Anda di halaman 1dari 11

Nama : Prayudhi Jaya

NPM : F201430115
Mata Kuliah : Etika Administrasi
Nama Dosen : Dr Djaka Permana

Mengatasi Krisis Negarawan dan Gejala Korupsi


Oleh. Muhadam Labolo

Sebagai salah satu narasumber dalam berbagai workshop tentang wawasan


kebangsaan, dinamika demokrasi lokal dan politik pemerintahan, saya merasa perlu
mempercakapkan kembali soal krisis negarawan dan gejala korupsi di tengah hari jadi
Pancasila sebagai groundslaag berbangsa dan bernegara. Dibeberapa tempat digelar diskusi
yang bertajuk merindukan seorang negarawan, sebagian lagi mengutip dan menjadikannya
sebagai pengantar pidato. Sayangnya, perkara besar soal krisis negarawan tadi lahir dari
pemikiran sejumlah civil society, bukan tumbuh dari kesadaran pemerintah.
Gambaran demikian wajar saja, sebab tak ada pasien yang tau pasti apa jenis
penyakitnya meskipun ia mungkin merasa kurang sehat kecuali selesai di diagnosa dokter.
Itulah salah satu sebab mengapa saya berupaya hadir dalam berbagai undangan seminar
berbau politik, hukum, ekonomi dan sosial budaya, jawabannya hanya satu, untuk
mengetahui pasti apa penyakit yang diderita pemerintah sehingga mudah meracik resep bagi
tindakan penyembuhan dari yang ringan hingga paling kronis di jantung pemerintahan.
Sebagai ilmuan pemerintahan kita ibarat dokter, tugas kita adalah mendeteksi dimana gejala
tersebut dirasakan oleh segenap aktor pemerintahan baik di pusat maupun daerah. Jika
gejalanya hanya berlaku di bagian tertentu, maka terapi cukup dilakukan pada lingkup lokal
saja agar tak menular kemana-mana. Yang parah kalau penyakit yang diidap tepat mengena
di sentral syaraf kekuasaan, tentu saja kita membutuhkan peralatan extra canggih termasuk
dokter spesialis berpengalaman, tak boleh sekedar diantar ke dukun apalagi hanya ditangani
oleh tukang pijat refleksi bersertifikat dipinggiran jalan.
Kalau kondisi pemerintahan kita kronis atau dalam istilah medik koma, mestinya
ditangani serius dalam ruang gawat darurat, atau bukan mustahil mesti di amputasi agar tak
menjalar kebagian yang tak bersalah. Pemerintahan adalah struktur organisasi paling konkrit
dari sistem bernegara (Caporaso:1992). Sebagai sebuah organisme, maka pemerintahan dapat
saja tumbuh, berkembang dan collaps dikemudian hari. Sebab itu, jika pemerintah merasa
sedikit batuk dan pilek saat membangun komunikasi, maka sepatutnya dokter komunikasi
pemerintahan perlu mendiagnosis mengapa pemerintah gagap dan ragu ketika bicara soal
kebijakan bahan bakar atau apa saja yang menurutnya baik bagi kemaslahatan orang banyak.
Bila pemerintah merasa semua kebijakannya mengalami resistensi kuat di level akar rumput,
maka dokter kebijakan pemerintahan dan sosiologi pemerintahan selayaknya mengeluarkan
catatan urgen agar kebijakan segera diformulasikan kembali atau dikonsultasikan kepada para
pemetik manfaat di level terbawah yaitu masyarakat luas.
Sekiranya pemerintah merasa demam di sekujur tubuh manajemennya, maka dokter
manajemen pemerintahan perlu mengeluarkan memo supaya pola manajemen pemerintahan
yang tampak kusut selama ini mesti diperbaiki melalui reformasi birokrasi yang konsisten.
Kalau pemerintah merasa pusing-pusing di sekitar pelayanan administrasi, maka dokter
administrasi pemerintahan perlu secepatnya mengamputasi jenjang pelayanan yang berbelit-
belit agar efisien dan efektif dalam melayani kepentingan masyarakat. Jika pisau hukum
pemerintah tajam kebawah namun tumpul keatas, maka perlu dokter hukum pemerintahan
ditanya mengapa sistem bedah kita terasa kebal jika berhadapan dengan penyakit tertentu.
Bila politik kita gagal menyemai kebaikan bagi rakyat banyak, maka dokter politik
pemerintahan patut dipersoalkan cara kerjanya selama ini.
Sekali lagi, semua gejala tadi perlu di diagnosis, dianalisis, bahkan diteliti serius
dalam laboratorium pemerintahan agar resep dan formula yang dikeluarkan benar-benar paten
bukan sekedar generik. Dengan begitu maka para dokter yang selama ini bermeditasi di
kampus-kampus berlogo pemerintahan tak sekedar menjadi menara gading, rajin menguji
seperangkat teori namun kehilangan kompatibilitas dengan patologi birokrasi dan
pemerintahan yang menampilkan realitas buruk sehari-hari. Lewat penelitian, pengajaran dan
pemikiran solutif diberbagai kesempatan maka secara moral akademik kita bertanggungjawab
atas penderitaan yang dialami pemerintahan, bukan sekedar menikmati tunjangan dokter
spesialis tiap bulan. Inilah yang di sentil J.E. Sahetapy (2012) sebagai dosen plat merah,
kuning dan hitam. Apalagi jika hanya berdiam diri menunggu bertatap empat mata, tentu saja
selemah-lemahnya iman. Jelasnya pemerintah dirugikan sekaligus kehilangan produktivitas
negarawan. Dalam konteks inilah saya berpijak untuk mendiskusikan krisis negarawan kali
ini.
Sebagaimana pernah saya komunikasikan dengan beberapa kawan, negarawan adalah
sosok yang memiliki pandangan jauh kedepan (visioner), berpikir dan bertindak menurut
pertimbangan bangsa dan negara, serta rela menomorduakan kepentingan pribadi dan
golongan demi kepentingan rakyat banyak. Negarawan tidaklah mesti lahir dari pejabat
negara. Seorang negarawan lazimnya disebut setelah semua pengabdiannya dibuktikan
semasa hidup tanpa diminta, kecuali kita sendiri yang menghargainya seusai tutup usia. Sebut
saja di lingkup nasional antara lain Soekarno, Hatta, Agus Salim, Hasyim Asary, Syahrir atau
Jenderal Soedirman. Dilingkup jagad ada Muhammad Saw dan sekian tokoh lainnya. Mereka
yang berpikir luas tentang bagaimana mencapai kebaikan bagi semua unsur dalam negara
bagi saya adalah negarawan sekalipun tak pernah meniti karier dari jabatan sekretaris lurah.
Unsur negara yang dipikirkan berkaitan dengan kepentingan rakyat, pemerintah, tanah air dan
kedaulatan alias harga diri bangsa ini. Dengan dasar itu saya berpendapat bahwa negarawan
bisa lahir darimana saja. Kalau dia seorang guru, maka pikiran dan tindakannya pastilah
mewujud kedalam upaya mengubah anak didiknya menjadi generasi yang tidak saja cerdas
dan tangguh menghadapi realitas kehidupan, namun mampu memancarkan nilai-nilai luhur
seperti berkeyakinan kepada Tuhan, memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi, berkemampuan
mempersatukan perpecahan, demokratis, serta berkeadilan sosial bagi lingkungannya. Semua
kecakapan dan nilai tadi diharapkan mampu menjadi modal dalam bermasyarakat,
berpemerintahan, menjaga tanah air serta martabat bangsa dan negara. Jika ia seorang politisi,
maka cara berpikir dan bertindak merefleksikan makna politik sebagaimana pemahaman
Aristoteles, yaitu bagaimana semua aktivitas input dan output mampu menciptakan kebaikan
bersama (common goods), bukan kebaikan bagi segelintir orang atau bahkan kejahatan
kolektif yang direncanakan dalam bentuk projek untuk memperkaya diri seperti kita saksikan
diberbagai media.
Praktisnya, politisi cenderung memikirkan pemilu setiap lima tahun, sedangkan
negarawan memikirkan masa depan bangsa (Mangunwijaya:1977). Manakala ia lahir sebagai
seorang jenderal, maka cara berpikir dan bertindak bukanlah semata-mata menyelamatkan
anak buah dan korpsnya, tetapi berorientasi penuh bagi keselamatan bangsa dan negara.
Singkatnya, jika nilai tersebut kita letakkan pada posisi apapun yang kita geluti, apakah
kasubag, kabag, karo, rektor, anggota dewan, kepala desa, kepala daerah, menteri, presiden,
bahkan pengusaha yang sehari-hari mengurus projek di lembaga pemerintahan, maka gejala
korupsi yang mengalami endemi saat ini pastilah luntur dengan sendirinya. Bukankah gejala
korupsi merupakan indikasi yang paling mudah dipahami dari krisis negarawan sebagaimana
kita kuatirkan akhir-akhir ini. Gejala korupsi tentu saja musuh bebuyutan dari sifat
kenegarawanan, dimana cara berpikir dan bertindak terkesan berjarak sempit, elitik, egoistik,
sektoralistik, konsumtif, eklusif, pragmatik dan individualistik, jauh dari cara berpikir dan
bertindak bagi kemaslahatan bangsa dan negara. Simpelnya, korupsi adalah cara berpikir dan
bertindak pragmatis, bukan sebaliknya. Meskipun korupsi memiliki sisi positif dalam
mengeratkan relasi patron-clien sebagaimana pikiran konservatif Huntington (1992), namun
dalam tatanan sistem politik demokrasi sepertinya sisi tersebut tak mungkin kita toleransikan
untuk tumbuh dan berkembang sejak runtuhnya politik otoritarian yang menjadi sarang bagi
penyerbukan korupsi selama ini. Bagi saya, korupsi adalah gejala yang dapat tumbuh dimana-
mana, apakah dalam sistem politik demokrasi, otoriter, lebih-lebih totaliter. Saya perlu
mengingatkan bahwa korupsi bukanlah semata-mata milik sistem politik berdesain otoriter
atau totaliter yang alergi pengawasan, pada sistem politik demokrasi
boleh jadi korupsi menjadi semacam budaya yang terpelihara secara kolektif. Kalau
ciri sistem otoriter bersifat orang-perorang, maka dalam sistem demokrasi bisa jadi tumbuh
berdasarkan asas kekeluargaan dan kegotong-royongan. Semakin lemah pengawasan kita
terhadap gerak-gerik pemerintahan, semakin cepat pula ia tumbuh dan berkembangbiak
menjadi penyakit yang susah disembuhkan. Catatan ini sekaligus menjadi blue print untuk
mengkonfirmasi kembali makalah pemikir muda Yudi Latif yang disampaikan dalam orasi
tunggal oleh MIPI Award, 26 Mei 2012 di Hotel Borobudur. Lalu, bagaimanakah cara
mengatasi krisis negarawan dan gejala korupsi yang kini merambah hampir ke seluruh sum-
sum tulang pemerintahan? Sepintas kita menyadari bahwa gejala korupsi secara tak langsung
menghambat lahirnya negarawan. Atau mungkin sebaliknya, semakin tinggi beban korupsi
disekeliling kita barangkali pertanda datangnya ratu adil sekalipun mesti menderita dulu
selama masa yang tak ditentukan. Bukankah demikian sejarah mengajarkan pada kita, bahwa
kaum yang terdzolimi disuatu masa biasanya pasrah menunggu datangnya utusan Tuhan yang
akan membawa mereka ke periode yang lebih baik.
Namun seberapa lamakah penantian itu mesti dilakukan? Didepan sejumlah peserta
workshop saya selalu menjawab dengan optimisme bahwa sekalipun melahirkan negarawan
membutuhkan waktu lama bahkan mungkin seratus tahun kemudian, namun lewat lembaga
pendidikan berkualitas dimanapun kita berharap negarawan tadi dapat dilahirkan. Bukankah
kita percaya bahwa negarawan dapat dilahirkan dan dibentuk (was born and created).
Dilembaga dimana saya mengabdi, terlepas dari berbagai kekurangan yang disadari
sepenuhnya, kami tidak saja mengasah kecerdasan sebagaimana dilakukan oleh berbagai
perguruan tinggi ternama, namun kami menyempurnakannya dengan pembentukan sikap dan
keterampilan diatas nilai astabhrata. Kedelapan sendi kepemimpinan tadi kami aduk dalam
sistem pengajaran, pelatihan dan pengasuhan yang diharapkan bermuara pada relasi vertikal
dan horisontal sehingga berfaedah bagi dirinya dan lingkungan dimana mereka mengabdi. Ini
setaraf dengan tujuan hakiki pendidikan sebagaimana kata Dewey (1992). Kami percaya
bahwa dengan sedikit modal itu mereka mampu merawat dan mengembangkannya ketika
bersentuhan dengan lokalitas dimana mereka menjalankan sebagian misi yang dipancarkan
dari visi bangsa di titik pusat. Dengan modal itu pula kita semua berharap masyarakat dapat
melakukan seleksi secara fairness agar mereka sungguh-sungguh menjauhi korupsi, serta
menempa diri menjadi seorang negarawan sejati di kelak hari.
A.    Pengertian Korupsi
Istilah korupsi tentunya sudah bukan hal yang asing lagi ditelinga. Definisi sederhana
korupsi adalah "penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi." Definisi, dampak,
dan motivasi korupsi berbeda-beda. "Korupsi" melibatkan perilaku pihak para pejabat sektor
publik, baik politisi maupun pegawai negeri sipil. Mereka secara tidak wajar dan tidak sah
memperkaya diri sendiri atau orang yang dekat dengan mereka dengan menyalahgunakan
wewenang yang dipercayakan.
Menurut UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
korupsi merupakan tindakan memperkaya diri sendiri, penyalahgunaan wewenang dan
kekuasaan, memberi dan menjanjikan sesuatu kepada pejabat atau hakim, berbuat curang,
melakukan penggelapan, dan menerima hadiah terkait tanggung jawab yang dijalani.
Definisi lain dari korupsi yang paling banyak diacu, termasuk oleh World Bank dan
UNDP, adalah “the abuse of public office for private gain”. Dalam arti yang lebih luas,
definisi korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi atau
privat yang merugikan publik dengan cara-cara yang bertentangan dengan ketentuan hukum
yang berlaku
Berdasarkan dua definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa korupsi secara garis
besar dapat didefinisikan sebagai penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan publik yang
dilakukan oleh seseorang untuk kepentingan dan keuntungan diri sendiri maupun orang-orang
yang dekat dengannya.
Korupsi terjadi jika tiga hal terpenuhi, yaitu Seseorang memiliki kekuasaan termasuk
untuk menentukan kebijakan publik dan melakukan administrasi kebijakan tersebut, Adanya
economic rents, yaitu manfaat ekonomi yang ada sebagai sebab akibat kebijakan publik
tesebut, dan Sistem yang ada membuka peluang terjadinya pelanggaran oleh pejabat publik
yang bersangkutan. Apabila satu dari ketiga parameter ini tidak terpenuhi, tindakan yang
terjadi tidak bisa dikategorikan sebagai tindakan korupsiBerikut ini terdapat beberapa
tindakan yang bisa dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, antara lain sebagai berikut:
1.      Tindakan merugikan keuangan negara/pihak lain
Seseorang dianggap sudah merugikan keuangan negara atau pihak lain jika dia melakukan
perbuatan-perbuatan dengan tujuan memperkaya diri sendiri, golongan, atau pihak-pihak
tertentu dengan cara melawan hukum seperti menyalahgunakan wewenang atau
kedudukannya yang bisa merugikan keuangan negara atau pihak lain.
2.      Tindakan suap-menyuap
Tindakan penyuapan dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan keistimewaan atau
sesuatu di luar prosedur. Dan sebuah tindakan bisa dekategorikan sebagai penyuapan apabila
seseorang memberikan sesuatu atau janji kepada pihak tertentu dengan maksud untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang berkaitan dengan jabatannya.
3.      Melakukan penggelapan dalam jabatan
Dalam hal ini, penggelapan bukan saja berkaitan dengan uang. Sebuah tindakan bisa
dikategorikan sebagai penggelapan apabila secara sengaja menggelapkan atau membantu
orang lain untuk mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya, entah itu uang, barang atau
surat-surat berharga untuk kepentingan pribadi. Selain itu, pemalsuan data adminstrasi dan
penghancuran benda, akta, atau barang bukti juga bisa dikatakan sebagai penggelapan.
4.      Tindakan pemerasan
Pemerasan berarti tindakan seseorang meminta uang atau barang kepada pihak lain dengan
disertai ancaman, dan dapat dikatakan sebagai korupsi apabila dilakukan untuk keuntungan
diri sendiri atau golongannya, dilakukakn dengan melawan hukum, dan ada sejumlah uang
atau barang yang diminta sebelum ia menjalankan kewajibannya.
5.      Tindakan kecurangan
Dalam undang-undang, sebuah kecurangan bisa dikatakan sebagai bentuk tindakan korupsi
apabila dilakukan dengan sengaja, merugikan orang lain, membahayakan keselamatan pihak
lain, serta terjadi pembiaran terhadap kecurangan tersebut.
6.      Benturan kepentingan dalam pengadaan
Terkait dengan kasus korupsi, undang-undang secara spesifik mengerucutkan konflik
kepentingan (conflict of interest) hanya untuk masalah pengadaan barang karena selama ini
proses pengadaan barang kerap kali diwarnai tindakan-tindakan melanggar hukum sebagai
akibat dari adanya konflik kepentingan.
7.      Gratifikasi
Gratifikasi (pemberian hadiah) yang dilarang adalah gratifikasi yang berhubungan dengan
pekerjaan, jabatan atau tanggung jawab seseorang disertai maksud tertentu. Biasanya
pemberian gratifikasi bertujuan untuk melancarkan urusan, masalah atau kepentingan yang
sedang dimiliki oleh seseorang dengan aparat pemerintah
.
B.     Faktor Penyebab Korupsi
Pada hakikatnya, awal mula praktik korupsi di Indonesia sudah ada sejak zaman
penjajahan Belanda, sekitar tahun 1800-an yaitu pada masa VOC yang kemudian terus
berlanjut hingga masa setelah Indonesia merdeka. Pada masa Orde Baru, korupsi semakin
merajalela dikalangan penguasa di republik ini. Berbagai kasus korupsi menjerat para
pemegang kekuasaan publik, hal ini jugalah yang turut menjadi penyebab terjadinya
Reformasi 1998. Ini menandakan bahwa korupsi di Indonesia sudah berlangsung begitu lama
dan seolah tidak ada tindakan untuk memutus mata rantai korupsi.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka harus diketahui apa saja pokok permasalahan dan
faktor-faktor yang menyebabkan seorang pejabat publik atau aparat pemerintah melakukan
korupsi. Ada berbagai faktor yang menyebabkan seseorang melakukan korupsi, diantaranya
sebagai berikut :
1.      Rendahnya iman dan moral yang dimiliki seorang pemegang kekuasaan publik sehingga
mudah terpengaruh dan tergoda untuk melakukan praktik korupsi..
2.      Kurang tegasnya peraturan perundang-undangan menekan atau memberantas korupsi,
kolusi, dan nepotisme serta sanksi yang kurang tegas bagi pelaku KKN sehingga tidak
menimbulkan efek jera dan tidak mencegah munculnya koruptor-koruptor baru.
3.      Lemahnya pengawasan dan kontrol terhadap kinerja aparat negara sehingga memberikan
peluang korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
4.      Gaji yang relatif rendah.
Faktor inilah yang sering menjadi alasan utama seseorang melakukan korupsi, karena ia
menganggap bahwa gaji yang ia dapat belum cukup untuk mendapatkan kehidupan yang
berkecukupan. Selain itu, tingkat pendapatan juga dianggap tidak sebanding dengan tingkat
kebutuhan hidup yang semakin meningkat dan semakin kompleks.
5.      Rendahnya pengetahuan dan parisipasi masyarakat dalam hal kontrol kinerja aparat
pemerintahan serta kebijakan-kebijakan yang diambil, sehingga rentan penyelewengan
kekuasaan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
6.      Budaya korupsi yang sudah berkembang dimasyarakat.
Warisan budaya korupsi yang sudah ada sejak zaman kolonial yang terus berlanjut hingga
masa pasca Indonesia merdeka, bahkan hingga era reformasi menjadikan korupsi semakin
sulit untuk diberantas secara menyeluruh.
7.      Tidak adanya rasa nasionalisme dalam diri pejabat publik, dan lain-lain.
C.    Dampak Adanya Korupsi
Korupsi tentu saja menimbulkan dampak yang cukup besar bagi kelangsungan sebuah
bangsa dan negara. Dampak korupsi antara lain sebagai berikut :
1.      Berkurangnya kepercayaan publik terhadap pemerintah
Meningkatnya praktik korupsi yang dilakukan oleh aparat pemerintahan semakin
membuat publik (rakyat) tidak memberikan kepercayaan secara penuh kepada pemerintah.
Bahkan kepercayaan dari negara lain pun juga bisa berkurang terhadap pemerintah yang
sedang berkuasa di negara tersebut sebagai akibat dari maraknya kasus korupsi di kalangan
pemegang kekuasaan publiknya. Hal ini tentu akan membawa dampak yang cukup besar
terhadap pembangunan di segala bidang.
2.      Berkurangnya kewibawaan pemerintah.
Banyaknya aparat di pemerintahan yang melakukan korupsi membuat citra dan
kewibawaan pemerintah menjadi berkurang dan bahkan bisa menyebabkan rakyat bersikap
apatis terhadap peraturan-peraturan serta himbauan-himbauan yang diberikan pemerintah.
Hal ini tentu dapat mengganggu stabilitas keamanan dan ketahanan nasional.
3.      Kerugian negara dalam bidang ekonomi
Berbagai pendapatan negara yang sebagian besar berasal dari uang rakyat dan seharusnya
juga digunakan untuk menyejahterakan rakyat. Namun, pada kenyataannya uang rakyat
banyak yang digelapkan atau dikorupsi oleh pemegang kekuasaan publik.
8.      Menghambat laju pertumbuhan dan pembangunan ekonomi
Ketika sebuah negara memiliki catatan buruk pada kasus korupsi, maka hal tersebut akan
berpengaruh terhadap kepercayaan investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Dan akan berdampak buruk bagi kondisi perekonomian nasional.
Selain itu, birokrasi yang sulit dan lebih mengedepankan uang daripada profesionalisme dan
tanggung jawab sebagai birokrat juga menjadikan modal asing berpaling dari Indonesia dan
mengalihkan investasi ke negara yang lebih baik birokrasinya, dll.

D.    Cara Mencegah dan Memberantas Korupsi di Indonesia


Meskipun faktanya korupsi hampir tidak mungkin bisa diberantas secara menyeluruh,
namun setidaknya korupsi itu bisa ditekan agar di masa mendatang korupsi tidak semakin
membudaya dan semakin merusak moral para pejabat negara.
Maka dari itu, setelah dapat diketahui apa saja faktor-faktor yang menyebabkan
seorang pemegang kekuasaan publik melakukan korupsi serta dampak apa saja yang timbul
akibat korupsi di Indonesia, dapat dirumuskan beberapa cara untuk mencegah dan
menanggulangi adanya praktik korupsi.
Dalam hal ini, beberapa ahli memiliki sejumlah pandangan atau pendapat tentang
bagaimana cara menanggulangi korupsi.
Caiden (dalam Soerjono, 1980) memberikan langkah-langkah untuk menanggulangi
korupsi sebagai berikut :
a.       Membenarkan transaksi yang dahulunya dilarang dengan menentukan sejumlah
pembayaran tertentu.
b.      Membuat struktur baru yang mendasarkan bagaimana keputusan dibuat.
c.       Melakukan perubahan organisasi yang akan mempermudah masalah pengawasan dan
pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi penugasan, wewenang yang saling tindih
organisasi yang sama, birokrasi yang saling bersaing, dan penunjukan instansi pengawas
adalah saran-saran yang secara jelas diketemukan untuk mengurangi kesempatan korupsi.
d.      Bagaimana dorongan untuk korupsi dapat dikurangi dengan jalan meningkatkan ancaman.
e.       Korupsi adalah persoalan nilai. Nampaknya tidak mungkin keseluruhan korupsi dibatasi,
tetapi memang harus ditekan seminimum mungkin, agar beban korupsi organisasional
maupun korupsi sestimik tidak terlalu besar sekiranya ada sesuatu pembaharuan struktural,
barangkali mungkin untuk mengurangi kesempatan dan dorongan untuk korupsi dengan
adanya perubahan organisasi
Pada poin pertama pendapat Caiden diatas terlihat seperti tindakan yang melegalkan
pungutan-pungutan yang dilakukan oleh pemerintah, namun dalam konteks ini, pungutan
yang diterapkan sudah berlandaskan aturan resmi untuk kebaikan bersama dan
menghilangkan kemungkinan adanya pungutan-pungutan liar. Namun, disisi lain apabila
tidak diadakan kontrol maksimal, cara ini bisa dimanfaatkan saja oleh oknum-oknum yang
tidak bertanggung jawab untuk mendapatkan keuntungan bagi diri sendiri dan orang-orang
disekitarnya..
Sedangkan, Kartono (1983) menyarankan penanggulangan korupsi sebagai berikut :
1.      Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi
politik dan kontrol sosial, dengan bersifat acuh tak acuh.
2.      Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan nasional.
3.      Para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak korupsi.
4.      Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum tindak
korupsi.
5.      Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui penyederhanaan jumlah
departemen, beserta jawatan dibawahnya.
6.      Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan bukan
berdasarkan sistem “ascription”.
7.      Adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi kelancaran administrasi
pemerintah.
8.      Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur
9.      Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi,
dibarengi sistem kontrol yang efisien.
10.  Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok dengan
pengenaan pajak yang tinggi.

Dari dua pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa cara yang cukup
efektif untuk menanggulangi korupsi, natara lain :
1.      Merestrukturisasi organisasi di berbagai sektor pemerintahan sehingga bisa memudahkan
dalam pengawasan/kontrol terhadap kinerja aparat pemerintahan.
2.      Meningkatkan kesejahteraan pegawai sehingga bisa mengurangi dorongan untuk
melakukan korupsi
3.      Penegakan hukum secara tegas dengan menerapkan peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang korupsi, kolusi, dan nepotisme. Selain itu, pemberian sanksi pidana
maupun sanksi sosial yang bisa memberikan efek jera sekaligus bisa memberikan peringatan
bagi aparatur negara lainnya agar tidak melakukan korupsi.
4.      Meningkatkan kesadaran seluruh elemen bangsa untuk turut berpartisipasi dalam
melakukan kontrol sosial serta pengawasan kinerja pemegang kekuasaan publik serta
memaksimalkan fungsi media massa sebagai agen untuk mengontrol kinerja pemerintahan.
5.      Menciptakan pemerintahan yang bersih, jujur, dan terbuka.
Hal ini bisa dimulai dengan perekrutan pegawai baru berdasarkan keahlian dan menghapus
jalur-jalur ilegal (suap dan nepotisme) sehingga kedepan organisasi kepemerintahan bisa
lebih baik.
6.      Pencatatan kekayaan aparatur negara secara berkala sehingga bisa diketahui apabila ada
aparatur negara yang mempunyai kekayaan yang tidak wajar.
7.      Menanamkan rasa nasionalisme sejak dini, serta memberikan pendidikan tentang dampak
yang ditimbulkan akibat korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta membangun karakter generasi
penerus bangsa yang berkarakter Pancasila.

Anda mungkin juga menyukai