Anda di halaman 1dari 25

BAB I

1.1 Latar Belakang


Perawatan kesehatan di rumah bukanlah suatu konsep baru dalam sistem
pelayanan kesehatan, khususnya pada praktek keperawatan komunitas. Hal ini sudah
dikembangkan sejak tahun 1859 yang pada saat itu William Rathbone of Liverpool,
England, dan juga Florence Nightingale melakukan perawatana kesehatan di rumah
dengan memberikan pengobatan bagi klien (masyarakat) yang mengalami sakit
terutama mereka dengan status sosial ekonomi rendah, kondisi sanitasi, kebersihan
diri dan lingkungan, dan gizi buruk sehingga berisiko tinggi terhadap berbagai jenis
penyakit infeksi yang umum ditemukan di masyarakat (Smith & Maurer, 2000).
Perawatan kesehatan dirumah yang merupakan salah satu bentuk pelayanan
kesehatan merupakan suatu komponen rentang pelayanan kesehatan yang
berkesinambungan dan komprehensif diberikan kepada individu dan keluarga
ditempat tinggal mereka yang bertujuan untuk meningkatkan, mempertahankan atau
memulihkan kesehatan atau memaksimalkan tingkat kemandirian dan meminimalkan
akibat dari penyakit. Meningkatnya penyakit kronis dan paling banyak pada populasi
lansia yang membutuhkan perawatan rutin dan jangka panjang menjadi sesuai bila
perawatan yang dilakukan adalah perawatan berbasis homecare (Markkanen, 2008; A
Lang, 2008, 2010). Pelayanan adalah segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang
dilaksanakan oleh instasi pemerintah di pusat, daerah, dan lingkungan Badan Usaha
Milik Negara/ Daerah dalam bentuk barang dan atau jasa, baik dalam rangka upaya
pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan
perundang undangan (Wijono, 1999).
Home Care adalah suatu pelayanan kesehatan secara komprehensif yang
diberikan kepada klien individu dan atau keluarga di tempat tinggal mereka (di
rumah), bertujuan untuk memandirikan klien dalam pemeliharaan kesehatan,
meningkatkan derajat kesehatan, upaya pencegahan penyakit dan resiko kekambuhan
serta rehabilitasi kesehatan (Warhola dalam Bukit, 2008). National Association for
Home Care (1996) mendefinisikan, Home Care disediakan kapanpun saat seseorang
lebih memilih tinggal di rumah namun membutuhkan perawatan secara terus menerus
yang tidak mudah dan tidak efektif jika dilakukan sendiri oleh keluarga dan teman.
Selanjutnya yang perlu diperhitungkan untuk melakukan perawatan homecare ini
adalah mendekatkan akses pelayanan antara agensi penyedia pelayanan ini dengan
pasien. Salah satu yang bisa dilakukan adalah pelayanan homecare berbasis layanan
elektronik (e-homecare services). Penggunaan tehnologi ini juga akan menimbulkan
manfaat signifikan dibidang kesehatan dengan kecepatan aksesnya. (C Liddy, 2008; S
V Hoecke, 2010; SH. Landers, 2010).
Kunjungan rumah juga dilakukan untuk meningkatkan dan memelihara derajat
kesehatan masyarakat serta meminimalkan resiko penyakit infeksi masyarakat, serta
mencegah dari kekambuhan penyakit (Stanhope & Lancaster, 1996).
Seiring dengan perkembangan IPTEK dan teknologi medis di era globalisasi
ini, berdampak pada sistem pelayanan kesehatan dan praktek keperawatan di
Indonesia kini. Tuntutan masyarakat akan kebutuhan pelayanan kesehatan juga
semakin meningkat dan berubah dari konsep perawatan dan pengobatan di rumah
sakit/klinik menjadi kebutuhan perawatan di rumah, khususnya bagi klien/keluarga
dengan penyakit terminal. Disamping itu, penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi
dalam pembangunan, seperti perbaikan gizi, perilaku sehat, tersedianya bermacam
jenis obat, peningkatan kualitas pengobatan dan perawatan berbagai penyakit akibat
proses penuaan memungkinkan seseorang dapat menikmati usia lanjut sehingga usia
harapan hidup manusia juga meningkat. Terjadinya booming pada populasi lansia di
abad ke-21 ini merupakan salah satu issue penting bagi dunia, baik di negara maju
dan negara yang sedang berkembang (Ebersole & Hess, 1998; Reimer, 1998). Di
Indonesia terjadi peningkatan umur harapan hidup lansia dari usia 58 tahun pada
tahun 1986 menjadi usia 65 tahun pada tahun 1995 (Depkes, 2003) dan terjadi
peningkatan populasi lanjut usia secara signifikan, yaitu 3,96 % setiap tahunnya dan
diperkirakan dapat mencapai angka 22.277.700 jiwa pada tahun 2000 (Boedhi-
Darmojo & Martono, 1999).
Bertambahnya usia akan diiringi dengan munculnya berbagai masalah
kesehatan, mulai dari menurunnya daya tahan tubuh, hingga munculnya gangguan
metabolisme. Masalah kesehatan pada manusia lanjut usia (lansia), secara umum
disebabkan karena menurunnya fungsi organ tubuh, sehingga aktivitas dan
metabolisme dalam tubuh ikut menurun.
Sebagai suatu proses alamiah, fenomena di atas juga diikuti dengan kebutuhan
energi dan kapasitas pencernaan yang juga menurun. Alhasil, tak heran jika banyak
lansia yang mengalami malnutrisi, seperti obesitas/kegemukan, berat badan kurang,
dan kekurangan vitamin. Beberapa sumber referensi menyebutkan, peristiwa
menurunnya kebutuhan energi dan kapasitas pencernaan dimulai saat manusia
memasuki usia 50 tahun. Karena itulah, dianjurkan mengurangi asupan kalori, namun
kebutuhan sebagian besar nutrisi tetap sama.
Malnutrisi Kegemukan pada lansia timbul karena kebiasaan makan banyak
pada usia muda, yang tidak dikurangi ketika memasuki masa usia lanjut. Padahal,
kebutuhan energi dan aktivitasnya telah jauh berkurang. Berat badan kurang pada
lansia disebabkan karena minimnya asupan akibat berkurangnya nafsu makan, adanya
gangguan penyakit, faktor kejiwaan, atau karena masalah sosial ekonomi. Kekurangan
vitamin pada lansia, biasanya terjadi karena minimnya asupan buah dan sayuran.
Kondisi ini dapat menyebabkan lansia kurang napsu makan, cepat pikun, daya tahan
tubuh menurun, kulit tampak kering, dan terlihat lesu.
Masalah Gizi Penurunan fisik, psikis, dan metabolisme pada lansia merupakan
faktor utama timbulnya masalah gizi. Penurunan faktor fisik dapat diamati pada
kurangnya kemampuan mencerna makanan. Salah satunya akibat kerusakan gigi, atau
ompong. Berkurangnya kualitas indera pengecapan menurunkan cita rasa manis, asin,
asam, dan pahit, sehingga mengakibatkan napsu makan berkurang. Kurangnya
gerakan usus atau gerak peristaltik lemah juga dapat menimbulkan konstipasi, dan
kurangnya penyerapan makanan di usus.
Faktor psikis, biasanya muncul karena merasa kesepian dan merasa tidak
diperhatikan sehingga mempengaruhi napsu makan. Kompleksitas dari masalah
asupan karena berkurangnya napsu makan inilah yang mengakibatkan terjadinya
malnutrisi, dan memicu timbulnya berbagai penyakit degeneratif seperti jantung
koroner, anemia, penyakit ginjal, darah tinggi, stroke, dan gangguan metabolik seperti
diabetes yang memerlukan pengaturan gizi secara khusus.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan permasalahan karya tulis ilmuah ini
adalah :
1. Apa definisi home care?
2. Apa manfaat melakukan home care?
3. Bagaimana Konsep pelayanan home care pada lansia?
4. Bagaimana mengatasi lansia yang keterbatasan gangguan kebutuhan nutrisi?
5. Apa peran perawat home care lansia dengan gangguan nutrisi?
6. Apa saja pendekatan - pendekatan yang dilakuan home care perawat lansia?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mengetahui konsep home care pada lansia yang mengalami keterbatasan
gangguan kebutuhan nutrisi.
2. Tujuan Khusus
a. Meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan kesehatan di rumah
b. Mengatasi atau mencegah lansia agar tidak mengalami gangguan kebutuhan
nutrisi dan gizi.
c. Meningkatkan kemandirian keluarga dalam pemeliharaan kesehatan
d. Terbentuknya keluarga dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab pelayanan
terhadap lansia.

1.4 Manfaat Penulisan


1. Untuk menambah wawasan tentang home care pada lansia
2. Meningkatkan kemampuan  keluarga dan masyarakat dalam pendampingan dan
perawatan lanjut usia di rumah.
3. Untuk mengetahui bagaimana cara mengatasi lansia agar tidak mengalami gangguan
kebutuhan nutrisi
4. Untuk mengetahui bagaimana cara memenuhi kebutuhan dan hak lanjut usia agar
mampu berperan dan berfungsi di masyarakat secara wajar
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Homecare
2.1.1 Definisi Homecare
Homecare merupakan suatu komponen dari perawatan kesehatan yang
komprehensif, dimana pelayanan kesehatan diberikan kepada individu dan keluarga di
tempat tinggal mereka dengan maksud untuk meningkatkan, memelihara, memulihkan
dan memaksimalkan tingkat kemandirian dibidang kesehatan sambil mengurangi
dampak dari cacat dan sakit termasuk pada penyakit-penyakit terminal (Swanson,
1997).
Home care merupakan layanan kesehatan yang dilakukan di rumah pasien,
sehingga home care dalam keperawatan merupakan layanan keperawatan di rumah
pasien (Suharyati,2003). Perawatan di rumah merupakan bagian dari proses
keperawatan di rumah sakit, yang merupakan kelanjutan dari rencana pemulangan
(Discharge planning), bagi klien yang sudah waktunya pulang dari rumah sakit.
Perawatan di rumah ini bisa dilaksanakan oleh perawat dari rumah sakit semula,
perawat komunitas dimana klien berada, atau dilaksanakan oleh tim khusus yang
menangani perawatan di rumah (Suardana, 2001).
2.1.2 Manfaat Homecare
Manfaat home care adalah :
1. Bagi klien dan keluarga :
a) Program Homecare dapat membantu meringankan biaya rawat inap yang
makin mahal, karena dapat mengurangi biaya akomodasi pasien dan
transportasi serta konsumsi keluarga.
b) Mempererat ikatan keluarga, karena dapat selalu berdekatan pada saat
anggota keluarga ada yang sakit.
c) Merasa lebih nyaman karena berada di rumah sendiri
d) Makin banyaknya wanita yang bekerja di luar rumah, sehingga tugas merawat
orang yang sakit biasanya dilakukan ibu terhambat, oleh karena itu perlu
kehadiran perawat untuk menggantikannya.
2. Bagi perawat :
a) Memberikan variasi lingkungan kerja, sehingga tidak jenuh dengan
lingkungan yang tetap sama.
b) Dapat mengenal klien dan lingkungannya dengan baik
c) Sehingga pendidikan kesehatan yang diberikan sesuai dengan situasi dan
kondisi keluarga, sehingga kepuasan kerja perawat meningkat.
2.1.3 Jenis Institusi Pemberi Layanan
Ada beberapa jenis institusi yang dapat memberikan layanan home care antara lain:
1. Institusi pemerintah
Di Indonesia pelayanan homecare yang telah lama berlangsung dilakukan
adalah dalam bentuk perawatan kasus/keluarga resiko tinggi (baik ibu, bayi, balita
maupun lansia) yang dilaksanakan oleh tenaga keperawatan Puskesmas. Klien
yang dilayani Puskesmas biasanya adalah kalangan menengah ke bawah.
2. Institusi sosial
Melaksanakan pelayanan homecare dengan suka reladan tidak memungut
biaya. Biasanya dilakukan oleh LSM atau organisasi keagamaan dengan
penyandang dananya dari donatur, misalnya bala keselamatan yang melakukan
kunjungan rumah pada keluarga yang membutuhkan sebagai wujud pengabdian
pada tuhan.
3. Institusi swasta
Dalam bentuk praktek mandiri baik perorangan maupun kelompok yang
menyelenggarakan pelayanan home caredengan menerima imbalan jasa baik
secara langsung dari klien maupun pembayaran melalui pihak ketiga (asuransi).
4. Home Care berbasis rumah sakit (Hospital Home care).
Merupakan perawatan lanjutan pada klien yang telah di rawat di rumah sakit,
karena masih memerlukan bantuan laynan keperawatan, maka dilanjutkan di
rumah.
2.1.4 Karakteristik Homecare
Home Care mempunyai karakteristik Sebagai berikut :
1. Jenis layanan yang diselenggarakan; memprioritaskan pelayanan promotif dan
preventif tanpa mengabaikan upaya pengobatan dan pencegahan kecacatan.
Bentuk kegiatan yang dilakukan lebih banyak berupa komunikasi, informasi dan
edukasi (KIE).
2. Tata cara pelayanan; tidak diselenggarakan terkotak-kotak (Fragmented)
melainkan secara terpadu dan berkesinambungan dalam pemenuhan kebutuhan
klien dan waktu penyelenggaraan. Pendekatan penyelenggaraan pelayanan; secara
menyeluruh dengan melihat semua sisi yang terkait (Comprehensive Approach).
2.1.5 Prosedur Home Health Care
Ada beberapa fase dalam memberikan pelayanan keperawatan di keluarga/rumah :
1. Fase preinisiasi/persiapan
Fase pertama, perawat mendapatkan data yang akan dikunjungi dari
Puskesmas atau kader kesehatan. Perawat perlu membuat laporan pendahuluan
untuk kunjungan yang akan dilakukan dan kontrak waktu dengan keluarga.
2. Fase inisiasi/perkenalan
Fase ini mungkin memerlukan beberapa kali kunjungan. Selama fase ini
perawat dan keluarga berusaha untuk saling mengenal dan mengetahui keluarga
menanggapi suatu masalah kesehatan.
3. Fase implementasi
Pada fase ini perawat melakukan pengkajian dan perencanaan untuk
menyelesaikan masalah kesehatan keluarga. Melakukan intervensi sesuai rencana.
Eksplorasi nilai-nilai keluarga dan persepsi keluarga terhadap kebutuhan. Berikan
pendidikan kesehatan sesuai sumberdaya yang dimiliki keluarga dengan berbagai
media yang sesuai.
4. Fase terminasi
Perawat membuat kesimpulan hasil kunjungan berdasarkan pencapaian tujuan.
Menyusun rencana tindak lanjut. Tinggalkan nama dan alamat perawat dengan
nomer telpon.
5. Fase pasca kunjungan
Perawat membuat dokumentasi lengkap tentang hasil kunjungan untuk
disimpan di pelayanan kesehatan setempat
2.2 Lansia
2.2.1 Pengertian lanjut usia
Lanjut usia merupakan suatu tahap akhir dalam rentang kehidupan manusia.
Para ahli psikologi telah membagi tahap kehidupan manusia berdasarkan
perkembangan fisik dan psikologisnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Chaplin
(1989:13) tentang tahap perkembangan manusia sebagai berikut :
1. Usia 0-1 tahun disebut masa bayi
2. Usia 1-12 tahun disebut masa kanak-kanak
3. Usia 12-21 tahun disebut masa remaja
4. Usia 21-65 tahun disebut masa dewasa
5. Usia 65 tahun ke atas disebut masa tua.
Perkembangan merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang
berlangsung sepanjang hayat manusia, Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO)
membagi lanjut usia berdasarkan batas umur sebagai berikut (Suparto, 2000:11) :
1. Usia 45-60 tahun (middleage) disebut dengan setengah baya beranjak jauh dari
beberapa periode terdahulu yang lebih menyenangkan atau beranjak jauhdari
periode yang penuh dengan manfaat.
2. Usia 60-75 tahun (elderly) disebut dengan lanjut usia wreda utama
3. Usia 75-90 tahun (old) disebut tua/wreda prawasana
4. Usia 90 tahun (veryold) disebut wreda wasana.

Sedangkan pemerintahan Indonesia memberikan pengertian manusia lanjut


usia secara umum sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang Republik
Indonesia tentang Kesejahteraan Manusia Lanjut Usia, yaitu pada pasal 1 ayat (2) :
“Bahwa yang dimaksud dengan manusia lanjut usia adalah seseorang yang telah
mencapai usia 60 tahun ke atas” (Hardywinoto dan Setibudy,1999:237).

Tentang pengertian lanjut usia, para ahli psikologi berbeda-beda dalam


menggambarkannya, karena tidak ada pengertian yang tetap dalam
mendefinisikannya. Akan tetapi secara umum ukuran ketuaan seseorang dapat dilihat
dari 3 segi (Wauran, 1981:13) :
1. Tua berdasarkan umur
2. Tua berdasarkan emosional, perasaan dan tingkah laku
3. Tua berdasarkan intelektual dan pola pikirnya.
2.2.2 Ciri-ciri lanjut usia
Hal ini sebagaimana dikatakan Hurlock (1997:380) tentang manusia lanjut
usia bahwa “Ciri-ciri dari perubahan lanjut usia cenderung menuju dan membawa
pada penyesuaian yang buruk daripada yang baik dan menuju kesengsaraan daripada
kebahagiaan”.
Hurlock mengelompokkan ciri-ciri manusia lanjut usia:
1. Adanya perubahan fisik pada usia lanjut
Perubahan fisik pada lanjut usia berbeda pada masing-masing individu
walaupun usianya sama, tetapi pada umumnya perubahan fisik tersebut dapat
digambarkan dengan beberapa perubahan antara lain :
a) Perubahan pada penampilan.
Perubahan penampilan pada manusia lanjut usia tidak muncul secara
serempak,namun tanda-tanda seperti pada daerah kepala,dan tanda-tanda
ketuaan pada wajah,perubahan-perubahan pada daerah tubuh dan perubahan
pada persendian, perubahan-perubahan tersebut membawa kearah kemunduran
fisik pada lanjut usia.
b) Perubahan pada bagian tubuh.
Perubahan pada bagian ini terlihat dengan adanya perubahan sistem
syaraf yaitu pada bagian otak, sehingga perubahan ini mengakibatkan
menurunnya kecepatan belajar dan menurunnya kemampuan intelektual.
c) Perubahan pada fungsi fisiologis.
Dengan munculnya perubahan pada fungsi fisiologis ini, pada
umumnya tingkat denyut nadi dan konsumsi oksigen lebih beragam,
meningkatnya tekanan darah,berkurangnya kandungan creatine dan terjadinya
penurunan jumlah waktu tidur. Karena beberapa perubahan tersebut,maka
manusia lanjut usia mengalami kemunduran dari segi fisiknya.
d) Perubahan pada panca indra.
Pada usia lanjut, fungsi seluruh organ pengindraan kurang mempunyai
sensitivitas dan efisiensi kerja seperti kemunduran kemampuan kerja pada
penglihatan, pendengaran, perasa, penciuman, perabaan dan sensitivitas pada
rasa sakit.
e) Perubahan seksual.
Perubahan lanjut usia terlihat setelah berhentinya reproduksi, pada
umumnya hal ini terjadi bila wanita memasuki usia lanjut dengan terjadinya
monopause dan klimaterik pada laki-laki.
f) Perubahan kemampuan motorik pada usia lanjut
Orang berusia lanjut pada umumnya menyadari bahwa mereka berubah
lebih lambat dan koordinasinya dalam beraktivitas kurang baik dibanding pada
waktu muda. Perubahan pada kemampuan motorik ini disebabkan oleh
pengaruh fisik dan fisiologis, sehingga mengakibatkan merosotnya kekuatan
dan tenaga dan dari segi psikologis munculnya perasaan rendah diri,kurangnya
motivasi dan lainnya.
g) Perubahan kemampuan mental pada usia lanjut
Perubahan kemampuan mental pada Manula berbeda pada tiap
individu,walaupun berbeda pola pikir dan pengalaman intelektualnya. Secara
umum,mereka yang mempunyai pengalaman intelektual lebih tinggi, secara
relatif penurunan dalam efisiensi mental kurang dibanding mereka yang
pengalaman intelektualnya rendah.
h) Perubahan minat pada usia lanjut
Perubahan minat pada seseorang juga merupakan ciri-ciri memasuki usia
lanjut, karena perubahan minat orang pada seluruh tingkat usia berhubungan
dengan keberhasilan penyesuaian mereka. Demikian juga penyesuaian pada
usia lanjut, sangat dipengaruhi oleh perubahan minat dan keinginan yang
dilakukan secara sukarela atau terpaksa.
2.3 Homecare Lansia
Perawatan di rumah (home care) bagi lansia adalah perawatan yang diberikan kepada
lansia yang tidak sepenuhnya mampu merawat dirinya sendiri, hidup sendiri atau
bersama keluarga namun tidak ada yang mengasuh. Perawatan diberikan oleh care giver
(pengasuh/pelaku rawat) informal atau profesional, dengan home nursing (kunjungan
rumah) oleh perawat profesional.
Bentuk program pendampingan lansia berbasis Home Care dirumuskan dengan
memperhatikan kebutuhan lansia sebagai seseorang yang telah mengalami perubahan
yang akan berpengaruh pada kemunduran kesehatan fisik dan psikis yang pada akhirnya
akan berpengaruh pada ekonomi dan sosial lansia, sehingga secara umum akan
berpengaruh pada activity of daily living (Wati, 2012).
Bentuk pendampingan lansia berbasis Home Care yang dirancang meliputi
pendampingan secara aspek fisik, sosial,mental dan spiritual. Sejalan dengan pendapat
menurut Taviyanda dan Siswanto (2016, hlm. 145) bahwa peran keluarga dalam
perawatan lanjut usia antara lain: menjaga atau merawat lansia, mempertahankan dan
meningkatkan status mental, mengantisipasi perubahan status sosial ekonomi serta
memberikan motivasi dan memfasilitasi kebutuhan spiritual bagi lansia.
Kebutuhan lansia dari aspek fisik meliputi :
a) Makanan
Perubahan kebutuhan dan asupan gizi harus diantisipasi dengan pemberian
nutrisi secara tepat, sehingga tidak menimbulkan masalah gizi atau memperburuk
kondisi fisik lansia. Gizi yang baik akan berperan dalam upaya penurunan
prosentase timbulnya penyakit dan angka kematian di usia lanjut (Mainake, 2012)
b) Pakaian
Pakaian lansia termasuk kepada salah satu activity daily of living yang harus
dipenuhi dan diperhatikan oleh keluarga, karena menurut Nur (2015, hlm. 7)
dukungan keluarga yang tepat akan memperbaiki atau mempertahankan
kemampuan aktivitas sehari-hari lansia.
c) Kebersihan diri
Kebersihan badan, tempat tidur, kebersihan rambut, kuku dan mulut atau gigi
perlu mendapat perhatian perawatan khusus. Kebanyakan dari Lansia tidak
memiliki kesadaran untuk memelihara kebersihan diri, dikarenakan personal
hygiene tidak begitu penting bagi lanjut usia saat ini, sehingga keluarga perlu
membantu dan memotivasi lansia menerapkan personal hygiene dalam kehidupan
sehari-hari, karena personal Hygiene yang baik akan mempengaruhi terhadap
peningkatan citra tubuh individu, termasuk lansia (Ramadhan dan Sabrina, 2016,
hlm. 1735-1748).
d) Mobilisasi lansia
Mobilisasi lansia berkaitan dengan olahraga atau senam lansia. Senam lansia
ebaiknya dilakukan dengan durasi 20-50 menit dan frekuensi tiga kali seminggu
(Raharjo, 2016).
e) Kesehatan
Keluarga merupakan sumber dukungan dan bantuan paling bermakna dalam
membantu pemeliharaan kesehatan anggota keluarga. Lansia yang sudah
mengalami penurunan fungsi baik fisiologis maupun psikologis, apalagi memiliki
penyakit kronik sangat membutuhkan dukungan dan bantuan keluarga dalam upaya
pemeliharaan kesehatan (Hidayati, 2015).
Kebutuhan lansia dari aspek sosial meliputi: komunikasi, rekreasi dan partisipasi
lansia dalam kegiatan masyarakat, karena meskipun lansia mengalami berbagai
kemunduran, namun tidak berarti karena perubahan baik secara fisik dan psikologis
tersebut menjadikan lansia merasa dirinya tidak berguna, padahal banyak kebudayaan
dan masyarakat menurut Nawawi (2009, hlm. 8) menganggap lansia memiliki peran
dan kedudukan sebagai orang yang dihormati, dianggap memiliki pengetahuan dan
pengalaman yang lebih, sehingga menjadi tempat bertanya dan mendapatkan nasehat
bagi golongan muda. Penelitian yang dilakukan Andriani (dalam None dan Kallo,
2016) tentang keluarga sehat, menulis bahwa sifat pertama dari keluarga yang sehat
adalah komunikasi yang jelas dan kemampuan untuk saling mendengarkan.
Kebutuhan lansia dari aspek mental meliputi: kecerdasan intelektual,
kecerdasan emosional dan kecerdasan moral. Masalah gangguan kesehatan mental
menurut Riani (2013) dapat mengganggu kegiatan sehari-hari lansia dan menurunkan
kualitas hidup lansia. Dukungan sosial terdekat yang dapat diperoleh lansia adalah
bersumber dari keluarga. Dukungan sosial dari keluarga dapat dilakukan melalui
memberikan perhatian pada lansia, bantuan instrumental, pemberian informasi saat
berada pada situasi yang menekan, serta informasi yang relevan dengan penilaian diri,
dengan cara tersebut, setidaknya dukungan sosial dapat meringankan beban lansia
apabila dihadapkan pada suatu persoalan (Parasari dan Lestari, 2015, hlm. 70-71).
Kebutuhan lansia dari aspek spiritual meliputi: aqidah, amaliyah, syariah dan
akhlak. Aspek spiritual membahas terkait mengajak, mendampingi dan melatih lansia
menjalankan ibadah mahdah dan ghair mahdah. Kedekatan antara lansia dengan Tuhan
yang dibangun melalui aktifitas ritual ibadah dan do’a yang didasari dengan keikhlasan
akan membawa ketenangan dan kedamaian, sehingga akan memberikan efek relaksasi
pada lansia. Kedekatan dengan Tuhan yang dilandasi dengan keikhlasan akan membuat
lansia mematuhi ajaran agamanya. Ajaran agama tidak hanya mengajarkan perintah dan
larangan yang harus dipatuhi oleh umat manusia, namun juga tentang cara berperilaku
hidup sehat, sehingga lansia memiliki motivasi untuk melakukan perilaku hidup sehat
demi kesehatannya (Dewi, 2016, hlm. 233-234).
Pelaksana utama program pendampingan lansia berbasis Home Care adalah
keluarga lansia. Keluarga memiliki peran penting dalam memberikan pendampingan
kepada lansia, karena keluarga menurut Harris (dalam Baroroh, 2015, hlm. 143)
merupakan orang terdekat yang secara spontan akan mengambil bagian menjadi care
giver, ketika keluarga yang dicintainya membutuhkannya. Keluarga perlu membantu
lansia untuk menyesuaikan dirinya terhadap tugas perkembangan yang harus dilakukan,
seperti: Mempersiapkan diri untuk kondisi yang menurun, mempersiapkan diri untuk
pensiun, membina hubungan baik dengan sesama lansia dan masyarakat dengan
keadaan nyaman, mempersiapkan kehidupan baru sebagai lansia dan mempersiapkan
untuk kematian pasangan maupun kematian diri sendiri.
Selain keluarga, kader Posbindu juga merupakan pendamping yang
memberikan pendampingan kepada lansia ketika kegiatan Posbindu berlangsung.
Posbindu merupakan suatu fasilitas pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk
meningkatkan kesehatan masyarakat khususnya bagi warga yang sudah berusia lanjut
(Rusfita, 2016). Posbindu menurut Nawawi (2009, hlm. 60) menjalankan peran penting
dalam eningkatkan taraf kesehatan lansia. Posbindu sebagai salah satu lembaga
pelayanan lansia dapat menjalin kerjasama aktif antara keluarga dan masyarakat
lingkungan sekitar untuk memberikan pendampingan kepada llansi (Nawawi 2009,
hlm. 60).
2.4 Keterbatasan Gangguan Kebutuhan Nutrisi Pada Lansia
Lansia di Indonesia banyak yang mengalami gangguan pemenuhan gizi yang
mengalami gizi kurang (IMT 16,5-18,49%) sebanyak 31% dan gizi lebih banyak 1,8%.
Pengasuhan gizi mungkin memiliki efek positif pada asupan energy dan zat gizi yang
lain serta kualitas hidup penduduk lansia dan lansia yang menderita malnutrisi (Akbar
and Eatall, 2020). Malnutrisi ialah keadaan patologis yang dihasilkan akibat defisiensi
nutrisi. Ketidakcukupan nutrisi diakibatkan dari gangguan dalam proses pencernaan
makanan,pencernaan, atau penyerapan. Hal ini dapat terjadi akibat ketidakmampuan
untuk mengkonsumsi nutrisi yang memadai, ketidakmampuan untuk mencerna nutrisi,
ketidakmampuan untuk menyerap nutrisi atau peningkatan kebutuhan nutrisi oleh
tubuh.
2.4.1 Masalah gizi pada lansia
Peningkatan populasi lansia tersebut dapat berisiko pada peningkatan masalah
kesehatan pada lansia akibat proses penuaan salah satunya adalah masalah gizi.
Problem gizi pada lansia yang terjadi sebagai berikut :
1. Gizi berlebih
Gizi berlebih pada lansia banyak terjadi negara-negara barat dan kota-kota
besar. Kebiasaan makan banyak pada waktu muda menyebabkan berat badan
berlebih,apaladi pada lansia penggunaan kalori berkurang karena berkurangnya
aktivitas fisik. Kebiasaan makan itu sulit untuk diubah walaupun disadari untuk
mengurangi makan. Kegemukan merupakan salah satu pencetus berbagai
penyakit, misalnya : penyakit jantung, kencing manis, dan darah tinggi.
2. Gizi berkurang
Gizi kurang sering disebabkan oleh masalah-masalah social ekonomi dan juga
karena gangguan penyakit. Bila konsumsi kalori terlalu rendah dari yang
dibutuhkan menyebabkan berat badan kurang dari normal. Apabila hal ini disertai
dengan kekurangan protein menyebabkan kerusakan-kerusakan sel yang tidak
dapat diperbaiki, akibatnya rambut rontok, daya tahan terhadap penyakit menurun,
kemungkinan akan mudah terkena infeksi.
3. Kekurangan vitamin
Bila konsumsi buah dan sayuran dalam makanan kurang dan ditambah dengan
kekurangan protein dalam makanan akibatnya nafsu makan berkurang,
penglihatan menurun, kulit kering, penampilan menjadi lesu dan tidak
bersemangat.
2.4.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan gizi pada lansia
1. Berkurangnya kemampuan mencerna makanan akibat kerusakan gigi atau
ompong.
2. Berkurangnya indera pengecapan mengakibatkan penurunan terhadap cita rasa
manis,asin, asam, dan pahit.
3. Esophagus / kerongkongan mengalami pelebaran.
4. Rasa lapar menurun, asam lambung menurun.
5. Gerakan usus atau gerak peristaltic lemah dan biasanya menimbulkan konstipasi.
6. Penyerapan makanan di usus menurun.
2.4.3 Kebutuhan nutrisi pada lansia
Masalah gizi lansia berkaitan erat dengan menurunnya aktivitas biologis
tubuhnya. Konsumsi pangan yang kurang seimbang akan memperburuk kondisi
lansia. Menurut (Senjaya, 2015) kebutuhan nutrisi lansia, sebagai berikut :
1. Kalori
Bagi lansia komposisi energi sebaiknya 20- 25% berasal dari protein, 20% dari
lemak, dan sisanya dari karbohidrat. Kebutuhan kalori untuk lansia laki-laki
sebanyak 1960 kal, sedangkan untuk lansia wanita 1700 kal. Bila jumlah kalori
yang dikonsumsi berlebihan, maka sebagian energi akan disimpan berupa lemak,
sehingga akan timbul obesitas.
2. Protein
Beberapa penelitian merekomendasikan, untuk lansia sebaiknya konsumsi
proteinnya ditingkatkan sebesar 12-14% dari porsi untuk orang dewasa. Sumber
protein yang baik pangan hewani dan kacang-kacangan.
3. Karbohidrat dan serat makanan
Lansia dianjurkan untuk mengurangi konsumsi gula sederhana dan
menggantinya dengan karbohidrat kompleks, yang berasal dari kacang-kacangan
dan biji-bijian yang berfungsi sebagai sumber energi dan sumber serat.
4. Vitamin dan mineral
Kekurangan mineral yang paling banyak diderita lansia adalah kurang mineral
kalsium yang menyebabkan kerapuhan tulang dan kekurangan zat besi yang
menyebabkan anemia. Umumnya kekurangan ini terutama disebabkan dibatasinya
konsumsi makanan, khususnya buahbuahan dan sayuran. Sayuran dan buah
hendaknya dikonsumsi secara teratur sebagai sumber vitamin, mineral, dan serat.
5. Air
Air dalam minuman dan makanan sangat diperlukan tubuh untuk mengganti
yang hilang serta membantu pencernaan makanan dan membersihkan ginjal
(membantu fungsi kerja ginjal). Pada lansia dianjurkan minum lebih dari 6 - 8
gelas per hari.
2.4.4 Pemenuhan nutrisi untuk lansia
Pola makan lansia disesuaikan dengan kecukupan gizi yang dianjurkan dan menu
makanannya (Senjaya, 2015) :
1. Gizi yang tepat untuk lansia
Dengan memperhatikan prinsip-prinsip kebutuhan gizinya yaitu kebutuhan
energi memang lebih rendah dari pada usia dewasa muda (turun sekitar 5-10%),
kebutuhan protein sebesar 1 gr/kg BB, kebutuhan lemak berkurang, kebutuhan
karbohidrat cukup (sekitar 50%), kebutuhan vitamin dan mineral sama dengan
usia dewasa muda. Atau dengan cara praktis melihat di DKGA (Daftar Kecukupan
Gizi yang Dianjurkan)
2. Menu yang disajikan untuk lansia harus mengandung gizi yang seimbang yakni
mengandung sumber zat energi, sumber zat pembangun dan sumber zat pengatur.
Dalam hal ini kita bisa mengacu pada makanan empat sehat lima sempurna.
3. Memperkuat daya tahan tubuh, dengan mengkonsumsi makanan yang
mengandung zat gizi yang penting untuk kekebalan, seperti: biji-bijian utuh,
sayuran berdaun hijau, makanan laut.
4. Mencegah tulang agar tidak menjadi keropos dan mengkerut, dengan makanan
yang mengandung vitamin D. Pada usia diatas 60 tahun kemampuan penyerapan
kalsium menurun, vitamin D membantu penyerapan kalsium dalam tubuh, contoh
makanan sumber vitamin D adalah susu.
5. Karena lansia mengalami kemunduran dan keterbatasan maka konsistensi dan
tekstur atau bentuk makanan harus disesuaikan. Sebagai contoh : gangguan pada
gigi (gigi tanggal/ompong), maka bentuk makanannya harus lunak, misal nasi
ditim, lauk pauk dicincang (ayam disuwir, daging sapi dicincang/digiling)
6. Lansia harus diberi pengertian untuk mengurangi atau kalau bisa menghindari
makanan yang mengandung garam natrium yang tinggi
7. Lansia harus memperbanyak makan buah dan sayuran, karena sayur dan buah
banyak mengandung vitamin, mineral dan serat. Lansia sering mengeluhkan
tentang konstipasi/susah buang air besar, nah dengan mengkonsumsi sayur dan
buah yang kaya akan serat maka akan melancarkan buang air besar.
8. Lansia harus banyak minun air putih. Kebutuhan air yakni 1500 – 2000 ml atau 6 -
8 gelas perhari. Air ini sangat besar artinya karena air menjalankan fungsi tubuh,
mencegah timbulnya penyakit di saluran kemih seperti kencing batu, batu ginjal
dan lain-lain.
9. Lansia membatasi makanan berlemak yang banyak mengandung kolesterol yang
akan mengakibatkan risiko penyakit jantung.
10. Mempertahankan berat badan ideal dengan jalan tetap aktif secara fisik, makan
rendah lemak dan kaya akan karbohidrat kompleks
11. Lansia mengonsumsi makanan yang mengandung vitamin C, E dan B dan
antioksidan untuk melindungi penglihatan dan mencegah terjadinya katarak
12. Olah raga dilakukan menurut porsi masing-masing usia serta tingkat kebugaran
setiap orang.
BAB 3
TATALAKSANA PADA PASIEN GANGGUAN NUTRISI
3.1 Peran Perawat Homecare Lansia Dengan Gangguan Nutrisi
3.1.1 Intervensi
Sebagai perawat pasien homecare lansia dengan gangguan nutrisi, perlu adanya
intervensi berkala untuk mengatasi gangguan nutrisi lebih lanjut pada lansia.
Menurut (SDKI SIKI SLKI, 2016-2018), perawat perlu melakukan beberapa
intervensi antara lain:
1. Monitor asupan dan keluarnya makanan dan cairan serta kebutuhan kalori
lansia.
Jumlah kalori harian yang dibutuhkan umumnya semakin berkurang pada lansia,
tetapi tubuh tetap membutuhkan asupan kalori untuk dikelola menjadi energi.
Manfaat kalori juga untuk menjalankan organ tubuh, sel-sel, serta proses dasar
tubuh agar tetap berfungsi. Berikut ini jumlah asupan kalori yang disarankan
berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk lansia: 
- Wanita: 1.600 kalori per hari untuk wanita tidak aktif dan 1.800 kalori per hari
untuk wanita aktif. 
-  Pria: 2.000 kalori per hari untuk pria lansia tidak aktif dan 2.200 kalori per hari
untuk pria aktif. 
Lansia yang masih mampu berjalan cepat lebih dari 3 mil atau sekitar 4,8 km per
hari tergolong aktif secara fisik. Lansia dengan aktivitas padat membutuhkan
asupan kalori yang lebih banyak. 

Walaupun demikian, lansia tidak boleh sembarangan konsumsi makanan berkalori.


Disarankan hanyakonsumsi makanan yang mengandung kalori sekaligus nutrisi
lainnya, seperti oatmeal, susu rendah lemak, susu kedelai, seafood, kacang dan biji-
bijian, roti gandum, beras merah, telur, serta variasi buah dan sayur. 
2. Timbang berat badan secara rutin
3. Diskusikan prilaku makanan dan jumlah aktivitas fisik yang sesuai dengan
lansia
4. Lakukan kontrak prilaku, seperti target berat badan
5. Berikan konsekuensi jika tidak mencapai target
6. Edukasi lansia
Menjadi tua adalah sebuah fitrah perjalanan kehidupan tiap manusia. Banyak
permasalahan yang terjadi pada seseorang yang menginjak lanjut usia, di antaranya
terkait masalah yang berhubungan dengan gizi. Gizi seimbang menjadi salah satu
bagian yang harus diperhatikan agar daya tahan tubuh lansia meningkat, penyakit
berkurang dan semangat hidup meningkat. (Mujiastuti et al., 2021). Asupan zat gizi
yang cukup serta seimbang pada lansia berguna untuk kelangsungan hidupnya di
hari tua. Status kesehatan seorang lansia sangat dipengaruhi oleh penilaian
kebutuhannya akan zat gizi. Seorang lansia yang tergolong sehat juga dapat
mengidap penyakit kronis. Kebutuhan asupan zat gizi pada lansia akan mengalami
perubahan akibat meningkatnya morbiditas dan penyakit tidak menular seperti
penyakit jantung koroner, tekanan darah tinggi, diabetes mellitus, serta penyakit
kronis lainnya (Ronitawati et al., 2021).
Pasien Homecare lansia perlu diberi edukasi mengenai pengaturan diet yang
tepat dan keterampilan penyelesaian perilaku makan, seperti penurunan nafsu
makan dan sebagainya (SDKI SIKI SLKI, 2016-2018). Salah satu hal terpenting
dalam edukasi terkait penyusunan makanan untuk lansia agar meningkatkan selera
makan lansia adalah melaksanakan kegiatan makanan sehat. Kegiatan makan yang
sehat meliputi pengaturan jumlah kecukupan makanan, jenis makanan dan jadwal
makan, yang fungsinya untuk mempertahankan kesehatan. Dengan memperhatikan
unsur-unsur tersebut, maka dibutuhkan penyusunan menu makanan bagi lansia.
Menu bagi lansia hendaknya mengandung zat gizi dari berbagai macam bahan
makanan yang terdiri dari zat tenaga, pembangun dan pengatur (Ronitawati et al.,
2021).
3.1.2 Peran Nutrisi Dalam Kesembuhan Pasien Lansia
Pasien Lansia Dengan Stroke
Terpenuhinya maupun terpenuhi sebagian kebutuhan nutrisi pada pasien stroke
dipengaruhi oleh usia, pendidikan dan sumber informasi yang diperoleh. Sesuai
dengan Teori Notoatmodjo (2007), yang menyatakan bahwa pendidikan dapat
mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup,
terutama dalam berperilaku untuk berperan serta dalam pembangunan kesehatan.
Penderita stroke dapat mengalami gangguan fisik yang meliputi kesulitan
mengunyah dan menelan makanan (disfagia). Kesulitan menelan makanan
(disfagia) cenderung dialami oleh sekitar 40-60% pasien stroke. Hal ini diakibatkan
karena munculnya reaksi hipermetabolik (metabolisme yang berlebihan) akibat
gangguan fungsi hipotalamus di otak. Karena itu, pemberian nutrisi pada masa
penyembuhan atau pasca-stroke memerlukan perhatian pada pemenuhan jumlah
kebutuhan dan bentuk pemberian nutrisi. Keluarga tidak mengingatkan penderita
pasca stroke untuk makan tepat waktu dan menghindari makanan yang tidak boleh
dimakan seperti makanan degan kolesterol dan garam tinggi, memakanan seperti
jeroan, cumi-cumi, gorengan ,makanan bersantan sangat cocok untuk penyandang
stroke. Nutrisi (Makanan) merupakan salah satu faktor yang berperan dalam proses
pemulihan pasca stroke. Apabila keluarga yang memiliki pengetahuan yang baik,
bahwa penderita stroke memerlukan asupan makanan bergizi dan seimbang dengan
cukup serat, maka kebutuhan nutrisinya akan terpenuhi. Dalam hal ini penderita
pasca stroke memerlukan makanan yang memadai, lezat, dan seimbang dengan
cukup serat. Pada umumnya individu cenderung memiliki sikap terarah tentang
orang yang dianggap penting. Petugas kesehatan seperti dokter dan perawat
merupakan orang yang dianggap penting karena mereka yang paham dan
berhubungan dengan kesehatan, dengan demikian responden cenderung untuk
mematuhi nasehat dan saran dari petugas kesehatan untuk mengkonsumsi makanan
yang bergizi dan seimbang. Tidak terpenuhinya kebutuhan nutrisi pada keluarga
pasca stroke dipengaruhi oleh status ekonomi/penghasilan.
Dalam proses penyembuhan dukungan keluarga diharapkan membantu secara
optimal sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien pasca stroke. Efek
seperti kelemahan pada anggota tubuh, kelumpuhan, masalah dengan
keseimbangan, rasa sakit atau mati rasa, gangguan pada memori atau pikiran, dan
masalah dengan sistem perkemihan atau gangguan pencernaan, dari hal tersebut
semua dapat mengubah fungsi maupun peran orang atau keluarga dirumah.
Penyakit stroke memberi dampak yang dapat mempengaruhi aktivitas seseorang,
seperti kelumpuhan dan kecacatan, gangguan berkomunikasi, gangguan emosi,
nyeri, gangguan tidur, depresi, disfagia, dan masih banyak yang lainnya. Disfungsi
tersebut akan menimbulkan dampak psikologis maupun sosial bagi pasien itu
sendiri, seperti perasaan harga diri rendah, perasaan tidak beruntung, perasaan
ingin mendapatkan kembali kemampuan yang menurun, berduka, takut dan putus
asa.
3.2 Pendekatan Bio-Psikososial
Layanan Dukungan Psikososial” (LDP). Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui bagaimana layanan dukungan psikososial, sumber daya manusia dan
bagaimana persepsi Warga Binaan Sosal (WBS) terhadap LDP di Panti.Teori yang
dikembangkan; adalah teori psikosososial perkembangan (Erikson), pelepasan, dan
teoriaktivitas.Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif, dengan metode studi kasus
deskriptif. LDP merupakan proses pertolongan oleh pekerja sosial bersama profesi
lainnya, untuk menata dan menstrukturkan kembali kepribadian warga binaanyang
mengalami disfungsi psikososial agar kembali dapat menjalani hidup yang normal. Hasil
penelitian mendeskripsikan bahwa; 1) PSTWBudi Mulia 3 DKI Jakarta telah
melaksanakan layanan dukungan psikososial secara terintegrasi denganbentuk layanan
yang ada; 2) perlu peningkatanlayanan secara terfokus ke LDP; 3) Rasio SDM pekerja
sosial dan tenaga kesejahteraan pelatihan tidak sebanding dengan jumlah WBS dan perlu
ditingkatkan kualitas profesi melalui peningkatan akademik maupun profesi; 4) dari
dimensi pemenuhan kebutuhan fisik dipersepsi WBSdan cenderung bahagia serta betah
tinggal di panti, dengan pertimbangan terpenuhinya semua kebutuhan sandang, pangan,
tempat tinggal, dan kesehatan; dan 5)dari dimensi psikososial, pemenuhan kebutuhannya,
dipersepsi belum puas, dan cenderung tidak bahagia.Ketidakpuasan ini bukan terjadi
karena ketidakhandalanLDP,akan tetapi terjadinya distorsi layanan, akibat dari masih
kurang utuhnya pemahanan LDP oleh para pelaksana layanan. dengan pertimbangan
terpenuhinya semua kebutuhan sandang, pangan, tempat tinggal, dan kesehatan; dan
5)dari dimensi psikososial, pemenuhan kebutuhannya, dipersepsi belum puas, dan
cenderung tidak bahagia.Ketidakpuasan ini bukan terjadi karena
ketidakhandalanLDP,akan tetapi terjadinya distorsi layanan, akibat dari masih kurang
utuhnya pemahanan LDP oleh para pelaksana layanan. dengan pertimbangan
terpenuhinya semua kebutuhan sandang, pangan, tempat tinggal, dan kesehatan; dan
5)dari dimensi psikososial, pemenuhan kebutuhannya, dipersepsi belum puas, dan
cenderung tidak bahagia.Ketidakpuasan ini bukan terjadi karena
ketidakhandalanLDP,akan tetapi terjadinya distorsi layanan, akibat dari masih kurang
utuhnya pemahanan LDP oleh para pelaksana layanan.
3.3 Pendekatan Pelayanan Komprehensif
Pelayanan kesehatan lanjut usia perlu memperhatikan life cycle approach(pendekatan
Siklus Hidup). Karena proses penuaan merupakan proses sepanjang hayat dimulai
semenjak dalam kandungan dan berlanjut sampai memasuki usia lanjut.
Kesehatan seseorang di usia lanjut merupakan cerminan dari keadaan hidup dan tindakan
individu selama rentang kehidupannya. Pendekatan siklus hidup ini mempengaruhi
bagaimana seseorang dapat menerapkan gaya hidup sehat dan beradaptasi dengan
perubahan sesuai dengan pertambahan usia disepanjang siklus kehidupannya.
Sehat Negeriku
Pendekatan Siklus Hidup Dalam Pelayanan Kesehatan Lanjut Usia
Rokom by Rokom 28 Mei 2014Reading Time: 2 mins read
Pelayanan kesehatan lanjut usia perlu memperhatikan life cycle approach(pendekatan
Siklus Hidup). Karena proses penuaan merupakan proses sepanjang hayat dimulai
semenjak dalam kandungan dan berlanjut sampai memasuki usia lanjut.
Kesehatan seseorang di usia lanjut merupakan cerminan dari keadaan hidup dan tindakan
individu selama rentang kehidupannya. Pendekatan siklus hidup ini mempengaruhi
bagaimana seseorang dapat menerapkan gaya hidup sehat dan beradaptasi dengan
perubahan sesuai dengan pertambahan usia disepanjang siklus kehidupannya.
Demikian sambutan Sekretaris Jenderal Kemenkes yang dibacakan oleh Direktur Bina
Upaya Kesehatan Dasar, drg. Kartini Rustandi dalam membuka Workshop Kesehatan
Lanjut Usia dalam rangka peringatan Hari Lanjut Usia Nasional (HLUN) tahun 2014 di
Jakarta, Rabu (28/5).
“Pendekatan tersebut memiliki makna bahwa pada setiap tahap kehidupan mempunyai
upaya pendekatan yang berbeda-beda untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal
pada fase tersebut dan menyiapkan kesehatan untuk fase berikutnya sampai menjadi
lanjut usia” jelas drg. Kartini.
drg. Kartini menyatakan di tahun ini (2014), Kementerian Kesehatan telah menetapkan
Keputusan Menteri Kesehatan tentang Pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) Kesehatan
Lanjut Usia (Pokja Lansia) di lingkungan Kementerian Kesehatan yang terdiri dari
Lintas Program di lingkungan Kemenkes, Tim Ahli di bidang Kesehatan Lanjut Usia.

Pokja ini akan melakukan kajian, analisis, dan pemberian masukan terhadap kebijakan
program kesehatan lanjut usia dalam memberikan pelayanan yang komprehensif kepada
lansia. Selain itu juga mengkoordinir upaya meningkatkan kemitraan dan pemberdayaan
masyarakat dalam meningkatkan kesehatan lanjut usia serta mengkoordinir pendataan
dan surveilans lansia.
“Saya harap koordinasi dan integrasi pelayanan kesehatan ini juga dapat dilaksanakan
para pengelola program di daerah baik di provinsi, kabupaten/kota dan Puskesmas serta
di fasilitas pelayanan kesehatan” ujar Dr. Kartini dihadapan peserta workshop yang
terdiri dari perwakilan tenaga kesehatan, organisasi profesi, LSM, akademisi, hingga
ormas yang bergerak dibidang kelanjut usiaan
drg. Kartini menjelaskan bahwa peningkatan usia Harapan Hidup (UHH) menjadi 72
tahun di tahun 2014 dari 70 tahun di tahun 2010 merupakan salah satu indikator
keberhasilan Pembangunan Kesehatan di Indonesia.
Seiring dengan hal tersebut, risiko penyakit degeneratif juga meningkat. Hasil Riset
Kesehatan Dasar tahun 2013, menunjukan bahwa pola penyakit pada lansia yang
terbanyak adalah hipertensi 57,6%, artritis 51,9% dan stroke 46,1% diikuti masalah
kesehatan gigi dan mulut 19,2%. Sementara penyebab kematian terbanyak pada lansia
dari Laporan Badan Litbangkes tahun 2011 di 15 kab/kota adalah Stroke 24,6% dan
penyakit jantung iskemik 12%.
drg. Kartini berpesan bahwa, Pola hidup sehat sebagai upaya untuk mencapai tingkat
kesehatan prima dan tetap aktif di usia lanjut seharusnyadirancang sedini mungkin, yaitu
semenjak masih dalam kandungan, masa bayi, anak, remaja, dewasa, pra lansia dan masa
lansia.

“Kondisi kesehatan di sepanjang siklus kehidupan manusia sangat menentukan derajat


kesehatan pada masa usia lanjut” tegas drg. Kartini.
Hari Lanjut Usia Nasional di peringati setiap tanggal 29 Mei, tahun ini (2014)
merupakan peringatan HLUN yang ke 18 dengan tema “Jadikanlah lanjut Usia
Sejahtera”. Rencananya puncak HLUN akan dilaksanakan di Istora Senayan, Jakarta
pada tanggal 4 Juni mendatang dengan melibatkan Lintas Sektor Terkait, LSM, Tokoh
Lansia, Generasi Muda dan Masyarakat Umum
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Kementerian
Kesehatan RI.
BAB IV
PENUTUP
3.4. Kesimpulan
Manusia Lanjut Usia (MANULA) adalah manusia yang sedang
mengalami proses menua atau menjadi tua yaitu suatu proses alamiah, yang
berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya yaitu anak, dewasa dan
tua. Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran, misalnya kemunduran
fisik yang ditandai dengan kulit mengendur, rambut memutih, gigi mulai
ompong, pendengaran kurang jelas, penglihatan semakin memburuk dan figur
tubuh yang tidak proporsional.
Nutrisi yang adekuat merupakan suatu komponen esensial pada kesehatan
lansia. Faktor-faktor fisiologis yang dapat dikaitkan dengan kebutuhan nutrisi
yang unik pada lansia adalah menurunnya sensitivitas olfaktorius, perubahan
persepsi rasa dan peningkatan kolesistokinin yang dapat memengaruhi keinginan
untuk makan dan peningkatan rasa kenyang. Proses penuaan itu sendiri
sebenarnya tidak mengganggu proses penyerapan vitamin pada berbagai
tingkatan yang luas. Namun, laporan-laporan terakhir mengindikasikan bahwa
lansia mengalami defisiensi vitamin B12, vitamin D dan asam folat.
Manusia Lanjut Usia (MANULA) dimasukkan ke dalam kelompok rentan
gizi, meskipun tidak ada hubungannya dengan pertumbuhan badan , bahkan
sebaliknya sudah terjadi involusi dan degenerasi jaringan dan sel-selnya.
Timbulnya kerentanan terhadap kondisi gizi disebabkan kondisi fisik, baik
anatomis maupun fungsionalnya.
3.5. Saran

Kebutuhan nutrisi dalam tubuh setiap individu sangat enting untuk


diupayakan. Upaya untuk melakukan peningkatan kebutuhan nutrisi dapat
dilakukan dengan cara makan-makanan yang seimbang 4 sehat 5 sempurna
dengan di imbangi keadaan hidup bersih untuk setiap individu. Hal tersebut harus
dilakukan setiap hari, karena tanpa setiap hari maka tubuh manusia bisa terserang
penyakit akibat imune tubuh yang menurun
DAFTAR PUSTAKA

Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia

(SDKI), Edisi 1, Jakarta, PersatuanPerawat Indonesia

Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia

(SIKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia

(SLKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesi

Anda mungkin juga menyukai