Anda di halaman 1dari 24

Laporan Resmi Praktikum Fisiologi Hewan

SISTEM RESPIRASI

Disusun Oleh:
Partner 4B

Nama NIM
Rika Aprilia 190805044
Saskya Andiena Adha 200805031
Atalia Pepayosa Tarigan 200805053
Christoper A. Tambunan 200805059
Imelda Christy Siregar 200805063

LABORATORIUM FISIOLOGI HEWAN


PROGRAM STUDI S-1 BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2022
Lembar Pengesahan

SISTEM RESPIRASI

Disusun Oleh:
Partner 4B

Nama NIM
Rika Aprilia 190805044
Saskya Andiena Adha 200805031
Atalia Pepayosa Tarigan 200805053
Christoper A. Tambunan 200805059
Imelda Christy Siregar 200805063

Medan, April 2022


Asisten

(Siti Farah Diba)


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Proses pernapasan terdiri dari beberapa proses penting yang melibatkan
berbagai sistem yang ada dalam tubuh. Selain sistem pernapasan itu sendiri, juga
melibat sistem kardiovaskuler dan sistem saraf pusat. Sistem pernapasan berperan
sebagai tempat atau saluran masuknya udara luar atau oksigen (O2) dan keluar nya
gas carbondioksida (CO2) dari paru-paru (proses fentilasi) dan tempat terjadinya
pertukaran oksigen (O2) dalam aveoli dan karbondioksida dalam pembuluh darah
kapiler. Sistem kardiovaskuler menyediakan pompa, jaringan pembuluh darah yang
diperlukan untuk mengangkut oksigen dan carbondioksida antara paru-paru dan sel
tubuh sistem saraf pusat memberikan dorongan rikmik dari dalam untuk bernapas,
dan secara refleks merangsang toraks dan otot-otot diafragma yang akan
memberikan tenaga pendorong gerakan pada pernapasan. Sistem pernapasan suatu
sistem yang membawa oksigen melalui jalan napas kemudian ke aveoli, yang
kemudian akan mengalami difusi atau pertukaran gas oksigen dengan
karbondioksida kemudian dialirkan ke darah untuk ditransportasikan (Agustina et
al., 2022).
Zona respirasi pada sistem pernapasan yaitu bronkiolus respiratorius, ductus
alveolaris, sakus alveolaris dan alveoli. Dimana pada zona ini sebagian besar
dilapisi oleh sel epitel bertingkat silindris bersilia dengan sel goblet. Sistem
respirasi memiliki lima jenis sel epital khas yang terdapat pada membran basalis,
yaitu sel silindris bersilia yang merupakan penyusun terbesar dari sistem respirasi,
sel goblet yang mengandung banyak polisakarida, sel sikat atau brush yang
memiliki banyak mikrovili pada permukaan apikalnya, sel basal yang merupakan
sel berbentuk bulat kecil dan terletak di atas laminal basal, serta sel granul kecil
yang mirip sel basal dan memiliki banyak granul. Paru paru adalah organ pada
sistem pernafasan yang terletak pada rongga dada. Di mediastinum paru paru,
trakea bercabang menjadi bronkus primer kanan dan kiri (Sari et al., 2018).
1.2 Tujuan Praktikum
a. Untuk mengetahui laju respirasi.
b. Untuk mengetahui volume udara pernafasan pada manusia.
c. Untuk mengetahui daya tahan nafas seseorang.

1.3 Manfaat Praktikum


a. Dapat mengetahui laju respirasi.
b. Dapat mengetahui volume udara pernafasan pada manusia.
c. Dapat mengetahui daya tahan nafas seseorang.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Respirasi


Respirasi atau pernapasan pada suatu organisme pada hakikatnya adalah
pertukaran oksigen (O2) dan karbondioksida (CO2). O2 digunakan untuk melakukan
metabolisme, sedangkan CO2 merupakan sisa hasil metabolisme. Pada manusia,
karena tubuh terdiri dari jutaan sel, maka ada jenis respirasi, yaitu adanya respirasi
eksternal (pertukaran gas dalam alveoli paru-paru) dan respirasi internal
(pertukaran gas dalam sel jaringan). Udara masuk dari luar ke paru-paru melalui
saluran pernapasan. Saluran pernapasan terdiri dari atas hidung, faring, trakea, dan
bronkus. Dengan susunan saluran pernapasan yang sedemikian rupa, syarat agar
pertukaran gas dalam paru-paru terjadi dapat terpenuhi. Syarat tersebut adalah suhu
udara yang masuk sama dengan suhu tubuh dan udara yang sampai dalam alveoli
100% jenis dengan uap air. Syarat ini dapat dicapai karena proses pernapasan dan
pelembapan sejak udara masuk melalui hidung, sepanjang saluran pernapasan
sampai terjadinya pertukaran gas dalam alveoli. Misalnya di dalam hidung, udara
akan berputar-putar dan di panaskan oleh jaringan pembuluh darah yang berbelok-
belok. Selain itu, disepanjang saluran pernapasan udara dilembabkan oleh ekstra
sel-sel goblet pada mukosa yang melapisi saluran pernapan (Roosita, 2016).
Selama proses yang disebut respirasi internal atau eksternal, mitokondria
mengoksidasi karbohidrat dan asam lemak untuk menghasilkan ATP. Okisigen
yang dibutuhkan untuk melakukan metabolisme energi yang pada akhirnya akan
diperoleh dari atmosfer melalui proses respirasi eksternal, yang dimana juga
berfungsi untuk menghilngkan karbon dioksida yang dihasilkan oleh sel. Proses
dari respirasi eksternal adalah pertukaran gas antara udara jauh di dalam paru-paru
dan darah yang mengalirkannya. Selain perannya dalam pertukaran gas, paru-paru
memiliki berbagai fungsi sebagai non pernapasan seperti perannya dalam menjebak
partikel yang dibawah oleh darah (misalnya fragmen kecil dari bekuan darah) dan
metabolisme sebegai zat metabolisme aktif. Respirasi eksternal melibatkan
pertukaran oksigen dan karbon dioksida antara darah, paru-paru, dan udara
(Popcock, 2018).
2.2 Respirasi Pada Hewan
Alat respirasi pada hewan bervariasi antara hewan yang satu dengan hewan
yang lain, ada yang berupa paru-paru, insang, kulit, trakea, bahkan ada beberapa
organisme yang belum mempunyai alat khusus sehingga oksigen berdifusi langsung
dari lingkungan ke dalam tubuh, contohnya pada hewan bersel satu, porifera,
coelenterata, protozoa, dan cacing pada keempat hewan ini oksigen berdifusi dari
lingkungan melalui rongga tubuh. Pertukaran gas antara O2 dengan CO2 terjadi di
dalam alveolus dan jaringan tubuh, melalui proses difusi. Oksigen yang sampai di
alveolus akan berdifusi menembus selaput alveolus dan berikatan dengan
haemoglobin (Hb) dalam darah yang disebut deoksigenasi dan menghasilkan
senyawa oksihemoglobin. Karbondioksida (CO2) yang dihasilkan dari proses
respirasi sel akan berdifusi ke dalam darah yang selanjutnya akan diangkut ke paru-
paru untuk dikeluarkan sebagai udara pernapasan. Corong hawa (trakea) adalah alat
pernapasan yang dimiliki oleh serangga dan arthropoda lainnya. Pembuluh trakea
bermuara pada lubang kecil yang ada di kerangka luar (eksoskeleton) yang disebut
spirakel (stigma). Spirakel berbentuk pembuluh silindris yang berlapis zat kitin, dan
terletak berpasangan pada setiap segmen tubuh. Spirakel menpunyai katup yang
dikontrol oleh otot sehingga membuka dan menutupnya spirakel terjadi secara
teratur. Pada umumnya spirakel terbuka selama serangga terbang (Purnamasari,
2017).
Insang pada ikan bertulang sejati ditutupi oleh tutup insang yang disebut
operkulum (tutup insang), sedangkan insang pada ikan bertulang rawan tidak
ditutupi oleh operkulum. Insang tidak saja berfungsi sebagai alat pernapasan tetapi
dapat pula berfungsi sebagai alat ekskresi garam-garam, penyaring makanan, alat
pertukaran ion, dan osmoregulator. Beberapa jenis ikan mempunyailabirin yang
merupakan perluasan ke atas dari insang dan membentuk lipatan-lipatan sehingga
merupakan rongga-rongga tidak teratur. Labirin ini berfungsi menyimpan cadangan
O2 sehingga ikan tahan pada kondisi yang kekurangan O2. Contoh ikan yang
mempunyai labirin adalah ikan gabus dan ikan lele. Untuk menyimpan cadangan
O2, selain dengan labirin, ikan mempunyai gelembung renang yang terletak di dekat
punggung. Ikan bernapas dengan insang yang terdapat pada sisi kiri dan kanan
kepala (Purnamasari, 2017).
2.3 Organ Respirasi
Hidung tersusun atas tulang dan tulang rawan hialin, kecuali naris anterior
yang dindingnya tersusun atas jaringan ikat fibrosa dan tulang rawan. Permukaan
luarnya dilapisi kulit dengan kelenjar sebasea besar dan rambut. Terdapat epitel
respirasi yaitu epitel berlapis silondris bersilia, bersel goblet, dan mengandung sel
basal. Faring merupakan lanjutan posterior dari rongga mulut. Saluran napas dan
makanan menyatu dan menyilang. Pada saat makan makanan dihantarkan ke
esofagus. Pada saat bernapas udara dihantarkan ke laring. Ada tiga rongga pada
faring yaitu nasofaring, orofaring, dan laringofaring. Laring adalah organ berongga
dengan panjang 42 mm dan diameter 40 mm. laring terletak antara faring dan
trakea. Dinding laring dibentuk oleh tulang rawan tiroid dan krikoid. Muskuslus
ekstrinsik mengikat laring pada tulang hyoid. Muskulus intrinsik mengikat laring
pada tulang tiroid dan krikroid berhubungan dengan fonasi. Trakea terbentuk
seperti pipa yang tersusun 16-20 cincin tulang rawan dengan panjang kurang lebih
10 cm. celah diantaranya dilapisi oleh jaringan ikat fibro elastik. Cabang utama
trakea disebut dengan bronki primer atau bronki utama. Bronki primer bercabang
menjadi bronki lobar, bronki segmental, dan bronki sub segmental. Bronkus akan
bercabang menjadi bronkiolius. Bronkus kanan bercabang menjadi tiga bronkiolus
dengan bronkus kiri bercabang menjadi dua bronkiolus. Tidak mengandung
lempeng tulang rawan, tidak mengandung kelenjar sub mukosa. Alveolus
merupakan tempat terjadinya proses difusi yang terdiri dari alveoli duct, alveoli
sacs, dan alveoli. Jumlah alveoli diperkirakan mencapai 200-600 juta atau sekitar
30-80 m2 ( Tampubolon, 2020).
Paru-paru terdiri dari area permukaan yang luas dengan jarak difusi kecil
untuk menjamin pertukaran gas yang tepat. Struktur 3D dari alveoli dapat
dibandingkan dengan struktur sarang lebah dari septa berdinding tipis yang
membentuk jaringan fraktal. Struktur ini tidak stabil pada tekanan inflasi rendah
dan akan runtuh jika tidak ada tekanan mekanis pada akhir ekspirasi. Pra stres ini
dihasilkan oleh tekanan pleura di sekitar paru-paru. Perubahan sifat mekanik
jaringan paru secara patologi akan mempengaruhi respon pada pra stres ini. Setelah
dinding alveolus mulai pecah, tegangan yang dibawa oleh dinding asli
didistribusikan kembali ke dinding tetangga. Area-area ini akan mengalami
peningkatan pra tekanan yang akan menghasilkan peningkatan tanpa henti dari
tingkat pelepasan dan pembelahan dan pembukaan situs pengikatan baru. Pecahan
tunggal akan menyebabkan rangkaian keruntuhan dan berfungsi sebagai umpan
balik positif untuk kerusakan lebih lanjut. Jelas bahwa harus ada semacam titik
kritis di mana hubungan struktur dan fungsi tidak dapat kembali (Lonescu, 2013).
Pada katak, oksigen berdifusi lewat selaput rongga mulut, kulit, dan
paruparu. Kecuali pada fase berudu bernapas dengan insang karena hidupnya di air.
Selaput rongga mulut dapat berfungsi sebagai alat pernapasan karma tipis dan
banyak terdapat kapiler yang bermuara di tempat itu. Pada saat terjadi gerakan
rongga mulut dan faring, lubang hidung terbuka dan glotis tertutup sehingga udara
berada di rongga mulut dan berdifusi masuk melalui selaput rongga mulut yang
tipis. Selain bernapas dengan selaput rongga mulut, katak bernapas pula dengan
kulit, ini dimungkinkan karena kulitnya selalu dalam keadaan basah dan
mengandung banyak kapiler sehingga gas pernapasan mudah berdifusi. Oksigen
yang masuk lewat kulit akan melewati vena kulit (vena kutanea) kemudian dibawa
ke jantung untuk diedarkan ke seluruh tubuh. Sebaliknya karbon dioksida dari
jaringan akan di bawa ke jantung, dari jantung dipompa ke kulit dan paru-paru lewat
arteri kulit pare-paru (arteri pulmo kutanea). Dengan demikian pertukaran oksigen
dan karbon dioksida dapat terjadi di kulit. Selain bernapas dengan selaput rongga
mulut dan kulit, katak bernapas juga dengan paru-paru walaupun paru-parunya
belum sebaik paru-paru mamalia. Katak mempunyai sepasang paru-paru yang
berbentuk gelembung tempat bermuaranya kapiler darah. Permukaan paru-paru
diperbesar oleh adanya bentuk- bentuk seperti kantung sehingga gas pernapasan
dapat berdifusi. Paru-paru reptilia berada dalam rongga dada dan dilindungi oleh
tulang rusuk. Paru-paru reptilia lebih sederhana, hanya dengan beberapa lipatan
dinding yang berfungsi memperbesar permukaan pertukaran gas. Pada reptilia
pertukaran gas tidak efektif. Pada kadal, kura-kura, dan buaya paru-paru lebih
kompleks, dengan beberapa belahan- belahan yang membuat paru-parunya
bertekstur seperti spon. Paru-paru pada beberapa jenis kadal mempunyai pundi-
pundi hawa (Purnamasari, 2017).
2.4 Gangguan Sistem Respirasi
Pencemaran udara oleh gas yang dihasilkan dari proses dekomposisi
sampah seperti gas Amonia (NH3) dan gas Hidrogen sulfida (H2S) yang terlepas ke
udara, akan berakibat pada udara sekitar TPA yang kemudian menjadi bau dan
kualitas udara ambien menurun. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu menyatakan
bahwa ada hubungan antara pemaparan gas amonia dengan gejala gangguan
pernafasan termasuk asma bronchial pada pekerja laki-laki. Gas hidrogen sulfida
merupakan gas yang tidak berwarna, sangat beracun, mudah terbakar dan memiliki
karakteristik bau telur busuk. Bau seperti telur busuk yang terdapat di TPA
merupakan hasil samping penguraian zat organik. Gas ini dapat menyebabkan
dampak yang buruk bagi kesehatan apabila manusia terus menerus menghirup gas
H2S seperti dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan efek permanen pada
gangguan saluran pernafasan, sakit kepala, dan batuk kronis (Hartini, 2015).
Gangguan kesehatan terbanyak yang sering terjadi adalah infeksi bakterial
yang menyerang pada sistem pernafasan. Secara normal terdapat bebera-pa
mikrobiota normal seperti bakteri, virus, jamur maupun protozoa yang hidup
pada sistem respirasi lumba-lumba. Meskipun demikian, mikrobiota ini akan
berubah menjadi patogen ketika hewan mengalami stress, imunosupresi
ataupun dengan pengobatan antimikrobial tertentu. Penyakit bakterial, infeksi
morbilivirus dan fitotoksin dilaporkan sebagai penyebab kematian mamalia air
di dunia. Kematian sering kali terjadi hanya beberapa jam setelah anoreksia,
dan beberapa gejala lain seperti letargi, penurunan kemampuan berenang dan
penurunan interaksi dengan hewan lainnya. Infeksi pada sistem pernafasan
kebanyakan disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus dan Pseudomonas
aeroginosa. Pada mamalia air seperti lumba-lumba infeksi Staphylicoccus aureus
menyebabkan bronko pneumonia, sedangkan Pseudomonas aeroginosa selain
menyebabkan bkronkro pneumonia juga menyebabkan pneumonia. Infeksi jamur
yang paling sering terjadi pada mamalia air adalah paru-parunary aspergillosis.
Jamur lain yang sering menyerang adalah Candida albicans, Cryptococcus
neoformans biasanya jamur masuk secara inhalasi ke dalam sistem pernapasan
(Mulyani, 2014).
BAB 3
BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat


Praktikum ini dilaksanakan pada hari Kamis, 21 April 2022 pada pukul
14.00 WIB sampai dengan selesai di rumah masing- masing praktikan.

3.2 Alat dan Bahan


Adapun alat yang digunakan pada praktikum ini adalah respiratometer,
spyrometer, stopwatch/handphone, kalkulator, gabus penutup botol, botol aqua
ukuran 1,5 liter, selang plastik, dan ember.. Adapun bahan yang digunakan pada
praktikum ini adalah air, kapas, KOH 4%, eosin, Homo Sapiens, Locusta sp.,
Appias sp., Anisoptera sp.

3.3 Prosedur Percobaan


3.3.1 Mengetahui Laju Respirasi
Dimasukkan sampel hewan percobaan kedalam botol respirator, kemudian
dimasukkan kapas yang sudah dicelupkan KOH 4% kedalam botol botol tersebut,
lalu ditutup dengan penutup yang telah dilengkapi kapiler ysng berskala di
dalamnya terdapat eosin, lalu diperhatikan dalam skala 10 menit gerakan eosin,
kemudian dihitung berapa banyak waktu dan jauh gerakan zat cair tersebut dan
didapatkan hasilnya.
3.3.2 Mengetahui Kapasitas Paru-Paru Seseorang
Disiapkan spyrometer, kemudian dikeluarkan nafas seluruhnya ditarik nafas
sedalam-dalamnya, lalu dihembuskan kembali sekuat tenaga, kemudian dicatat
angka yang ditunjukkan pada alat spyromedan Anisoptera spter, dan didapat
hasilnya.
3.3.3 Mengetahui Daya Tahan Nafas Seseorang
Ditarik nafas dan dikeluarkan nafas sedalam-dalamnya 2 kali berturut-turut,
lalu ditahan nafas selama mungkin dengan memakai stopwatch untuk menghitung
waktunya dengan sikap respirasi biasa, kemudian dirata-ratakan nilainya dan
didapat hasilnya.
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Mengetahui Laju Respirasi


No Sampel Waktu (menit) Volume (mL)
1 Locusta sp. A 10 0,97
2 Locusta sp. B 10 0,58
3 Appias sp. 10 0,78
4 Anisoptera sp. 4 1
Berdasarkan tabel 4.1 diatas, dapat diketahui bahwa laju respirasi pada
beberapa sampel berbeda-beda. Pada Locusta sp. A memiliki laju respirasi 0,97 mL
selama 10 menit, Locusta sp. B memiliki laju respirasi 0,58 mL selama 10 menit,
Appias sp. memiliki laju respirasi 0,78 mL selama 10 menit, dan Anisoptera sp.
memiliki laju respirasi 1 mL selama 4 menit.
Menurut Wu et al.,(2019), serangga telah mengembangkan organ khusus
pada tubuhny , yaitu spirakel dan trakea, untuk pertukaran oksigen-karbon dioksida
serta untuk beradaptasi dengan kehidupan terestrial. Pada berbagai tahap
perkembangan, ada perbedaan besar dalam laju metabolisme pernapasan serangga.
Respirasi meningkat tepat sebelum kepompong, diikuti oleh penurunan perlahan
dan laju respirasi rendah yang stabil selama tahap pupa, kemudian meningkat secara
bertahap menjelang akhir tahap ini. Saat serangga menjadi dewasa, laju pelepasan
CO2 lebih tinggi dibandingkan larva dan pupa dewasa. Pada saat dewasa, akan
terjadi penunjukkan fluktuasi berirama dengan tingkat metabolisme yang lebih
tinggi dan dengan demikian pelepasan CO2 puncak yang lebih tinggi pada serangga
yang diberi makan dan serangga yang membawa nematoda.
Menurut Jannatan et al.,(2013), bahwa laju respirasi akan meningkat jika
diinduksi dengan insektisida sehingga aktivitas enzim detoksifikasi meningkat pada
strain resisten. Perbedaan laju respirasi antara serangga resisten dan rentan diduga
akibat perbedaan fisiologis di dalam tubuh kecoak resisten. Perbedaan mekanisme
fisiologis di dalam tubuh adalah salah satu strategi yang dikembangkan serangga
pada mekanisme resistensi agar dapat bertahan hidup dari tekanan seperti
insektisida. Serangga betina mempunyai tingkat resistensi yang lebih rendah
daripada jantan, jadi diduga tingkat resistensi berpengaruh terhadap laju respirasi
serangga jantan. Hal ini juga dipengaruhi oleh perbedaan berat dan ukuran tubuh
antara serangga jantan dan betina.

4.2 Mengetahui Kapasitas Paru-Paru Homo Sapiens


Volume (mL)
No Nama Rata-Rata
Pertama Kedua
1 Liestiani Paulina 1200 1450 1325 ml
2 Nadia Azzahra 1150 1300 1225 ml
3 Muhammad Rizqy 1300 1100 1200 ml
4 Shafrida Hanim 800 1100 950 ml
5 Sarah Cindy 1200 1170 1185 ml
6 Khairunnisa 1200 1090 1145 ml
7 Christoper A. Tambunan 720 1000 860 ml
8 Imelda Christy 680 600 640 ml
9 Wira Khairulsyah 1160 1250 1205 ml
10 Tara Erika Nabila 1000 1000 1000 ml
11 Oktasan Jaya 1100 1200 1150 ml
12 Erika Selviana 600 400 500 ml
13 Fernandes A. Simangungsong 1400 1450 1425 ml
14 Herlini Harahap 800 1200 1000 ml
15 Sevenris Tunggul 300 320 310 ml
16 Yesika Yuliani Sianturi 500 1200 850 ml
17 Tamaris Gabriella Turnip 500 400 450 ml
18 Cindy Adriani 600 450 525 ml
19 Teuku Muhammad Lutfhi 800 700 550 ml
20 Dhea Fauziah Pasaribu 700 650 675 ml
Berdasarkan tabel 4.2 diatas, dapat dilihat bahwa kapasitas paru-paru tiap
individu berbeda-beda. Dari tabel diatas dapat dikatakan kapasitas paru-paru Homo
sapiens dengan jenis kelamin laki-laki lebih besar daripada perempuan. Dimana
pada Homo sapiens berjenis kelamin laki-laki rata-rata kapasitas paru-paru yang
paling tinggi sebesar 1425 ml oleh Fernandes A. Simangungsong dan yang paling
kecil sebesar 310 ml oleh Sevenris Tunggul. Pada Homo sapiens berjenis kelamin
perempuan rata-rata kapasitas paru-paru yang paling tinggi sebesar 1325 ml oleh
Liestiani Paulina dan yang paling kecil sebesar 450 ml oleh Tamaris Gabriella
Turnip.
Menurut McKinley et al.,(2012), sistem pernapasan menyediakan sarana
untuk pertukaran gas yang dibutuhkan oleh sel-sel hidup. Oksigen harus dipasok
tanpa gangguan, dan karbon dioksida, produk limbah yang dihasilkan oleh sel,
harus terus dikeluarkan. Sistem pernapasan dan kardiovaskular adalah pasangan
yang tidak dapat dipisahkan. Sementara pada sistem pernapasan terjadi proses
penukar gas antara atmosfer dan darah, dimana sistem kardiovaskular akan
mengangkut gas-gas itu diantara paru-paru dan sel-sel tubuh. Pernapasan terdiri dari
dua fase siklus yaitu inspirasi dan ekspirasi. Inhalasi yaitu menarik gas ke paru-
paru, dan ekspirasi memaksa gas keluar dari paru-paru. Respirasi eksternal
melibatkan pertukaran gas antara atmosfer dan darah. Respirasi internal melibatkan
pertukaran gas antara darah dan sel-sel tubuh.
Menurut Supit et al.,(2015), fungsi paru-paru merupakan prediktor
kematian yang mapan yang diuraikan pada awal empat dekade yang lalu. Fungsi
yaitu paru-paru merupakan prediktor jangka panjang untuk tingkat kelangsungan
hidup secara keseluruhan pada kedua jenis kelamin dan dapat digunakan sebagai
alat dalam penilaian kesehatan umum. Fungsi paru-paru yang buruk adalah sering
ditandai dengan kapasitas vital paksa yang rendah dan volume ekspirasi paksa
dalam satu detik, di mana hubungan ini dapat diamati baik dalam studi kohort
jangka pendek dan jangka panjang. Beberapa mekanisme yang mempengaruhi
fungsi paru telah diketahui yaitu, termasuk aktivitas fisik, merokok, obesitas,
penyakit paru-paru seperti penyakit paru obstruktif kronik, jenis kelamin, dan ras.

4.3 Mengetahui Daya Tahan Nafas Homo Sapiens


Waktu (detik)
No Nama Rata-Rata
Pertama Kedua
1 Liestiani Paulina 37 51 44 detik
2 Nadia Azzahra 36,33 32,95 34,64 detik
3 Muhammad Rizqy 80 60 70 detik
4 Shafrida Hanim 49 33 41 detik
5 Sarah Cindy 35 50 42,5 detik
6 Khairunnisa 30 45 31 detik
7 Christoper A. Tambunan 50 55 52,5 detik
8 Imelda Christy 32 28 30 detik
9 Wira Khairulsyah 46 48 47 detik
10 Tara Erika Nabila 36 29 32,5 detik
11 Oktasan Jaya 28 45 36,5 detik
12 Erika Selviana 21,14 33,28 27,21 detik
13 Fernandes A. Simangungsong 58 62 60 detik
14 Herlini Harahap 30 19 24,5 detik
15 Sevenris Tunggul 45 42 43,5 detik
16 Yesika Yuliani Sianturi 36 45 40,5 detik
17 Tamaris Gabriella Turnip 43,45 39,40 41,85 detik
18 Cindy Adriani 53,58 36,20 38,2 detik
19 Teuku Muhammad Lutfhi 55,31 52,20 53,75 detik
20 Dhea Fauziah Pasaribu 25,7 30,3 28 detik
Berdasarkan tabel 4.3 diatas, dapat dilihat bahwa daya tahan napas setiap
individu berbeda-beda. Dimana pada Homo sapiens berjenis kelamin laki-laki yaitu
dengan rata-rata daya tahan napas yang paling tinggi sebesar 60 detik oelh
Fernandes A. Simangungsong dan yang paling kecil sebesar 36,5 detik oleh
Oktasan Jaya. Sedangkan pada Homo sapiens berjenis kelamin perempuan daya
tahan napas yang paling tinggi dengan rata-rata sebesar 44 detik oleh Liestiani
Paulina dan yang paling kecil dengan rata-rata sebesar 24,5 detik oleh Herlini
Harahap.
Menurut Vigran et al.,(2019), setiap orang yang berbeda dapat secara
sukarela menahan napas untuk waktu yang berbeda, tergantung pada faktor-faktor
seperti kebugaran fisik, pelatihan menahan nafas sebelumnya, perhatian atau
gangguan, dan serta kemampuan individu untuk menahan rasa tidak nyaman. Pada
akhirnya, durasi menahan nafas dibatasi oleh faktor-faktor fisiologis, termasuk
yaitu volume paru sebelum mulai, laju metabolisme dan olahraga, penurunan kadar
oksigen darah (hipoksia) dan penumpukan karbon dioksida. Meskipun faktor-faktor
fisiologis jelas membatasi durasi maksimum menahan nafas, menahan nafas
sukarela dapat dipengaruhi oleh faktor psikologis, seperti perhatian, yang
menunjukkan bahwa proses kognitif dapat memengaruhi proses fisiologis. Gerakan
pernapasan yang tidak disengaja ini memisahkan penahanan napas menjadi dua fase
yaitu fase "istrirahat" dan fase "kontraksi".
Menurut Bhandari et al, (2019), pada pola pernapasan ritmis meliputi napas
inspirasi dalam atau napas ekspirasi dalam dengan episode menahan napas di
antaranya dan harus dilakukan selama 5 menit. Menahan napas (BH) adalah
tindakan sukarela, tetapi subjek normal tidak akan dapat menahan napas sampai
tidak sadarkan diri. Mekanisme involunter mengesampingkan penahanan napas
yang secara sukarela sampai keadaan yang mengakibatkan dimulainya kembali
pernapasan, yang disebut break-point. Penyebab paling mungkin dari break-point
dan pernapasan yang tidak disengaja, yaitu stimulasi kemoreseptor oleh penurunan
tekanan parsial oksigen (PaO2) di bawah dan peningkatan tekanan parsial karbon
dioksida (PaCO2) di atas tekanan parsial kritis masing-masing. Menahan napas
diketahui dapat mengubah respons otonom seperti yang ditunjukkan oleh
peningkatan terkait tekanan darah arteri. Menahan napas juga dapat mengubah
komposisi gas darah. Efek kardiovaskular dari menahan napas sangat kecil dan
bersifat kontradiktif. Menahan napas meningkatkan konsentrasi CO2 arteri, CO2
menjadi mediator vasodilatasi metabolik, dapat menyebabkan penurunan tekanan
darah dengan menurunkan resistensi perifer.
BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari praktikum ini adalah :
a. Nilai laju respirasi pada beberapa hewan percobaan yaitu pada Locusta sp.
A dalam waktu 10 menit sebesar 0,97 mL, Locusta sp. B dalam waktu 10
menit sebesar 0,58 mL, Appias sp. dalam waktu 10 menit sebesar 0,78 mL,
dan pada Anisoptera sp. dalam waktu 4 menit sebesar 1 mL.
b. Pengukuran volume udara pernafasan seseorang dari 10 Homo sapiens yang
diukur sebanyak 2 kali dan didapatkan nilai rata-ratanya, diperoleh pada
Liestiani Paulina rata-ratanya 1325 mL, pada Nadia Azzahra rata-ratanya
1225 mL, pada Muhammad Rizqy rata-ratanya 1200 mL, pada Shafrida
Hanim rata-ratanya 950 mL, pada Sarah Cindy rata-ratanya 1185 mL, pada
Khairunnisa rata-ratanya 1145 mL, pada Christoper A. Tambunan rata-
ratanya 860 mL, pada Imelda Christy rata-ratanya 640 mL, pada Wira
Khairulsyah rata-ratanya 1205 mL, pada Tara Erika Nabila rata-ratanya
1000 mL, pada Oktasan Jaya rata-ratanya 1150 mL, pada Erika Selviana
rata-ratanya 500 mL, pada Fernandes A. Simangungsong rata-ratanya 1425
mL, pada Herlini Harahap rata-ratanya 1000 mL, pada Sevenris Tunggul
rata-ratanya 310 mL, pada Yesika Yuliana Sianturi rata-ratanya 850 mL,
pada Tamaris Gabriella Turnip rata-ratanya 450 mL, pada Cindy Adriani
rata-ratanya 525 mL, pada Teuku Muhammad Luthfi rata-ratanya 550 mL,
dan pada Dhea Fauziah Pasaribu rata-ratanya 675 mL. Pada pengukuran
volume udara pernafasan Homo sapiens paling tinggi terdapat pada
Fernandes A. Simangungsong dan volume udara pernafasan paling rendah
terdapat pada Sevenris Tunggul.
c. Pengukuran daya tahan nafas seseorang dari 10 Homo sapiens yang diukur
sebanyak 2 kali dan didapatkan nilai rata-ratanya, diperoleh pada Liestiani
Paulina rata-ratanya 44 detik, pada Nadia Azzahra rata-ratanya 36,64 detik,
pada Muhammad Rizqy rata-ratanya 70 detik, pada Shafrida Hanim rata-
ratanya 41 detik, pada Sarah Cindy rata-ratanya 42,5 detik, pada
Khairunnisa rata-ratanya 31 detik, pada Christoper A. Tambunan rata-
ratanya 52,5 detik, pada Imelda Christy rata-ratanya 30 detik, pada Wira
Khairulsyah rata-ratanya 47 detik, pada Tara Erika Nabila rata-ratanya 32,5
detik, pada Oktasan Jaya rata-ratanya 36,5 detik, pada Erika Selviana rata-
ratanya 27,21 detik, pada Fernandes A. Simangungsong rata-ratanya 60
detik, pada Herlini Harahap rata-ratanya 24,5 detik, pada Sevenris Tunggul
rata-ratanya 43,5 detik, pada Yesika Yuliana Sianturi rata-ratanya 40,5
detik, pada Tamaris Gabriella Turnip rata-ratanya 41,85 detik, pada Cindy
Adriani rata-ratanya 38,2 detik, pada Teuku Muhammad Luthfi rata-ratanya
53,75 detik, dan pada Dhea Fauziah Pasaribu rata-ratanya 28 detik.
Pengukuran daya tahan nafas Homo sapiens yang paling lama adalah
Muhammad Rizqy, sedangkan pengukuran daya tahan nafas Homo sapiens
yang paling singkat adalah Herlini Harahap.

5.2 Saran
Adapun saran dari praktikum ini adalah:
a. Sebaiknya praktikan lebih memahami lagi materi yang akan di
praktikumkan.
b. Sebaiknya praktikan tidak sungkan untuk bertanya ke asisten jika ada yang
tidak di mengerti.
c. Sebaiknya praktikan lebih bersemangat dalam melakukan praktikum
DAFTAR PUSTAKA

Agustina A. N, Tavip D. W, Budiono, Lilik P. D. D, Bally C. A. P, Indrawati,


Mukhoirotin Z, Zulfa K, Naya E, 2022. Anatomi Fisiologi. Medan: Yayasan
Kita Menulis.
Bhandari B, Mavai M, Singh YR, Mehta B, Bhagat O, 2019. Rhythmic Breath
Holding and Its Effect on Arterial Blood Pressure and Its Correlation With
Blood Gases. Acta Medica Iranica. 57(8) : 492-498.
Hartini E, Roselina JK, 2015. Faktor Risiko Paparan Gas Amonia dan Hidrogen
Sulfida Terhadap Keluhan Gangguan Kesehatan Pada Pemulung Di TPA
Jatibarang Kota Semarang. Semarang; Jurnal Visikes. 14(1).
Jannatan R, Rahayu R, Santoso P, 2013. Laju Respirasi Kecoak Jerman (Blattella
germanica, Dictyoptera; Blattellidae) yang Resisten Terhadap Insektisida.
Jurnal Biologi UNAND. 2(4) : 262-268.
Lonescu CM, 2013. The Human Respiratory System. London; Spinger. Pages 20.
McKienley M, Oloughlin VD, 2012. Human Anatomy. New York : McGraw-Hill.
Page 748
Mulyani GT, Yuda HF, Teguh B, Agustin I, 2014. Studi Sistem Respirasi dan
Kajian Mikrobiologis Lumba-lumba Hidung Botol Indo Pasifik (Tursiops
aduncus) dari Perairan Laut Jawa. Bogor; Jurnal Acta Veterinaria
Indonesiana. 2(11).
Popcock G, Christopher D, Richard, David AR, 2013. Human Physiology Fifth
Edition. United Kingdom; Oxford Univesity Press. Pages 503.
Purnamasari R, Dwi RS, 2017. Fisiologi Hewan. Surabaya; Progam Studi
Arsitektur UIN Sunan Ampel. Hal 47-53.
Roosita K, Vera US, Karina R E, Naufal MN, 2018. Fisiologi Manusia. Bogor; IPB
Press. Hal 193-194.
Sari D. N. R, Septarini D. A, 2018. Struktur Hewan. Yogyakarta: Nusa Media.
Supit T, Syahruddin E, 2015. Level of Physical Activity and Its Associations With
Lung Function of Medical Students. Level of Physical Activity. 3(1) : 37-44.
Tampubolon CM, Deborah S, Lia AS, Sarida SM, Yenni FS, Nurhayati S,
Sarmaida S, Rostinah M, Fitriana R, Ratna D, Riama MS, Meriani H,
Noradina, 2020. Anatomi dan Fisiologi Untuk Mahasiswa Kebidanan.
Medan; Yayasan Kita Menulis. Hal 43-49.
Vigran HJ, Kapral AG. Tytell ED, Kao MH, 2019. Manipulating The Perception of
Time Affects Voluntary Breath-holding Duration. Physiological Reports.
23(7) : 1-6.
Wu Y, Wickham JD, Zhao L, Sun,J, 2019. CO2 Drives The Pine Wood Nematode
Off Its Insect Vector. Current Biology. 29(13) : 619-620.
LAMPIRAN

1. Alat

Aqua 1,5 liter Selang plastik

Ember Stopwatch
Respirometer Spyrometer

Kalkulator Gabus Tutup Botol


2. Bahan

Air Larutan KOH

Kapas Anisoptera sp.

Locusta sp. Appias sp.


Larutan Eosin Homo Sapiens
3. Foto Keja

Ditarik nafas sedalam- Dikeluarkan kembali


dalamnya nafas sekuat tenaga

Dicatat volume air yang Dilakukan kegiatan lari


tersisa
Tarik nafas kemudian tahan nafas memakai

Buang sekuat tenaga stopwatch


4. Flowsheet

A. Mengetahui Laju Respirasi


Sampel

Dimasukkan hewaan percobaan ke dalam botol respirator


Dimasukkan kapas yang telah dicelupkan KOH 4% kedalam botol tersebut
Ditutup dengan penutup yang telah dilengkapi penutup kapiler
yang berskala di dalamnya terdapat eosin
Ke
Diperhatikan dalam skala 10 menit gerakan
eosindengan
Dihitung suhubanyak
berapa 10 oC, 30 oC dan
waktu dan50jauh
oC gerakan zat cair tersebut
tetersebutsetiap 2 menit selama 10 menit
Hasil

kedalam

B. Mengetahui Kapasitas Paru-Paru Seseorang


Sampel

Disiapkan spyrometer
Dikeluarkan nafas seluruhnya ditarik nafas sedalam-dalamnya

Dihomogenkan

Dilakukan selama 5-10 menit

Digambar dan dicatat peribahan yang terjadi

Hasil

C. Mengetahui Daya Tahan Nafasa Seseorang

Sampel

Ditarik nafas dan dikeluarkan nafas sedalam dalamnya 2 kali


berturut turut

Ditahan nafas selama mungkin dengan memakai stopwatch


untuk menghitung waktunya dengan sikap inspirasi biasa
dirata ratakan nilainya

Hasil

Anda mungkin juga menyukai