1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Kelapa (Cocos nucifera L.) merupakan tanaman yang banyak tumbuh di Indonesia, terutama di daerah
pantai dan pegunungan. Kelapa merupakan tanaman yang memiliki banyak manfaat bagi kehidupan
manusia. Setiap bagian dari tanaman kelapa mempunyai manfaat tersendiri mulai dari akar, batang,
buah, hingga air kelapa.
Buah kelapa sering dimanfaatkan oleh masyarakat untuk dijadikan minyak, santan, dan minuman segar
(Suhono, 2010). Buah kelapa terdiri dari beberapa bagian, yaitu eksokarp, mesocarp, endocarp, daging
buah, air, dan testa (Mardiatmoko & Ariyanti, 2018). Bagian endosperm atau daging buah kelapa
umumnya digunakan dalam proses produksi tepung dan santan. Komposisi kimia daging buah kelapa
tua dalam 100 g bahan antara lain protein 3,4 g, lemak 34,7 g, karbohidrat 14 g dan kadar air 46,9%
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1981).
Tepung kelapa sebagai produk olahan kelapa, saat ini banyak dibutuhkan oleh industri makanan lokal
dan mancanegara (Tarigan et al.,2015). Tepung kelapa dapat diperoleh melalui proses pengeringan dan
penghalusan daging buah kelapa. Komposisi tepung kelapa terdiri atas air 4,85%, abu 0,61%, protein
16,98%, lemak 42,27%, karbohidrat 43,55%, serat pangan 33,02% dan mineral beberapa mineral
(Niftrelia, 2015). Kandungan minyak dan protein dari tepung kelapa yang tinggi dapat dipisahkan
dengan berbagai metode, contohnya ekstraksi. Beberapa peneliti membuktikan bahwa protein kelapa
mempunyai mutu yang cukup baik dengan asam amino yang relatif baik dan bernilai gizi tinggi
(Lanchance dan Molina, 1974). Protein dari tepung kelapa dapat dimanfaatkan pada pembuatan
konsentrat protein yang banyak dimanfaatkan pada industri pangan.
1.2. Tujuan Percobaan
Tujuan dari percobaan ini adalah mempelajari dan memahami prinsip, urutan proses, parameter kinerja
proses, serta fenomena yang terjadi di dalam proses ekstraksi padat cair pada tepung kelapa
2. Kajian Teori
2.1. Kelapa
Kelapa atau Cocos nucifera L. merupakan tumbuhan berkeping satu yang termasuk dalam suku palem-
paleman. Tinggi tanaman kelapa dapat mencapai 20-25 meter dan dapat hidup selama 80-100 tahun
(Yulvianti et al., 2015). Tanaman kelapa merupakan tanaman yang mempunyai nilai ekonomi tinggi
karena seluruh bagian pohon kelapa dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia. Pohon kelapa
sering disebut pohon kehidupan (tree of life) karena hampir seluruh bagian dari pohon, akar, batang,
daun dan buahnya dapat dipergunakan untuk kebutuhan kehidupan manusia sehari-hari. Buah kelapa
terdiri dari beberapa bagian, yaitu eksokarp, mesocarp, endocarp, daging buah, air, dan testa
(Mardiatmoko & Ariyanti, 2018). Bagian endosperm atau daging buah kelapa umumnya digunakan
dalam proses produksi tepung dan santan. Gambar penampang buah kelapa dapat dilihat pada Gambar
2.1 berikut.
Komposisi kimia daging buah kelapa tua dalam 100 g bahan antara lain protein 3,4 g, lemak 34,7 g,
karbohidrat 14 g dan kadar air 46,9% (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1981). Daging buah
kelapa dapat diolah menjadi beraneka ragam produk, seperti pada bagian kulit/testa dapat diolah
menjadi minyak kelapa atau coconut oil, untuk bagian yang diparut, daging kelapa dapat diolah menjadi
santan dan produk lain dari olahan parutan kelapa seperti tepung kelapa, minyak/lemak, manisan,
toasted coconut, coconut chip dan lain-lain. Hasil olahan dari pembuatan minyak kelapa menghasilkan
residu, yaitu ampas kelapa.
Tepung kelapa adalah tepung yang diperoleh dengan cara menghaluskan daging ampas kelapa.
Komposisi tepung kelapa terdiri atas air 4,85%, abu 0,61%, protein 16,98%, lemak 42,27%, karbohidrat
43,55%, serat pangan 33,02% dan mineral beberapa mineral (Niftrelia, 2015). Tepung ampas kelapa
memiliki banyak kandungan nutrisi dibandingkan tepung jenis lainnya. Kandungan serat total dalam
tepung ampas kelapa sendiri terdiri dari 38,3% NDF, 24,2% ADF, 14% hemiselulosa dan 10,3%
selulosa (Yalegama dan Chavan, 2006). Tepung ampas kelapa memiliki kandungan 11 serat dan protein
cukup tinggi, bebas gluten serta kandungan karbohidrat digestible yang rendah (Kailaku et al., 2005).
Tepung ampas kelapa juga memiliki kandungan lemak tinggi. Kandungan lemak berasal dari asam
lemak rantai pendek yang dihasilkan melalui proses fermentasi. Asam lemak rantai pendek yang
dihasilkan berupa asam butirat, asam asetat dan asam propionat. Kandungan asam butirat dalam tepung
ampas kelapa berfungsi dalam menghambat pembentukan tumor dengan meningkatkan diferensiasi sel
tumor (Kailaku et al., 2005)
2.1.1. Minyak
Minyak dan lemak merupakan campuran gliserida dengan susunan asam-asam lemak yang tidak sama.
Sifat–sifat fisik dan kimia trigliserida ditentukan oleh asam lemak penyusunnya, karena asam lemak
merupakan bagian terbesar berat molekul minyak. Minyak mempunyai arti sangat luas, yaitu senyawa
yang berbentuk cairan pekat pada suhu ruangan (25 0C) dan tidak larut dalam air. Berdasarkan
sumbernya, minyak dibagi menjadi dua macam, yaitu minyak bumi (mineral oils atau petroleum) dan
minyak dari makhluk hidup (lipida atau lipids). Adapun minyak dari makhluk hidup terbagi lagi
menjadi minyak nabati (vegetable oils) dan minyak hewani (animal oils).
Lemak dan minyak adalah salah satu kelompok yang termasuk dalam golongan lipid, yaitu senyawa
organik yang terdapat di alam serta tidak larut dalam air, tetapi larut dalam pelarut organik non-polar,
misalnya senyawa - senyawa alkohol, benzena dan hidrokarbon lainnya. Lemak dan minyak dapat larut
dalam pelarut yang disebutkan di atas karena lemak dan minyak mempunyai polaritas yang sama
dengan pelarut tersebut (Herlina, 2002).
Berdasarkan asam lemaknya, minyak kelapa digolongkan kedalam asam laurat yang mempunyai
karakteristik khas yaitu mengandung asam laurat (40-50%), asam lemak berantai C6 ,C8 dan C10 dalam
jumlah sedang dan jumlah asam lemak tak jenuh rendah. Sedangkan berat molekulnya berbeda-beda
untuk berbagai jenis asam lemak. Asam laurat merupakan asam lemak jenuh. Asam laurat dalam
minyak kelapa mempunyai jumlah yang paling banyak, sehingga tahan terhadap ketengikan akibat
oksidasi. Selain itu terdapat juga kandungan asam lemak tak jenuh dalam minyak kelapa. Berikut dapat
dilihat komposisi asam lemak minyak kelapa pada Gambar 2.2.
2.1.2 Protein
Protein merupakan bahan yang paling reaktif di antara komponen-kompnen bahan pangan. Senyawa ini
dapat bereaksi dengan gula-gula pereduksi, lemak, dan produk oksidasi, polifenol dan komponen bahan
pangan lainnya. Interaksi ini Protein juga sangat sensitif terhadap temperatur dan dapat mengalami
denaturasi. Hal tersebut bisa diakibatkan pengaruh suhu, pH, dan logam berat. Derajat denaturasi atau
agregasi protein selama preparasi isolat adalah faktor yang paling penting yang dapat mempengaruhi
sifat fungsional seperti kelarutan, penyerapan air, dan viskositas.
Menurut Deman (1997), denaturasi adalah proses yang mengubah struktur molekul tanpa memutuskan
ikatan kovalen. Proses ini bersifat khusus untuk protein dan biasanya proses ini terjadi seiring dengan
hilangnya aktivitas biologis dan perubahan yang berarti pada beberapa sifat fisika dan fungsi seperti
kelarutan. Denaturasi dapat didefinisikan sebagai perubahan besar dalam struktur alami yang tidak
melibatkan perubahan dalam urutan asam amino. Rentang temperatur pada saat terjadi denaturasi dan
koagulasi sebagian besar protein pada 55-75°C.
Protein juga bersifat amfoter serta memiliki titik isolistrik dikarenakan memiliki gugus karboksil
sekaligus amina (Harold, 2001). Protein murni ataupun yang terdapat di dalam campuran dapat
ditentukan kadarnya dengan metode analisis kualitatif maupun kuantitatif. Metode kualitatif meliputi
Xantoprotein, reaksi Hopkins-Cole, reaksi Millon, reaksi Nitropsida, dan reaksi Sakaguchi. Sedangkan
secara kuantitatif meliputi metode Kjaldehl, metodekromatografi (cara fraksionasi), metode titrasu
formol, metode Lowry, metode spektrofotometri visible (biuret), metode spektrofotometri UV, dan
metode Bradford.
3. Metodologi Percobaan
3.1. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam percobaan ekstraksi padat cair (EPC) adalah cawan alumunium foil, falcon
tube, gelas kimia, gelas ukur berukuran 50 mL dan 250 mL, mikropipet, neraca analitik, orbital shaker,
oven, pH meter, pipet tetes, pipet volume, sentrifugator, soxhlet, spatula, dan spektrofotometer. Bahan
yang digunakan adalah aqua dm, Bovine Serume Albumine (BSA), HCL 1 M, heksana, NaOH 0,05 M,
reagen Bradford, dan tepung kelapa segar.
3.3.3. Ekstraksi Protein dari Tepung Kelapa Kering dan Tepung Kelapa Kering Bebas Minyak
Sampel tepung kelapa dan tepung kelapa bebas minyak disiapkan lalu dimasukkan ke falcon tube
kosong. Falcon tube yang akan digunakan ditimbang pada keadaan kosong kemudian tepung kelapa
sebanyak 1 gram diambil dan dimasukkan kedalam falcon tube 50 ml. Tepung kelapa akan diekstrak
dengan pelarut alkali yaitu larutan NaOH 0,05 M dengan menggunakan variasi rasio pelarut sebesar
10,20,dan 30 gram pelarut/gram padatan selama 30 menit pada suhu kamar. Kemudian, massa total
campuran dan falcon tube ditimbang.
Selanjutnya adalah dengan melakukan ekstraksi protein dengan orbital shaker pada kecepatan 150 rpm
pada temperatur kamar selama 30 menit. Setelah itu, campuran dipisahkan dengan sentrifugasi pada
temperatur kamar dengan kecepatan 6000 rpm selama 20 menit. Ekstrak kasar (supernatant) yang
terbentuk dituangkan sambil disaring ke dalam falcon tube 50 ml kosong lainnya. Massa total ditimbang
dan volume ekstrak diukur dengan skala pada falcon tube. Residu padatan yang tersisa kemudian
ditimbang massanya untuk menghitung retensi larutan dalam padatan. Selanjutnya, kadar air residu
diuji dengan mengeringkan residu pada oven bertemperatur 105°C selama 24 jam. Sampel ekstrak
diambil untuk menentukan kadar protein terlarut dalam ekstrak kasar. Ekstrak kasar protein kelapa
yang sudah diukur volume dan massanya, diturunkan pH-nya hingga mencapai titik isoelektrik untuk
mengendapkan (presipitasi) protein. Massa semua produk (presipitat, residu, ekstrak) yang dihasilkan
ditimbang dan dicatat.
Dari hasil percobaan, didapatkan kadar air tepung kelapa segar lebih sedikit dari tepung kelapa kering.
Kelapa kering seharusnya memiliki kadar air yang lebih rendah dari tepung kelapa segar karena telah
melalui tahap pengeringan sebelumnya. Hal ini dapat terjadi dikarenakan pada proses pengeringan
tepung kelapa kering menggunakan suhu yang tidak terlalu tinggi yaitu pada suhu 40oC. Temperatur
yang tidak terlalu tinggi mengakibatkan perubahan fasa air lambat dan mungkin saja air pada tepung
belum sempat menguap dan baru saja mencapai permukaan tepung. Sehingga pada saat dipanaskan
kembali, air pada permukaan tepung kelapa kering lebih cepat menguap dibandingkan kelapa segar
yang memiliki kandungan air masih pada bagian intinya.
Gambar 4.1 Waktu ekstraksi minyak setiap siklus selama empat siklus ekstraksi
Hasil dari proses ektraksi ini adalah tepung kelapa bebas minyak pada timbel dan campuran heksana-
minyak pada labu tiga leher. Perhitungan kadar minyak dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan
basis heksana dan menggunakan basis tepung kelapa. Hal ini dilakukan karena keterbatasan alat yaitu
tidak adanya rotary evaporator untuk mengevaporasi pelarut heksana pada campuran minyak-heksana
dalam labu tiga leher.
Pada percobaan ini, perhitungan kadar minyak dilakukan dengan menggunakan basis tepung kelapa
yaitu dengan cara menghitung selisih dari massa tepung kelapa pada keadaan sebelum ekstraksi dan
massa tepung kelapa yang sudah mengalami ekstraksi minyak menggunakan metode soxhlet selama
empat siklus. Selisih massa tersebut merupakan minyak yang terekstrak dari tepung yang berada pada
labu tiga leher.
Kadar minyak dihitung dengan membagi massa minyak dengan massa tepung kelapa pada keadaan
awal. Asumsi yang digunakan adalah selama empat siklus tersebut tepung kelapa yang diperoleh pada
akhir ekstraksi merupakan tepung kelapa bebas minyak. Kadar minyak yang diperoleh sebesar 13.1%
(w/w). Sedangkan, kadar minyak yang tertulis pada kemasan tepung kelapa adalah sebesar 33% (w/w).
Terdapat perbedaan kandungan antara percobaan yang dilakukan dengan komposisi pada kemasan
produk karena beberapa faktor seperti pengeringan yang kurang sempurna sehingga masih ada kadar
air yang terdapat pada tepung kelapa yang dapat menghambat keluarnya minyak dari bahan dan juga
masih terdapat kandungan minyak pada tepung kelapa yang sebelumnya diasumsikan bebas minyak.
Kedua faktor ini yang dapat memberikan perbedaan antara perhitungan kadar minyak berdasarkan
percobaan dan kadar minyak pada kemasan produk tepung kelapa.
Berdasarkan kurva kalibrasi yang diperoleh dari percobaan, didapatkan nilai faktor korelasi yaitu
0,6342. Namun dari kurva kalibrasi yang didapatkan, nilai R square persamaan garis yang didapat yaitu
sebesar 0,7997 yang menandakan linearisasi hasil pengukuran absorbansi terhadap konsentrasi kurang
disarankan. Pada umumnya, absorbansi yang terukur akan linear dengan konsentrasi dari larutan
standar. Namun pada percobaan yang dilakukan tidak didapatkan hasil yang linear. Hal ini mungkin
terjadi karena konsentrasi larutan standar tidak tepat atau pas. Pembuatan larutan standar dengan
konsentrasi yang diinginkan sulit dilakukan karena jumlah BSA yang dibutuhkan sangat kecil sehingga
saat pengukuran massa mungkin tidak tepat. Selain itu, kemungkinan kuvet yang digunakan tidak
benar-benar bening dan bersih juga dapat mempengaruhi hasil absorbansi yang didapatkan. Disamping
hal tersebut terlihat dari kurva yang dihasilkan, semakin tinggi konsentrasi larutan BSA maka semakin
tinggi pula absorbansinya. Dengan menggunakan faktor korelasi yang diperoleh dari kurva kalibrasi,
konsentrasi protein dari larutan supernatan 1 dan supernatan 2 didapatkan hasil seperti pada Gambar
4.3 dan Gambar 4.4 berikut.
1.2
1.15
1.1
Konsentrasi (mg/mL)
0.9
0.85
10 20 30
Nisbah Pelarut terhadap Tepung (mg/mg)
Gambar 4.3 Grafik Konsentrasi Protein Supernatan 1
1.16
1.14
1.12
1.1
Konsentrasi (mg/mL)
1.08
Tepung Kelapa
1.06
Segar
1.04
Tepung Kelapa
1.02
Bebas Minyak
1
0.98
0.96
10 20 30
Nisbah Pelarut terhadap Tepung (mg/mg)
Gambar 4.4 Grafik Konsentrasi Protein Supernatan 2
Dari Gambar 4.3, konsentrasi protein supernatant 1 untuk kedua jenis tepung memiliki nilai tertinggi
pada variasi nisbah tepung dengan pelarut 10 w/w. Pada percobaan diperoleh konsentrasi protein
tertinggi didapat pada variasi pelarut terkecil, seharusnya semakin banyak pelarut yang digunakan maka
akan semakin banyak protein yang dapat berkontak dengan pelarut sehingga dapat meningkatkan
konsentrasi protein pada ekstrak. Namun jika melihat data konsentrasi protein pada tepung kelapa bebas
minyak, terjadi penurunan pada kenaikan nisbah pelarut terhadap tepung. Hal ini mungkin terjadi
karena pengocokan falcon tube yang kurang sempurna dikarenakan posisi peletakan pada orbital shaker
yang kurang pas atau waktu ekstraksi untuk setiap variasi yang tidak sama persis sehingga waktu kontak
pelarut dengan sample berbeda. Kemungkinan lain juga dapat terjadi pada saat pengukuran absorbansi
yang dilakukan yaitu kuvet yang tidak benar-benar bening sehingga menghasilkan pengukuran yang
kurang tepat, pengadukan larutan pada kuvet yang tidak benar-benar sempurna, atau pengambilan
jumlah larutan dengan mikropipet yang tidak seragam.
Selain itu, pada variasi jenis tepung yang digunakan dalam proses esktraksi, diperoleh konsentrasi
protein yang lebih tinggi pada ekstraksi tepung kelapa segar yang kaya akan minyak pada 2 variasi
nisbah pelarut. Namun pada variasi nisbah pelarut 20 w/w, diperoleh konsentrasi protein yang lebih
tinggi pada ekstraksi tepung bebas minyak. Menurut literatur, protein yang terkandung pada tepung
kelapa bebas minyak lebih sedikit dibandingkan tepung kelapa kaya minyak. Hal tersebut disebabkan
tepung bebas minyak telah mengalami proses ekstraksi minyak dengan pelarut sehingga kadar lemak
berkurang. Akan tetapi selama proses ekstraksi minyak, protein pembentuk emulsi lemak dapat ikut
terekstrak bersama lemak dan serat pangan menghasilkan tepung dengan kadar protein yang lebih
rendah. Selain itu, kadar protein yang rendah pada tepung kelapa bebas minyak juga dapat disebabkan
oleh denaturasi protein pada saat pemanasan dan pengeringan. Dari hasil percobaan yang didapatkan,
variasi nisbah pelarut 10 dan 30 w/w sesuai dengan literatur karena tepung kaya minyak menghasilkan
konsentrasi protein yang lebih tinggi.
Berdasarkan gambar 4.3 dan gambar 4.4, dapat terlihat nilai konsentrasi protein yang berbeda pada
larutan supernatan 1 dan 2. Seharusnya nilai konsentrasi keduanya memiliki nilai yang sama,
dikarenakan pada percobaan tidak diperoleh endapan pada saat presipitasi isoelektrik protein isolat.
Sehingga dengan begitu tidak akan ada pengurangan pada kadar protein pada larutan supernatant 1 dan
2. Jika diperoleh endapan isolat protein, seharusnya konsentrasi protein pada supernatan 2 akan lebih
rendah dari superantan 1. Namun kenyataannya yang didapatkan adalah nilai konsentrasi supernatan 2
lebih tinggi dari supernatan 1. Hal ini dapat diakibatkan oleh pengukuran absorbansi yang tidak tepat
sehingga menghasilkan kadar konsentrasi yang tidak tepat juga.
4.4 Analisis Perolehan Protein Terekstrak dari Tepung Kelapa Kering dan Tepung Kelapa Kering
Bebas Minyak
Protein diekstrak dari tepung kelapa segar dan tepung kelapa kering dengan penambahan pelarut NaOH
0,05 M ke dalam falcon tube. Kemudian ekstraksi dilanjutkan dengan menggunakan orbital shaker dan
sentrifugator pada temperatur ruang. Suhu dan konsentrasi yang rendah diterapkan agar mencegah
protein rusak atau mengalami denaturasi yaitu kerusakan struktur protein.
Untuk melakukan ekstraksi protein, dilakukan dengan menggunakan NaOH karena protein memiliki
kelarutan tertinggi pada pH basa yaitu sekitar pH 9 yang nantinya akan diendapkan atau di presipitasi
pada pH isoelektriknya yaitu pH ketika kelarutan protein terendah. Hasil perolehan protein ekstrak dan
rendemen protein dari tepung kelapa kering dan tepung kelapa kering bebas minyak dapat dilihat pada
Tabel 4.2 berikut.
Tabel 4.2 Perolehan dan rendemen protein terekstrak dari tepung kelapa kering kaya minyak dan
tepung kelapa kering bebas minyak
Rata-rata Perolehan Protein Ekstrak Rata-rata Rendemen Protein
(g protein ekstrak/g protein tepung) (%) (g protein ekstrak/g tepung) (%)
Jumlah
Pelarut (g/g) Tepung Kelapa Tepung Kelapa Tepung Kelapa Tepung Kelapa
Kering Bebas Kering Kaya Kering Bebas Kering Kaya
Minyak Minyak Minyak Minyak
Pada tabel 4.2, dapat dilihat bahwa tepung kelapa kaya minyak menghasilkan perolehan protein ekstrak
dan rendemen protein yang lebih rendah dibanding tepung kelapa bebas minyak. Hal ini sesuai dengan
teori yaitu perolehan dan rendemen protein ekstrak dari tepung kelapa bebas minyak nilai yang lebih
besar. Hal ini terjadi karena minyak akan menghambat difusi protein untuk larut ke dalam pelarut
sehingga ketiadaan minyak akan memperbesar perolehan dan rendemen dari ekstrak protein.
Seiring dengan meningkatnya nisbah NaOH terhadap sampel, perolehan dan rendemen protein semakin
tinggi. Hal ini sesuai dengan teori yaitu semakin banyak pelarut yang digunakan maka kadar protein
yang terekstrak akan semakin tinggi. Hal tersebut terjadi karena ion OH¯ pada pelarut yang semakin
banyak akan H+ yang semakin banyak pula sehingga proses ekstraksi akan berjalan dengan lebih
maksimal.
Berdasarkan hasil percobaan, rendemen yang diperoleh sebesar berkisar antara 0.42 - 2.26% tergantung
dari nisbah pelarut yang digunakan. Hal ini berbeda dengan kadar protein yang tertulis pada kemasan
tepung kelapa sebesar 3.3%. Hal ini terjadi karena ada sebagian protein yang tidak terekstrak karena
pH yang kurang basa ataupun mengalami denaturasi ketika ekstraksi minyak dilakukan.
4.5 Analisis Perolehan Protein Terendapkan dari Ekstrak Kasar dan Rendemen Isolat Protein Kelapa
Ekstrak kasar atau supernatant 1 yang diperoleh dari ekstraksi padat cair dipresipitasi pada pH
isoelektrik protein yaitu pada pH 4 dengan cara menambahkan larutan HCL 1M dan NaOH 1M.
Penambahan larutan hingga mencapai pH 4 dilakukan agar protein pada supernatan 1 mengendap
sehingga diperoleh isolat protein. Pengendapan terjadi dikarenakan pada pH isoelektrik, protein
memiliki kelarutan terendah.
Pada percobaan yang dilakukan, tidak diperoleh presipitat pada supernatan 1 untuk semua variasi
sehingga tidak diperoleh isolat protein kelapa. Seharusnya karena pH larutan sudah dibuat pada pH
isoelektrik protein, protein pada larutan supernatan 1 dapat mengendap dan menghasilkan isolat protein.
Namun pada percobaan yang dilakukan mungkin saja pengukuran pH saat pembuatan larutan pada pH
isoelektrik tidak tepat sehingga larutan tidak benar-benar tepat pada pH 4. Selain itu, kemungkinan
rusaknya protein atau terjadinya denaturasi protein pada larutan memungkinkan pengendapan protein
tidak terjadi.
4.6 Analisis Retensi Larutan pada Residu Hasil Ekstraksi Protein Tepung Kelapa (hao)
Retensi larutan merupakan jumlah larutan yang tertahan pada residu. Makin besar retensi larutan artinya
makin banyak larutan umpan yang tertahan dalam residu padatan. Retensi yang besar tidak diinginkan
karena akan mengurangi jumlah protein yang terlarut sehingga akan mempengaruhi hasil proses
ekstraksi. Nilai retensi larutan yang besar menandakan bahwa proses ekstraksi protein tidak efektif.
Retensi dari percobaan dapat dilihat pada Gambar 4.5 berikut.
Gambar 4.5 Retensi rata-rata ekstraksi protein tepung kelapa kaya minyak dan bebas minyak dengan
variasi nisbah pelarut
Berdasarkan gambar 4.5, dapat dilihat bahwa seiring peningkatan nisbah pelarut NaOH yang digunakan,
retensi yang diperoleh fluktuatif dan tidak terdapat tren yang berarti. Dapat diamati juga bahwa retensi
larutan pada tepung kelapa kering kaya minyak lebih kecil daripada tepung kelapa kering bebas minyak.
Hal ini terjadi karena kandungan minyak memenuhi padatan sehingga air sulit untuk menempati ruang
yang ada pada residu. Pada gambar juga dapat dilihat nilai tertinggi adalah 6.488 pada tepung kelapa
kering bebas minyak sehingga angka tersebut merupakan jumlah pelarut minimum agar protein dapat
terlarut bersama pelarut.
Pada percobaan yang dilakukan, beberapa unit operasi seperti soxhletasi, sentrifugasi, pengeringan,
ekstraksi padat cair, dan presipitasi digunakan. Pembuatan neraca massa dilakukan untuk mengetahui
jumlah komponen yang masuk dan keluar pada setiap unit operasi sehingga dapat mengetahui
efektivitas dari proses yang dilakukan. Efektivitas dari proses dilihat dari nilai massa yang keluar dan
masuk pada suatu proses. Proses yang efektif adalah ketika massa yang masuk akan bernilai sama
dengan massa yang keluar.
Pada unit soxhletasi, massa yang masuk adalah heksana dan tepung kelapa kering sebagai umpan dan
yang keluar sebagai produk adalah tepung kelapa bebas minyak dan ekstrak yang terdiri dari heksana
dan minyak. Dari perhitungan neraca massa pada unit soxhletasi, terdapat massa yang hilang dari
sistem. Hal ini dapat terjadi dikarenakan terjadinya penguapan heksana yang tidak dapat dicegah saat
proses, seperti ketika menunggu alat soxhlet dingin untuk mengambil timbel dan juga saat penimbangan
massa tepung hasil ekstraksi yang tidak langsung dicatat.
Pada unit pengeringan, umpan yang masuk adalah tepung kelapa bebas minyak dan heksana yang
tertahan dalam tepung sedangkan produknya adalah heksana yang menguap dan juga tepung kelapa
bebas minyak. Dari hasil percobaan, diperoleh neraca massa yang sesuai dikarenakan tidak terdapat
penambahan dan juga pengurangan massa pada sistem pengeringan. Hal ini dikarenakan perhitungan
massa heksana yang menguap menggunakan selisih dari tepung kelapa kering bebas minyak setelah
dikeringkan dengan sebelum dikeringkan.
Pada unit ekstraksi padat cair, massa yang masuk adalah tepung kelapa bebas minyak dan pelarut alkali
(NaOH 0,05 M) sedangkan massa yang keluar adalah slurry (campuran tepung kelapa bebas minyak
dan larutan alkali) hasil ekstraksi. Dari hasil percobaan, tidak terdapat massa yang hilang pada proses
ekstraksi padat cair. Hal ini dikarenakan proses terjadi pada wadah yang sama dan tertutup sehingga
meminimalisirkan terjadinya pengurangan atau penambahan massa.
Pada unit sentrifugasi 1, massa yang masuk adalah slurry dan massa yang keluar adalah supernatant 1
yaitu ekstrak yang kaya protein dan presipitat 1 sebagai residu padatan. Berdasarkan hasil peneracaan,
massa yang hilang untuk setiap sampel berada pada rentang 1 hingga 5 gram. Hal ini dikarenakan pada
pengukuran dan pengambilan data setelah sentrifugasi dilakukan penyaringan dengan menggunakan
kertas saring sehingga ada sebagian massa yang tertahan pada kertas saring tersebut.
Pada unit presipitasi isoelektrik, massa yang masuk adalah supernatant 1 dan pelarut HCl dan NaOH
yang ditambahkan untuk mengatur pH hingga mencapai pH isoelektrik. Sedangkan, massa totalnya
adalah campuran dari supernatant 1 dan pelarut yang ditambahkan. Terdapat perbedaan massa berkisar
0.3 hingga 4 gram akibat asumsi yang digunakan yaitu 1 mL sama dengan 20 tetes dan juga asumsi
densitas dari literatur yang digunakan.
Pada unit sentrifugasi 2, tidak dilakukan peneracaan massa karena tidak ada presipitat 2 yang
mengendap setelah didiamkan semalaman dan disentrifugasi. Seluruh data hasil perhitungan neraca
massa dapat dilihat pada lampiran pengolahan data.
5.2. Saran
Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan, saran yang dapat diberikan untuk perbaikan
percobaan selanjutnya adalah sebagai berikut:
1. Penempatan alat lebih baik diletakkan pada satu ruangan yang sama sehingga mengurangi
waktu yang dibutuhkan untuk mobilisasi.
2. Alat-alat yang dibutuhkan untuk percobaan lebih baik disediakan khusus untuk modul EPC
untuk mengurangi waktu menunggu giliran penggunaan alat.
3. Hasil rafinat proses ekstraksi minyak lebih baik langsung ditimbang setelah dikeluarkan dari
soxhlet untuk mencegah terjadinya penguapan sebelum penimbangan massa.
4. Penguapan bahan yang dilakukan sebaiknya durasinya diperpanjang atau hingga konstan agar
memastikan kadar air yang terkandung sudah menguap.
6. Daftar Pustaka
Cheptel, J.C and J.L Cuq. 1985. Amino Acids, Peptides, and Proteins. Di dalam Zakaria, R.F. dan
Suciono. 1996. Isolasi dan Karakterisiasi Protein Kacang Merah (Phaseolus vulgaris) dan
Kacang Tolo (Vigna unguiculata) Lokal serta Pengujian Sifat Antigeniknya Sebleum dan
Sesudah Fermentasi Asam Laktat. Buletin Teknologi dan Industri Pangan, Fateta-IPB Boor.
Vol VII, No 2 :1-8.
Deman, J.M. 1997. Kimia Makanan. Hal 103-113. ITB, Bandung.
Gun Mardiatmoko dan Mira Ariyanti. 2018. Produksi Tanaman Kelapa (Coco Nusifera. L). Ambon:
Badan Penerbit Fakultas Pertanian Universitas Pattimura.
Hadinoto, S., Syukroni, I. 2019. Pengukuran Protein Terlarut Air Cucian Gelembung Renang dan Kulit
Ikan Tuna menggunakan Metode Bradford. Majalah Biam. Vol 15 (01): 15-20
Herlina, N., Ginting M.H.S. 2002. Lemak dan Minyak. Fakultas Teknik Jurusan Teknik Kimia
Universitas Sumatera Utara
Kabirullah, M. and R.B.H. Wills. 1982. Functional Properties of Sunflowers Protein Following Partial
Hydrolysis with Protease. Libensm-Wiss.
Kailaku, S.I., Mulyawanti, I., Dewandari, K.T. dan Alamsyah, A.N., 2005, Potensi Riset Kelapa di
Masa Depan Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pascapanen Untuk Pengembangan Industri
Berbasis Pertanian, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian.
Kinsella, J.E. 1979. Relationship Between Structure and Functional Properties of Food Proteins. Di
dalam Food Proteins. Edited by P.F.Fox and J.J. Condon. 1982. Applied Science Publishers,
London dan Newyork.
Lachance, P.A. and M.R. Molina. 1974. Nutritive value of a fiber-free coconut protein extract obtained
by an enzymic-chemical method. J. of Food Sci. 39: (581-584).
Natarajan, K.R. 1980. Peanuts Protein Ingredients, Preparation, Properties, and Food. Di dalam
Chiechester, O. O. (ed), Advances in Food Research. Vol 26 Academic Pres, New York,
London, Toronto, Sydney, San Francisco.
Niftrelia Sari Dewi. 2015. Diversifikasi Tepung Tapioka pada Pembuatan Flakes Diperkaya Serat
Pangan (Dietary Fiber) Tepung Ampas Kelapa. (Skripsi). Universitas Pakuan Bogor.
Suhono, Budi & Tim LIPI. 2010. Ensiklopedia Flora Jilid 1-7. Bogor: PT Kharisma Ilmu.
Tarigan, W. F., Sumardi., & Setiawan, W.A. 2015. Karakterisasi Enzim Selulase dari Bakteri Selulolitik
Bacillus sp (Skripsi, Prodi Biologi, Universitas Lampung). Diakses dari
http://digilib.unila.ac.id/id/eprint/15915.
Thanh, V.H. dan K. Shibasaki. 1976. Mayor Protein of Soybean Seeds, A straight Forward
Fractionation and Their Characterization. Di dalam Zakaria, R.F. dan Suciono. 1996. Isolasi
dan Karakterisiasi Protein Kacang Merah (Phaseolus vulgaris) dan Kacang Tolo (Vigna
unguiculata) Lokal serta Pengujian Sifat Antigeniknya Sebleum dan Sesudah Fermentasi Asam
Laktat. Buletin Teknologi dan Industri Pangan, Fateta-IPB Boor. Vol VII, No 2 :1-8.
Tiwari, P., Kumar, B., Kaur, M., Kaur G. & Kaur H.. 2011. Phytochemical Screening And Extraction:
A Review. International Pharmaceutica Sciencia. 1, 1. 98-106.
Toreh, A.A. 2010. Proses Pembuatan Tepung Kelapa. Jurnal Tekno Volume 07 No. 52 (11) : 1-12"
Yulvianti, Meri dkk. 2015. PEMANFAATAN AMPAS KELAPA SEBAGAI BAHAN BAKU
TEPUNG KELAPA TINGGI SERAT DENGAN METODE FREEZE DRYING. Jurnal
Integrasi Proses. Diakses dari : http://jurnal.untirta.ac.id/index.php/jip
LAMPIRAN A
DATA LITERATUR
Sifat Keterangan
Wujud Cair
Warna Tidak
berwarna
Aroma Bau bensin
Berat molekul 86.18
(gram/mol)
Densitas (gram/mL) 0.659
Titik didih (°C) 68.7
Sifat Keterangan
Wujud Cair
Warna Tidak
berwarna
Aroma Bau tajam
Berat molekul 36.5
(gram/mol)
Densitas (gram/mL) 1.19
Titik didih (°C) 50.5
Sifat Keterangan
Wujud Bubuk padat
Warna Putih
Aroma Tidak
berbau
Berat molekul 39.997
(gram/mol)
Densitas (gram/mL) 2.13
LAMPIRAN B
CONTOH PERHITUNGAN
Contoh perhitungan kadar air tepung kelapa segar menggunakan data dari Tabel D.2 adalah
sebagai berikut.
3,857 𝑔 − 3,848 𝑔
𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟 (% 𝑏𝑎𝑠𝑖𝑠 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ) = × 100%
3,857 𝑔
𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟 (% 𝑏𝑎𝑠𝑖𝑠 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ) = 0,82
𝑃𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ𝑎𝑛 𝑚𝑖𝑛𝑦𝑎𝑘 (𝑔) = 𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑡𝑒𝑝𝑢𝑛𝑔 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔 𝑠𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘 − 𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑡𝑒𝑝𝑢𝑛𝑔 𝑎𝑤𝑎𝑙
Contoh perhitungan perolehan minyak kelapa menggunakan data dari Tabel D.4 adalah sebagai
berikut.
Dari data perolehan minyak menggunakan kedua basis perhitungan, kadar minyak kelapa dari
tepung kelapa kering dapat ditentukan menggunakan persamaan berikut.
𝑝𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ𝑎𝑛 𝑚𝑖𝑛𝑦𝑎𝑘
𝑅𝑒𝑛𝑑𝑒𝑚𝑒𝑛 𝑚𝑖𝑛𝑦𝑎𝑘 (%) = × 100%
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑡𝑒𝑝𝑢𝑛𝑔 𝑎𝑤𝑎𝑙
Contoh perhitungan perolehan minyak kelapa menggunakan data dari Tabel D.44 adalah
sebagai berikut.
6,55 𝑔
𝑅𝑒𝑛𝑑𝑒𝑚𝑒𝑛 𝑚𝑖𝑛𝑦𝑎𝑘 (%) = × 100%
50 𝑔
𝑅𝑒𝑛𝑑𝑒𝑚𝑒𝑛 𝑚𝑖𝑛𝑦𝑎𝑘 (%) = 13,1 %
Contoh perhitungan dilakukan terhadap data pertama yang terlampir pada Tabel D.7
𝑚𝑔 𝐴𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑝𝑟𝑜𝑡𝑒𝑖𝑛 ( )=
𝑚𝐿 𝑔𝑟𝑎𝑑𝑖𝑒𝑛
𝑚𝑔 0,692
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑝𝑟𝑜𝑡𝑒𝑖𝑛 ( ) =
𝑚𝐿 0,6342
𝑚𝑔
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑝𝑟𝑜𝑡𝑒𝑖𝑛 ( ) = 1,0911 mg/mL
𝑚𝐿
Berikut contoh perhitungan dilakukan terhadap data pertama yang terlampir pada Tabel C.4
4,578 g − 0,683 g
Retensi pelarut =
0,683 g
Tabel C.2 Data Kadar Air Tepung Kelapa Segar yang dikeringkan pada 105°C Selama 24 jam
Segar
3.857 3.848 0.82 0.827
K9-1
Segar
3.883 3.875 0.81 1.493 0.817 1.526
K9-2
Segar
3.914 3.885 2.85 2.934
K9-3
Tabel C.3 Data Kadar Air Tepung Kelapa Kering yang dikeringkan pada 105°C Selama 24 jam
Kering
3.871 3.837 3.42 3.541
K9-1
Kering
3.911 3.872 3.92 3.11 4.08 3.217
K9-2
Kering
3.896 3.876 1.99 2.03
K9-3
C.3 Data Ekstraksi Minyak
Tabel C.4 Data hasil esktraksi
Massa tepung awal (g) 50
Massa tepung hasil ekstraksi yang telah di keringkan (g) 43.45
Massa minyak (g) 6.55
Kadar minyak (%) 13.1
D.2 Data Kadar Air Tepung Kelapa Segar dan Tepung Kelapa Kering
Tabel D.2 Data Massa Tepung Kelapa Segar dan Tepung Kelapa Kering Sebelum dan Sesudah
Pengeringan
Nomor Massa Massa cawan + tepung Nomor Massa Massa cawan + tepung
Cawan Cawan kelapa segar (g) Cawan Cawan kelapa kering (g)
Kosong Sebelum Setelah Kosong Sebelum Setelah
(g) pengeringan pengeringan (g) pengeringan pengeringan
Segar 2.857 3.857 3.848 Kering 2.871 3.871 3.837
K9-1 K9-1
Segar 2.883 3.883 3.875 Kering 2.911 3.911 3.872
K9-2 K9-2
Segar 2.914 3.914 3.885 Kering 2.896 3.896 3.876
K9-3 K9-3