Anda di halaman 1dari 63

FORMULASI ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA DAN ASAM FORMIAT

SEBAGAI BAHAN KOAGULAN LATEKS TERHADAP


MUTU BAHAN OLAHAN KARET

SKRIPSI

NUR AZIZAH
NIM : 160822002

PROGRAM STUDI S1 KIMIA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


FORMULASI ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA DAN ASAM FORMIAT
SEBAGAI BAHAN KOAGULAN LATEKS TERHADAP
MUTU BAHAN OLAHAN KARET

SKRIPSI

Diajukanuntukmelengkapitugasakhirdanmemenuhisyaratmencapaigelar
SarjanaSains

NUR AZIZAH
NIM : 160822002

PROGRAM STUDI S1 KIMIA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


PENGESAHAN SKRIPSI

Judul : Formulasi Asap Cair Tempurung Kelapa dan


Asam Formiat Sebagai Bahan Koagulan Lateks
terhadap Mutu Bahan Olahan Karet
Kategori : Skripsi
Nama : Nur Azizah
Nomor Induk Mahasiswa : 160822002
Program : Ekstensi Kimia
Departemen : Kimia
Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sumatera Utara

Disetujui di
Medan, Juli 2018

Diketahui/Disetujui Oleh
Departemen Kimia FMIPA USU
Ketua Pembimbing

Dr.Cut Fatimah Zuhra, M.Si Saharman Gea, Ph.D


NIP : 1974040 199903 2 001 NIP : 19681110 199903 1 001

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


PERNYATAAN ORISINALITAS

FORMULASI ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA DAN ASAM


FORMIAT SEBAGAI BAHAN KOAGULAN LATEKS TERHADAP
MUTU BAHAN OLAHAN KARET

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, kecuali beberapa
kutipan dan ringkasan yang masing – masing disebutkan sumbernya.

Medan, Mei 2018

NUR AZIZAH
160822002

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


PENGHARGAAN

Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan
sarjana sains di FMIPA USU.
Dalam pelaksanaan penelitian hingga menyelesaikan skripsi ini, penulis
menyadari banyak mendapat bantuan, motivasi dan dukungan dari berbagai
pihak.Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada
Bapak Saharman Gea , Ph.D selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan
waktu membimbing serta memotivasi penulis dalam penelitian dan menyelesaikan
skripsi ini hingga selesai, Bapak Dr.Kerista Sebayang, M.S selaku Dekan FMIPA
USU, Ibu Dr. Cut Fatimah Zuhra, M.Si selaku ketua departemen Kimia FMIPA
USU, Dr. Sovia Lenny, M.Si selaku Sekretaris Program Studi Kimia, Bapak Dr.
Firman Sebayang, MS selaku Koordinator Program Studi Ekstensi Kimia FMIPA
USU, Ibu Juliati Br Tarigan, S.Si, M.Si selaku dosen pembimbing akademik, Kepala
Laboratorium PT Batanghari Tebing Pratama Kota Tebingtinggi Ibu Yusnidar yang
telah memberikan izin dan meluangkan waktu untuk membantu terlaksananya
penelitian ini, dan Seluruh Dosen Departemen Kimia FMIPA USU yang telah
memberikan waktunya untuk memberi bimbingan selama penulis mengikuti kuliah di
Departemen Kimia USU.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua


orang tua, Ayah Tercinta Zainal Abidin dan Ibunda Tersayang Nur Aidah Rangkuti.
Kakak dan saudara terbaik Azwinda Wahyuni Nasution, Nurbaiti, S.Pd.I, M.Ag,
Hanifa Siregar, A.Md, Ulfa Wardani S.Pd.I dan Hairunnisa A.Md, serta Sahabat
penulis dan rekan-rekan Mahasiswa/i khususnya Kimia Ekstensi stambuk 2016 yang
tidak dapat disebut namanya satu persatu yang senantiasa memberikan doa, bantuan
dan dukungan moril dan materil hingga akhirnya penulis menyelesaikan studi.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan Untuk itu
dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan saran yang bersifat
membangun demi kesempurnaan skripsi ini.
Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penelitian
dan kemajuan ilmu pengetahuan.
Billahitaufik Walhidayah

Penulis

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR ISI

Halaman

PENGESAHAN SKRIPSI i
PERNYATAAN ORISINALITAS ii
PENGHARGAAN iii
ABSTRAK iv
ABSTRACT v
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN xi
DAFTAR SINGKATAN xii

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Permasalahan 3
1.3 Pembatasan Masalah 3
1.4 Tujuan Penelitian 3
1.5 Manfaat Penelitian 4
1.6 Metodologi Penelitian 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karet Alam 5
2.1.1 Struktur Kimia Karet 6
2.1.2 Komposisi Lateks 7
2.1.3 Sifat Lateks 9
2.1.4 Jenis-jenis Karet Alam 10
2.1.5 Standart Indonesia Rubber (SIR) 10
2.1.6 Penggumpalan Lateks 11
2.2 Asam Formiat 13

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2.3 Asap Cair 14
2.3.1 Jenis Asap Cair 15
2.3.2 Komposisi Asap Cair 15
2.3.2 Manfaat Asap Cair 16
2.4 Pengujian Mutu Lateks 17
2.4.1 Plastisitas 17
2.4.2 Viskositas Mooney 18
2.4.3 Kadar Abu 19
2.4.4 Kadar Karet Kering 19
2.4.5 Kadar Kotoran 20
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 21
3.2 Alat Penelitian 21
3.3 Bahan Penelitian 21
3.4 Prosedur Penelitian 22
3.4.1 Pembuatan Asam Formiat 4% 22
3.4.2 Pembuatan Asap Cair 10% 22
3.4.3 Aplikasi Formulasi Asap Cair Tempurung Kelapa 22
dan Asam Formiat Terhadap Lateks
3.5 Pengujian Mutu Karet 23
3.5.1 Penetapan Nilai Plastisitas awal (Po) dan 23
Plastisitas Retensi Indeks (PRI)
3.5.2 Penetapan Viskositas Mooney 24
3.5.3 Penetapan Kadar Abu 25
3.5.4 Penetapan Kadar Karet Kering (KKK) 25
3.5.5 Penetapan Kadar Kotoran 26
3.6 Bagan Penelitian 26
3.5.1 Pengambilan Lateks 26
3.4.2 Formulasi Asap Cair Tempurung Kelapa dan 27
Asam Formiat sebagai Penggumpal Lateks
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian 28

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4.1.1 Aplikasi Asap Cair Tempurung Kelapa dan Asam 28
Formiat dalam Pengolahan Bahan Olah Karet
4.1.2 Analisis Mutu 32

4.1.2.1 Hasil Pengujian Mutu Karet dalam 32


Penetapan Nilai Plastisitas awal (Po) dan
Plastisitas Retensi Indeks (PRI)
4.1.2.2 Hasil Pengujian Mutu Karet dalam 33
Penetapan Viskositas Mooney
4.1.2.3 Hasil Pengujian Mutu Karet dalam 33
Penetapan Kadar Kotoran
4.1.2.4 Hasil Pengujian Mutu Karet dalam 34
Penetapan Kadar Abu
4.1.2.5 Hasil Pengujian Mutu Karet dalam 35
Penetapan Kadar Karet Kering (KKK)
4.2 Pembahasan 35
4.2.1 Plastisitas 35
4.2.1.1 Plastisitas Awal (Po) 36
4.2.1.2 Plastisitas Retensi Indeks (PRI) 36
4.2.2 Viskositas Mooney 38
4.2.3 Kadar Kotoran 39
4.2.4 Kadar Abu 40
4.2.5 Kadar Karet Kering 42
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan 44
5.2 Saran 44
DAFTAR PUSTAKA 45

LAMPIRAN 48

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman


Tabel

2.1 Komposisi Lateks Segar dari Kebun 7


2.2 Komposisi Lateks dalam Karet Kering 7
2.3 Komposisi Kimia Asap Cair 15
3.4 Tabel Formulasi Asap Cair Tempurung Kelapa dan Asam 23
Formiat
4.5 Tabel Lama Waktu Penggumpalan Lateks 28
4.6 Nilai Plastisitas Awal dan Plastisitas Retensi Indeks (PRI) 29
Karet dengan Penambahan Formulasi Asap Cair Tempurung
Kelapa dan Asam Formiat sebagai Bahan Koagulan Lateks
4.7 Nilai Viskositas Mooney dengan Penambahan Formulasi Asap 30
Cair Tempurung Kelapa dan Asam Formiat sebagai Bahan
Koagulan Lateks
4.8 Nilai Kadar Kotoran dengan Penambahan Formulasi Asap Cair 30
Tempurung Kelapa dengan Asam Formiat sebagai Bahan
Koagulan Lateks
4.9 Nilai Kadar Abu dengan Penambahan Formulasi Asap Cair 31
Tempurung Kelapa dengan Asam Formiat sebagai Bahan
Koagulan Lateks
4.10 Nilai Kadar Karet Kering dengan Penambahan Formulasi Asap 32
Cair Tempurung Kelapa dengan Asam Formiat sebagai Bahan
Koagulan Lateks

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman


Tabel
2.1 Struktur monomer isoprena 6
2.2 Rumus Bangun Cis 1,4 poli isoprena 6
2.3 Hubungan Antara pH dan Muatan Listrik 12
3.4 Lembaran Karet setelah dipotong alat Wallace Punch 23
4.5 Gambar penampakan fisik koagulum perlakuan asap cair 34
tempurung kelapa : asam formiat A (100% : 0%) , B (80 % :
20%), C (60% : 40%), D (40% : 60%), E (20% : 80%) dan F
(0% : 100%) sebelum penggilingan
4.6 Gambar penampakan fisik koagulum perlakuan asap cair 35
tempurung kelapa : asam formiat A (100% : 0%) , B (80 % :
20%), C (60% : 40%), D (40% : 60%), E (20% : 80%) dan F
(0% : 100%) setelah maturasi (pemeraman)
4.7 Grafik Hubungan Nilai Plastisitas awal (Po) vs Formulasi 37
Asap Cair Tempurung Kelapa dan Asam Formiat
4.8 Grafik Hubungan Nilai Plastisitas Retensi Indeks (PRI) vs 38
Formulasi Asap Cair Tempurung Kelapa dan Asam Formiat
4.9 Grafik Hubungan Nilai Viskositas Mooney vs Formulasi 40
Asap Cair Tempurung Kelapa dan Asam Formiat
4.10 Grafik Hubungan Nilai Kadar Kotoran vs Formulasi Asap Cair 41
Tempurung Kelapa dan Asam Formiat
4.11 Grafik Hubungan Nilai Kadar Abu vs Formulasi Asap Cair 42
Tempurung Kelapa dan Asam Formiat
4.12 Grafik Hubungan Nilai Kadar Karet Kering vs Formulasi Asap 43
Cair Tempurung Kelapa dan Asam Formiat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman


Tabel
1 Tabel Perhitungan Pembuatan Pereaksi 46

2 Tabel Standart Indonesian Rubber 47


3 Tabel Hasil Analisa SIR 48

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR SINGKATAN

KKK = Kadar Karet Kering


Po = Plastisitas Awal
PRI = Plastisitas Retensi Indeks
RSS = Ribbed Smoked Sheet
SIR = Standar Indonesia Rubber
TSP = Triple Super Phosphate

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan penghasil karet sekaligus sebagai salah satu basis


manufaktur karet dunia. Tersedianya lahan yang luas memberikan peluang untuk
menghasilkan karet alami yang lebih besar lagi dengan menambah areal perkebunan
karet (Anonim, 2007).

Berdasarkan data Statistik Perkebunan Indonesia (2015) perkembangan luas


areal perkebunan karet terbesar diperoleh oleh petani sebesar 3,5 juta ha, namun
keadaan ini berbanding terbalik dengan tingkat Produksi, Produktivitas dan Volume
Ekspor-Impor Karet pada petani yang hanya sebesar 972,97 kg/ha. Permintaan karet
yang semakin besar turut mendorong perkembangan teknologi pada proses
pengolahan karet untuk menghasilkan kualitas yang semakin baik. Agribisnis karet
alam dimasa mendatang akan mempunyai prospek yang semakin cerah karena
adanya kesadaran akan kelestarian lingkungan dan sumber daya alam,
kecenderungan penggunaan material yang ramah lingkungan, meningkatnya industry
polimer pengguna karet serta makin langka dan mahalnya minyak bumi sebagai
bahan pembuat karet sintetis.

Sebagian besar bahan olahan karet dari total produksi nasional dihasilkan
oleh petani karet atau perkebunan rakyat. Dari keseluruhan areal perkebunan rakyat
tersebut, sebagian besar (91%) dikembangkan secara swadaya murni, dan sebagian
kecil lainnya yaitu sekitar 9% dibangun melalui bantuan proyek pemerintah
(Anonim, 2007).
Karet alam Indonesia umumnya masih diekspor dalam bentuk produk primer
berupa Standart Indonesian Rubber (SIR) (96,9%), Ribbed Smoked Sheet (RSS)
(2,6%), dan lateks pekat (0,5%). Jenis mutu SIR meliputi SIR 10, SIR 20. SIR 3L,
dan SIR 3CV. Produk SIR dihasilkan dari 133 pabrik pengolahan karet remah yang
tersebar di seluruh Indonesia (Gapkindo, 2013).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Mutu bahan olah karet masih rendah dan bervariasi akibat tidak tersedianya
koagulan yang baik sampai ke tingkat petani. Penggunaan koagulan yang tepat untuk
menghasilkan bokar bermutu baik masih belum sepenuhnya dilakukan akibat belum
tersedianya koagulan yang mudah didistribusikan, kompetitif dari segi harga, dan
tidak merusak mutu karet (Handayani, 2013).

Berdasarkan penelitian Handayani (2013) menunjukkan bahwa koagulan


yang menghasilkan mutu koagulum terbaik adalah asam formiat. Berdasarkan
standar mutu bokar yang tercantum dalam SNI 06-2047-2002 tentang Bahan Olah
Karet dijelaskan bahwa bahan penggumpal yang dianjurkan dan relatif aman untuk
lateks adalah asam formiat atau bahan lain yang tidak merusak mutu karet misalnya
asam asetat. Harga kedua bahan penggumpal tersebut relatif mahal dan
penanganannya sulit karena berbentuk cair sehingga jarang digunakan oleh petani.
Saat ini banyak petani masih menggunakan bahan alami atau kimia yang tidak
dianjurkan seperti asam sulfat (cuka para), pupuk Triple Super Phosphate TSP,
tawas, larutan umbi gadung, dan sari buah nanas untuk menggumpalkan lateks.
Alasan utama yang mendasari dikarenakan harga yang murah, kemudahan, dan
jaminan ketersediaan, serta dapat menggumpalkan lateks dalam waktu yang relatif
cepat meskipun mutu bokar yang dihasilkannya sangat rendah (Handayani, 2013).

Asap cair merupakan suatu hasil kondensasi atau pengembunan dari uap hasil
pembakaran secara langsung maupun tidak langsung dari bahan-bahan yang banyak
mengandung lignin, selulosa, hemiselulosa serta senyawa karbon lainnya (Hamm,
1977). Bahan baku yang digunakan antara lain berbagai macam jenis kayu, bongkol
kelapa sawit, tempurung kelapa, sekam, ampas atau serbuk gergaji kayu dan lain
sebagainya. Penggunaan asap cair terutama dikaitkan dengan sifat-sifat
fungsionalnya, antara lain sebagai antioksidan, antibakteri, dan anti jamur.

Menurut Sucahyo (2010) Penggunaan asap cair 100% hanya mampu


menghasilkan kelas mutu RSS 2 dengan nilai PRI yang lebih tinggi sebesar 90.69,
kadar kotoran sebesar 0.01 serta kadar abu sebesar 0.31. Penambahan jumlah asap
cair hingga mencapai 200% secara umum tidak memberikan pengaruh nyata pada
kualitas mutu RSS yang dihasilkan kecuali pada nilai plastisitas yang semakin
meningkat. Penggunaan asap cair tempurung kelapa secara nyata dapat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


meningkatkan nilai plastisitas karet. Penggunaan asap cair tempurung kelapa tidak
berpengaruh terhadap kadar kotoran dan kadar abu pada produk RSS. Peneliti juga
menyarankan untuk melakukan kajian penggunaan asap cair tempurung kelapa dalam
pengolahan jenis karet alam lainya misalkan karet remah (SIR).

Berdasarkan hal tersebut diatas, peneliti tertarik untuk melakukan formulasii


asap cair tempurung kelapa dan asam formiat sebagai bahan koagulan lateks terhadap
mutu bahan olahan karet.

1.2. Permasalahan
1. Bagaimanakah formulasi optimum asap cair tempurung kelapa dan asam
formiat sebagai koagulan lateks terhadap mutu bahan olahan karet?
2. Bagaimanakah kualitas yang dihasilkan dari formulasi asap cair tempurung
kelapa dan asam formiat sebagai koagulan lateks terhadap mutu bahan olahan
karet berdasarkan SNI 1903 : 2011?

1.3. Pembatasan Masalah


1. Bahan penggumpal yang digunakan adalah asap cair tempurung kelapa dan
asam formiat
2. Lateks yang digunakan berasal dari perkebunan rakyat di Desa Simpang
Empat, Kec. Sei rampah, Kab. Serdang Bedagai
3. Koagulum hasil penggumpalan digiling dengan alat penggiling (ampia)
sebanyak enam kali, kemudian dikeringkan
4. Karet kering yang dihasilkan digiling dengan blending mill sebanyak tiga kali
5. Parameter pengujian mutu yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
plastisitas awal (Po), Plastisitas Retensi Index (PRI), Viscositas Mooney,
Kadar Abu, Kadar Kotoran, dan Kadar Karet Kering

1.4. Tujuan Penelitian


1. Untuk menentukan formulasi optimum dari asap cair tempurung kelapa dan
asam formiat sebagai bahan koagulan lateks terhadap mutu bahan olahan karet
2. Untuk mengetahui mutu bahan olahan karet menurut SNI 1903 : 2011 dari
lateks yang digumpalkan dengan variasi formula asap cair tempurung kelapa
dan asam formiat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


1.5. Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi tentang formula optimum antara asap cair tempurung
kelapa dan asam formiat sebagai bahan koagulan lateks terhadap mutu bahan
olahan karet
2. Memberikan informasi tentang mutu bahan olahan karet yang dihasilkan dari
formula asap cair tempurung kelapa dan asam formiat berdasarkan SNI 1903 :
2011
3. Menjadikan formula asap cair tempurung kelapa dan asam formiat digunakan
sebagai alternatif koagulan lateks pada para pengusaha karet

1.6 Metodologi Penelitian


Penelitian ini bersifat eksperimen laboratorium, diawali dengan menggunakan lateks
yang diperoleh dari perkebunan rakyat di Desa Simpang Empat, Kec. Sei rampah,
Kab. Serdang Bedagai, lalu digumpalkan melalui penambahan variasi formula 100%
: 0%, 80% : 20%., 60% : 40%., 40% : 60%., 20% : 80%., 0% : 100% asap cair
tempurung kelapa dan asam formiat dimana formulasi ini berdasarkan dosis pada
penelitian Suwardin dan Purbaya (2015) digunakan asam formiat konsentrasi 4%
sebanyak 30 mL untuk setiap liter lateks dan asap cair konsentrasi 10% sebanyak 100
mL untuk setiap liter lateks. Lalu diukur waktu yang dibutuhkan untuk terbentuk
koagulan. Koagulum yang diperoleh didiamkan selama 1 malam, koagulum yang
dihasilkan digiling dengan alat penggiling (ampia), lalu di maturasi (pemeraman)
selama 10 hari, dikeringkan dengan oven pada suhu 100oC selama 4 jam serta
digiling dengan blending mill, dan diuji mutu karetnya.
Adapun variable – variable yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
- Variabel bebas : variasi formula asam formiat dan asap cair 100% : 0% , 80%
: 20%, 60% : 40%, 40% : 60%, 20% : 80%, 0% : 100
- Variabel terikat : Plastisitas awal (Po), Plastisitas Retensi Index (PRI),
Viscositas Mooney, Kadar Abu, Kadar Kotoran dan Kadar Karet Kering
- Variabel tetap : Jenis penggumpal, pH penggumpal

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karet Alam


Karet alam berasal dari getah tanaman karet, Hevea brasiliensis. Sifat-sifat atau
kelebihan karet alam diantaranya memiliki daya elastisitas atau daya lentingnya yang
sempurna dan sangat plastis sehingga mudah diolah, karet alam juga tidak mudah
panas dan tidak mudah retak (Setiawan, 2005).
Lateks karet alam secara umum didefenisikan sebagai cairan yang keluar dari
pembuluh lateks bila dilukai. Latek itu sendiri adalah suatu sel raksasa yang
mempunyai banyak inti sel (multinukleotida). Oleh sebab itu lateks sebenarnya
adalah protoplasma,. Lateks sewaktu keluar dari pembuluh lateks adalah dalam
keadaan steril, tetapi kemudian tercemar oleh mikroorganisme dari lingkungannya
(Darussamin, dkk, 1985).
Lateks merupakan suspensi koloidal dari air dan bahan-bahan kimia yang
terkandung di dalamnya. Bagian-bagian yang terkandung tersebut tidak larut
sempurna, melainkan terpencar secara homogeny atau merata di dalam air. Partikel-
partikelkaret di dalam lateks terletak tidak saling berdekatan, melainkan saling
menjauh karena masing-masing partikel memiliki muatan listrik. Gaya tolak-
menolak muatan listrik ini menimbulkan gerak Brown. Di dalam lateks, isoprene
diselimuti oleh lapisan protein sehingga partikel karet bermuatan listrik (Zuhra,
2006).
Lateks segar pada umumnya berupa cairan susu, tetapi kadang-kadang sedikit
berwarna, tergantung dari klon (varietas) tanaman karet. Lateks atau getah karet
terdapat di dalam pembuluh-pembuluh lateks yang letaknya menyebar secara
melingkar di bagian luar lapisan cambium. Lateks diperoleh dengan membuka atau
menyayat lapisan korteks. Penyayatan lapisan korteks tanaman karet dikenal sebagai
proses penyadapan, yaitu tindakan membuka pembuluh lateks agar lateks yang
terdapat di dalam tanaman dapat keluar. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi
lateks adalah penyadapan, arah dan sudut kemiringan irisan sadap, panjang irisan
sadap, letak bidang sadap, kedalaman irisan sadp, frekuensi penyadapan dan waktu

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


penyadapan. Lateks hasil penyadapan dikenal dengan nama lateks kebun (Junaidi,
1996).
Karet alam merupakan suatu rantai hidrokarbon poliisopren yang memiliki
rumus empiris (C 5 H 8 ) dimana n adalah derajat polimerisasi yang besarnya bervariasi
dari satu rantai kerantai yang lain, hidrokarbon dalam lateks asli berbentuk bulatan-
bulatan kecil yang diameternya kira-kira 0,5 µ (5-10-5 cm) tersuspensi dalam medium
berair atau serum, konsentrasi hidrokarbon sekitar 35% dari berat total. Dari lateks
ini, karet padatan dapat diperoleh dengan mengeringkan atau dengan pengendapan
menggunakan asam. Perlakuan terakhir menghasilkan karet yang lebih bersih, karena
lebih banyak melepaskan unsur bukan karet dalam serum (Treloar, 1958).

2.1.1 Struktur Kimia Karet


Molekul karet alam terbentuk melalui reaksi adisi monomer-monomer
isoprene secara teratur yang terikat secara “kepala ke ekor”, memiliki susunan
geometri 98% cis-1,4 dan 2% trans-1,4 dengan berat molekul berkisar antara 1-2 juta
dan mengandung sekitar 15.000 – 20.000 ikatan tidak jenuh. (Stevens, 2007)
Adapun rumus bangun dari isoprene dan cis 1,4 poli isoprene dapat dilihat pada
Gambar 2.1 dan 2.2 sebagai berikut :
CH3

CH2 C CH CH2

Gambar 2.1 Struktur monomer isoprena

H2C CH2
(Z)
C C

H3C H

Gambar 2.2 Rumus bangun cis 1,4 poli isoprene

Huruf “n” adalah derajat polimerisasi yaitu bilangan yang menunjukkan


jumlah monomer dalam rantai polimer. Nilai “n” dalam karet berkisar 3000-15000.
Viskositas karet berkorelasi dengan nilai “n”. semakin besar nilai ni akan semakin

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


panjang rantai molekul karet menyebabkan viskositas mooney semakin tinggi
(Omposunggu, 1987).

2.1.2 Komposisi Lateks


Secara fisiologis lateks merupakan sitoplasma dari sel-sel pembuluh lateks
yang mengandung partikel karet,. Lutoid, nucleus, mitokondria, partikel Frey
Wessling, dan ribosom. Selain partikel karet, di dalam lateks terdapat bahan-bahan
bukan karet yang berperan penting mengendalikan sifat lateks dan karetnya
meskipun dalam jumlah relatif kecil (Suparto, 2002).
Komposisi lateks segar dari kebun dapat dilihat dalam tabel 2.1 sebagai berikut:
Tabel 2.1 Komposisi lateks segar dari kebun
Komponen Komposisi dalam lateks segar (%)
Karet hidrokarbon 36
Protein 1,4
Karbohidrat 1,6
Lipida 1,6
Persenyawaan organik 0,4
Sumber : Omposunggu, 1987

Komposisi lateks dalam karet kering dapat dilihat pada tabel 2.2 sebagai
berikut :
Tabel 2.2 Komposisi lateks dalam karet kering
Komponen Komposisi dalam lateks kering (%)
Karet hidrokarbon 92 - 94
Protein 2,5 - 3,5
Karbohidrat -
Lipida 2,5 - 3,2
Persenyawaan organik 0,1 - 0,5
Air 0,3 – 1,0
Sumber : Omposunggu, 1987

Getah karet merupakan cairan berbentuk koloid yang mengandung zat-zat


seperti lateks, tepung, lemak, protein dan lain-lain. Molekul- molekul karet pada
siang hari terbentuk dibagian daun tumbuhan karet, danbila hari menjelang sore,
getah dikirim ke bagian kulit pohon dalam bentuk polimer. Proses pengambilan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


getah karet dilakukan pada pukul 4 sampai 6 pagi hari, karena getah berkumpul pada
pagi hari (Hussudur, 2011).
Komponen-komponen bukan karet di dalam lateks sangat mempengaruhi
sifat lateks, diantaranya ada yang berakibat bagus tetapi ada juga yang berakibat
buruk terhadap lateks.
a. Protein
Kandungan protein yang terdapat dalam lateks segar berkisar 1,0 – 1,5%
dan sebagian dari protein tersebut teradsorbsi pada partikel karet dan
sebagian larut dalam serum. Protein yang teradsorbsi pada permukaan
partikel karet berfungsi sebagai lapisan pelindung, dimana protein akan
memberikan muatan negative yang mengelilingi partikel karet sehingga
mencegah terjadinya interaksi antara sesama partikel karet.
Namun dengan adanya mikroorganisme maka protein tersebut akan
terurai sehingga lapisan pelindung partikel karet akan rusak dan terjadilah
interaksi antara partikel karet membentuk flokulasi atau gumpalan
(Omposunggu, 1987).
b. Karbohidrat
Karbohidrat yang terdapat dalam lateks adalah sukrosa, glukosa,
galaktosa dan fruktosa. Ini merupakan sumber energi dan media yang
baik bagi pertumbuhan mikroorganisme, sebagai akibatnya akan
terbentuk asam lemak.
Asam lemak ini menurunkan kemantapan mekanik dan pH lateks. Jika pH
sampai apada titik isoelektrik maka lateks menggumpala. Untuk
menghindarkan aktivitas mikroba biasanya ditambahkan bahan pengawet
seperti ammonia, natrium sulfit dan formaldehid (Omposunggu, 1987).
c. Ion-ion Logam
Ion-ion logam seperti ion Ca2+ dan Mg2+ yang terdapat di dalam lateks
dapat menetralkan muatan negative dari partikel lateks dan menyebabkan
terganggunya kemantapan lateks serta rusaknya kestabilan sistem koloid
lateks. Pecahnya partikel koloid lateks akan menyebabkan terbentuknya
flokulasi dan lateks menggumpala. Oleh karena itu kandungan ion logam

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dari latkes sebaiknya rendah karena selain dapat mengganggu
kemantapan serta kestabilan sistem koloid lateks (Omposunggu, 1987).
2.1.3 Sifat Lateks
a. Sifat Kimia Karet
Apabila lateks Hevea Brasiliensis dilakukan sentrifugasi pada keceapatan
32.000 rpm selama 1 jam, maka akan terbentuk 4 (empat) fraksi :
1. Fraksi karet
Terdiri dari partikel-partikel karet yang terbentuk bulat dengan diameter 0,05
– 3 mikron. Partikel karet diselubungi oleh lapisan pelindung yan teridir dari
protein dan lipida dan berfungsi sebagai pemantap
2. Fraksi frey-wessling
Fraksi ini terdiri dari partikel-partikel frey wessling yang dikemukakan oleh
Frey Wessling. Fraksi ini berwarna kuning karena mengandung karotenoida.
3. Fraksi serum
Juga disebut fraksi C (centrifuge cerum) mengandung sebahagaian
komponen bukan karet yaitu air, protein, karbohidrat, dan ion-ion logam
4. Fraksi bawah
Terdiri dari partikel-partikel lutoid yang bersifat gelatin mengandung
senyawa nitrogen dan ion-ion kalsium serta magnesium (Omposunggu, 1987)
Menurut Yayasan karet (1983) sifat kimia lateks ada 2 hal yaitu :
a. Mudah teroksidasi oleh udara
b. Bila dibakar lateks alam akan berubah menjadi CO 2 dan H 2 O
b. Sifat Fisika Karet
Sifat fisika karet mentah dapat dihubungkan dengan dua komponen yaitu
viskositas dan elastisitas yang bekerja secara serentak. Viskositas diperlukan untuk
mengukur ketahanan terhadap aliran (deformasi). Terjadinya aliran pada karet yang
disebabkan oleh adanya tekanan/gaya disebabkan oleh dua hal, yaitu :
1. Terlepasnya ikatan di dalam atau antara rantai poliisoprena seperti
terlepasnya benang-benang yang telah dirajut. Hal ini terjadi pada stress yang
rendah/kecil
2. Terlepasnya seluruh ikatan rantai poliisoprene dan satu monomer dengan
monomer yang lain saling tindih akan membentuk lingkungan yang Kristal.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Dengan demikian komponen viskosita adalah irreversible dan dihitung
sebagai aliran dingin (cold flow) dari karet mentah, sedangkan elastisitas
menunjukkan jarak diantara ujung-ujung rantai poliisoprena (Omposunggu, 1987).

2.1.4 Jenis-jenis Karet Alam


Ada beberapa macam karet alam yang dikenal, diantaranya merupakan bahan
olahan. Bahan olahan yang ada yang setengah jadi atau sudah jadi. Ada juga karet
yang diolah kembali berdasarkan bahan karet yang sudah jadi.
Jenis-jenis karet alam yang dikenal luas adalah :
- Bahan olahan karet (lateks kebun, sheet angin, slab tipis dan lump segar)
- Karet konvensional (RSS, White crepes, dan pale crepe)
- Lateks pekat
- Karet bongkah atau block rubber (SIR 5, SIR 10, SIR 20)
- Karet spesifikasi teknis atau crumb rubber
- Karet siap atau tyre rubber
- karet reklim atau reclaimed rubber (Tim penulis, 2012)

2.1.5 Standart Indonesia Rubber (SIR)


Ketentuan tentang SIR didasarkan pada ketentuan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan dengan SK No. 143/KP/V/69 yang berlaku mulai 18 Juni 1969
menetapkan ketentuan-ketentuan SIR sebagai berikut :
1. SIR adalah karet alam yang dikeluarkan dari daerah-daerah yang termasuk
dalam lingkungan Negara Republik Indonesia
2. SIR yang diperdagangkan dalam bentuk bongkahan (balok) dengan ukuran
(28x6,5 inci). Bongkahan- bongkahan yang telah dibungkus dengan plastic
polielitan, tebalnya 0,03 mm, dengan titik pelunakan kurang dari 180oC, berat
jenis 0,92 dan bebas dari segala bentuk pelapis (couting). Pengepakan
selanjutnya dapat dilakukan dalam kantung kertas/krapt 4 ply atau dalam
bentuk pallet seberat 0,5 ton atau 1 ton.
3. Mutu untuk SIR ditetapkan berdasarkan spesifikasi teknis, berbeda dengan
cara visual yang konvensional sebagaimana tercantum dalam International
Standart of Quality and Packing for Natural Rubber (Green Book)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4. SIR terdiri dari 3 jenis mutu dengna spesifikasi teknis SIR 5, SIR 10, dan SIR
20. Semua jenis karet yang diperdagangkan dalam bentuk SIR harus disertai
dengan penetapan nilai Plasticity Retention Index dengan menggunakan
tanda huruf :
- “H” untuk PRI lebih besar atau sama dengan 80
- “M” untuk PRI antara 60-79
- “S” untuk PRI antara 30-59
Karet yang mempunyai nilai SIR lebih rendah dari 30 tidak diperkenankan
dimasukkan dalam SIR
5. Warna karet tidak menjadi bagian dalam spesifikasi teknis
6. Setiap produsen dari SIR dengan mutau apapun diwajibkan untuk
mendaftarkan pada Departemen Perdagangan. Departemen Perdagangan akan
memberikan tanda pengenal produsen kepada setiap produsen karet bongkah,
untuk setiap pabrik yang diusahakan. Setiap mutu SIR diwajibkan untuk
menyerahkan contoh-contoh hasil produksi kepada Balai Penelitian Bogor
atau Balai Penelitian Perkebunan, sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan oleh kedua balai tersebut untuk mendapatkan Surat Penetapan
Jenis Mutu Produksi
7. Setiap eksport karet SIR wajib disertai dengan sertifikat kualitas yang
dikeluarkan/disahkan oelh Badan Lembaga Penelitian Perindustrian
8. Setiap pembungkus bongkah dari SIR harus diberi tanda dengan lambang SIR
dan menurut ketentuan-ketentuan yang diberikan oleh Departemen
Perindustrian.
Eksport dair karet bongkah yang tidak memenuhi syarat-syarat SIR diatas
akan dilarang (Omposunggu, 1987).

2.1.6 Penggumpalan Lateks


Penggumpalan lateks merupakan peristiwa perubahan sol menjadi gel.
Proses penggumpalan lateks dapat terjadi dengan sendirinya dan dapat pula karena
pengaruh dari luar seperti gaya mekanis (gesekan), listrik panas, enzim, asam
maupun zat penarik air. Penggumpalan lateks dari luar atau disengaja untuk
mempercepat proses penggumplan dan untuk memperoleh koagulum karet dengan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


mutu yang lebih baik dengan cara yang lebih efisien dan lebih murah. Penggumpalan
lateks dilaksankan 3-4 jam setelah penyadapan dilakukan. Untuk memperoleh hasil
karet yang bermutu tinggi, penggumpalan lateks hasil penyadapan di kebun dan
kebersihan harus diperhatikan.
Pembekuan atau koagulasi bertujuan untuk mempersatukan (merapatkan)
butir-butir karet yang terdapat dalam cairan lateks agar menjadi suatu gumplan atau
koagulum. Perubahan lateks menjadi suatu koagulum membutuhkan bahan pembeku
(koagulan) seperti asam semut atau asam cuka. Lateks segar yang diperoleh dari hasil
penyadapan memiliki pH 6,5.
Proses penggumpalan (koagulasi) lateks terjadi karena muatan partikel karet
di dalam lateks, sehinggga daya interaksi karet dengan pelindungnya menjadi hilang.
Partikel karet yang sudah bebas akan bergabung membentuk gumpalan. Penurunan
muatan dapat terjadi karena penurunan pH lateks, dengan menurunkan pH hingga
tercapai titik isoelektrik yaitu pH dimana muatan positif protein seimbang dengan
muatan negative sehingga elektrokinetis potensial sama dengan nol. Titik isoelektrik
di dalam lateks kebun adlaah pada pH 4,5 – 4,8 (tergantung jenis klon) (Manday,
2008).
Adapun hubungan antara pH dan muatan listrik pada lateks dapat dilihat pada
Gambar 2.3 sebagai berikut :

Gambar 2.3 Hubungan antara pH dan muatan listrik


Sumber : Manday, 2008

Proses penggumpalan karet di dalam lateks juga dapat terjadi secara alamiah
akibat aktivitas mikroba. Karbohidrat dan protein lateks menjadi sumber energy bagi
pertumbuhan mikroba dan diubah menajadi asam-asam lemak eteris (asam formiat,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


asam asetat dan propionate). Semakin tinggi konsentrasi – konsentrasi asam tersebut
maka pH lateks akan semakin menurun dan setelah tercapai titik isoelektrik karet
akan menggumpal (Manday, 2008).
Beberapa cara penggumpalan lateks dari luar antara lain :
1. Penurunan pH lateks
Penurunan pH lateks dapat dilakukan dengan penambahan larutan asam.
Asam-asam yangbanyak digunakan sebagai penggumpal lateks adalah asam
formiat dan asam asetat. Pada proses ini, pH lateks diusahakan disekitar titik
isoelektrik lateks yaitu 4,4 – 5,3 dimana muatan positive protein seimbang
dengan muatan negative sehingga elekrokinetis potensial sama dengan nol.
2. Penambahan larutan elektrolit
Penambahan larutan elektrolit yang mengandung logam seperti Ca, Mg, Ba,
K, Al kedalam lateks menyebabkan penurunan potensial listrik partikel karet
dan mengakibatkan lateks menggumpal.
3. Penambahan senyawa penarik air
Penggumpalan lateks dengan cara menarik air (dehidrasi) dilakukan dengan
menambahkan senyawa alkohol dan aseton yang dapat mengganggu lapisan
molekul air di dalam lateks. Penggumpalan dengna cara ini jarang dilakukan
karena karet yang dihasilkan memiliki mutu yang kurang baik (Omposunggu,
1987).

2.2 Asam Formiat


Asam formiat adalah cairan tidak berwarna, berbau tajam, mudah larut dalam
air, alcohol dan eter yang titik didihnya 100,5oC dan titik leburnya 8oC.
Asam formiat terdapat dalam bahan semut merah, dalam beberapa macam
tumbuh-tumbuhan yang menyebabkan rasa gatal dan dalam jumlah kecil juga
terdapat dalam air keringat manusia.
Dalam industry asam formiat dibuat dari karbon monoksida dengan uap air yang
dialirkan melalui katalis (oksida-oksida logam pada suhu sekitar 200oC dan tekanan
besar). Asam formiat digunakan dalam industri lateks untuk menggumpalkan lateks
(Sanir, 1997).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2.3 Asap Cair
Asap cair (liquid smoke) merupakan campuran larutan dari disperse asap kayu
dalam air yang dibuat dengan mengkondensasikan asam cair hasil pirolisis. Asap cair
hasil pirolisis ini tergantung pada bahan dasar dan suhu pirolisis. Pirolisis tempurung
kelapa menghasilkan asap cair dengan kandungan senyawa fenol sebesar 4,13%,
karbonil 11,3% dan asam 10,2%.
Kualitas asap cair ditentukan oleh kemurnian dari senyawa-senyawa yang
terkandung didalamnya. Asap cair mengandung kelompok senyawa asam dan
turunannya, alcohol, aldehid, hidrokarbon, keton, fenol dan piridin. Senyawa-
senyawa ini tidak sepenuhnya sesuai dengan penggunaan asap cair sebagai
antimikroba, antioksidan, bioinsektisida dan penggunaanlainnya. Oleh karena itu,
proses pemurniannya perlu dilakukan untuk memisahkan senyawa-senyawa tersebut
sehingga didapatkan asap cair yang diinginkan.
Asap cair mengandung berbagai senyawa yang terbentuk karena terjadinya
proses pirolisis dari tiga komponen kayu yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin.
Lebih dari 400 senyawa kimia dalam asap telah berhasil diidentifikasi. Komponen-
komponen tersebut ditemukan dalam jumlah yang bervariasi tergantungg jenis kayu,
umur tanaman, sumber kayu, dan kondisi pertumbuhan kayu seperti iklim dan tanah.
Kompone-komponen tersebut meliputi asam yang dapat mempengaruhi citarasa, pH
dan umur simpan produk asapan, karbonil yang bereaksi dengan protein dan
membentuk pewarnaan cokelat dan fenol yang merupakan pembentukan utama
aroma dan menunjukkan aktivitas antioksidan (Darmadji dkk, 1996).

2.3.1 Jenis asap cair


Jenis asap cair dibedakan berdasarkan penggunaannya. Ada 3 jenis kualitas
asap cair, yaitu :
1. Asap cair grade 1
Grade 1 adalah pemrosesan dengan destilasi berulang-berulang sehingga
menghilangkan kadar karbon dalam asap yang telah terkondensasi.
Hasilnya lebih jernih berwarna kuning. Fungsinya sebagai pengawetan
makanan seperti bakso dan mie.
2. Asap cair grade 2

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Grade 2 adalah pemrosesan dengan destilasi berulang-ulang sehingga
menghilangkan kadar karbon jenuh dalam asap yang telah terkondensasi.
Hasilnya berwarna merah. Fungsinya sebagai pengganti formalin dengan
bahan alami atau herbal.
3. Asap cair grade 3
Grade 3 adalah pemrosesan dengan sedikit destilasi sehingga
menghilangkan kadar karbon dalam asap yang telah terkondensasi.
Hasilnya berwarna hitam.fungsinya pengawetan kayu, karet dan
penghilang bau (Girard 1992)

2.3.1 Komposisi Asap cair


Komposisi kimia dari asap cair dapat dilihat pada Tabel 2.3:
Tabel 2.3 Komposisi kimia asap cair
Komposisi kimia Kandungan (%)
Air 11 - 92
Fenol 0,2 – 2,9
Asam 2,8 – 4,5
karbonil 2,6 – 4,6
Ter 1 -17
Sumber : Girard (1992)

Menurut Girard (1992) senyawa-senyawa penyusun asap cair meliputi :


1. Senyawa-senyawa fenol merupakan senyawa yang berperan sebagai
antioksidan sehingga dapat memperpanjang masa simpan produk asapan.
Kandungan senyawa fenol dalam asap sangat tergantung pada temperature
pirolisis kayu. Kuantitas fenol pada kayu sangat bervariasi yaitu antara 10 –
200 mg/kg. beberapa jenis fenol yang biasanya terdapat dalam produk asapan
adalah guaikol dan siringol.
2. Senyawa-senyawa karbonil merupakan senyawa yang berperan pada
pewarnaan dan citarasa produk asapan. Golongan senyawa ini mempunyai
aroma seperti aroma caramel yang unik. Jenis senyawa karbonil yang terdapat
dalam asap cair antara lain adalah vanillin dan siringaldehida.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3. Senyawa-senyawa asam merupakan yang berperan sebagai anti bakteri
danmembenutk cita rasa produk asapan. Senyawa asam ini antara lain adalah
asam asetat, propionate, butirat dna valerat.
4. Senyawa hidrokarbon polisiklis aromatis merupakan senyawa yang dapat
terbentuk pada proses pirolisis kayu. Senyawa hidrokarbon aromatic seperti
benzo pyrene merupakan senyawa yang memiliki pengaruh buruk karena
bersifat karsinogen.
5. Senyawa benzo pyrene merupakan senyawa yang mempunyai titik didih
310oC dan dapat menyebabkan kanker kulit jika dioleskan langsung pada
permukaan kulit. Akan tetapi proses yang terjadi memerlukan waktu yang
lama.

2.3.2 Manfaat Asap Cair


Peran masing-masing komponen dalam asap cair berbeda-beda. Senyawa
fenol disamping memiliki peranan dalam aroma asap juga menunjukkan aktivitas
anti oksidan. Senyawa aldehid dan keton mempunyai pengaruh utama dalam warna
(reaksi Maillard) sedangkan efeknya dalam cita rasa sangat kurang menonjol. Asam-
asam pengaruhnya kurang spesifik namun mempunyai efek umum pada mutu
organoleptik secara keseluruhan, sedangkan senyawa hidrokarbon aromatic polisiklis
seperti 3,4 benzopiren memiliki pengaruh buruk karena bersifat karsinogenik
(Girard, 1992).
Penggunaan asap cair mempunyai keuntungan dibanding metode pengasapan
tradisional, yaitu lebih mudah diaplikasikan, proses lebih cepat, memberi
karakteristik yang khas pada produk akhir berupa aroma, warna, dan rasa serta
penggunaannya tidak mencemari lingkungan (Pszezeola, 1995).
Asap cair memiliki banyak manfaat dan telah digunakan pada berbagai
industry antara lain:
1. Industri pangan
Asap cair ini mempunyai kegunaan yang sangat besar sebagai pemberi cita
rasa dan aroma yang spesifik juga sebagai pengawet karena sifat antimikroba
dan antioksidannya. Dengan tersedianya asap cair maka proses pengasapan
tradisional dengan menggunakan asap secara langsung yang mengandung

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


banyak kelemahan seperti pencemaran lingkungan, proses tidak dapat
dikendalikan, kualitas yang tidak konsisten serta timbulnya bahaya
kebakaran, yang semuanya dapat dihindari.
2. Industri perkebunan
Asap cair dapat digunakan sebagai koagulan lateks dengan sifat fungsional
asap cair seperti antijamur, antibakteri dan antioksidan tersebut dapa
memperbaiki kualitas produk karet yang dihasilkan.
3. Industri kayu
Kayu yang diolesi dengan asap cair mempunyai ketahanan terhadap srangan
rayap dari pada kayu yang tanpa diolesi asap cair (Darmadji, 1999)

2.4 Pengujian Mutu Lateks


2.4.1 Plastisitas
Suatu bahan plastisitasnya tinggi mudah sekali berubah bentuk atau dengan
kata lain mudah sekali mengalir, sehingga telah didefenisikan, bahwa plastisitas
adalah kepekaan terhadap deformasi, pengertian ini merupakan kebalikan dari pada
pengertian viskositas-efektif, sedangkan viskositas-efektif didefenisikan sebagai
ketahanan terhadap deformasi. Metode pengujian viskositas umumnya bersifat
mengukur ketahanan terhadap deformasi (Kartowardoyo, 1980).
Plastisitas awal adalah plastisitas karet mentah yang langsung diuji tanpa
perlakuan khusus sebelumnya. Plastisitas retensi indeks adalah cara pengujian untuk
mengukur ketahanan karet terhadap degradasi oleh oksidasi pada suhu tinggi. karet
yang mempunyai plastisitas retensi indeks tinggi mempunyai rantai molekul yang
tahan terhadap oksidasi, sedangkan yang mempunyai plastisitas retensi yang rendah
mudah teroksidasi menjadi karet lunak.
Plastisitas retensi indeks ini sangat penting karena plastisitas retensi index
menunjukkan keadaan dari molekul itu sendiri, menunjukkan sejauh mana akan
terjadi pemecahan karet jika dipanaskan. Plastisitas retensi indeks ukuran terhadap
tahan usang karet dan plastisitas retensi indeks dipakai sebagai petunjuk mudah
tidaknya karet itu dilunakkan dalam gilingan pelunak (masicator). Plastisitas retensi
indeks dapat ditentukan dengan Wallace Plastimeter. Dengan alat ini ditentukan
Plastisitas dari karet sebelum dipanaskan pada suhu 140oC selama 30 menit.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Nilai plastisitas dari karet dapat menurun oleh karena faktor-faktor :
1. Karet dijemur dibawah sinar matahari
2. Karet dipanaskan terlalu tinggi
3. Karet terlalu banyak digiling atau direndam terlalu lama
4. Karet mengandung banyak kotoran
Karet-karet mutu rendah setelah digiling dan diuji beberapa kali, adakalanya
mempunyai plastisitas retensi indeks yang sangat rendah. Karet-karet yang sudah
teroksidasi terlalu banyak memang mempunyai plastisitas retensi indeks rendah dan
karet demikian tidak dapat diperbaiki plastisitas retensi indeksnya (Walujono, 1970).

2.4.2 Viskositas Mooney


Viskositas mooney karet alam menunjukkan panjangnya rantai molekul karet
atau berat molekul serta derajat pengikatan silang rantai molekulnya. Pada umumnya
semakin tinggi berat molekul (BM) hidrokarbon karet semakin panjang rantai
molekul dan semakin tinggi tahanan terhadap aliran dengan kata lain karetnya
semakin kental dan keras.
Pada pembuatan ban karet alam dengan berat molekul tinggi cukup menarik
karena sifat fisik ban yang dihasilkan seperti daya kenyal, tegangan tarik,
perpanjangan putus dan sebagainya cukup baik. Derajat pengikat silang rantai
molekul yang tinggi menyatakan semakin banyak reaksi ikatan silang yang terjadi
sehingga akan meningkatkan nilai viskositas mooney karet alam.
Viskositas karet alam mentah mudah mengalami perubahan yang disebabkan
oleh kenaikan suhu, lama penyimpanan, lama pengangkutan dan sebagainya.
Viskositas mooney karet mentah dapat ditentukan dengan “Mooney viscosimeter”.
Menurut Baker dan Greensmith pada kompon murni karet alam laju matang,
viskostas Wallace awal dan plastisitas retensi indeks dari karet mentahnya
mempengaruhi sifat-sifat tegangan vulkanisat dari kompon murni tersebut, seperti
misalnya modulus, tegangan putus dan perpanjangan putus (Kartowardoyo, 1980).
2.4.3 Kadar Abu
Penentuan maksimal dari kadar abu dimaksudkan agar karet yang dijual tidak
kemasukan bahan-bahan kimia dalam jumlah yang banyak. Dalam pengolahan karet
memang beberapa bahan kimia dipakai misalnya natrium bisulfit atau natrium

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


karbonat. Banyaknya abu lebih dari 1,5% menunjukkan bahwa pengujian kurang
bersih (Walujono, 1970).
Tingginya kadar abu dapat disebabkan beberapa faktor seperti tanah yang
mengandung kalsium tinggi, musim gugur (dimana daun akan membusuk). Kadar
abu ini dapat tinggi akibat perlakuan yang tidak dianjurkan misalnya penggumpalan
lateks dengan ammonium sulfat mengakibatkan kadar abu karet keringnya tinggi.
Faktor pengolahan dapat mempengaruhi kadar abu, dimana makin besar
tingkat pengolahan maka kadar abu semakin rendah misalnya lateks yang
digumpalkan tanpa pengenceran mempunyai kadar abu yang lebih tinggi daripada
dengan pengenceran. Dengan kata lain semakin encer lateks yang digumpalkan
makin rendah kadar abu karet yang diperoleh karena sebagian besar akan tercuci
bersama serum. Penentuan kadar abu dimaksudkan untuk melindungi konsumen
terhadap penambahan bahan-bahan pengisi ke dalam karet pada waktu pengolahan
(Walujono, 1970).

2.4.4 Kadar Karet Kering (KKK)


Kadar karet kering (KKK) adalah kandungan padatan karet per satuan berat
(%). KKK lateks atau bekuan sangat penting untuk diketahui karena selain dapat
digunakan sebagai pedoman penentuan harga juga merupakan standar dalam
pemberian bahan kimia untuk pengolahan RSS dan lateks pekat. Kadar karet kering
pada lateks tergantung dari beberapa faktor antara lain jenis klon, umur pohon, waktu
penyadapan, musim, suhu, udara serta letak tinggi dari permukaan laut. Terdapat
beberapa metode dalam penentuan KKK, salah satu diantaranya adalah metode
laboratorium. Prinsip dalam metode laboratorium adalah pemisahan karet dari lateks
yang dilakukan dengan cara pembekuan, pencucian dan pengeringan (Walujono,
1970).

2.4.5 Kadar Kotoran


Kotoran adalah benda asing yang tidak larut dan tidak dapat melalui saringan
325 mesh. Adanya kotoran di dalam karet yang relative tinggi dapat mengurangi sifat
dinamika yang unggul dari vulkanisat karet alam antara lain kalor timbul dan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ketahanan retak lenturnya. Kotoran tersebut juga mengganggu pada pembuatan
vulkanisat tipis.
Potongan uji untuk penetapan kadar kotoran perlu ditipiskan lagi untuk
memudahkan pelarutan. Potongan uji yang telah digiling digulung., dilarutkan di
dalam pelarut yang mempunyai titik didih tinggi, disertai penambahan suatu zat
untuk memudahkan larutnya karet (rubber peptiser). Larutan kotor yang tertinggal
kemudian dituangkan melalui saringan 325 mesh. Kotoran yang tertinggal pada
saringan setelah dikereingkan di dalam oven, kemudian ditimbang setelah
didinginkan. Hasil pelaksanaan pengujian yang baik, dapat dilihat dari mudah
bergeraknya kotoran kering di dalam saringan (Walujono, 1970).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Fisika FMIPA USU Medan
dan Laboratorium PT. Batanghari Tebing Pratama, Jalan Soekarno Hatta,
Tebing Tinggi selama bulan nopember 2017 sampai maret 2018.

3.2. Alat Penelitian


- Alat Creeper Ampia Deluxe 150
- Lab Mill Spend Reducer
- Wallace Punch Spend Reducer
- Plastimeter Wallace
- Mooney viskosimeter Sondes
- Cawan Platina
- Pembakar Listrik Karl Kolb
- Oven Gallen kamp
- Muffle furnace Sybron Termolir
- Desikator
- Beaker Glass Pyrex
- Gelas Ukur Pyrex
- Neraca Analitis
- Bunsen
- Pipet tetes
3.3. Bahan Penelitian
- Lateks Perkebunan Rakyat Kec. Sei Rampah
- Asam Formiat 94%
- Asap Cair
- Kertas Lakmus Indikator
- Kertas Sigaret
- Mineral Terpentin

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


- Curio Ts Sol 36%
- pH universal

3.4. Prosedur Penelitian


3.4.1 Pembuatan Asam Formiat 4%
Disediakan asam formiat dengan konsentrasi 94%. Encerkan asam formiat
hingga konsentrasi 4% dengan rumus :

Keterangan :
V1 = Volume asam formiat pekat yang akan diencerkan (mL)
V2 = Volume yang diinginkan untuk setelah pengenceran (mL)
K1 = Konsentrasi awal
K2 = Konsentrasi akhir
Maka selanjutnya dipipet sebanyak 10,6 mL asam formiat 94% lalu
diencerkan dengan menambahkan aquades hingga 250 mL.

3.4.2 Pembuatan asap cair tempurung kelapa 10%


Disediakan asap cair kualitas 3 dengan terlebih dahulu mengencerkannya
dengan perbandingan 10 : 100. Dipipet asap cair grade 3 sebanyak 10 mL lalu
diencerkan sampai 100 mL aquades untuk membuat asap cair dengan
konsentrasi 10%.

3.4.3 Aplikasi Formulasi Asap Cair Tempurung Kelapa dan Asam Formiat
Terhadap Lateks
Disediakan sebanyak 3000 mL lateks, kemudian masing-masing 100 mL
lateks dimasukkan kedalam 6 mangkok penggumpal, dimana formulasi ini
berdasarkan kadar konsentrasi pada penelitian Suwardin dan Purbaya (2015)
digunakan asam formiat konsentrasi 4% sebanyak 30 mL untuk setiap liter
lateks dan asap cair konsentrasi 10% sebanyak 100 mL untuk setiap liter
lateks. Adapun formulasi yang digunakan adalah :

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Tabel 3.4 Tabel Formulasi asap cair tempurung kelapa dan asam formiat
Formulasi Volume
No Label
Asap cair : Asam Formiat Asap cair : Asam Formiat
1 A 100 % 0% 10 mL 0 mL
2 B 80% 20% 8 mL 0,6 mL
3 C 60% 40% 6 mL 1,2 mL
4 D 40% 60% 4 mL 1,8 mL
5 E 20% 80% 2 mL 2,4 mL
6 F 0% 100% 0 mL 3 mL

Masing-masing mangkok yang telah ditambahkan formula penggumpal


diaduk hingga terbentuk koagulum karet dan dihitung waktu yang dibutuhkan
untuk terkoagulasi dengan stopwatch. Setelah itu masing-masing koagulum
karet yang terbentuk digiling dengan alat creeper sebanyak enam kali gilingan
dan dikeringkan 10 hari sehingga menghasilkan karet kering, kemudian
masing-masing koagulum karet yang telah kering di oven pada suhu 1000C
setela itu digiling dengan blending mill sebanyak tiga kali, lalu karet kering
yang dihasilkan diuji mutu karetnya yaitu Plastisitas Awal (Po), Plastisitas
Retensi Index (PRI), Viskositas Mooney, Kadar Abu, Kadar Kotoran, Kadar
Karet Kering (KKK) sesuai dengan ketentuan SNI 1903 : 2011.
3.5. Pengujian Mutu Karet
3.5.1 Penetapan Nilai Plastisitas Awal dan Plastisitas Retensi Index
Ditimbang sekitar 15 gram lateks yang sudah dikeringkan, lalu digiling
dengan gilingan laboratorium sebanyak tiga kali, lalu lembaran karet tersebut
dilipat dua, ditekan perlahan-lahan dengan telapak tangan, kemudian
lembaran karet tersebut dipotong dengan alat Wallace punch sebanyak enam
buah potongan uji dengan diameter 13 mm seperti Gambar 3.4 dibawah ini :

Gambar 3.4 Lembaran karet setelah dipotong alat Wallace punch

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Untuk pengukuran plastisitas awal diambil potongan uji (1), sedangkan
potongan uji (2) untuk pengukuran plastisitas setelah pengusangan.
Diletakkan potongan uji (2) untuk pengukuran plastisitas setelah pengusangan
di atas baki dan dimasukkan ke dalam oven pada suhu 140oC selama 30
menit. Lalu dikeluarkan kemudian didinginkan sampai suhu kamar,
sementara potongan uji (1) sebanyak tiga buah diletkkan satu persatu diantara
dua lembar kertas sigaret yang berukuran 35 mm x 45 mm selanjutnya
diletakkan di atas piringan plastimeter lalu piringan plastimeter tersebut
ditutup, kemudian setelah ketukan pertama piringan bawah plastimeter akan
bergerak ke atas selama 15 detik dan menekan piringan atas, lalu dilanjutkan
sampai ketukan berakhir yang ditandai dengan angka jarum micrometer
berhenti bergerak pada nilai plastisitas karet, sedangkan potongan uji (2)
setelah pengusangan tadi diukur dengan cara yang sama, kemudian tiga
potongan uji dari setiap contoh diambil angka rata-ratanya dan dibulatkan.
Plastisitas Retensi Index (PRI) dapat dihitung dengan persamaan 3.4 sebagai
berikut :
PRI=

Keterangan : Pa = Plastisitas setelah pengusangan


Po = Plastisitas sebelum pengusangan
3.5.2 Penetapan Viskositas Mooney
Sebelum pengukuran dilakukan, alat viskosimeter terlebih dahulu dipanaskan
selama 1 jam, kemudian masing-masing lembaran contoh karet diambil 2
potongan uji dengan menggunakan alat Wallace punch sehingga ukuran
diameternya sama dengan ukuran diameter rotor, lalu dimasukkan rotor ke
contoh karet pertama yang telah diberi lubang dengan gunting lalu
dimasukkan bersama-sama ke stator bawah, kemudian contoh kedua
diletakkan tepat di atas rotor,lalu ditutup stator atas dan setelah tertutup
stopwatch dihidupkan, kemudian setelah tepat satu menit, dijalankan rotor,
kemudian setiap setengah menit dilihat nilai viskositas pada alat penunjuk,
lalu angka yang ditunjukkan jarum micrometer setelah menit keempat adalah
nilai viskositas karet. Viskositas Mooney dapat dihitung dengan persamaan
3.5 sebagai berikut :

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Keterangan : M = Pembacaan nilai viskositas setelah 4 menit
L = Besar rotor yang digunakan
1 = 1 menit waktu pemanasan
4 = waktu 4 menit lamanya pemanasan
1000C = Suhu pengujian
3.5.3 Penetapan Kadar Abu
Ditimbang masing-masing 5 gram contoh karet yang telah diseragamkan lalu
dipotong-potong, lalu selanjutnya dimasukkan ke dalam cawan platina yang
telah dikeringkan dan telah diketahui bobotnya, kemudian masing-masing
cawan yang berisi karet kemudian dipindahkan di atas pembakar listrik/gas
sampai tidak keluar asap, lalu pemijaran diteruskan di dalam tanur pada suhu
5500C selama dua jam (sampai tidak berjelaga lagi), kemudian didinginkan
cawan yang berisi abu di dalam desikator sampai suhu kamar selama 30
menit, lalu ditimbang.
Kadar abu dapat dihitung dengan persamaan 3.6 sebagai berikut :

Keterangan : A = Berat cawan platina + Abu


B = Berat cawan platina
C = Berat potongan uji

3.5.4 Penentuan Kadar Karet Kering (KKK)


Ditimbang lateks untuk menentukan bobot lateks, kemudian digiling karet
kering ± 25 kali dengan ketebalan 6,9 mm ntuk membersihkan sampel dari
kontaminan seperti potongan kulit karet, lumut, daun, pasir dan sebagainya,
lalu digulung hasil gilingan, kemudian ditimbang kembali untuk menentukan
bobot karet kering. Kadar karet kering dapat dihitung dengan persamaan 3.7
sebagai berikut :

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3.5.5 Penentuan Kadar Kotoran
Ditimbang sampel sebanyak 10 gram, kemudian dimasukkan ke dalam
Erlenmeyer yang telah diisi mineral terpentin sebanyak 230 mL dan Curio Ts
Sol 36% sebanyak 1,2 mL, lalu dipanaskan pada box infrared dengan suhu
255oC selama 2 jam dan selama pemanasan diguncang beberapa kali sampai
larut dengan baik, sebelumnya saringan ditimbang dalam keadaan kosong dan
dicatat nomor saringannya, lalu setelah 2 jam kemudian larutan disaring,
kemudian dibilas Erlenmeyer dengan washing bottle untuk membersihkan
kotoran yang tinggal di dasar Erlenmeyer, lalu dikeringkan saringan di dalam
oven selam 1 jam sampai mencapai suhu kamar, kemudian didinginkan
saringan beserta kotora, lalu ditimbang dan dicata berat saringan yang berisi
kotoran. Kadar kotoran dapat dihitung dengan persamaan 3.8 sebagai berikut
:

Dimana : A = Bobot saringan + Kotoran


B = Bobot saringan kosong
C = Bobot contoh

3.5.6 Bagan Penelitian


3.6.1 Pengambilan Lateks

Lateks Kebun

Diambil sebanyak 3000 mL

Disaring

Dihomogenkan

Lateks Murni

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3.6.2 Formula Asap Cair Tempurung Kelapa dan Asam Formiat sebagai
Penggumpal Lateks

Lateks

Dimasukkkan 100 mL Kedalam


mangkok penggumpal

diukur pH lateks murni

dicampurkan formulasi asap cair : asam


formiat lalu diukur pHnya dan hitung

Koagulum

Digiling dengan alat creeper sebanyak 6 x

Blanket

Dimaturasi selama 10 hari

Dikeringkan di dalam oven


pada suhu 100oC selama 4
Karet kering
jam

Digiling dengan lab mill sebanyak 3 x

Pengujian Mutu Karet

Plastisitas Viskositas
Plastisitas KKK Kadar Abu Kadar
Retensi Mooney
Awal (Po) Kotoran
Indeks
(PRI)
Catatan :
Perlakuan yang sama diulang dengan formula asap cair 10% dan asam formiat 4%
100% : 0% ; 80% : 20% ; 60% : 40% ; 40% : 60% ; 20% : 80% ; 0% : 100%.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian


4.1.1 Data Waktu Penggumpalan Lateks

Hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap Pengaruh formulasi asap cair
tempurung kelapa dan asam formiat terhadap mutu bahan olah karet diperoleh data
waktu yang dibutuhkan lateks menggumpal untuk setiap perlakuan :
Tabel 4.5 Tabel Lama waktu penggumpalan lateks
Formulasi
Label Waktu yang dibutuhkan
Asap Cair : Asam Formiat
A 100% 0% 15 menit 40”
B 80% 20% 14 menit 26”
C 60% 40% 12 menit 15”
D 40% 60% 10 menit 11”
E 20% 80% 8 menit 1”
F 0% 100% 6 menit 46”

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4.1.2 Analisis Mutu
4.1.2.1 Hasil Pengujian Mutu Karet dalam Penetapan Nilai Plastisitas Awal
(Po) dan Plastisitas Retensi Indeks (PRI)

Hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap Pengaruh formulasi asap cair
tempurung kelapa dan asam formiat terhadap mutu bahan olah karet diperoleh nilai
plastisitas awal (Po) dan Plastisitas Retensi indeks yang dipaparkan pada tabel 4.6.

Tabel 4.6 Nilai Plastisitas awal dan plastisitas retensi indeks (PRI) karet dengan
penambahan formulasi asap cair tempurung kelapa dan asam formiat
sebagai bahan koagulan lateks
Formulasi Po Pa
Medium Medium Nilai
Label Asam
Asap Cair Po Pa PRI
: Formiat I II III I II III
A 100% 0% 47 45 48 20 18 19 45 19 42
B 80% 20% 39 43 44 18 20 22 43 20 47
C 60% 40% 41 41 41 17 17 16 41 17 41
D 40% 60% 40 39 38 14 13 14 39 14 36
E 20% 80% 41 42 41 15 18 18 41 18 44
F 0% 100% 45 45 50 37 38 37 45 37 82

4.1.2.2 Hasil Pengujian Mutu Karet dalam Penetapan Viscositas Mooney


Penentuan viscositas mooney terhadap karet alam menunjukkan panjangnya
suatu rantai molekul karet atau berat molekul serta derajat pengikat silang rantai
molekulnya. Pada umumnya semakin tinggi berat molekul (BM) hidrokarbon karet
semakin panjang rantai molekul dan semakin tinggi tahanan terhadap aliran dengan
kata lain karetnya semakin kental dan keras. Hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap pengaruh formulasi asap cair tempurung kelapa dan asam formiat diperoleh
nilai viskositas mooney yang dipaparkan pada tabel 4.7.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Tabel 4.7 Nilai viskositas mooney dengan penambahan formulasi asap cair
tempurung kelapa dan asam formiat sebagai bahan koagulan lateks
Formulasi Menit
Rata-
Label Asap Asam
1.00 1.30 2.00 2.30 3.00 3.30 4.00 rata
Cair : Formiat
A 100% 0% 108 78 78 81 81 82 82 82
B 80% 20% 100 73 74 77 77 77 77 77
C 60% 40% 111 73 70 73 73 73 73 73
D 40% 60% 97 67 70 71 71 71 71 71
E 20% 80% 111 73 73 77 78 78 78 78
F 0% 100% 105 70 74 76 77 77 77 77

4.1.2.3 Hasil Pengujian Mutu Karet dalam Penetapan Kadar Kotoran


Penentuan kadar kotoran terhadap kaet untuk menunjukkan banyaknya benda
asing yang tidak larut. Dimana karena adanya kotoran di dalam karet yang relative
tinggi dapat mengurangi dinamika yang unggul dar vulkanisasi kaet alam antara lain
kalor timbul dan ketahanan retak lenturnya. Hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap pengaruh formulasi asap cair tempurung kelapa dan asam formiat terhadap
lateks diperoleh nilai kotoran yang dipaparkan pada tabel 4.8.

Tabel 4.8 Nilai kadar kotoran dengan penambahan formulasi asap cair tempurung
kelapa dengan asam formiat sebagai bahan koagulan lateks
Formulasi Berat Berat Berat Berat
% Kadar
Label Asap Asam Contoh Kotoran + Sieve Kotoran
Kotoran
Cair : Formiat (g) Sieve (g) (g) (g)
A 100% 0% 10.0031 22.8487 22.8451 0.0036 0.04
B 80% 20% 10.0020 22.0223 22.0179 0.0044 0.04
C 60% 40% 10.0011 22.8572 22.8563 0.0009 0.01
D 40% 60% 10.0022 22.0348 22.0305 0.0043 0.04
E 20% 80% 10.0039 22.9505 22.9491 0.0014 0.01
F 0% 100% 10.0021 22.7716 22.7674 0.0042 0.04

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4.1.2.4 Hasil Pengujian Mutu Karet dalam Penetapan Kadar Abu
Penentuan kadar abu terhadap karet untuk menunjukkan total mineral dalam
suatu bahan. Hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap pengaruh formulasi asap
cair tempurung kelapa dan asam formiat diperoleh nilai kadar abu yang dipaparkan
pada tabel 4.9

Tabel 4.9 Nilai kadar abu dengan penambahan formulasi asap cair tempurung kelapa
dengan asam formiat sebagai bahan koagulan lateks
Formulasi Berat
Berat
Krus + Berat Berat Abu % Kadar
Label Asap Asam Contoh
: Contoh Krus (g) (g) Abu
Cair Formiat (g)
(g)
A 100% 0% 5.0016 28.2255 28.2112 0.0143 0.29
B 80% 20% 5.0011 25.1563 25.1412 0.0151 0.30
C 60% 40% 5.0017 28.2744 28.2626 0.0108 0.24
D 40% 60% 5.0008 23.9173 23.9048 0.1250 0.25
E 20% 80% 5.0030 25.3053 25.2945 0.1080 0.22
F 0% 100% 5.0021 24.0908 24.0812 0.0960 0.19

4.1.2.5 Hasil Pengujian Mutu Karet dalam Penetapan Kadar Karet Kering
(KKK)
Penentuan kadar karet kering untuk menunjukkan banyaknya kadar karet
kering yang terdapat didalam lateks yang digumpalkan dengan asam. Hasil penelitian
yang telah dilakukan terhadap pengaruh formulasi asap cair tempurung kelapa dan
asam formiat terhadap lateks diperoleh nilai kadar karet kering yang dipaparkan pada
tabel 4.10.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Tabel 4.10 Nilai kadar karet kering dengan penambahan formulasi asap cair
tempurung kelapa dengan asam formiat sebagai bahan koagulan lateks
Formulasi Berat Berat
Berat % Kadar
Krus + Berat Karet
Label Asap Asam Mangkuk Karet
: Contoh lateks (g) Kering
Cair Formiat (g) Kering
(g) (g)
A 100% 0% 25 115.15 90.15 34.1152 37.84271
B 80% 20% 20 110.04 90.04 37.1507 41.26022
C 60% 40% 35.11 125.19 90.08 33.7610 37.47891
D 40% 60% 28.64 118.75 90.11 33.6621 37.35668
E 20% 80% 26.63 116.83 90.20 34.4354 38.17672
F 0% 100% 26.19 116.43 90.24 35.4836 39.32137

4.2 Pembahasan
4.2.1 Aplikasi Asap cair dan Asam Formiat Terhadap Penggumpalan
Lateks
Asap cair tempurung kelapa yang digunakan dalam penelitian ini telah
mengalami proses pengendapan, penyaringan serta penyimpanan selama kurang
lebih 3 bulan. Asap cair memiliki penampakan fisik dengan warna kuning kecoklatan
yang jernih, dan berbau asap pekat. Aplikasi dari formulasi asap cair tempurung
kelapa dan asam formiat dalam proses penggumpalan lateks adalah untuk
mengetahui efektivitas serta dosis tepat dari formulasi ini agar dapat menghasilkan
bahan olah karet yang sesuai kelas mutu SIR.
Tahap awal penelitian ini adalah penggumpalan lateks kebun rakyat di desa
Simpang Empat, Kecamatan Sei. Rampah. Lateks yang telah disadap di kebun
kemudian digumpalkan dengan formulasi yang telah dirancang dan dihitung waktu
yang dibutuhkan untuk menggumpalkan masing-masing formula. Perlakuan yang
digunakan adalah 80%: 20 %, 60% : 40%, 40%: 60%, 20% : 80% asap cair
tempurung kelapa dan asam formiat, serta 100% asap cair dan 100% asam formiat
sebagai kontrol.
Pembuatan larutan koagulan dilakukan dengan cara mencampurkan kedua
bahan dengan sebelumnya dilakukan pengenceran, kedua bahan tersebut

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dicampurkan di dalam gelas ukur sesuai dosis masing-masing perlakuan.
Pengenceran larutan pekat dapat menyebabkan volume dan kemolalan larutan
berubah, tetapi jumlah mol zat terlarut tidak berubah (Purba, 2000). Hal ini dilakukan
agar asam yang mengandung ion H+ dapat menetralkan ion negative pada lateks
secara perlahan dan merata sehingga menghasilkan koagulum yang baik
(Sucahyo,2010).
Pemberian bahan koagulan dilakukan secara perlahan dan sedikit demi sedikit
ke dalam wadah koagulasi yang disertai pengadukan. Hal ini bertujuan agar bahan
koagulan dapat tercampur secara merata ke dalam lateks. Pemberian bahan
koagualan bahan koagulan yang berlebih atau terlalu banyak akan menyebabkan
koagulan menjadi keras dan sulit untuk digiling, sedangkan jika pemberian kurang
maka koagulum akan menjadi lunak, membubur atau tetap encer (tidak membeku).
Secara umum, proses koagulasi sangat dipengaruhi oleh derajat keasaman (pH).
Penggunaan asam formiat sebagai koagulan harus dilakukan secara tepat sesuai dosis
dan konsentrasinya (4 ml/kg karet kerin), karena penggunaan asam semut yang
berlebihan dapat meningkatkan kehilangan bobot (losses), waktu pengeringan yang
lebih lama dan jumlah penggilingan yang lebih banyak. Kelebihan asam juga kan
menyebabkan nilai plastisitas yang rendah, sedangkan kadar abu dan kadar zat
menguap yang lebih tinggi (Suwardin dan Purbaya, 2015). Hal inilah yang dijadikan
pertimbangan untuk menentukan dosis bagi koagulan yang diberikan pada lateks.
Menurut Suwardin, dan Purbaya, 2015 dosis yang tepat untuk asam formiat adalah
konsentrai 4% sebanyak 30 mL untuk setiap liter lateks dan untuk asap cair adalah
konsentrasi 10% sebanyak 100 mL untuk setiap liter lateks.
Pengadukan lateks juga harus dilakukan perlahan untuk mengurangi busa
yang timbul selama proses berlangsung. Selanjutnya wadah koagulasi ditutup rapat
untuk menghindari kontak dengan udara luar. Terlihat pada tabel diatas bahwa
penggunaan kombinasi asap cair tempurung kelapa dan asam formiat dengan
formulasi 40% : 60% dan 20% : 80% mampu menggumpalkan lateks dengan waktu
yang relatif lebih cepat dibandingkan jika menggunakan koagulan asap cair
tempurung kelapa murni 100%, meskipun waktu yang lebih cepat tetap dimiliki oleh
koagulan asam formiat murni 100%.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Lateks yang telah membeku disebut koagulum. Hasil koagulum pada
perlakuan 80% : 20% dan 60% : 40% menunjukkan ciri-ciri fisik yang sama dengan
kontrol 100% asap cair terlihat bintik-bintik gelembung udara pada bagian
permukaan, hasil ini terlihat seragam pada setiap pengulangannya. Setiap perlakuan
yang menggunakan kombinasi ini menunjukkan adanya lapisan tipis berwarna
cokelat pada permukaan koagulum serta beraroma asap. Lapisan ini terbentuk
sebagai akibat reaksi antara serum lateks serta karbonil dalam asap cair yang
memiliki kemampuan memberi warna khas cokelat pada produk. Menurut Ruswanto
dkk, (2000), karbonil mempunyai efek terbesar pada terjadinya pembentukan warna
coklat produk asapan. Jenis komponen karbonil yang paling berperan adalah aldehid
glioksal sedangkan formaldehid dan hidroksiasetol memberikan perananyang rendah.
Fenol juga memberikan kontribusi pada pembentukan warna coklat pada produk
yang diasap meskipun intensitasnya tidak sebesar karbonil. Sedangkan Hasil
koagulum 40% : 60% dan 20% : 80% asap cair tempurung kelapa : asam formiat
memperlihatkan cirri-ciri fisik yang tidak jauh berbeda dengan kontrol 100% asam
formiat. Meskipun masih sedikit terlihat lapisan warna coklat tipis dipermukaan
koagulum, namun tidak sejelas pada koagulum dengan formulasi 80% : 20% dan
60% : 40% asap cair tempurung kelapa dan asam formiat. Penampakan fisik
koagulum tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.5 berikut.

Gambar 4.5 Gambar penampakan fisik koagulum perlakuan asap cair tempurung
kelapa : asam formiat A (100% : 0%) , B (80 % : 20%), C (60% : 40%), D (40% :
60%), E (20% : 80%) dan F (0% : 100%) sebelum penggilingan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Proses selanjutnya adalah penggilingan yang bertujuan untuk memisahkan
sebagaian besar air yang terkandung dalam koagulum. Setelah itu blanket yang telah
memiliki permukaan yang lebih luas digantung selama hampir 10 hari diruang
terbuka dan terlindung dari sinar matahari, perlakuan ini disebut maturasi
(pemeraman) yang bertujuan untuk menghilangkan kadar air pada blanket. Sampai
tahap ini blanket yang telah kering menunjukkan kondisi fisik yang sedikit berbeda,
untuk perlakuan 80% : 20% dan 60% : 40% asap cair tempurung kelapa dan asam
formiat terlihat seragam dengan kontrol asap cair 100% dimana kondisi blanket
sangat coklat. Sedangkan untuk perlakuan 40% : 60% dan 20% : 80% asap cair
tempurung kelapa dan asam formiat, warna blanket lebih terlihat seragam dengan
asam formiat 100%. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.6 berikut :

A B C

D E F
Gambar 4.6 Gambar penampakan fisik blanket perlakuan asap cair tempurung
kelapa : asam formiat A (100% : 0%) , B (80 % : 20%), C (60% : 40%), D (40% :
60%), E (20% : 80%) dan F (0% : 100%) setelah maturasi (pemeraman)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Setelah proses ini, blanket dikeringkan pada oven dengan suhu 100oC selama
4 jam. Biasanya pada pabrik, blanket dikeringkan pada suhu 110 – 140oC. Hal ini
dilakukan untuk menghindari terbentuknya white spot (bintik putih) yang disebabkan
oleh jamur pada permukaan blanket. Selanjutnya blanket di blending untuk
menyeragamkan kondisi dari karet sebelum dilakukan analisis mutu yang meliputi
nilai plastisitas PRI, kadar abu, kadar kotoran serta viskositas mooney yang
berpedoman pada SNI 1903 : 2011 Standard Indonesian Rubber (Lampiran 2).
4.2.2 Plastisitas
Karet alam adalah hidrokarbon yang merupakan makro molekul poliisoprene,
yang bergabung secara ikatan kepala ke ekor. Rantai poliisoprene membetuk
konfigurasi cis dengan susunan ruang yang teratur. Karet yang memiliki susunan
ruang tersebut akan mempunyai sifat elastic atau kenyal. Sifat kenyal tersebut
berhubungan dengan viskositas atau plastisitas. Plastisitas merupakan salah satu
karakteristik penting dalam uji mutu teknis pada bahan olah karet. Plastisitas adalah
kepekaan terhadap deformasi.

4.2.1.1 Plastisitas awal


Plastisitas awal adalah plastisitas karet mentah yang langsung diuji tanpa
perlakuan khusus sebelumnya, yang ditentukan dengan Wallace Plastimeter. Karet
yang mempunyai Po tinggi, mempunyai rantai molekul yang tahan terhadap oksidasi.
Sedangkan yang mempunyai Po rendah mudah teroksidasi menjadi karet lunak
(Walujono, 1972).
Besarnya pengaruh penambahan formulasi asap cair tempurung kelapa dan
asam formiat sebagai bahan koagulan lateks terhadap nilai plastisitas awal bahan
olah karet dapat dilihat pada gambar 4.7 berikut.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Gambar 4.7 Grafik hubungan nilai plastisitas awal (Po) vs formulasi asap cair
tempurung kelapa dan asam formiat

Jika dilihat dari grafik di atas, nilai plastisitas awal yang tertinggi diperoleh
dari kombinasi 80% : 20% asap cair dan asam formiat sebesar 43. Secara
keseluruhan nilai plastisitas seluruh perlakuan ini telah memenuhi kriteria SNI 1903-
2011 dengan minimal nilai PRI adalah 30, namun masih relatif cukup rendah. Hal ini
disebabkan oleh konsentrasi dosis asap cair yang relatif encer sehingga sifat
antioksidannya kurang efektif.

4.2.1.2 Plastisitas Retensi Indeks (PRI)

PRI adalah ukuran dari besarnya sifat keliatan karet mentah sebelum dan
sesuadah pengusangan pada suhu 140oC selama 30 menit. Dengan mengetahui nilai
PRI dapat diperkirakan mudah atau tidaknya karet menjadi lengket selama masa
penyimpanan atau jika dipanaskan. Nilai PRI juga menunjukkan ketahanan karet
terhadap degradasi oksidasi. Bila PRI rendah menunjukkan karet mudah teroksidasi
begitu pula sebaliknya. Tinggi rendahnya PRI bergantung pada jenis bahan mentah
yang digunakan termasuk jenis klon tanaman serta cara pengolahannya. Hubungan
antara plastisitas retensi indeks dengan formulasi asap cair tempurung kelapa dan
asam formiat sebagai koagulan lateks diperlihatkan pada Gambar 4.8.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Gambar 4.8 Grafik hubungan nilai plastisitas retensi indeks (PRI) vs
formulasi asap cair tempurung kelapa dan asam formiat

Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa formulasi asap cair tempurung kelapa
dengan asam formiat membuat nilai PRI menurun jika dibandingkan dengan asam
formiat 100%. Terlihat pada formulasi 40% : 60% asap cair tempurung kelapa dan
asam formiat menunjukkan nilai PRI minimum sebesar 36%, dimana nilai PRI ini
tidak memenuhi kriteria SNI 1903-2011 yaitu minimal nilai PRI sebesar 40%. Nilai
PRI tertinggi diperoleh dari formulasi 80% : 20% asap cair tempurung kelapa dan
asam formiat sebesar 47, bahkan nilai ini lebih besar dari asap cair 100%.

Perubahan nilai plastisitas (Po dan PRI) blanket karet alam yang terjadi
selama penggantungan disebabkan perubahan kondisi lingkungan. Hal ini sesuai
dengan penelitian Intapun dkk. (2009) yang menyatakan bahwa kondisi lingkungan
(suhu, pH, dan oksigen dalam udara) selama penyimpanan mempengaruhi
sensibilitas karet alam terhadap oksidasi suhu tinggi. faktor tersebut juga terjadi
karena adanya perubahan keseimbangan antara senyawa antioksidan (protein, asam
amino, tocotrieniols, dan prooksidan asam lemak bebas tak jenuh dan ion logam
bebas) dalam karet .

Perubahan keseimbangan antara senyawa antioksidan ini terjadi karena dosis


konsentrasi asap cair yang digunakan sebagai koagulan memiliki konsentrasi yang
cukup rendah sehingga memungkinkan mengurangi keefektifan antioksidan dari

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


senyawa-senyawa yang terkandung di dalamnya. Kontrol terhadap klon tanaman
karet yang digunakan juga kurang diperhatikan, karena sampel lateks diambil dari
perkebunan petani yang klonnya tidak diketahui persis. pH koagulan yang digunakan
setelah diencerkan berkisar 2 – 3, sedangkan pH lateks berkisar 6. Berdasarkan
Suwardin dan Purbaya (2015) dosis asam formiat yang diberikan adalah 30 mL per
liter lateks, sedangkan 100 mL asap cair per liter lateks. Dosis ini sepertinya tidak
terlalu efektif untuk dijadikan standar dalam formulasi asap cair dan asam formiat
sebagai koagulan lateks. Sehingga diperkirakan akan menghasilkan pH koagulum
lateks menjadi pH yang cukup optimum untuk pertumbuhan bakteri yang akan
menyebabkan nilai PRI rendah, serta berkurangnya efektifitas antioksidan dari asap
cair tempurung kelapa yang encer.

4.2.2 Viskositas Mooney

Viskositas karet mentah dinyatakan sebagai viskositas mooney, yang


menunjukkan panjangnya rantai molekul, berat molekul dan derajat pengikatan
silang rantai molekulnya. Jika nilai viskositas tinggi berarti karet yang dihasilkan
keras sehingga mutu karet yang dihasilkan tinggi, sebaliknya jika nilai viskositas
rendah menghasilkan karet yang lunak sehingga mutu karet yang dihasilkan turun.
Mooney viskosimeter adalah alat untuk mengukur gesekan rotor pada karet yang
berfungsi sebagai tahanan dengan meletakkan karet di atas dan di bawah rotor yang
dapat berputar yang dirancang pada ML(1+4), dimana dengan melakukan pemanasan
pendahuluan pada suhu 100oC selama 1 menit dan pembacaan nilai rotor mooney
pada menit ke -4 untuk setiap kecepatan rotor (Cocard, 2004).

Pada penelitian ini, hubungan nilai viskositas mooney terhadap formulasi


asap cair tempurung kelapa dan asam formiat ditunjukkan pada Gambar 4.9.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Gambar 4.9 Grafik hubungan nilai viskositas mooney vs formulasi asap cair
tempurung kelapa dan asam formiat
Berdasarkan Gambar diatas dapat dilihat bahwa nilai viskositas mooney dari
beberapa formula yang dilakukan diperoleh nilai minimum pada formulasi 40% :
60% sebesar 71 dan nilai maksimum pada formulasi 20% : 80% asap cair tempurung
kelapa dan asam formiat sebesar 78.

4.2.3 Kadar Kotoran

Dalam Burhanuddin (1995), kadar kotoran didefinisikan sebagai benda asing


yang tidak larut dan tidak dapat melalui saringan 325 mesh. Adanya kotoran dalam
karet yang relative tinggi dapat mengurangi sifat dinamika yang unggul dari
vulkanisat karet alam antara lain kalor timbul serta ketahanan retak lentur. Kalor
timbul adalah panas yang ditimbulkan karena adanya gesekan sedangkan retak lentur
adalah retakan-retakan yang terjadi pada karet akibat daya lentur.

Pada Gambar 4.10 menunjukkan grafik nilai kadar kotoran pada berbagai
perlakuan penggunaan formulasi asap cair tempurung kelapa dan asam formiat.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Gambar 4.10 Grafik hubungan nilai kadar kotoran vs formulasi asap cair
tempurung kelapa dan asam formiat
Berdasarkan grafik diatas di peroleh nilai kadar kotoran maksimum dengan
formulasi 80% : 20% dan 40% : 60% asap cair tempurung kelapa dan asam formiat
sebesar 0,04 % (b/b). Sedangkan nilai kadar kotoran minimum diperoleh pada
formula 60% : 40% dan 20% : 80% asap cair tempurung kelapa dan asam formiat
sebesar 0,01 % (b/b). Secara keseluruhan nilai kadar kotoran pada penelitian ini telah
memenuhi SNI 1903 : 2011 sebesar 0,16% (b/b, maks), bahkan formulasi yang
digunakan mampu memiliki kadar kotoran lebih kecil dibandingkan kontrol.

Kotoran yang ada dapat disebabkan oleh kebersihan bahan baku dan alat yang
digunakan, serta bagian mesin pengolahan. Pada umumnya kadar kotoran yang tinggi
banyak ditemukan pada blanket olahan petani karet. Kotoran tersebut dapat berupa
tatal kayu, batang atau ranting yang ikut bersama lateks. Maka dibutuhkan perhatian
yang baik pada sepanjang proses yang berlangsung dalam pengolahan karet, mulai
dari bahan baku hingga proses pengujian mutu.

4.2.4 Kadar Abu

Kadar abu di dalam karet memberikan gambaran mengenai jumlah bahan


mineral yang terdapat di dalamnya, diantaranya terdiri dari oksida karbonat, fosfat
dari kalium, magnesium, kalsium dan beberapa unsure lain. Abu dapat pula
mengandung silikat yang berasal dari karet atau benda asing yang keberadaannya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


tergantung pada pengolahan bahan mentah karet. Bahan-bahan mineral di dalam
karet yang meninggalkan abu dapat mengurangi sifat dinamik dari vulkanisat karet
alam (Burhanudin, 1995). Nilai kadar abu pada penelitian ini ditunjukkan oleh grafik
pada Gambar 4.11.

Gambar 4.11 Grafik hubungan nilai kadar abu vs formulasi asap cair tempurung
kelapa dan asam formiat
Kadar abu ditentukan denan hasil pengabuan suatu sampel karet setelah
dipijarkan selama 2 jam pada suhu 550oC. Syarat uji kadar abu dimaksudkan untuk
menjamin agar karet mentah yang dijual tidak terlalu banyak mengandung bahan-
bahan kimia seperti natrium bisulfit, natrium karbonat, dan tawas yang biasa
digunakan dalam proses pengolahan (Walujono, 1970).

Kadar abu dipengaruhi oleh faktor-faktor kontaminasi bahan asing dan jenis
bahan pembeku yang digunakan. Kadar abu yang tinggi terjadi apabila ke dalam
lateks denan sengaja ditambahkan bahan asing seperti lumpur, pasir halus, untuk
memanipulasi penentuan kadar karet kering, atau jika koagulum kebun telah dikotori
oleh lumpur, endapan lateks, tanah liat dan pasir. Kotoran yang halus ini biasanya
lolos dari saringan 325 mesh sehingga tidak bisa diamati sebagai kadar kotoran tetapi
muncul sebagai kadar abu yang tinggi, kotoran halus berupa pasir atau tanah liat
merusak sifat vulkanisasi karetnya. Semua yang menjadi dasar spesifikasi teknis
dilakukan dengan pengujian laboratorium quality control (Kartowardoyo, 1980).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Dari grafik diatas diperoleh nilai maksimum kadar abu menggunakan
formulai 80% : 20% asap cair tempurung kelapa dan asam formiat sebesar 0,30 %
(b/b) dan nilai minimu kadar abu diperoleh oleh formula 20% : 80% asap cair
tempurung kelapa dan asam formiat sebesar 0,22%. Meskipun demikian, secara
keseluruhan semua formulasi yang digunakan pada penelitian ini memiliki nilai
kadar abu yang memenuhi SNI 1903 : 2011.

4.2.5 Kadar Karet Kering (KKK)

Pemanasan yang terjadi pada karet akan menyebabkan terjadinya pemutusan


rantai molekul karet. Rantai-rantai molekul karet ini akan menjadi radikal bebas
karena pengaruh dari udara yaitu oksigen, maka radikal bebas tersebut akan
berikatan dengan oksigen. Terikatnya rantai molekul karet dengan oksigen
menyebabkan rantai molekul karet menjadi pendek sehingga berat molekul menjadi
lebih kecil (Kartowardoyo, 1980). Nilai kadar karet kering pada penelitian ini
ditunjukkan pada Gambar 4.12.

Gambar 4.12 Grafik hubungan nilai kadar karet kering vs formulasi asap cair
tempurung kelapa dan asam formiat
Berdasarkan grafik diatas diperoleh nilai kadar karet kering maksimum pada
formulasi 80% : 20% asap cair tempurung kelapa dan asam formiat. sebesar 41,26%
(b/b). Nilai ini bahkan melampaui nilai kadar karet kering yang terdapat pada kontrol
yaitu koagulan 100% asam formiat. Sedangkan nilai kadar karet kering minimum

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


diperoleh pada formulasi 40% : 60% asap cair tempurung kelapa dan asam formiat
sebesar 37,36 % (b/b).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, dapatlah diambil
kesimpulan sebagai berikut :

1. Bahwa Formulasi optimum pada penggumpalan lateks adalah 20% : 80%


asap cair tempurung kelapa dan asam formiat dengan catatan waktu
penggumpalan selama 8 menit 1 detik, plastisitas awal sebesar 41,
plastisitas retensi indeks sebesar 44, viskositas mooney sebesar 78, kadar
kotoran 0,01 % (b/b), kadar abu sebesar 0,22 % (b/b) dan kadar karet
kering (KKK) sebesar 38,18 % (b/b).
2. Formulasi asap cair tempurung kelapa dan asam formiat dapat digunakan
sebagai penggumpal lateks yang memenuhi standar Indonesia Rubber
(SIR) yaitu SIR 20.
5.2. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan hasil yang diperoleh maka
disarankan kepada peneliti selanjutnya agar menjadikan beberapa faktor lingkungan
seperti suhu, pH, dan oksigen sebagai variabel bebas untuk melihat keefektifan
penggumpalan dalam berbagai kondisi, serta melakukan pengujian lebih lanjut
terhadap karet yang telah dihasilkan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2007. Gambaran Sekilas Industri Karet. Departemen Perindustrian. Jakarta

Burhanudin, Asep.1995.Penentuan Analisis Standard Indonesia Rubber (SIR). Dala


Kumpulan Makalah : In House Training Pengolahan Lateks Pekat dan Karet
Mentah No. 1. Balai Penelitian Karet Bogor : Bogor

Cocard, S. 2004. Revisiting the Rheological Characterization of NR Using a Mooney


Viscometer : France

Darmadji, P. 1996. Anti Bakteri Asap Cair dari Limbah Pertanian. Agritech

Darussamin, A. dan Omposunggu. 1985. Pengetahuan Mengenai Lateks dan


Pengolahannya. Medan : BPP Sei. Putih

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2015. Statistik Perkebunan Indonesia. Direktorat


Jenderal Perkebunan. Jakarta

Girard, J. P. 1992. Smokinh In Technology Of Meat Product. Translated by Bernard


Hamminhs and ATT. New York: Clermont Ferrand Ellis Harwood

Hamm, R. 1977. Analysis of Smoke and Smoked Food, Pure Appl. Chem.49 : 1655 -
1666

Handayani, Hani. 2014. Pengaruh Berbagai Jenis Penggumpal Padat Terhadap


Mutu Koagulan dan Vulkanisat Karet Alam. Journal Penelitian Karet. No. 32
(1) : 74-80

Hussudur, M. 2011. Pengaruh Konsentrasi Amonium Laurat Terhadap Kekuatan


Tarik dan Kemuluran serta Ketahanan Sobek Film Lateks Karet Alam.
[Skripsi]. Medan : Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Intapun, J., Sainte-Beuve, J.,Bonfils, F,. dan Vaysse, L.2009.Characteristics of
Natural Rubber Cup Coagulant Maturation Conditions and Consequences on
Dry Rubber Properties. Journal of Rubber Research, 12 (4), 171-184

Junaidi, U. 1996. Penyadapan Tanaman Karet dalam Sapta Usaha Bina Tani. Anwar
Chairil(ed). Balai Penelitian Sumbawa.

Kartowardoyo, S. 1980. Penggunaan “Wallace-Plastimeter” untuk Penentuan


Karakteristik-Karakteristik Pematangan Karet. Yogyakarta : Universitas
Gajah Mada

Kasim, dkk. 2015. Aplikasi Asap Cair pada Lateks. Jurnal PASTI. Volume IX : 28-
34

Manday, P.B. 2008. Pengaruh Penambahan Asam Formiat sebagai Koagulan


terhadap Mutu Karet (Karya Ilmiah). Medan :USU

Omposunggu, M. 1987. Pengawetan Bahan Olah Lateks Kebun. Warta Perkaretan.


Medan : Pusat Penelitian Perkebunan

Purba, Michael.2000.Kimia 2000 Jilid 2A. Erlangga : Jakarta

Pszezola. 1995. Tour Highlights Production And Uses Of Smoke Based Flavours.
Food Technology

Ruswanto, Darmadji, P dan Raharjo, S. 2000. Potensi Pencoklatan Asap Cair dari
Kayu Karet Hasil Reaksi dengan Beberapa Asam Amino. Seminar Nasional
Industri Pangan : Yogyakarta

Sanir, I. 1997. Kimia Organik II. Bogor : Departemen Perindustrian dan


Perdagangan, Akademi Kimia Analis

Setiawan, Ir. D.H. 2005. Petunjuk Lengkap Buddi Daya Karet. Jakarta : Agromedia
Pustaka

Stevens, M.P. 2007. Polymer Chemistry An Introduction. Cetakan Kedua.


Penerjemahan Iis Sopyan. Jakarta : PT. Pradya Paramitha

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Sucahyo, Lilis. 2010. Kajian Pemanfaatan Asap Cair Tempurung Kelapa sebagai
Bahan Koagulan Lateks dalam Pengolahan Ribbed Smoke Sheet (RSS) dan
Pengurang Bau Busuk Bahan Olahan karet . Bogor. Institut Pertanian Bogor

Suparto, D. 2002. Pengetahuan tentang Lateks Hevea. Khusus Barang Jadi Lateks.
Bogor. Balai Penelitian Teknologi Karet.

Suwardin, Didin dan Purbaya, Mili. 2015. Jenis Bahan Penggumpal dan
Pengaruhnya Terhadap Parameter Mutu Karet Spesifikasi Teknis. Warta
Perkaretan. 34(2). 147-160

Tim Penulis PS. 2012. Panduan Lengkap Karet. Jakarta : Penerbit Penebar Swadaya

Treloar, L.R.G. 1958. The physics of Rubber Elasticity. London : Clarendon Press

Walujono, K. 1970. Kemungkinan Pengolahan Karet Remah di Indonesia. Jakarta :


PT. Soeroenagan

Zuhra, C. F. 2006. Karet.Medan : USU Repository

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


LAMPIRAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Lampiran 1. Perhitungan Pembuatan Pereaksi

1. Pembuatan Larutan Asam Formiat 4%

V1 x K1= V2 x K2
V 1 x 94% = 250 mL x 4%
V 1 = 10,6 mL

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Lampiran 2. Tabel Standart Indonesia Rubber (SIR)

Jenis mutu spesifikasi


bahan olah
No Jenis Uji/Karakterisasi SIR 20 SIR 20 CV 60

bahan olah
koagulum lapangan
satuan
1 Kadar kotoran (b/b), maks % 0,16 0,16
2 kadar abu (b/b), maks % 1,0 1,0
kadar zat menguap (b/b),
3 maks % 0,80 0,80
4 PRI, min % 40 40
5 Po, min % 30 -
6 Kadar Nitrogen (b/b), maks % 0,60 0,60
Viskositas Mooney ML
7 (1+4)100 C % - 66 - 75

Keterangan :
*) Apabila tidak termasuk dalam spesifikasi, rentang viskositas ditentukan
berdasarkan kesepakatan produsen dan konsumen

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Anda mungkin juga menyukai