Anda di halaman 1dari 5

Dampak aktivitas Manusia pada Savana di Afrika yang Dimediasi oleh Sifat

Fungsional Tanaman

Human impacts in African savannas are mediated by plant functional traits

Agry Nur Afifah, Amanda Lestania, Asna Syahrani, Candrarstami Kirana, Mutya Latifah
Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret

Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57 126, Jawa Tengah, Indonesia

ABSTRAK

Sabana merupakan salah satu bentuk vegetasi yang ditutupi oleh rumput dan beberapa pohon.
Sabana merupakan ekosistem yang memiliki suhu panas dan sumber air yang sedikit, walaupun
begitu aktivitas manusia di sabana tetap berlanjut. Akibat yang ditimbulkan dari kegiatan manusia
di sabana menyebabkan degradasi sabana semakin luas dan semakin cepat. Ancaman utama adalah
perubahan dan transformasi tutupan lahan, fragmentasi lanskap yang mengganggu komunitas
herbivora dan rezim kebakaran, perubahan iklim, dan peningkatan CO2 di atmosfer. Interaksi di
antara ancaman-ancaman ini kurang dipahami, dengan konsekuensi yang tidak diketahui bagi
kesehatan ekosistem dan mata pencaharian manusia. Selanjutnya terdapat pendapat bahwa
kombinasi unik dari ciri-ciri fungsional tanaman yang mencirikan kumpulan floristik utama sabana
Afrika membuat mereka rentan dan tahan terhadap pendorong antropogenik perubahan ekosistem.
Penelitian harus membahas bagaimana keragaman fungsional di antara sabana Afrika ini secara
berbeda memengaruhi kerentanan mereka terhadap perubahan global dan menjelaskan mekanisme
yang bertanggung jawab. Pengetahuan ini akan memungkinkan strategi pengelolaan yang tepat
untuk dikembangkan untuk menjaga integritas ekosistem, keanekaragaman hayati dan mata
pencaharian.

Kata kunci: Sabana, Aktivitas Manusia, Dampak, Sifat Fungsional Tanaman

ABSTRACT

Savanna is a form of vegetation covered by grass and some trees. The savanna is an ecosystem that has hot
temperatures and few water sources, even so human activities in the savanna continue. As a result of human
activities in the savanna, the degradation of the savanna is getting wider and faster. The main threats are
land cover change and transformation, landscape fragmentation that disrupts herbivorous communities and
fire regimes, climate change, and increases in atmospheric CO2. The interactions among these threats are
poorly understood, with unknown consequences for ecosystem health and human livelihoods. It is further
argued that the unique combination of plant functional traits that characterize the major floristic
assemblages of the African savanna makes them vulnerable and resistant to anthropogenic drivers of
ecosystem change. Research should address how this functional diversity among African savannas
differentially affects their vulnerability to global change and elucidate the mechanisms responsible. This
knowledge will enable appropriate management strategies to be developed to maintain ecosystem integrity,
biodiversity and livelihoods.

Keywords: Savanna, Human Activities, Impact, Functional Traits of Plants


I. PENDAHULUAN
Sabana merupakan salah satu jenis vegetasi tropis atau subtropis yang memiliki tutupan
rumput terus menerus yang kadang-kadang diselingi oleh pepohonan dan semak belukar. Sabana
termasuk tipe ekosistem dataran rendah atau dataran tinggi yang komunitasnya terdiri atas
beberapa pohon yang tersebar tidak merata dan lapisan bawah yang didominasi oleh suku rumput-
rumputan. Sabana merupakan jenis vegetasi yang tumbuh dalam kondisi ekstrem berupa suhu yang
tinggi, dan dalam kondisi iklim kering musiman. Sabana memiliki ciri yaitu kanopi pohon terbuka
(pohon yang tersebar) di atas rumput tinggi yang terus menerus (lapisan vegetasi antara kanopi
hutan dan tanah). Koeksistensi pepohonan dan rerumputan merupakan hal yang umum di
ekosistem sabana, dengan lapisan tanah didominasi oleh rerumputan C4 yang tidak tahan naungan.
Lapisan ini bertahan karena pertumbuhan spesies tanaman tahunan berkayu dibatasi di bawah
potensi curah hujannya oleh gangguan seperti kebakaran rumput dan penjelajahan berkala.
Keseimbangan antara dua bentuk kehidupan ini (lapisan pohon berkayu dan rerumputan)
mempengaruhi produksi tanaman dan ternak dan memiliki dampak besar pada beberapa aspek
fungsi ekosistem, termasuk karbon (C), nutrisi, dan siklus hidrologis (Savannah et al, 2021).
Sabana dapat dibagi lagi menjadi beberapa kategori tergantung pada panjang periode
kering atau fisiognomi lanskap. Tergantung pada panjang periode kering, mungkin kering (periode
kering berlangsung selama 5-7 bulan), basah (periode kering berlangsung selama 3-5 bulan), atau
sabana semi-kering. Berdasarkan fisiognomi, sabana dapat dibagi menjadi sabana hutan, pohon,
semak, atau rumput karena didominasi oleh pohon dan semak, pohon tersebar, semak, dan rumput,
masing-masing (Osborne et al, 2018).
Sabana Afrika menyediakan air, penggembalaan dan penjelajahan, makanan dan bahan
bakar bagi puluhan juta orang, dan memiliki keanekaragaman hayati unik yang mendukung wisata
satwa liar. Namun, dampak manusia menyebabkan degradasi sabana yang meluas dan
mempercepat. Ancaman utama adalah perubahan dan transformasi tutupan lahan, fragmentasi
lanskap yang mengganggu komunitas herbivora dan rezim kebakaran, perubahan iklim dan
peningkatan CO2 di atmosfer.

II. PEMBAHASAN
Sabana menutupi lebih dari 50% benua Afrika, mencakup ekosistem yang beragam dengan
cakupan luas tutupan pohon berkayu yang tersebar. Ekosistem ini didominasi pohon dan lapisan
tanah yang didominasi oleh rerumputan C4 yang tidak tahan naungan. Sabana di afrika memiliki
luas yang lebih besar dibanding dengan sabana di benua lain. Sabana Afrika memiliki fungsi
menyediakan air, penggembalaan dan penjelajahan, makanan bagi puluhan juta orang, dan
memiliki keanekaragaman hayati unik yang mendukung wisata satwa liar. Namun, dibalik
manfaatnya sabana Afrika menghadapi permasalahan antropogenik yang disebabkan pertambahan
jumlah penduduk di dunia. Faktor pendorong antropogenik menyebabkan perubahan vegetasi yang
cepat di sabana Afrika yang dapat mengancam keanekaragaman hayati dan jasa ekosistem. Faktor
tersebut adalah (1) perubahan dan transformasi tutupan lahan, (2) perubahan yang disebabkan oleh
manusia terhadap kebakaran, penjelajahan dan penggembalaan, (3) perubahan iklim dan (4)
peningkatan CO2 atmosfer.
Ekosistem menjadi terdegradasi ketika faktor antropogenik mempengaruhi kesehatan,
fungsi dan jasa ekosistem. Degradasi savana memiliki efek terutama ketika pembangunan ekonomi
dan peningkatan kepadatan penduduk menyebabkan perluasan lahan pertanian. Di sabana terdapat
dua macam degradasi pembukaan lahan pada tutupan tanaman berkayu. Degradasi yang pertama
adalah hilangnya total ekosistem yang didorong oleh transformasi lahan manusia dan yang kedua
adalah perambahan tanaman berkayu dan penghijauan lahan terbuka sabana yang disebabkan oleh
pembukaan lahan, peningkatan CO2, atau penanaman pohon. Perambahan tanaman berkayu
didefinisikan sebagai peningkatan biomassa kayu dan tutupan yang terjadi melalui peningkatan
kerapatan dan ukuran pohon sabana yang menyebabkan konversi sabana menjadi hutan.
Perambahan ini juga menyebabkan daerah yang menyimpan persediaan air tanah yang digunakan
masyarakat habis dan membatasi produktivitas rumput yang digembalakan oleh ternak atau
buruan.
Perburuan liar megaherbivora Afrika yang ikonik di seluruh benua, seperti gajah dan badak
memperburuk degradasi savana. Pemusnahan mamalia liar untuk mencegah penularan penyakit ke
ternak juga secara drastis mengurangi ukuran populasi. Selain itu, pagar dan jalan pada wisata liar
di sabana juga menghalangi migrasi dan membatasi ukuran jangkauan. Populasi yang lebih kecil
dan lebih terfragmentasi akan mengurangi efek rekayasa ekosistem megaherbivora pada
keterbukaan vegetasi dan distribusi nutrisi.
Dampak perubahan iklim antropogenik pada sabana Afrika lebih sulit dideteksi dan
dikaitkan, dan kurang dipelajari dengan baik. Naiknya suhu dan perubahan distribusi curah hujan
berpotensi secara langsung mempengaruhi pertumbuhan dan kematian tanaman berkayu dan
secara tidak langsung mempengaruhi tutupan pohon dengan menyebabkan kebakaran. Selain itu,
dapat mempengaruhi komposisi komunitas lapisan tanah berumput. Efek dari perubahan iklim ini
pada tutupan tanaman berkayu akan tergantung pada ketahanan dan ketahanan tanaman terhadap
peristiwa kekeringan dan tekanan panas, dan interaksi dengan api dan hewan herbivora.
Hubungan antara sifat fungsional dari spesies sabana pada perubahan global memiliki
peran yang penting dalam keberlangsungannya. Tutupan tanaman berkayu di sabana dikendalikan
oleh interaksi efek pembukaan lahan, hewan herbivora, kebakaran, iklim dan peningkatan CO 2.
Dampak-dampak tersebut dimediasi oleh adaptasi ekologi tanaman berkayu dan rerumputan yang
dicirikan oleh sifat-sifat fungsionalnya dimana Detarioideae, Combretaceae dan Mimosoideae
yang merupakan jenis yang mendominasi daerah floristik sabana Afrika memiliki karakteristik
kontras antara satu sama lainnya. Perbedaan sifat di antara spesies pohon dominan ini meliputi
pertahanan terhadap herbivora dan ketahanan terhadap kebakaran, perbedaan nodul pengikat
nitrogen dan status mikoriza, arsitektur kanopi dan klonal reproduksi. Contohnya pada sifat
mutualisme pohon dengan mikroba, sabana dengan curah hujan tinggi dikaitkan dengan tanah
distrofik yang tidak subur, terutama dengan inasi rendah fosfor. Akibatnya, sebagian besar kayu
spesies di seluruh sabana Detarioideae adalah non nitrogen-fixing legum yang memperoleh nutrisi
melalui simbiosis ektomikoriza (EM). Sebaliknya, di sabana yang didominasi Combretaceae,
genus Combretum dan Terminalia didalamnya adalah jenis mikoriza arbuskular. Perbedaan ini
dikarenakan peningkatan CO2 cenderung menyuburkan pertumbuhan spesies EM terlepas dari
kesuburan tanah, sedangkan efek pemupukan CO2 dalam spesies mikoriza arbuskular hilang ketika
tanah tidak subur. Alasan ini menunjukkan pentingnya sifat utama perbedaan di antara spesies
yang mendominasi floristik yang berbeda daerah sabana Afrika. Sehingga, hewan herbivora dan
kekeringan merupakan masalah yang paling penting di sabana Mimosoideae, sedangkan api
mendominasi di jenis Combretaceae dan Detarioideae.
Ciri fungsional dan interaksi ekologi dapat memberi pemahaman yang lebih baik untuk
keanekaragaman spesiesnya. Pohon sabana Afrika tahan terhadap kerusakan batang dan cabang
dibandingkan dengan rekan-rekan mereka di hutan tropis karena mereka telah berevolusi bersama
dengan megaherbivora asli. Mamalia bertubuh besar seperti gajah biasanya merusak pohon secara
langsung dengan mengupas kulit kayu, mencabut cabang dan batang tumbang. Menurut (Asner et
al., 2016; Osborne et al., 2018) Awalnya kerusakan yang disebabkan oleh mamalia besar dapat
mengurangi tutupan tanaman berkayu di Sabana Afrika lebih dari 10 kali lipat, sehingga terjadi
adaptasi tanaman berkayu terhadap kerusakan seperti reporting dan rekrutmen klon. Biomassa dan
keanekaragaman hayati dapat cepat pulih setelah periode singkat dibawah budidaya. Hal ini
penting karena kerugian bersih tercepat dari tutupan tanaman berkayu di sabana Afrika terjadi di
sabana Miombo yang tersebar di daerah subtropis basah iklim selatan khatulistiwa.
Struktur vegetasi sabana utamanya dikendalikan oleh herbivora dan curah hujan di mana
rata-rata curah hujan tahunan lebih rendah dari c. 600 mm, dan dengan api di daerah yang lebih
basah berdasarkan proporsi biomassa yang dikonsumsi oleh setiap proses. Iklim ini merupakan
break-point ke arah pola geografis dalam mekanisme yang mengendalikan tutupan tanaman
berkayu sabana di seluruh benua Afrika dengan batas antara sabana eutrofik dan distrofik yang
diidentifikasi sebelumnya. Sifat mudah terbakar tanaman dan strategi regenerasinya setelah
kebakaran sangat ditentukan oleh sifat-sifat fungsional tanaman. Kebakaran sabana dipicu oleh
rerumputan di lapisan tanah, dan ditandai dengan pembakaran yang sering dan cepat. Sifat mudah
terbakar yang cepat dari spesies rumput tergantung pada sejumlah ciri kanopi daun seperti
keragaman di antara spesies rumput Afrika Selatan dimana kadar air daun menyebabkan variasi
empat kali lipat dalam waktu pengapian, sementara keragaman dalam biomassa kanopi
menyebabkan perbedaan ganda dalam laju pembakaran. Rumput umumnya bertunas cepat setelah
kebakaran dan tingkat pertumbuhan kembali mereka bervariasi tiga kali lipat di antara garis
keturunan filogenetik yang ditemukan di Afrika Selatan, dengan hubungan antara biomassa
sebelum kebakaran dan pertumbuhan kembali sesudahnya. Contohnya, Heteropogon contortus
mengakumulasi beban bahan bakar kanopi yang besar sebelum kebakaran dan bereproduksi
dengan cepat setelah itu, sedangkan Aristida diffusa mempertahankan daun hijau selama musim
kebakaran dan bereproduksi perlahan setelah dibakar.
Di sabana yang sering terbakar, tanaman berkayu biasanya mengadopsi strategi yang tidak
mudah terbakar, memiliki kulit kayu yang tebal dan gabus untuk melindungi kambium vaskuler
dan tunas epikormik. Kelangsungan hidup tanaman berkayu juga didukung oleh simpanan energi
di bawah tanah dan penghisap akar yang mendorong penyebaran vegetatif dan perkecambahan.
Strategi ini dilakukan secara ekstrim oleh 'pohon bawah tanah' (geoxyles) yang memiliki jaringan
bawah tanah dari batang dan akar kayu memungkinkan tunas herba untuk bertunas di atas tanah
setelah kebakaran.
Kematian pohon pada sabana seringkali dikaitkan dengan kekeringan. Tanaman berkayu
biasanya mati selama kekeringan karena sistem vaskular gagal pada potensi air yang sangat
rendah. Penghindaran kekeringan dicapai di beberapa pohon sabana dengan mengakses air selama
musim kemarau dengan akar yang dalam terutama di daerah kering. Namun, kekeringan paling
efektif dihindari melalui gugurnya daun untuk mengurangi penguapan air.
Faktor lain yang mempengaruhi yaitu meningkatnya karbondioksida, CO2 mempengaruhi
struktur dan fungsi vegetasi melalui efek langsung pada fotosintesis dan efek tidak langsung pada
hubungan air pada tanaman. Eksperimen dengan dua jenis pohon sabana Mimosoideae yaitu
(Acacia karroo dan Acacia nilotica) yang disuplai dengan nutrisi tanah yang terbukti cukup kuat
memiliki efek positif dari peningkatan CO2 atmosfer pada fotosintesis daun menyebabkan
pertumbuhan tunas lebih cepat dan akumulasi simpanan energi yang lebih besar dalam sistem akar.
Naiknya kadar CO2 mengubah hasil kompetisi antara pohon dan rumput dalam membatasi sumber
daya tanah, dengan meningkatkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup pohon. Pengaruh spesies
tanaman yang berbeda dalam pertumbuhan dan respons alokasinya terhadap peningkatan CO2
atmosfer dengan sejumlah sifat tanaman yang memprediksi efek fertilisasi CO 2 antara lain:
Pertama, Respon pertumbuhan CO2 tergantung pada kapasitas tanaman untuk mengekspor karbon
dari daun dan menyerapnya dalam mengembangkan sink. Kapasitas daun untuk ekspor karbon
berbeda secara signifikan di antara spesies menurut mekanisme fisiologis pemuatan floem,
sedangkan perbedaan spesies dalam perkembangan sink didasarkan pada kapasitas untuk
menghasilkan organ penyimpanan, determinasi pertumbuhan, dan kemampuan untuk bereproduksi
secara klonal. Namun, pengembangan penyerap karbon dibatasi oleh: ketersediaan nitrogen atau
fosfor tanah, sehingga pemupukan CO2 teredam pada tanaman yang tumbuh di tanah yang tidak
subur atau sebagai nutrisi habis dari waktu ke waktu. Simbiosis mutualisme penting dalam
interaksi ini dengan asosiasi mikoriza yang memediasi respons tanaman terhadap CO2. Pemupukan
CO2 fotosintesis dan pertumbuhan selanjutnya dimodulasi oleh bintil akar pengikat nitrogen, yang
mengurangi batasan nitrogen dan menyediakan penyerap karbon tambahan. Faktor penyebab ini
yang menentukan responsivitas terhadap pemupukan CO2 berbeda di antara garis keturunan
spesies pohon yang mendominasi kumpulan floristik utama sabana Afrika (Osborne et al., 2018)

III. PENUTUP
Sabana hampir menutupi 50% wilayah benua Afrika dengan ekosistem yang didominasi
oleh pohon dan rerumputan C4 yang tidak tahan naungan. Adanya aktivitas manusia, seperti
perluasan lahan pertanian, perburuan liar megaherbivora, dan pembuatan pagar serta jalan untuk
wisata liar dapat menyebabkan perubahan vegetasi sabana yang mengancam keanekaragaman
hayati. Hal tersebut dikarenakan aktivitas manusia menyebabkan degradasi pada ekosistem sabana
yang dimediasi melalui sifat fungsional tanaman. Untuk menjaga eksistensi dan kelestarian sabana
di Afrika dibutuhkan langkah konservasi agar tidak terjadi degradasi ekosistem sabana dan dapat
melestarikan keanekaragaman hayati. Kerja sama dengan masyarakat di Afrika juga diperlukan
sebagai upaya konservasi bersama agar aktivitas manusia yang bersinggungan dengan
keberlangsungan makhluk hidup di sabana dapat segera teratasi.

IV. DAFTAR PUSTAKA

Asner GP, Vaughn N, Smit IPJ, and Levick S. 2016. Ecosystem-scale Effects of Megafauna
in African Savannas. National Academy of Sciences. 106(1): 4947-4952.

Osborne CP, Charles-Dominique T, Stevens N, Bond WJ, Midgley G, and Lehmann CER.
2018. Human Impacts in African Savannas are Mediated by Plant Functional Traits.
New Phytologist. 220(1): 10–24.

Savannah S and Y Bhardwaj. 2021. Savanah 2019. 10.1007/978-3-319-47829-6_674-1.

Anda mungkin juga menyukai