV digital. "Pertama, SEO itu penting untuk keterbacaan viewers.
Namun kita juga harus tetap menyajikan yang inspiring dan pemberdayaan," kata Rosiana.

Rosiana mengatakan salut dengan pertimbangan jurnalis perempuan yang tidak mengambil
pernyataan Oki Setiana Dewi soal suami pukul istri. Namun, mereka memilih ustazah-ustazah
yang memiliki pemikiran tentang kesetaraan gender.

"Jadi, kita bisa mengambil tentang nasihat-nasihat perkawinan berbasis keadilan terhadap
perempuan atau kesetaraan dari istri. Tapi itu tidak gampang, karena kadang-kadang nggak
dibaca, tapi kita sudah menunaikan kewajiban kita," papar Rosiana Silalahi.

Rosi menegaskan, ketidaksensitifan gender itu sering terjadi. Oleh karena itu, jangan berhenti
untuk 'speak up'. "Jadi, jurnalis-jurnalis perempuan itu tidak boleh berhenti speak up. Karena
itulah yang menjadi pekerjaan rumah kita," kata Rosi lagi.

Sementara itu, anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo mengatakan di era digital  adalah
bagaimana publisher itu mengejar klik, comment, dan share sebanyak-banyaknya. Share
ablity menjadi paradigma sehingga menghasilkan genre jurnalisme baru yang serba mengejar
klik.

Maka ruang pemberitaan media semuanya seperti mengalami tabloidisasi. Artinya, jurnalisme
gosip, selebritas, yang tiba-tiba bisa mengalahkan good journalism.

"Lifestyle journailism mendapatkan porsi yang besar. Kemudian di News Room juga berbagi
ruang dengan dengan apa yang disebut content creator," imbuh Agus.

Perempuan sebagai Objek


Tabloidisasi ruang pemberitaan media hari ini, sayang sekali bahwa objeknya adalah perempuan.
"Perempuan sebagai objek pemberitaan, perempuan sebagai objek konten meraih share ability,"
ucap Agus.

Yang jadi pertanyaan, lanjut Agus, apakah dalam konten pemberitaan ada kesadaran gender atau
sensivitas gender atau hanya untuk mengeksploitasi perempuan.

"Contoh kasus tewasnya Vanessa Angel dan suaminya beberapa bulan lalu, itu berminggu-
minggu jadi primadona pemberitaan media. Itu jadi sarana bagi media untuk meraih jutaan page
views. Sebenarnya ini sangat disayangkan," kata Agus.

Menurut Agus, sebenarnya kejadian tersebut bisa menjadi kasus mengedukasi publik tentang
pentingnya hati-hati berkendara di jalan tol. Faktanya, yang diangkat adalah dimensi-dimensi
selebritas dari almarhumah.

https://m.liputan6.com/lifestyle/read/4878934/rosiana-silalahi-jurnalis-perempuan-harus-lebih-
berani-bicara-soal-ketidaksensitifan-gender.

Survei: Jurnalis Perempuan Alami Diskriminasi Gender di Tempat Kerja 

08/06/2022

Hasil survei atas 405 jurnalis perempuan di 34 provinsi di Indonesia oleh PR2Media dan AJI
Indonesia tahun 2022 mengungkap masih adanya diskriminasi gender terhadap jurnalis
perempuan di tempat kerja.

Hasil riset oleh Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) dan Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) mengungkapkan masih adanya diskriminasi gender terhadap jurnalis
perempuan di tempat kerja dalam hal remunerasi, kenaikan jabatan, hak cuti, hak melahirkan,
tunjangan kesehatan, dan kesempatan untuk berkontribusi di ruang redaksi.

Riset ini menggunakan metodologi survei atas 405 jurnalis perempuan di 34 provinsi, yang
dilakukan sejak tanggal 4 April hingga 18 April 2022, dengan 12 pertanyaan yang terkait dengan
enam aspek kesetaraan gender. Responden survei memiliki keragaman tingkatan usia, yakni
responden di bawah 30 tahun, 30-40 tahun, 41-50 tahun di atas 50 tahun.

Sementara jenis media mencakup media daring, multiplatform, televisi, radio dan cetak dengan
bentuk media yakni komersial dan publik (RRI/TVRI). Posisi/jabatan responden berasal dari
tingkatan reporter, editor, redaktur pelaksana, pemimpin redaksi, kontributor,
wartawan, freelance, hingga kepala biro.

Engelbertus Wendratama, peneliti PR2Media mengatakan sebanyak 16,8 persen responden


menyatakan mengalami diskriminasi gender dalam hal remunerasi di tempat mereka bekerja. Ini
mencakup gaji pokok, bonus dan tunjangan. Survei itu juga menemukan sebanyak 29,6 persen
responden jurnalis perempuan mengalami diskriminasi dalam hal tugas peliputan.

“Biasanya adalah jurnalis perempuan hanya ditugaskan di topik atau tugas-tugas peliputan yang
secara tradisional itu dianggap wilayah perempuan misalnya isu domestik, hiburan sementara dia
tidak mendapatkan hak untuk misalnya dia punya minat dan kemampuan untuk meliput isu
politik, jurnalisme investigasi, kadang tidak mendapat kesempatan itu,” papar Wendratama
dalam Peluncuran Survei dan Diskusi Publik “Melawan Diskriminasi Gender di Perusahaan
Media” pada Selasa (7/6).

Jurnalis perempuan juga menghadapi pekerjaan ekstra tanpa adanya insentif, dan eksploitasi
tubuh jurnalis perempuan oleh redaksi supaya mendapatkan wawancara dengan narasumber
tertentu.

“Sering ada pernyataan, ‘narasumber meminta dijamu, ditemani oleh jurnalis perempuan’ ini
memberikan kerjaan ekstra bagi jurnalis perempuan, yang tidak dialami oleh jurnalis laki-laki,”
kata Wendratama saat membacakan pernyataan responden dalam kegiatan kegiatan Forum
Diskusi Terpumpun (FGD).

Wendratama menegaskan sebagai organisasi yang banyak mengawal kebijakan dan pelayanan
publik, media semestinya menargetkan zero tolerance terhadap diskriminasi gender di
lingkungan kerjanya.

Hak Cuti Bagi Jurnalis Perempuan

Anggota Bidang Gender, Anak, dan Kelompok Marginal Aliansi Jurnalis Independen (AJI),
Widia Primastika, menambahkan dari survei juga terungkap sebanyak 67,9 persen responden
mengaku tidak mendapatkan hak cuti haid dan sebanyak 11,6 persen lainnya mengatakan tempat
kerja mereka tidak memberikan cuti melahirkan bagi jurnalis perempuan.

“Pada saat FGD kami menanyakan kepada jurnalis perempuan dan para peserta ini
menyampaikan bahwa ada diskriminasi di tempat mereka bekerja ketika jurnalis perempuan ini
mengambil cuti haid mereka dianggap tidak produktif, mereka dianggap sebagai perempuan
yang lemah,” ungkapnya.
Dalam hal pengurangan jumlah karyawan, 14,3 persen responden mengatakan bahwa masih
terjadi diskriminasi gender di perusahaan tempat mereka bekerja. Perempuan masih menjadi
target ‘dirumahkan’ oleh perusahaan karena dianggap sebagai beban perusahaan. Diskriminasi
jenis ini seringkali dialami oleh perempuan yang telah menikah. Stereotip peran perempuan yang
dianggap tidak wajib mencari nafkah juga kadang menjadi alasan jurnalis perempuan menjadi
sasaran “dirumahkan” oleh perusahaan.

Perusahaan media pun masih melakukan diskriminasi terhadap jurnalis perempuan dalam hal
kontribusi untuk pengambilan kebijakan. Hal ini terlihat dari 11,4 persen responden yang
mengatakan bahwa ruang redaksi mereka tidak mengakomodasi ide/saran dari jurnalis
perempuan terkait liputan dan 14,8 persen responden mengatakan bahwa ruang redaksi tidak
mengakomodir ide/saran dari jurnalis perempuan terkait kebijakan perusahaan.

Dorong Pengembangan Pers yang Sensitif Gender

Ketua Dewan Pers, Azyumardi Azra menilai penelitian yang dilakukan oleh PR2Media dan AJI
Indonesia itu bisa mendorong pengembangan pers yang sensitif gender di Indonesia. Hal itu
dapat dilakukan melalui kegiatan pelatihan dan pendidikan serta serta membangun lingkungan
kerja yang adil dan setara bagi laki-laki dan perempuan.

“Jadi kita harus membangun itu di dalam pelatihan dan pendidikan jurnalis harus ada itu gender
sensetive journalism kemudian gender sensetive works place jadi tempat pekerjaan yang sensitif
gender, yaitu memberikan peluang yang sama kepada laki-laki dan perempuan,” kata Azyumardi
menanggapi hasil riset tersebut.

Paramater Kesejahteraan Pekerja Media

Hasil riset itu menyampaikan rekomendasi kepada perusahaan pers agar memenuhi hak cuti
kepada jurnalis perempuan, membangun iklim perusahaan yang mendukung kesetaraan gender di
antaranya memberikan ruang kepada jurnalis perempuan untuk berpendapat dan mengikuti
promosi kenaikan pangkat, keterbukaan informasi standarisasi upah jurnalis.

Rekomendasi juga disampaikan kepada Dewan Pers dan Kementerian Ketenagakerjaan agar
menjadikan kesetaraan gender sebagai salah satu parameter kesejahteraan pekerja media serta
melakukan pengawasan aktif kepada Perusahaan Pers terkait kesetaraan gender. 

[yl/em]
https://www.voaindonesia.com/a/survei-jurnalis-perempuan-alami-diskriminasi-gender-di-
tempat-kerja-/6607927.html.

Anda mungkin juga menyukai