Anda di halaman 1dari 21

RANCANGAN PENELITIAN CROSS SECTIONAL

OLEH

KELOMPOK 6 B

1. VIAN (032019065)
2. EKA (032019078)
3. DINA (032019080)
4. JUNI (032019086)
5. MERI OPS (032019090)

Dosen Pembimbing: Ibu Ice Septriana Saragih S.Kep,. Ns,.M.Kep

STIKes SANTA ELISABETH MEDAN

T.A 2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat yang telah dilimpahkannya
bagi kami, sehingga pembuatan makalah mata Kuliah Metopel yang Berjudul “ RANCANGAN
PENELITIAN CROSS SECTIONAL ” ini dapat selesai tepat pada waktunya. Kami berharap
semoga makalah ini dapat bermanfaat menambah pengetahuan bagi para pembacanya.
Kami juga mengucapkan terimakasih kepada dosen yang telah membimbing kami dalam
pembuatan makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, untuk itu kami
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pemabaca, agar dalam pembuatan
makalah yang akan datang lebih baik lagi. Terimakasih.

Medan,29 April 2022

Penyusun

KELOMPOK 6
DAFTAR ISI

Kata Pengantar………………………………………………………….i

Daftar Isi………………………………………………………………..ii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang………………………………………………1

1.2. Rumusan masalah………………………….………………..2

1.3. Tujuan……………………………………………………….2

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1. Pengertian studi cross sectional.............................................................……3

2.2 Tujuan studi cross sectional...................................................................……8

2.3 Jenis studi cross sectional......................................................................……9

2.4 Ciri-Ciri studi cross sectional................................................................……9

2.5 Langkah-langkah studi cross sectional .................................................……10

2.6 Contoh studi cross sectional..................................................................……15

2.7 Kekuatan dan kelemahan studi cross sectional……………………………...15

BAB 3 PENUTUP

3.1. Kesimpulan………………………………………………….8

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan zaman yang begitu pesat seperti saat ini diikuti pula dengan pesatnya
perkembangan intelektual manusia. Banyak sekali pengetahuan yang perlu untuk dikembangkan
lagi menjadi sebuah ilmu pengetahuan baru yang dapat dimanfaatkan bagi kemaslahatan
manusia. Berbagai cara digunakan untuk mengembangkan pengetahuan ataupun mencari ilmu
pengetahuan baru. Salah satu cara untuk mengembangkan pengetahuan tersebut adalah
penelitian.

Penelitian sendiri tidak dapat dipisahkan dari tahap-tahap perkembangan kehidupan


manusia, khususnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pentingnya suatu penelitian
dan hubungannya dengan berbagai hal dalam kehidupan mengakibatkan penelitian harus
dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan berdasarkan etika kebenaran. Sehingga setiap
pedoman yang sistematis menjadi perhatian utama agar penelitian yang mandiri, subjekif, dan
kritis dapat dilaksanakan dengan baik.

Dalam melakukan penelitian salah satu hal yang penting ialah membuat desain penelitian.
Desain penelitian bagaikan sebuah peta jalan bagi peneliti yang menuntun serta menentukan arah
berlangsungnya proses penelitian secara benar dan tepat sesuai dengan tujuan yang telah
ditetapkan. Tanpa desain yang benar seorang peneliti tidak akan dapat melakukan penelitian
dengan baik karena yang bersangkutan tidak mempunyai pedoman arah yang jelas. Manfaat
desain penelitian akan dirasakan oleh semua pihak yang terlibat dalam proses penelitian, karena
dapat digunakan sebagai pedoman dalam melakukan proses penelitian.

Selain itu, agar sebuah penelitian memiliki batasan-batasan dan dapat disusun secara
terstruktur dan terkonsep dengan baik, maka diperlukan sebuah metode penelitian. Mengingat
betapa pentingnya desain dan metode penelitian bagi sebuah penelitian, maka kelompok kami
akan membahas mengenai Desain dan Metode Penelitian dalam Makalah ini.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan studi cross sectional ?
2 Apakah tujuan dari dilakukannya studi cross sectional ?

3 Sebutkan jenis dari studi cross sectional !

4 Apa saja cirri-ciri dari studi cross sectional

5 Jelaskan contoh dari studi cross sectional !

6 Bagaimana keuntungan dan kelemahan dari studi cross sectional ?

1.3 Tujuan Masalah

 Agar mahasiswa mampu menjelaskan pengertian dari studi cross sectional.


 Agar mahasiswa memahami tujuan dari dilakukannya studi cross sectional.
 Agar mahasiswa dapat menyebutkan jenis dari studi cross sectional.
 Agar mahasiswa mampu menjabarkan cirri-ciri ari studi cross sectional.
 Agar mahasiswa mampu menjelaskan dan member contoh dari studi cross sectional.
 Agar mahasiswa dapat memaknai keuntungan dan kelemahan dari studi cross sectional.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Cross Sectional

Dalam penelitian kedokteran dan kesehatan, studi cross-sectional merupakan suatu


bentuk studi observasional (non-eksperimental) yang paling sering dilakukan. Kira-kira sepertiga
artikel orisinal dalam jurnal kedokteran merupakan laporan studi cross-sectional. Dalam arti
yang luas, studi cross-sectional mencangkup semua jenis penelitian yang pengukuran variabel-
variabelnya dilakukan hanya satu kali, pada saat itu. Studi seperti dapat hanya bersifat deskriptif,
misalnya survai deskripitif, atau penentuan nilai normal (misalnya nilai-nilai antropometrik bayi
baru lahir, kadar immunoglobulin pasien asma). Ia juga dapat merupakan studi analitik, misalnya
studi perbandingan antara kadar asam urat pada manula yang normal dan yang gemuk, atau studi
kolerasi antara skor kebugaran tertentu dengan kadar kolesterol. Dengan perkataan lain,
penelitian yang pengukurannya dilakukan hanya satu kali, disebut studi cross-sectional
(Sastroasmoro, 1995)

Dalam studi cross-sectional, variabel bebas atau faktor resiko dan tergantung (efek)
dinilai secara simultan pada satu saat; jadi tidak ada follow-up pada studi cross-sectional.
Dengan studi cross-sectional diperoleh prevalens penyakit dalam populasi pada suatu saat; oleh
karena itu studi cross-sectional disebut pula sebagai studi prevalens(prevalence studi). Dari data
yang diperoleh, dapat dibandingkan prevalens penyakit pada kelompok dengan resiko, dengan
prevalens penyakit pada kelompok tanpa resiko. Studi prevalens tidak hanya digunakan untuk
perencanaan kesehatan, akan tetapi juga dapat dgunakan sebagai studi etiologi. Pembahasan
diawali dengan tinjaun ringkas tentang pengertian dasar, dan dilanjutkan dengan langkah-
langkah dalam melaknsanakan studi cross-sectional. (Sastroasmoro, 1995)

Bila kita memiliki keterbatasan dana, waktu dan tenaga, alternatif desain yang sederhana adalah
desain potong lintang. Desain potong lintang dikenal juga dengan istilah survey. Kunci utama
dalam desain potong lintang adalah sampel dalam suatu survey direkrut tidak berdasarkan status
paparan atau suatu penyakit/ kondisi kesehatan lainnya, tetapi individu yang dipilih menjadi
subjek dalam penelitian adalah mereka yang diasumsikan sesuai dengan studi yang akan kita
teliti dan mewakili populasi yang akan diteliti secara potong lintang sehingga hasil studi bisa
digeneralisasikan ke populasi. Oleh karena itu, faktor paparan dan kejadian penyakit/kondisi
kesehatan diteliti dalam satu waktu.

Survey cross sectional ialah suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara
faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data
sekaligus pada suatu saat (point time approach). Artinya, tiap subjek penelitian hanya diobservasi
sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variabel subjek pada saat
pemeriksaan. Hal ini tidak berarti bahwa semua subjek penelitian diamati pada waktu yang sama.
Desain ini dapat mengetahui dengan jelas mana yang jadi pemajan dan outcome, serta jelas
kaitannya hubungan sebab akibatnya (Notoatmodjo, 2002).

Penelitian crosssectional ini, peneliti hanya mengobservasi fenomena pada satu titik waktu
tertentu. Penelitian yang bersifat eksploratif, deskriptif, ataupun eksplanatif, penelitian cross-
sectional mampu menjelaskan hubungan satu variabel dengan variabel lain pada populasi yang
diteliti, menguji keberlakuan suatu model atau rumusan hipotesis serta tingkat perbedaan di
antara kelompok sampling pada satu titik waktu tertentu. Namun penelitian cross-sectional tidak
memiliki kemampuan untuk menjelaskan dinamika perubahan kondisi atau hubungan dari
populasi yang diamatinya dalam periode waktu yang berbeda, serta variabel dinamis yang
mempengaruhinya (Nurdini, 2006).
Hasil pengamatan cross sectional untuk mengidentifikasi factor risiko ini kemudian
disusun dalam tabel 2 x 2. Untuk desain seperti ini biasanya yang dihitung adalah rasio
prevalens, yakni perbandingan antara prevalens suatu penyakit atau efek pada subjek dari
kelompok yang mempunyai factor risiko yang diteliti, dengan prevalens penyakit atau efek pada
subjek yang tidaj mempunyai factor risiko. Rasio prevalens menunjukkan peran factor risiko
dalam terjadinya efek pada studi cross-sectional. (Sastroasmoro, 1995)

Studi cross-sectional hanya merupajan salah satu dari jenis studi observasional untuk
menentukan hubungan antara factor risiko dan penyakit. Studi cross-sectional untuk mempelajari
etiologi suatu penyakit dipergunakan terutama untuk mempeljari factor risiko penyakit
dipergunakan terutama untuk mempelajari factor risiko penyakit yng mempunyai onset yang
lama dan lama sakit yang panjang, sehingga biasanya pasien tidak mencari pertolongan sampai
penyakitnya relative telah lanjut. Penyakit-penyakit jenis tersebut misalnya osteoarthritis,
bronchitis kronik, dan sebagian besar penyakit kejiwaan. Studi kohort kurang tepat digunakan
pada studi tentang penyakit-penyakit tersebut karena diperlukan sampel yang besar, waktu
follow up yang sangat lama, dan sulit untuk mengetahui saat mulainya penyakut (sulit untuk
menentukan insidens). Sebaliknya jenis penyakit yang mempunyai lama sakit sedikit jumlah
kasus yang akan diperoleh didalam kurun waktu pendek. Sesuai dengan namanya, yakni studi
prevalens, maka pada studi cross sectional yang dinilai adalah subjek yang baru dan yang sudah
kama menderita penyakit atau kelainan yang sedang diselidiki. (Sastroasmoro, 1995)
Gambar. Alur Studi Cross Sectional

Efek
Ya Tidak Jumlah
Faktor resiko Ya a B a+b
Tidak c D c+d
jumlah a+c b +d a+b+c+d
Gambar. Tabel 2 x 2 menunjukkan hasil pengamatan studi cross sectional.

A = subjek dengan factor resiko yang mengalami efek

B = subjek dengan factor resiko yang tidak mengalami efek

C = subjek tanpa factor resiko yang mengalami efek

D = subjek tanpa faltor resiko yang tidak mengalami efek

Rasio prevalens dihitung dnegan membagi prevalens efek pada kelompok dengan factor resiko
dengan prevalens efek pada kelompok tanpa factor resiko.

RP = a/ (a+b) : c/ (c+d)

 Tabel Perbandingan 3 desain studi observasional


Sumber : Bhisma Murti, Fakultas kedokteran Universitas Sebelas Maret

 Tabel Masalah Penelitian Dan Desain Studi


Sumber : Bhisma Murti, Fakultas kedokteran Universitas Sebelas Maret

2.2 Tujuan Penelitian Cross Sectional

Tujuan penelitian crossesctional menurut Budiarto (2004) yaitu sebagai berikut:

1. Mencari prevalensi serta indisensi satu atau beberapa penyakit tertentu yang terdapat di
masyarakat.
2. Memperkirakan adanya hubungan sebab akibat pada penyakit-penyakit tertentu dengan
perubahan yang jelas.
3. Menghitung besarnya resiko tiap kelompok, resiko relatif, dan resiko atribut.

2.3 Jenis Penelitian Cross Sectional


Cross-Sectional Study atau juga disebut Studi Potong Lintang mempunyai 2 jenis studi,
yaitu:
1. Studi potong lintang Deskriptif : meneliti prevalensi penyakit , paparan atau keduanya,
pada suatu populasi tertentu.
Contoh : penelitian persentase bayi yang mendapat ASI eksklusif disuau komunitas,
penelitian prevalens asma pada anak sekolah di Jakarta.
2. Studi potong lintang analitik : mengumpulkan data prevalensi paparan dan penyakit
untuk tujuan perbandingan perbedaan-perbedaan penyakit antara kelompok terpapar dan
kelompok tak terpapar, dalam rangka meneliti hubungan antara paparan dan penyakit.
Contoh : beda proporsi pemberian ASI eksklusif berdasar pada pelbagai tingkat
pendidikan ibu, Beda kadar kolestrol siswa SMP daerah kota dan desa, beda prevalens
penyakit jantung reumatik siswa lelaki dan perempuan.
Deskriptif cross sectional hanya sekedar mendesripsikan distribusi penyakit dihubungkan
dengan variabel penelitian, sedangkan analitik crossectional: diketahui dengan jelas mana yang
jadi pemajan dan outcome, serta jelas kaitannya hubungan sebab akibatnya.
2.4 Ciri-Ciri Penelitian Cross Sectional
Ciri-ciri penelitian cross sesctional menurut Budiarto (2004) yaitu sebagai berikut:
1. Pengumpulan data dilakukan pada satu saat atau satu periode tertentu dan pengamatan
subjek studi hanya dilakukan satu kali selama satu penelitian.
2. Perhitungan perkiraan besarnya sampel tanpa memperhatikan kelompok yang terpajan
atau tidak.
3. Pengumpulan data dapat diarahkan sesuai dengan kriteria subjek studi. Misalnya
hubungan antara Cerebral Blood Flow pada perokok, bekas perokok dan bukan perokok.
4. Tidak terdapat kelompok kontrol dan tidak terdapat hipotesis spesifik.
5. Hubungan sebab akibat hanya berupa perkiraan yang dapat digunakan sebagai hipotesis
dalam penelitian analitik atau eksperimental.

2.5 Langkah-Langkah Studi Cross Sectional

Skema pada struktur dasar desain cross sectional melukiskan denan sederhana rancangan
studi cross-sectional. Sejalan dengan skema diatas dapat disusun langkah-langkah yang
terpenting didalam rancangan studi cross sectional, yaitu:

 Merumuskan pertanyaan penelitian beserta hipotesis yang sesuai


 Mengidentifikasi variabel bebas dan tergantung
 Menetapkan subyek penelitian
 Melaksanakan pengukuran
 Melakukan analisis
1. Merumuskan pertanyaan penelitian dan hipotesis
Pertanyaan penelitian yang akan dijawab harus dikemukakan dengan jelas. Dalam studi
cross sectional analitik hendaklah dikemukakan hubungan antar variabel yang diteliti.
Misalnya, pertanyaan penelitian yang akan dijawab adalah apakah terdapat hubungan
antara tingkat pendidikan orangtua anak dengan kejadian enuresis pada anaknya.
2. Mengidentifikasi variabel penelitian
Semua variabel yang dihadapi dalam studi prevalens harus diidentifikasi dengan cermat.
Untuk ini perlu ditetapkan definisi operasional yang jelas mana yang termasuk dalam
faktor resiko yang ingin diteliti, faktor resiko yang tidak akan diteliti, serta efek. Faktor
yang merupakan resiko namun tidak diteliti perlu diidentifikasi, agar dapat disingkirkan
atau paling tidak dikurangi pada waktu pemilihan subyek penelitian.
3. Menetapkan subyek penelitian
Dalam menetapkan subyek penelitian, harus diupayakan agar variabilitas faktor reaiko
cukup besar sehingga generalisasi hasilnya lebih mudah, namun variabilitas variabel luar
(variabel yang tidak diteliti) dibuat minimum.
Menetapkan populasi penelitian bergantung kepada tujuan penelitian, maka ditentukan
dari populasi-terjangkau mana subyek penelitian yang akan dipilih, apakah dari rumah
sakit / fasilitas kesehatan, atau dari masyarakat umum. Salah satu hal yang harus
diperhatikan dalam penentuan populasi terjangkau penelitian adalah besarnya
kemungkinan untuk memperoleh faktor resiko yang diteliti. Misalnya pada suatu studi
cross sectional mengenai infeksi HIV/AIDS, populasi yang dipilih hendaklah kelompok
subjek yang sering terpajan oleh virus jenis ini, misalnya kaum homoseks atau
penyalahguna narkotik. Bila subyek dipilih dari populasi umum, maka kemungkinan
untuk memperoleh subyek dengan HIV semakin kecil, sehingga diperlukan jumlah
subyek yang sangat besar.
Menentukan sampel dan memperkirakan besar sampel, besar sampel harus diperkirakan
dengan formula yang sesuai. Berdasarkan perkiraan besar sampel serta perkiraan
prevalens kelainan, dapat ditentukan apakah seluruh populasi-terjangkau akan diteliti atau
dipilih sampel yang representatif untuk populasi-terjangkau tersebut. Pemilihan sampel
harus dilakukan dengan cara yang benar, agar dapat mewakili populasi terjangkau.
Penetapan besar sampel untuk penelitian cross sectional yang mencari rasio prevalens
sama dengan penetapan besar sampel untuk studi kohort yang mencari resiko relatif.
4. Melaksanakan pengukuran
Pengukuran variabel bebas (faktor resiko) dan variabel tergantung (efek, atau penyakit)
harus dilakuukan sesuai dengan prinsip-prinsip pengukuran.
Pengukuran faktor resiko, penetapan faktor resiko dapat dilaksanakan dengan berbagai
cara, bergantung pada sifat faktor resiko; dapat digunakan kuesioner, catatan medik, uji
laboratorium, pemeriksaan fisis, atau prosedur pemeriksaan khusus. Bila faktor resiko
diperoleh dengan wawancara, maka mungkin diperoleh informasi yang tidak akurat atau
tidak lengkap, yang merupakan keterbatasan studi ini. Oleh karena itu maka jenis studi
ini lebih tepat untuk mengukur faktor resiko yang tidak berubah, misalnya golongan
darah, jenis kelamin, atau HLA.
Pengukuran efek (penyakit). Terdapatnya efek atau penyakit tertentu dapat ditentukan
dengan kuesioner, pemeriksaan fisis ataupun pemeriksaan khusus, bergantung pada
karakteristik penyakit yang dipelajari. Cara apapun yang dipakai, harus ditetapkan
kriteria diagnosisnya dengan batasan operasional yang jelas. Harus selalu diingat hal-hal
yang akan mengurangi validitas penelitian, seperti subyek yng tidak ingat akan timbulnya
suatu penyakit, terutama pada penyakit yang timbul secara perlahan-lahan. Untuk
penyakit yang mempunyai eksaserbasi atau remisi, penting untuk menanyai subyek,
apakah pernah mengalami gejala tersebut sebelumnya.
5. Menganalisis data
Analisis hubungan atau perbedaan prevalens antar kelompok yang diteliti dilakukan
setelah dilakukan validasi dan pengelompokan data. Analisis ini dapat berupa suatu uji
hipotesis ataupun analisis untuk memperoleh risiko relatif. Hal yang terakhir inilah yang
lebih sering dihitung dalam studi cross sectional untuk mengidentifikasi faktor resiko.

Yang dimaksudkan dengan risiko relatif pada studi cross sectional adalah
perbandingan antara prevalens penyakit (efek) pada kelompok dengan risiko dengan
prevalens efek pada kelompok tanpa resiko. Pada studi cross sectional ini, risiko relatif
yang diperoleh buka risiko relatif yang murni. Risiko reatif yang murni hanya dapat
diperoleh dengan penelitian kohort, dengan membandingkan insiden penyakit pada
kelompok dengan resiko dengan insiden penyakit pada risiko dalam periode waktu
tertentu.
Pada studi cross sectional, estimasi risiko relatif dinyatakan dengan Rasio
Prevalens (RP). Yang dimaksud dengan prevalens adalah perbandingan antara jumlah
subyek dengan penyakit (lama dan baru) pada satu saat dengan seluruh subyek yang ada.
Rasio prevalens dihitung dengan cara sederhana, yakni dengan menggunakan tabel 2 x 2.
Rasio prevalens dapat dihitung dengan formula berikut :

RP = a/(a+b) : c/(c+d)
a/(a+b) = proporsi (prevalens) subyek yang mempunyai faktor risiko yang mengalami
efek
c/(c+d) = proporsi (prevalens) subyek tanpa faktor risiko yang mengalami efek

Rasio prevalens harus selalu disertai dnegan nilai interval ke[ercayaan


(confidence interval) yang dikehendaki, yang akan menentukan apakah rasio prevalens
tersebut bermakna atau tidak. Interval kepercayaan menunjukkan rentang nilai rasio
prevalens yang diperoleh pada populasi terjangkau apabila sampling dilakukan berulang-
ulang. Cara perhitungan interval kepercayaan untuk rasio prevalens dapat dilihat dalam
buku-buku statistika, atau dapat langsung dihitung dengan berbagai jenis program
statistik untuk komputer. Bagi kita yang terpenting adalah pemahaman bahwa interval
kepercayaan tersebut harus dihitung, dan bila telah ada hasil, mengetahui bagaimana
interprestasinya.
Interprestasi hasil
1. Bila nilai risiko prevalens = 1 berarti variabel yang diduga sebagai faktor risiko
tersebut tidak ada pengaruhnya dalam terjadinya efek, atau dengan kata lain ia
bersifat netral. Misalnya semula diduga pemakaian kontrasepsi oral pada awal
kehamilan merupakan faktor risiko untuk terjadinya penyakit jantung bawaan. Bila
dalam penghitungan ternyata rasio prevalens nya = 1, maka dari data yang ada
berartipemakaian kontrasepsi oral oleh ibu bukan merupakan faktor risiko untuk
terjadinya penyakit jantung bawaan pada bayi yang baru dilahirkan.
2. Bila rasio prevalensnya > 1 dan rentang interval kepercayaan tidak mencakup angka
1, berarti variabel tersebut merupakan faktor risiko timbulnya penyakit. Misalnya
rasio prevalens pemakaian KB suntik pada ibu menyusui terhadap kejadian kurang
gizi pada anak = 2. Ini berarti bahwa KB suntik merupakan risiko untuk terjadinya
defisiensi gizi pada bayi, yakni bayi yang ibunya akseptor KB suntik mempunyai
risiko menderita defisiensi gizi 2x lebih besar ketimbang bayi yang ibunya bukan
pemakai KB suntik.
3. Apabila nilai rasio prevalensnya <1 dan rentang nilai interval kepercayaan tidak
mencakup angka 1, maka berarti faktor yang diteliti justru akan mengurangi kejadian
penyakit; bahkan variabel yang diteliti merupakan faktor protektif. Misalnya rasio
prevalens pemakai ASI untuk terjadinya diare pada bayi adalah 0.3, berarti bahwa
ASI justru merupakan faktor pencegah diare pada bayi, yakni bayi yang minum ASI
mempunyai risiko untuk menderita diare 0.3x apabila dibandingkan dengan bayi yang
tidak minum ASI.
4. Bila nilai interval kepercayaan rasio prevalens mencakup angka 1, maka berarti pada
populasi yang diwakili oleh sampel tersebut mungkin nilai prevalensnya=1, sehingga
belum dapat disimpulkan bahwa faktor yang dikaji tersebut merupakan faktor risiko
atau faktor protektif.
Contoh:
Rasio prevalens sebesar 3, dengan interval kepercayaan 95% 1.4 sampai 6.8
menunjukkan bahwa dalam populasi yang diwakili oleh sampel yang diteliti, kita
mempunyai kepercayaan sebesar 95% bahwa rasio prevalensnya terletak antara 1.4-
6.8 (selalu lebih dari 1). Dengan demikian maka rasio prevalens tersebut disebut
bermakna. Namun suatu rasio prevalens sebesar 3, dengan interval kepercayaan 95%
antara 0.8-7, menunjukkan bahwa variabel bebas tersebut belum tentu merupakan
faktor risiko, sebab didalam populasi yang diwakili oleh sampel, 95% nilai rasio
prevalens tersebut terletak diantara 0.8-7, mencakup nilai 1. (Rasio prevalens=1
menunjukkan bahwa variabel yang diteliti tersebut bersifat netral). Hal yang sama
juga berlaku untuk faktor protektif (rasio prevalens kurang dari 1); apabila nilai
interval kepercayaan selalu kurang dari satu berarti memang benar bahwa dalam
populasi variabel independen tersebut merupakan faktor protektif, akan tetapi bila
rentang interval kepercayaan mencakup angka 1, faktor yang diteliti tersebut belum
tentu merupakan faktor protektif.
2.6 Contoh Studi Cross-sectional
Studi Cross-sectional dengan satu factor resiko

Misalnya peneliti ongin mencari hubungan antara kebiasaan menggunakan obat nyamuk smprot
dengan batuk kronik berulang (BKB) pada anak balita dengan desain cross sectional. Langkah-
langkah dalam penelitian ini adalah :

1. Penetapan pertanyaan penelitian dan hipotesis


Apakah terdapat hubungan antara kebiasaan memakai obat nyamuk semprot dengan
kejadian BKB pada anak balita ? hipotesis yang sesuai adalah : Pemakaian obat nyamuk
semprot berhungan dengan kejadian BKB pada balita.
2. Identifikasi variabel
 Factor resiko yang diteliti : penggunaan obat nyamuk semprot
 Efek : BKB pada balita
 Factor resiko yang tidak diteliti : riwayat asma dalam keluarga, tingkat social
ekonomi, jumlah anak, dll.
Semua istilah tersebut harus dibuat definisi operasionalnya dengan jelas, sehingga
tidak bermakna ganda.
3. Penetapan subjek penelitian
 Populasi terjangkau : Balita pengunjung poliklinik yang tidak memiliki riwayat
asma dalam keluarga, tingkat social ekonomi tertentu, jumlah anak dalam
keluarga tertentu.
 Sampel : dipilih jumlah anak balita sesuai dengan perkiraan besar sampel
( misalnya telah dihitung sejumlah 250 anak). cara pemilihan : random sampling
dengan mempergunakan tabel random.
4. Pengukuran
 Faktor resiko : ditanyakan apakah dirumah subjek biasa dipergunakan obat
nyamuk semprot.
 Efek : dengan criteria tertentu ditetapkan apakah subjek menderita BKB.
5. Analisis
Hasil pengamatan tersebut dimasukkan ke dalam tabel 2 x 2.
BKB
Ya Tidak Jumlah
Obat
Ya 30 70 100
Nyamuk
Tidak 15 135 150
jumlah 45 205 250
Gambar. Hasil pengamatan cross sectional untuk mengetagui hubungan antara
pemakaian obat nyamuk semprot dengan kejadian BKB pada balita.

Pada gambar terdapat 100 anak yang terpajan obat nyamuk semprot, 30 anak diantaranya
menderita BKB (prevalens BKB pada kelompok yang terpajan obat nyamuk semprot = 30/100 =
0,3). Terdapat 150 anak tidak terpajan obat nyamuk semprot, 15 dianataranya menderita
BKB )prevalens BKB bila tidak terpajan obat nyamuk semprot = 15/150 = 0,1). Maka rasio
prevalens = 0,3 / 0,1 = 3.
Selanjutnya perlu dihitung interval kepercayaan rasio prevalens (RP) tersebut. Bila nilai
interval kepercayaan 95% RP tersebut selalu diatas nilai 1 (misalnya antara 1,6 sampai 5,6 dan
dapat disimpulkan bahwa penggunaan obat nyamuk semprot memang merupakan factor resiko
untuk terjadinya BKB pada anak. Namun, meskipun rasio prevalensinya 3, bila interval
kepercayaan mencakup angka 1 (mislanya 0,6 sampai 6,7), maka penggunaan obat nyamuk
semprot belum dapat dikatakan bermakna sebagai factor resiko untuk terjadinya BKB pada anak
balita, atau (2) junlah subjek yang diteliti kurang banyak.
Dari contoh tersebut tampaklah ahwa pada rancangan penelitian cross sectional factor
prevalens adalah penting. Prevalens ialah proporsi subjek yang sakit pada suatu wajtu tertentu
(kasus lama dan baru), yang harus dibedakan dengan insidens pada rancangan penelitian kohort
yang berarti proporsi subjek yang semula sehat kemudian menjadi sakit (kasus baru) dalam
periode tertentu.
Walaupun istilah prevalens seringkali dihubungkan dengan penyakit, tetapi dapat juga
diartikan sebagai bukan penyakit, misalnya prevalens dari factor resiko, atau factor lain yang
akan diteliti. Prevalens sering digunakan oleh perencana kesehatan untuk mengetahui berapa
banyak penduduk yang terkena penyakit tertentu dan juga penting diklinik untuk mengetahui
penyakit yang banyak terdapat dalam suatu piusat kesehatan. (Sastroasmoro, 1995)
2.7 Kekuatan dan Kelemahan Penelitian Cross Sectional
 Kekuatan penelitian cross sectional yang dikutip dari Sayogo (2009) adalah sebagai
berikut:
a. Studi cross sectional memungkinkan penggunaan populasi dari masyarakat
umum, tidak hanya para pasien yang mencari pengobatan, hingga generalisasinya
cukup memadai
b. Relatif murah dan hasilnya cepat dapat diperoleh
c. Dapat dipakai untuk meneliti banyak variabel sekaligus
d. Jarang terancam loss to follow-up (drop out)
e. Dapat dimasukkan ke dalam tahapan pertama suatu penelitian kohort atau
eksperimen, tanpa atau dengan sedikit sekali menambah biaya
f. Dapat dipakai sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya yang bersifat lebih
konklusif
g. Membangun hipotesis dari hasil analisis

 Kelemahan penelitian cross sectional yang dikutip dari Sayogo (2009) adalah sebagai
berikut:
a. Sulit untuk menentukan sebab akibat karena pengambilan data risiko dan efek
dilakukan pada saat yang bersamaan (temporal relationship tidak jelas)
b. Studi prevalens lebih banyak menjaring subyek yang mempunyai masa sakit yang
panjang daripada yang mempunyai masa sakit yang pendek, karena inidividu
yang cepat sembuh atau cepat meninggal mempunyai kesempatan yang lebih kecil
untuk terjaring dalam studi
c. Dibutuhkan jumlah subjek yang cukup banyak, terutama bila variabel yang
dipelajari banyak
d. Tidak menggambarkan perjalanan penyakit, insidensi maupun prognosis
e. Tidak praktis untuk meneliti kasus yang jarang
f. Tidak menggambarkan perjalanan penyakit
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Secara umum studi cross sectional merujuk pada penelitian yang tidak mempunyai dimensi
waktu, pengukuran pelbagai variabel dilakukan satu kali. Desain cross sectional dapat dipakai
untuk studi deskriptif, studi komparatif, studi etiologic atau factor resiko. Pada studi etiologic,
studi cross sectional mencari hubungan antara variabel bebas 9resiko0 dengan variabel
tergantung ( efek). Bila gaktor resiko hanya satu berskala nominal dikotom, dan efek juga
berskala nominal dikotom, maka dapat diperoleh rasio prevalens, yaitu perbandingan antara
prevalens efek pada kelompok dengan resiko dan pada kelompok tanpa resiko. Rasio prevalens =
1 menunjukkan bahwa variabel bebas yang diteliti bukan merupakan factor resiko. Rasio
prevalens >1 menunjukkan bahwa variabel independen merupakan factor protektif. Interval
kepercayaan harus diseratakan untuk menyingkirkan kemungkinan interval rasio prevalens
mencakup angka 1. Yang berarti dalam populasi, variabel independen belum tentu merupakan
factor resiko atau factor protektif. Hubungan banyak variabel independen dengan satu variabel
dependen dapat diperoleh dengan mempergunakan analisis multivariate ; yang banyak dengan
mempergunakan analisis multivariate; yang banyak dipakai persamaan regresi multiple dan
regresi logistic. Keuntungan studi cross sectional adalah relative murah, mudah, dan hasilnya
cepat diperoleh. Keterbatasannya adalah karena ditentukan mana penyebab dan mana akibat.
DAFTAR PUSTAKA

Budiarto E, Anggraeni D. 2002. Pengantar Epidemiologi Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku


Kedokteran EGC.

Notoatmodjo. 202. Metodologi Penelitian Kesehatan. P Rineka Citra : Jakarta

Nurdini, Allis. 2006. “Cross-Sectional vs Longitudinal: Pilihan Rancangan Waktu dalam


Penelitian Perumahan Pemukiman”. DIMENSI TEKNIK ARSITEKTUR Vo. 34, No. 1, Juli
2006: 52-58.

Sastroasmoro, S., Ismael, S. ,1995. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis,cetakan


pertama, Jakarta : Binarupa Aksara.

Sayogo, Savitri. 2009. Studi Cross-sectional Atau Potong Lintang. Jakarta: Universitas
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai