Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

REPOSISI PERTANIAN DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL PARADIGMA


PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN
DOSEN PENGAMPU:

OLEH:
Fahrul Reza (12280113781)
Felin fadilla (12280121314)
Arif fadillah (12280113706)
Dika amin f (12280113259)
Ramadhan sukoyo (12280115769)
Khoirunnisa damanik ( 12280125749 )

KELAS : D
JURUSAN PETERNAKAN
FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN UIN SUSKA RIAU
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga Kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik
mungkin. Makalalah “ Reposisi pertanian dalam pembangunan nasinonal,paradigma pertanian
untuk pembangunan.”
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna, baik
dari segi penyusunan, bahasa, ataupun penulisannya. Oleh karena itu Kami mengharapkan kritik
dan saran yang sifatnya membangun. Kami berharap, semoga makalah ini memberikan informasi
bagi para pelajar dan bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Tidak ada yang membenarkan hakekat sebuah kebenaran, karna semua kebenaran hanya
milik Allah SAW.
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................
KATA PENGANTAR.........................................................................................
DAFTAR ISI........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................
A. Latar belakang.......................................................................................................
B. Rumusan Masalah.................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................
A. Sistem dan proses Perencanaan nasional .............................................................
B. Perencanaan Pembangunan Pertanian ..................................................................
C. Paradoks kebijakan,program dan anggaran pembangunan....................................
D.Reposisi perencanaan pembangunan pertanian......................................................

BAB III PENUTUP..............................................................................................


A. Kesimpulan....................................................................................................
B. Daftar Pustaka................................................................................................

BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Peranan sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi sangat penting karena


sebagian besar anggota masyarakat di negara-negara miskin menggantungkan
hidupnya pada sektor tersebut. Jika para perencana dengan sungguh-sungguh
memperhatikan kesejahteraan masyarakatnya, maka satu-satunya cara adalah dengan
meningkatkan kesejahteraan sebagian besar anggota masyarakatnya yang hidup di
sektor pertanian. Peran pertanian sebagai tulang punggung perekonomian nasional
terbukti tidak hanya pada situasi normal, tetapi terlebih pada masa krisis.
Dalam pengembangan sektor pertanian di negara kita, kita tidak bisa begitu saja
menutup mata dan mengabaikan setiap kendala yang terjadi karena dalam setiap
usaha pasti menemui batu kerikil yang menjadi penghambat dalam kemajuan. Begitu
pula yang kita lihat pada sektor pertanian di Indonesia banyak sekali kendala atau
faktor yang menjadi penghambat dalam pengembangan sektor pertanian misalnya
seperti ketersediaan lahan, keterbatasan modal, kondisi iklim yang kurang
mendukung dan lain-lain. Perlu kita kaji demi penemuan solusinya dalam penuntasan
masalah tersebut.

B. RUMUSAN MASALAH
b. Perencanaan Pembangunan Pertanian
c. Paradoks kebijakan,program dan anggaran pembangunan
d.Reposisi perencanaan pembangunan pertanian
a. Sistem dan proses Perencanaan nasional
e.Paradigma Pertanian untuk pembangunan

BAB II
PEMBAHASAN
Fakta menunjukkan bahwa peran dan intervensi Pemerintah masih tetap dibutuhkan
meskipun dinegara maju dan penganut mekanisme pasar. Peran dan intervensi diperlukan dalam
rangka peningkatan layanan publik melalui penerapan berbagai kebijakan terutama kebijakan
makro dan mikro ekonomi dan kebijakan lainnya. Sebagai negara yang terus membangun,
kegiatan pembangunan Indonesia juga memerlukan campur tangan pemerintah dalam
mengarahkan kegiatan pembangunannya. Campur tangan pemerintah tersebut berkaitan dengan
peran pemerintah sebagai regulator, fasilitator dan dinamisator.

Sebagai regulator, pemerintah berperan mengatur pelaksanaan pembangunan melalui


pembuatan aturan/regulasi, melaksanakan dan mengawasinya agar kegiatan pembangunan
berjalan sesuai dengan semestinya. Pemerintah perlu menjaga dan mengarahkan agar sistem
perekonomian Indonesia berjalan dengan baik dan benar sesuai yang diinginkan, dan untuk itu
diperlukan pengaturan dari pemerintah. Pemerintah juga berperan sebagai fasilitator agar dalam
kegiatan pembangunan berjalan mampu mendayagunakan seluruh potensi nasional. Fasilitasi
pemerintah tersebut antara lain dalam bentuk intervensi melalui kegiatan-kegiatan yang dibiayai
oleh pemerintah dalam kegiatan penyediaan barang dan layanan publik, dan kegiatan atau
prakarsa strategis. Dalam perannya sebagai dinamisator, pemerintah berperan menciptakan
kondisi dinamis agar seluruh masyarakat dapat terlibat secara aktif dalam kegiatan pembangunan
melalui pemberdayaan masyarakat dan keberpihakan. Agar peran pemerintah dapat disusun
sesuai dengan kebutuhan diperlukan adanya penyusunan perencanaan nasional. Penjabaran peran
pemerintah tersebut juga harus sejalan dengan amanat UUD 1945 pasal 33 yang menyebutkan
bahwa negara menguasai bumi serta kekayaan alam yang dikandung didalamnya, serta cabang-
cabang produksi yang penting bagi negara dan bagi hajat hidup orang banyak. Dalam rangka
pencapaian tujuan pembangunan tersebut, amanat UUD 1945 juga berarti mengamanatkan
kepada Pemerintah agar secara aktif dan langsung menciptakan sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.

Pentingnya peran pemerintah dalam menyusun perencanaan juga berkaitan dengan


penyesuaian terhadap dinamika lingkungan strategis domestik dan global. Dinamika lingkungan
global berkaitan dengan globalisasi yang menjadikan adanya persaingan antar negara.
Dilingkungan domestik, dinamika pembangunan dihadapkan kepada reformasi pembangunan
yang mengarah kepada otonomi daerah dan transparansi, akuntabilitas, partisipasi, bebas KKN,
pelayanan publik yang
lebih baik. Pada kondisi terjadinya dinamika lingkungan strategis global dan domestik tersebut,
pembangunan pertanian dihadapkan kepada tantangan pemenuhan kebutuhan pangan dan energi,
upaya pengentasan kemiskinan dan menjaga keberlanjutan lingkungan. Adanya dinamika yang
cepat di lingkungan tersebut menuntut adanya dinamika dalam kebijakan dan pelaksanaan
pembangunan pertanian, dan untuk itu pula dibutuhkan perencanaan pembangunan yang
responsip terhadap dinamika tersebut. Perencanaan merupakan bagian penting dari managemen
pembangunan, sehingga perencanaan yang baik merupakan prasyarat keberhasilan pelaksanaan
dan hasil pelaksanaan yang baik.
Perencanaan merupakan usaha yang dengan sadar dilakukan pemerintah untuk pencapaian
tujuan pembangunan melalui berbagai instrumen kebijaksanaan. Perencanaan adalah suatu
proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan dengan
memperhatikan sumberdaya yang tersedia. Perencanaan juga dapat dikatakan sebagai teknik atau
cara untuk mencapai tujuan dan sasaran tertentu yang telah ditetapkan. Perencanaan
pembangunan dimaksudkan untuk menimbulkan dan kemudian menjamin berlangsungnya
pembangunan secara kontinu (terus-menerus). Hal itu hanya dapat terjadi apabila di dalam usaha
perencanaan tersebut, faktor-faktor strategis dari pembangunan telah benar-benar dikuasai.
Selanjutnya dikatakan perencanaan pada asasnya berkisar pada dua hal, yaitu penentuan pilihan
secara sadar mengenai tujuan kongkrit yang hendak dicapai dalam jangka waktu tertentu atas
dasar nilai yang dimiliki masyarakat yang bersangkutan; dan pilihan-pilihan di antara cara-cara
alternatif yang efisien serta rasional guna mencapai tujuan-tujuan tersebut.

Todaro (1983) menyatakan bahwa perencanaan ekonomi bisa diartikan dengan suatu usaha
pemerintah yang sungguh-sungguh untuk mengkoordinasikan semua keputusan ekonomi dalam
jangka panjang dan untuk mempengaruhi secara langsung dan dalam beberapa hal bahkan
mengendalikan tingkat dan pertumbuhan variabel ekonomi yang penting dalam rangka usaha
untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan. Selanjutnya Todaro juga mengemukakan proses
perencanaan itu sendiri bisa diartikan sebagai suatu latihan bagi pemerintah, pertama untuk
memilih tujuan-tujuan, kemudian menyusun berbagai target, dan akhirnya mengorganisir suatu
kerangka kerja untuk diimplementasi, dikoordinasi dan memonitor rencana pembangunan
tersebut. Selanjutnya Bintoro T. (1995) mengemukakan perencanaan pembangunan adalah suatu
pengarahan penggunaan sumber-sumber pembangunan (dengan segala keterbatasannya) untuk
mencapai tujuan keadaan sosial ekonomi yang lebih baik secara lebih effisien dan efektif.
Rencana pembangunan juga merupakan hasil dari proses politik (public choise theory of
planning) khususnya penjabaran visi- misi kepala pemerintahan/daerah terpilih.
Dalam perencanaan pembangunan, minimal ada aspek pokok yang perlu mendapat perhatian,
yaitu, yaitu : (a) permasalahan-permasalahan pembangunan suatu negara atau masyarakat yang
dikaitkan dengan sumber-sumber pembangunan yang dapat diusahakan, dalam hal ini sumber-
sumber daya ekonomi dan sumber- sumber daya lainnya, (b) tujuan serta sasaran rencana yang
ingin dicapai, (c)
kebijakan dan cara untuk mencapai tujuan dan sasaran rencana dengan melihat penggunaan
sumber-sumbernya dan pemilihan alternatif-alternatifnya yang terbaik,(d) penterjemahan dalam
program-program atau kegiatan-kegiatan usaha (proyek) yang konkrit, dan (e) jangka waktu
pencapaian tujuan.
Makalah ini akan mereview dari sistem dan proses perencanaan pembangunan pertanian yang
berjalan, melakukan analisis kritis terhadap sistem dan proses perencanaan pembangunan
tersebut, dan selanjutnya memberikan saran alternatif penyempurnaan perencanaan kedepan
dikaitkan dengan dinamika lingkungan strategis yang terjadi.
A.SISTEM DAN PROSES PERENCANAAN NASIONAL
Perekonomian yang maju dianggap sebagai tolak ukur untuk kemajuan suatu
bangsa/negara. Perekonomian yang maju dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan
masyarakatnya. Sejalan dengan itu, semenjak negara Republik Indonesia berdiri, kegiatan
pembangunan ekonomi menjadi prioritas utama pembangunan. Dalam melaksanakan kegiatan
pembangunan, dilakukan penyusunan perencanaan pembangunan sebagai petunjuk arah bagi
pelaksanaan pembangunan.
Pada masa Orde Lama, strategi pembangunan nasional didasarkan atas pendekatan
perencanaan pembangunan yang lebih menekankan pada usaha pembangunan politik, hal ini
sesuai dengan situasi saat itu yaitu masa perjuangan fisik untuk mempertahankan kemerdekaan
nasional sehingga terjadi kendala dalam pelaksanaan pembangunan sebagaimana mestinya.
Upaya untuk membangun secara terencana dilakukan, dimulai dengan disusunnya perencanaan
beberapa sektor ekonomi pada tahun 1947, yang diberi nama Plan Produksi Tiga Tahun RI, yaitu
perencanaan bidang-bidang pertanian, peternakan, perindustrian dan kehutanan, untuk tahun
1948, 1949, dan 1950. Selanjutnya pada tahun 1952 dimulai usaha-usaha perencanaan yang lebih
bersifat menyeluruh, dengan fokus kepada tetap sektor publik, dan akhirnya pada tahun 1956-
1960 telah berhasil disusun suatu Rencana Pembangunan Lima Tahun.
Pada periode 1959-1967, MPR Sementara (MPRS) menetapkan sedikitnya tiga ketetapan
yang menjadi dasar perencanaan nasional yaitu: (1) TAP MPRS No.I/MPRS/1960 tentang
Manifesto Politik republik Indonesia sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara, (2) TAP MPRS
No.II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana
1961-1969, dan (3) Ketetapan MPRS No.IV/MPRS/1963 tentang Pedoman-Pedoman
Pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan. Atas dasar ketiga
ketetapan tersebut disusun Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana, yang meliputi
jangka waktu 8 tahun inl terbagi atas rencana tahapan 3 dan 5 tahun. Masa orde baru berjalan
pada periode tahun 1968-1998. Pada periode tersebut pembangunan nasional telah didasarkan
kepada ketetapan Garis-Garis Besar
Haluan Negara (GBHN) yang disusun dan ditetapkan oleh MPR. GBHN sebagai pola umum
Pembangunan Nasional Indonesia berdasarkan pendekatan perencanaan pembangunan bangsa.
Pelaksanaannya dilaksanakan secara bertahap melalui Repelita- repelita sebagai perencanaan
pembangunan jangka menengah. Dalam pola umum pembangunan nasional juga telah pula
disusun cara pelaksanaannya secara lebih operasional yaitu melalui sistem perencanaan tahunan
dan mekanisme APBN. Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama (Repelita I) disusun dan
dimulai pelaksanaannya sejak 1 April 1969, diikuti dengan Repelita selanjutnya.
Program stabilisasi dan rehabilitasi ekoromi pembagunan sejak Orde Baru berpangkal pada
pendekatan nasional dalam kerangka: (1) Jangka panjang, melalui mendekatan pembangunan
bangsa yang berdasarkan pada pendekatan pembangunan secara utuh dan terpadu (unified dan
integratif) antara berbagai aspek kehidupan masyarakat, dan (2) Jangka menengah: pendekatan
pembangunan ekonomi dan sosial dengan lebih bertitik berat pada pembangunan sektor
pertanian dan pengembangan sektor sosial serta kelembagaan menuju kesejahteraan dan keadilan
sosial.
GBHN menjadi landasan hukum perencanaan pembangunan bagi presiden untuk
menjabarkannya dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita), proses
penyusunannya sangat sentralistik dan bersifat Top-Down, dan disusun oleh lembaga
perencanaan pusat Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Proses
penyusunan rencana pembangunan yang dilakukan cenderung kepada proses teknokratik, yaitu
teknokrat yang dinilai profesional menyusun rencana pembangunan sesuai dengan keahliannya
dengan berbekal pengetahuan yang dimiliki. Agregat dari kebutuhan masyarakat dianalisis oleh
profesional dan menghasilkan perspektif akademis pembangunan (proses teknokratik dalam
perencanaan). Proses perencanaan dilakukan melalui mekanisme planning.
Lembaga/departemen/daerah menyusun rencana pembangunan sesuai dengan wewenang dan
fungsinya. Proses dan ini dilaksanakan dengan tujuan antara lain menyelaraskan program-
program untuk menjamin adanya sinergi/konvergensi dari semua kegiatan pemerintah dan
masyarakat. Penyelarasan rencana-rencana lembaga pemerintah dilaksanakan melalui
musywarah perencanaan yang dilaksanakan baik di tingkat pusat, propinsi, maupun
kabupaten/kota.
Dalam sistem perencanaan nasional, pertemuan antara perencanaan yang bersifat dan diwadahi
dalam musyawarah perencanaan. Dimana perencanaan makro yang dirancang pemerintah pusat
disempurnakan dengan memperhatikan masukan dari semua dan selanjutnya digunakan sebagai
pedoman bagi daerah-daerah dan lembaga-lembaga pemerintah menyusun rencana kerja. Dalam
mekanisme ini, pemerintah Daerah dan masyarakat sebagai subjek utama out-put perencanaan
kurang dilibatkan secara aktif. Perencanaan dibuat secara seragam, daerah harus mengacu
kepada perencanaan yang dibuat oleh pemerintah pusat. Inovasi dan kreatifitas daerah dalam
memajukan dan mensejahterakan masyarakatnya rendah. Dalam pelaksanaan strategi
pembangunan tersebut telah banyak dicapai kemajuan-kemajuan yang berarti, namun dernikian
juga masih kelihatan bahwa banyak tujuan yang mendasar masih jauh dari terwujud. Bahkan
mungkin ada arah pelaksanaan yang beium sesuai dengan yang dikehendaki dengan amanat
UUD.
Pada era Reformasi, instrumen dokumen perencanaan pembangunan nasional yang dimiliki oleh
bangsa Indonesia sebagai acuan utama dalam memformat dan menata sebuah bangsa, mengalami
dinamika sesuai dengan dinamika politik. Periode 1998-2000 merupakan periode perubahan
dramatis dalam perencanaan pembangunan Indonesia. Dapat dikatakan dalam periode tersebut
tidak ada dokumen perencanaan pembangunan nasional yang dapat dijadikan pegangan dalam
pembangunan bangsa, bahkan pada saat itu terjadi wacana pembubaran lembaga Perencanaan
Pembangunan Nasional, karena diasumsikan lembaga tersebut tidak efisien dan efektif lagi
dalam konteks reformasi. UUD 1945 yang merupakan landasan konstitusional penyelenggaraan
negara, dalam waktu relatif singkat (1999-2002), telah mengalami 4 (empat) kali perubahan.
Telah terjadi perubahan dalam pengelolaan pembangunan, yaitu: (1) penguatan kedudukan
lembaga legislatif dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/APBN (UU
Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, (2) ditiadakannya Garis-Garis Besar Haluan
Negara (GBHN) sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan nasional; dan (3)
diperkuatnya otonomi daerah dan desentralisasi pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia (UU Nomor 22/1999 dan UU Nomor 25/1999 yang telah diganti dengan UU Nomor
32/2004 dan UU Nomor 33/2004).
Proses perencanaan mengarah kepada proses politik, dimana program pembangunan
ditawarkan sejak masa kampanye pemilu/pemilukada oleh calon presiden/kepala daerah. Apabila
program yang ditawarkan sesuai dengan keinginan mayoritas masyarakat banyak maka calon
dapat terpilih. Dengan demikian pelaksanaan kegiatan pembangunan dilakukan sesuai kontrak
politik sesuai dengan janji rencana pada saat kampanye, sehinggga dalam proses perencanaan
pendekatan politis lebih menonjol.
Haluan Negara Tahun 1999-2004 berbeda dengan GBHN-GBHN sebelumnya, dimana pada
haluan negara tahun 1999-2004 ini MPR menugaskan Presiden dan DPR untuk bersama-sama
menjabarkannya dalam bentuk Program Pembangunan Nasional (Propenas) dan Rencana
Pembangunan Tahunan (Repeta) yang memuat APBN, dan kemudian dituangkan dalam Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional 2000-2004. Propenas
menjadi acuan bagi penyusunan rencana pembangunan tahunan (Repeta), yang ditetapkan tiap
tahunnya sebagai bagian Undang-Undang tentang APBN. sedangkan Propeda menjadi acuan
bagi penyusunan Rencana Pembangunan Tahunan Daerah (Repetada).
Upaya mengembalikan dan memperkuat peran perencanaan dilakukan pemerintah (Bappenas)
melalui penyusunan UU nomor 25 tentang Sistem Perencanan Pembangunan Nasional.
Dokumen perencanaan pembangunan nasional yang terdiri dari atas perencanaan pembangunan
yang disusun secara terpadu oleh kementerian/lembaga dan perencanaan pembangunan oleh
pemerintah daerah sesuai dengan kewenanganya. Lahirnya UU tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional ini, setidaknya dapat memberikan kejelasan hukum dan arah tindak
dalam
proses perumusan perencanaan pembangunan nasional. RPJP, RPJM, RKP secara model dan
mekanisme perumusannya identik dengan program jangka panjang, Rencana Pembangunan Lima
Tahun (Repelita) pada masa Orde Baru. Dalam kondisi demikian terjadi penggabungan
penyusunan perencanaan antara proses teknokratik dan proses politik.
Undang-Undang tentang sistem perencanaan pembangunan nasional menetapkan adanya
dokumen-dokumen perencanaan yaitu: (1) Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP)
dengan periode 20 (dua puluh) tahun, (2) Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
dengan periode 5 (lima) tahun, dan (3) Rencana Pembangunan Tahunan yang disebut dengan
Rencana Kerja Pemerintah dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKP dan RKPD) untuk
periode 1 (satu) tahun. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional merupakan
penjabaran dari tujuan dibentuknya pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam bentuk visi,
misi, dan arah pembangunan Nasional. Sedangkan RPJP Daerah memuat visi, misi, dan arah
pembangunan Daerah yang mengacu pada RPJP Nasional.
Rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) atau rencana lima tahunan terdiri atas
rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) dan rencana pembangunan jangka
menengah daerah atau RPJMD (UU No 17/2007). Rencana pembangunan jangka menengah
sering disebut sebagai agenda pembangunan karena menyatu dengan agenda Pemerintah yang
berkuasa. Agenda pembangunan lima tahunan memuat program-program, kebijakan, dan
pengaturan yang diperlukan yang masing-masing dilengkapi dengan ukuran RXWFRPH hasil
yang akan dicapai. Selain itu, secara sektoral terdapat pula Rencana Strategis atau Renstra di
masing-masing kementerian/departemen atau lembaga pemerintahan nondepartemen serta
renstra pemerintahan daerah yang merupakan gambaran RPJM berdasarkan sektor atau bidang
pembangunan yang ditangani. RPJM Nasional merupakan penjabaran dari visi, misi, dan
program Presiden yang penyusunannya berpedoman pada RPJP Nasional, yang memuat strategi
pembangunan Nasional, kebijakan umum, program Kementerian/Lembaga dan lintas
Kementerian/Lembaga, kewilayahan dan lintas kewilayahan, serta kerangka ekonomi makro
yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal
dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat
indikatif. Penjabaran dari UU N0 17/2007 dituangkan dalam produk turunannya seperti PP No
20/ 2004 DAN pp 21 /2004 tentang Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian; PP No 39/2006
tentang Tatacara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan; PP No 40 /
2006 tentang Tatacara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional; PP No 38/ 2007 tentang
pembagian urusan pemerintah antar pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten dan
Kota; PP No 8 tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi
Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah; Dan Perpres No 5 Tahun 2010 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014

Sedangkan RPJM Daerah merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Kepala Daerah
yang penyusunannya berpedoman pada RPJP Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional,
memuat arah kebijakan keuangan Daerah, strategi pembangunan Daerah, kebijakan umum, dan
program Satuan Kerja Perangkat Daerah, lintas Satuan Kerja Perangkat Daerah, dan program
kewilayahan disertai dengan rencana-rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka
pendanaan yang bersifat indikatif. Selanjutnya Renstra Kementerian dan Lembaga memuat visi,
misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan sesuai dengan tugas dan
fungsi Kementerian/Lembaga yang disusun dengan berpedoman pada RPJM Nasional dan
bersifat indikatif. Sedangkan Renstra Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) memuat visi, misi,
tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan yang disusun sesuai dengan
tugas dan fungsi Satuan Kerja Perangkat Daerah serta berpedoman kepada RPJM Daerah dan
bersifat indikatif.
Rencana pembangunan tahunan disebut sebagai Rencana Kerja Pemerintah (RKP). RKP
merupakan penjabaran dari RPJM Nasional, memuat prioritas pembangunan, rancangan
kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk
arah kebijakan fiskal, serta program Kementerian/Lembaga, lintas Kementerian/Lembaga,
kewilayahan dalam bentuk kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
Sedangkan RKPD merupakan penjabaran dari RPJM Daerah dan mengacu pada RKP, memuat
rancangan kerangka ekonomi Daerah, prioritas pembangunan Daerah, rencana kerja, dan
pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah maupun yang ditempuh
dengan mendorong partisipasi masyarakat. RKP dan RKPD tersebut merupakan acuan dalam
penyusunan anggaran sebagaimana diamanatkan dalam UU 17/ 2003.
Seiring dengan penerapan UU No 22 Tahun 1999 dan diperbaharui dalam UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No. 25 Tahun 1999 dan UU Nomor 33
Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (otonomi daerah)
maka peran daerah menjadi sangat penting artinya bagi upaya meningkatkan peran serta dan
kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Berdasarkan UU No 22/1999 tersebut, otonomi daerah
adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan
kata lain bahwa otonomi daerah memberikan keleluasaan daerah untuk mengatur urusan rumah
tangganya sendiri, termasuk bagaimana suatu daerah melakukan perencanaan pembangunan di
daerahnya masing-masing. Dalam penyelenggaraan pembangunan daerah, perencananaan bukan
saja sangat diperlukan, melainkan juga sebagai kewajiban yang diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan. Pentingnya daerah menyusun perencanaan juga diatur dalam pasal 1 angka
1 UU 24 tahun 2004. Dikatakan bahwa perencanaan suatu proses untuk menentukan tindakan
masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang
tersedia.

Sejalan dengan semangat otonomi daerah tersebut, maka pola penyusunan perencanaan
pembangunan dilakukan melalui pola perencanaan pembangunan partisipatif. Perencanaan
pembangunan partisipatif merupakan pola pendekatan perencanaan pembangunan yang
melibatkan peran serta masyarakat pada umumnya bukan saja sebagai obyek tetapi sekaligus
sebagai subyek pembangunan, sehingga nuansa yang dikembangkan dalam perencanaan
pembangunan benar-benar dari bawah. Pemikiran perencanaan partisipatif diawali dari kesadaran
bahwa kinerja sebuah prakarsa pembangunan masyarakat sangat ditentukan oleh semua pihak
yang terkait dengan prakarsa tersebut. Sejak dikenalkannya model perencanaan partisipatif,
istilah menjadi sangat meluas dan akhirnya dianggap sebagai idiom model ini. Perencanaan
partisipatif berangkat dari keyakinan bahwa keberhasilan program-program pembangunan
ditentukan oleh komitmen semua dan komitmen ini didapat dari sejauh mana mereka terlibat
dalam proses perencanaan program tersebut.
Sistem perencanaan partisipatip juga dinilai sebagai wahana pembelajaran demokrasi yang
sangat baik bagi masyarakat melalui terbangunnya forum-forum musyawarah yang melibatkan
semua unsur warga masyarakat mulai dari level RT (Rukun Tetangga), RW (Rukun Warga),
Kelurahan, Kecamatan, sampai Kota. Dengan proses perencanaan partisipatif diharapkan akan
tumbuh rasa ikut memiliki bagi stakeholders terhadap kinerja pembangunan, yang kemudian
diharapkan meningkatkan efektivitas sekaligus efisiensi pelaksanaan kegiatan. Selanjutnya
perencanaan tersebut juga diharapkan tetap dapat menampung sasaran- sasaran perencanaan
yang bersifat makro yang ditetapkan oleh Pusat, sehingga sistem perencanaan yang serasi antara
dapat diwujudkan.
Dalam sistem perencanaan pembangunan nasional, perencanaan partisipatif diwujudkan melalui
musyawarah perencanaan. Dalam musyawarah ini, sebuah rancangan rencana dibahas dan
dikembangkan bersama semua pelaku pembangunan Pelaku pembangunan berasal dari semua
aparat penyelenggara negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), masyarakat, dunia usaha,
kelompok profesional, organisasi-organisasi non-pemerintah, dan lain-lain. Pada kondisi ini,
maka sistem perencanaan merupakan perpaduan antara proses teknokratik, politis dan
partisipatif.

B.PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN


Pada masa orde lama, kebijakan pembangunan pertanian diprioritaskan kepada
peningkatan produksi pertanian dalam rangka pencapaian kecukupan pangan dan ekspor.
Perhatian terhadap pencapaian kecukupan pangan pada era orde lama ini terungkap dari pidato
presiden Sukarno dalam acara peletakan batu pertama Gedung fakultas Pertanian UI di Bogor
tahun 1952. Presiden Sukarno mengemukakan bahwa masalah pangan atau makanan benar benar
merupakan masalah mendesak, sedemikian mendesaknya sehingga beliau menggunakan istilah
“antara hidup dan196 Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian mati”.
Meskipun saat itu belum mengalami kerawanan pangan yang berarti, namun kondisi pangan
yang masih impor membayangi ketakutan akan kecukupan dan kerawanan pangan mendatang
terutama berkaitan dengan jumlah penduduk yang terus meningkat. Untuk itu sejak awal
presiden sukarno telah mengingatkan pentingnya peningkatan produksi dan pencapaian
swasembada pangan.
Era Orde Lama juga bersamaan dengan era revolusi hijau di bidang pertanian. Implementasi
Revolusi Hijau dituangkan dalam program-program intensifikasi seperti program Kasimo pada
tahun 1952, Padi Sentra tahun 1959, dan program penyuluhan massal 1963 (Mears dan Moeljono
1986; Suryana dan Swastika 1997). Tekat pemerintah untuk swasembada tercermin pula dari
didirikannya Badan Produksi Bahan Makanan dan Pembukaan Tanah (BPMT) tahun 1958 dan
pencanangan program Padi Sentra tahun 1959. Sejalan dengan itu, untuk menggerakkan
partisipasi petani dibentuk KOGM (Komando Operasi Gerakan Makmur-Inpres I/1959) yang
dipimpin Presiden di tingkat Pusat dan Kepala Daerah di daerah. Pada era Orde Lama tersebut
secara jelas telah ada kebijakan politik dan diikuti oleh program-program terstruktur dalam
rangka mencapai swasembada pangan, terutama beras, dan rancangan pembangunan pertanian
diarahkan kepada tujuan peningkatan produksi dan pencapaian swasembada pangan melalui
perluasan area tanam dan intensifikasi /peningkatan produktivitas.
Pada era orde baru, perencanaan pembangunan nasional termasuk pembangunan pertanian
terprogram dengan baik sejalan dengan disusunnya Garis Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
dan dituangkan dalam pembangunan lima tahunan (Pelita). Dalam GBHN, pembangunan
nasional diarahkan kepada trimatra pembangunan (stabilitas, pertumbuhan ekonomi,
pemerataan). Dalam Pelita I (1 april 1969 – 30 maret 1974) urutan prioritas pembangunan adalah
stabilitas, pertumbuhan ekonomi, pemerataan. Dalam periode ini sektor pertanian menjadi
prioritas utama pembangunan nasional dengan fokus kepada pencapaian swasembada pangan
terutama beras. Dalam implementasinya pelaksanaan pembangunan pertanian juga dilakukan
melalui pendekatan trimatra pembangunan pertanian, yaitu wilayah terpadu, komoditi terpadu,
usahatani terpadu.
Keinginan dan tekat swasembada yang diwariskan pada masa orde Lama, dilanjutkan oleh
pemerintah pada era Orde Baru secara lebih serius dan terencana. Penerapan revolusi hijau
secara lebih komprehensif dilakukan dengan diluncurkannya program Bimas (1968-1970), dan
kemudian disempurnakan menjadi program Bimas yang Disempurnakan (1971-1977), dan
menjadi program Intensifikasi Khusus (Insus) pada tahun 1979, dan selanjutnya menjadi
program Supra Insus pada tahun 1987 (Suryana dan Swastika 1997). Peristiwa penting dari
pelaksanaan program ini adalah dibentuknya Badan Pengendali Bimas melalui Keppres No 95
tahun 1969, yang bertanggung jawab penuh terhadap program Bimas.
Implementasi dari revolusi hijau dituangkan dalam bentuk program intensifikasi melalui yang
merupakan lima langkah perbaikan teknologi, yaitu pengolahan tanah, pemakaian bibit unggul,
pemupukan, pengairan dan pemberantasan hama penyakit, yang dalam perjalanannya diperluas
menjadi dengan memasukkan unsur perbaikan pasca panen dan manajemen usahatani.
Kegiatan produksi melalui Panca Usaha/Sapta Usaha juga diikuti oleh kebijakan pendukung
lain, yaitu: (a) penetapan harga dasar dan harga atap beras, (b) pemberian subsidi sarana produksi
(irigasi, bibit, pupuk dan obat), (c) pemberian bantuan kredit dan subsidi bunga kredit, (d)
kebijakan pengadaan dan penyangga pangan domestik, dan (e) pengurangan kehilangan hasil
pertanian. Program ini telah memberi hasil dengan peningkatan produksi padi rata-rata
4,34%/tahun dan dicapainya swasembada beras Indonesia pada tahun 1984. Namun,
swasembada beras hanya bertahan satu tahun karena pada tahun berikutnya peningkatan
produksi belum bisa mengimbangi kebutuhan konsumsi, sehingga impor terjadi lagi.
Dalam rangka pencapaian swasembada pangan, disamping program intensifikasi juga secara
simultan dilakukan program-program ekstensifikasi, diversifikasi, dan rehabilitasi. Intensifikasi
yaitu upaya peningkatan produksi pertanian dengan menerapkan formula pancausaha tani
(pengolahan tanah, pemilihan bibit unggul, pemupukan, irigasi, dan pemberantasan hama).
Ekstensifikasi pertanian adalah upaya peningkatan produksi pertanian dengan memperluas lahan
pertanian. Diversifikasi pertanian adalah upaya peningkatan produksi pertanian dengan cara
penganekaragaman tanaman, misalnya dengan sistem tumpang sari di antara lahan sawah
ditanami kacang panjang, jagung, dan sebagainya. Rehabilitasi pertanian adalah upaya
peningkatan produksi pertanian dengan cara pemulihan kemampuan daya produktivitas sumber
daya pertanian yang sudah kritis.
Untuk pencapaian tujuan peningkatan produksi/swasembada tersebut, perencanaan
pembangunan dominan bersifat dop down, baik dalam kegiatan maupun dalam alokasi
anggarannya. Target target produksi disusun di pusat dan daerah masing masing menjabarkannya
dalam target dan kegiatan wilayah masing masing. Memasuki Pelita II sampai pelita V yaitu
pada periode 1 april 1974 – 30 maret 1994, fokus prioritas trimatra pembangunan berubah
dengan urutan prioritas pertumbuhan ekonomi, disusul stabilitas dan pemerataan. Pada periode
ini dengan asumsi sektor pertanian telah tumbuh kuat, maka prioritas pembangunan nasional
berubah ke sektor industri disusul pertanian, dalam arti sektor pertanian mendukung
pengembagan industri pertanian. Pelaksanaan peningkatan produksi melalui program Bimas
masih berlanjut, namun dengan proses perencanaan yang memasukkan partisipasi daerah melalui
mekanismae perencanaan
Pelaksanaan Pelita VI ( 1 april 1994 – 30 maret 1999) tidak berakhir dengan tuntas akibat
kejadian politik reformasi pada tahun 1998. Pada pelaksanaan pelita VI tersebut pembangunan
pertanian merupakan kelanjutan dari pelita sebelumnya. Kegiatan pelita VI identik dengan Pelita
V.Pada era reformasi yang dimulai tahun 1998 juga diikuti oleh pelaksanaan
perencanaan dan pelaksanaannya. Pada awal era reformasi, tidak ada dokumen perencanaan.
Sejalan dengan itu perencanaan pembangunan pertanian juga ditekankan kepada perencanaan
tahunan hasil kesepakatan dengan DPR. Fokus program pembangunan pertanian berganti setiap
periode menteri pertanian sesuai dengan visinya.
Dalam tahun 1998-1999, program peningkatan produksi pangan dituangkan dalam 0DQGLUL
meliputi : (a) Gema Palagung (Gerakan mandiri menuju swasembada Padi, Kedele dan Jagung),
(b) Gema Hortina (Hortikultura tropika Nusantara), (c) Gema proteina (Protein Hewani).
(Solahudin, 1998). Pada tahun 1999-2000, program pembangunan pertanian beralih kepada
pengembangan Corporate Farming (CF) (Departemen Pertanian, 1999). Dalam tahun 2001-2004
program pembangunan pertanian diarahkan kepada pembangunan sistem dan usaha agribisnis
(Departemen Pertanian, 2001), dan selanjutnya pada periode tahun 2004-2009 visi pembangunan
pertanian diarahkan kepa kepedulian terhadap kesejahtreaan petani melalui penyelenggaraan
birokrasi yang bersih dalam pembangunan pertanian (Departemen Pertanian, 2007). Pada periode
tahun 2010- 2014 visi pembanguan pertanian diarahkan kepada pembangunan pertanian
industrial unggul berbasis sumberdaya lokal (Kementerian Pertanian, 2010).
Mekanisme perencanaan pembangunan pertanian diatur dalam Kementan no 363/1996
mekanisme perencanaan pertanian diperbaharui Kementan no 146/2003. Kepmentan tersebut
mengatur mekanisme perencanaan pembangunan dari bawah mulai dari tingkat kabupaten,
provinsi sampai pusat. Kepmentan tersebut mengatur pula tugas, peran dan fungsi masing
masing instansi pertanian pada setiap jenjang pemerintahan dari kabupaten sampai pusat.
Di tingkat kabupaten dan propinsi dibentuk forum untuk membahas kegiatan kegiatan
pembangunan yang akan dilaksanakan pada tahun kedepan melalui Rapat Kordinasi
Pembangunn Pertanian (Rakorbangtan) Kabupaten/Kota dan Rapat Kordinasi Pembangunn
Pertanian (Rakorbangtan) Propinsi. Dalam kedua forum tersebut dibahas dan disepakati secara
lintas sub-sektor dan lintas sektor kegiatan kegiatan pembangunan yang akan pda tahun anggaran
kedepan. Namun demikinan dalam kenyataannya forum tersebut cenderung menjadi forum
pengarahan dan rencana kegiatan disusun atas dasar arahan tersebut. Salah satu faktor dari
kurang berfungsinya forum tersebut adalah kemampuan sumberdaya manusia perencanaan di
daerak kabupaten/kota dan propnsi akibatnya penyusunan rencana kegiatan bersifat seadanya dan
belum merupakan kegiatan untuk memecahkan permasalahan pokok pembangunan pertanian
wilayah.
Mekanisme perencanaan disektor pertanian dilakukan melalui proses berikut: (a) Pemerintah
pusat menetapkan kebijakan nasional pembangunan pertanian sebagai acuan makro terhadap
implementasi kegiatan di daerah. Hal ini terkait erat dengan tata ruang pengembangan ekonomi,
sumberdaya alam pertanian (termasuk kawasan agribisnis unggulan, potensi komoditas
unggulan/strategis secara nasional), daya saing, pemberdayaan wilayah tertinggal, pengentasan
kemiskinan, pembangunan sarana dan prasarana. (b)
Pemerintah provinsi menjabarkan kebijakan pusat melalui penilaian dan koordinasi terhadap
pengembangan wilayah berbasis komoditas di wilayahnya, dengan melibatkan dan
memberdayakan Kabupaten/Kota secara menyeluruh dan terintegrasi dalam pengembangan
aspek di hulu sampai hilir, dan unsur penunjangnya.(c) Pemerintah Kabupaten/Kota menyusun
perencanaan program dan anggaran kinerja pembangunan pertanian di wilayahnya yang
mengacu pada kebijakan nasional dan kapasitas sumberdaya wilayah. Untuk mendukung hal
tersebut pemerintah Kabupaten/Kota terlebih dahulu melakukan identifikasi terhadap: besaran,
kualitas dan karakteristik sumberdaya alam, SDM, modal, teknologi, sosial dan budaya
(Departemen Pertanian 2010).
C.PARADOKS KEBIJAKAN, PROGRAM DAN ANGGARAN PEMBANGUNAN
Perencanaan pembangunan berkaitan dengan kemampuan untuk mengidentifikasi
permasalahan-permasalahan pembangunan dikaitkan dengan sumber-sumber pembangunan yang
dapat diusahakan, tujuan serta sasaran rencana yang ingin dicapai, kebijakan dan cara untuk
mencapai tujuan dan sasaran, pemilihan alternatif-alternatifnya yang terbaik, dan penterjemahan
dalam program-program atau kegiatan-kegiatan usaha yang konkrit.
Konsep dasar perencanaan adalah rasionalitas, ialah cara berpikir ilmiah dalam menyelesaikan
problem dengan cara sistematis dan menyediakan berbagai alternatif solusi guna memperoleh
tujuan yang diinginkan. Perencanaan berkaitan dengan pengambilan keputusan sehingga kualitas
hasil perencanaan dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, informasi berupa data yang
dikumpulkan oleh perencana. Pada bagian lain dalam perencanaan pembangunan juga
merupakan dokumen politik, sehingga penuh dengan kepentingan politik.
Beberapa kelemahan perencanaan pembangunan yang selama ini adalah antara lain: (a)
seringkali merupakan dokumen politik mengenai cita-cita pembangunan yang dikehendaki atau
yang diinginkan dan bukan seharusnya, (b) kurangnya hubungan dan koordinasi antara penyusun
rencana dengan pelaksana rencana dan pelaksananya, (c) adanya kepentingan pihak tertentu yang
menyebabkan dalam pemilihan alternatif seringkali menguntungkan bagi suatu pihak dan
merugikan bagi pihak lainnya, (d) kurang digunakannya dukungan data statistik, hasil penelitian
dan informasi yang mendukung untuk satu perencanan, (d) kurang dihunakannya teknik-teknik
perencanaan, (e) kapasitas pengetahuan dari SDM perencana, (f) kurang disadarinya bahwa
perencanaan merupakan suatu proses yang yang kompleks, dan (g) kendala administrasi
pemerintahan yang menghambat terbangunnya proses perencanaan pembangunan yang baik.

Dari pelaksanaan pembangunan pertanian selama ini dinilai terdapat paradok antara kebijakan,
program dan pelaksanaan dalam alokasi anggaran, yaitu:
Pertama, Kesesuaian Kebijakan Dengan Permasalahan dan Tujuan Pembangunan
Seringkali kebijakan yang dibangun tidak sepenuhnya mengatasi permasalahan dan tujuan
pembangunan. Terdapat indikasi bahwa ada indikasi pembangunan sekarang berputar putar dan
bahkan tidak bernuansa pembangunan jangka panjang. Sebagai contoh kebijakan MPEI yang
merangsang terjadinya konversi lahan pertanian di pulaujawa, kebijakan pemberian usaha
perkebunan seperti sawit kepada swasta, kebijakan yang kurang memperhatikan terhadap aspek
kesenjangan sehingga petani makin sempit dan miskin, sementara kelompok elit semakin besar,
kebijakan perdagangan yang mematikan berkembangnya usaha domestik dan lainnya.
Kedua, Kesesuaian Program Dengan Kebijakan yang Digariskan
Program yang dirancang merupakan penjabaran dari kebijakan yang ditetapkan. Program yang
dirancang harus realistik dan tidak ada campur tangan pihak luar terutama kepentingan politik
birokrasi. Adanya perbedaan kepentingan sehingga sulit membangun perencanaan yang
seharusnya. Mekanisme perencanaan program pembangunan yang diterapkan selama ini
merupakan perpaduan antara kebijakan dari atas dan perencanaan dari bawah namun dalam
pelaksanaannya peran kebijakan dari atas lebih kuat dibanding unsur dari bawah keatas. Hal ini
terjadi karena dalam banyak hal penetapan keputusan termasuk fasilitasi anggaran berada
ditingkat pusat. Pola perencanaan melalui pendekatan sentralistik diawal membangun sebuah
bangsa mungkin dinilai baik, namun pola sentralistik tersebut terlambat untuk direposisi
walaupun semangat perubahan dan otonomi daerah telah ada jauh sebelum dinamika reformasi
terjadi.
Ketiga, Kesesuaian Alokasi Anggaran dengan Program yang Disusun
Alokasi anggaran ditujukan sebagai bentuk fasilitasi agar program disusun sesuai dengan
kebijakan yang ditetapkan dapat berjalan. Dengan demikian selayaknya terdapat kesesuaian
antara alokasi anggaran dengan program. Alokasi anggaran pembangunan merupakan bentuk
fasilitasi pemerintah antara lain intervensi melalui kegiatan-kegiatan yang dibiayai oleh
pemerintah dalam kegiatan penyediaan barang dan layanan publik, dan kegiatan atau prakarsa
strategis. Namun demikian masuknya faktor kepentingan politik menyebabkan seringkali adanya
penyimpangan dalam alokasi anggaran.
Munculnya dana aspirasi bagi kalangan legislatif adalah penerapan politik di Amerika. Istilah
mengacu pada pengeluaran yang diusahakan oleh politisi atau anggota parlemen untuk
konstituennya sebagai imbalan atas dukungan politik, baik dalam bentuk kampanye atau suara
pada pemilihan umum. Tujuannya agar mereka dapat terpilih kembali dalam pemilu berikutnya.
Praktik menjadi sesuatu yang mengandung konotasi negatif terkait dengan perilaku politisi yang
menggunakan uang negara untuk kepentingan
EDEL tak hanya jadi pemancing suara, tapi juga jadi ajang korupsi yang melibatkan kolaborasi
legislatif-eksekutif.
Keempat, Kesesuaian Implementasi Penggunaan Anggaran Dilapangan
Permasalahan implementasi anggaran berkaitan dengan ketepatan kelompok sasaran, waktu
datangnya anggaran, besar anggaran dan bentuknya. Seringkali ketidak tepatan kelompok
sasaran yang diberi fasilitasi anggaran berkaitan dengan kepentingan kelompok tententu yang
memaksakan untuk memperoleh fasilitasi anggaran. Hal ini marak sejalan dengan
berkembangnya fenomena dana aspirasi Pada bagian lain kekakuan sistem anggaran
pembangunan seringkali tidak sejalan dengan kebutuhan fasilitasi usaha pertanian yang bersifat
musiman.
D.REPOSISI PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN
Reposisi perencanaan pembangunan pertanian diperlukan agar dihasilkan kebijakan dan program
pembangunan pertanian yang sesuai, serta sebagai acuan dalam fasilitasi anggaran dan
implementasinya yang sesuai dengan kebijakan dan program yang digariskan. Dalam kaitan itu
maka reposisi sistem perencanaan pembangunan pertanian maka terlebih dahulu diawali dengan
reposisi kebijakan pembangunan pertanian.
Sesuai dengan popok-pokok program presiden terpilih, salah satu fokus pembangunan dalam 5
tahun kedepan (2015-2019) adalah pencapaian kedaulatan pangan. Untuk itu diperlukan reposisi
perencanaan pembangunan sesuai dengan fokus program yang telah digariskan. Berdasarkan UU
no 18/2012 tentang Pangan, Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara
mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang
memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi
sumber daya lokal. Penciptaan kedaulatan pangan berkaitan dengan peningkatan kemampuan
pendayagunaan segala sumberdaya pertanian yang ada dalam rangka penumbuhan produksi
pangan agar terbangun ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat.
Upaya peningkatan produksi dalam rangka pencapaian kedulatan pangan dihadapkan kepada
permasalahan kemerosotan dukungan sumber daya bagi produksi pertanian seperti lahan, air,
SDM berkualitas, teknologi, kelembagaan dan lainnya, untuk itu dukungan ketersediaan sumber
daya ini harus dikembalikan agar pelaksanaan pembangunan pertanian selanjutnya dapat berjalan
sebagaimana mestinya. Peningkatan produksi pertanian dilakukan melalui perluasan lahan usaha
dan atu peningkatan produktivitas. Untuk itu upaya untuk mengembalikan dan memperkuat
lahan ketersediaan air bagi usaha pertanian dan memperkuat peningkatan produktivitas harus
menjadi langkah awal. Diperlukan kebijakan terpadu
pada banyak aspek dan dilaksanakan secara konsisten yang mencakup: (a) perlindungan lahan
sawah produktif, (b) penataan pemilikan lahan, (c) perluasan lahan pertanian/sawah, (d)
penyediaan infrastruktur, (e) rehabilitasi lahan dan irigasi, (f) peningkatan nilai ekonomi
usahatani, (g) pengendalian laju penduduk dan distribusinya, (h) sistem insentif dan (i)
penegakan hukum.
Pembangunan pertanian kedepan juga dihadapkan kepada tantangan tuntutan konsumen akan
produk bermutu, persaingan pasar dan penerapan berbagai perlindungan bagi produksi domestik
antara lain melalui mekanisme yang perlndungan non tarif. Untuk itu kegiatan peningkatan
produksi juga harus dapat menghasilkan produksi berkualitas. Untuk itu program sertifikasi dan
jaminan mutu produk harus menjadi bagian tidak terpisahkan dengan peningkatan produksi.
Memperhatikan kinerja pembangunan pertanian yang telah kita alami dalam beberapa dasawarsa
terakhir dan memperhatikan perkembangan global yang dihadapi Indonesia pembangunan
pertanian dimasa yang akan datang, maka pembangunan pertanian mendatang tidak dapat hanya
mengandalkan pada kebijakan dan program pembangunan yang telah pernah dilakukan.
Pendekatan pembangunan pertanian selama ini lebih kepada pendekatan komoditi dengan
penekanan komoditi tertentu (padi, jagung, kedele, gula dan daging sapi). Dengan adanya fokus
tersebut maka pengembangan komoditi lain relatif terabaikan, dan konsumen cenderung
dipaksakan untuk mengkonsumsi komoditi tersebut. Dengan didasarkan kepada potensi
keragaman sumberdaya spesifik lokasi yang dimiliki maka pembangunan pertanian kedepan
harus dirubah dari pengembangan berbasis komoditi menjadi pendekatan pembangunan wilayah
dengan mengutamakan keunggulan potensi wilayah. Melalui pendekatan wilayah maka program
pembangunan tidak lagi berbasiskan pembangunan momokultur komoditi tetapi polikultur
komoditi pertanian. Dengan pendekatan kedaulatan pangan maka ukuran kecukupan pangan
terutama karbohidrat tidak lagi berdasarkan kecukupan makan beras, namun kecukupan giz
makanan dari sumber setempat. Untuk itu tidak ada lagi pemaksaan penetapan target produksi
suatu komoditi tertentu berdasarkan target nasional/wilayah. Kebijakan yang memaksakan untuk
menargetkan swasembada beras dan komoditas pangan lain melalui penerapan teknologi revolusi
hijau pada kondisi lahan yang masin menyusut dinilai merupakan salah satu penyebab
keterpurukan pertanian (Baharsyah, dkk. 2014).
Pembangunan pertanian kedepan juga dihadapkan kepada tuntutan pembangunan yang menganut
kaidah keberlanjutan atau membangun pertanian kedepan/tidak merusak. Pertanian berkelanjutan
adalah usaha pertanian yang menggabungkan secara integral antara usaha produksi dengan
tindakan pelestarian lingkungan, sumber daya alam pertanian secara berkelanjutan. Dalam pola
ini kegiatan pemanfaatan sumberdaya lahan unk kegiatan produksi secara produktif dibarengi
oleh tindakan-tindakan pelestarian SDLP dan penyehatan tanah dan sumberdaya air.
Pada kondisi demikian maka fisolofi pembangunan pertanian selayaknya tidak hanya dilihat dari
aspek fisik, tetapi juga masalah etika, kultural, sosial dan kekayaan bukan fisik pada umumnya,
seperti etika pembangunan, etika
religius, etika bisnis, etika keberlanjutan dan mengutamakan kepemimpinan petani Etika religius
keberlanjutan dalam pembangunan pertanian berkelanjutan dicirikan oleh keserasian antara
kegunaan keindahan dan cinta kasih harus menjadi acuan penyusunan rancangan dan
pelaksanaan pembangunan sat ini dan kedepan. Perlu dibangun etika bersalah bagi pelaku
pembangunan yang bersifat merusak.
Pembangunan pertanian harus bersifat integratif dengan sektor lain dan sejalan dengan otonomi
daerah sehingga pembangunan kewilayahan harus ditonjolkan. Program pusat harus selalu
disesuaikan dengan orientasi pembangunan pertanian di daerah. Otonomi daerah yang sudah
dilaksanakan di lapangan dapat menjadi faktor penentu keberhasilan pembangunan pertanian di
daerah, tanpa adanya keserasian antara pemerintah pusat dan daerah, maka program dan kegiatan
pembangunan pertanian berpotensi tidak mencapai tujuan atau pelaksanaannya tidak seperti yang
diharapkan.
Perubahan dalam pendekatan ini tentunya akan merubah penentuan program program
pembangunan dan fasilitasi anggaran. Penyusunan program dan fasilitasi anggaran harus lebih
didasarkan kepada usulan kebutuhan dari masing masing wilayah petani /kelompok tani. Pada
kondisi demikian maka proses perencanaan partisipatif harus lebih diutamakan dibandingksan
proses teknokratik dan politik. Sistem perencanaan program pembangunan harus tidak lagi
dimulai dari penentuan target yang kemudian dibagi habis kepada setiap wilayah, tetapi
rancangan program pembangunan harus merupakan rangkuman dari usulan kebutuhan fasilitasi
yang diminta dari petani wilayah.
Sejak awal disadari bahwa pembangunan nasional, utamanya pembangunan pertanian indonesia
dicirikan oleh pola pengusahaan pertanian yang dilakukan dominan oleh skala kecil dengan
keterbatasan disegala aspek. Selama ini kondisi usaha kecil tertinggal apalagi dihadapkan kepada
persaingan dengan kekuatan ekonomi besar dari luar. Untuk itu diperlukan upaya khusus untuk
pengembangan usaha skala kecil tersebut melalui pemberdayan peningkatan kemampuannya
(Kartasasmita, 1996).
Pemberdayaan masyarakat tersebut perlu diarahkan untuk membangun masyarakat belajar
merupakan tahapan awal penting dalam reposisi sistem perencanaan pembangunan pertanian.
Pemberdayaan masyarakat diarahkan kepada peningkatan kemampuan masyarakat dalam
pengambilan keputusan untuk membangun diri dan lingkungannya secara mandiri. Peran
pemerintah dalam hal ini adalah: (a) memfasilitasi, dinamisasi dan regulasi agar tercipta
suasana/iklim yang memungkinkan berkembangnya potensi/daya yang dimiliki masyarakat, baik
potensi sumber daya maupun potensi sistem nilai tradisional/kearifan lokal yang telah
membudaya dalam menata kehidupan masyarakat; (b) fasilitasi untuk lebih mendinamiskan
masyarakat dalam bentuk penyediaan infrastruktur/prasarana dan sarana, baik fisik (jalan, irigasi,
listrik) maupun sosial (pendidikan, kesehatan), akses terhadap teknologi, pembiayaan, pasar dan
lainnya, dan (c) perlindungan masyarakat dari persaingan yang tidak seimbang
Untuk menuju kearah itu maka reformasi mental terutama di birokasi harus dilakukan. Reformasi
birokrasi perlu dilakukan menuju perubahan dari peran birokrasi dari yang sifatnya mengatur
menjadi memfasilitasi agar pelaku pembangunan dapat membangun diringa sendiri.
A. KESIMPULAN
Dinamika lingkungan strategis pembangunan terus bergerak semakin cepat dan kompleks
sehingga kegiatan pembangunan pertanian juga terus bergerak menjadi semakin kompleks dan
dinamis. Sejalan dengan itu seluruh proses pembangunan pertanian mulai dari perencanaan
dituntut pula ikut berproses secara dinamis. Proses pembangunan saat ini dan kedepan dituntut
lebih mengarah kepada kegiatan pembangunan yang lebih memberdayakan masyarakat menuju
masyarakat belajar yaitu peningkatan kemampuan masyarakat dalam pengambilan keputusan
untuk membangun diri dan lingkungannya secara mandiri. Dalam kaitan itu pentingnya lebih
ditegaskan akan peran pemerintah sebagai regulator, fasilitator dan dinamisator agar kemampuan
membangun diri masyarakat tersebut berjalan secara dinamis. Reposisi perencanaan perlu
dilakukan agar proses tersebut berjalan lebih cepat.
B.DAFTAR PUSTAKA
http://www.litbang.pertanian.go.id/buku/reformasi-kebijakan-menuju/BAB-III-2.pdf

Anda mungkin juga menyukai