Anda di halaman 1dari 19

Fiqh Puasa Bagi Pesakit

Maksudnya :

“Wahai orang-orang yang beriman! Kamu diwajibkan berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang–
orang yang dahulu daripada kamu, supaya kamu bertakwa. (Puasa yang diwajibkan itu ialah) beberapa
hari yang tertentu; maka sesiapa di antara kamu yang sakit, atau dalam musafir, (bolehlah ia berbuka)
kemudian wajiblah ia berpuasa sebanyak (hari yang dibuka) itu pada hari-hari yang lain ; dan wajib atas
orang-orang yang tidak terdaya berpuasa (kerana tua dan sebagainya) membayar fidyah iaitu memberi
makan orang miskin. Maka sesiapa dengan sukarela memberikan (bayaran fidyah) lebih dari yang
ditentukan itu, maka itu adalah suatu kebaikan baginya; dan (walaupun demikian) berpuasa itu lebih baik
bagi kamu (daripada memberi fidyah), kalau kamu mengetahui”.

(al-Baqarah : 183-184 )

Syarat wajib puasa ialah :

i. Beragama Islam.

ii. Baligh atau sampai umur.

iii. Sempurna akal.

iv. Berkemampuan melaksanakannya.


Perkara-perkara yang membatalkan puasa ialah :

i. Makan, minum atau merokok walaupun sedikit dengan sengaja.

ii. Muntah dengan sengaja.

iii. Bersetubuh di siang hari.

iv. Keluar mani dengan sengaja.

v. Keluar darah haid atau nifas walaupun sedikit.

vi. Gila atau hilang akal walaupun seketika sahaja (satu lahzah ).

vii. Pitam atau koma (tidak sedarkan diri) sepanjang hari (bermula daripada terbit fajar (waktu subuh)
sehingga terbenam matahari (waktu maghrib).

Islam Memudahkan

” Sesungguhnya agama itu mudah” adalah penggalan kalimat dari hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang diriwayatkan Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

‫ َواسْ َتعِي ُنوا ِب ْالغ َْد َو ِة َوالرَّ ْو َح ِة َو َشىْ ٍء م َِن الد ُّْل َج ِة‬، ‫اربُوا َوَأبْشِ رُوا‬ ‫ َولَنْ ُي َشا َّد ال ِّد َ َأ‬، ‫ين يُسْ ٌر‬
ِ ‫ َف َس ِّددُوا َو َق‬، ‫ين َح ٌد ِإالَّ َغلَ َب ُه‬ َ ‫ِإنَّ ال ِّد‬
“Sesungguhnya agama itu mudah, dan sekali-kali tidaklah seseorang memperberat agama melainkan
akan dikalahkan, dan (dalam beramal) hendaklah pertengahan (yaitu tidak melebihi dan tidak
mengurangi), bergembiralah kalian, serta mohonlah pertolongan (didalam ketaatan kepada Allah)
dengan amal-amal kalian pada waktu kalian bersemangat dan giat”.

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani menerangkan ungkapan “Sesungguhnya agama itu mudah” dalam
kitabnya yang tiada banding (yang bernama) :

ِ ‫ْح ْالب َُخ‬


‫اري‬ ِ ‫َف ْت ُح ْال َب‬
َ ‫اري ِب َشرْ ِح‬
ِ ‫ص ِحي‬
Fathul Baariy Syarh Shahih Al-Bukhari 1/116.

sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

‫ص ُه َك َما َي ْك َر ُه َأنْ ُتْؤ َتى َمعْ صِ َي ُت ُه‬


ُ ‫إنَّ هَّللا َ ُيحِبُّ َأنْ ُتْؤ َتى ر َُخ‬

“Sesungguhnya Allah menyukai keringanan-keringanannya diambil sebagaimana Dia membenci


kemaksiatannya didatangi/dikerjakan”

Dalam riwayat lain.

‫َك َما ُيحِبُّ َأنْ ُتْؤ َتى َع َزاِئ ُم ُه‬

“Sebagaimana Allah menyukai kewajiban-kewajibannya didatangi”

Hadits lain adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam


‫َيس َِّرا َواَل ُت َعس َِّرا َو َب ِّش َرا َواَل ُت َن ِّف َرا َو َت َط َاو َعا َوالَ َت ْخ َتلِ َفا‬

“Mudahkanlah, janganlah mempersulit dan membikin manusia lari (dari kebenaran) dan saling
membantulah (dalam melaksanakan tugas) dan jangan berselisih” [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]

Hadits yang ketiga.

‫َي ِّسرُوا َواَل ُت َع ِّسرُوا َوبَشِ رُوا َواَل ُت َن ِّفرُو‬

“Mudahkanlah, janganlah mempersulit, dan berikanlah kabar gembira dan janganlah membikin manusia
lari (dari kebenaran)”.

“(Puasa yang diwajibkan itu ialah) beberapa hari yang tertentu; maka sesiapa di antara kamu yang sakit,
atau dalam musafir, (bolehlah ia berbuka) kemudian wajiblah ia berpuasa sebanyak (hari yang dibuka) itu
pada hari-hari yang lain; dan wajib atas orang-orang yang tidak terdaya berpuasa (kerana tua dan
sebagainya) membayar fidyah iaitu memberi makan orang miskin. Maka sesiapa dengan sukarela
memberikan (bayaran fidyah) lebih dari yang ditentukan itu, maka itu adalah suatu kebaikan baginya; dan
(walaupun demikian) berpuasa itu lebih baik bagi kamu (daripada memberi fidyah), kalau kamu
mengetahui”.

(al-Baqarah : 184 )

Orang yang diharuskan berbuka puasa adalah seperti berikut :

Pertama: Orang sakit ketika sulit berpuasa.


Yang dimaksudkan sakit adalah seseorang yang mengidap penyakit yang membuatnya tidak lagi
dikatakan sehat. Para ulama telah sepakat mengenai bolehnya orang sakit untuk tidak berpuasa
secara umum. Nanti ketika sembuh, dia diharuskan mengqodho’ puasanya (menggantinya di hari
lain). Dalil mengenai hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
 
َ‫َّام ُأ َخر‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬
ٍ ‫َو َمنْ َكانَ م َِريضًا ْو عَ لَى سَ َف ٍر َف ِع َّدةٌ مِنْ ي‬
 
“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa),
sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
 
Untuk orang sakit ada tiga kondisi:[1]
 
Kondisi pertama adalah apabila sakitnya ringan dan tidak berpengaruh apa-apa jika tetap berpuasa.
Contohnya adalah pilek, pusing atau sakit kepala yang ringan, dan perut keroncongan. Untuk
kondisi pertama ini tetap diharuskan untuk berpuasa.
 
Kondisi kedua adalah apabila sakitnya bisa bertambah parah atau akan menjadi lama sembuhnya
dan menjadi berat jika berpuasa, namun hal ini tidak membahayakan. Untuk kondisi ini dianjurkan
untuk tidak berpuasa dan dimakruhkan jika tetap ingin berpuasa.
 
Kondisi ketiga adalah apabila tetap berpuasa akan menyusahkan dirinya bahkan bisa mengantarkan
pada kematian. Untuk kondisi ini diharamkan untuk berpuasa. Hal ini berdasarkan firman Allah
Ta’ala,
 
‫َوال َت ْق ُتلُوا َأ ْنفُسَ ُك ْم‬
 
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” (QS. An Nisa’: 29)
 
Apakah orang yang dalam kondisi sehat boleh tidak berpuasa karena jika berpuasa dia ditakutkan
sakit?
Boleh untuk tidak berpuasa bagi orang yang dalam kondisi sehat yang ditakutkan akan menderita
sakit jika dia berpuasa. Karena orang ini dianggap seperti orang sakit yang jika berpuasa sakitnya
akan bertambah parah atau akan bertambah lama sembuhnya. Allah Ta’ala berfirman,
 
‫َوال َت ْق ُتلُوا َأ ْنفُسَ ُك ْم‬
 
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” (QS. An Nisa’: 29)
 
َ‫ي ُِري ُد هَّللا ُ ِب ُك ُم ْاليُسْ رَ َوال ي ُِري ُد ِب ُك ُم ْالعُسْ ر‬
 
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al
Baqarah: 185)
 
ِ ‫َومَا جَ عَ َل عَ لَ ْي ُك ْم فِي الد‬
‫ِّين مِنْ حَ رَ ٍج‬
 
“Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan.” (QS. Al Hajj: 78)
 
‫َوِإ َذا َأ َمرْ ُت ُك ْم ِبَأمْ ٍر َفْأ ُتوا ِم ْن ُه مَا اسْ َت َطعْ ُت ْم‬
 
“Jika aku memerintahkan kalian untuk melakukan suatu perkara, maka lakukanlah semampu
kalian.”[2]
 
Kedua: Orang yang bersafar ketika sulit berpuasa.
Musafir yang melakukan perjalanan jauh sehingga mendapatkan keringanan untuk mengqoshor
shalat dibolehkan untuk tidak berpuasa.
 
Dalil dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
 
َ‫َّام ُأ َخر‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬
ٍ ‫َو َمنْ َكانَ م َِريضًا ْو عَ لَى سَ َف ٍر َف ِع َّدةٌ مِنْ ي‬
 
“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa),
sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
 
Apakah jika seorang musafir berpuasa, puasanya dianggap sah?
Mayoritas sahabat, tabi’in dan empat imam madzhab berpendapat bahwa berpuasa ketika safar itu
sah.
Ada riwayat dari Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar yang menyatakan bahwa berpuasa
ketika safar tidaklah sah dan tetap wajib mengqodho’. Ada yang mengatakan bahwa seperti ini
dimakruhkan.
 
Namun pendapat mayoritas ulama lebih kuat sebagaimana dapat dilihat dari dalil-dalil yang nanti
akan kami sampaikan.
 
Manakah yang lebih utama bagi orang yang bersafar, berpuasa ataukah tidak?
Para ulama dalam hal ini berselisih pendapat. Setelah meneliti lebih jauh dan menggabungkan
berbagai macam dalil, dapat kita katakan bahwa musafir ada tiga kondisi.
 
Kondisi pertama adalah jika berat untuk berpuasa atau sulit melakukan hal-hal yang baik ketika itu,
maka lebih utama untuk tidak berpuasa. Dalil dari hal ini dapat kita lihat dalam hadits Jabir bin
‘Abdillah. Jabir mengatakan,
 
ِّ‫ َف َقا َل « لَ ْيسَ مِنَ ْال ِبر‬. ‫ َف َقالُوا صَ اِئ ٌم‬. » ‫ َف َقا َل « مَا ه ََذا‬، ‫ظلِّ َل عَ لَ ْي ِه‬ ُ ‫ َورَ ُجالً َق ْد‬، ‫ َفرَ َأى زحَ امًا‬، ‫َكانَ رَ سُو ُل هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – فِى سَ َف ٍر‬
ِ
‫الص َّْو ُم فِى ال َّس َف ِر‬
 
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar melihat orang yang berdesak-desakan. Lalu
ada seseorang yang diberi naungan. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Siapa
ini?” Orang-orang pun mengatakan, “Ini adalah orang yang sedang berpuasa.” Kemudian Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah suatu yang baik jika seseorang berpuasa ketika
dia bersafar”.[3] Di sini dikatakan tidak baik berpuasa ketika safar karena ketika itu adalah kondisi
yang menyulitkan.
 
Kondisi kedua adalah jika tidak memberatkan untuk berpuasa dan tidak menyulitkan untuk
melakukan berbagai hal kebaikan, maka pada saat ini lebih utama untuk berpuasa. Hal ini
sebagaimana dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana beliau masih tetap
berpuasa ketika safar.
 
Dari Abu Darda’, beliau berkata,
 
‫ َومَا فِي َنا صَ اِئ ٌم ِإالَّ مَا‬، ِّ‫ار ِه فِى ي َْو ٍم حَ ارٍّ حَ َّتى يَضَ عَ الرَّ ُج ُل يَدَ هُ عَ لَى رَ ْأسِ ِه مِنْ شِ َّد ِة ْالحَ ر‬ ‫َخرَ جْ َنا مَعَ ال َّن ِبىِّ – صلى هللا عليه وسلم – فِى َبعْ ِ َأ‬
ِ ‫ض سْ َف‬
‫ْن رَ َواحَ َة‬ ِ ‫َكانَ مِنَ ال َّن ِبىِّ – صلى هللا عليه وسلم – َواب‬
 
“Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di beberapa safarnya pada hari
yang cukup terik. Sehingga ketika itu orang-orang meletakkan tangannya di kepalanya karena
cuaca yang begitu panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa. Hanya Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam saja dan Ibnu Rowahah yang berpuasa ketika itu.”[4]
 
Apabila tidak terlalu menyulitkan ketika safar, maka puasa itu lebih baik karena lebih cepat
terlepasnya kewajiban. Begitu pula hal ini lebih mudah dilakukan karena berpuasa dengan orang
banyak itu lebih menyenangkan daripada mengqodho’ puasa sendiri sedangkan orang-orang tidak
berpuasa.
 
Kondisi ketiga adalah jika berpuasa akan mendapati kesulitan yang berat bahkan dapat
mengantarkan pada kematian, maka pada saat ini wajib tidak berpuasa dan diharamkan untuk
berpuasa. Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,
‫ِيم َفصَ ا َم ال َّناسُ ُث َّم دَ عَ ا ِب َقدَ ٍح مِنْ مَا ٍء َفرَ َفعَ ُه‬ ْ ْ
ِ ‫ َخرَ جَ عَ ا َم ال َف ْت ِح ِإلَى َم َّك َة فِى رَ مَضَ انَ َفصَ ا َم حَ َّتى َبلَغَ ُكرَ اعَ الغَ م‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫نَّ رَ سُو َل‬
‫هَّللا‬ ‫َأ‬
ُ‫اس َق ْد صَ ا َم َف َقا َل « ُأولَِئكَ ْالعُصَ اةُ ُأولَِئكَ ْالعُصَ اة‬
ِ َّ
‫ن‬ ‫ال‬ َ‫ض‬ ْ‫ع‬‫ب‬َ َّ‫ن‬ ‫ِإ‬ َ‫ِك‬ ‫ل‬ َ
‫ذ‬ َ‫د‬ ْ‫ع‬‫ب‬َ ‫ه‬
ُ َ ‫ل‬ ‫ل‬
َ ‫ِي‬ ‫ق‬ َ
‫ف‬ َ‫ب‬ ‫ر‬‫ش‬َ
ِ َّ‫م‬‫ث‬ُ ‫ه‬
ِ ْ
‫ي‬ َ ‫ل‬‫ِإ‬ ُ‫اس‬ َّ
‫ن‬ ‫ال‬ َ‫ر‬‫ظ‬َ َ
‫ن‬ ‫ى‬ َّ
‫ت‬ َ‫ح‬
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada tahun Fathul Makkah (8 H)
menuju Makkah di bulan Ramadhan. Beliau ketika itu berpuasa. Kemudian ketika sampai di Kuroo’
Al Ghomim (suatu lembah antara Mekkah dan Madinah), orang-0rang ketika itu masih berpuasa.
Kemudian beliau meminta diambilkan segelas air. Lalu beliau mengangkatnya dan orang-orang pun
memperhatikan beliau. Lantas beliau pun meminum air tersebut. Setelah beliau melakukan hal tadi,
ada yang mengatakan, “Sesungguhnya sebagian orang ada yang tetap berpuasa.” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan, “Mereka itu adalah orang yang durhaka. Mereka itu
adalah orang yang durhaka”.”[5] Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela keras seperti ini karena
berpuasa dalam kondisi sangat-sangat sulit seperti ini adalah sesuatu yang tercela.
 
Kapan waktu diperbolehkan tidak berpuasa bagi musafir?
Dalam hal ini, kita mesti melihat beberapa keadaan:
 
Pertama, jika safar dimulai sebelum terbit fajar atau ketika fajar sedang terbit dan dalam keadaan
bersafar, lalu diniatkan untuk tidak berpuasa pada hari itu; untuk kondisi semacam ini diperbolehkan
untuk tidak berpuasa berdasarkan kesepakatan para ulama. Alasannya, pada kondisi semacam ini
sudah disebut musafir karena sudah adanya sebab yang memperbolehkan untuk tidak berpuasa.
 
Kedua,  jika safar dilakukan setelah fajar (atau sudah di waktu siang), maka menurut pendapat
Imam Ahmad yang lain, juga pendapat Ishaq dan Al Hasan Al Bashri, dan pendapat ini juga dipilih
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, boleh berbuka (tidak berpuasa) di hari itu. Inilah pendapat yang
lebih kuat.
 
Dalil dari pendapat terakhir ini  adalah keumuman firman Allah Ta’ala,
 
َ‫َّام ُأ َخر‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬
ٍ ‫َو َمنْ َكانَ م َِريضًا ْو عَ لَى سَ َف ٍر َف ِع َّدةٌ مِنْ ي‬
 
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa),
sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
 
Dan juga hadits Jabir sebagaimana telah disebutkan di atas: “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam keluar pada tahun Fathul Makkah (8 H) menuju Makkah di bulan Ramadhan.
Beliau ketika itu berpuasa. Kemudian ketika sampai di Kuroo’ Al Ghomim (suatu lembah antara
Mekkah dan Madinah), orang-0rang ketika itu masih berpuasa. Kemudian beliau meminta
diambilkan segelas air. Lalu beliau mengangkatnya dan orang-orang pun memperhatikan beliau.
Lantas beliau pun meminum air tersebut. …
Begitu pula yang menguatkan hal ini adalah dari Muhammad bin Ka’ab. Dia mengatakan,
 
. َ‫ ُث َّم رَ كِب‬.‫ت لَ ُه ُس َّن ٌة َقا َل ُس َّن ٌة‬
ُ ‫حلَ ُت ُه َولَ ِبسَ ِثيَابَ ال َّس َف ِر َفدَ عَ ا ِب َطعَ ٍام َفَأ َك َل َفقُ ْل‬
ِ ‫ت لَ ُه رَ ا‬ ِ ‫ْت َأ َنسَ ْبنَ مَالِكٍ فِى رَ مَضَ انَ َوه َُو ي ُِري ُد سَ َفرً ا َو َق ْد ُر‬
ْ َ‫حل‬ ُ ‫َأ َتي‬
 
“Aku pernah mendatangi Anas bin Malik di bulan Ramadhan. Saat ini itu Anas juga ingin melakukan
safar. Dia pun sudah mempersiapkan kendaraan dan sudah mengenakan pakaian untuk bersafar.
Kemudian beliau meminta  makanan, lantas beliau pun memakannya. Kemudian aku mengatakan
pada Annas, “Apakah ini termasuk sunnah (ajaran Nabi)?” Beliau mengatakan, “Ini termasuk
sunnah.” Lantas beliau pun berangkat dengan kendaraannya.”[6] Hadits ini merupakan dalil bahwa
musafir boleh berbuka sebelum dia pergi bersafar.
 
Ketiga, jika berniat puasa padahal sedang bersafar, kemudian karena suatu sebab di tengah
perjalanan berbuka, maka hal ini diperbolehkan. Alasannya adalah dalil yang telah kami sebutkan
pada kondisi kedua dari hadits Abu Darda: “Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam di beberapa safarnya pada hari yang cukup terik. Sehingga ketika itu orang-orang
meletakkan tangannya di kepalanya karena cuaca yang begitu panas. Di antara kami tidak ada
yang berpuasa. Hanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja dan Ibnu Rowahah yang berpuasa
ketika itu.”[7]
 
Kapan berakhirnya keringanan untuk tidak berpuasa bagi musafir?
Berakhirnya keringanan (rukhsoh) bagi musafir untuk tidak berpuasa adalah dalam dua keadaan: (1)
ketika berniat untuk bermukim, dan (2) jika telah kembali ke negerinya.
 
Jika orang yang bersafar tersebut kembali ke negerinya pada malam hari, maka keesokan harinya
dia wajib berpuasa tanpa ada perselisihan ulama dalam hal ini.
 
Sedangkan apabila dia kembali pada siang hari, sedangkan sebelumnya tidak berpuasa, apakah
ketika dia sampai di negerinya, dia jadi ikut berpuasa hingga berbuka?
 
Untuk kasus yang satu ini ada dua pendapat. Pendapat yang lebih tepat adalah dia tidak perlu
menahan diri dari makan dan minum. Jadi boleh tidak berpuasa hingga waktu berbuka. Inilah
pendapat Imam Asy Syafi’i dan Imam Malik. Terdapat perkataan yang shohih dari Ibnu Mas’ud,
 
ُ‫َار َف ْل َيْأ ُك ْل آخِرَ ه‬ ‫َأ َأ‬
ِ ‫َمنْ َك َل وَّ َل ال َّنه‬
 
“Barangsiapa yang makan di awal siang, maka makanlah pula di akhir siang.”[8] Jadi, jika di pagi
harinya tidak berpuasa, maka di siang atau sore harinya pun tidak perlu berpuasa.[9]
 
Ketiga: Orang yang sudah tua rentah dan dalam keadaan lemah, juga orang sakit yang tidak
kunjung sembuh.
Para ulama sepakat bahwa orang tua yang tidak mampu berpuasa, boleh baginya untuk tidak
berpuasa dan tidak ada qodho baginya. Menurut mayoritas ulama, cukup bagi mereka untuk
memberi fidyah yaitu memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.
Pendapat mayoritas ulama inilah yang lebih kuat. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
 
ٍ ‫َوعَ لَى الَّذِينَ يُطِ يقُو َن ُه ف ِْدي ٌَة َطعَ ا ُم مِسْ ك‬
‫ِين‬
 
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar
fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al Baqarah: 184)
 
Begitu pula orang sakit yang tidak kunjung sembuh, dia disamakan dengan orang tua rentah yang
tidak mampu melakukan puasa sehingga dia diharuskan mengeluarkan fidyah (memberi makan
kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan).
 
Ibnu Qudamah mengatakan, “Orang sakit yang tidak diharapkan lagi kesembuhannya, maka dia
boleh tidak berpuasa dan diganti dengan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang
ditinggalkan. Karena orang seperti ini disamakan dengan orang yang sudah tua.”[10]
 
Keempat: Wanita hamil dan menyusui.
Di antara kemudahan dalam syar’at Islam adalah memberi keringanan kepada wanita hamil dan
menyusui untuk tidak berpuasa. Jika wanita hamil takut terhadap janin yang berada dalam
kandungannya dan wanita menyusui takut terhadap bayi yang dia sapih –misalnya takut kurangnya
susu- karena sebab keduanya berpuasa, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa, dan hal ini tidak
ada perselisihan di antara para ulama. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
 
َّ ‫ِإنَّ هَّللا َ عَ َّز َوجَ َّل َوضَ عَ عَ ِن ْالمُسَ اف ِِر َش ْطرَ ال‬
ِّ ‫صالَ ِة َوعَ ِن ْالمُسَ اف ِِر َو ْالحَ ام ِِل َو ْالمُرْ ضِ ِع الص َّْو َم َأ ِو ال‬
‫صيَا َم‬
 
“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla meringankan setengah shalat untuk musafir dan meringankan
puasa bagi musafir, wanita hamil dan menyusui.”[11]
 
Namun apa kewajiban wanita hamil dan menyusui jika tidakberpuasa, apakah ada qodho’ ataukah
mesti menunaikan fidyah? Inilah yang diperselisihkan oleh para ulama.
 
Al Jashshosh rahimahullah mengatakan, “Para ulama salaf telah berselisih pendapat dalam
masalah ini menjadi tiga pendapat. ‘Ali berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui wajib qodho’
jika keduanya tidak berpuasa dan tidak ada fidyah ketika itu. Pendapat ini juga menjadi pendapat
Ibrahim, Al Hasan dan ‘Atho’. Ibnu ‘Abbas berpendapat cukup keduanya membayar fidyah saja,
tanpa ada qodho’. Sedangkan Ibnu ‘Umar dan Mujahid berpendapat bahwa keduanya harus
menunaikan fidyah sekaligus qodho’.”[12]
 
Pendapat terkuat adalah pendapat yang menyatakan cukup mengqodho’ saja. Ada dua alasan
yang bisa diberikan,
Alasan pertama: dari hadits Anas bin Malik, ia berkata,
 
‫صاَل ِة َوالص َّْو َم َوعَ نْ ْال ُح ْبلَى َو ْالمُرْ ضِ ِع‬َّ ‫ِإنَّ هَّللا َ َوضَ عَ عَ نْ ْالمُسَ اف ِِر نِصْ فَ ال‬
 
“Sesungguhnya Allah meringankan separuh shalat dari musafir, juga puasa dari wanita hamil dan
menyusui.”[13]
Al Jashshosh rahimahullah menjelaskan, “Keringanan separuh shalat tentu saja khusus bagi
musafir. Para ulama tidak ada beda pendapat mengenai wanita hamil dan menyusui bahwa mereka
tidak dibolehkan mengqoshor shalat. … Keringanan puasa bagi wanita hamil dan menyusui sama
halnya dengan keringanan puasa bagi musafir. … Dan telah diketahui bahwa keringanan puasa bagi
musafir yang tidak berpuasa adalah mengqodhonya, tanpa adanya fidyah. Maka berlaku pula yang
demikian pada wanita hamil dan menyusui. Dari sini juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
antara wanita hamil dan menyusui jika keduanya khawatir membahayakan dirinya atau anaknya
(ketika mereka berpuasa) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak merinci hal ini.”[14]
 
Perkataan Al Jashshosh ini sebagai sanggahan terhadap pendapat yang menyatakan wajib
mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan bagi wanita menyusui adalah dengan mengqodho’ dan
memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.
 
Alasan kedua: Selain alasan di atas, ulama yang berpendapat cukup mengqodho’ saja (tanpa
fidyah) menganggap bahwa wanita hamil dan menyusui seperti orang sakit. Sebagaimana orang
sakit boleh tidak puasa, ia pun harus mengqodho’ di hari lain. Ini pula yang berlaku pada wanita
hamil dan menyusui. Karena dianggap seperti orang sakit, maka mereka cukup mengqodho’
sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
 
َ‫َّام ُأ َخر‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬
ٍ ‫َف َمنْ َكانَ ِم ْن ُك ْم م َِريضًا ْو عَ لَى سَ َف ٍر َف ِع َّدةٌ مِنْ ي‬
 
“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al
Baqarah: 184)
 
Pendapat ini didukung pula oleh ulama belakangan semacam Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin
Baz rahimahullah. Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, “Hukum wanita hamil dan menyusui jika
keduanya merasa berat untuk berpuasa, maka keduanya boleh berbuka (tidak puasa). Namun
mereka punya kewajiban untuk mengqodho (mengganti puasa) di saat mampu karena mereka
dianggap seperti orang yang sakit. Sebagian ulama berpendapat bahwa cukup baginya untuk
menunaikan fidyah (memberi makan kepada orang miskin) untuk setiap hari yang ia tidak berpuasa.
Namun pendapat ini adalah pendapat yang lemah. Yang benar, mereka berdua punya kewajiban
qodho’ (mengganti puasa) karena keadaan mereka seperti musafir atau orang yang sakit (yaitu
diharuskan untuk mengqodho’ ketika tidak berpuasa, -pen). Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala
(yang artinya), “Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari
yang lain.” (QS. Al Baqarah: 184)[15]
 
Kondisi ini berlaku bagi keadaan wanita hamil dan menyusui yang masih mampu menunaikan
qodho’[16]. Dalam kondisi ini dia dianggap seperti orang sakit yang diharuskan untuk mengqodho’ di
hari lain ketika ia tidak berpuasa. Namun apabila mereka tidak mampu untukk mengqodho’ puasa,
karena setelah hamil atau menyusui dalam keadaan lemah dan tidak kuat lagi, maka kondisi mereka
dianggap seperti orang sakit yang tidak kunjung sembuhnya. Pada kondisi ini, ia bisa pindah pada
penggantinya yaitu menunaikan fidyah, dengan cara memberi makan pada satu orang miskin setiap
harinya.[17]
 
Catatan penting yang perlu diperhatikan bahwa wanita hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa
jika memang ia merasa kepayahan, kesulitan, takut membahayakan dirinya atau anaknya. Al
Jashshosh rahimahullah mengatakan, “Jika wanita hamil dan menyusui berpuasa, lalu dapat
membahayakan diri, anak atau keduanya, maka pada kondisi ini lebih baik bagi keduanya untuk
tidak berpuasa dan terlarang bagi keduanya untuk berpuasa. Akan tetapi, jika tidak membawa
dampak bahaya apa-apa pada diri dan anak, maka lebih baik ia berpuasa, dan pada kondisi ini tidak
boleh ia tidak berpuasa.”[18]
 
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/118-120.
[2] HR. Bukhari no. 7288 dan Muslim no. 1337, dari Abu Hurairah.
[3] HR. Bukhari no. 1946 dan Muslim no. 1115.
[4] HR. Bukhari no. 1945 dan Muslim no. 1122.
[5] HR. Muslim no. 1114.
[6] HR. Tirmidzi no. 799. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
[7] HR. Bukhari no. 1945 dan Muslim no. 1122
[8] Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam mushonnaf-nya 2/286. Abu Malik mengatakan bahwa
sanad hadits ini shahih.
[9] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/120-125.
[10] Al Mughni, 4/396.
[11] HR. An Nasai no. 2275, Ibnu Majah no. 1667, dan Ahmad 4/347. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini hasan shahih.
[12] Ahkamul Qur’an, 1/224. Lihat pula Bidayatul Mujtahid hal. 276 dan Shahih Fiqh Sunnah 2/125-
126.
[13] HR. An Nasai no. 2274 dan Ahmad 5/29. Syaikh Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[14] Ahkamul Qur’an, Ahmad bin ‘Ali Ar Rozi Al Jashshosh, 1/224
[15] Majmu’ Al Fatawa Ibnu Baz, 15/225
[16] Wanita yang dalam kondisi semacam ini menunaikan qodho’ di saat dia mampu. Jika sampai
dua tahun ditunda karena masih butuh waktu untuk menyusui, maka tidak mengapa dia tunda
qodho’nya sampai dia mampu.
[17] Lihat Panduan Ibadah Wanita Hamil, hal. 46.
[18] Ahkamul Qur’an, Al Jashshosh, 1/223.
PENGGUNAAN UBAT DAN ALAT-ALAT PERUBATAN KETIKA BERPUASA

Bagi pesakit yang menggunakan ubat dan alat-alat perubatan ke atas anggota badan yang berongga
seperti mulut, lubang hidung, telinga, dubur (Suppository) dan faraj (Pessary) huraian masalah berkaitan
adalah seperti berikut :

1. Perkara-perkara yang berkaitan dengan rawatan perubatan yang tidak membatalkan puasa
ialah :

i. Menggunakan ubat titis mata, titis telinga dan cucian telinga (dengan syarat tidak sampai
batas gegendang telinga);

ii. Pil tablet nitroglycerin (GTN) atau ubat yang menyamainya yang diambil secara
meletakkannya di bawah lidah tanpa ditelan bagi merawat kesakitan dada (angina
pectoris) bagi pesakit jantung;

iii. Melakukan prosedur tampalan gigi, cabutan, pembersihan gigi atau memberus gigi
dengan syarat individu yang berpuasa tidak menelan apa-apa bahan semasa prosedur
rawatan tersebut;

iv. Semua bentuk suntikan sama ada melalui lapisan kulit, otot, sendi, atau salur darah;

v. Pendermaan atau pemindahan darah;

vi. Penggunaan ubat-ubatan dalam bentuk sapuan, balutan dan plaster pada permukaan
kulit;

vii. Pengambilan sampel darah untuk ujian makmal;

viii. Memasukkan tiub kecil (catheter) melalui salur darah untuk tujuan pemeriksaan seperti
prosedur angiogram untuk pemeriksaan jantung;

ix. Pemeriksaan laparoscop, iaitu pemeriksaan dalaman dengan menggunakan alat yang
dimasukkan melalui dinding abdomen untuk pemeriksaan bahagian dalaman pesakit;

x. Berkumur-kumur termasuk berkumur-kumur secara gargle (sehingga air hampir ke


tekak), dan ubat teraputik semburan ke mulut yang tidak melibatkan proses menelan;
xi. Menjalani biopsy iaitu pengambilan spesimen atau cebisan yang diambil daripada hati
atau organ–organ lain untuk tujuan analisa makmal;

xii. Penggunaan ubat semburan (spray) hidung tanpa disedut;


xiii. Rawatan dialisis untuk masalah pesakit buah pinggang sama ada hemodialisis atau
peritonealdialisis;

xiv. Menjalani rawatan bius setempat atau separuh (local) dengan semburan atau suntikan
setempat; dan

xv. Penggunaan ubat buasir dengan memasukkan semula kawasan buasir pada tempatnya
tanpa melibatkan kawasan rongga yang dalam.

2. Perkara-perkara berkaitan dengan rawatan perubatan yang membatalkan puasa:

i. Penggunaan alat sedutan (inhaler) untuk rawatan lelah (athma) atau penyakit paru-paru
kronik;

ii. Memasukkan sebarang tiub kecil (pessary) atau ubat ke dalam faraj (vaginal
suppository) termasuk prosedur cucian (wash), pemeriksaan dalaman vaginal
(vaginoscope), atau pengawai perubatan memasukkan jari untuk melakukan
pemeriksaan dalaman vagina wanita;

iii. Memasukkan sebarang tiub catheter, alat pemeriksaan dalam saluran kencing
(urethroscope), barium atau ubat pencuci yang dimasukkan sama ada ke dalam saluran
kencing bagi lelaki atau wanita (contohnya memasukkan ‘urinary catheter’ untuk rawatan
sumbatan salur kencing);

iv. Penggunaan alat seperti enema, tiub suppository, teropong protoscope atau jari pegawai
perubatan yang dimasukkan ke dalam dubur atau rectum untuk pemeriksaan;

v. Penggunaan teropong usus (endoscope) atau teropong perut (gasteroscope) untuk


tujuan pemeriksaan sistem penghadaman; dan

vi. Penggunaan bius menyeluruh yang melibatkan penggunaan gas.

Rujukan: JAKIM (cetakan kedua 2013)

Keputusan Persidangan Fiqh Antarabangsa (al-Majma’ al-Fiqhi al-Islami) [No. 93


(1/10) pada 23-28 Safar tahun 1418H bersamaan 28 Jun – 3 Julai 1997] Mengenai
Perkara-perkara Yang Tidak Membatalkan Puasa.Majma’ al-Fiqhi al-Islami) [No. 93
(1/10) pada 23-28 Safar tahun 1418H bersamaan 28 Jun – 3 Julai 1997] Mengenai
Perkara-perkara Yang Tidak Membatalkan Puasa.
A- Keputusannya (Qarar) Seperti Berikut:

1- Ubat titis mata, titis telinga dan basuh telinga. Ubat titis hidung atau semburan hidung,
dengan syarat tidak menelan apa yang sampai ke halkum.

2- Ubat tablet bawah lidah yang digunakan oleh pesakit Angina (Jantung) dengan syarat tidak
menelan apa yang sampai ke halkum.
3- Memasukkan ubat melalui faraj, memasukan alat perubatan, membasuh, spekulum dan jari
doktor atau bidan semasa pemeriksaan vagina (sebelum bersalin).

4- Memasukkan teropong ke dalam salur peranakan/rahim atau alat kedalamnya.(Contoh:alat


pencegah kehamilan - IUCD)

5- Memasukkan teropong ke salur kencing lelaki atau perempuan untuk penyediaan x-ray atau
lainnya.

6- Menampal, mencabut, mengorek dan mencuci gigi atau menggunakan alatan dan berus gigi,
dengan syarat TIADA apa-apa bahan yang memasuki perut dari prosedur tersebut.

7- Membasuh mulut, berkumur atau semburan mulut, dengan syarat tiada bahan masuk
kedalam perut. dengan syarat tidak menelan apa yang sampai ke halkum.

8- Suntikan melalui kulit, otot, sendi atau pembuluh darah, KECUALI memberi makanan melalui
pembuluh darah (seperti: glukos yang mengenyangkan).

9- Oksigen dan Gas Bius.

10- Bius menggunakan gas, bukan menggunakan cecair yang mengenyangkan.

11- Semua jenis bahan yang boleh menyerap ke dalam badan melalui kulit seperti krim, jelly
atau plaster berubat.

12- Sesalur dan bahan perantara untuk arteriografi (pemeriksaan x-ray khas jantung) atau
organ lain.

13- Teropong dalam rongga perut (endiskopi) untuk mencari punca penyakit.

14- Mengambil tisu (biopsi) hati atau organ lain untuk ujian makmal.

15- Teropong perut, dengan syarat tidak memasukkan apa-apa bahan cecair atau bahan
seumpamanya.

16- Memasukkan ubat atau alat ke dalam otak.

17- Muntah secara tidak sengaja.

B- Jika tidak memberi mudarat, para doktor muslim hendaklah menasihati pesakit
untuk menangguhkan dulu rawatan yang meragui sehingga selesai puasa.

Tambahan dari Keputusan “Seminar Fiqh Perubatan ke 9 yang diadakan di Casablanca,


Morroco, 8-11 Safar 1418/14-17 Jun 1997. Pendapat majoriti peserta menambah
perkara berikut juga TIDAK MEMBATALKAN PUASA:

1- Suntikan ke dalam dubur, teropong dan pemeriksaan digital ke dalam dubur.

2- Pembedahan yeng melibatkan bius sepenuhnya jika pesakit mengambil keputusan (berniat)
untuk berpuasa pada malamnya.
3- Mesin atau dialisis buah pinggang melalui perut. TAMAT.

PENJAGAAN KESIHATAN KETIKA PUASA


PENGAMBILAN UBAT
DIABETES DAN PUASA

Antara keadaan yang tidak digalakkan berpuasa adalah seperti:

1. Penyakit diabetes mellitus jenis 1 dan 2 yang tidak terkawal.


o Dibimbangi akan mengakibatkan pelbagai komplikasi seperti dehidrasi (kekurangan
air), jangkitan kuman dan koma.
2. Mengalami komplikasi diabetes yang serius.
o Bagi pesakit yang mempunyai komplikasi seperti penyakit jantung koronari,
kerosakan buah pinggang dan tekanan darah tinggi yang tidak terkawal perlu
berbincang dengan Pakar Perubatan.
3. Kerap mengalami komplikasi diabetik ketoasidosis.
o Biasanya lebih cenderung kepada pesakit Diabetes Mellitus Jenis I. Biasanya adalah
disebabkan oleh dos insulin yang tinggi dan pengambilan makanan yang sedikit
ketika berpuasa.
4. Pesakit yang tidak mematuhi aturan pemakanan dan ubat-ubatan bagi diabetes.
5. Kerap mengalami komplikasi hipoglisemia (kekurangan gula dalam darah).
o Terutama kepada pesakit yang mempunyai sejarah 2 kali atau lebih pada bulan
puasa yang lalu.
6. Mengandung.
o Bagi pesakit Diabetes Jenis I, II dan Gestasi jika ingin berpuasa, mereka perlulah
berbincang dengan Pakar Perubatan dan Pegawai Dietetik berkenaan ubat dan diet
yang sesuai semasa berpuasa.
7. Mengalami jangkitan kuman.
8. Warga tua yang tinggal bersendirian.

Tips Bagaimana Untuk Menyesuaikan Diri Semasa Berpuasa

1. Jangan tinggal waktu bersahur.


o Waktu bersahur perlulah selewat mungkin sebelum waktu imsak.
o Ketika bersahur perlu seimbangkan makanan dengan karbohidrat yang secukupnya.
2. Jangan melambatkan waktu berbuka.
o Memadai waktu berbuka dengan 2 biji kurma terlebih dahulu sebagai sebahagian
daripada karbohidrat.
o Hadkan pengambilan makanan yang tinggi gula.
3. Digalakkan mengambil hidangan utama selepas solat maghrib.
o Perlu mengamalkan pemakanan yang seimbang.
4. Minum malam selepas solat tarawih.
o Boleh diambil sebagai pengganti snek sebelum tidur.
5. Sertakan buah-buahan dan sayur-sayuran ketika sahur dan berbuka.
oKarbohidrat yang mengandungi serat yang tinggi adalah digalakkan untuk setiap
hidangan utama.
6. Hadkan makanan yang bergoreng dan berlemak.
o Contohnya: Masakan berlemak yang menggunakan santan, ayam goreng, mi goreng
dan lain-lain.
7. Hadkan makanan yang tinggi garam.
o Ini adalah bertujuan untuk mengurangkan risiko kekurangan air.
8. Minum air secukupnya.
o Minum air yang cukup terutamanya ketika sahur untuk menggantikan air yang hilang
ketika berpuasa. Disarankan untuk mengambil 8 gelas air sehari terutama ketika
masa tidak berpuasa (malam).

Pesakit diabetes berisiko mendapat hiperglisemia atau hipoglisemia atau dehidrasi

Pesakit perlu buka puasa sekiranya:

1. Ada tanda-tanda hipoglisemia atau hiperglisemia atau dehidrasi

2. Paras gula <3.5mmol/L

3. Paras gula >16mmol/L

Apakah Hipoglisemia?

Hipoglisemia adalah gejala gula dalam darah yang terlalu rendah (kurang daripada 4mmol/L).
Pesakit yang mengambil suntikan insulin berisiko tinggi untuk mengalami kejadian ini.

Apakah Tanda-tanda Hipoglisemia

 Lemah, menggigil.
 Berpeluh.
 Pening.
 Lapar.
 Penglihatan Kabur.
 Letih-lesu.
 Sakit kepala.

Apakah Penyebab Hipoglisemia?

 Tidak makan atau lewat makan selepas makan ubat atau suntikan insulin.
 Tidak ambil sumber karbohidrat yang mencukupi.
 Aktiviti fizikal yang tidak dirancang.
 Senaman yang lasak.
 Dos insulin atau ubat diabetes yang berlebihan.
Bagaimanakah Untuk Mencegah Hipoglisemia?

 Ambil ubat / insulin mengikut dos yang diarahkan.


 Makan secara tetap mengikut waktu dan kuantiti yang cukup.
 Aktiviti fizikal seperti senaman yang aktif atau sederhana adalah tidak digalakkan. Walau
bagaimanapun, senaman yang disarankan oleh Pegawai Perubatan adalah dibenarkan.
 Memantau paras gula dalam darah.

Cara-cara Mengatasi Hipoglisemia

 Sekiranya mengalami tanda-tanda hipoglisemia, minum ½ cawan air manis atau hisap 3 biji
gula-gula atau 3 sudu teh gula/madu.
 Kemudian, rehat 10 hingga 15 minit. Jika paras gula darah tidak kembali paras normal, sila
ulangi langkah 1 sekali lagi.
 Jika jarak masa makan yang seterusnya adalah lebih dari 20 minit, sila ambil 1 hidangan
karbohidrat kompleks seperti 1 keping roti atau 1 keping sandwich atau 3 keping biskut
kraker krim atau 1 biji buah atau 1 cawan susu.

Apakah Tanda-tanda Hiperglisemia?

 Kerap buang air kecil.


 Terlalu dahaga.
 Sangat letih.
 Kulit kering
 Lapar
 Penglihatan kabur
 Loya

Pengubahsuaian ubat insulin ketika berpuasa dan tidak berpuasa

Jika Tidak Berpuasa Jika Berpuasa

Insulin (basal)Humulin N,  Tiada perubahan, suntik pada waktu biasa sebelum tidur.
Insulatard(contoh : 10 unit Humulin N, Insulatard (contoh : 10 unit malam)
malam)

 Separuh dos waktu sahur


Insulin (bolus)Humulin R,  Abaikan dos waktu tengah hari
Actrapid (contoh : 12 unit 3 kali  Dos penuh waktu berbuka puasa(contoh : 6 unit waktu
sehari) sahur, 12 unit waktu berbuka)

Insulin Tindakan Campuran  Pastikan pengambilan air yang mencukupi


(premixed)Humulin 30/70,  Dos sahur : separuh dos yang dikhususkan untuk waktu
Mixtard (contoh : 30 unit pagi petang (dos kecil)
dan 20 unit petang)
 Dos berbuka puasa : ambil keseluruhan dos waktu pagi
(dos besar)(contoh : 10 unit waktu sahur, 30 unit waktu
berbuka)

Anda mungkin juga menyukai