Disusun oleh:
Kelompok 4
1. Rifki Muhamad Ridwan NIM. 1222200012
2. Muhamad Zaky Zidan NIM. 1222200011
3. Mahya Masruriah NIM. 1222000015
4. Fitriana Rahmawati NIM. 1222000058
Assalamualaikum wr.wb
Alhamdulillah saya haturkan puja dan puji syukur kehadirat Allah Swt. atas karunia dan
segala rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penyusun akhirnya dapat menyelesaikan
makalah yang dibuat ini.
Makalah ini disusun untuk memenuhi kebutuhan penilaian pada mata kuliah agama islam
dengan pembahasan tentang Aspek ibadah dalam agama islam. Sesuai dengan segmentasi
peserta, makalah ini disusun dengan kualifikasi yang tidak diragukan.
Pembukaan yang diangkat secara terpadu dilakukan tanpa adanya pemilihan jenjang
pendidikan. Langkah ini diambil dengan harapan dapat meminimalisir adanya pengulangan
topik dari sesuai jenjang pendidikan.
Pembahasan Makalah ini dimulai dengan tujuan yang akan dicapai, sementara kelebihan yang
dimiliki oleh makalah ini dapat dilihat dalam keterpaduan dengan pedoman agama islam
yaitu Al-Qur’an dan Hadist.
Pembahasan yang disampaikan dengan bentuk yang beragam, dengan tujuan untuk mengukur
tingkat yang dicapai.
Penyusun menyadari jika pembuatan makalah ini masih memiliki banyak kekurangan, karena
itu kritik dan saran sangat terbuka untuk diterima dengan sifat yang membangun. Diharapkan
semoga makalah ini bisa memberi manfaat dengan baik.
Kelompok 4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ibadah adalah aktifitas spiritual yang merupakan inti dari keyakinan dalam
beragama. Ibadah secara etimologi memiliki arti tunduk atau merendahkan diri.
Ibadah menurut syariat Islam mengandung banyak definisi, namun secara prinsip
memiliki makna dan maksud yang sama. Diantara definisi yang dapat dijelaskan
antara lain adalah;
Ditinjau dari aspek aktifitasnya, ibadah terbagi menjadi beberapa kriteria yaitu
ibadah hati, lisan serta anggota badan. Di antara bentuk ibadah hati atau qalbiyah
(yang berkaitan dengan hati) adalah aktifitas yang dilandasi rasa khauf (takut), raja’
(mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan
rahbah (takut) kepada Allah SWT.
Selain ibadah qalbiyah, juga terdapat bentuk ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan
hati), seperti shalat, zakat, haji dan jihad. Serta masih banyak lagi macam-macam
ibadah yang berkaitan dengan hati, lisan, dan badan.
Apapun bentuk ibadah manusia, pada prinsipnya islam memandang bahwa ibadah
adalah tujuan penciptaan manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah
kepada-ku ( Al-Qur’an Surat Az-Zariyat/ 51:56 )
Terdapat sejumlah hadits berkenaan dengan keutamaan dan wajibnya shalat bagi
perorangan. Hukum fardhunya sangat dikenal di dalam agama Islam. Barang siapa
yang mengingkari shalat, ia telah murtad dari agama Islam. Ia dituntut untuk bertobat.
Jika tidak bertobat, ia harus dihukum mati menurut ijma‟ kaum muslimin.
Menurut Khalili ,Ibadah shalat merupakan suatu amal ibadah yang memiliki
posisi yang amat tinggi dibandingkan dengan amal ibadah lainnya. Dalam
melaksanakan ibadah shalat, harus sesuai dengan tuntutan yang telah ditetapkan oleh
syariat, sehingga jangan sampai terkesan meringankan dan menganggap kecil amal
ibadah tersebut karena shalat mempunyai makna yang besar terhadap kehidupan.
Salah satu tujuan dari ibadah shalat adalah bahwa shalat merupakan sarana terpenting
dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT. serta untuk mengingat Allah dengan cara
berhubungan langsung dengan-Nya.
Kata shalat, secara etimologis, berarti doa. Adapun shalat, secara terminologis,
adalah seperangkat perkataan dan perbuatan yang dilakukan dengan beberapa syarat
tertentu, dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
Hadist Rasulullah tersebut dipahami dari berbagai sisi, pemahaman yang berbeda
tersebut melahirkan berbagai pandangan imam seperti pandangan imam terhadap
permasalahan sikap duduk tahiyyat dalam shalat. Tahiyyat di dalam shalat dibagi
menjadi dua bagian: Pertama yaitu tahiyyat yang terjadi setelah dua rakaat pertama
dari shalat.
Hambali: Tahiyyat pertama itu wajib. Mazhab-mazhab yang lain: Hanya sunnah,
bukan wajib. Sedangkan pada tahiyyat terakhir adalah wajib, menurut Syafi‟i dan
Hambali. Sedangkan menurut Maliki dan Hanafi: Hanya sunnah, bukan wajib.
Diriwayatkan dari „Abdullah (bin Mas‟ud) radhiyallahu „anhu ia berkata,
Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda;
هلال ٔبشكا ّح ّي ق أحذكى في انصالة فهيقم انخاحياث هلل ٔانص ٕهاث انطيباث انسالو عهيك إ ٓيّا َ إرا َعَذlانُب ٔس ًحت
ٔسس ّن ّ ان ٓشذ ٌأ ال.انصانحي
ٕ إن ّإال هلال ٔأ ٓشذ أ ٌّ يحًذا عب ِذ ٍ انسالو عهيُا ٔعهٗ عباد هلال.
Jika salah seorang diantara kalian duduk (tahiyyat akhir) di dalam shalat, maka
hendaklah ia membaca; Artinya:“Segala salam hormat milik Allah, shalawat dan
kebaikan. Semoga keselamatan, rahmat Allah, dan keberkahan-Nya senantiasa
dilimpahkan kepada engkau, wahai Nabi. Semoga keselamatan senantiasa
dilimpahkan kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi
bahwasanya tiada sesembahan (yang berhak untuk disembah) selain Allah dan aku
bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya.”(Muttafaqun „alaih.
HR. Bukhari Juz 1: 797 dan Muslim Juz 1: 402).
Dan tasyahhud awal termasuk daam jajaran wajib shalat. Dari Abu Humaid As-
Sa‟di radhiyallahu „anhu yang menceritakan shalat Rasulullah shallallahu „alaihi wa
sallam;
Apabila beliau duduk pada raka‟at kedua beliau duduk di atas kakinya yang kiri
dan meluruskan (menegakkan) kaki kanan (duduk iftirasy).” (HR. Bukhari).
Dan Nabi shallallahu „alaihi wa sallam pernah memerintahkan seorang sahabat
yang tidak beres shalatnya agar membaca do‟a tasyahhud dengan sabdanya:
“Maka apabila engkau duduk pada pertengahan shalat (yaitu akhir raka‟at
kedua), maka duduk iftirsylah (yaitu) duduk dengan bertekan pada pahamu yang kiri
dengan tenang, kemudian bacalah tasyahhud!” 11(Shahih: Shahih Abu Daud).
Menurut pandangan Imam Hanafi dalam kitab Al-Hujjah „ala Ahli Madinah,
Bab: al-Julus fish-Shalah bahwa duduk tahyyat akhir dalam shalat dilakukan dengan
duduk iftirasy, yaitu dengan menegakkan kaki kanan dan membentangkan kaki kiri
(iftirâsy).Pendapat ini didasarkan pada hadits „Aisyah Radhiyallahu anhuma tentang
sifat shalat Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , ia berkata:
ْ
Artinya: Rasûlullâh Shallallahu „alaihi wa sallam membentangkan kaki kirinya
dan menegakkan kaki kanannya. [HR Muslim, 240].
Menurut pandangan Imam Syâfi‟i bahwa duduk tahyyat akhir pada shalat
dilakukan dengan cara tawarruk, yaitu posisi kaki kiri tidak diduduki melainkan
dikeluarkan ke arah bawah kaki kanan. Sehingga duduknya di atas tanah tidak lagi di
atas lipatan kaki kiri seperti pada iftirasy.
Hal ini dipertegas oleh Imam Mawardi dalam kitabnya Syarh Mukhtashar
Muzani bahwa duduk tahyyat akhir dilakukan dengan cara tawarruk. Pendapat ini
didasarkan pada hadits diantaranya sebagai berikut:
1. Abu Humaid as-Sa‟idi Radhiyallahu anhu berkata :
َ
Masyarakat kita pada hari ini seperti yang terjadi pertentangan di kalangan para
jamaah di Malaysia maupun Indonesia khususnya dalam hal duduk tahyyat akhir ada
yang menyalahkan antara satu sama lain tentang cara duduk samaada dengan cara
iftirasy dan dengan cara tawarruk. Dari uraian di atas membuktikan telah terjadi
perbedaan pandangan antara Imam Hanafi dan Imam Syafi‟i. Menurut pandangan
Imam Hanafi bahwa duduk tahyyat akhir dilakukan dengan cara iftirasy, sedangkan
menurut imam Syafi‟i bahwa tahyyat akhir dilakukan dengan cara tawarruk.
B. Batasan Masalah
Agar makalah ini tidak menyimpang dari topik yang akan dibahas maka penulis
membatasi penulisan ini pada aspek ibadah dalam agama islam
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan apa yang telah di uraikan dalam latar belakang maka disusunlah
rumusan masalah sebagai berikut:
1. pengertian tentang ibadah dalam islam!
2. Bagaimana pandangan Imam Hanafi mengenai hukum duduk tahyyat akhir
dalam shalat?
3. Bagaimana pandangan Imam Syafi‟i mengenai hukum duduk tahiyyat akhir
dalam shalat?
D. Tujuan
1. untuk mensosialisasikan/menyebar luaskan pengertian aspek ibadah dalam
agama islam
2. Untuk mengetahui pandangan Imam Hanafi mengenai hukum duduk tahyyat
akhir dalam shalat.
3. Untuk mengetahui pandangan Imam Syafi‟i mengenai hukum duduk tahiyyat
akhir dalam shalat
BAB II
ASPEK IBADAH DALAM ISLAM
Islam membebaskan manusia dari ikatan sistem perantara. Dalam QS. Al-Baqarah/2: 186
menjelaskan bahwa Allah dekat kepada hamba-hamba-Nya, akan dikabulkan-Nya permohonan
orang yang berdoa kepada-Nya, serta orang supaya memenuhi ajakan-Nya dan beriman kepada-Nya
agar senantiasa berada di atas kebenaran. Sedang dalam QS.Qaf /50: 16 menegaskan bahwa Allah
amat dekat kepada manusia lebih dekat dari urat lehernya. Islam mangajarkan pula bahwa
hubungan Allah dengan manusia amat dekat, manuisa adalah makhluk Allah yang terhormat dan
mempunyai kedudukan yang utama di antara makhlukmakhluk Allah yang lain. Oleh karena itu untuk
berhubungan dengan Allah tidak memerlukan perantara apa dan siapapun juga.
Nabi mengajarkan juga, apabila seseorang menghadapi masalah penting dalam hidupnya di
dunia dan memerlukan keputusan yang tepat hendaklah ia melaksanakan salat sunnat dua raka’at
kemudian memanjatkan doa kepada Allah jika hal yang dilakukan akan mendatangkan kebaikan di
dunia dan kebaikan di akhirat dapat dimudahkan jalannya. Tetapi jika sebaliknya, mohon dijauhkan
dari yang diinginkan dan mohon diberikan ganti yang lebih baik.
A. Prinsip-Prinsip Ibadah