Anda di halaman 1dari 177

1

ISBN : 978-979-122517-5

Pembentukan
Daerah Penangkapan Ikan

Domu Simbolon
Ririn Irnawati
Lucien P. Sitanggang
Dwi Ernaningsih
Victoria EN Manoppo
Muslim Tadjuddah
Karnan
Mohamad

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan


Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
3

Pembentukan
Daerah Penangkapan Ikan

Domu Simbolon
Ririn Irnawati
Lucien P. Sitanggang
Dwi Ernaningsih
Victoria EN Manoppo
Muslim Tadjuddah
Karnan
Mohamad

Desain Cover : Ririn Irnawati dan Joyce Kumaat


Cetakan Pertama : Mei 2009

Hak Cipta Pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan


Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor

Dilindungi Oleh Undang-Undang

Tidak diperkenankan memperbanyak penerbitan buku ini dalam


bentuk cetak, stensil, offset, foto copy, microfis atau bentuk lain tanpa
izin tertulis dari penerbit

Diterbitkan oleh:
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor

ISBN : 978-979-122517-5
4

PENGANTAR
Wilayah Indonesia memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia
(megabiodiversity). Tingginya keanekaragaman hayati tersebut bukan hanya disebabkan
oleh letak geografis yang sangat strategis melainkan juga dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti variasi iklim musiman, arus atau massa air laut yang mempengaruhi massa
air dari dua samudera, serta keragaman tipe habitat dan ekosistem yang terdapat di
dalamnya. Kondisi ini berpengaruh secara signifikan terhadap keberadaan sumberdaya
ikan dan daerah penangkapan ikan.
Daerah penangkapan ikan adalah suatu wilayah perairan di mana suatu alat tangkap
dapat dioperasikan secara sempurna untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan yang
terdapat didalamnya. Daerah penangkapan ikan merupakan salah satu faktor penentu
dan penting yang harus diketahui untuk mendukung keberhasilan kegiatan operasi
penangkapan ikan. Saat ini masih terjadi ketimpangan pemanfaatan wilayah perairan
laut di Indonesia, hal ini disebabkan kurangnya informasi mengenai daerah penangkapan
yang potensial.
Penulisan buku ini didorong pula oleh keinginan untuk menambah referensi tentang
daerah penangkapan ikan di Indonesia yang masih sangat terbatas jumlahnya. Bagi para
mahasiswa yang belajar tentang perikanan, khususnya operasi penangkapan ikan, atau
pihak lain yang memerlukannya, kiranya buku ini dapat menjadi tambahan referensi
untuk mengetahui dan memahami pentingnya daerah penangkapan ikan dalam kegiatan
penangkapan ikan sehingga dapat mencapai hasil yang optimal.
Penulis menyadari bahwa tulisan pada buku ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga

kritik dan saran konstruktif sangat diharapkan untuk perbaikan dan penyempurnaan buku

ini.

Semoga buku ini dapat bermanfaat.

Bogor, Mei 2009


Penulis
5

DAFTAR ISI
Halaman
BAB I URGENSI PENDETEKSIAN DAN PERLUASAN DAERAH
PENANGKAPAN IKAN DI INDONESIA .................................................... 1
1.1 Pendahuluan ......................................................................................... 1
1.2 Pendeteksian Daerah Penangkapan Ikan .............................................. 3
1.3 Perluasan Daerah Penangkapan Ikan .................................................... 14
1.4 Urgensi Pendeteksian dan Perluasan Daerah Penangkapan Ikan . 15
BAB II PEMBENTUKAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN DENGAN LIGHT
FISHING DAN RUMPON ............................................................................. 18
2.1 Pendahuluan ......................................................................................... 18
2.2 Perikanan Light Fishing ....................................................................... 19
2.3 Perikanan Rumpon ............................................................................... 27
BAB III PERANAN DAN APLIKASI TEKNOLOGI PENGINDERAAN
JARAK JAUH DALAM PENDUGAAN DAERAH
PENANGKAPAN IKAN ................................................................................ 42
3.1 Pendahuluan ......................................................................................... 42
3.2 Penginderaan Jarak Jauh (Inderaja) ...................................................... 43
3.3 Peranan Teknologi Penginderaan Jauh (Inderaja) dalam
Pendugaan Parameter Oseanografi Perikanan ....... 50
3.4 Aplikasi Teknologi Penginderaan Jarak Jauh (Inderaja) dalam
Pendugaan Daerah Penangkapan Ikan .................................................. 66
3.5 Sistem Informasi Geografis (SIG) ........................................................ 72
3.6 Penyebaran Informasi Perikanan .......................................................... 76
BAB IV PENGELOLAAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN DALAM
MENJAMIN USAHA PERIKANAN TANGKAP BERKELANJUTAN . 80
4.1 Pendahuluan ......................................................................................... 80
4.2 Daerah Penangkapan dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan ........... 81
4.3 Sistem Pengelolaan Daerah Penangkapan Ikan...... .............................. 86
4.4 Produktivitas Hasil Tangkapan Yang Berkelanjutan ............................ 90
BAB V PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS
DALAM PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP SKALA
KECIL ............................................................................................................. 92
5.1 Pendahuluan ......................................................................................... 92
6

5.2 Ekosistem Pesisir .................................................................................. 93


5.3 Penginderaan Jauh (Inderaja) dan Sistem Informasi Geografis
(SIG) ..................................................................................................... 94
5.4 Perikanan Berkelanjutan ....................................................................... 97
5.5 Inderaja dan SIG dalam Penelitian Ekosistem Pesisir ......................... 99
BAB VI KONFLIK PEMANFAATAN SUMBERDAYA DAN DAERAH
PENANGKAPAN IKAN ................................................................................ 110
6.1 Pendahuluan ......................................................................................... 110
6.2 Definisi Perikanan Tangkap ................................................................. 111
6.3 Metode Penangkapan Ikan dan Dampaknya Terhadap Kondisi
Daerah Penangkapan Ikan .................................................................... 111
6.4 Kondisi Sumberdaya dan Perairan Indonesia ....................................... 123
6.5 Konflik Pemanfaatan Daerah Penangkapan Ikan di Indonesia
dan Upaya Pengendalian ...................................................................... 125
BAB VII DAMPAK GLOBAL WARMING DAN CLIMATE CHANGE
TERHADAP PENYEBARAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN 136
7.1 Pendahuluan ......................................................................................... 136
7.2 Global Warming ................................................................................... 137
7.3 Climate Change .................................................................................... 141
7.4 Posisi Strategis Indonesia ..................................................................... 142
7.5 Dampak Global Warming dan Climate Change terhadap
Penyebaran Daerah Penangkapan Ikan ................................................. 144
7

DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1.1 Warna dan panjang gelombang cahaya ................................................ 7
Tabel 3.1 Konfigurasi spektral NOAA-AVHRR .................................................. 46
Tabel 3.2 Spesifikasi MODIS ............................................................................... 48
Tabel 3.3 Karakteristik kanal-kanal sensor MODIS ............................................. 49
Tabel 3.4 Karakteristik satelit dan sensor SeaWiFS ............................................. 51
Tabel 3.5 Data satelit ocean color dan spesifikasinya .......................................... 52
Tabel 3.6 Spesifikasi satelit-satelit lain ................................................................ 53
Tabel 6.1 Dampak metode penangkapan terhadap kualitas daerah penangkapan 123
Tabel 7.1 Dampak pemanasan global bagi organisme laut ................................... 153
8

DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.1 Proses penangkapan ikan dengan bagan ........................................... 8
Gambar 1.2 Jenis lampu yang digunakan pada alat tangkap purse seine ............. 10
Gambar 1.3 Komponen dan prinsip kerja akustik ................................................ 11
Gambar 2.1 Light fishing pada bagan rambo (Sudirman 2003)............................ 21
Gambar 2.2 Rumpon laut dangkal (BPPL 1991).................................................. 27
Gambar 2.3 Rumpon laut dalam (BPL 1991) ....................................................... 28
Gambar 3.1 Sistem penginderaan jauh (Sutanto 1994) ........................................ 44
Gambar 3.2 Konfigurasi satelit NOAA (JARS 1993) .......................................... 46
Gambar 3.3 Skema peluncuran, orbit Satelit Seastar dan sensor SeaWiFS.......... 50
Gambar 3.4 Tipe jaring makanan di lautan yang dimulai dari fitoplankton
(Nybakken 1992) .............................................................................. 60
Gambar 3.5 Piramida makanan yang dimulai dari fitoplankton sebagai
produsen primer di laut (Nontji 2005) .............................................. 61
Gambar 3.6 Rantai makanan di lautan (Nybakken 1992) .................................... 62
Gambar 3.7 Skala nilai kandungan klorofil (mg/m3) ........................................... 69
Gambar 3.8 Mekanisme penyebaran informasi zona potensi penangkapan ikan
dari LAPAN ke nelayan ................................................................... 76
Gambar 5.1 Interkoneksi antara tiga ekosistem utama di wilayah pesisir ............ 95
Gambar 5.2 Segitiga berkelanjutan sistem perikanan (Charles 2001) ............... 100
Gambar 5.3 Zonasi mangrove di sebagian wilayah Sunderbans India
menggunakan data gabungan antara IRS LISS III dan PAN (Nayak
2008)................................................................................................. 101
Gambar 5.4 Zonasi terumbu karang (Gulf of Kachchh, Western India)
menggunakan data IKONOS (Nayak 2008) ..................................... 102
Gambar 5.5 Penggunaan OCEANSAT I OCM dan AVHRR SST untuk
mengindentifikasi daerah tangkapan yang potensial (Nayak 2008) . 103
Gambar 5.6 Skema langkah-langkah dalam sistem peringatan dini (early
warning system) (Dahdouh-Guebas 2002)...... ................................. 104
Gambar 6.1 Posisi trawl dasar saat dioperasikan ................................................. 112
Gambar 6.2 Posisi alat pengeruk scallop saat dioperasikan ................................. 113
Gambar 6.3 Bentuk jaring insang hanyut saat dioperasikan................................. 114
Gambar 6.4 Bentuk jaring insang dasar saat dioperasikan ................................... 114
Gambar 6.5 Bentuk jaring lampara saat dioperasikan .......................................... 115
9

Gambar 6.6 Bentuk purse seine saat dioperasikan ............................................... 116


Gambar 6.7 Bentuk beach seine saat dioperasikan .............................................. 116
Gambar 6.8 Bentuk drifting longline saat dioperasikan ....................................... 117
Gambar 6.9 Bentuk bottom-set longlining saat dioperasikan ............................... 118
Gambar 6.10 Bentuk droplining saat dioperasikan ................................................ 119
Gambar 6.11 Pots and trap .................................................................................... 119
Gambar 6.12 Konstruksi trolling line..................................................................... 120
Gambar 6.13 Konstruksi squid jigging................................................................... 121
Gambar 6.14 Dive fisheries .................................................................................... 122
Gambar 6.15 Konstruksi hand line ......................................................................... 122
Gambar 7.1 Efek rumah kaca (Harijono 2006) .................................................... 138
Gambar 7.2 Proses terjadinya global warming (Harijono 2006) .......................... 139
Gambar 7.3 Kenaikan tinggi permukaan air laut
(http:/www.environmentaldefense.org) ............................................ 159
10

BAB I
URGENSI PENDETEKSIAN DAN PERLUASAN
DAERAH PENANGKAPAN IKAN DI INDONESIA

1.1 Pendahuluan

Keberhasilan suatu operasi penangkapan ikan sangat ditentukan oleh


berbagai faktor, antara lain : (1) nelayan yang mengoperasikan alat tangkap;
(2) alat penangkap ikan; (3) kapal ikan dan perlengkapannya; (4) metode
penangkapan ikan; (5) tingkah laku ikan; dan (6) daerah penangkapan ikan.
Yang dimaksud dengan daerah penangkapan ikan adalah wilayah perairan
dimana alat tangkap dapat dioperasikan secara sempurna untuk
mengeksploitasi sumberdaya ikan yang terdapat di dalamnya. Nomura and
Yamazaki 1977, mengatakan bahwa kondisi daerah penangkapan ikan
dikatakan catchable area apabila :
(1) Perairan sesuai dengan habitat yang disenangi ikan (dipengaruhi
parameter oseanografi fisik, biologi dan kimiawi).
(2) Fishing gear mudah dioperasikan.
(3) Daerah penangkapan ikan ekonomis dan menguntungkan.
Penentuan daerah penangkapan ikan yang potensial saat ini di
sebagian besar nelayan Indonesia masih menjadi kendala, sehingga usaha
penangkapan ikan yang dilakukan masih penuh dengan ketidakpastian
karena nelayan tidak langsung menangkap ikan tapi mencari-cari daerah
penangkapannya. Dengan demikian hasil tangkapannya juga menjadi tidak
pasti, disamping itu sebagai akibat ketidakpastian mengakibatkan kapal
penangkap banyak menghabiskan waktu dan bahan bakar untuk mencari
lokasi fishing ground, ini berarti terjadi pemborosan bahan bakar. Akibatnya
hasil tangkapan yang diperoleh tidak sebanding dengan biaya produksi yang
dikeluarkan.
Keadaan ini diperparah dengan naiknya harga BBM, yang
menyebabkan meningkatnya biaya operasional penangkapan ikan (30-
40%) terutama sangat dirasakan oleh nelayan kecil dengan kapasitas kapal
di bawah 10 GT. Keadaan ini menyebabkan nelayan menjadi semakin
miskin dikarenakan nelayan tidak bisa lagi melaut. Menurut Direktorat
Jenderal Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan (2007),
11

rata-rata pendapatan 2,7 juta nelayan kecil di Indonesia hanya Rp 445 ribu
per keluarga per bulan. Pendapatan ini jauh di bawah pendapatan standar
hidup layak. Akibat selanjutnya adalah armada perikanan skala besar akan
mengalihkan wilayah tangkapan ke wilayah pesisir dengan alasan untuk
menghemat BBM. Padahal pesisir sudah mengalami tangkap lebih. Ini tak
hanya mengancam sumber kehidupan nelayan tradisional, tapi juga
berpotensi menimbulkan konflik horisontal karena penyerobotan wilayah
perikanan tradisional. Akibatnya, konflik nelayan tradisional dengan armada
perikanan besar semakin akut dan terbuka (Busyairi 2008).
Ciri khas perikanan Indonesia adalah didominasi perikanan rakyat,
artisanal, subsisten, dan skala kecil. Dari satu sisi, ciri ini adalah kekuatan
dimana rakyat dalam jumlah besar dapat ikut serta dan terlibat dalam
kegiatan ekonomi. Dari sisi lain, ciri ini adalah kelemahan yang
menunjukkan ketidakmampuan dan ketidaksanggupan Indonesia dalam
memanfaatkan potensi sumberdaya ikan yang dimilikinya. Sumberdaya ikan
yang ada memang betul harus dimanfaatkan oleh rakyat, namun ekonomi
perikanan rakyat bercirikan usaha kecil, artisanal dan subsisten tidak
membuat rakyat menjadi sejahtera dan tidak membuat sumberdaya
perikanan dimanfaatkan secara optimal. Akibatnya, ikan yang tidak
dimanfaatkan ditangkap secara ilegal atau dicuri oleh nelayan asing.
Dengan mengandalkan armada perikanan rakyat yang ada saat ini,
Indonesia sulit memanfaatkan sumberdaya perikanan yang dimilikinya.
Jumlah armada yang ada saat ini sebanyak kurang lebih 600.000 armada
perikanan. Sekilas dengan jumlah armada seperti ini, bisa dikatakan bahwa
perairan Indoensaia akan mudah ditaklukkan oleh nelayan, tetapi ternyata
tidak demikian adanya. Dari jumlah armada perikanan tersebut, sekitar 43%
adalah perahu kecil tanpa menggunakan motor, sekitar 28% adalah armada
perahu motor tempel (dengan kekuatan paling besar 40 PK), dan sisanya
sekitar 29% atau 127.000 unit adalah kapal bermotor (Nikijuluw 2008). Dari
127.000 kapal motor, 113.000 diantaranya adalah kapal motor < 10 GT dan
sekitar 3.500 unit berukuran > 50 GT.
Dengan struktur armada sebagaimana disebutkan di atas, tentu saja
sangat sulit bagi nelayan Indonesia memanfaatkan sumberdaya ikan yang
dimilikinya. Nelayan Indonesia hanya bisa berkonsentrasi di sekitar perairan
pesisir. Mereka sulit menjangkau perairan yang lebih jauh dan dalam.
12

Mereka sulit menjangkau perairan ZEE untuk menangkap ikan-ikan yang


lebih tinggi nilai ekonominya. Ketidakmampuan nelayan Indonesia ini tentu
saja adalah peluang dan kesempatan bagi nelayan asing untuk masuk dan
menjarah sumberdaya yang tidak dimanfaatkan oleh Indonesia.
Untuk itu diperlukan adanya pengembangan teknologi dan alat bantu
penangkapan yang dapat menghemat BBM dan kepastian tersedianya
daerah penangkapan yang potensial serta perluasan daerah penangkapan
sehingga konsentrasi kegiatan penangkapan tidak bertumpu pada daerah
pesisir saja.

1.2 Pendeteksian Daerah Penangkapan Ikan

Penentuan atau pendeteksian daerah penangkapan ikan di perairan


Indonesia dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya berdasarkan
kebiasaan nelayan, menggunakan rumpon dan cahaya buatan sebagai alat
bantu penangkapan, menggunakan teknologi satelit dan akustik.
Indikator keberadaan gerombolan ikan ditunjukkan dengan adanya
perubahan warna permukaan air laut; ikan yang melompat-lompat di
permukaan air; terlihat riak-riak kecil; adanya buih-buih di permukaan air
laut; dan adanya burung-burung yang menyambar dan menukik ke
permukaan air laut (Ayodhyoa 1981). Nelayan melakukan hal ini secara
turun menurun berdasarkan kebiasaan yang telah dilakukan para
pendahulunya.

(1) Rumpon sebagai alat bantu penangkapan

Rumpon adalah salah satu alat bantu penangkapan ikan yang


dipasang di laut, baik laut dangkal maupun laut dalam. Pemasangan
tersebut dimaksudkan untuk menarik gerombolan ikan agar berkumpul di
sekitar rumpon, sehingga ikan mudah untuk ditangkap. Dengan
pemasangan rumpon maka kegiatan penangkapan ikan akan menjadi lebih
efektif dan efisien karena tidak lagi berburu ikan (dengan mengikuti
ruayanya), tetapi cukup melakukan kegiatan penangkapan ikan di sekitar
rumpon tersebut.
Rumpon merupakan suatu sistem tropic level yang komplit, dapat
ditemukan mulai dari produsen (phytoplankton) sampai predator (ikan-ikan
13

tuna besar) sebagai konsumen. Oleh karena itu berbagai jenis ikan tertarik
untuk berkumpul di sekitar rumpon, mulai dari ikan-ikan pelagis kecil sampai
berbagai jenis ikan pelagis besar yang didominasi oleh tuna dan cakalang
(Monintja dan Zulkarnain 1995).
Rumpon berfungsi sebagai alat bantu menarik perhatian ikan agar
berkumpul pada suatu tempat atau wilayah (fish agregating device), tempat
berlindung, dan sumber makanan tambahan bagi ikan-ikan. Rumpon yang
dipasang di suatu perairan akan dimanfaatkan sebagai tempat berlindung
bagi ikan-ikan kecil atau lemah (pelagis kecil) dari predator. Kelompok ikan
ini biasanya berenang dengan mengusahakan posisi tubuh selalu
membelakangi rumpon (Subani 1986).
Sumberdaya ikan pelagis kecil yang banyak berkumpul di sekitar
rumpon umumnya jenis-jenis layang (Decapterus ruselli), kembung
(Rastrelliger sp) dan selar (Selaroides sp). Sedangkan sumberdaya ikan
pelagis besar yang banyak berkumpul di sekitar rumpon adalah cakalang
(Katsuwonus pelamis), madidihang (Thunnus albacores), tongkol
(Euthynnus sp) dan tuna mata besar (Thunnus obesus) (Monintja dan
Zulkarnain 1995).
De San (1982) dan Abidin (1987) menyatakan bahwa posisi rumpon
yang terbaik adalah tempat yang dikenal sebagai lintasan ruaya ikan,
daerah upwelling, water fronts dan arus eddy, dasar perairan yang datar,
tidak dekat dengan karang dan berada di ambang suatu palung laut.
Di Indonesia dikenal dua jenis rumpon, yaitu rumpon laut dangkal,
dipasang biasanya pada kedalaman kurang dari 100 m dan rumpon jenis
kedua adalah rumpon laut dalam, dipasang pada kedalaman lebih dari 600
m bahkan bisa sampai pada kedalaman 1.500 m. Rumpon jenis pertama
dikenal dalam perikanan pelagis kecil dengan alat tangkap yang digunakan
adalah payang, purse seine, cantrang dan lain-lain. Sedangkan jenis
rumpon yang kedua dikenal dalam perikanan tuna dan cakalang dengan alat
tangkap yang digunakan adalah huhate dan pancing ulur (Monintja dan
Zulkarnain 1995).
Menurut Keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan) No.
51/Kpts/IK.250/97, rumpon dibedakan menjadi tiga jenis yaitu: rumpon
perairan dasar, rumpon perairan dangkal dan rumpon perairan dalam.
Rumpon perairan dasar dipasang pada dasar perairan laut sampai dengan
14

jarak 3 mil laut yang diukur dari garis pasang surut terendah dan di atas 3
mil sampai 12 mil diukur dari garis pasang surut terendah pada waktu air
surut. Rumpon perairan dangkal ditempatkan pada kedalaman sampai 200
m, sedangkan rumpon laut dalam ditempatkan atau dipasang pada perairan
dengan kedalaman di atas 200 meter.
Rumpon merupakan suatu konstruksi bangunan yang dipasang di
dalam air dengan tujuan untuk memikat ikan agar berasosiasi dengannya
sehingga memudahkan penangkapan ikan tersebut (De San 1982 diacu
dalam Monintja dan Zulkarnain 1995). Pada prinsipnya rumpon terdiri dari
4 komponen utama, yaitu: pelampung (float), tali panjang (rope), pemikat
(attractor), dan pemberat (anchor).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih lokasi
pemasangan rumpon adalah: (1) bukan merupakan alur pelayaran dan
daerah suaka, (2) bukan merupakan daerah konsentrasi nelayan yang tidak
menggunakan rumpon, dan (3) memperhatikan daerah perbatasan antar
propinsi. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi konflik sosial antar nelayan
pemilik rumpon dan tidak memiliki rumpon.

(2) Cahaya

Cahaya merupakan alat bantu penangkapan yang sudah lama


digunakan nelayan Indonesia. Sebelum teknologi electrical light berkembang
dengan pesat seperti sekarang ini, nelayan-nelayan di berbagai belahan
dunia menggunakan cahaya lampu obor sebagai alat bantu penangkapan
ikan. Pada mulanya penggunaan lampu untuk penangkapan, masih terbatas
pada daerah-daerah tertentu dan umumnya dilakukan hanya di tepi-tepi
pantai dengan menggunakan alat tangkap beach seine, serok (scoop net)
dan pancing (hand line). Pada tahun 1953 perkembangan penggunaan
lampu untuk tujuan penangkapan ikan tumbuh dengan pesat bersamaan
dengan perkembangan bagan untuk penangkapan ikan. Saat ini
pemanfaatan lampu tidak hanya terbatas pada daerah pantai saja, tetapi
juga dilakukan pada daerah lepas pantai yang penggunaannya disesuaikan
dengan keadaan perairan seperti alat tangkap payang, purse-seine dan
sebagainya.
15

Penggunaan cahaya listrik dalam kegiatan penangkapan ikan


pertama kali dikembangkan di Jepang sekitar tahun 1900, kemudian
selanjutnya berkembang ke berbagai belahan dunia. Indonesia sendiri,
penggunaan lampu sebagai alat bantu penangkapan ikan tidak diketahui
dengan pasti. Diduga, perikanan dengan alat bantu lampu berkembang dari
bagian timur perairan Indonesia dan menyebar ke bagian barat Indonesia.
Pemanfaatan cahaya sebagai alat bantu penangkapan ikan
sesungguhnya sangat berkaitan dengan upaya nelayan dalam memahami
perilaku ikan dalam merespon perubahan lingkungan yang ada di
sekitarnya. Hampir semua ikan menggunakan matanya dalam aktivitas
hidupnya, seperti memijah, mencari makan, dan menghindari serangan ikan
besar atau binatang pemangsa lainnya. Cahaya merupakan faktor utama
bagi ikan dalam rangka mempertahankan hidupnya. Atas dasar
pengetahuan tersebut, maka nelayan menggunakan cahaya buatan untuk
mendorong ikan melakukan aktivitas tertentu.
Tingkah laku ikan menurut He (1989) adalah adaptasi dari badan
ikan terhadap lingkungan internal dan eksternal, sedangkan reaksi ikan
merupakan respon yang berhubungan dengan tingkah laku ikan karena
adanya rangsangan eksternal. Terdapat dua bentuk reaksi dari hewan
terhadap cahaya yaitu fotokinesis dan fototaksis. Fotokinesis adalah respon
dalam kecepatan perubahan arah gerakan terhadap suatu intensitas
cahaya, sedangkan fototaksis adalah tindakan lokomotor dari suatu
organisme mendekat (positif) atau menjauhi (negatif) dari suatu sumber
cahaya (Ben-Yami 1987).
Menurut He (1989), terdapat teori tentang ikan berenang mendekati
sumber cahaya (fototaksis) yaitu forced movement theory, adaptation theory
dan feeding phototaxis theory, sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi
fototaksis pada ikan adalah faktor internal seperti umur, jenis kelamin dan
kepenuhan isi lambung serta faktor eksternal seperti temperatur air, level
lingkungan cahaya (dini hari dan bulan pertama), intensitas dan warna dari
sumber cahaya, ada tidaknya makanan dan kehadiran predator.
Ikan-ikan yang bersifat fototaksis positif secara berkelompok akan
bereaksi terhadap datangnya cahaya dengan mendatangi arah datangnya
cahaya dan berkumpul di sekitar cahaya pada jarak dan rentang waktu yang
tertentu. Selain menghindar dari serangan predator (pemangsa), beberapa
16

teori menyebutkan bahwa berkumpulnya ikan di sekitar lampu adalah


kegiatan untuk mencari makan. Namun demikian, tingkat gerombolan ikan
dan ketertarikan ikan pada sumber cahaya bervariasi antar jenis ikan.
Perbedaan tersebut secara umum disebabkan karena perbedaan faktor
phylogenetic dan ekologi, selain juga oleh karakteristik fisik sumber cahaya,
khususnya tingkat intensitas dan panjang gelombangnya. Hasil kajian
beberapa peneliti menyebutkan bahwa, tidak semua jenis cahaya dapat
diterima oleh mata ikan. Hanya cahaya yang memiliki panjang gelombang
pada interval 400-700 nanometer yang mampu ditangkap oleh mata ikan.
Ilustrasi pemanfaatan cahaya sebagai alat bantu penangkapan ikan dalam
perikanan bagan disajikan pada Gambar 1.1.
Pemanfaatan cahaya untuk alat bantu penangkapan ikan dilakukan
dengan memanfaatkan sifat fisik dari cahaya buatan itu sendiri. Masuknya
cahaya ke dalam air erat hubungannya dengan panjang gelombang yang
dipancarkan oleh cahaya tersebut. Semakin besar panjang gelombangnya
maka semakin kecil daya tembusnya ke dalam perairan. Panjang
gelombang masing-masing warna dapat dilihat pada Tabel 1.1.

Tabel 1. 1 Warna dan panjang gelombang cahaya


Warna Panjang Gelombang (nm)
Ultraviolet Lebih pendek dari 400
Violet 400-450
Biru 450-500
Hijau 500-570
Kuning 570-590
Orange 590-610
Merah 610-700
Inframerah Lebih panjang dari 700
Sumber: Spotte (1992) diacu dalam Razak et al. (2005)

Faktor lain yang juga menentukan masuknya cahaya ke dalam air


adalah absorbsi (penyerapan) cahaya oleh partikel-partikel air, kecerahan,
pemantulan cahaya oleh permukaan laut, musim dan lintang geografis.
Dengan adanya berbagai hambatan tersebut, maka nilai iluminasi (lux)
suatu sumber cahaya akan menurun dengan semakin meningkatnya jarak
dari sumber cahaya tersebut.
17

Gambar 1.1 Proses penangkapan ikan dengan bagan.

Dengan sifat-sifat fisik yang dimiliki oleh cahaya dan kecenderungan


tingkah laku ikan dalam merespon adanya cahaya, nelayan kemudian
menciptakan cahaya buatan untuk mengelabuhi ikan dengan melakukan
tingkah laku tertentu untuk memudahkan dalam operasi penangkapan ikan.
Tingkah laku ikan kaitannya dalam merespon sumber cahaya yang sering
18

dimanfaatkan oleh nelayan adalah kecenderungan ikan untuk berkumpul di


sekitar sumber cahaya.
Untuk tujuan menarik ikan dalam luasan yang seluas-luasnya,
nelayan biasanya menyalakan lampu yang bercahaya biru pada awal
operasi penangkapannya. Hal ini disebabkan cahaya biru mempunyai
panjang gelombang yang pendek dan daya tembus ke dalam perairan relatif
paling jauh dibandingkan warna cahaya tampak lainnya, sehingga baik
secara vertikal maupun horisontal cahaya tersebut mampu mengkover
luasan yang relatif luas dibandingkan sumber cahaya tampak lainnya.
Setelah ikan tertarik mendekati cahaya, ikan-ikan tersebut kemudian
dikumpulkan sampai jarak jangkauan alat tangkap (catchability area) dengan
menggunakan cahaya yang relatif rendah frekuensinya secara bertahap.
Cahaya merah digunakan pada tahap akhir penangkapan ikan.
Berkebalikan dengan cahaya biru, cahaya merah yang mempunyai panjang
gelombang yang relatif panjang diantara cahaya tampak, mempunyai daya
jelajah yang relatif terbatas. Sehingga, ikan-ikan yang awalnya berada jauh
dari sumber cahaya (kapal), dengan berubahnya warna sumber cahaya, ikut
mendekat ke arah sumber cahaya sesuai dengan daya tembus cahaya
merah. Setelah ikan terkumpul di dekat kapal (area penangkapan alat
tangkap), baru kemudian alat tangkap yang sifatnya mengurung gerombolan
ikan seperti purse seine, sero atau lift net dioperasikan dan mengurung
gerakan ikan. Dengan dibatasinya gerakan ikan tersebut, maka operasi
penangkapan ikan akan lebih mudah dan nilai keberhasilannya lebih tinggi.
Jenis lampu yang biasa digunakan pada alat tangkap purse seine dapat
dilihat pada Gambar 1.2.

(3) Akustik

Hidro akustik merupakan suatu teknologi pendeteksian bawah air


dengan menggunakan suara atau bunyi (gelombang ultrasonik) untuk
melakukan pendeteksian, sebagaimana diketahui bahwa kecepatan suara di
air adalah 1.500 m/s, sedangkan kecepatan suara di udara hanya 340 m/s,
sehingga teknologi ini sangat efektif untuk deteksi bawah air. Teknologi
hidro akustik dengan perangkat echosounder paling tepat digunakan untuk
pendugaan stok ikan (fish stock assessment) pada suatu perairan, karena
19

dapat memberikan informasi yang detail mengenai: kelimpahan ikan (fish


abundance), kepadatan (fish density), sebaran (fish distribution), posisi
kedalaman renang (swimming layers), ukuran dan panjang (size and length),
orientasi dan kecepatan renang, serta variasi migrasi diurnal-nokturnal ikan.
Adapun prinsip kerja dari komponen-komponen sistem akustik dapat dilihat
pada Gambar 1.3.

Gambar 1.2 Jenis lampu yang digunakan pada alat tangkap purse seine.

Beberapa karakteristik akustik remote sensing adalah:


(1) Gelombang ultrasonik (suara), dengan peralatan akustik (fish finder,
sonar, dan echosounder)
(2) Frekuensi rendah (ultrasonik): 20-500 KHz, umum 38-500 KHz
(3) Attenuasinya rendah
(4) Daya jangkau tinggi: 5.000 m
(5) Tidak ada refraksi (mediumnya sama)
(6) Efektif digunakan di bawah permukaan air.
20

TIME DISPLAY -
BASE RECORDER

TRANSMITTER RECEIVER
(T) (R)

TRANSDUCER
(T/R)

Gelombang suara Echo/gema

Gambar 1.3 Komponen dan prinsip kerja akustik.

Metode akustik memiliki beberapa keunggulan komparatif


dibandingkan dengan metode lain, yakni (Arnaya 1991) :
(1) Berkecepatan tinggi (great speed), sehingga sering disebut quick
assessment method.
(2) Estimasi stok ikan secara langsung (direct estimation) karena tidak
tergantung dari statistik perikanan atau percobaan tagging dan secara
langsung dilakukan terhadap target survai.
(3) Memungkinkan memperoleh dan memproses data secara real-time,
sehingga sangat membantu para pengambil keputusan atau penentu
kebijakan dalam mempercepat pengambilan keputusan.
(4) Akurasi dan ketepatan (accuracy and precision).
(5) Tidak berbahaya atau merusak karena frekuensi suara yang digunakan
tidak akan membahayakan baik si pemakai alat maupun target atau
obyek survai dan dilakukan dengan jarak jauh (remote sensing).
(6) Bisa digunakan jika dengan metode lain tidak bisa atau mungkin
dilakukan.
21

(3) Remote Sensing (Citra Satelit)

Remote sensing merupakan suatu teknologi yang memanfaatkan


gelombang elektromagnetik untuk mendeteksi dan mengetahui karakteristik
obyek di permukaan bumi, baik daratan maupun permukaan laut dan
perairan tanpa melakukan kontak langsung dengan obyek yang diteliti
tersebut (Lillesand and Kiefer 1979). Terdapat beberapa jenis satelit yang
mampu melakukan observasi terhadap fenomena yang terjadi di permukaan
bumi termasuk di permukaan laut. Saat ini terdapat 3 satelit yang banyak
digunakan untuk keperluan identifikasi dan pemanfaatan fenomena
oseanografi yaitu (Hasyim 2004) :
(1) Satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration).
(2) Satelit Sea Star yang membawa sensor seaWIFs menghasilkan data
konsentrasi klorofil yang berkaitan erat dengan konsentrasi plankton di
laut.
(3) Satelit Feng Yung yang membawa sensor untuk mendeteksi suhu
permukaan laut dan konsentrasi klorofil di laut.
Dengan menggunakan data dari satelit-satelit tersebut dapat
dilakukan pemetaan suhu permukaan laut (SPL) dan kandungan klorofil
secara real-time. Dari peta sebaran SPL dan klorofil tersebut dapat
diperoleh informasi tentang fenomena oseanografi khususnya thermal front
dan upwelling yang merupakan indikator daerah potensi penangkapan ikan.
Secara umum prinsip kerja satelit-satelit ini adalah dengan
memancarkan pulsa gelombang elektromagnetik ke arah permukaan laut di
bawahnya lalu menerima kembali pantulannya. Waktu perjalanan
gelombang elektromagnetik tersebut, dikonversi untuk mendapatkan jarak
antara satelit dan muka laut. Sejumlah koreksi harus diterapkan terhadap
data mentah, sebelum dapat diterapkan dalam bidang oseanografi.
Parameter oseanografi (data suhu, salinitas dan arus) sangat penting
dianalisis untuk penentuan fishing ground. Nontji (1987) menyatakan suhu
merupakan parameter oseanografi yang mempunyai pengaruh sangat
dominan terhadap kehidupan ikan khususnya dan sumberdaya hayati laut
pada umumnya. Sebagian besar biota laut bersifat poikilometrik (suhu
tubuh dipengaruhi lingkungan) sehingga suhu merupakan salah satu faktor
yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran
22

organisme (Nybakken 1988). Hampir semua populasi ikan yang hidup di


laut mempunyai suhu optimum untuk kehidupannya, maka dengan
mengetahui suhu optimum dari suatu spesies ikan, kita dapat menduga
keberadaan kelompok ikan, yang kemudian dapat digunakan untuk tujuan
perikanan (Hela dan Laevastu 1970).
Menurut Gunarso (1985) bahwa fluktuasi suhu dan perubahan
geografis merupakan faktor penting dalam upaya merangsang dan
menentukan pengkonsentrasian gerombolan ikan. Hela dan Laevastu
(1970) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi SPL adalah
kondisi meteorologi, arus permukaan, ombak, upwelling, divergensi dan
perubahan bentuk es di daerah kutub. Faktor-faktor meteorologi yang
mempunyai peranan dalam hal ini adalah curah hujan, penguapan,
kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas matahari,
dengan demikian SPL biasanya mengikuti pola musiman. Widodo (1999)
menyatakan bahwa pengamatan dan monitoring fenomena oseanografi dan
sumberdaya hayati laut mengharuskan penggunaan banyak data dalam
selang waktu observasi tertentu (harian, mingguan, bulanan atau tahunan).
Citra SPL dari suatu perairan yang luas dapat digunakan untuk mengetahui
pola distribusi SPL, arus di suatu perairan dan interaksinya dengan suatu
perairan lain serta fenomena upwelling dan front di perairan tersebut yang
merupakan daerah potensi penangkapan ikan (Hasyim dan Priyanti 1999).
Pola kehidupan ikan tidak dapat dipisahkan dari adanya berbagai
kondisi lingkungan. Fluktuasi keadaan lingkungan mempunyai pengaruh
yang besar terhadap periode migrasi musiman serta keberadaan ikan.
Keadaan perairan serta perubahannya akan mempengaruhi kehidupan dan
pertumbuhan ikan. Selain itu faktor musim serta berbagai keadaan lainnya
akan mempengaruhi penyebaran serta kelimpahan suatu jenis ikan pada
suatu daerah penangkapan ikan. Hal tersebut diduga karena terjadinya
perubahan kelimpahan makanan (Gunarso 1985).
Gunarso (1985), mencatat beberapa hal mengenai pengaruh suhu
perairan terhadap ikan, antara lain bahwa pada umumnya suhu
dipergunakan sebagai indikator untuk menentukan perubahan ekologi.
Dinyatakan bahwa ikan sangat peka terhadap perubahan suhu walaupun
hanya sebesar 0,03°C sekalipun. Demikian pula suhu merupakan faktor
penting untuk penentuan dan penilaian suatu daerah penangkapan ikan.
23

Kedalaman kelompok ikan-ikan pelagis tergantung pada struktur


suhu secara vertikal. Apabila suhu permukaan laut menjadi lebih tinggi,
maka jenis-jenis ikan pelagis akan berenang semakin dalam. Pada
umumnya, hampir semua jenis ikan pelagis akan naik ke lapisan permukaan
sebelum matahari terbenam dan biasanya berada dalam satu kelompok.
Setelah matahari terbenam ikan-ikan tersebut menyebar di lapisan
pertengahan perairan dan saat matahari terbit akan turun ke lapisan yang
lebih dalam (Hela dan Laevastu 1970).

1.3 Perluasan Daerah Penangkapan Ikan

Perluasan daerah penangkapan sangat diperlukan dalam rangka


meningkatkan jumlah hasil tangkapan dan menghindarkan terjadinya konflik
antar nelayan yang saling memanfaatkan daerah pesisir sebagi fishing
ground mereka. Di satu sisi adalah untuk melindungi sumberdaya ikan yang
hidup di daerah peisisir. Untuk itu diperlukan langkah strategis untuk
mencapai hal tersebut sekaligus sebagai langkah untuk mencegah
terjadinya illegal fishing oleh nelayan asing pada daerah-daerah yang tidak
terjangkau nelayan Indonesia.
Langkah-langkah penting dalam rangka perluasan daerah
penangkapan ikan adalah sebagai berikut :
(1) Mengembangkan kekuatan dan kemampuan dalam memanfaatkan
sumberdaya perikanan dalam bentuk pengembangan kapal perikanan
skala besar. Pengembangan armada perikanan skala besar berukuran
> 50 GT dilakukan untuk mengisi kekosongan armada perikanan
Indonesia di Laut Natuna, Selat Karimata, Laut Cina Selatan, Laut
Sulawesi, dan Laut Maluku serta di ZEE Arafura, ZEE Samudera Hindia,
ZEE Pasifik, dan ZEE Laut Cina Selatan. Adanya armada perikanan
yang besar ini diharapkan dapat menjadi penghalang bagi armada
perikanan asing masuk ke perairan Indonesia.
(2) Pengembangan industri perikanan. Pengembangan industri perikanan
diarahkan pada industri perikanan terpadu dari hulu hingga hilir, yaitu
adanya kesatuan atau keterkaitan antara sub-sistem penyedia sarana
dan prasarana produksi, kegiatan penangkapan ikan, kegiatan
pengolahan, dan kegiatan pemasaran yang dilakukan secara terintegrasi
24

atau oleh satu entitas usaha yang berada pada satu lokasi. Pada
kondisi demikian diharapkan dapat melibatkan penduduk lokal,
sehingga mereka dapat merasakan manfaat adanya kegiatan industri
terpadu.
(3) Motorisasi dan modernisasi armada perikanan rakyat. Dengan adanya
motorisasi dan modernisasi armada perikanan akan mengakibatkan
semakin luasnya jangkauan operasi penangkapan yang dilakukan,
dengan demikian daerah penangkapannya menjadi semakin luas.
(4) Pengaturan zonasi penangkapan disertai dengan pengawasan dan
penegakan hukum di tengah laut.

1.4 Urgensi Pendeteksian dan Perluasan Daerah Penangkapan Ikan

Pendeteksian daerah penangkapan ikan secara dini sangat


diperlukan dalam menunjang keberhasilan operasi penangkapan ikan,
karena akan menghemat waktu, kepastian keberadaan ikan hasil tangkapan
dan menghemat biaya operasional penangkapan ikan. Yang pada akhirnya
dapat meningkatkan pendapatan nelayan. Perluasan daerah penangkapan
sangat diperlukan dalam rangka menjaga kelestarian sumberdaya ikan
terutama di daerah pesisir dan merupakan usaha untuk mendapatkan hasil
tangkapan dalam jumlah banyak dengan nilai ekonomis yang tinggi. Untuk
itu diperlukan kemampuan armada penangkapan yang lebih besar.
Berdasarkan paparan di atas jelas bahwa pendeteksian dan
perluasan daerah penangkapan ikan sangat urgen dilakukan di perairan
Indonesia, dengan sasaran sebagai berikut :
(1) Memberikan kepastian kepada nelayan tentang lokasi potensi
penangkapan, sehingga meningkatkan efisensi biaya operasional
(efisiensi penggunaan bahan bakar), memperpendek operasi
penangkapan dan meningkatkan jumlah hasil tangkapan.
(2) Mencegah atau memperkecil kemungkinan terjadinya konflik
pemanfaatan daerah penangkapan antara nelayan kecil atau tradisional
dengan kapal-kapal besar.
(3) Mengurangi konsentrasi penangkapan ikan pada daerah pesisir, melalui
upaya motorisasi nelayan tradisional.
(4) Pelestarian sumberdaya ikan secara berkelanjutan.
25

(5) Peningkatan kesejahteraan nelayan dan


(6) Mencegah terjadinya illegal fishing

DAFTAR PUSTAKA

Abidin Z. 1987. Payaos (Fish Aggregating Device) For Tuna. Sorong:


Usaha Mina (Persero).

Arnaya I.N. 1991. Akustik Kelautan II (Diktat Kuliah). Bogor: Proyek


Peningkatan Perguruan Tinggi. Institut Pertanian Bogor.

Ayodhyoa, A. U. 1981. Metode Penangkapan Ikan. Bogor: Yayasan Dewi


Sri.

De San. 1982. Fish Aggregating Device (FAD) or Payaos. Rome: FAO.

Ben-Yami, M. 1987. Fishing with Light . Food and Agriculture Organization


of The United Nation-Fishing News Book Ltd. Surrey-England 122
p.

Busyairi M.A. 2008. BBM, Nelayan, dan Pencurian Ikan. Pengawasan


Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Kendari.
http://www.p2sdkpkendari.com. (24 November 2008)

Gunarso W. 1985. Tingkah Laku Ikan (Dalam Hubungannya dengan Alat,


Metoda, dan Teknik Penangkapan). Bogor: Jurusan Pemanfaatan
Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian
Bogor.

Hasyim B. 2004. Penerapan Informasi Zona Potensi Penangkapan Ikan


(ZPPI) untuk Mendukung Usaha Peningkatan Produksi dan Efisiensi
Operasi Penangkapan Ikan. Paper Matakuliah Pengantar Falsafah
Sain.

He, P, 1989. Fish Behaviour and its Aplication in Fisheries. Canada:


Newfoundland and Labrador Institute of Fisheries and Marine
Technology. p 157.

Hela dan Laevastu. 1970. Fisheries Oceanography. London: Fishing News


Book Ltd.

http://www.depkominfo.go.id/portal/bow/modules/portalweb/sendmail/frontpa
ge. (17 Desember 2008)
26

http://beritajember.wordpress.com. (24 November 2008).

Lillesand, T.M. and R.W. Kiefer. 1987. Remote Sensing and Image
Interpretation. USA: John Wiley and Sons. New York.

Monintja D.R. dan Zulkarnain. 1995. Analisis Dampak Pengoperasian


Rumpon Tipe Philipine di Perairan ZEE terhadap Perikanan Cakalang
di Perairan Teritorial Selatan Jawa dan Utara Sulawesi (Laporan
Penelitian). Bogor: Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor.

Murdiyanto B. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai. Proyek


Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya
Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Jakarta:
Departemen Kelautan dan Perikanan.

Nahib I. 2007. Analisis Dinamik Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tuna


Kecil (Studi Kasus di Perairan Teluk Palabuhanratu Kabupaten
Sukabumi). Proceeding Geo-Marine Research Forum 2007.

Nikijuluw V.P.H. 2008. Blue Water Crime (Dimensi Sosial Ekonomi


Perikanan Ilegal). Jakarta: Cidesindo.

Nomura M and Yamazaki T. 1977. Fishing Techniques I. Tokyo: Japan


International Cooperation Agency.

Nybakken J.W. 1988. Biologi Laut (Suatu Pendekatan Ekologis). Cetakan


I. Jakarta: Gramedia.

Razak A., Anwar K., dan Baskoro M.S. 2005. Fisiologi Mata Ikan. Bogor:
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Subani dan Barus. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut. Jakarta:
Jurnal Penelitian Perikanan Laut No 50 tahun 1988/1989 (edisi
khusus).

Subani W. 1986. Telaah Penggunaan Rumpon dan Payaos dalam


Perikanan Indonesia. Jakarta: Jurnal Penelitian Laut No. 35.

Suhana. 2008. Rumponisasi, Konflik Nelayan dan Kelestarian Sumberdaya


Ikan. http://suhana-ocean.blogspot.com. (24 November 2008).
27

BAB II
PEMBENTUKAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN
DENGAN LIGHT FISHING DAN RUMPON

2.1 Pendahuluan

Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta
km² wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km² wilayah perairan zona
ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia. Wilayah perairan Indonesia memiliki
potensi sumberdaya ikan yang cukup besar. Pemanfaatan sumberdaya ikan
di perairan Indonesia cenderung mengalami peningkatan, mengikuti
permintaan konsumen yang terus bertambah, baik jumlah maupun jenisnya.
Teknik dan taktik penangkapan ikan (fishing technique and fishing tactics)
juga mengalami perkembangan yang pesat untuk dapat memeperoleh hasil
tangkapan yang banyak dengan kualitas yang memadai sesuai dengan
permintaan konsumen.
Nelayan seringkali memanfaatkan tanda-tanda alami dalam
mendeteksi daerah penangkapan ikan (fishing ground), yang diperoleh
berdasarkan pengalaman dan tradisi yang turun-temurun dari nenek
moyang, di antaranya : warna perairan lebih gelap dibandingkan perairan
sekitarnya, keberadaan burung beterbangan dan menukik-nukik ke
permukaan air, riak-riak perairan di permukaan air, dan sebagainya. Ikan
juga seringkali ditemukan nelayan bergerombol di sekitar batang-batang
kayu yang hanyut di perairan.
Salah satu faktor penentu keberhasilan operasi penangkapan ikan
adalah tersedianya informasi daerah penangkapan ikan yang potensial,
disamping faktor lainnya seperti kapal perikanan, metode dan teknologi
penangkapan ikan, alat tangkap dan kemampuan sumberdaya manusia
(nelayan). Faktor-faktor opearsi penangkapan ikan tersebut tentu saja
memiliki keterkaitan yang sangat erat satu dengan lainnya. Berhasil tidaknya
suatu alat tangkap dalam operasi penangkapan ikan sangatlah tergantung
pada bagaimana mendapatkan daerah penangkapan yang baik, dan
bagaimana operasi penangkapan ikan dilakukan. Beberapa cara dapat
dilakukan dalam upaya optimalisasi hasil tangkapan, di antaranya dengan
menggunakan alat bantu penangkapan. Macam-macam alat bantu
28

penangkapan yang umum digunakan dalam operasi penangkapan ikan di


Indonesia diantaranya dengan menggunakan rumpon dan cahaya lampu
(light fishing).
Dengan adanya rumpon dan penggunaan cahaya lampu di suatu
perairan maka daerah penangkapan ikan dapat dibentuk, sehingga nelayan
dan unit kapal penangkap ikan tidak tergantung lagi dengan tanda-tanda
fisik daerah penangkapan ikan yang bergantung pada kondisi lingkungan
alami perairan. Oleh karena itu, dengan penggunaan rumpon dan cahaya
(light fishing) dapat dikatakan sebagai pembentuk daerah penangkapan ikan
buatan (artificial fishing ground).

2.2 Perikanan Light Fishing

2.2.1 Sejarah perikanan light fishing di Indonesia

Beberapa alat tangkap dalam pengoperasiannya menggunakan


bahan dan alat tertentu untuk memberikan rangsangan guna menarik
perhatian ikan. Salah satu alat yang digunakan untuk memberikan
rangsangan pada ikan adalah cahaya. Cahaya digunakan untuk menarik
perhatian ikan-ikan yang bersifat fototaksis positif dan akan direspons
dengan berkumpulnya ikan pada sumber cahaya atau catchable area
tertentu untuk kemudian ditangkap dengan menggunakan jaring maupun
alat pancing lainnya. Penangkapan ikan dengan memanfaatkan cahaya
sebagai alat bantu umumnya disebut dengan light fishing.
Menurut Brandt (1984) light fishing atau penangkapan ikan dengan
cahaya adalah suatu bentuk dari umpan yang berhubungan dengan mata
(optical bait) yang digunakan untuk menarik dan untuk mengumpulkan ikan.
Light fishing oleh Brant (1984) diklasifikasikan ke dalam kelompok attracting
concentrating and fringhting fish, karena dalam hal ini cahaya digunakan
untuk mengumpulkan (concentrating) ikan pada suatu daerah tertentu
sehingga mudah untuk dilakukan operasi penangkapan.
Pada awalnya penggunaan cahaya lampu untuk penangkapan ikan
di Indonesia belum diketahui secara pasti siapa yang memperkenalkannya.
Namun yang jelas sekitar tahun 1950-an di pusat-pusat perikanan Indonesia
Timur, dimana usaha penangkapan cakalang dengan pole and line marak
dilakukan, penggunaan cahaya (lampu) untuk penangkapan ikan telah
29

dikenal secara luas. Penggunaan cahaya listrik dalam skala industri


penangkapan ikan pertama kali dilakukan di Jepang pada tahun 1900 untuk
menarik perhatian berbagai jenis ikan, kemudian berkembang dengan pesat
setelah Perang Dunia II. Di Norwegia penggunaan lampu berkembang sejak
tahun 1930 dan di Uni Soviet baru mulai digunakan pada tahun 1948
(Nikonorov 1975).

2.2.2 Prinsip dasar perikanan light fishing

Peristiwa tertariknya ikan di bawah cahaya dapat dibagi menjadi dua


macam, yaitu :
(1) Peristiwa langsung, yaitu ikan tertarik oleh cahaya lalu berkumpul. Ini
tentu berhubungan langsung dengan peristiwa fototaksis, seperti pada
jenis-jenis sardinella, kembung dan layang.
(2) Peristiwa tidak langsung, yaitu karena ada cahaya maka plankton, ikan-
ikan kecil dan lain-lain sebagainya berkumpul, lalu ikan yang dimaksud
datang berkumpul dengan tujuan mencari makan (feeding). Beberapa
jenis ikan yang termasuk dalam kategori ini seperti ikan tenggiri, selar
dan lain-lain.
(3) Ikan tertarik pada cahaya sebagai hasil dari reflex defensive ikan
terhadap predator.
Ikan pada umumnya akan membentuk schooling pada saat terang
dan menyebar saat gelap. Dalam keadaan tersebar, ikan akan lebih mudah
dimangsa predator dibandingkan saat berkelompok. Adanya pengaruh
cahaya buatan pada malam hari akan menarik ikan ke daerah iluminasi,
sehingga memungkinkan mereka membentuk schooling dan lebih aman dan
incãran predator. Ikan yang tergolong fototaksis positif akan memberikan
respon dengan mendekati sumber cahaya, sedangkan ikan yang bersifat
fototaksis negatif akan bergerak menjauh.
Aspek-aspek fisika yang perlu diperhatikan terkait dengan altivitas
light fishing adalah :
(1) Cahaya : kuat cahaya (light intensity.), warna cahaya (light colour),
merambatnya cahaya ke dalam air laut, pengaturan cahaya, dan lain-
lain.
(2) Gelombang, kekeruhan (turbidity), kecerahan (transparancy), dan arus.
30

(3) Hubungan cahaya dengan air laut : refraction, penyerapan (absorption),


penyebaran (scattering), pemantulan dan lain-lain sebagainya.
Aspek-aspek biologi yang perlu diperhatikan, terkait dengan
perikanan light fishing adalah :
(1) Jenis cahaya yang disenangi ikan (volume rangsangan atau stimuli)
yang harus diberikan, supaya ikan terkumpul dan tidak berusaha untuk
melarikan diri dalam jangka waktu tertentu. Sehubungan dengan
berjalannya waktu, pengaruh rangsangan akan lenyap, karena ikan
menjadi terbiasa (accustomed) dengan kondisi sekitarnya.
(2) Kemampuan daya tarik (attracting intensity) dari cahaya yang
dipergunakan haruslah sedemikian rupa sehingga dapat mengalahkan
(mengeliminir) pengaruh intimidasi dari beradanya jaring, kapal, suara
mesin dan lain-lain.
(3) Faktor kondisi sekeliling (environmental condition factor) yang berubah-
ubah akibat gelombang, arus, suhu, salinitas, sinar bulan dan stimulus
seperti cahaya akan mempengaruhi tingkah laku ikan. Dalam hal ini,
spesies yang berbeda umumnya akan menunjukkan pola tingkah laku
yang berbeda terhadap kondisi tersebut.
(4) Dengan penggunaan cahaya sebagai stimulus, maka berbagai spesies
ikan termasuk ikan kecil dan larva akan berkumpul di perairan sekitar
sumber cahaya. Untuk itu diperlukan alat tangkap yang selektif untuk
mengeliminir tertangkapnya ikan yang belum layak tangkap.

Gambar 2.1 Light fishing pada bagan rambo (Sudirman 2003).


31

Agar cahaya dalam kegiatan light fishing dapat memberikan daya


guna yang maksimal, diperlukan berbagai syarat-syarat antara lain :
(1) Mampu mengumpulkan ikan-ikan yang berada pada jarak yang jauh,
baik secara horizontal maupun vertikal.
(2) Ikan-ikan tersebut hendaklah berkumpul ke sekitar sumber cahaya, di
mana alat tangkap mudah dioperasikan.
(3) Setelah ikan berkumpul, hendaklah ikan-ikan tersebut tetap senang
berada di sana dalam jangka waktu tertentu.
(4) Ikan yang telah berkumpul di sekitar sumber cahaya hendaklah tidak
berusaha menjauhkan diri ataupun menyebar (escape, disperse).
Faktor yang cukup krusial dalam kegiatan light fishing adalah
kekuatan dari cahaya lampu yang digunakan, di mana keberadaan cahaya
lampu sendiri yang masuk atau menembus perairan akan dipengaruhi
kondisi cuaca saat penangkapan. Verheyen (1959) mengemukakan bahwa
mekanisme tertariknya ikan pada cahaya belum diketahui dengan jelas,
namun diduga berkumpulnya ikan-ikan disebabkan oleh keinginan mencari
intensitas cahaya yang sesuai.
Dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi penggunaan
cahaya dalam pembentukan daerah penangkapan ikan, maka perlu kajian-
kajian mendalam, antara lain :
(1) Kajian tentang cahaya lampu dalam kegiatan light fishing sebagai suatu
sumber cahaya (light resources).
(2) Kajian tentang peristiwa fisika, seperti pemantulan, penyerapan,
refraction, pemadaman cahaya dalam perikanan light fishing.
(3) Hubungan antara jumlah cahaya (light intensity, brightness, lux)
terhadap jumlah dan cepatnya ikan berkumpul serta jarak schooling ikan
dari sumber cahaya. Ikan-ikan ini hendaklah berada dalam keadaan
alamiahnya dan hubungan tersebut hendaklah dapat diungkapkan
dengan satuan tertentu (besar attracting intensity, besar intimidation
effect, besar stimulus, dan lain-lain sebagainya).
(4) Pola pergerakan ikan terhadap cahaya dalam aktivitas light fishing, serta
motivasi ikan berada di sekitar cahaya tersebut.
32

2.2.3 Cahaya sebagai alat bantu penangkapan

Yami (1988) mengemukakan bahwa perikanan light fishing sudah


dilakukan dengan berbagai cara dan berbagai teknik. Pilihan metode,
tentunya tergantung pada besarnya faktor pengembangan setiap tingkat
teknologi pada suatu tempat dan pengembangan investasi pada peralatan
dan sebagainya. Ada berbagai laporan tentang penangkapan ikan dengan
cahaya pada zaman dahulu dan masih tetap digunakan dewasa ini sebagai
informasi dalam proses perkembangannya. Seperti halnya di Jepang,
dimana penggunaan lampu untuk menangkap ikan sudah dilakukan sejak
tahun 1990-an (Nomura dan Yamazaki, 1977).
Penggunaan light fishing di Norwegia, telah dilakukan sejak tahun
1885, tetapi untuk perikanan komersial baru digunakan sejak tahun 1930.
Penggunaan petromaks yang berkekuatan 150-500 candela sudah
diperkenalkan pada tahun 1924 di Filipina dan lampu generator listrik (8-16
kW) pada pertengahan tahun 1950-an. Bangsa Yunani telah
memperkenalkan jenis alat tangkap purse seine dengan cahaya pada tahun
1954 di perairan Mediterania. Penggunaan cahaya sudah dilakukan sejak
tahun 1963 di beberapa negara pantai Afrika Barat (Yami, 1987). Soviet
telah melakukan penyelitian melalui suatu ekspedisi pada tahun 1957 di
Atlantik, dan di dalam ekspedisi tersebut diketahui adanya reaksi yang
positif dari ikan terhadap cahaya, yang mana hasil tangkapan yang pertama
adalah jenis ikan Sardinella. Di beberapa negara seperti Jepang dan
Norwegia, penggunaan lampu mulai berkembang setelah perang dunia II.
Penggunaan cahaya sebagai alat bantu penangkapan di Indonesia
dewasa ini hampir merata di seluruh wilayah. Nelayan tradisional di perairan
Indonesia lebih banyak menggunakan lampu strongking dan petromaks
dalam operasi penangkapan, sedangkan lampu listrik lebih sering digunakan
oleh kapal-kapal penangkapan yang lebih modern. Pada usaha
penangkapan cakalang di Indonesia bagian timur, cahaya digunakan untuk
menangkap umpan hidup (life bait fish). Pemakaian lampu yang bersumber
dari tenaga listrik lebih mudah, efektif dan efisien, sebab penempatannya
dapat diatur sesuai dengan keinginan, sedangkan penggunaan lampu listrik
bagi nelayan kecil di Indonesia masih sangat terbatas. Hal ini karena
membutuhkan biaya yang cukup besar dalam pemakaiannya.
33

Kini semakin banyak masyarakat yang menggunakan lampu listrik


dengan intensitas yang tinggi dalam upaya penangkapan. Lampu listrik
selain lebih efektif juga memiliki lebih banyak keunggulan dibandingkan
lampu petromaks. Lampu listrik dapat ditempatkan pada berbagai posisi di
atas kapal maupun di perairan, memiliki daya iluminasi yang tetap dan tidak
terganggu oleh keadaan lingkungan seperti angin atau hujan. Dalam
perkembangannya beberapa sumber cahaya telah yang digunakan sebagal
alat bantu penangkapan ikan di Indonesia dewasa ini.
Obor dibuat dari bambu yang kemudian diisi dengan minyak tanah
dan diberi sumbu pada bagian ujung atasnya. Pada waktu operasi
penangkapan ikan, obor ditempatkan pada sisi perahu sedemikian rupa
sehingga pancaran cahayanya dapat menerangi permukaan air.
Penggunaan alat ini memiliki beberapa kelemahan yaitu cahayanya mudah
berubah oleh tiupan angin dan bila turun hujan alat ini tidak dapat
digunakan. Dahulu alat ini banyak digunakan untuk penangkapan ikan di
Selat Bali, namun sekarang penggunaanya sudah jarang ditemukan.
Lampu petromaks umumnya memiliki kekuatan cahaya 200 lilin atau
sekitar 200 watt. Terdapat dua jenis lampu yang digunakan oleh nelayan
yaitu lampu petromaks dengan bola gelas yang berada pada bagian bawah
dan tabung lampu yang berada di atas, sedangkan yang satu lagi adalah
petromaks dengan tabung minyak pada bagian bawah dan lampu berupa
kaos lampu pada bagian atas. Di perairan Indonesia bagian timur
penggunaan petromaks jenis kedua biasa dilakukan dalam penangkapan
ikan di pinggiran pantai dengan cara menombak. Penggunaan lampu
umumnya dipengaruhi oleh cahaya bulan dan biasanya lampu petromaks
kurang efisien jika digunakan pada saat terang bulan (purnama). Keadaan
ini disebabkan karena pada kondisi demikian ikan-ikan akan cenderung
menyebar di dalam kolom air dan tidak naik ke atas permukaan air.

2.2.4 Pembentukan daerah penangkapan ikan dengan alat bantu


cahaya

Operasi penangkapan dengan menggunakan alat bantu cahaya


tidak dapat dilakukan pada setiap kondisi, akan tetapi mempertimbangkan
aspek lingkungan, biologi dan penangkapan. Dalam penggunaan cahaya
34

lampu sebagai alat bantu penangkapan ikan dalam menciptakan daerah


penangkapan, kondisi lingkungan perlu diperhatikan agar peran dan fungsi
cahaya menjadi lebih efektif dan efisien. Fase bulan menjadi faktor yang
menentukan gelap dan terang di perairan. Light fishing hanya akan efektif
dilaksanakan pada bulan gelap, dengan demikian cahaya lampu tidak dapat
dioperasikan pada siang hari. Pada saat bulan terang penggunaan cahaya
sebagai alat bantu penangkapan menjadi sangat tidak efektif. Akibat
adanya cahaya lain yang turut mempengaruhi tingkah laku ikan di perairan.
Kondisi ini biasanya diantisipasi oleh nelayan dengan menggunakan cahaya
yang lebih terang, namun hal ini hanya akan sedikit membantu dalam
operasi penangkapan.
Selain fase bulan, keadaan tingkat kekeruhan dalam perairan juga
akan mengurangi daya tembus cahaya di perairan pada akhirnya hal ini
mempengaruhi efisiensi penggunaan cahaya. Dalam keadaan cuaca yang
baik dan arus laut yang tidak terlalu kencang, operasi penangkapan dengan
menggunakan lampu akan memberikan pengaruh positif terhadap hasil
tangkapan. Arus yang terlampau kencang akan mempengaruhi posisi alat
tangkap di dalam air.
Selain faktor-faktor lingkungan di atas, ada beberapa syarat lain yang
menentukan keberhasilan penggunaan cahaya untuk membentuk daerah
penangkapan, antara lain :
(1) Cahaya yang akan digunakan harus tepat untuk jenis ikan yang akan
ditangkap dengan mengetahui tingkah laku ikan yang hendak ditangkap
terhadap jenis cahaya.
(2) Cahaya yang digunakan juga harus mampu menarik ikan pada jarak
yang jauh, baik secara vertikal maupun horisontal. Untuk syarat ini
biasa digunakan cahaya berwarna biru atau hijau.
(3) Ikan-ikan diusahakan untuk berkumpul pada area penangkapan
tertentu.
(4) Waktu yang tepat untuk menentukan mulai penangkapan terhadap ikan-
ikan yang telah berkumpul, setelah ikan mulai berkumpul diusahakan
ikan tetap tenang berada pada area penangkapan sampai batas waktu
tertentu sebelum dilakukan penangkapan, untuk itu diusahakan agar
ikan tidak melarikan diri atau menyebar.
35

Dalam hubungannya dengan keberhasilan operasi penangkapan


dengan menggunakan cahaya, perlu kiranya diketahui kebiasaan dari ikan-
ikan yang akan ditangkap. Salah satu kebiasan ikan yang perlu diperhatikan
dalam penangkapan adalah ruaya vertikal harian ikan tersebut.
Berdasarkan ruaya vertikal hariannya, ikan dan hewan laut lainnya dapat
dibagi atas 6 kelompok, yaitu :
(1) Jenis ikan pelagis yang muncul sedikit di atas termoklin pada siang
hari. Jenis ikan ini akan beruaya ke lapisan permukaan pada sore hari,
sedangkan saat malam hari, akan menyebar pada lapisan antara
permukaan dan termoklin. Kemudian pada pagi harinya ikan akan
menghindar dari lapisan diatas termoklin tersebut.
(2) Jenis ikan pelagis yang muncul dibawah termoklin pada waktu siang
hari. Ikan ini beruaya melalui lapisan termoklin ke lapisan permukaan
pada sore hari lalu menyebar pada lapisan antara permukaan dengan
dasar perairan selama malam hari, dan sebagian besar dari ikan
tersebut berada diatas termoklin. Pada waktu matahari terbit ikan akan
turun ke lapisan yang lebih dalam.
(3) Jenis ikan pelagis yang muncul dibawah termoklin selama waktu sore
hari. Malam hari ikan tersebut akan menyebar antara lapisan termoklin
dan dasar perairan, bahkan mungkin turun ke lapisan yang lebih dalam
pada waktu terbit matahari.
(4) Jenis ikan dasar (demersal fish) berada dekat dasar perairan pada
waktu siang hari, beruaya dan menyebar di bawah termoklin, terkadang
berada diatas termoklin pada sore hari kemudian turun ke dasar atau
lapisan yang lebih dalam pada waktu pagi hari.
(5) Jenis-jenis ikan yang menyebar melalui kolom air selama siang hari,
sedangkan pada waktu malam ikan tersebut akan turun ke dasar
perairan.
(6) Jenis ikan pelagis maupun demersal yang tidak memiliki migrasi harian
yang jelas.
Pada umumnya ikan pelagis akan naik ke lapisan permukaan
sebelum matahari terbenam dan akan membentuk kelompok yang besar.
Sesudah matahari terbenam ikan-ikan tersebut menyebar ke kolom air dan
mencari lapisan air yang lebih dalam pada siang hari. Ikan-ikan demersal
biasanya menyebar ke dalam kolom air selama malam hari, Dengan
36

mengetahui pola kebiasaan harian ikan, akan memudahkan menentukan


waktu dan alat yang tepat sehingga keberhasilan penangkapan menjadi
lebih besar.

2.3 Perikanan Rumpon


2.3.1 Definisi dan klasifikasi rumpon

Rumpon atau Fish Aggregating Device (FAD) adalah salah satu jenis
alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dilaut, baik laut dangkal
maupun laut dalam. Pemasangan tersebut dimaksudkan untuk menarik
gerombolan ikan agar berkumpul di sekitar rumpon, sehingga ikan mudah
untuk ditangkap.
Definisi rumpon menurut SK Mentan No. 51/Kpts/IK.250/1/97 adalah
alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada
perairan laut. Selanjutnya dalam SK Mentan No. 51/Kpts/IK.250/1/97
tentang pemasangan dan pemanfaatan rumpon, yang menjelaskan bahwa
terdapat 3 jenis rumpon, yaitu :
(1) Rumpon perairan dasar, yaitu alat bantu penangkapan ikan yang
dipasang dan ditempatkan pada dasar perairan laut.
(2) Rumpon perairan dangkal, yaitu alat bantu penangkapan ikan yang
dipasang dan ditempatkan pada perairan laut dengan kedalaman sampai
dengan 200 meter (Gambar 2.2).

Gambar 2.2 Rumpon laut dangkal (BPPL 1991).


37

(3) Rumpon perairan dalam, yaitu alat bantu penangkapan ikan yang
dipasang dan ditempatkan pada perairan laut dengan kedalaman lebih
dari 200 m (Gambar 2.3).

Gambar 2.3 Rumpon laut dalam (BPPL 1991).

Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) bersama beberapa


Pemerintah Daerah (Pemda) saat ini sedang dan akan terus
mengembangkan program rumponisasi di seluruh perairan Indonesia.
Program tersebut bertujuan untuk lebih mengefisiensikan usaha nelayan
kecil, dengan cara menghemat biaya operasional penangkapan ikan.
Harapan pemerintah terhadap penggunaan rumpon sebagai alat bantu
penangkapan ikan dapat memberikan keuntungan kepada nelayan, seperti
nelayan tidak perlu melakukan penangkapan ikan dengan cara mengejar
(mengikuti) kemana ikan bergerak, dengan menciptakan daerah
penangkapan ikan buatan nelayan cukup menangkap ikan di sekitar
rumpon, memberikan kepastian dalam menentukan daerah penangkapan,
mendekatkan daerah penangkapan ikan (fishing ground) dengan nelayan,
mampu menekan biaya operasional penggunaan BBM (solar) hingga
sebesar 30%, dan meningkatkan produksi ikan hingga mencapai 300%.
Menurut Naamin dan Kee-Cahi Chong (1987), pada awal
penggunaan rumpon laut dalam di Sorong antara tahun 1985 sampai 1986,
38

ternyata dapat meningkatkan hasil tangkapan total sebesar 105% dan hasil
tangkapan per satuan upaya sebesar 142%. meningkatkan pendapatan
pemilik rumpon sebesar 367%, mengurangi pemakaian bahan bakar minyak
untuk kapal sebesar 64,3% serta mengurangi pemakalan umpan hidup
sebesar 50%. Namun dengan bertambahnya penggunaan rumpon maka
terlihat kecenderungan menurunnya hasil tangkapan per satuan upaya
(CPUE).

2.3.2 Sejarah rumpon di Indonesia

Rumpon telah lama dikenal di Indonesia, terutama di daerah


Sulawesi Selatan yang dikenal sebagai ‘rompong mandar”. Didaerah
Indonesia Bagian Timur lain seperti di Sorong, Fakfak. Maluku Utara, Teluk
Tomini, Laut Sulawesi, Sulawesi Tenggara berkembang dengan alat
tangkap pancing huhate (pole and line) dan pancing ulur (handline) rumpon
jenis ini biasanya dipasang di perairan laut dalam untuk menangkap ikan-
ikan pelagis besar. Sedangkan rumpon laut dangkal berkembang
penggunaannya di perairan Selat Malaka dan Laut Jawa dengan alat alat
tangkap purse seine mini.
Teknologi rumpon laut dalam baru dikembangkan di Indonesia
sekitar tahun 1985 untuk penangkapan ikan pelagis besar. Metode
pemasangan dan dua jenis rumpon tersebut hampir sama dan
perbedaannya hanya pada daerah pemasangan serta bahan yang
digunakan. Pada rumpon laut dangkal digunakan dari alam seperti bambu,
rotan. daun kelapa dan batu kali.Sebaliknya pada rumpon laut dalam
sebagian besar dari bahan seperti bahan sintetis, plat besi, ban bekas, tali
baja, tali nylon dan semen
Penggunaan rumpon sebagai alat bantu penangkapan belum
menyebar di seluruh wilayah perairan Indonesia terutama untuk rumpon laut
dalam. Penggunaan rumpon laut dalam di wilayah Indonesia Bagian Barat
atau Samudera Indonesia dapat dikatakan belum ada.
39

2.3.3 Konstruksi dan teknis pemasangan rumpon

Menurut Preston (1982), secara garis besar rumpon terdiri atas tiga
bagian utama yang terdiri dan attraktor, mooring line dan pemberat.
Konstruksi rumpon, terdiri dan komponen-komponen yang sama bila dilihat
berdasarkan fungsinya seperti pelampung, alat pengumpul ikan, tali-temali
dan pemberat. tetapi untuk rumpon-rumpon yang dipergunakan oleh
nelayan diberbagai lokasi di Indonesia mempunyai perbedaan bila dilihat
dan material masing-masing komponen konstruksi rumpon tersebut.
Tim Pengkajian Rumpon IPB (1987) mengemukakan bahwa
persyaratan umum komponen-komponen dan konstruksi rumpon adalah
sebagai berikut :
(1) Pelampung,
Mempunyai kemampuan mengapung yang cukup baik (bagian yang
mengapung di atas air 1/3 bagian).
Konstruksi cukup kuat .
Tahan terhadap gelombang dan air.
Mudah dikenali dari jarak jauh.
Bahan pembuatnya mudah didapat.
(2) Atraktor atau pemikat :
Mempunyai daya pikat yang baik terhadap ikan.
Tahan lama.
Mempunyai bentuk seperti posisi potongan vertikal dengan arah ke
bawah.
Melindungi ikan-ikan kecil.
Terbuat dan bahan yang kuat, tahan lama dan murah.
(3) Tali-temali :
Terbuat dan bahan yang kuat dan tidak mudah busuk.
Harganya relatif murah mempunyai daya apung yang cukup untuk
mencegah gesekan terhadap benda-benda lainnya dan terhadap
arus.
Tidak bersimpul (less knot).
(4) Pemberat :
Bahannya murah, kuat dan mudah diperoleh.
40

Massa jenisnya besar, permukaannva tidak licin dan dapat


mencengkeram.
Daya tahan rumpon yang dipasang di laut sangat bervariasi
tergantung jenis material dari masing-masing komponen serta kondisi dan
kedalaman perairan dimana rumpon tersebut dipasang. Tim Pengkajian
Rumpon IPB (1987) mengemukakan bahwa berdasarkan hasil evaluasi
rumpon yang dipasang PT. Usaha Mina di Perairan Utara Irian Jaya dan di
perairan Maluku Utara dapat disimpulkan bahwa rumpon yang dipasang
pada kedaan 600-1000 m dapat bertahan antara 10-17 bulan
Menurut Atapattu (1991) penggunaan rumpon sebagai alat bantu
penangkapan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan laju tangkap
dengan pengurangan biaya produksi, mengurangi waktu untuk mencari
gerombolan ikan sehingga mengurangi biaya operasi kapal, meningkatkan
efisiensi penangkapan serta memudahkan operasi penangkapan ikan yang
berkumpul di sekitar rumpon.
Rumpon sebagai alat bantu penangkapan dipasang di tengah laut.
Oleh sebab itu agar rumpon dapat berfungsi dengan dengan baik sesuai
dengan tujuannya. maka dalam pemasangannya diperlukan adanya
informasi tentang kedalaman, kecerahan air. arus. suhu, salinitas dan
keadaan topografi dan dasar perairan dimana rumpon akan dipasang.
Informasi dasar tersebut sangat diperlukan untuk diketahui agar dalam
pemasangan rumpon benar-benar tepat pada perairan yang diharapkan dan
menghindari rumpon putus. Pemasangan rumpon harus pula
memperhatikan aspek biologis dan ikan yang menjadi sasaran
penangkapan. Hal ini bertujuan agar rumpon yang dipasang benar-benar
pada perairan yang subur dan banyak ikannya.

2.3.4 Tingkah laku ikan di sekitar rumpon

Keberadaan ikan di sekitar rumpon karena berbagai sebab, antara


lain :
(1) Rumpon sebagai tempat bersembunyi di bawah bayang-bayang daun
rumpon bagi beberapa jenis ikan tertentu.
(2) Rumpon sebagai tempat berpijah bagi beberapa jenis ikan tertentu.
41

(3) Rumpon itu sebagai tempat berlindung bagi beberapa jenis ikan yang
mempunyai sifat fototaksis negatif.
Samples dan Sproul (1985) mengemukakan teori tertariknya ikan
yang berada di sekitar rumpon disebabkan karena:
(1) Rumpon sebagai tempat berteduh (shading place) bagi beberapa jenis
ikan tertentu.
(2) Rumpon sebagai tempat mencari makan (feeding ground) bagi ikan-ikan
tertentu.
(3) Rumpon sebagai substrat untuk meletakkan telurnya bagi ikan-ikan
tertentu.
(4) Rumpon sebagai tempat berlindung (shelter) dan predator bagi ikan-ikan
tertentu..
(5) Rumpon sebagai tempat sebagai titik acuan navigasi (meeting point)
bagi i kan-ikan tertentu yang beruaya.
Gooding dan Magnuson (1967) melaporkan bahwa rumpon
merupakan tempat stasiun pembersih (cleaning place) bagi ikan ikan
tertentu. Dikemukakan bahwa dolphin dewasa umumnya akan mendekati
bagian bawah floating objects seperti rumpon dan menggesekkan
badannya. Breder (1949) juga mendukung hal ini dimana kadang-kadang
dolphin mendekati ikan lain untuk membersihkan badannya. Tingkah laku
ini sesuai dengan tingkah laku dan famili coryphaenids yang memindahkan
parasit atau menghilangkan iritasi kulit dengan cara menggesekkannya.
Freon dan Dagom (2000) menambahkan teori tentang rumpon sebagai
tempat berasosiasi (association place) bagi jenis ikan-ikan tertentu.
Rumpon yang dipasang. pada suatu perairan akan dimanfaatkan
oleh kelompok ikan tertentu sebagai tempat berlindung dan serangan
predator. Kelompok jenis ini akan berenang-renang dengan mengusahakan
agar posisi tubuh selalu membelakangi bangunan rumpon. Selain sebagai
tempat berlindung, rumpon diibaratkan sebagai pohon yang tumbuh di
padang pasir yang merupakan wadah pemikat kelompok ikan (Subani 1972)
Ikan berkumpul di sekitar rumpon untuk mencari makan. Dugaan ini
senada dengan pendapat Soemarto (1962) yang menyatakan bahwa dalam
area rumpon terdapat plankton yang merupakan makanan ikan yang lebih
banyak dibandingkan di luar rumpon. Diterangkan juga oleh Soemarto
(1962) bahwa perairan yang banyak planktonnya akan menarik ikan untuk
42

mendekat dan memakannya. Subani (1972) mengemukakan bahwa ikan-


ikan yang berkumpul di sekitar rumpon menggunakan rumpon sebagai
tempat berlindung juga untuk mencari makan dalam arti luas tetapi tidak
memakan daun-daun rumpon tersebut.

2.3.5 Pro-kontra pengoperasian rumpon

Program rumponisasi oleh Departemen Kelautan dan Perikanan


(DKP-RI) bersama beberapa Pemerintah Daerah (Pemda) mendapat respon
positif dari berbagai pihak karena program tersebut bertujuan untuk lebih
mengefisienkan usaha nelayan kecil, dengan cara menghemat biaya
operasional penangkapan ikan. Beberapa keuntungan rumpon bagi
nelayan, antara lain (www.depkominfo. go.id 2007) :
(1) Nelayan tidak perlu melakukan penangkapan ikan dengan cara
mengejar (mengikuti) kemana ikan bergerak;
(2) Menciptakan daerah penangkapan ikan buatan sehingga nelayan
cukup menangkap ikan di sekitar rumpon;
(3) Memberikan kepastian dalam menentukan daerah penangkapan;
(4) Mendekatkan daerah penangkapan ikan (fishing ground) dengan
nelayan;
(5) Mampu menekan biaya operasional penggunaan BBM (solar) hingga
sebesar 30%; dan
(6) Mampu meningkatkan produksi penangkapan ikan hingga mencapai
30%.
Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan dari Monintja et al (1990) yang
menyatakan bahwa manfaat-manfaat yang diharapkan dengan penggunaan
rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan adalah:
(1) Menghemat waktu dan bahan bakar dalam pengintaian ikan;
(2) Meningkatkan hasil tangkapan per satuan upaya;
(3) Meningkatkan mutu hasil tangkapan ditinjau dari spesies dan
komposisi ukuran.
Berdasarkan hasil penelitian dari Nahib (2007) yang menggunakan
pendekatan analisis dinamik, menunjukkan bahwa dampak keberadaan
rumpon menyebabkan peningkatan laju pertumbuhan ikan sebesar 1,5–
5,6%, peningkatan kemampuan daya tangkap sebesar 7–10%, peningkatan
43

produksi hasil tangkapan sebesar 22%, dan peningkatan efisiensi


penggunaan effort sebesar 16%.
Namun demikian program rumponisasi ini ternyata belum berhasil
100% walaupun beberapa penelitian telah menunjukkan manfaat rumpon
bagi nelayan. Isu nasional konflik antara kelompok nelayan payang dengan
kelompok nelayan rumpon sudah berlangsung sekitar tahun 2002, sejak
diperkenalkannya rumpon kepada para nelayan di sekitar Teluk
Palabuhanratu. Pada saat itu di perairan Teluk Palabuhanratu dibangun 5
unit rumpon yang pengelolaan dan pemanfaatannya diserahkan kepada
kelompok nelayan pancing. Namun karena penempatan rumpon tersebut
dianggap telah mengganggu jalur penangkapan ikan nelayan jaring,
terutama nelayan payang dan gillnet maka keberadaan rumpon tersebut
hanya bertahan selama 6 bulan. Menurut pengakuan nelayan jaring kepada
pihak Dinas Kelautan dan Perikanan, keberadaan rumpon tersebut telah
menyebabkan jaring mengalami kerusakan akibat tersangut pada rumpon.
Dan akhirnya para nelayan jaring tersebut “menebas” habis rumpon yang
ada di sekitar perairan Teluk Palabuhan ratu tersebut.
Pada tahun 2005 Yayasan Anak Nelayan Indonesia (YANI) kembali
memasang rumpon 2 unit di perairan Palabuhanratu, akan tetapi letaknya
berada di luar teluk. Hal ini dimaksudkan selain untuk menghindari konflik
dengan nelayan jaring juga untuk “menargetkan” sumberdaya ikan yang ada
di perairan Samudera Hindia. Namun demikian ternyata keberadaan rumpon
milik YANI tersebut juga diprotes oleh para nelayan jaring karena dianggap
telah turut memperburuk hasil tangkapan nelayan jaring. Menurut aparat
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi konflik ini disebabkan
karena adanya salah pemahaman dari kelompok nelayan jaring, khususnya
nelayan payang yang beranggapan bahwa penurunan produksi
penangkapan perahu payang akibat dari keberadaan rumpon di luar teluk.
Sehingga ikan-ikan yang seharusnya beruaya ke dalam teluk tertahan di
rumpon yang ada di luar tersebut. Akhirnya pada akhir tahun 2005 sampai
triwulan pertama tahun 2006 Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Sukabumi melakukan sosialisasi rumpon kepada seluruh nelayan di Teluk
Palabuhanratu. Hal ini dimaksudkan selain untuk menghindari
kesalahpahaman, dan juga untuk memberikan pemahaman kepada para
44

nelayan agar mempu memanfaatkan rumpun guna mengefetifkan pencarian


ikan dan meningkatkan produksi penangkapan.
Pada tahun 2006 Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Sukabumi kembali memasang rumpon di dalam teluk sebanyak 4 unit guna
memperpendek jarak jangkauan dan supaya dapat dimanfaatkan oleh
perahu yang kecil sedangkan diluar teluk sebanyak 6 unit dari Anggaran
Pembangunan Belanja Negara Propinsi (APBNP) Jawa Barat 1 Unit.
Pengelolaan sepuluh rumpon tersebut diserahkan kepada sepuluh kelompok
pengelola rumpon. Pembagian sepuluh pengelola tersebut tidak hanya
didominasi oleh nelayan pancing, tetapi juga melibatkan kelompok nelayan
payang dan beleketek. Kesepuluh kelompok tersebut membentuk sebuah
forum pengelola rumpon yang diberi nama Perkumpulan Nelayan Bahtera.
Pemasangan rumpon dewasa ini masih menyisakan konflik di
lapangan. Menurut sebagian besar nelayan bahwa konflik yang timbul akibat
penggunaan rumpon lebih disebabkan tidak dilibatkannya seluruh nelayan
dalam pembangunan rumpon di perairan. Akibatnya masih ada dari para
nelayan yang tidak menerima keberadaan rumpon, dan mereka melakukan
penebasan jangkar rumpon yang menyebabkan rumpon hilang terbawa
arus. Selain itu, sebagian nelayan terpaksa memindahkan rumpon yang
dikelolanya ke lokasi lain karena rumpon tersebut dijadikan tempat
bersandarnya bagan apung milik nelayan bagan.
Menurut Asosiasi Tuna Indonesia (ASTUIN), pemasangan rumpon
sangat mengancam keberlangsungan ikan tuna. Hal ini disebabkan ikan
tuna yang ditangkap di sekitar areal rumpon adalah baby tuna dengan
ukuran 3 sampai 10 kg. Padahal idealnya tuna yang layak ditangkap adalah
yang berukuran 20 sampai 60 kg per ekor. Sementara rumpon yang
dipasang hanya dapat mengumpulkan dan menangkap tuna-tuna kecil yang
nota bene masih produktif bertelur. Dengan demikian apabila program
rumpon tersebut terus dikembangkan maka 5 tahun ke depan populasi ikan
tuna akan terancam.
Kekhawatiran pengusaha ikan tuna tersebut sangat beralasan,
karena sampai saat ini pemasangan rumpon di perairan Indonesia tidak
dibarengi dengan sistem kelembagaan yang kuat. Misalnya sampai saat ini
belum ada aturan mengenai jenis dan ukuran ikan yang boleh ditangkap
oleh para nelayan rumpon, berapa jumlah ikan yang boleh ditangkap oleh
45

setiap kelompok nelayan rumpon, dan bagaimana tanggung jawab nelayan


rumpon dalam menjaga kelestarian sumberdaya ikan. Selama ini
pemerintah hanya mengatur tentang bagimana mendapatkan ijin
pemasangan rumpon saja, tanpa dibarengi dengan beberapa aturan
(Suhana 2008)
Keberadaan rumpon juga menyebabkan penurunan kapasitas daya
dukung 3-10%. Hasil analisis dinamik menunjukkan hubungan stok dan
effort dalam pengusahaan ikan tuna kecil di perairan Teluk Palabuhanratu
termasuk dalam sistem pengelolaan kuadran 3 (peningkatan effort, akan
menyebabkan penurunan stok ikan). Trajektori (perilaku) biomass ikan dan
effort pada kondisi sebelum dan setelah adanya rumpon memiliki pola yang
sama. Peningkatan biomass hanya bisa dicapai, jika effort dikurangi. Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat effort yang ada saat ini dapat dikatagorikan
berlebih (Nahib 2007).
Isu internasional tentang rumpon sebagai alat bantu dalam
penangkapan ikan mengancam kelestarian sumberdaya ikan di perairan
berkembang sejak Konferensi Internasional tentang FAD di Martinique,
Perancis pada tahun 1999. Tentu saja isu ini berdasarkan pada Code of
conduct for Responsible Fisheries yang dikeluarkan oleh FAO pada tahun
1995. Hal ini dikarenakan alat tangkap purse seine yang berkembang
dengan pesat di Samudera Pasifik bagian Timur yang dioperasikan pada
drifting fish aggregating device menangkap ikan-ikan tuna berukuran kecil
yang belum matang gonad. Terdapat pro dan kontra tentang hal itu karena
FAD merupakan alat bantu yang diyakini sangat efektif dalam menangkap
ikan dengan menggunakan alat tangkap purse seine, payang dan pancing.
Isu regional dan nasional tentang perkembangan penggunaan
rumpon yang pesat menimbulkan berbagai masalah di antaranya:
(1) Ketidakseimbangan produktivitas alat tangkap yang digunakan nelayan
di Philippina dengan nelayan plasma di Maluku dan Irian Jaya, di mana
produktivitas purse seine Philippina jauh lebih tinggi daripada pancing
ulur nelayan plasma di Maluku dan Irian Jaya.
(2) Lokasi pemasangan rumpon laut dalam tidak mencerminkan komposisi
yang seimbang antara kepentingan perikanan Industri (Philippina) yang
menguasai hampir seluruh kawasan ZEE Laut Sulawesi dan Pasifik,
sedangkan BUMN dan plasmanya terbatas di beberapa tempat perairan
46

Maluku dan sebagian kecil di Samudera Pasifik yaitu Utara Irian jaya
dan Maluku.
(3) Pemasangan rumpon oleh nelayan Philippina bahkan semakin
cenderung tidak terkontrol, walaupun pembatasannya sudah dilakukan
oleh Direktorat jenderal Perikanan, sehingga menimbulkan situasi padat
rumpon yang menimbulkan keresahan nelayan-nelayan pole and line di
Sulawesi Utara dan Maluku karena rumpon tersebut diduga telah
menghalangi ruaya ikan dan Laut Sulawesi dan Pasifik yang menuju ke
perairan Maluku dan Laut Banda.
(4) Pemasangan rumpon laut dalam oleh perusahaan perikanan di lepas
pantai Jawa Barat dan lepas pantai Flores dan Timor telah menimbulkan
gejolak sosial (konfik sosial) karena telah mengganggu produktivitas
nelayan setempat.
Permasalahan di atas terjadi karena kebijakan rumponisasi oleh
pemerintah tidak dibarengi dengan sistem kelembagaan yang kuat, aturan
yang ada hanya sebatas lokasi pemasangan, dan bagaimana mendapatkan
ijin pemasangan rumpon. Hal-hal yang terkait dengan berapa jumlah ikan
yang boleh ditangkap oleh setiap kelompok nelayan rumpon, jenis dan
ukuran ikan yang boleh ditangkap, dan bagaimana tanggung jawab nelayan
rumpon dalam menjaga kelestarian sumberdaya ikan belum diatur secara
rinci. Untuk itu perlu ada sistem kelembagaan yang mengatur secara rinci
seperti tersebut di atas.
Untuk menanggulangi konflik baik secara internasional, regional dan
nasional di atas diperlukan peraturan-peraturan dalam skala nasional,
regional maupun internasional. Pemerintah Indonesia telah membuat
beberapa peraturan secara nasional tentang rumpon yaitu SK Mentan No.
51/Kpts/IK.250/1/97. Selain itu peraturan internasional tentang “Code of
Conduct for Responsible Fishing (CCRF)” (FAO, 1995) telah mulai disiapkan
untuk diimplementasikan, yang memuat beberapa aspek yaitu :
(1) Aspek pengelolaan perikanan (Fisheries Management).
(2) Aspek operasi penangkapan ikan (Fishing Operations).
(3) Aspek pembangunan akuakultur (Aquaculture Development).
(4) Aspek integrasi perikanan ke dalam pengelolaan kawasan pesisir
(Integration of Fisheries into Coastal Area management).
47

(5) Aspek praktek-praktek pasca panen dan perdagangan (Post-Harvest


Practices and Trade).

2.3.6 Pengelolaan rumpon

Pengaturan dan pengendalian rumpon di Indonesia saling berkaitan


antara aspek operasi penangkapan ikan dengan ke-lima aspek lainnya
dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), rumpon sebagai
salah satu alat pengumpul ikan secara khusus di jelaskan pada Pasal 9.3
dan Anneks III pada pedoman teknis untuk perikanan bertanggung jawab
aspek operasi penangkapan ikan. Pasal 9.3 mencakup beberapa peraturan,
antara lain :
(1) Teknologi pengumpulan ikan sebaiknya dikembangkan lebih jauh
untuk memperbaiki kinerja alat-alat pengumpul ikan yang dijangkar
dan terapung.
(2) Sistem manajemen alat pengumpul ikan sebaiknya mengemukakan
tanggung jawab otoritas yang berwenang dan pengguna untuk standar
desain yang minimum, operasi dan pemeliharaan alat pengumpul ikan
tersebut.
(3) Otoritas yang berwenang juga sebaiknya menetapkan suatu sistem
persetujuan untuk penempatan alat pengumpul ikan dan memelihara
dokumen pemilik. Dokumen harus berisikan sebagai suatu persyaratan
minimum, yaitu tanda yang ditetapkan otoritas yang berwenang untuk
identifikasi kepemilikan; nama dan alamat pemilik; tipe alat pengumpul
ikan, dan lokasi dan posisi geografis yang dialokasikan.
(4) Otoritas yang berwenang sebaiknya memastikan bahwa otorisasi
menangkap ikan di sekitar alat pengumpul ikan berisikan rincian
metoda penangkapan yang digunakan dan juga persyaratan untuk
pelaporan hasil tangkapan.
(5) Alat pengumpul ikan, apakah dijangkar atau terapung, sebaiknya
mempunyai alat-alat untuk mengidentifikasi posisi alat pengumpul ikan
pada siang dan malan hari.
(6) Otoritas yang berwenang juga sebaiknya menetapkan suatu sistem
untuk pelaporan alat pengumpul ikan yang hilang dan penemuan
kembali alat pengumpul ikan yang dianggap membahayakan navigasi.
48

Sejalan dengan upaya pemerintah untuk peningkatan produksi


perikanan maka sangatlah tepat apabila penggunaan rumpon
dikembangkan. Akan tetapi dalam perkembangannya, pemasangan rumpon
selain menimbulkan efek positif juga menimbulkan beberapa masalah,
antara lain akibat pemasangan rumpon yang tidak teratur dan lokasi yang
berdekatan dapat merusak pola ruaya ikan yang berimigrasi jauh sehingga
mengganggu keseimbangan dan konflik antar nelayan, kemudahan
penangkapan ikan dengan menggunakan rumpon dapat menimbulkan
overfishing, dan lain-lainl.
Apabila dilihat dan tingkat pengusahaan sumberdaya perikanan
pelagik besar yang masih rendah maka peningkatan usaha penangkapan
ikan masih sangat diperlukan. Pengelolaan rumpon harus memperhatikan
aspek-aspek biologi, lokasi lingkungan perairan, alat penangkapan. sosial
budaya dan ekonomi. Dalam pengelolaan ini harus pula memperhatikan
aspek legal yang menyangkut lokasi, jumlah, pemanfaatan dan izin
pemasangan dari instansi yang berwenang.
Guna terciptanya penataan pemasangan rumpon agar terjaga
kelestarian sumberdaya ikan; terciptanya Pedoman Pembinaan Sarana
Perikanan Tangkap khususnya rumpon; untuk menghindarkan konflik sosial
antara nelayan pemilik rumpon dan yang tidak memiliki rumpon; terbinanya
pengelolaan rumpon yang melibatkan unsur-unsur terkait baik pusat
maupun daerah, antara perusahaan perikanan dengan nelayan sehingga
tercapai kesinambungan dan keserasian usaha dilapangan dan tujuan untuk
kelestarian sumberdaya ikan; tersusunnya mekanisme pendataan,
penandaan dalam pemasangan rumpon serta mekanisme evaluasi
produktifitas penangkapan ikan di sekitar rumpon.
Kepmen Kelautan dan Perikanan No. Kep 30/MEN/2004 tentang
Pemasangan dan Pemanfaatan Rumpon mengatur tentang tata cara
pemasangan rumpon. Dalam hal ini rumpon dapat dioperasikan di wilayah
perairan :
(1) Perairan 2 mil laut sampai dengan 4 mil laut, diukur dari garis pantai
pada titik surut terendah.
(2) Perairan diatas 4 mil laut sampai dengan 12 mil laut, diukur dari garis
pantai pada titik surut terendah
(3) Perairan diatas 12 mil laut dan ZEE Indonesia.
49

(4) Perorangan atau perusahaan berbadan hukum yang akan memasang


rumpon wajib terlebih dahulu memperoleh ijin.
Pengusaha atau nelayan yang akan memasang rumpon mengajukan
permohonan ijin kepada Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Dinas
Perikanan dan Kelautan Propinsi atau Kabupaten atau Kota sesuai
kewenangan pemberi izin sesuai dengan Kepmen Kelautan dan Perikanan
No. Kep 30/MEN/2004 tentang Pemasangan dan Pemanfaatan Rumpon.
Dalam permohonan ijin harus dilakukan penilaian baik terhadap administrasi
pemohon maupun lokasi perairan. Penilaian lokasi pemasangan rumpon
harus memperhatikan :
(1) Apakah daerah tersebut tidak merupakan alur pelayaran atau
kepentingan lainnya seperti daerah suaka, atau daerah lainnya.
Pemasangan rumpon tidak boleh dilakukan pada daerah perairan
tersebut.
(2) Apakah daerah tersebut tidak merupakan konsentrasi penangkapan
ikan nelayan-nelayan yang tidak menggunakan rumpon, Rumpon tidak
boleh dipasang pada perairan tersebut.
(3) Apakah daerah tersebut berbatasan dengan propinsi lain, untuk itu
maka Dinas Perikanan dan Kelautan dari domisili pemohon ijin rumpon
ditujukan kepada provinsi tersebut.
Sedangkan persyaratan jarak antar rumpon dapat dilihat pada
Kepmentan Nomor 51/KPTS/IK.250/1/1997 tentang pemasangan dan
pemanfaatan rumpon yaitu pada pasal 7 ayat b : Pemasangan rumpon di
perairan dalam dengan syarat-syarat tidak boleh dipasang dengan jarak
pemasangan antara rumpon satu dengan rumpon lain kurang dari 10
(sepuluh) mil laut; dan ayat e :pemasangan rumpon tidak boleh dengan
jarak kurang dari 12 mil laut diukur dari garis pasang surut terendah pada
waktu air surut dari setiap pulau; atau pada ayat f yang menyebutkan bahwa
rumpon tidak boleh dipasang dengan cara pemasangan yang
mengakibatkan efek pagar (zig-zag) yang mengancam kelestarian jenis ikan
pelagis.
.
50

DAFTAR PUSTAKA

Baskoro MS, dan Suherman A. 2007. Teknologi Penangkapan Ikan Dengan


Cahaya. Badan Penerbit UNDIP-Semarang.

Ben-yami,1987. Fishing With Light. Published by Arrangement With The


Agriculture Organisation of The United Nation by Fishing News Books
Ltd.Farham,Surrey.England.

Nikonorov, I.V. 1975. Interaction of Fishing Gear With Fish Aggregations.


Keter Publishing House Jerisalem Ltd. Israel Program From Scientific
Translations, Jerusalem.

Sulaiman.2006. Pendekatan Akustik dalam Studi Tingkah Laku Ikan pada


proses Penangkapan dengan Alat Bantu Cahaya.(Tidak di
Publikasikan,Thesis). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Bogor

Sudirman, 2003. Analisis Tingkah Laku Ikan untuk Mewujudkan teknologi


Ramah Lingkungan Dalam Proses Penangkapan pada bagan Rambo
(Tidak di Publikasikan.Disertasi) Program Pasca sarjana Institut
Pertanian Bogor. Bogor

Yusfiandayani, R. 2004. Studi tentang Mekanisme Berkumpulnya Ikan


Pelagis Kecil di Sekitar Rumpon dan Pengembagan Perikanan di
Perairan Provinsi Banten.

Suhana. 2008. Rumponisasi, Konflik Nelayan dan Kelestarian Sumberdaya


Ikan. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL-IPB).
http://ocean.iuplog.com diakses pada 17 February 2008.
51

BAB III
PERANAN DAN APLIKASI
TEKNOLOGI PENGINDERAAN JARAK JAUH
DALAM PENDUGAAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN

3.1 Pendahuluan

Salah satu masalah utama yang dihadapi dalam upaya optimalisasi


pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap adalah terbatasnya data dan
informasi mengenai kondisi oseanografi yang berkaitan erat dengan
penyebaran daerah penagkapan ikan potensial. Penangkapan ikan oleh
nelayan dilakukan dengan sistem berburu, di mana para nelayan masih
mencari-cari daerah penangkapan ikan. Armada penangkap ikan berangkat
dari pangkalan bukan untuk menangkap tetapi untuk mencari lokasi
penangkapan yang selalu berada dalam ketidakpastian tentang lokasi yang
potensial sehingga menyebabkan usaha penangkapan ikan menjadi tidak
efesien dan hasil tangkapannya juga menjadi tidak pasti.
Penentuan daerah potensial penangkapan ikan yang umum
dilakukan oleh nelayan sejauh ini masih menggunakan cara-cara tradisional
yang diperoleh secara turun temurun dan pada daerah yang relatif tetap
dalam jangkauan yang relatif sempit. Akibatnya nelayan tidak mampu
mengatasi perubahan kondisi oseanografi dan cuaca yang berkaitan erat
dengan perubahan daerah penangkapan ikan yang berubah secara dinamis.
Perkembangan teknologi penginderaan jauh telah memungkinkan
ilmuwan untuk memperoleh data parameter oseanografi yang selanjutnya
dapat digunakan untuk mendeteksi daerah-daerah potensial untuk
perikanan tangkap. Gelombang elektromagnetik yang berasal dari matahari
dimanfaatkan untuk memperoleh karakteristik obyek di bumi, angin,
gelombang, temperatur laut, produktivitas primer dan lainnya yang
selanjutnya dapat dikemas dalam suatu falsafah ilmu dan dapat
diaplikasikan untuk memberikan informasi perikanan tangkap secara
spasial.
52

3.2 Penginderaan Jarak Jauh (Indera)

Penginderaan jarak jauh secara umum didefinisikan sebagai sistem


untuk memperoleh informasi melalui analisis terhadap data atau informasi
yang dikumpulkan oleh sensor dengan tanpa adanya kontak langsung
dengan obyek yang dideteksi dimana informasi yang didapatkan dapat
digunakan untuk menentukan sifat alami dan sifat dasar dari suatu obyek.
Teknologi penginderaan jarak jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh
informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data
yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek,
daerah atau fenomena yang dikaji (Lilliesand and Kiefer 1987).
Teknologi penginderaan jauh dapat menghasilkan beberapa bentuk
citra yang selanjutnya diproses dan diinterpretasikan guna menghasilkan
data yang bermanfaat untuk aplikasi di bidang pertanian, perikanan,
kelautan, arkeologi dan bidang-bidang lainnya (Purbowaseso, 1995). Citra
satelit dapat digunakan untuk pengamatan kondisi oseanografi suatu
perairan secara multi temporal dan multi spasial di suatu wilayah perairan
yang cukup luas dan waktu yang bersamaan. Kondisi oseanografi yang
dapat diamati menggunakan citra satelit antara lain SPL, kandungan klorofil-
a, arus serta paras laut. Citra SPL diperoleh dari sensor termal, kandungan
klorofil-a dari sensor optik, sedangkan arus dan paras laut dari sensor radar.
Teknologi penginderaan jauh pada dasarnya meliputi tiga bagian
utama yaitu: perolehan data, pemrosesan data dan interpretasi data.
Wahana yang dipergunakan adalah pesawat udara atau satelit buatan yang
telah dilengkapi dengan peralatan perekam data (sensor). Komponen dasar
dari sistem penginderaan jauh antara lain : (1) gelombang elektromagnetik
sebagai sumber radiasi (sumber energi) yang digunakan; (2) atmosfer
sebagai media lintasan dari gelombang elektromagnetik; (3) sensor sebagai
alat yang mendeteksi gelombang elektromagnetik; (4) objek. Komponen
tersebut disajikan secara skematik pada Gambar 3.1.
Sumber energi yang digunakan dalam pencitraan adalah gelombang
elektromagnetik. Sumber energi dipisahkan menjadi dua, yaitu sumber
energi pasif yaitu sumber energi berupa radiasi gelombang elektromagnetik
matahari, dan sumber energi aktif yaitu sumber energi buatan, misalnya
radar. Energi elektromagnetik adalah paket elektris dan magnetik yang
53

bergerak tegak lurus dengan kecepatan sinar pada frekuensi pada panjang
gelombang tertentu (Sutanto 1987).

Gambar 3.1 Sistem penginderaan jauh (Sutanto 1994).

Sensor adalah alat yang digunakan untuk mendeteksi radiasi


elektromagnetik yang dipantulkan atau dipancarkan oleh suatu benda dan
mengubahnya menjadi nilai nyata yang dapat direkam atau diproses (Butler
et al. 1989). Sensor dibedakan menjadi dua berdasarkan energinya yaitu
sensor aktif dan sensor pasif. Sensor aktif adalah sensor yang
mengiluminasikan objek dan akan menginduksi benda tersebut untuk
memancarkan radiasi sehingga menyebabkan pantulan radiasi tersebut.
Sensor pasif adalah sensor yang akan menerima dan merekam baris demi
baris gelombang elektromagnetik yang dipantulkan atau dipancarkan bumi
dan atmosfer. Semua sensor mempunyai kepekaan spektral tertentu
sehingga sensor tidak peka terhadap seluruh panjang gelombang.
Atmosfer adalah media lintasan gelombang elektromagnetik.
Atmosfer mempunyai pengaruh terhadap jalannya gelombang
elektromagnetik. Pengaruh atmosfer adalah fungsi panjang gelombang yang
pengaruhnya bersifat selektif terhadap panjang gelombang sehingga timbul
jendela atmosfer. Jendela atmosfer adalah bagian spektrum elektromagnetik
yang dapat mencapai bumi. Dalam jendela atmosfer terdapat hambatan
atmosfer yaitu kendala yang disebabkan oleh hamburan pada spektrum
tampak dan serapan dalam spektrum inframerah termal yang disebabkan
54

butir-butir di atmosfer berupa debu, uap air dan gas (Sutanto, dapat
memonitor seluruh permukaan bumi. Satelit-satelit yang digunakan dalam
penginderaan jauh terdiri dari satelit lingkungan, cuaca dan sumber daya
alam.1987). Objek yang terdeteksi oleh satelit dapat dibedakan karena
setiap objek di permukaan bumi mempunyai sifat reflektansi yang khas
terhadap panjang gelombang yang mengenai objek tersebut dan setiap
saluran pada sensor satelit menerima pantulan dan pancaran dari objek
pada panjang gelombang tertentu.
Tenaga panas yang dipancarkan dari obyek dapat direkam dengan
sensor yang dipasang jauh dari obyeknya. Penginderaan obyek tersebut
menggunakan spektrum inframerah termal (Paine 1981 diacu dalam Sutanto
1994). Dengan menggunakan satelit maka akan memungkinkan untuk
memonitor daerah yang sulit dijangkau dengan metode dan wahana yang
lain. Satelit dengan orbit tertentu
Terdapat beberapa jenis satelit yang mampu melakukan observasi
terhadap fenomena yang terjadi di permukaan bumi termasuk di permukaan
laut. Satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) milik
Amerika, membawa berbagai sensor, dan salah satunya adalah sensor
AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer). Satelit Sea Star yang
membawa sensor SeaWIFs menghasilkan data konsentrasi klorofil yang
berkaitan erat dengan konsentrasi plakton di laut. Satelit Feng Yun yang
membawa sensor untuk mendeteksi suhu permukaan laut dan konsentrasi
klorofil di laut.

3.2.1 Satelit NOAA-AVHRR

Satelit NOAA merupakan satelit cuaca yang berfungsi mengamati


lingkungan dan cuaca. Satelit ini dimiliki Departemen Perdagangan Amerika
Serikat, diluncurkan oleh National Aeronautics and Space Administration
(NASA) dan dioperasikan oleh National Oceanic and Atmospheric
Administration (NOAA). Sekarang di atmosfer Indonesia melintas setiap hari
lima seri NOAA, yaitu NOAA-12, NOAA-14, NOAA-15, NOAA-16 dan NOAA-
17. Sensor utama setelit NOAA adalah AVHRR (Advance Very High
Resolution Radiometer Model 2) untuk pengamatan lingkungan dan cuaca
yang dapat memberikan informasi kelautan, seperti suhu permukaan laut
55

yang berguna dalam mendeteksi keberadaan ikan. Konfigurasi satelit NOAA


disajikan pada Gambar 3.2, sedangkan karakteristik dari spektral NOAA-
AVHRR disajikan pada Tabel 3.1. Dari tabel terlihat bahwa data AVHRR
yang diterima terdiri dari 5 band radiometer masing dengan resolusi spasial
1.1 km x 1.1 km. Berbeda dengan data Feng Yun yang terdiri dari 8 band
radiometer walaupun resolusi spasialnya sama.

Gambar 3.2 Konfigurasi satelit NOAA (JARS 1993).

Tabel 3.1 Karakteristik spektral NOAA-AVHRR


Nomor Band Panjang Deskripsi
Gelombang
(µm)
1 0,58 – 0,68 Sinar tampak (merah)
2 0,76 – 1,10 Inframerah dekat
3 3,55 – 3,93 Inframerah menengah (hybrida antara
inframerah pantulan dan termal)
4 10,30 – 11,30 Inframerah termal
5 11,30 – 12,50 Inframerah termal
Sumber : Howard (1996) diacu dalam Halim (2005)

Citra SPL dapat dihasilkan dari berbagai sensor termal yang dibawa
oleh berbagai satelit inderaja, seperti NOAA-AVHRR yang mengembangkan
metode multi kanal, dengan menggunakan kombinasi tiga kanal yaitu kanal
3, 4 dan 5 (triple window) dan metode kombinasi dua kanal yaitu kanal 4
56

dan 5 (split window). Metode split window dapat diterapkan untuk estimasi
SPL siang dan malam hari, sedangkan untuk metode triple window hanya
dapat digunakan pada pengamatan malam hari (McClain 1985).

3.2.2 Satelit AQUA MODIS

Aqua, yang dalam bahasa latin berarti air, adalah suatu satelit ilmu
pengetahuan tentang bumi yang dimiliki NASA. Satelit ini mempunyai misi
mengumpulkan informasi tentang siklus air di bumi, termasuk penguapan
dari samudera, uap air di atmosfer, awan, presipitasi, kelembaban tanah, es
yang ada di laut dan darat, serta salju yang menutupi daratan. Variabel lain
yang diukur oleh Aqua adalah aerosol, tumbuhan yang menutupi daratan,
fitoplankton dan bahan organik terlarut di lautan, suhu udara, daratan dan air
(Graham 2005).
MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) adalah
salah satu instrumen penting di dalam satelit Terra (EOS AM) yang
diluncurkan pada tanggal 18 Desember 1999 dan Aqua (EOS PM) yang
diluncurkan pada tanggal 4 Mei 2002. MODIS mengorbit pada ketinggian
sampai 705 km di atas permukaan bumi dan dapat bertahan sampai 6
tahun. Sebenarnya tujuan utama Aqua dan Terra adalah memahami proses
yang saling berkait antara atmosfer, laut, dan daratan dengan perubahan
sistem cuaca dan pola iklim di bumi. Namun, karena sensor MODIS yang
dipasang di kedua satelit tersebut dapat mengukur hampir semua parameter
darat, laut, dan udara, kegunaannya menjadi sangat luas. Mulai dari indeks
tumbuhan, kelembaban tanah, kadar aerosol di udara, suhu permukaan laut,
dan kandungan klorofil laut. Seluruhnya ada 86 parameter yang bisa diukur
oleh masing-masing satelit, sehingga banyak keperluan lain bisa
ditumpangkan.
Sensor MODIS dilengkapai dengan sensifitas radiometrik tinggi (12
bit) dengan memiliki 36 spektral kanal yang berkisar pada panjang
gelombang 0,4–14,4  m. Selang panjang gelombang pada masing-masing
kanal dirancang cukup sempit agar mampu menghasilkan data
penginderaan jauh yang lebih akurat. Adapun spesifikasi MODIS dapat
dilihat pada Tabel 3.2.
57

Tabel 3.2 Spesifikasi MODIS


Orbit 705 km, 10:30 a.m. descending node (Terra) or 1:30 p.m.
ascending node (Aqua), sun-synchronous, near-polar,
circular
Scan rate 20.3 rpm, cross track
Swath 2330 km (cross track) by 10 km (along track at nadir)
dimensions
Telescope 17.78 cm diam. off-axis, afocal (collimated), with
intermediate field stop
Size 1.0 x 1.6 x 1.0 m
Weight 228.7 kg
Power 162.5 W (single orbit average)
Data rate 10.6 Mbps (peak daytime); 6.1 Mbps (orbital average)
Quantization 12 bits
Spatial 250 m (bands 1-2); 500 m (bands 3-7); 1000 m (bands 8-
resolution 36)
Design life 6 years
Sumber:NASA (http://simbios.gsfc.nasa.gov)

Garis edar satelit Terra di sekitar bumi diatur sedemikian sehingga


melintasi dari utara ke selatan dan melewati garis khatulistiwa pada pagi
hari, sedangkan satelit Aqua melintas dari selatan ke utara dan berada di
atas garis khatulistiwa di sore hari. Terra MODIS dan Aqua MODIS
mengamati keseluruhan permukaan bumi setiap 1-2 hari, memperoleh data
di 36 spektral kanal (Tabel 3.3).
Data yang disajikan pada Tabel 3.3 akan meningkatkan pemahaman
terhadap proses dan dinamika global yang terjadi di daratan, samudera dan
lapisan atmosfer yang lebih rendah. MODIS memainkan peranan yang
penting dalam pengembangan model sistem bumi secara global, yang
mampu meramalkan perubahan global dengan cukup teliti untuk membantu
pembuat kebijakan dalam membuat keputusan penting mengenai
perlindungan lingkungan.
58

Tabel 3.3 Karakteristik kanal-kanal sensor MODIS


Spectral Required
Primary Use Band Bandwidth (nm)
Radiance1 SNR2
Land/Cloud/
1 620 – 670 21.8 128
Aerosols
2 841 – 876 24.7 201
Boundaries
Land/Cloud/ 3 459 – 479 35.3 243
Aerosols 4 545 – 565 29.0 228
Properties 5 1230 – 1250 5.4 74
6 1628 – 1652 7.3 275
7 2105 – 2155 1.0 110
Ocean Color/ 8 405 – 420 44.9 880
Phytoplankton/ 9 438 – 448 41.9 838
Biogeochemistry 10 483 – 493 32.1 802
11 526 – 536 27.9 754
12 546 – 556 21.0 750
13 662 – 672 9.5 910
14 673 – 683 8.7 1087
15 743 – 753 10.2 586
16 862 – 877 6.2 516
Atmospheric 17 890 – 920 10.0 167
Water Vapor 18 931 – 941 3.6 57
19 915 – 965 15.0 250
Surface/Cloud 20 3.660 - 3.840 0.45(300K) 0.05
Temperature 21 3.929 - 3.989 2.38(335K) 2.00
22 3.929 - 3.989 0.67(300K) 0.07
23 4.020 - 4.080 0.79(300K) 0.07
Atmospheric 24 4.433 - 4.498 0.17(250K) 0.25
Temperature 25 4.482 - 4.549 0.59(275K) 0.25
Cirrus Clouds 26 1.360 - 1.390 6.00 150(SNR)
Water Vapor 27 6.535 - 6.895 1.16(240K) 0.25
28 7.175 - 7.475 2.18(250K) 0.25
Cloud Properties 29 8.400 - 8.700 9.58(300K) 0.05
Ozone 30 9.580 - 9.880 3.69(250K) 0.25
Surface/Cloud 31 10.780 - 11.280 9.55(300K) 0.05
Temperature 32 11.770 - 12.270 8.94(300K) 0.05
Cloud Top 33 13.185 - 13.485 4.52(260K) 0.25
Altitude 34 13.485 - 13.785 3.76(250K) 0.25
35 13.785 - 14.085 3.11(240K) 0.25
36 14.085 - 14.385 2.08(220K) 0.35

Note: Performance goal is 30-40% better than required


1
Spectral Radiance values are (W/m2 -µm-sr)
2
SNR = Signal-to-noise ratio
3
NE(delta)T = Noise-equivalent temperature difference
Sumber: NASA (http://simbios.gsfc.nasa.gov)
59

3.2.3 Satelit SEASTAR (SeaWiFS)

Sensor SeaWiFS (Sea-Wide Field Sensor) merupakan sensor satelit


Seastar. Satelit ini diluncurkan pada orbit rendah pada tanggal 1 Agustus
1997 dari pesawat Pegasus. Pembangunan dan pengendalian satelit ini
dilakukan oleh OSC (Orbital Science Corporation). Satelit ini
mentransmisikan dua jenis data yaitu LAC (Local Area Coverage) dan GAC
(Global Area Coverage), masing-masing dengan tingkat real time data 665,4
Kbps dan 2 Mbps. Kedua data di atas ditransmisikan melalui band-S dengan
frekuensi 2272,5 MHz. Skema peluncuran, satelit dan sensor SeaWiFS
dapat dilihat pada Gambar 3.3.

Gambar 3.3 Skema peluncuran, orbit Satelit Seastar dan sensor SeaWiFS.

Karakteristik dan sensor dari satelit SeaWiFs disajikan dalam Tabel


3.4. Perbandingan data satelit yang menghasilkan karakteristik ocean
colour, termasuk resolusi spasialnya dapat dilihat pada Tabel 3.5.

3.3 Peranan Teknologi Penginderaan Jarak Jauh (Inderaja) dalam


Pendugaan Parameter Oseanografi Perikanan
Penginderaan jauh satelit adalah proses perolehan informasi muka
bumi dari instrumentasi yang ditempatkan di satelit. Penginderaan jauh
satelit memberikan kemampuan pemantauan daerah yang luas secara
periodik dan berkesinambungan (Kartasasmita 1999). Dengan perairan laut
60

Indonesia yang luas dan sangat dinamis, maka penggunaan satelit


merupakan alternatif yang sangat tepat. Pengamatan dan monitoring
fenomena oseanografi dan sumber daya hayati laut mengharuskan
penggunaan banyak data dalam selang waktu observasi tertentu (harian,
mingguan, bulanan, atau tahunan).

Tabel 3.4 Karakteristik satelit dan sensor SeaWiFS


Karakteristik Satelit dan Sensor
Tipe orbit Sun synchronous ketinggian 705 km
Equator crossing siang hari +20 menit, descending
Periode orbit 99 menit
Luas sapuan 2.801 km LAC/HRPT (58,3 derajat)
Luas sapuan 1.502 km GAC (45 derajat)
Resolusi spasial 1,1 km LAC, 4,5 km GAC
Tingkat real-time data 665 kbps revisit time 1 day
Digitasi 10 bits
Kanal (Band) Panjang Gelombang
1 402-422 nm
2 433-453 nm
3 480-500 nm
4 500-520 nm
5 545-565 nm
6 660-680 nm
7 745-785 nm
8 845-885 nm

Hal ini sangat memungkinkan karena satelit seperti NOAA-AVHRR


dan Sea WiFS atau Feng Yun ternyata dapat mengamati fenomena
oseanografi dengan frekuensi yang tinggi akibat resolusi temporalnya
(repetitive time) yang cukup tinggi (setiap 4 jam).
Penginderaan jauh (inderaja) kelautan saat ini telah berkembang
sesuai dengan perkembangan teknologi inderaja itu sendiri. Pemanfaatan
teknologi inderaja dalam perolehan data oseanografi yang selanjutnya dapat
dimanfaatkan untuk pendugaan keberadaan sumberdaya ikan telah banyak
dilakukan di beberapa negara maju seperti Jepang, Australia dan beberapa
negara Eropa. Hal ini banyak membantu dalam berbagai penelitian untuk
memahami dinamika perikanan dan lingkungan laut, termasuk memahami
dinamika sumber daya ikan yang terkandung di dalamnya.
61

Tabel 3.5 Data satelit ocean color dan spesifikasinya


Parameter
Jenis Data Spesifikasi Data Sumber Data
terukur (Produk)
SeaWiFS  8 bands NASA (order,  Klorofil-a
(Visible, NIR) electronically)  Endapan
 Resolusi Data (level 1, 2): terlarut (TSM)
spasial: 4km http://oceancolor.gsfc.nas  Kekeruhan
(GAC), 1km a.gov/cgi/ perairan
(LAC) browse.pl?sen=am  Batimetri
 Perioda: 1997- http://daac.gsfc.nasa.gov/
sekarang data

CZCS  6 bands  Klorofil-a


 Perioda: 1978-  Surface
1986 Data (level 3) images: temperature
http://oceancolor.gsfc.nas
a.gov/cgi/level3.pl
OCTS  18 bands  Klorofil-a
 Resolusi
spasial: 1km
MODIS  36 bands LAPAN  Klorofil-a
Aqua  Resolusi  Endapan
spasial: 250 terlarut (TSM)
m (bands 1-2),  Kekeruhan
500 m (bands perairan
3-7), 1000 m  SPL
(bands 8-36)
 Perioda: 2002-
sekarang
Sumber : NASA (http://simbios.gsfc.nasa.gov)

Teknologi satelit banyak digunakan dalam sistem inderaja kelautan


dan telah dikembangkan berbagai jenis sensor untuk mendeteksi berbagai
parameter lingkungan yang penting di dalam proses kelautan itu, baik
proses fisika, kimia maupun biologi. Beberapa jenis sensor yang telah
dikembangkan untuk kepentingan inderaja kelautan diantaranya adalah jenis
CZCS (coastal zone color scanner), TM (Thematic Mapper) dan AVHRR
(Advanced Very High Radiometer Resolution). CZCS merupakan sensor
yang khusus dibuat untuk tujuan penelitian kelautan dan diluncurkan
pertama kalinya ke angkasa pada tahun 1978. TM dibawa oleh Landsat
(Land satelite) adalah khusus dirancang untuk penelitian di daratan, namun
dapat pula digunakan untuk tujuan penelitian kelautan. Sensor AVHRR
62

(Advanced Very High Radiometer Resolution) lebih banyak dimanfaatkan,


karena dapat diperoleh dengan mudah dan murah terutama selama krisis
ekonomi melanda Indonesia pada beberapa tahun terakhir ini (Hasyim,
1993).

Tabel 3.6 Spesifikasi satelit-satelit lain


Ukuran
Satelit Sensor Spektral band Piksel Waktu rotasi
citra
NOAA AVHRR 1 VIS, 1NIR, 3 1 KM 4 / HARI 3.000
TIR KM
Landsat MMS 2 VIS, 2 NIR 80 M 16 HAR 180 KM
TM 3 VIS, 1 NIR, 30 M I6 HARI 180 KM
2MIR 120 M
1 TIR
SPOT HRV P 1 VIS 10 M 26 HARI 2 X 60
2/3 HRV XS 2 VIS, 1NIR 20 M (->2,5) KM
2 X 60
KM
SPOT 4 HRV P 1 VIS 10 M 26 HARI 2 X 60
March HRV XS 1 VIS, 1 NIR, 1 20 M (->2,5) KM
98 Vegetation MIR 1,1 KM 1 HARI 2 X 60
1 VIS, 1 NIR, 1 KM
MIR 2.200
KM
IRS -1 PAN 1 VIS, 5,8 M 24 HARI 70 KM
C LIST III 1 VIS,1NIR, 23,5 M 24 HARI 141 KM
WIFT S 1MIR 188 M 770 KM
1 VIS, 1NIR

Peranan inderaja dalam pemanfaatan sumber daya ikan diantaranya


untuk menggambarkan vegetasi mangrove, konsentrasi klorofil dan
produktivitas primer perairan, suhu dan arus permukaan laut, kedalaman air,
terumbu karang, bahkan angin yang bertiup di permukaan laut. Bahkan
63

dalam perkembangannya dewasa ini, termasuk di Indonesia, telah sampai


pada tahap penentuan lokasi penangkapan ikan potensial dan pengaruh
musim terhadap migrasi ikan, walaupun masih dalam tahap uji coba (trial
and error).
Berdasarkan interpretasi citra, dapat diperoleh pola penyebaran SPL,
pengangkatan massa air (upwelling) ataupun pertemuan dua massa air
yang berbeda (sea front), dan perkiraan kandungan klorofil di suatu
perairan. Hasil pengamatan tersebut dapat dituangkan dalam bentuk peta
kontur, sehingga dari trend yang ditemukan dapat diperkirakan kesesuaian
kondisi perairan dengan habitat yang disenangi suatu gerombolan
(schoaling) spesies ikan tertentu menurut koordinat lintang dan bujur.
Selanjutnya armada penangkap ikan dapat bergerak ke lokasi tersebut
untuk melakukan penangkapan ikan dengan cepat dan tepat. Dengan
demikian, kemajuan teknologi satelit mempunyai peranan penting dalam
meningkatkan efektivitas dan efisiensi operasi penangkapan ikan.
Penggunaan citra SPL hasil deteksi satelit dewasa telah banyak
digunakan untuk melengkapi SPL hasil pengukuran langsung (in-situ).
Perbedaan pengukuran antara SPL dari citra satelit dengan pengukuran in-
situ relatif kecil dan perbedaan ini umumnya disebabkan pengaruh atmosfer
seperti uap air dan awan. Menurut Gaol (2003), pengaruh awan dapat
menurunkan SPL sampai 1,5°C dibanding suhu pengukuran in-situ.
Parameter oseanografi baik fisik, kimiawi maupun biologi yang
berpengaruh pada penyebaran ikan dan kegiatan penangkapan ikan antara
lain : suhu perairan, baik SPL atau sebaran suhu secara vertikal, salinitas,
dan jumlah klorofil-a.

3.3.1 Suhu permukaan laut

Suhu merupakan parameter oseanografi yang mempunyai pengaruh


sangat dominan terhadap kehidupan ikan khususnya dan sumberdaya
hayati laut pada umumnya. Umumnya setiap spesies ikan mempunyai
kisaran suhu yang sesuai dengan lingkungan untuk makan, memijah dan
aktifitas lainnya. Menurut Nibakken (1988), sebagian besar organisme laut
(kecuali burung dan mamalia laut) bersifat poikilometrik (suhu tubuh
dipengaruhi lingkungan) sehingga suhu merupakan salah satu faktor yang
64

sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran


organisme.
Suhu permukaan laut dipengaruhi oleh kondisi meteorologi. Faktor-
faktor meteorologi yang berperan adalah penguapan, curah hujan, suhu
udara, kelembaban udara, kecepatan angin dan intensitas matahari. Oleh
karena itu suhu di permukaan biasanya mengikuti pola musiman. Sebagai
contoh pada musim pancaroba, angin biasanya lemah dan laut sangat
tenang hingga proses pemanasan di permukaan terjadi sangat kuat.
Akibatnya pada musim pancaroba suhu pada lapisan permukaan mencapai
maksimum. Selanjutnya dikatakan bahwa secara vertikal suhu di perairan
Indonesia dapat dibedakan atas tiga lapisan yaitu lapisan homogen hangat
(bagian atas), lapisan termoklin (bagian tengah) dan lapisan dingin pada
bagian bawah (Nontji, 1987).
Data suhu permukaan laut relatif mudah diperoleh, apalagi dengan
pesatnya kemajuan teknologi inderaja. Data tersebut selanjutnya dapat
dimanfaatkan untuk memprediksi fenomena upwelling ataupun front yang
merupakan indikator daerah penangkapan ikan potensial. Untuk penentuan
suhu permukaan laut dari satelit, pengukuran dilakukan dengan radiasi infra
merah pada panjang gelombang 3-14μm. Pengukuran spektrum infra merah
yang dipancarkan oleh permukaan laut hanya dapat memberikan informasi
suhu pada lapisan permukaan sampai kedalaman 0,1 mm.
Pendugaan daerah penangkapan ikan yang potensial akan lebih
akurat apabila tersedia indikator-indikator yang dapat dideteksi pada
perairan tersebut, termasuk suhu perairan. Semakin banyak indikator yang
dapat dideteksi maka semakin akurat perkiraan daerah penangkapan ikan
yang bersangkutan. Semakin berkembangnya teknologi penangkapan ikan
dan teknologi inderaja dewasa ini, maka pengamatan ataupun pengukuran
terhadap indikator-indikator tersebut diharapkan mendapatkan suatu nilai
yang lebih pasti, misalnya suhu air laut dan kesuburan perairan (jumlah
kandungan klorofil).
Suhu dapat mempengaruhi fotosintesa di laut baik secara langsung
maupun tidak langsung. Pengaruh secara langsung yakni suhu berperan
untuk mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesa. Suhu
perairan dapat mempengaruhi laju maksimum fotosintesa, sedangkan
pengaruh secara tidak langsung yakni dalam merubah struktur hidrologi
65

kolom perairan yang dapat mempengaruhi penyebaran fitoplankton


(Tomascik et al 1997). Secara umum, laju fotosintesa fitoplankton meningkat
dengan meningkatnya suhu perairan, tetapi akan menurun secara drastis
setelah mencapai suatu titik suhu tertentu. Hal ini disebabkan karena setiap
spesies fitoplankton selalu berdaptasi terhadap suatu kisaran suhu tertentu.
Hela dan Laevastu (1970) mengatakan bahwa pengaruh suhu
permukaan laut terhadap penyebaran cakalang untuk perairan tropis adalah
kecil karena suhu relatif sama (konstan) sepanjang tahun. Walaupun
demikian suhu dapat digunakan untuk mendeteksi “current boundaries”
Penyebaran tuna dan cakalang sering mengikuti penyebaran atau sirkulasi
arus. Garis konvergensi di antara arus dingin dan arus panas merupakan
daerah yang kaya organisme dan diduga daerah current boundaries
tersebut merupakan fishing ground yang baik untuk perikanan tuna dan
cakalang.
Suhu yang diindera oleh satelit adalah suhu yang berasal dari radiasi
balik pada permukaan laut (skin sea surface temperature), sedangkan suhu
aktual dari kolom air adalah suhu pada lapisan beberapa sentimeter di
bawah permukaan laut (bulk sea surface temperature). Bulk sea surface
temperature pada pengukuran dengan buoy biasanya pada kedalaman 0,5
m, sedangkan pada pengukuran dengan kapal penelitian tentu akan lebih
dalam lagi. Suhu yang diukur pada kulit permukaan perairan (skin
temperature) dapat sangat signifikan berbeda dengan SPL bulk pada
perairan tropis (Kumar and Hader 1999). Adanya perbedaan ini
menyebabkan SPL yang diindera dengan satelit dapat lebih besar atau lebih
kecil dibanding suhu pada kolom air.
Dari pola penyebaran citra suhu permukaan laut dapat dilihat
fenomena oseanografi seperti upwelling, front, dan pola arus permukaan.
Daerah yang mempunyai fenomena-fenomena tersebut di atas umumnya
merupakan perairan yang potensial untuk daerah peangkapan ikan. Dengan
diketahuinya daerah penangkapan potensial tersebut maka efektivitas dan
efisiensi penangkapan akan meningkat.
Suhu perairan berpengaruh secara langsung terhadap kehidupan
biota laut. Pengaruh tersebut meliputi laju fotosintesis tumbuh-tumbuhan
dan proses fisiologis hewan, khususnya metabolisme dan siklus reproduksi
ikan mempunyai kisaran suhu optimum untuk hidupnya. Pengetahuan
66

tentang suhu optimum ini akan bermanfaat dalam peramalan keberadaan


kelompok ikan, sehingga dapat dengan mudah dilakukan penangkapan.
Menurut Roffer et al (1982), citra suhu permukaan laut juga telah digunakan
melacak migrasi dan habitat berbagai jenis ikan tuna sirip biru (bluefin tuna)
sepanjang pantai timur Amerika Serikat. Ikan-ikan ini mengikuti pergerakan
massa air hangat musiman dekat permukaan yang pergerakannya dapat
dimonitor dengan mengamati pergerakan ke arah utara isotermal 19-20°C
melalui citra infrared dari satelit walaupun hasilnya masih terbatas.

3.3.2 Salinitas

Salinitas didefinisikan sebagai jumlah berat garam yang terlarut


dalam 1 liter air, biasanya dinyatakan dalam satuan ‰ (per mil). Di perairan
samudera, salinitas berkisar antara 34‰ - 35‰. Tidak semua organisme
laut dapat hidup di perairan dengan konsentrasi garam yang berbeda.
Terkait dengan kemampuan adaptasi terhadap salinitas, maka organisme
laut dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu organisme euryhaline, yang
toleran terhadap perubahan salinitas, dan organisme stenohaline, yang
memerlukan konsentrasi garam yang konstan dan tidak berubah. Kelompok
pertama misalnya adalah ikan yang bermigrasi seperti salmon, yang mampu
beradaptasi terhadap air laut dan air tawar. Kelompok kedua, seperti udang
laut yang tidak dapat bertahan hidup pada perubahan salinitas yang ekstrim.
Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran air sungai. Di perairan
lepas pantai yang dalam, angin dapat pula melakukan pengadukan lapisan
atas hingga membentuk lapisan homogen sampai kira-kira setebal 50-70
meter atau lebih tergantung dari intensitas pengadukan. Di lapisan dengan
salinitas homogen, suhu juga biasanya homogen, dan di bawahnya terdapat
lapisan pegat dengan degradasi densitas yang besar yang menghambat
pencampuran antara lapisan atas dengan lapisan bawah (Nontji 1993).
Volume air dan konsentrasi dalam fluida internal tubuh ikan
dipengaruhi oleh konsentrasi garam pada lingkungan perairannya. Untuk
beradaptasi pada keadaan ini, ikan melakukan proses osmoregulasi. Organ
yang berperan dalam proses ini adalah insang, kulit dan ginjal.
Osmoregulasi memerlukan energi yang jumlahnya tergantung pada
67

perbedaan konsentrasi garam yang ada antara lingkungan eksternal dan


fluida dalam tubuh ikan. Toleransi dan preferensi salinitas dari organisme
laut bervariasi tergantung tahap kehidupannya, yaitu telur, larva, juvenil, dan
dewasa. Salinitas merupakan faktor penting yang mempengaruhi
keberhasilan reproduksi pada beberapa ikan dan penyebaran berbagai
stadia hidup.
Salinitas permukaan air laut sangat erat kaitannya dengan proses
penguapan dimana garam-garam akan mengendap atau terkonsentrasi.
Daerah-daerah yang mengalami penguapan yang cukup tinggi akan
mengakibatkan salinitas tinggi. Berbeda dengan keadaan suhu yang relatif
kecil variasinya, salinitas air laut dapat berbeda secara geografis akibat
pengaruh hujan lokal, banyaknya air sungai yang masuk ke laut, penguapan
dan edaran massa air.

3.3.3 Produktivitas perairan

Produktivitas primer adalah laju pembentukan senyawa-senyawa


organik yang kaya energi dari senyawa-senyawa anorganik
(Nybakken,1992). Klorofil-a berkaitan erat dengan produktifitas primer yang
ditunjukkan dengan besarnya biomassa fitoplankton yang menjadi rantai
pertama makanan ikan pelagis kecil. Fitoplankton sebagai tumbuhan yang
mengandung pigmen klorofil mampu melaksanakan reaksi fotosintesis,
dimana air dan karbon dioksida dengan adanya sinar matahari dan garam-
garam hara terlarut dapat menghasilkan senyawa organik seperti
karbohidrat. Karena kemampuan untuk menghasilkan zat organik dari zat
anorganik ini maka fitoplankton disebut sebagai produsen primer. Pigmen
yang umum didapat adalah klorofil a,b,c. Namun yang paling dominan
adalah klorofil-a. Salah satu fungsi klorofil adalah untuk menyerap energi
elektromagnetik (cahaya) yang datang untuk digunakan dalam proses
fotosintesa. Menurut Effendi (2002), fitoplankton pada waktu mengadakan
fotosintesa, menggunakan CO2 dan air dengan bantuan utama cahaya
matahari membuat hidrat arang dan menghasilkan zat asam yang berguna
bagi ikan. Dengan demikian plankton tersebut dapat memproduksi zat
organik dan bahan anorganik, dan selanjutnya plankton tersebut akan
dinamakan “penghasil awal” (primary producer). Akibatnya, perairan yang
68

produktivitas primer fitoplanktonnya tinggi akan mempunyai potensi


sumberdaya hayati yang besar pula.
Seperti tumbuh-tumbuhan hijau yang lain, plankton membuat ikatan-
ikatan organik yang kompleks dari bahan anorganik yang sederhana
(Hutabarat dan Evans, 1985). Fotosintesa adalah satu proses permulaan
yang penting dimana mereka dapat membuat atau mensintesa glukosa
(karbohidrat) dari ikatan-ikatan anorganik karbondioksida (CO2) dan air
(H2O). Ini menyangkut serangkaian reaksi-reaksi yang dapat disingkat
sebagai reaksi berikut ini:

Kebanyakan tumbuh-tumbuhan kemudian mengubah glukosa ini ke


dalam susunan karohidrat yang lebih kompleks seperti tepung yang
kemudian disimpan sebagai cadangan makanan. Enersi dibutuhkan untuk
membantu berlangsungnya reaksi kimia yang terjadi dalam proses
fotosintesa. Sumber enersi ini diambil dari sinar matahari yang diabsorbsi
oleh klorofil (pigmen hijau yang terdapat di tumbuh-tumbuhan). Tumbuh-
tumbuhan juga mampu membuat sintesa ikatan-ikatan organik yang lain
termasuk protein selama suplai bahan makanan (nutrient) terjamin.
Untuk produktivitas fitoplankton, hanya dua faktor saja yang dapat
membatasi, yaitu cahaya dan kadar-kadar zat hara (Nybakken, 1992).
Karena sinar matahari sangat dibutuhkan untuk proses fotosintesis, maka
semua tumbuh-tumbuhan hijau tergantung pada proses ini. Mereka hanya
dapat hidup baik di tempat-tempat yang mempunyai sinar yang cukup.
Akibatnya fitoplankton hanya dapat dijumpai pada lapisan permukaan laut
saja dan juga pada umumnya banyak dijumpai pada daerah continental
shelf serta disepanjang pantai di mana terdapat proses upwelling. Daerah-
daerah ini biasanya merupakan suatu daerah yang kaya akan bahan-bahan
organik. Zat hara anorganik utama yang diperlukan fitoplankton untuk
tumbuh dan berkembang biak dengan baik ialah nitrogen (sebagai nitrat,
NO3-) dan fosfor (sebagai fosfat, PO42-).
Plankton adalah organisme yang hidup melayang atau mengambang
di dalam air (Nontji, 2005). Kemampuan geraknya, kalaupun ada, sangat
terbatas hingga organisme tersebut selalu terbawa oleh arus. Plankton
69

dapat dibagi menjadi dua golongan utama yakni fitoplankton dan


zooplankton. Plankton memiliki peranan penting dalam ekosistem laut,
karena plankton menjadi bahan makanan bagi berbagai jenis hewan laut
lainnya. Pada jaring makanan di lautan, fitoplankton merupakan produsen
utama yang menangkap energi matahari (fotosintesis) yang kemudian
berturut-turut dipindahkan ke komunitas-komunitas laut lainnya (Gambar
3.4).

Gambar 3.4 Tipe jaring makanan di lautan yang dimulai dari fitoplankton
(Nybakken, 1992).

Pada ekosistem laut, tipe jejaring makanan yang umum terjadi


membentuk limas pakan (food pyramid). Hal ini diakibatkan oleh semakin
bergerak ke tingkat lebih tinggi, perpindahan senyawa organik yang terjadi
berlangsung tidak efisien. Nontji (2005) memperkirakan bahwa tingkat
efisiensi perpindahan senyawa organik dari satu tingkat ke tingkat diatasnya
hanya sekitar 10% saja dan 90% lainnya hilang sebagai energi panas. Hal
ini berarti bahwa dari 100 unit bahan senyawa organik yang dihasilkan oleh
fitoplankton hanya 10 unit bahan senyawa organik saja yang mampu
terserap oleh konsumen pertama atau herbivora, dan hanya 1 unit bahan
70

senyawa organik yang terserap oleh konsumen 1, dan seterusnya hingga


kepada karnivor puncak (top carnivore). Hal ini menyebabkan bentuk
akumulatif senyawa organik yang terserap pada setiap tingkatan semakin
kecil ketika mendekati tingkat konsumen puncak pada rantai makanan.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3.5.

Gambar 3.5 Piramida makanan yang dimulai dari fitoplankton sebagai


produsen primer di laut (Nontji 2005).

Fitoplankton (plankton nabati) merupakan tumbuhan yang amat


banyak ditemukan di semua perairan, tetapi karena ukurannya mikroskopis
sukar dilihat kehadirannya. Konsentrasinya bisa ribuan hingga jutaan sel per
liter air laut. Fitoplankton bisa ditemukan di seluruh massa air mulai dari
permukaan laut sampai pada kedalaman dengan intensitas cahaya yang
masih memungkinkan terjadinya fotosintesis. Zona ini dikenal sebagai zona
eufotik, kedalamannya bervariasi dari beberapa puluh sentimeter pada air
yang keruh hingga lebih dari 150 meter pada air yang jernih.
Konsentrasi fitoplankton yang banyak umumnya terdapat di perairan
sekitar muara sungai atau di perairan lepas pantai dimana terjadi upwelling.
Jumlah plankton yang melimpah pada kedua daerah tersebut memberikan
daya dukung yang tinggi terhadap ekosistem sekitarnya untuk tumbuh.
Dampak selanjutnya dapat terlihat dari melimpahnya komposisi ikan yang
71

ada di daerah tersebut. Pada tipe rantai makanan lautan, produsen pertama
dimulai dari tumbuhan hijau atau fitoplankton, yang selanjutnya akan
dimakan oleh konsumen pertama sampai kepada konsumen tertinggi
(Gambar 3.6).

Gambar 3.6 Rantai makanan di lautan (Nybakken, 1992).

Klorofil-a adalah zat hijau daun yang terkandung di dalam tumbuhan.


Klorofil-a adalah pigmen yang mampu melakukan fotosintesis dan terdapat
pada hampir seluruh organisme fitoplankton. Jumlah fitoplankton yang ada
di perairan umumnya dapat dilihat dari jumlah klorofil-a yang ada di perairan
tersebut. Klorofil-a tidak larut dalam air, tetapi larut dalam alkohol, dietil eter,
benzen dan aseton. Absorbsi cahaya yang maksimum oleh klorofil-a
bersama pelarutnya terjadi pada panjang gelombang 430 nm dan 663 nm.
Dalam mengabsorbsi cahaya matahari, sebagian besar tumbuhan
laut memiliki pigmen-pigmen pelengkap sebagai alat tambahan bagi klorofil-
a. Pigmen-pigmen tersebut berfungsi untuk menangkap dan mengumpulkan
cahaya matahari lalu disalurkan kepada klorofil-a. Pigmen-pigmen ini
mampu mengabsorbsi cahaya pada panjang gelombang yang berbeda dari
klorofil-a (Basmi, 1995). Beberapa pigmen tersebut antara lain:
(1) Klorofil-b, mampu menyerap cahaya dengan panjang 450-645 nm dan
umumnya terdapat pada beberapa jenis alga.
(2) Karoten, mampu menyerap cahaya pada panjang gelombang 450-470
nm, sebagian besar ada pada alga.
(3) Xanthophyll, mampu menyerap cahaya pada kisaran panjang
gelombang 480-540 nm.
(4) Phycoerithrin, dapat menyerap cahaya secara maksimal pada panjang
gelombang 540-560 nm.
72

(5) Phycocyanin, mampu menyerap cahaya pada kisaran gelombang 610-


630 nm.
Klorofil-a berkaitan erat dengan produktivitas primer yang ditunjukkan
dengan besarnya biomassa fitoplankton yang menjadi rantai pertama
makanan ikan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Sebaran klorofil-a
di laut bervariasi secara geografis maupun berdasarkan kedalaman
perairan. Variasi tersebut diakibatkan oleh perbedaan intensitas cahaya
matahari, dan konsentrasi nutrien yang terdapat di dalam suatu perairan.
Sebaran klorofil-a lebih tinggi konsentrasinya pada perairan pantai dan
pesisir, serta rendah di perairan lepas pantai. Tingginya sebaran konsentrasi
klorofil-a di perairan pantai dan pesisir disebabkan karena adanya suplai
nutrien dalam jumlah besar melalui run-off dari daratan, sedangkan
rendahnya konsentrasi klorofil-a di perairan lepas pantai karena terbatasnya
suplai nutrien dari daratan secara langsung. Namun pada daerah-daerah
tertentu di perairan lepas pantai dijumpai konsentrasi klorofil-a dalam jumlah
yang cukup tinggi. Keadaan ini disebabkan oleh tingginya konsentrasi
nutrien yang dihasilkan melalui proses fisik massa air, dimana massa air
dalam mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan permukaan ketika
terjadi upwelling.
Sebaran klorofil-a di dalam kolom perairan sangat tergantung pada
konsentrasi nutrien. Konsentrasi nutrien di lapisan permukaan sangat sedikit
dan akan meningkat pada lapisan termoklin dan lapisan di bawahnya. Hal
mana juga dikemukakan oleh Brown et al (1989), nutrien memiliki
konsentrasi rendah dan berubah-ubah pada permukaan laut dan
konsentrasinya akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman serta
akan mencapai konsentrsi maksimum pada kedalaman antara 500–1500 m.
Kandungan klorofil-a dapat digunakan sebagai ukuran banyaknya
fitoplankton pada suatu perairan tertentu dan dapat digunakan sebagai
petunjuk produktivitas perairan. Berdasarkan penelitian Nontji (1974) diacu
dalam Presetiahadi (1994) nilai rata-rata kandungan klorofil di perairan
Indonesia sebesar 0,19 mg/m3, nilai rata-rata pada saat berlangsung musim
timur (0,24 mg/m3) menunjukkan nilai yang lebih besar daripada musim
barat (0,16 mg/m3). Daerah-daerah denga nilai klorofil tinggi mempunyai
hubungan erat dengan adanya proses penaikan massa air atau upwelling
73

(Laut Banda, Arafura, Selat Bali dan selatan Jawa), proses pengadukan dan
pengaruh sungai-sungai (Laut Jawa, Selat Malaka dan Laut Cina Selatan).

3.3.4 Arus permukaan

Arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dapat


disebabkan oleh tiupan angin, perbedaan dalam densitas air laut, maupun
oleh gerakan bergelombang panjang, misalnya pasang surut. Di laut
terbuka, arah dan kekuatan arus di lapisan permukaan sangat banyak
ditentukan oleh angin (Nontji 1993).
Arah arus permukaan memiliki hubungan yang erat dengan angin.
Perairan Indonesia sangat dipengaruhi oleh sistem angin musim (Monsoon)
yang mengalami pembalikan arah dua kali setahun (Wyrtki 1961). Pada
bulan Mei-November dipengaruhi oleh angin musim dari tenggara, mencapai
puncaknya pada bulan Juni-Agustus dan disebut sebagai musim timur
karena angin bertiup dari timur ke barat. Sedangkan pada bulan Desember-
April dipengaruhi oleh angin musim dari Barat Laut, mencapai puncaknya
pada bulan Desember-Februari dan disebut sebagai musim barat karena
angin bertiup dari barat ke timur. Bulan Maret-Mei dan September-
November disebut sebagai musim peralihan (pancaroba), dimana pada
musim ini angin bertiup tidak menentu. Pada setiap awal periode musim ini,
pengaruh angin musim sebelumnya masih kuat (Nontji 1993).
Perairan Indonesia yang dipengaruhi oleh sistem pola angin muson
memiliki pola sirkulasi massa air yang berbeda dan bervariasi antara musim,
disamping dipengaruhi oleh massa air Lautan Pasifik yang melintasi
perairan Indonesia menuju Lautan Hindia melalui sistem arus lintas
Indonesia (Arlindo). Sirkulasi massa air perairan Indonesia berbeda antara
musim barat dan musim timur. Dimana pada musim barat, massa air
umumnya mengalir ke arah timur perairan Indonesia, dan sebaliknya ketika
musim timur berkembang dengan sempurna suplai massa air yang berasal
dari daerah upwelling di Laut Arafura dan Laut Banda akan mengalir
menunju perairan lndonesia bagian barat (Wyrtki 1961). Perbedaan suplai
massa air tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap kondisi
perairan yang akhirnya mempengaruhi tinggi rendahnya produktivitas
perairan. Tisch et al (1992) diacu dalam Presetiahadi (1994) mengatakan
74

perubahan kondisi suatu massa air dapat diketahui dengan melihat sifat-sifat
massa air yang meliputi suhu, salinitas, oksigen terlarut, dan kandungan
nutrien.
Dengan melihat akan keberadaan perairan Indonesia dimana karena
adanya perbedaan pola angin yang secara langsung mempengaruhi pola
arus permukaan perairan Indonesia dan perubahan karakteristik massa
diduga dapat mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap tingkat
produktivitas perairan. Keadaan ini tergantung pada berbagai hal, seperti
bagaimana sebaran faktor fisik-kimia perairan. Untuk itu perlu dilakukan
analisa untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor oseanografi terhadap
sebaran parameter oseanografi fisik-kimia perairan dan keterkaitannya
terhadap tingkat konsentrasi klorofil-a.

3.3.5 Front dan upwelling

Front adalah daerah pertemuan dua massa air yang mempunyai


karakteristik berbeda, misal pertemuan antara massa air dari Laut Jawa
yang agak panas dengan massa air Samudera Hindia yang lebih dingin.
Robinson (1991) menyatakan bahwa front penting dalam hal produktivitas
perairan laut karena cenderung membawa bersama-sama air yang dingin
dan kaya akan nutrien dibandingkan dengan perairan yang lebih hangat
tetapi miskin zat hara. Kombinasi dari temperatur dan peningkatan
kandungan hara yang timbul dari percampuran ini akan meningkatkan
produktivitas plankton. Hal ini akan ditunjukkan dengan meningkatnya stok
ikan di daerah tersebut. Selain itu front atau pertemuan dua massa air
merupakan penghalang bagi migrasi ikan, karena pergerakan air yang cepat
dan ombak yang besar.
Upwelling merupakan suatu proses dimana massa air didorong ke
lapisan atas dari kedalaman dalam. Fenomena upwelling ini menimbulkan
suatu daerah yang kaya akan larutan nutrient, seperti nitrat dan fosfat dan
karena itu mereka cenderung mengandung fitoplankton.Gerakan naik ini
membawa serta air yang suhunya lebih dingin, salinitas tinggi, dan zat-zat
hara yang kaya ke permukaan.
Sebaran suhu permukaan laut merupakan salah satu parameter
yang dapat dipergunakan untuk mengetahui terjadinya proses upwelling di
75

suatu perairan (Birowo 1983). Dalam proses upwelling ini terjadi penurunan
suhu permukaan laut dan tingginya kandungan zat hara dibandingkan
daerah sekitarnya. Tingginya kadar zat hara tersebut merangsang
perkembangan fitoplankton di permukaan. Karena perkembangan
fitoplankton sangat erat kaitannya dengan tingkat kesuburan perairan, maka
proses air naik selalu dihubungkan dengan meningkatnya produktivitas
primer di suatu perairan dan selalu diikuti dengan meningkatnya populasi
ikan di perairan tersebut. (Pariwono et al 1988 diacu dalam Presetiahadi
1994).
Ketika terjadi penaikan massa air (upwelling), lapisan termoklin
bergerak ke atas dan gradiennya menjadi tidak terlalu tajam sehingga
massa air yang kaya zat hara dari lapisan dalam naik ke lapisan atas.
Fluktuasi jangka pendek dari kedalaman termoklin dipengaruhi oleh
pergerakan permukaan, pasang surut, dan arus. Di bawah lapisan termoklin
suhu menurun secara perlahan-lahan dengan bertambahnya kedalaman.
Wyrtki (1961) mengatakan bahwa kedalaman termoklin di dalam Lautan
Hindia mencapai 120 m menuju ke Selatan di daerah Arus Equatorial
Selatan, kedalaman termoklin mencapai 140 m.

3.4 Aplikasi Teknologi Penginderaan Jarak Jauh (Inderaja) dalam


Pendugaan Daerah Penagkapan Ikan
Dalam kegiatan penangkapan ikan di laut, pertanyaan klasik yang
sering dilontarkan nelayan adalah “dimana ikan berada dan kapan bisa
ditangkap dalam jumlah yang berlimpah”. Jika pertanyaan ini belum
terjawab, maka usaha penangkapan ikan akan terus dihadapkan pada
kenyataan bahwa usaha penangkapan memerlukan biaya operasional yang
besar, waktu operasi penangkapan ikan yang lama, dan tenaga cukup
banyak, namun tingkat ketidakpastian hasil tangkapan cukup tinggi.
Meskipun sulit mencari jawabannya, pertanyaan itu perlu dicari jawabannya.
Dengan mengetahui dimana ikan bisa tertangkap dalam jumlah yang besar
tentu saja akan menghemat waktu, tenaga, dan biaya operasi penangkapan.
Deteksi keberadaan ikan di perairan secara langsung tidak selalu
dapat dikerjakan dengan mudah, maka deteksi secara tidak langsung
mungkin saja dilakukan melalui observasi terhadap beberapa fenomena
oceanografi yang mempengaruhi tingkah laku penyebaran ikan.
76

Perkembangan teknologi penginderaan jauh telah memungkinkan


ilmuwan untuk dapat mendeteksi daerah-daerah potensial untuk kegiatan
perikanan tangkap. Teknologi yang dikembangkan berdasarkan fenomena
alam ini, seperti gelombang elektromagnetik yang berasal dari matahari,
karakteristik obyek di bumi, angin, gelombang, temperatur laut,
produktivitas primer dan lainnya dapat dikemas dalam suatu falsafah ilmu
dan dapat diaplikasikan untuk memberikan informasi perikanan tangkap
secara spasial.
Penentuan posisi daerah penangkapan ikan di laut lepas secara
tepat sangat sulit dilakukan karena perairan tersebut sangat dipengaruhi
oleh sifat dinamis dari parameter-parameter oseanografi seperti suhu
permukaan laut, kekeruhan, konsentrasi klorofil, pola dan arah angin,
pasang surut dan arus. Oleh karena itu, jika data parameter-parameter itu
dapat diperoleh, maka pendugaan daerah penangkapan akan lebih mudah.
Selanjutnya, informasi tentang daerah penangkapan ikan potensial dapat
dijadikan sebagai bahan masukan dalam perencanaan operasi
penangkapan ikan.
Daerah penangkapan ikan sangat dipengaruhi oleh faktor
oseanografi perairan. Dengan demikian, daerah penangkapan ikan potensial
dapat diprediksi melalui suatu studi yang berkaitan dengan fenomena
oseanografi dan hubungannya tingkah laku ikan. Kriteria yang digunakan
untuk medeteksi keberadaan indikator daerah penangkapan ikan potensial
tersebut adalah :
(1) Jika gradien suhu secara horisontal ≥ 1,0 °C / 6 Km, diduga terjadi
thermal front yang merupakan indikator keberadaan ikan. Daerah sisi
hangat dari thermal front biasanya lebih disukai oleh ikan.
(2) Jika ditemukan SPL yang lebih dingin dari suhu sekitarnya dengan
kandungan klorofil yang tinggi akibat adanya penaikan massa air dari
lapisan yang lebih dalam, diduga terjadi upwelling.
(3) Konsentrasi klorofil yang relatif tinggi (≥ 0,3 mg/m3) merupakan indikasi
fitoplankton yang banyak sebagai sumber makanan bagi ikan, sehingga
terbentuk daerah penangkapan yang potensial.
(4) Daerah turbulensi, umumnya terjadi di sekeliling pulau-pulau atau benua.
Data berupa citra parameter oseanografi yang dihasilkan dari deteksi
satelit merupakan informasi dasar terhadap penentuan daerah penangkapan
77

ikan. Sebagai contoh, dari sebaran suhu permukaan laut dan kesuburan
perairan dapat diperoleh informasi tentang fenomena oseanografi
khususnya thermal front dan upwelling yang merupakan indikator daerah
penangkapan ikan potensial. Pendugaan daerah penangkapan ikan dalam
hal ini dilakukan melalui interpretasi citra hasil deteksi satelit yang
dikombinasikan dengan data sekunder seperti tingkah laku ikan. Langkah
selanjutnya dilakukan analisis hubungan antara tingkah laku ikan dengan
perubahan habitat sebagai akibat terjadinya thermal front atau upwelling.
Dengan demikian, identifikasi daerah penangkapan ikan dengan
menggunakan teknologi penginderaan jauh ini merupakan pendeteksian
secara tidak langsung.
Pendeteksian daerah penangkapan ikan juga dapat dilakukan secara
langsung, yaitu melalui experimental fishing dan metode akustik. Upaya ini
diharapkan dapat menghasilkan informasi yang lebih akurat tentang
keberadaan daerah penangkapan ikan. Informasi ini dapat dikombinasikan
dengan hasil pendeteksian secara tidak langsung agar akurasinya lebih
tinggi.
Akurasi pendugaan daerah penangkapan ikan secara tidak langsung
juga dapat ditingkatkan melalui penggunaan berbagai data parameter
oseanografi, seperti mengkombinasikan data sebaran suhu permukaan laut,
kandungan klorofil, pola arus laut, dan lain-lain. Karakteristik toleransi
biologis ikan tertentu umumnya berbeda terhadap kondisi parameter-
parameter tersebut. Pada pihak lain diketahui bahwa sebaran parameter
oseanografi seperti suhu permukaan laut di wilayah perairan tertentu
kemungkinan dapat berubah dengan cepat. Dengan demikian, pengamatan
terhadap parameter oseanografi yang berkaitan erat dengan habitat ikan
sebaiknya dilakukan dengan frekuensi pengamatan yang tinggi.
Penyebaran suhu permukaan laut untuk area yang sangat luas
dewasa ini banyak diperoleh melalui penggunaan satelit NOAA-AVHRR.
Citra SPL dari suatu perairan yang luas dapat digunakan untuk mengetahui
pola penyebaran SPL, arus perairan, dan interaksinya dengan perairan lain
serta fenomena upwelling dan front di perairan yang merupakan daerah
penangkapan ikan potensial.
Data tentang konsentrasi klorofil dapat diperoleh dengan SeaWiFs
atau Feng Yun. Data tentang konsentrasi klorofil yang menunjukkan
78

kesuburan perairan selanjutnya dapat digunakan untuk menduga daerah


penangkapan ikan. Data ini dapat diperoleh seminggu sekali, bahkan harian
dengan syarat daerah liputan tidak tertutup awan. Contoh skala nilai
konsentrasi klorofil (mg/m3) yang ditampilkan dengan warna yang berbeda
disajikan pada Gambar 3.7.

Gambar 3.7 Skala nilai kandungan klorofil (mg/m3).

Informasi tentang potensi ikan pelagis dapat diketahui melalui


analisis konsentrasi fitoplankton yang tersebar di perairan. Fitoplankton
merupakan organisme yang berperan sebagai produsen yang membentuk
zat organik dan anorganik melalui proses fotosintesis. Dengan demikian,
produktivitas perairan sangat ditentukan oleh keberadaan adanya
fitoplankton. Suatu perairan cenderung memiliki produktivitas primer tinggi
apabila ketersediaan fitoplanktonnya tinggi (Raymont, 1963 dalam Nontji,
1984). Untuk menduga biomassa fitoplankton dapat dilakukan melalui
pengukuran nilai konsentrasi klorofil-a dan suhu permukaan laut, karena
proses dan laju fotosintesis dipengaruhi oleh suhu permukaan laut. Salah
satu cara pengukuran suhu permukaan laut dan klorofil-a adalah
menggunakan teknologi penginderaan jauh. Cara ini dapat memberikan
informasi secara kontinu, dengan cakupan yang luas dan tanpa menyentuh
obyek, sehingga dapat menghemat biaya.
Berbagai penelitian dan kajian secara sistematis mengenai inderaja
dan teknologi satelit khususnya untuk mengamati fenomena oseanografi
secara berkala yang dikaitkan dengan daerah penangkapan ikan untuk
menduga potensi sumber daya perikanan laut memberikan hasil yang layak
untuk diterapkan di wilayah perairan Indonesia. Upaya penerapan teknologi
ini dapat dikaitkan dengan aktivitas nelayan dalam memanfaatkan potensi
sumber daya perikanan yang tergantung pada kondisi musiman. Dengan
adanya hasil dari inderaja diharapkan dapat diketahui kesuburan perairan
pada lokasi yang diduga sebagai salah satu lokasi fishing gorund. Informasi
79

yang dihasilkan dari kegiatan inderaja ini diharapkan dapat membantu


nelayan dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas operasi
penangkapan ikan.
LAPAN (2007) telah melakukan penentuan zona potensial
penangkapan ikan (ZPPI), berdasarkan analisis data suhu permukaan laut
dan konsentrasi klorofil-a. Zona potensi penangkapan ikan diprediksikan
berada pada daerah thermal front dengan konsentrasi klorofil yang tinggi.
Thermal front ditentukan dengan perubahan suhu yang tajam, dengan
gradien suhu minimal 0.5oC dalam jarak 3 km. Dari penentuan front
digabungkan dengan klorofil, maka daerah yang diduga merupakan zona
potensi penangkapan ikan adalah daerah yang mendekati suhu dingin dan
mempunyai kandungan klorofil yang tinggi.
Gaol (1995) melakukan penelitian mengenai aplikasi teknik
penginderaan jarak jauh untuk pengukuran suhu permukaan laut dengan
Satelit NOAA sebagai langkah untuk penentuan daerah penangkapan ikan.
Dari hasil penelitian ini dapat diketahui adanya front dan fenomena
upwelling di perairan Palabuhanratu yang dapat digunakan sebagai indikator
penentuan daerah penamgkapan ikan.
Nahib et al (2007) melakukan penelitian tentang pemanfaatan data
aqua MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) untuk
analisis hasil tangkapan ikan pelagis besar (tongkol dan cakalang) di
perairan Teluk Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi. Penelitian bertujuan
untuk menentukan hubungan suhu permukaan laut dan klorofil-a terhadap
hasil tangkapan ikan pelagis (tongkol dan cakalang).
Alimina et al (2005) melakukan penelitian mengenai front dan
upwelling di perairan selatan Sulawesi Tenggara, dengan tujuan untuk
mendeteksi posisi dan waktu terjadinya upwelling dan front. Pendugaan
lokasi front dan upwelling yang merupakan indikator daerah penangkapan
ikan ini dilakukan berdasarkan sebaran suhu permukaan laut dan
kandungan klorofil-a. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada lokasi
dimana terdapat thermal front dan upwelling ternyata diperoleh hasil
tangkapan yang lebih banyak.
Muklis et al. (2008) melakukan pemetaan DPI cakalang dan tongkol
di perairan utara Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), yang bertujuan untuk
mengidentifikasi daerah potensial penangkapan ikan cakalang dan tongkol
80

dengan membuat zona penangkapan potensial berdasarkan sebaran suhu


permukaan laut (SPL) dan kandungan klorofil-a. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa SPL dan klorofil-a mempunyai hubungan yang erat
terhadap CPUE cakalang dan tongkol.
Sugimoto dan Tameishi (1990) menelaah aplikasi suhu permukaan
laut dari NOAA dalam penentuan lokasi daerah penangkapan ikan di
Jepang. Massa air hangat yang berada pada arus Kuroshio bergerak dari
utara memasuki perairan pantai timur Jepang. Massa air .ini akan bertemu
dengan massa air dingin yang dibawa arus Oyashio dari lintang tinggi yang
bergerak ke selatan sepanjang perairan pesisir timur Jepang. Arus Kuroshio
dalam pergerakannya sering berbentuk meander, sehingga terjadi arus
eddys yang bergerak ke utara-timur laut. Massa air hangat menjadi
terperangkap dan dikelilingi oleh massa air dingin yang juga terlepas dan
arus Oyashio yang bentuknya melingkar seperti cincin sehingga disebut
cincin air hangat atau Warm Core Ring (WCR).
Laevastu dan Hayes (1981) yang telah mempelajari pengaruh faktor
oseanografi terhadap sebaran ikan pelagis dari berbagai daerah
penangkapan dan diperoleh bahwa salah satu parameter utama yang
sangat mempengaruhi penyebaran ikan pelagis adalah suhu dan arus.
Banyaknya hasil tangkapan dan melimpahnya populasi ikan pelagis sangat
terkait dengan perubahan suhu perairan. Lapisan renang gerombolan ikan
pelagis tergantung pada struktur vertikal suhu. Selanjutnya ditambahkan
bahwa beberapa jenis ikan pelagis akan berenang lebih dalam apabila suhu
di permukaan perairan hangat. Kedalaman gerombolan ikan herring sangat
tergantung pada luasnya lapisan tercampur (mix layer) di permukaan pada
malam hari.
Secara alami suhu air permukaan merupakan lapisan hangat karena
mendapat radiasi matahari pada siang hari. Dengan adanya pengaruh
angin, maka di lapisan teratas sampai kedalaman kira-kira 50 - 70 m terjadi
pengadukan (turbulensi), sehingga di lapisan tersebut terdapat suhu hangat
(sekitar 28°C) yang homogen. Oleh sebab itu, lapisan teratas ini sering pula
disebut lapisan homogen akibat terjadinya percampuran massa air (mix
layer). Dengan adanya pengaruh arus dan pasang surut, lapisan ini bisa
menjadi lebih tebal lagi. Pada perairan dangkal lapisan homogen bisa
mencapai kedalaman hingga ke dasar. Lapisan permukaan laut yang
81

hangat terpisah dari lapisan dalam yang dingin oleh lapisan tipis dengan
perubahan suhu yang cepat yang disebut termoklin atau lapisan
diskontinuitas. Suhu pada lapisan permukaan adalah seragam karena
percampuran oleh angin dan gelombang sehingga lapisan ini dikenal
sebagai lapisan percampuran (mixed layer). Mixed layer mendukung
kehidupan ikan-ikan pelagis, secara pasif mengapungkan plankton, telur
ikan, dan larva, sementara lapisan air dingin di bawah termoklin mendukung
kehidupan hewan-hewan bentik dan hewan laut dalam.
Ikan adalah hewan berdarah dingin yang suhu tubuhnya selalu
menyesuaikan dengan suhu sekitarnya. Ikan mempunyai kemampuan untuk
mengenali dan memilih kisaran suhu tertentu yang memberikan kesempatan
untuk melakukan aktivitas secara maksimum dan pada akhirnya
mempengaruhi kelimpahan dan penyebarannya. Dalam hal ini, suhu
berpenagruh terhadap proses metabolisme ikan, tingkat pertumbuhan, laju
makan, aktivitas seperti kecepatan renang, serta dalam rangsangan syaraf.
Pengaruh suhu perairan pada tingkah laku ikan paling jelas terlihat
selama pemijahan. Suhu air laut dapat mempercepat atau memperlambat
mulainya pemijahan pada beberapa spesies ikan. Suhu air dan arus selama
dan setelah pemijahan adalah faktor-faktor yang cukup berpengaruh penting
dalam menentukan daya tahan hidup larva pada ikan. Suhu ekstrim pada
daerah pemijahan (spawning ground) selama musim pemijahan dapat
memaksa ikan untuk memijah di perairan tertentu. Perubahan suhu jangka
panjang dapat mempengaruhi perpindahan tempat pemijahan (spawning
ground) yang selanjutnya akan mempengaruhi daerah penangkapan (fishing
ground) secara periodik.

3.5 Sistem Informasi Geografi (SIG)

Sistem Informasi Geografi adalah system yang berbasis komputer


yang digunakan untuk memetakan kondisi dan peristiwa yang terjadi di
muka bumi dan dapat juga dipakai untuk menyimpan, memanipulasi, dan
menganalisis informasi geografi. Teknologi ini berkembang pesat sejalan
dengan perkembangan teknologi informatika atau teknologi komputer.
Informasi permukaan bumi telah berabad-abad disajikan dalam bentuk peta.
Peta-peta umum (general purpose) menggambarkan suatu topografi suatu
82

daerah ataupun batas-batas (administratif) suatu wilayah atau negara.


Sedangkan peta tematik (thematic) secara khusus menampilkan
penyebaran keruangan (sepatial distribution) kenampakan-kenampakan
seperti geologi, geomorfologi, tanah, vegetasi, atau sumber daya alam
lainnya seperti perairan.
Teknologi SIG ini dapat mengintegrasikan sistem operasi database
seperti query dan analisis statistik dengan berbagai keuntungan analisis
geografis yang ditawarkan dalam bentuk peta. Dengan kemampuan pada
sistem informasi pemetaan (informasi spasial) yang membedakannya
dengan sistem informasi lain seperti database, maka SIG banyak digunakan
oleh masyarakat perikanan, pengusaha dan instansi untuk menjelaskan
berbagai peristiwa, memprediksi hasil dan perencanaan strategis
(Environmental system Research Institute, ESRI). SIG memiliki kapabilitas
menghubungkan berbagai lapisan data di suatu titik yang sama pada tempat
tertentu, mengkombinasikan, menganilisis data perikanan dan kelautan dan
memetakan hasilnya. Teknologi ini tentu saja dapat digunakan
mendeskripsikan karakteristik perairan dan daerah penangkapan ikan pada
peta dan menentukan posisi koordinatnya, melakukan query dan analisis
spasial serta mampu menyimpan, mengelola, meng-update data secara
terorganisir dan efisien.
SIG merupakan suatu interaksi antara data-data atribut dan data
spasial yang bereferensi geografi. Keunggulan SIG ini dapat dijadikan
masukan berharga bagi para nelayan atau pengusaha perikanan untuk
mengetahui lokasi-lokasi penangkapan ikan. Pertanyaan yang sering
dilontarkan para nelayan adalah dimana lokasi penangkapan ikan yang baik,
atau lokasi mana yang paling banyak ikannya, dan kapan bisa ditangkap
dalam jumlah yang berlimpah dan lain sebagainya? Dengan mengetahui
area dimana ikan bisa tertangkap dalam jumlah yang besar tentu saja akan
menghemat waktu, tenaga da biaya operasi penangkapan.
Salah satu alternatif solusi terbaik dalam pendugaan daerah
penangkapan ikan adalah mengkombinasikan SIG dan penginderaan jauh
(inderaja) kelautan. Dengan teknologi inderaja, faktor-faktor lingkungan laut
yang mempengaruhi penyebaran, migrasi dan kelimpahan ikan dapat
diperoleh secara berkala, cepat dan dengan cakupan area yang luas. Faktor
lingkungan dimaksud seperti suhu permukaan laut, konsentrasi klorofil-a,
83

tinggi paras laut, arah dan kecepatan arus dan tingkat produktifitas primer.
Analisis dengan SIG akan memberikan tampilan secara geografis
kecenderungan sebaran dari faktor-faktor lingkungan yang disukai ikan yang
akhirnya memberikan gambaran perkiraan daerah penangkapan ikan. Ikan
dengan mobilitasnya yang tinggi akan lebih mudah diprediksi
keberadaannya melalui teknologi ini karena ikan cenderung berkumpul pada
kondisi lingkungan tertentu.
Pemrosesan data perikanan pada teknologi sistem informasi daerah
penangkapan ikan dimaksudkan untuk mempresentasikan input,
manipulasi, pengelolaan, query, analisis, dan visualisasi. Apa yang tersaji
pada sebuah peta daerah penangkapan ikan, tidak lain adalah data atau
informasi tentang posisi penyebaran spasial daerah penangkapan ikan, baik
secara horizontal maupun vertikal. Namun demikian, sistem informasi
daerah penangkapan ikan tidak hanya dipandang sebagai pemindahan peta
konvensional kebentuk peta digital. Dengan kemampuannya memanipulasi
data, dan komputer yang dapat menangani berbagai basis data, maka
sistem ini merupakan salah satu alternatif yang dipilih untuk menyajikan
informasi berharga dengan cara menyajikan informasi tambahan lain dalam
suatu peta. Oleh karena itu, pada peta daerah penangkapan juga sering
ditampilkan parameter-parameter yang mempengaruhi penyebaran ikan,
bahkan alokasi spasial unit penangkapan dan musim penangkapan.
Kondisi perairan yang cocok untuk penyebaran spesies ikan tertentu
merupakan suatu sebaran spasial yang dapat dipetakan dengan teknologi
SIG. Data parameter oseanografi yang mempengaruhi penyebaran ikan
perlu diintegrasikan dengan berbagai layer pada SIG karena ikan sangat
mungkin merespon bukan hanya pada suatu parameter lingkungan saja,
tetapi berbagai parameter yang saling berkaitan. Contohnya tuna albacore di
laut utara Pasifik cenderung terkonsentrasi pada kisaran suhu 18,5–21,5ºC,
dan berassosiasi dengan tingkat klorofil-a 0,3 mg/m³, sedangkan ikan
cakalang dan tuna kecil (little/baby tuna) lebih menyukai perairan dengan
kisaran suhu 23–28ºC. Data oseanografi ini dapat diperoleh secara mudah
dengan perkembangan teknologi inderaja, bahkan dapat didownload pada
berbagai situs. Data tentang lokasi pendaratan ikan dan musim
penangkapan juga perlu dipetakan bersamaan dengan daerah penangkapan
84

melalui SIG agar usaha penangkapan membuat perencanaan yang tepat


dalam kegiatan operasi penangkapan ikan.
Ikan tuna tergolong jenis scombrid yang sangat aktif dan
penyebarannya sangat luas, yaitu di perairan oseanik sampai ke perairan
dekat pantai, territorial dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.
Migrasi jenis ikan tuna di perairan Indonesia merupakan bagian dan jalur
migrasi tuna dunia karena wilayah Indonesia terletak pada lintasan
perbatasan perairan antara samudera Hindia dan samudera Pasifik. Oleh
karena itu, sistem informasi daerah penangkapan ikan tuna sangat penting
untuk mendukung perencanaan operasi penangkapan.
Di bawah ini disajikan salah satu contoh aplikasi penggunaan SIG
dan inderaja pada penangkapan ikan tuna di laut utara Pasifik. Database
yang terdiri atas satelit dan perikanan tuna, dikombinasikan dalam
mengembangkan analisis spasial daerah penagkapan ikan tuna. Pada
prinsipnya ada 4 layer/lapisan data yang diinegrasikan yaitu SPL hasil
deteksi satelit NOAA/AVHRR, tingkat konsentrasi klorofil (SeaWiFS),
perbedaan tinggi permukaan air laut (SSHA) dan arus. Parameter pertama
(SST) dipakai karena berhubungan dengan kesesuaian kondisi fisiologi ikan
dan thermoregulasi untuk ikan tuna. Konsentrasi klorofil-a digunakan karena
dapat menjelaskan tingkat produktifitas perairan yang berhubungan dengan
kelimpahan makanan ikan. Parameter ketinggian paras laut berhubungan
dengan kondisi sirkulasi air daerah yang subur seperti eddy dan upwelling.
Selanjutnya parameter terakhir yaitu arus berhubungan dengan indeks untuk
melihat daerah subur dan kekuatan arus yang mungkin mempengaruhi
penyebaran ikan. Data penangkapan ikan tuna dapat dioverlay terhadap
informasi lingkungan perairan yang diperoleh dari citra satelit.
Informasi bahwa ikan tuna tertangkap dalam jumlah yang besar
(terkonsentrasi) pada posisi tertentu yang bersesuaian dengan kondisi SST
sekitar 20 ºC dan berasosiasi dengan tingkat klorofil-a sekitar 0.3 mg m³.
Konsentrasi ikan tersebut berbeda pada posisi positif anomaly permukaan
laut yang bertepatan dengan kondisi arus yang relatif lebih tinggi. Prediksi
hasil tangkapan dengan peluang yang tinggi juga mengkonfirmasi daerah
produktif. Jadi, banyak informasi penting yang dapat disajikan melalui SIG
dan inderaja.
85

3.6 Penyebaran Informasi Perikanan

LAPAN memiliki dan mengoperasikan perangkat penerima data


satelit NOAA-AVHRR dan Feng Yun yang merupakan inti dari fasilitas untuk
mengembangkan informasi daerah penangkapan ikan yang potensi secara
harian, yang terdiri dari :
(1) Dish Antena & feedhorn.
(2) Azimuth-elevation rotator.
(3) Preamplifier.
(4) Satellite Autotracking system.
(5) HRPT receiver.
(6) Fasilitas pengolahan dan analisis data.
Penyampaian informasi tentang daerah penangkapan ikan kepada
para pengguna (user) dapat dilakukan melalui perangkat faksimili, seperti
disajikan pada Gambar 3.8.

Gambar 3.8 Mekanisme penyebaran informasi zona potensi penangkapan


ikan dari LAPAN ke nelayan.

Program ini menyediakan perangkat faksimili bagi lembaga


masyarakat nelayan yang dipilih sebagai basis percontohan. Untuk setiap
desa nelayan atau kelompok nelayan, harus disepakati personil yang
86

dipercaya untuk menerima data via faksimili. Setiap kapal peserta kegiatan
percontohan diharapkan memiliki alat navigasi GPS (Global Positioning
System). Bilamana tidak terdapat peralatan navigasi tersebut, maka
program ini akan menyediakan sebuah alat bagi kapal penangkap ikan yang
bertindak selaku pemandu. Keberhasilan dari pemanfaatan teknologi
penginderaan jauh untuk perikanan ini juga terpulang kepada improvisasi
para nahkoda/nelayan yang secara naluri dengan pengalaman
tradisionalnya dapat membaca variasi dan kondisi perairan saat operasi
penangkapan ikan berlangsung.
Untuk mendukung pelaksanaan sosialisasi dan penerapan informasi
zona potensi penangkapan ikan tersebut diperlukan sarana komunikasi dan
perlengkapan kerja antara lain :
(1) Mesin facsimile, dipergunakan untuk menerima peta daerah
penangkapan ikan potensial.
(2) GPS Handheld, untuk menentukan posisi lokasi kapal pada saat
melakukan operasi penangkapan ikan di laut.
(3) Fishfinder, untuk mendeteksi besarnya gerombolan ikan pada lokasi
yang ditunjukkan pada peta daerah penangkapan ikan potensial.
(4) Radio All Band, sebagai sarana komunikasi antara petugas didarat
dengan kapal penangkap ikan untuk menyampaikan informasi terbaru.
(5) Life Jackets, untuk pengamanan petugas pelaksana sosialisasi.
87

DAFTAR PUSTAKA
Alimina N, Siregar VP, Simbolon D. 2005. Front dan upwelling di perairan
selatan Sulawesi Tenggara [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor

Birowo A. 1983. Upwelling atau penaikan massa air. Jakarta: Pewarta


Oceana LON LIPI.

Gaol JL. 2003. Kajian karakter oseanografi Samudera Hindia bagian timur
dengan menggunakan multi sensor citra satelit dan hubungannya
dengan hasil tangkapan tuna mata besar (Thunnus obesus) [disertasi].
Bogor: IPB.

Graham S. 2005. Aqua Project Science. http://aqua.nasa.gov

Hasyim B. 1999. Analisis penyebaran suhu permukaan laut dan kaitannya


dengan lokasi penangkapan ikan. Prosiding Seminar Validasi Data
Inderaja untuk Bidang Perikanan. Jakarta 14 April 1999. Jakarta:
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Kartasasmita M. 1999. Beberapa pemikiran operasional aplikasi teknologi


penginderaan jauh untuk penangkapan ikan. Prosiding Seminar
Validasi Data Inderaja untuk Bidang Perikanan. Jakarta 14 April 1999.
Jakarta: Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
Komnaskajiskanlut. 1998. Potensi dan penyebaran sumber daya ikan laut di
perairan Indonesia. Jakarta: Kerjasama Komnaskajiskanlut dan PKSPL
IPB. 43 hlm.

Lillesand TM dan Kiefer RW. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi


Citra. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

LAPAN. 2007. Pengembangan dan Pemanfaatan Data Inderaja Untuk


Perikanan Tangkap.
ttp://www.lapanrs.com/BINUS/profile/index.php?htmf=ilc.php

Maccherone B. 2005. About MODIS. http://modis.gsfc.nasa.gov/about/

McClain C. 1985. Comparative Performance of AVHRR based multichannel


sea surface temperature. Journal of Geophysical Research (90):
11587-11601.
88

Nahib I, Kaidati B, Fitriah N. 2007. Pemanfaatan Data Aqua Modis Untuk


Pengkajian Pendugaan Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Besar (Tongkol
dan Cakalang) di Perairan Teluk Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi.
Proceeding Geo-Marine Research Forum. 22 hlm.

Nontji A. 1984. Biomassa dan Produktivitas Fitoplankton di Perairan Teluk


Jakarta Serta Kaitannya dengan Faktor-Faktor Lingkungan. Disertasi.
Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Priyanti NS. 1999. Studi Daerah Penangkapan Rawai Tuna di Perairan


Selatan Jawa Timur-Bali pada Musim Timur Berdasarkan Pola
Penyebaran Suhu Permukaan Laut Citra satelit NOAA-AVHRR dan
Data Hasil Tangkapan. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Reddy MP. 1993. Influence of the various oceanographic parameters on the


abundance of fish catch. Proceeding of International workshop on
Apllication of Satellite Remote Sensing for Identifying and Forecasting
Potential Fishing Zones in Developing Countries. India, 7-11 December
1993.
Tadjuddah M, Siregar VP, Simbolon D. 2005. Analisis front dan upwelling
untuk menduga daerah penangkapan ikan cakalang di perairan
Kabupaten Wakatobi Sulawesi Tenggara [Tesis]. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.

Tomascik T, AJ Mah, Nontji A, dan MK Moosa. 1997. The Ecology of The


Indonesian Seas. Part 2. Periplus Editions.

Walpole RE. 1988. Pengantar Statistika. Diterjemahkan oleh Bambang


Sumantri. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Wyrtki K. 1961. Physical Oceanography. The University of California. La


Jolla. California.
89

BAB IV
PENGELOLAAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN
DALAM MENJAMIN USAHA PERIKANAN TANGKAP
BERKELANJUTAN

4.1 Pendahuluan

Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi


dibeberapa Negara, telah mendorong meningkatnya permintaan komoditas
perikanan dari waktu ke waktu. Meningkatnya permintaan ikan ini mengarah
pada jumlah yang tidak terbatas, mengingat kegiatan pembangunan yang
merupakan faktor pendorong dari permintaan ikan berlangsung secara terus
menerus. Sementara di sisi lain, permintaan akan ikan tersebut dipenuhi dari
sumberdaya ikan yang jumlahnya di alam mulai terbatas.
Saat ini sumberdaya ikan masih berperan penting sebagai sumber
mata pencaharian, lapangan kerja, dan protein ikani bagi beberapa negara.
Diperkirakan peningkatan jumlah penduduk dunia dan kebutuhan akan
bahan pangan dan gizi yang lebih baik akan mendorong peningkatan
permintaan produk ikan. Apalagi negara-negara di Asia selain menjadi
produsen ikan terbesar juga menjadi konsumen utama dari hasil perikanan.
Di satu sisi, peran ekonomi dan sosial pemanfaatan sumberdaya
ikan tampaknya masih sangat besar, sehingga telah memberikan ruang bagi
pengembangan perikanan lebih luas khususnya perikanan laut yang secara
kuantitatif produksinya mencapai lebih dari 70% total produksi ikan di
Indonesia. Di sisi lain, kelangkaan dan kerusakan habitat sumberdaya ikan
semakin meluas, yang dikhawatirkan berimbas pada berbagai
permasalahan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Menurut data FAO
diperkirakan lebih dari 60% stok ikan dunia telah dieksploitasi pada tingkat
maksimum sampai pada tingkat rusak (depleted), dan diantaranya tidak
lebih dari 1% yang pulih kembali.
Dalam kerangka pembangunan nasional, maka peningkatan
kontribusi perikanan harus diupayakan secara berhati-hati, agar tidak
menimbulkan dampak negativ di masa yang akan datang. Disinilah peranan
pengelolaan potensi perikanan menjadi sangat strategis. Disisi lain, disadari
90

juga bahwa pertumbuhan penduduk dunia dan pertumbuhan ekonomi


beberapa negara di dunia, telah mendorong meningkatnya permintaan
bahan makanan termasuk didalamnya ikan. Di samping itu, timbulnya
kesadaran masyarakat akan kesehatan telah menggeser pola makan
masyarakat, khususnya sumber protein hewani dari yang bersifat “red meal”
(sapi, babi dan sebagainya) ke “white meal” (ikan). Kondisi di atas telah
berimplikasi pada meningkatnya permintaan ikan dunia
Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang bersifat open
access, namun seringkali pemanfaatan yang tidak dibatasi ini menjadikan
pengelolaan terhadapa sumberdaya menjadi sangat rendah. Indonesia
merupakan negara kepulauan yang seharusnya memiliki kekayaan di
sektor perikanan tangkap. Realita yang kita lihat saat ini, hampir di seluruh
daerah pesisir yang menjadi domisili para nelayan terlihat kumuh.
Kehidupan nelayan sering sekali diidentikkan dengan kehidupan yang
miskin.
Trade-off antara ekonomi dan konservasi sumberdaya ikan
dikawatirkan akan terus meningkat jika sumberdaya ini tidak dikelola secara
bijaksana, apalagi gairah membangun perikanan dan kelautan saat ini
sedang memuncak. Beberapa pertimbangan dan tujuan pengelolaan serta
dasar biologi pengelolaan perikanan secara berkelanjutan harus menjadi
dasar pemerintah dalam membuat kebijakan di sektor perikanan.
Untuk menjamin pengelolaan sumberdaya perikanan yang
berkelanjutan, dibutuhkan sebuah konsep yang bersifat holistik yang artinya
selain dapat memberikan kontribusi nyata kepada nelayan dari sektor
pendapatan juga tidak merusak sumberdaya ikan yang ada di daerah
mereka. Dengan adanya konsep yang terintegrasi tersebut maka nelayan
diharapkan tidak lagi ”mencari” daerah penangkapan ikan tetapi sudah pergi
untuk ”menangkap” ikan. Bila ini dapat terwujud maka efisiensi dalam
kegiatan penangkapan ikan akan terwujud dan peningkatan kesejahteraan
nelayan tradisional dapat tercapai.

4.2 Daerah Penangkapan dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan

Laut kita memiliki karakteristik yang sangat spesifik, karena memiliki


keaneragaman biota laut (ikan dan vegetasi laut) dan potensi lainnya seperti
91

kandungan bahan mineral. Dalam definisi undang-undang no 31 tahun 2004


tentang perikanan, dikatakan bahwa ”ikan adalah segala jenis organisme
yang seluruh atau sebahagian hidupnya berada dalam lingkungan perairan”.
Sumber daya perikanan, merupakan hasil kekayaan laut yang memiliki
potensi besar untuk menambah devisa negara. Potensi pembangunan
pesisir dan lautan Indonesia terbagi dalam tiga kelompok yaitu : (1) sumber
daya dapat pulih (renewable recorces), (2) sumber daya tak dapat pulih
(non-renewable recorces) dalam hal ini mineral dan bahan tambang, (3)
jasa-jasa lingkungan (Environmental service). Sayangnya ketiga potensi ini
belum dimanfaatkan secara optimal.
Daerah penangkapan ikan merupakan wilayah perairan dimana alat
tangkap (fishing gear) dapat dioperasikan secara sempurna untuk
mengeksploitasi sumberdaya ikan yang ada didalamnya. Di perairan
Indonesia banyak terdapat daerah pengangkapan ikan yang sangat
potensial. Salah satu daerah potensial tersebut adalah Perairan Pantai Barat
Sumatera yang kaya akan ikan domersalnya. Sangat disayangkan kalau
saat ini daerah-daerah potensial penangkapan ikan tersebut sudah mulai
mengalami degradasi. Ini dapat ditunjukkan dengan produktivitas nelayan
yang samakin menurun dan ukuran individu ikan yang tertangkap semakin
kecil.
Nelayan Indonesia sebagian besar merupakan nelayan tradisional,
yaitu nelayan yang memiliki keterbatasan dalam penggunaan alat tangkap
dan daerah penangkapan yang sempit. Rata rata nelayan tradisional ini
hanya memiliki jangkauan daerah penangkapan 3 ml dari garis pantai. Bila
mereka menggunakan alat tangkap yang sama maka dapat kita bayangkan
kompetisi diantara para nelayan dalam melakukan penangkapan. Alat
tangkap yang dominan digunakan oleh para nelayan tadisional kita adalah
gillnet dan pancing, dimana produktivitas alat ini sangat kecil bila
dibandaingkan dengan alat tangkap modern lainnya.
Bila nelayan kita mampu menentukan daerah penangkapan ikan
secara baik tentunya akan berdampak kepada peningkatan pendapatan
yang akan berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat kita.
Kebutuhan akan bahan bakar minyak saat menentukan fishing ground
menjadi pertimbangan utama para nelayan dalam menentukan daerah
pengoperasian alat tangkap. Kendala yang sering kita temukan di
92

masyarakat nelayan kita, mereka sering sekali bertumpuk pada satu area
peangkapan sehingga sering menimbulkan friksi dan ketersediaan
sumberdaya menjadi langka akibat eksploitasi secara terus menerus.
Dari sekian banyak permasalahan yang memerlukan perhatian
mendesak adalah, pertama, proses perusakan dan kerusakan sumber daya
perikanan yang semakin meluas. Kedua, ketimpangan pendapatan nelayan
dan ketimpangan kepadatan penangkapan ikan. Ketiga, konflik sosial dalam
pengelolaan sumberdaya perikanan. Keempat, belum terintegrasinya secara
optimal sektor perikanan dalam arah kebijakan Pemerintah Provinsi maupun
di tingkat kabupaten.
Salah satu ikan ekonomis peting yang perlu diketahui daerah
penangkapannya adalah ikan tuna. Hasil eksplorasi ikan tuna di Indonesia
baru mencapai 14% dari angka potensi lestari. Peningkatan upaya
penangkapan yang lebih realistis pada saat ini adalah dengan
memanfaatkan teknologi informasi spasial secara optimal. Pemerintah
melalui Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sedang
mengembangkan suatu program kegiatan yang bertujuan untuk membentuk
model basis data daerah penangkapan tuna yang mengelola data
tangkapan ikan secara harian dan menghasilkan peta prakiraan daerah
penangkapan dari citra satelit NOAA-AVHRR, sebagai hasil penerapan
konsep teknologi informasi spasial yang spesifik untuk eksplorasi tuna.
Suhu permukaan laut (SPL) merupakan faktor penting yang
mengatur proses kehidupan dan penyebaran ikan. Setiap spesies tuna
mempunyai kisaran SPL tertentu untuk aktivitasnya. Estimasi SPL dapat
dilakukan dari satelit NOAA-AVHRR melalui asumsi dasar bahwa setiap
objek memancarkan energi elektromagnetik sesuai dengan suhu, panjang
gelombang dan emisivitasnya
Ada beberapa parameter alam yang sering digunakan oleh para
nelayan dalam menentukan daerah penangkapan ikan. Salah satu
parameter yang sering digunakan nelayan tradisional adalah banyaknya
burung di atas perairan dan riak-riak air akibat pergerakan ikan ditenggarai
sebagai indikator banyaknya ikan di daerah tersebut. Namun keterbatasan
sarana nelayan tradisional sering sekali menjadi faktor utama nelayan tidak
dapat memperluas daerah penankapan ikan. Dengan pertimbangan ini
93

pemanfaatan teknologi melalui penginderaan jarak jauh sebagai salah satu


upaya dalam memperluas daerah penangkapan ikan.
Menjaga keseimbangan antara stok ikan dan upaya penangkapan
adalah kegiatan-kegiatan untuk mengendalikan intensitas dan teknik
penangkapan ikan sesuai potensi lestari. Fenomena tangkap lebih
(overfishing), disebabkan oleh persepsi keliru tentang sumberdaya ikan oleh
nelayan, pengusaha perikanan dan pejabat pemerintah, yaitu beranggapan
bahwa ikan adalah sumberdaya dapat pulih (renewable resources), maka
sumberdaya ikan dapat dieksploitasi secara tarus menerus (infinite) dan
anggapan sumberdaya ikan di laut sebagai sumberdaya milik umum
(common property resources), sehingga berlaku rejim open acces dalam
pemanfaatannya dengan pengertian bahwa siapa saja, kapan saja, dapat
mengeksploitasi sumberdaya ikan sebanyak-banyaknya.
Untuk mewujudkan perikanan tangkap berkelanjutan (sustainable
fisheries), maka rejim (pola) pemanfaatannya harus segera diubah dari rejim
open acces menjadi rejim perikanan tangkap yang bertanggung jawab
(responsible fisheries) seperti yang dianjurkan oleh Kode Etik Perikanan
Yang Bertanggung Jawab (Code Conduct of Responsible Fisheries, FAO
1995b). Satu diantara unsur dari Kode Etik ini adalah praktek perikanan
angkap secara terkendali (Dahuri 2002)
Sumberdaya wilayah pesisir dan laut, merupakan sumberdaya yang
bersifat open ccess dan common property, sehingga setiap
orang/stakeholder berhak memanfaatkannya dengan tujuan memperoleh
economic rent. Pola pemanfaatan yang demikian cenderung mengarah
kepada deplesi sumberdaya, sehingga jika tidak ada upaya untuk menjaga
kelestariannya seperti konservasi dikhawatirkan terjadi scarcity sumberdaya
yang mengarah kepada kepunahan.
Selain itu dampak utama dari sifat yang “open access dan common
property” terhadap pemanfaatan dan pengelolaannya sumberdaya adalah
tingginya tingkat Kesulitan dalam pengontrolan dan estimasi jumlah stok dari
ikan pada setiap musim/periode karena dipengaruhi oleh faktor biologi dan
ekologi dari sumberdaya perikanan sebagai faktor alami (makanan, mangsa
dan habitatnya), serta berbagai upaya eksploitasi yang dilakukan manusia
(yang bertujuan untuk memaksimumkan resource rent untuk meningkatkan
kesejahteraan) sebagai faktor non alami.
94

Usaha penangkapan ikan di wilayah perairan mengandung resiko


dan ketidakpastian (uncertainty) yang relatif besar. Dalam hal ini
sumberdaya perikanan bersifat mobile/fugitive, sehingga resikonya adalah
kehilangan sejumlah penangkapan dan risiko-risiko penyerta lainnya.
Timbulnya pemanfaatan sumberdaya yang economic overfishing dan
biology overfishing. Economic overfishing terjadi jika input (effort) yang
digunakan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan (fishing), melebihi
kapasitas produksi, dengan kata lain untuk menangkap ikan dengan jumlah
kecil dalam suatu usaha dibutuhkan input yang besar (effort). Implikasinya
adalah hasil tangkapan (catch) yang diperoleh, dan dinilai dengan uang
(total revenue) < biaya input yang dikeluarkan (TC). Sedangkan biology
overfishing terjadi jika hasil tangkapan telah melebihi potensi lestarinya,
sehingga kemampuan ikan bertahan pada keseimbangan produksinya
terancam.
Menurut Dwiponggo (1982) dalam Parerung (1996), tingkat
pemanfaatan atau pengusahaan sumberdaya perikanan dibagi menjadi
empat kategori, yaitu :
(1) Pengusahaan yang rendah, hasil tangkapan hanya merupakan sebagian
kecil dari potensinya.
(2) Pengusahaan yang moderat (sedang), hasil tangkapan merupakan
sebagian yang nyata dari potensi, namun penambahan upaya
penangkapan masih memungkinkan.
(3) Pengusahaan yang tinggi, hasil tangkapan sudah mencapai sebesar
potensinya, penambahan upaya penangkapan tidak akan menambah
hasil tangkapan.
(4) Pengusahaan yang berlebih (overfishing), terjadi pengurangan dari stok
udang/ikan, karena penangkapan yang tinggi, sehingga hasil tangkapan
per satuan upaya penangkapan akan jauh berkurang.
Untuk mengusahakan agar sumberdaya perikanan dapat
dimanfaatkan terus-menerus secara maksimal, dalam waktu yang tak
terbatas, maka laju kematian karena penangkapan (tingkat pemanfaatan),
perlu dibatasi sampai pada suatu tingkat tertentu. Induk-induk ikan atau
udang dalam jumlah tertentu harus disisakan dan diberi kesempatan untuk
berkembang biak, sehingga mampu menghasilkan anakan dalam jumlah
cukup untuk kelestarian. Tingkat eksploitasi atau pemanfaatan yang optimal
95

adalah tingkat pemanfaatan dimana jumlah yang ditangkap, sebanding


dengan tambahan jumlah/kepadatan karena perkembangbiakan dan
pertumbuhan serta penyusutan karena kematian alami.

4.3 Sistem Pengelolaan Daerah Penangkapan Ikan

Prinsip dasar pengelolaan sumberdaya yang bersifat open access


adalah cooperatif management yaitu peranan yang seimbang antara
masyarakat dan pemerintah. Selain itu prinsip pengelolaan adalah adanya
insentif ekonomi dalam rangka keanekaragaman hayati dengan tidak
meninggalkan peranan masyarakat, baik pada kegiatan ekonomi maupun
untuk aktivitas keanekaragaman hayati.

4.3.1 Pengelolaan daerah penangkapan ikan

Terjadinya peningkatan kesadaran dan kemampuan masyarakat dan


aparat terhadap pengelolaan sumber daya perikanan merupakan sebuah
modal dasar bagi masyarakat dan daerah untuk merancang sebuah
manajemen perikanan yang berkelanjutan. Manajemen perikanan yang
merupakan sebuah investasi untuk masa depan tidak hanya didesain dalam
pengelolaan sumber daya perikanan semata, tetapi juga harus ditata secara
sinergis dengan peluang- peluang untuk berintegrasi dengan potensi
lainnya. Misalnya, dalam pengelolaan kawasan pantai sebagai kawasan
pariwisata dan pelestarian hutan.
Salah satu contoh kegiatan pengelolaan yang coba dikembangkan
oleh pemerintah adalah Cofish. Proyek Cofish telah melahirkan sebuah
kesadaran baru untuk mengelola sebuah kawasan secara terintegrasi, atau
bagaimana menyusun sebuah perencanaan pengelolaan sumber daya
perikanan yang terintegrasi dalam Manajemen Kawasan Pantai (Integration
of Fisheries into Coastal Area Management). Dengan adanya kegiatanini
maka sumberdaya ikan di daerah pesisir seperti mangrove dapat terjaga.
Mangrove merupakan daerah pemijahan yang baik bagi beberapa biota laut,
dengan adanya pengelolaan mangrove maka stok ikan di perairan akan
terus terjaga.
96

Integrasi ini harus didukung oleh berbagai unsur, yaitu dari


pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi
masyarakat, perguruan tinggi, dan pengusaha (BUMN dan swasta). Khusus
di kawasan Prigi, maka sektor perikanan, pariwisata, pertambangan dan
kehutanan harus menjadi titik sentral dalam manajemen sumber daya alam
di kawasan pantai.

4.3.2 Standarisasi penggunaan alat tangkap

Pada dasarnya dalam suatu operasi penangkapan ikan penggunaan


bermacam-macam jenis alat penangkapan ikan sesuai dengan target ikan
yang akan ditangkap diperbolehkan oleh pemerintah. Ini disesuaikan
dengan peraturan pemerintah mengenai Undang-Undang Perikanan No. 31
Tahun 2004..
Dalam rangka mewujudkan tujuan pengelolaan perikanan seperti
yang diamanatkan dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yaitu
agar SDI tetap lestari, pemanfaatannya optimal dan berkelanjutan maka
perlu dilakukan beberapa langkah yang berkaitan dengan penggunaan Alat
Penangkapan Ikan di antaranya:
(1) Pembuatan ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan yang
mengatur tentang penggunaan Alat Penangkapan Ikan.
(2) Pencantuman jenis dan dimensi utama API yang digunakan dalam SIPI.
(3) Pengawasan penggunaan API di lapangan.

4.3.3 Pembentukan sistem pengelolaan DPI

Sistem pengelolaan daerah penangkapan ikan yang baik tentunya


akan mereduksi kompleksitas permasalahan nelayan tradisional yang ada di
daerah pesisir dan mengurangi pencurian ikan oleh para nelayan asing.
Pengelolaan daerah penangkapan ikan tentunya tidak dapat kita lakukan
dalam waktu yang singkat. Sistem ini menerlukan beberapa tahapan, di
antaranya :
(1) Motorisasi nelayan tradisional.
Pemberian bantuan berupa sarana penangkapan yang modern kepada
nelayan tentunya mampu meperluas daerah penangkapan. Hal ini
97

harus menjadi pertimbangan kepada pemerintah bila ingin


meningkakan taraf hidup nelayan dan menurangi over fishing pada
satu daerah. Dengan adanya motorisasi penangkapan ikan,
pertimabangan nelayan dalam menentukan daerah penangkapan ikan
akan memberikan alternatif yang semakin banyak pula.
(2) Pemberdayan wadah koperasi.
Program ini dilaksanakan dengan tujuan terciptnya stabilitas harga
hasil tangkapan nelayan. Di daerah pesisir Indonesia banyak ka
temukan nelayan yang sangat bergantun pada juragannya, pola
kemitraan ini sering sekali bersifat berat sbelah. Juragan sering
memonopoli haraga hasil tangkapan nelayan, karena nelayan takut
hasil tangkapan busuk dan terlilit utang maka hasil tangkapan tadi
akan dijal kepada juragan. Dengan adanya wadah koperasi di
kalangan masyarakat nelayan, maka ketergantungan terhadap para
tengkulak atau juragan dapat dikurangi.
(3) Pola kemitraan intiplasma.
Pola kemitraan intiplasma ini adalah salah satu cara yang dapa
dikembangkan ada masyarakat nelayan Indonesia. Banyak diantara
para nelayan kita yang tdak memiliki modal untuk mempertahankan
usahanya dibidang perikanan karena kendala modal. Dengan pola
intiplasma maka diharapkan nelayan kita akan lebih terpacu untuk
mengembangkan usaha perikanan tangkap. Sayangnya sampai saat
ini pola Intiplasma yang dikembankan oleh pemerintah lebih banyak
dilakukan di daerah perairan Indonesia Timur, sedangkan Pantai Barat
Sumatera belum terlakasana.
(4) Pengaturan zonasi penangkapan ikan.
Saat ini penzonasian daerah penangkapan ikan sudah dilakukan di
Indonesia. Ada tiga zonasi penangkapan ikan yang dikeluarkan oleh
pemerintah berdasarkan UU No 31 Tahun 2004. dari hasil pemantauan
pemerintah melalui Satker Pengawas Perikanan (P2SDKP) masih
banyak pelanggaran zonasi yang terjadi di laut kita. Hal yang paling
umum terjadi di sebagian besar laut kita adalah pencurian sumberdaya
ikan oleh negara asing seperti yang terjadi di Perairan Nias dan Pantai
Barat Sumatera lainnya. Kendala sarana pengawasan sering menjadi
98

alasan utama pengawas perikanan dalam menangkap para pencuri


yang ada di perairan kita.
Masyarakat perikanan tradisional dewasa ini sering sekali mengalami
konflik dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan khususnya masalah
zonasi penangkapan. Pemerintah sudah mencoba mereduksi konflik ini
melalui Peraturan Menteri Perikanan dan Kelautan namun realita yang
terjadi di lapangan masih banyak pelanggaran yang dilakukan oleh para
nelayan itu sendiri.
Salah satu model pengelolaan daerah penangkapan ikan yang dapat
dikembangkan di Indonesia adalah dengan melakukan peremajaan pada
sumberdaya ikan. Pola ini telah dikembangkan oleh negara-negara maju
seperti Jepang dan Australia, dimana para nelayan diwajibkan untuk
melakukan restocking pada daerah penangkapan yang mereka lakukan.
Dengan melakukan penebaran benih ke laut maka keberlanjutan
sumberdaya lebih terjaga. Hala ini juga dikembangkan dengan melakukan
kontrol terhadap ukuran hasil tangkapan nelayan. Di Jepang nelayan yang
menangkap ikan dengan ukuran yang melanggar aturan yang ditetapkan
akan diberikan sanksi. Bila pola pengelolaan daerah penangkapan ikan
seperti ini dilakukan di Indonesia, maka kita berharap kelak sumberdaya
perikanan kita akan terus terjaga.

4.3.4 Penerapan teknologi dalam penentuan DPI

Dalam pengelolaan daerah penangkapan ikan, pemerintah telah


mencoba menerapkan teknologi melalui pengideraan jarak jauh yaitu
melihat potensi keberadaan ikan berdasarkan kelimpahan fitoplankton.
Diharapkan dengan adanya data citra yang telah diolah tersebut akan
memperluas daerah penankapan ikan. Sejauh ini usaha yang dilakukan oleh
Departemen Kelautan dan Perikanan Indonesia belum memberikan dampak
yang signifikan terhadap produktivitas hasil tangkapan nelayan sehingga
model penentuan daerah penangkapan ikan ini sudah jarang digunakan oleh
para nelayan. Untuk itu pemerintah juga sebaiknya memberikan sosialisasi
pada masyarakat nelayan bagaimana pemanfaatan informasi daerah
penangkapan ikan tersebut agar efisien.
99

4.4 Produktivitas Hasil Penangkapan Yang Berkelanjuan

Peningkatan produktivitas hasil perikanan tentunya dapat terjadi bila


sistem pengelolaan sumberdaya ikan dan cara pemanfaatannya berjalan
dengan baik. Untuk mewujdkan usaha perikanan tangkap yang
berkelanjutan maka diperlukan harmonisasi usaha antara setiap stakeholder
yang ada. Saat ini usaha perikanan tangkap di negara kita masih lebih
didominasi oleh masyarakat tradislonal yang memiliki banyak keterbatasan.
Adanya sistem penzonasian usaha penangkapan adalah salah satu bentuk
usaha pmerintah dalam membantu masyarakat perikanan tradisional.
Menurut Dahuri et al. (2001), dalam pemanfaatan sumberdaya yang
bersifat milik bersama (common property), keseimbangan jangka panjang
dalam usaha perikanan tidak dapat dipertahankan, karena adanya peluang
untuk meningkatkan keuntungan (access profit) bagi usaha penangkapan
ikan, sehingga terjadi ekstensifikasi usaha secara besarbesaran, dibarengi
masuknya pengusaha baru yang tergiur dengan nilai rent yang cukup besar
tersebut. Pemanfaatan sumberdaya perikanan harus memperhatikan aspek
sustainability, agar dapat memberikan manfaat yang sama, dimasa yang
akan datang, yang tidak hanya terfokus pada masalah ekonomi, tetapi juga
masalah lain seperti teknis, sosial dam budaya. Tingkat pemanfaatan
sumberdaya optimal melalui pendekatan Maximum Sustainable Yield (MSY)
dan Maximum Economic Yield (MEY). Pendekatan MSY akan memberikan
hasil lestari secara fisik, namun demikian dalam praktek pengelolaan
sumberdaya perikanan, tingkat tangkapan MEY akan lebih baik, karena
selain memberikan keuntungan secara ekonomi juga memberikan
keuntungan secara ekologi, yang dapat
mempertahankan diversitas yang besar.
Menurut Monintja (2000) diacu dalam Nurani (2002), kriteria yang
digunakan untuk teknologi penangkapan yang secara teknis, ekonomis,
mutu dan pemasaran menguntungkan adalah hemat biaya dan energi,
meningkatkan produksi dan produktivitas, memperhatikan mutu produk,
produk yang dihasilkan sesuai dengan permintaan pasar, meningkatkan
wirausaha dan investor, meningkatkan devisa dan pengembangan daerah,
serta meningkatkan kesejahteraan nelayan. Dengan terciptanya sistem ini
100

maka besar kemungkinan produktivitas penangkapan ikan akan tatap


terpelihara dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA
Dahuri, R, 2002. Membangun Kembali Perekonomian Indonesia Melalui
Sektor Perikanan dan Kelautan. Lembaga Informasi dan Studi
Pembangunan Indonesia. Jakarta.

Keraf, A.S, 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta.

Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut, 1998. Potensi


dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia.
LIPI. Jakarta.

Lawson. R.M, 1984. Economics of Fisheries Development. Fraces Pinter


(Publisher). London.
Nasoetion, A.H, 1999. Pengantar Ke Filsafat Sains. PT. Pusaka Litera
Antar Nusa. Bogor.

Nikijuluw, V.P.H, 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. PT.


Pustaka Cidesindo. Jakarta.

Satria, A, A. Umbari, A. Fauzi, A. Purbayanto, E. Sutarto, I. Muchsin, I.


Muflikhati, M. Karim, S. Saad, W. Oktariza dan Z. Imran, 2002.
Menuju Desentralisasi Kelautan. PT. Pustaka Cidesindo. Jakarta.

Suparmoko, M, 1997. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan.


(Suatu Pendekatan Teoritis). Ed.2. BPFE. Yogyakarta.

Widodo, J dan M. Nurhudah, 1995. Pengelolaan Sumberdaya Ikan.


Sekolah Tinggi Perikanan. Jakarta.

Widodo, J dan S. Nurhakim, 2002. Konsep Pengelolaan Sumberdaya


Perikanan. Disampaikan dalam Training of Trainers on Fisheries
Resource Management. 28 Oktober s/d 2 November 2002.
Hotel Golden Clarion. Jakarta.
101

BAB V
PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS
DALAM PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL

5.1 Pendahuluan

Indonesia yang merupakan negara kepulauan, sudah pasti


kehidupan penduduknya banyak yang tergantung pada sumberdaya dari
laut, terutama sumberdaya ikan. Pada tahun 1984 saja tercatat ada 1,2 juta
orang dari total jumlah penduduk 146,5 juta orang terlibat langsung sebagai
nelayan. Murdiyanto (2004) menyebutkan bahwa perikanan pantai
merupakan subsektor yang meliputi 90% dari seluruh nelayan Indonesia,
dan kondisi ini Indonesia sudah selayaknya diperhatikan secara lebih serius.
Potensi sumberdya ikan laut di perairan Indonesia begitu besar (6,26
juta ton per tahun) sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal dan
lestari (baru mencapai 3,68 juta ton atau 58,80%) akibat pengelolaan
potensi sumberdaya ikan yang kurang terpadu. Di beberapa wilayah
perairan masih terbuka peluang besar untuk pengembangan
pemanfaatannya, sedangkan di beberapa wilayah lain telah mencapai
kondisi padat tangkap atau overfishing, terutama di perairan pantai.
Perikanan skala kecil (small scale fisheries) di Indonesia perlu
mendapatkan perhatian serius karena jumlah anggota masyarakat yang
terlibat di dalamnya sangat besar jika dibandingkan dengan jumlah nelayan
yang terlibat dalam perikanan skala besar atau skala industri. Sampai saat
ini jumlah nelayan yang mengandalkan layar dan mesin bertenaga kecil
sebagai penggeraknya masih sangat besar. Akibatnya, para nelayan
menangkap ikan tidak jauh dari kampungnya sehingga pola eksploitasinya
pun relatif tidak berubah. Pola penangkapan ikan seperti ini disertai dengan
kondisi pengetahuan nelayan yang masih relatif rendah akan mendorong
terjadinya tekanan penangkapan berlebihan terhadap sumberdaya ikan di
perairan pantai. Sehubungan dengan lokasi penangkapan dan teknologi
yang dimiliki nelayan skala kecil, maka jenis ikan yang ditangkap juga terkait
erat dengan ekosistem pesisir yaitu, hutan mangrove (mangrove forest),
padang lamun (seagrass beds), dan terumbu karang (coral reef). Kegiatan
102

penangkapan ikan dan hasil tangkapan nelayan skala kecil ini sangat
tergantung pada kondisi ketiga ekosistem utama tersebut.
Pengelolaan perikanan tangkap skala kecil di beberapa wilayah
Indonesia dilakukan secara tradisional oleh masyarakat setempat dan juga
dilakukan secara partisipatif antara masyarakat nelayan dengan beberapa
unsur lain yang terlibat (stakeholders) termasuk pemerintah. Formulasinya
pengelolaan tersebut umumnya kurang didukung oleh informasi ilmiah yang
akurat. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, informasi
terutama yang terkait dengan daerah penangkapan ikan yang potensial dan
status sumberdaya pesisir lainnya sudah dapat ditentukan. Tulisan ini akan
menguraikan peranan penginderaan jauh dan sistem informasi geografis
dalam pengelolaan perikanan tangkap skala kecil secara berkelanjutan.

5.2 Ekosistem Pesisir

Berdasarkan sifatnya, ekosistem pesisir dapat bersifat alami (natural)


atau buatan (man made). Ekosistem alami yang terdapat di wilayah pesisir
antara lain terumbu karang hutan mangrove, padang lamun, pantai
berbasir, pantai berbatu, formasi pescaprae, formasi barringtonia, estuaria,
laguna, delta, dan ekosistem pulau kecil. Ekosistem buatan antara lain
adalah tambak dan sawah pasang surut (Dahuri 2003). Dari sejumlah
ekosistem pesisir tersebut, tiga ekosistem pantai tropis yang paling dikenal
terkait dengan perikanan tangkap skala kecil meliputi hutan mangrove,
padang lamun, dan terumbu karang. Setiap habitat ini dibentuk oleh spesies
yang dalam jumlah tertentu beradaptasi dengan kehidupan intertidal atau
kehidupan laut.
Hutan mangrove merupakan hutan intertidal daerah tropis dan
subtropis yang tersusun dari spesies tumbuhan “halotolerant” (toleran
terhadap garam). Seringkali hutan mangrove dijumpai di daerah berlumpur,
tanah “anoxic” di estuari, laguna, dan delta sungai, dimana dengan sistem
perakaran nafasnya yang kompleks menjadi penyokong dan pertukaran gas,
dan sifatnya yang vivipar mendukung kemampuannya untuk cepat tumbuh
dan berkembang pada pohon induknya, atau terapung dan berkoloni pada
daerah baru (Dahdouh-Guebas 2002).
103

Pada bagian yang lebih ke arah laut, di daerah infralittoral,


sepanjang kawasan mangrove biasanya ditemukan padang lamun. Padang
lamun merupakan tumbuhan laut berbunga yang sering tumbuh pada
substrat berpasir. Padang lamun dapat menyelesaikan siklus hidupnya pada
ekosistem berair asin (laut) yang tergenang secara terus menerus. Sama
seperti perakaran yang kompleks pada mangrove, padang lamun juga
menstabilkan substrat. Terumbu karang yang terletak lebih tengah lagi,
tergolong di antara ekosistem alam yang memiliki produktivitas dan
keanekaragaman biologis tertinggi. Berbeda dengan spesies yang
membangun habitat di mangrove dan padang lamun, hewan karang yang
membangun terumbu adalah hewan-hewan laut (polip-polip anthozoa) yang
secara bersama-sama mendeposit kalsium karbonat untuk membangun
suatu struktur koloni yang menyediakan habitat bagi berbagai organisma
lain.
Ketiga ekosistem ini mempunyai peranan yang sangat besar kepada
manusia baik langsung maupun tidak langsung. Mangrove dan terumbu
karang melindungi pantai terhadap erosi. Lamun dan mangrove sebagai
tempat melangsungkan perkawinan, bertelur, menetaskan, memelihara anak
bagi berbagai macam spesies. Banyak spesies laut yang melakukan migrasi
secara teratur antara mangrove dan terumbu karang seperti hiu dan kuda
laut (Stafford-Deitch 1996). Beberapa jenis ikan komoditas penting yang
memiliki keterkaitan dengan ekosistem ini adalah ikan baronang, cumi-cumi
atau sotong, kerapu dan sebagainya. Dengan demikian, jika salah satu dari
ekosistem tersebut terganggu akan menimbulkan dampak yang berarti
terhadap ekosistem yang lainnya. Keterkaitan antara ketiga ekosistem
utama pesisir tersebut dapat diillustrasikan dengan Gambar 5.1.

5.3 Penginderaan Jauh (Inderaja) dan Sistem Informasi Geografi (SIG)

Kegiatan survei pemetaan dewasa ini sudah tidak dapat dilepaskan


dari dua macam teknologi, yaitu penginderaan jauh dan sistem informasi
geografi. Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni dalam interaksi
informasi mengenai suatu obyek, wilayah atau fenomena yang dikaji
tersebut (Lillesand dan Kiefer 1987). Sistem informasi geografis (SIG)
adalah suatu sistem, pada umumnya berbasis komputer, yang digunakan
104

untuk menyimpan, mengelola, menganalisis dan mengaktifkan kembali data


yang mempunyai referensi keruangan, untuk brbagai tujuan yang berkaitan
dengan pemetaan dan perencanaan. Kedua macam teknologi tersebut
sangat bermanfaat dalam pengelolaan informasi keruangan mengenai
kondisi permukaan (dan dekat permukaan) bumi. Oleh karena itu, pada
perkembangan selanjutnya, keduanya cenderung diintegrasikan demi
peningkatan efisiensi pemerolehan serta akurasi hasil pemetaan.

Gambar 5.1Interkoneksi antara tiga ekosistem utama di wilayah pesisir.

5.3.1 Penginderaan jauh (Inderaja)

Istilah penginderaan jauh (inderaja) secara luas didefinisikan sebagai


teknik pengumpulan gambar atau data lain tentang suatu obyek dari
pengukuran-pengukuran yang dibuat pada suatu jarak tertentu dari obyek,
dan dapat merujuk misalnya kepada penggambaran satelit, foto udara atau
batimetri laut dari kapal dengan menggunakan data radar (Dahdouh-Guebas
105

2002). Akan tetapi, dalam konteks ini hanya akan dibahas gambar optik
yang diperoleh melalui sensor angkasa luar (space-borne sensors).
Penginderaan jauh (inderaja) digunakan untuk memantau
permukaan lahan, laut dan bahkan atmosfer, dan bagaimana perubahan-
perubahan terjadi pada semua ini. Cakupan sebagian besar satelit
penginderaan jauh meliputi seluruh permukaan bumi, membuatnya menjadi
penting untuk fenomena berskala luas seperti sirkulasi air laut, iklim dan
penebangan hutan global, juga pada daerah terpencil. Pemotretan satelit
yang berulang-ulang pada daerah yang sama dapat dilakukan dalam jangka
waktu yang lama. Kemampuan ini membuatnya memungkinkan untuk
memantau perubahan lingkungan, meliputi dampak kegiatan manusia dan
proses alami, dan mensimulasi bagaimana kecenderungan dari apa yang
telah diamati pada masa lampau akan terjadi pada masa yang akan datang
(Anonim 2008).
Teknologi satelit inderaja beserta sensor-sensor yang menyertainya
dewasa ini telah mengalami kemajuan sedemikian rupa sehingga
menyebabkan resolusi spasial setiap piksel data citra hasil perekaman
sensor-sensor yang bersangkutan dapat mencapai puluhan meter, seperti
citra Landsat dan Spot, bahkan mencapai satu meter di muka bumi, seperti
citra IKONOS pankromatik (Prahasta 2001). Selain itu, proses perekaman
data citra dijital satelit ini dapat dilakukan dengan efektif dan efisien dalam
waktu yang relatif singkat. Dengan demikian, pengguna yantg
membutuhkannya hanya perlu mengirimkan permohonan perekaman citra
pada agen-agen citra satelit yang bersangkutan, dengan menentukan waktu
perekaman yang diinginkan beserta batas-batas koordinat wilayah yang
akan diliput, menentukan jumlah scenes citra yang diperlukan, dan tak lama
kemudian citranya akan diperoleh pengguna.

5.3.2 Sistem informasi geografis (SIG)

Sistem informasi geografis (SIG) adalah alat dengan sistem


komputer yang digunakan untuk memetakan kondisi dan peristiwa yang
terjadi di muka bumi. Teknologi ini dapat mengintegrasikan sistem operasi
database seperti query dan analisis statistik dengan berbagai keuntungan
analisis geografis yang ditawarkan dalam bentuk peta. Dengan kemampuan
106

pada sistem informasi pemetaan (informasi spasial) yang membedakannya


dengan sistem informasi lain seperti database, maka SIG banyak digunakan
oleh masyarakat, pengusaha dan instansi untuk menjelaskan berbagai
peristiwa, memprediksi hasil dan perencanaan strategis. SIG memiliki
kapabilitas menghubungkan berbagai lapisan data di suatu titik yang sama
pada tempat tertentu, mengkombinasikan, menganalisis data tersebut dan
memetakan hasilnya. Teknologi ini juga dapat mendeskripsikan karakteristik
obyek pada peta dan menentukan posisi koordinatnya, melakukan query
dan analisis spasial serta mampu menyimpan, mengelola, mengupdate data
secara terorganisir dan efisien (Zainuddin 2006).
SIG secara luas telah digunakan secara luas sebagai alat untuk
mendigitasi data penginderaan atau cartographic jarak jauh yang dilengkapi
dengan data hasil pengukuran lapangan (ground-truth data), yang posisi
geografisnya (geocoded) ditentukan menggunakan global positioning
system (GPS) (Dahdouh-Guebas 2002). SIG dapat digunakan untuk
menganalisis karakteristik spasial dari data yang terdiri dari beberapa lapis
digital (digital layers). Jika tersedia data yang beruntun (sequential data)
penghitungan perubahan spasial dapat dilakukan melalui analisis tumpang
susun (overllay analysis). SIG merupakan teknologi informasi yang sedang
berkembang untuk membuat data dasar (database) dengan informasi
spasial, yang dapat diterapkan baik kepada pemukiman penduduk (seperti
data dasar kependudukan) maupun untuk lingkungan alami (seperti
penyebaran populasi dan faktor-faktor lingkungan). Yang paling penting
adalah kombinasi kedua data dasar dapat menjamin pengelolaan
berkelanjutan. SIG akan terus disempurnakan sebagai suatu alat bantu yang
penting dan alat analisis secara berturut-turut tidak hanya dalam deskripsi
analisis subyek spasial, tetapi juga perencanaan lingkungan, penilaian
dampak, pengelolaan bencana dan secara sederhana mengendalikan
penginderaan jauh.

5.4 Perikanan Berkelanjutan

Walaupun isu-isu pembangunan berkelanjutan (sustainable


development) yang terkait dengan ilmu dan teknologi yang sesuai telah
muncul sejak lama, namun kenyataan empiris membuktikan bahwa masih
107

banyak hal yang harus dilakukan khususnya pentingnya integrasi keilmuan


dan riset guna mewujudkan konsep operasional pembangunan. Dalam
konteks ini, definisi pembangunan berkelanjutan menjadi sangat penting.
Definisi yang banyak diketahui adalah versi dokumen Burtland, Our
Common Future, yaitu pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan
generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang
untuk memenuhi kebutuhannya (WCED 1987 diacu dalam Kusumastanto
2008). Lebih lanjut, keberlanjutan ini membutuhkan pemahaman yang luas
(wide recognition) dalam sebuah bentuk integrasi yang mencakup aspek
ekologi, sosial, ekonomi dan institusi (Charles 2001). Oleh karena itu, Clark
dan Dickson (2003) diacu dalam Kusumastanto (2008) menegaskan
pentingnya “sustainability science” sebagai ilmu yang memfokuskan pada
interaksi dinamis antara alam dan manusia. Dalam konteks ini, pendekatan
sistem dan teori keberlanjutan perikanan menjadi sangat tepat sebagai
dasar platform pembangunan perikanan dan kelautan.
Dalam sejarahnya, wacana keberlanjutan perikanan diawali dengan
munculnya paradigma konservasi (conservation paradigm) yang dipelopori
sejak lama oleh para ilmuwan biologi. Dalam paradigma ini, keberlanjutan
perikanan diartikan sebagai konservasi jangka panjang (long-term
conservation) sehingga sebuah kegiatan perikanan akan disebut
“berkelanjutan” apabila mampu melindungi sumberdaya ikan dari
kepunahan. Konsep ini memberikan sedikit perhatian pada tujuan manusia
dalam melakukan kegiatan perikanan tersebut.
Kemudian pada tahun 1950-an, dominasi paradigma konservasi ini
mendapat tantangan dari paradigma lain yang disebut sebagai paradigma
rasionalitas (rationalization paradigm). Paradigma ini memfokuskan pada
keberlanjutan perikanan yang rasional secara ekonomi (economically
rational or efficient fishery) dan mendasarkan argumentasinya pada konsep
pencapaian keuntungan maksimal dari SDI bagi pemilik sumberdaya.
Charles (2001) mengkritisi secara sistematik konsep keberlanjutan
perikanan konvensional yang selama ini hanya bergantung pada konsep
keberlanjutan secara biologi-ekologi lewat ikon MSY (maximum sustainable
yield) dan keberlanjutan ekonomi lewat ikon MEY (maximum economic
yield) dan OSY (optimum sustainable yield). Ikon pertama pada dasarnya
merupakan representasi dari paradigma konservasi dan dua ikon berikutnya
108

mewakili paradigma rasionalitas yang telah lama mendominasi konsep


keberlanjutn perikanan. Di sini Charles menambahkan wacana baru tentang
perlunya paradigma sosial dan komunitas (community paradigm).
Dalam paradigma baru ini, keberlanjutan perikanan dicapai melalui
pendekatan “kemasyarakatan”. Artinya, keberlanjutan perikanan diupayakan
dengan memberi perhatian utama pada aspek keberlanjutan masyarakat
perikanan sebagai sebuah sistem komunitas. Konsep-konsep traditional
fisheries yang terbukti mampu melakukan self-control terhadap hasil
tangkap, penggunaan teknologi yang sesuai, tingkat kolektivitas yang tinggi
antara anggota komunitas perikanan, dan adanya traditional knowledge
yang mencerminkan upaya ketahanan perikanan dalam jangka panjang
(long-term resilience) menjadi variabel yang penting dalam paradigma ini.
Dengan demikian, perikanan yang berkelanjutan bukan semata-mata
ditujukan untuk kepentingan kelestarian ikan itu sendiri (as fish) atau
keuntungan ekonomi semata (as rents) tapi lebih dari itu adalah untuk
keberlanjutan komunitas perikanan (sustainable community) yang ditunjang
oleh keberlanjutan institusi (institutional sustainability) yang mencakup
kualitas keberlanjutan dari perangkat regulasi, kebijakan dan organisasi
untuk mendukung tercapainya keberlanjutan ekologi, ekonomi dan
komunitas perikanan (Gambar 5.2).

5.5 Inderaja dan SIG dalam Penelitian Ekosistem Pesisir

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa aktivitas


penangkapan dan hasil tangkapan nelayan skala kecil sangat bergantung
kepada paling tidak tiga ekosistem utama pesisir yang telah disebutkan.
Oleh karena itu, untuk keperluan pengelolaan, maka informasi yang lengkap
mengenai status sumberdaya ini sangat diperlukan.
Penginderaan jauh dan SIG telah digunakan dalam studi ekosistem
pesisir penting yaitu hutan mangrove (Ramachandran et al., 1998), padang
lamun (Dahdouh-Guebas et al. 1999; Ferguson dan Korfmacher 1997), dan
terumbu karang (Hasyim dan Winarso, 1998; Holden dan Ledrew, 1999;
Lubin et al. 2001). Penelitian struktur vegetasi dalam hutan mangrove dan
padang lamun dapat difokuskan pada genus tunggal, asosiasi dan zonasi
dalam vegetasi (Dahdouh-Guebas 1999). Studi yang sama juga dapat
109

diterapkan kepada populasi cyanobacteria, alga atau diatom yang misalnya


dalam kondisi melimpah (blooming) di sekitar perairan terumbu karang
(Signorini, et al. 1999). Gambar 5.3 menyajikan salah satu contoh foto satelit
tentang zonasi mangrove. Sementara itu, Gambar 5.4 mendeskripsikan
zonasi terumbu karang teluk Kachchh, India.

ecological
sustainability

Institutional
sustainability

economic community
sustainability sustainability

Gambar 5.2 Segitiga keberlanjutan sistem perikanan (Charles 2001).

Di Indonesia sendiri pemetaan terhadap distribusi dan luasan


terumbu karang telah mulai dilakukan. Hasyim dan Winarso (1998)
melaporkan luasan terumbu karang yang terdapat di 16 titik pemantauan di
Indonesia, meliputi Kepulauan Karimunjawa, Pulau Bintan, Teluk Lampung,
Kepulauan Sepudi, Pulau Kangean, Pulau-pulau Makasar, Pulau Ternate,
Pulau Haruku, Pulau Seram, Pulau Bali Utara, Pulau Pari, dan Situbondo.
Data klorofil yang mengindikasikan kandungan fitoplankton dan suhu
permukaan air laut yang dideteksi satelit OCM dan NOAA AVHRR dapat
diintegrasikan dan digunakan untuk memperoleh prakiraan daerah
110

penangkapan ikan. Data fitoplankton memberikan informasi ketersediaan


makanan. Pada lokasi di mana terbentuk boundaries, fronts, atau gradients
dari klorofil dan SPL merupakan lokasi yang ideal bagi berkumpulnya ikan.
Pada lokasi-lokasi tersebut terjadi proses biologis dan fisik yang
menyebabkan ikan cenderung untuk berkumpul. Teknik prakiraan ini telah
diaplikasikan di India dan ternyata hasilnya valid selama tiga hari dan
diperbaharui pada setiap hari kedua (Gambar 5.5), sehingga sangat
bermanfaat untuk perikanan pelagis dan perikanan demersal (Nayak 2008).

Gambar 5.3 Zonasi mangrove di sebagian wilayah Sunderbans, India


menggunakan data gabungan antara IRS LISS III and PAN
(Nayak 2008).

Prakiraan daerah penangkapan ikan berkembang pesat di negara


lain, misalnya di India teknik ini telah dioperasionalkan bagi sekitar 240
pelabuhan perikanan secara terus menerus oleh the Indian National Centre
for Ocean Information Service (INCOIS), Hyderabad. Sekitar 70-90%
prakiraan itu akurat dan hasil tangkapan nelayan meningkat 70-100%, baik
perikanan pelagis maupun perikanan demersal (Solanki et al. 2003).
Disebutkan bahwa BC rasio telah meningkat dari 1,3 menjadi 2,1 untuk
111

nelayan yang telah menggunakan satellite-based fishery forecast (Nayak et


al. 2008). Informasi angin permukaan laut yang diintegrasikan juga
menambah validitas prakiraan. Hasil awal mengindikasikan hasil yang
sangat menjanjikan. Terlepas dari ini semua, sumberdaya yang baru melalui
sea ranching dan budidaya laut (mariculture) pada beberapa daerah secara
tertutup dan semi tertutup harus dimulai.

Gambar 5.4 Zonasi terumbu karang (Gulf of Kachchh, Western India),


menggunakan data IKONOS (Nayak 2008).

Hasil yang serupa juga telah mulai dilakukan di Indonesia.


Tejasukmana et al (1998) menjelaskan keterkaitan antara sebaran suhu
permukaan laut yang diperoleh dari data inderaja satelit NOAA-AVHRR di
Selat Sunda dengan tangkapan ikan di perairan ini. Penelitian ini
menggambarkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara jumlah
tangkapan nelayan yang ditangkap pada bulan Mei dan Juni yang memiliki
karakteristik fisik perairan (terutama suhu permukaan) yang berbeda. Hasil
tangkapan pada bulan Mei adalah 46.833 kg, sedangkan pada citra SPL
Selat Sunda antara 29o - 30o C. Hasil tangkapan pada bulan Juni adalah 0
kg, citra SPL pada bulan ini menunjukkan perairan Selat Sunda didominasi
112

oleh suhu 30oC - 32oC, sehingga kurang cocok untuk tempat hidup ikan
layang yang membutuhkan suhu sekitar 29oC.

Gambar 5.5 Penggunaan OCEANSAT I OCM dan AVHRR SST untuk


mengidentifikasi daerah tangkapan yang potensial (Nayak
2008).

Banyak publikasi yang ada tentang pengaruh perubahan global


terhadap lingkungan laut. Sudah jelas bahwa wilayah delta, pulau-pulau
kecil, karang atol dan lahan basah di pantai merupakan daerah yang peka
terhadap perubahan iklim. Banyak upaya yang mestinya dilakukan untuk
memprediksi apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang dan
membangunan sistem peringatan dini (early warning system) untuk
membantu menjamin keberlangsungan ekosistem yang lestari. Dahdouh-
Guebas (2001) diacu dalam Dahdouh-Guebas (2002) merinci bagaimana
struktur dan degradasi vegetasi mangrove dapat diprediksi berdasarkan
sejarah dan kondisi terkini vegetasi mangrove di lapangan, dan bagaimana
teknologi inderaja dapat dikombinasikan dengan analisis multivariat.
113

Sebagai contoh, penginderaan jauh yang berurutan dengan resolusi spasial


yang sangat tinggi dapat digunakan untuk melihat apakah suatu hutan
mangrve bersifat dinamis atau statis dan apakah sudah tergradasi atau
belum. Wawancara dengan masyarakat setempat dapat membantu untuk
memahami apa yang menjadi penyebab terjadinya degradasi.
Menurut Dahdouh-Guebas 2002, ada tiga aspek yang perlu
diperhatikan dalam sistem peringatan dini, yaitu (1) Kondisi keadaan
terdahulu, berdasarkan remote sensing dan GIS, (2) Kondisi saat ini,
berdasarkan remote sensing dan SIG, populasi biotik, faktor lingkungan, dan
pendapat orang, dan (3) Prediksi untuk masa yang akan datang,
berdasarkan kemiripan aktual antara, misalnya, distribusi elemen ekosistem
tua, muda, dan juvenil untuk mengantisipasi rehabilitasi dan monitoring pada
masa yang akan datang, baik di lapangan maupun dengan inderaja.
Gambar 5.6 menunjukkan bagaimana ketiga aspek di atas secara bersama-
sama menghasilkan informasi tentang kemampuan regenerasi ekosistem
tersebut dan bertindak sebagai sistem peringatan dini. Jika tanda-tanda
degradasi terlihat, campur tangan manusia seperti rehabilitasi diperlukan.
Sama pentingnya untuk melakukan evaluasi upaya rehabilitasi, aspek
suksesi dan pola migrasi biotik.

Gambar 5.6 Skema langkah-langkah dalam sistem peringatan dini (early


warning system) (Dahdouh-Guebas 2002).
114

Salah satu variabel kunci dalam pengembangan budidaya perairan


dan perikanan berkelanjutan adalah kualitas air. Quansah et al. (2007)
menyebutkan bahwa Teknologi SIG dan inderaja menghadirkan alat penting
yang dapat digunakan untuk menilai secara cepat pengukuran kualitas air,
membuat data dasar, memadukan informasi, memvisualisasikan skenario
dan memecahkan permasalahan yang rumit (kompleks) polusi lingkungan.
Hal ini menunjukkan bahwa peranan teknologi inderaja dan SIG sangat
penting dalam menyediakan informasi yang akurat tentang sumberdaya
pesisir dan laut khususnya terkait dengan status sumberdaya ekosistem
pesisir dan laut yang berpengaruh terhadap kegiatan perikanan tangkap,
khususnya perikanan tangkap skala kecil. Jika informasi yang tersedia
lengkap dan akurat, maka pengelolaannya relatif lebih mudah untuk
diformulasikan.
Dalam aplikasinya, nelayan kita diharapkan tidak lagi memanfaatkan
sumberdaya yang ada secara destruktif yang selama ini dituduhkan kepada
mereka. Mereka juga diharapkan sudah mampu memanfaatkan jasa
teknologi seperti yang dilakukan nelayan di negara maju dan tidak hanya
mengandalkan naluri dan pengalaman. Syamsudin (2006) menyatakan
bahwa bagi nelayan negara maju, pemakaian satelit oseanografi yang
menampilkan citra suhu permukaan laut dan sebaran klorifil merupakan hal
rutin dan baku untuk memudahkan mereka mencari daerah tangkapan ikan.
Apabila hal ini sudah dapat dilaksanakan di Indonesia, maka nelayan akan
dapat melakukan kegiatan penangkapan ikan secara efektif dan efisien,
tidak lagi terdengar nelayan pulang dengan tidak membawa hasil
tangkapan, tanpa nilai tambah untuk perbaikan ekonomi keluarga mereka.
Dari kondisi yang demikian inilah baru dapat diharapkan pemanfaatan
sumberdaya secara berkelanjuan dapat diwujudkan.
Walaupun memiliki berbagai keunggulan, penggunaan informasi
melalui teknologi inderaja dan SIG juga memiliki kelemahan. Suatu
tantangan yang penting dalam pengelolaan ekosistem secara berkelanjutan
adalah penggunaan SIG dalam mengintegrasikan data yang berasal dari
ekologi, geografi, sosiologi, dan displin yang lain. Sebagai contoh, penelitian
dalam bidang biokompleksitas, etnobiologi, demografi, sosiologi, dan
ekonomi yang tidak secara langsung berasosiasi dengan penggunaan
115

inderaja dan SIG, meskipun demikian sering dapat diintegrasikan ke dalam


data dasar spasial tersebut.
Penyediaan informasi zona penangkapan ikan ini memiliki
kelemahan-kelemahan. Dari sisi produksi informasi zona potensi
penangkapan ikan (ZPPI), hambatan timbul dari faktor alam yaitu tingginya
liputan awan di wilayah tropis, sehingga jumlah informasi yang dapat
diproduksi tidak dapat mencapai target yang diharapkan yaitu informasi
harian. Untuk permasalah ini diperlukan koreksi atmosperik (atmospheric
coorection).
Pemanfaatan teknologi inderaja dan SIG di Indonesia juga masih
masih terhambat dikarenakan belum adanya kerjasama yang baik diantara
berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) terkait. Sebagai contoh,
nelayan pada umumnya keberatan untuk menyampaikan daerah tangkapan
(fishing ground) mereka kepada orang lain. Di sisi yang lain, pihak
Departemen Kelautan dan Perikanan yang bertugas menginformasikan
daerah tangkapan potensial sangat membutuhkan informasi pendukung dari
lapangan sebagai “ground truth” dari pemetaan daerah tangkapan yang
telah dihasilkan. Untuk itu, dalam rangka distribusi informasi dan perolehan
data umpan balik (feedback), perlu ditunjuk petugas lapangan yang diangkat
dari personil lokal baik dari Dinas Kelautan dan Perikanan, kelompok
nelayan, atau stakeholders lain yang mempunyai kompetensi dalam bidang
informasi perikanan.
Di Indonesia, pemanfaatan inderaja dan SIG dalam pengelolaan
perikanan tangkap masih relatif rendah jika dibandingkan dengan negara
lain, seperti India. Salah satu penyebabnya adalah akurasi informasi (citra)
yang tersedia belum didukung oleh hasil pengamatan lapangan (ground
truth) yang memadai. Oleh karena itu, penelitian yang menggunakan
teknologi inderaja ini harus disertai dengan pengamatan lapangan.
Formulasi pengelolaan perikanan tangkap skala kecil seyogyanya dilakukan
secara terpadu (integrated) dengan memanfaatkan informasi yang
terpercaya dan teknologi yang tersedia saat ini seperti inderaja dan SIG.
Jika peta daerah penangkapan yang dihasilkan didukung oleh data dan
informasi yang lengkap dari lapangan, maka formulasi pengelolaan
sumberdaya ini secara berkelanjutan akan lebih mudah dilakukan.
116

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Space solutions for The World’s Problems : How The United
Nations Family Is Using Space Technology For Sustainable
Development : http://www.uncosa.unvienna.org).

Charles. AT. 2001. Sustainable fisheries systems, Blackwell Science,


London.

Dahdouh-Guebas. F. 2002. The use of remote sensing and GIS in the


sustaibable management of tropical coastal ecosystem.
Environmental Development and Sustainability 4 : 93 -112

Dahdouh-Guebas F, Coppejans E, Van Speybroeck D. 1999. Remote


sensing and zonation of seagrass and algae along of Kenyan coast.
Hydrobiologia 400 : 63-73.

Dahuri R. 2003. Keanekaragaman hayati laut : aset pembangunan


berkelanjutan indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Ferguson. RI, Korfmacher K. 1997. Remote sensing and GIS analysis of


seagrass meadows in Nort Carolina. USA. Aquatic Botany 58 : 241-
258.

Hasyim. B, Winarso G. 1998. Penyediaan informasi distribusi dan luasan


terumbu karang menggunakan teknologi poenginderaan jauh satelit
untuk mendukung kegiatan stok assesment. Widodo J, E.
Tampubolon. G. H. Naamin. N. dan Djamali. A (eds). 1998. Potensi
dan penyebaran stok sumberdaya ikan laut di perairan Indonesia.
Komnaskajiskanlut–LIPI. Jakarta.

Holden H, Ledrew W. 1999. Hyperspectral identification of coral reef


features. International Journal of Remote Sensing 20 (13) : 2545-
2563.

Kusumastanto T. 2008. Revitalisasi perikanan dan kelautan secara


berkelanjutan.
(httpwww.box.netindex.phprm=box_v2_download_shared_file&blog&
file_id=f_901 (30 Oktober 2008).

Lillesand TM, Kiefer RW. 1994. Remote Sensing and Image Interpretation.
John Willey and Sons. New York.
117

Lubin D, Li W, Dustan P, Mazel CH, Stamnes KT. 2001. Spectral signature


of coral reefs: feature ffrom space. Remote sensing of Environment
75 (1) : 127-137.

Murdiyanto B. 2004. Pengelolaan sumberdaya perikanan pantai. Proyek


Pengembangan Masyarakat Pantai dan pengelolaan Sumberdaya
Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap – Departemen
Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Narain A, Beenakumari S, Raman M. 1992b. Observation of a persistent


coastal upwelling off Gujarat by NOAA AVHRR and its implication on
fisheries. Remote sensing applications and geographic information
systems: Recent trends. Tata-McGraw Hill. New Delhi. pp. 337-341.

Nayak S. 2008. Role of remote sensing to integrated coastal zone


management. Space Applications Centre (ISRO). Ahmedabad 380
015. India.

Prahasta E. 2001. Konsep-konsep dasar Sistem Informasi Geografis.


Informatika. Bandung.

Quansah. JE. Rochon GL, Quagrainie KK. Amisah S, Muchiri M, Ngugi C.


2007. Remote Sensing Application for Sustainable aquacultur in
Africa. IEEE Journal : 1255-1259.

Ramachandran S, Sundaramoorthy S, Krisnamoorthy R, Devasenapathy J,


Thanikachalam M. 1998. Application of remote sensing and GIS to
coastal wetland ecology of Tamil Nadu and Andaman and Nicobar
Group of Island with special reference to mangrove. Current Science
(3) : 236-244.

Signorini SR, Murtugudde RG, McClain CR, Christian JR, Picaut J,


Busalacchi AJ. 1999. Biological and physical signature in the tropical
and subtropical Atlantic. Journal of Geophyisical Research Oeans
104 (C8) : 18367-18382.

Stafford-Deitsch J. 1996. Mangrove: The forgotten habitat. Immel Publishing


Limited. London. UK.

Syamsudin S. 2006. Satelit oseanografi untuk nelayan. Inovasi vol


6/XVIII/Maret 2006.
118

Tejasukmana BS, Hasyim B, Priyono BE. 1998. Pemanfaatan data


penginderaan jauh satelit untuk mendukung pengkajian potensi dan
distribusi sumberdaya ikan laut dalam Widodo. J. Aziz. K. A. Priyono
B. E. Tampubolon. G. H. Naamin. N. dan Djamali. A. 1998. Potensi
dan penyebaran stok sumberdaya ikan laut di perairan Indonesia.
Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut – Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

Zainuddin M. 2006. Aplikasi Sistem informasi geografis dalam penelitian


perikanan dan kelautan. Makalah. disampaikan pada Lokakarya
Agenda Penelitian COREMAP II Kabupaten Selayar. 9-10
September 2006.
119

BAB VI
KONFLIK PEMANFAATAN SUMBERDAYA DAN
DAERAH PENANGKAPAN IKAN

6.1 Pendahuluan

Menurut Undang-Undang Repulik Indnesia Nomor 31 tahun 2004


tentang Perikanan, disebutkan bahwa tujuan pembangunan perikanan
tangkap adalah : (1) meningkatkan kesejahteraan nelayan, (2) menjaga
kelestarian sumber daya ikan dan lingkugannnya. Diktorat Jendral
Perikanan Tangkap, DKP (2004) menenetapkan sasaran pembangunan
sub-sektor perikaan tangkap yang ingin dicapai pada akhir 2009 sebagai
berikut : (1) tercapainya produksi perikanan tangkap sebesar 5,472 juta ton,
(2) meningkatnya pendapatan nelayan rata-rata menjadi Rp. 1,5 juta/bulan,
(3) meningkatnya nilai eksport hasil perikanan menjadi US$ 5,5 milyar, (4)
meningkatnya konsumsi dalam negeri menjadi 30 kg/kapita/tahun (5)
penyerapan tenaga kerja perikanan tangkap (termasuk nelayan) sekiar 4
juta orang.
Indonesia merupakan negara terbesar dari 17 negara yang
berbentuk kepulauan (Archipelago State) di dunia. Penduduk yang
mendiami ribuan buah pulau tersebut lebih dari 200 juta jiwa. Sebagian
besar dari pulau-pulau tersebut merupakan pulau kecil yang memiliki
sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang
sangat potensial untuk perekonomian bangsa. Beberapa sektor
pembangunan yang terkait erat dengan sektor kelautan dan perikanan telah
diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, namun perlu
diperjelas lagi agar tidak menimbulkan misinterpretation yang mengarah
pada konflik pada tatanan pelaksanaan di lapangan.
Kebijakan atau peraturan perundang-undangan di sektor kelautan
dan perikanan memerlukan landasan yang kokoh, yaitu suatu konsep dan
strategi pengelolaan yang berbasis pada prinsip-prinsip kelestarian
pemanfaatan sumberdaya laut, yang mendukung perwujudan pelaksanaan
prinsip good governance. Pengembangan teknologi dan alat penangkapan
ikan harus ramah lingkungan (enviromental friendly fishing technology) yaitu
suatu alat tangkap yang tidak memberikan dampak negatif terhadap
120

lingkungan, dampak terhadap bio-diversity dan target resources serta sesuai


dengan daerah penangkapan ikan masing-masing wilayah di Indoesia.

6.2 Definisi Perikanan Tangkap

Menurut UU No. 31 tahun 2004, bahwa perikanan tangkap adalah


semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi,
pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu
sistem bisnis perikanan. Aktivitas penangkapan ikan didefinisikan sebagai
kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan
dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang
menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan,
mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.
Perikanan tangkap dapat diklasifikasikan berdasarkan habitat, yaitu :
perikanan demersal, perikanan pelagis, dan perikanan karang.
Klasifikasikan menurut spesies target, yaitu : perikanan tuna, perikanan
cakalang, perikanan udang, dan sebagainya. Klasifikasi berdasarkan alat
tangkap, yaitu : perikanan purse seine, perikanan gillnet, perikanan pole and
line, dan sebagainya. Klasifikasi berdasarkan tujuan, yaitu : perikanan
komersial, sport atau rekreasi.

6.3 Metode Penangkapan Ikan dan Dampaknya Terhadap Kodisi


Daerah Penangkapan Ikan

1. Bottom trawl/trawl dasar

Trawl dioperasikan dengan cara menarik alat tangkap dari belakang


kapal dengan kecepatan tertentu. Trawl dilengkapi dengan otterboard, beam
atau pair trawls. Trawl umumnya dioperasikan di dasar perairan untuk
menangkap ikan dasar (demersal) dan/atau invertebrata seperti udang.
Trawl dasar dapat digunakan pada perairan dalam atau sangat dangkal
dengan habitat yang berpasir, lumpur, endapan lumpur, bahkan pada
daerah lamun. Pada jaring trawl udang dilengkapi dengan rantai yang
bergerak sepanjang dasar, sehingga dapat mengejutkan udang keluar dari
substrat dan masuk dalam jaring. Roller atau bobbinis sering digunakan
121

untuk mengangkat dasar katrol dari dasar. Bobbinis dapat digunakan untuk
mengurangi dampak pada dasar laut tetapi pada prinsipnya digunakan untuk
mengangkat jaring melewati karang atau dasar yang keras.

Gambar 6.1 Posisi trawl dasar saat dioperasikan.

Trawling sangat luas digunakan sebagai metode penangkapan ikan


yang sangat efektif untuk menangkap spesies ikan dalam jumlah besar
dalam sekali setting. Trawling pada umumnya dianggap sebagai salah satu
bentuk penangkapan ikan yang destruktif karena memiliki dampak yang
sangat signifikan terhadap habitat dasar laut, spesies non-target atau by-
catch dan spesies yang dilindungi. Trawling telah menyebabkan
menurunnya beberapa spesies termasuk orange roughy, eastern gemfish,
redfish, silver trevally dan beberapa hiu laut dalam. Hasil samping atau
sampah dari perikanan trawl bisa mencapai sekitar setengah dari total
tangkapan (berdasarkan berat), tergantung pada jenis kegiatan
perikanannya. Hasil samping dapat berupa penyu, anjing laut, ular laut,
sejumlah ikan bernilai ekonomis rendah dan invertebrata. Banyak ilmuwan
dan ahli konservasi percaya bahwa perikanan trawl tidak berkelanjutan dan
akan berhenti.
122

2. Scallop dredge/pengeruk scallop

Cara kerjanya pengeruk scallop adalah : potongan gerigi logam


menggali ke dalam dasar laut dan mengangkat scallop (jenis molusca) ke
dalam jaring baja yang kuat atau tebal. Walaupun tidak digunakan secara
luas, pengeruk scallop secara efektif mengeruk dasar laut, memindahkan
sebagian kehidupan laut dan habitanya. Sedikit saja pemahaman tentang
dampak dari pengerukan terhadap stok scallop.

Gambar 6.2 Posisi alat pengeruk scallop saat dioperasikan.

3. Drifting gillnets/jaring insang hanyut

Alat tangkap gillnet hanyut mengikuti arus dekat permukaan atau


pertengahan atau kolom perairan. Jaring dapat mencapai panjang 2,5 km
dan umumnya digunakan untuk menangkap ikan pelagis. Alat tangkap ini
juga mampu untuk menangkap hiu tropis.
Hasil samping relatif cukup untuk ukuran industri saat ini. Jaring
insang dapat mencapai panjang 2,5 km, sehingga sering disebut dengan
istilah ghost nets, telah dilarang pengoperasiannya di Australia sejak
pertengahan tahun 1990-an. Australian Marine Conservation Society
(AMCS) tetap peduli tentang ikan hiu yang menjadi target penangkapannya,
karena penangkapan hiu yang berlebihan telah mengganggu keseimbangan
ekolologi. Ghost nets dapat membahayakan (destruktif), terutama terhadap
dolphin, penyu, ikan paus, hiu, dan ikan lain pada saat jarring hilang di laut.
Ikan yang terperangkap pada jaring yang hilang seringkali ditemukan
mengapung kembali di perairan dalam kondisi sudah mati dan menimbulkan
123

kerugian pada nelayan. Hal ini tentu saja tidak berwawasan lingkungan
karena dapat mengancam terhadap keberlanjutan populasi sumberdaya
ikan tersebut di atas.

Gambar 6.3 Bentuk jaring insang hanyut saat dioperasikan.

4. Bottom set gillnets/jaring insang dasar tetap

Alat tangkap ini mirip dengan jaring insang hanyut akan tetapi
pengoperasiannya (setting) dilakukan dekat atau pada dasar perairan.
Panjangnya antara 175 - 420 m dan disebut juga jaring hiu atau grail nets.
Alat tangkap ini dapat dioperasikan di wilayah lepas pantai, pesisir dan
sungai. Gilnet di lepas pantai umumnya digunakan untuk menangkap hiu
dan bebepara ikan bersirip seperti snapper tropis.

Gambar 6.4 Bentuk jaring insang dasar saat dioperasikan.


124

Metode penangkapan ikan dengan jaring insang hanyut sangat luas


digunakan. Metode ini telah dilarang di perairan Australia karena hasil
tangkapan sampingan (by-catch) yang relatif banyak. AMCS tetap peduli
tentang dampak jangka panjang terhadap populasi hiu dan paus. Gilnet juga
diketahui menjerat dan membunuh dolphin, penyu dan dugong di beberapa
area perairan Australia.

5. Lampara nets/Jaring Lampara

Alat ini termasuk dalam kategori jaring lingkar, dan bentuknya seperti
dipan dengan dua sayap bercabang (Gambar 6.5). Biasanya digunakan
unutk menangkap ikan umpan, seperti garfish, pilchard dan anchovy. Dalam
perikanan lampara ini, nelayan seringkali membung spesies non-target
kembali ke laut, termasuk juga ikan-ikan kecil karena nilai ekonomisnya
rendah. Ikan ukuran kecil banyak tertangkap karena alat tangkap ini tidak
selektif. Tindakan tersebut tentu saja tidak berwawasan lingkungan.

Gambar 6.5 Bentuk jaring lampara saat dioperasikan.

6. Purse seine

Alat tangkap ini umumnya digunakan untuk menangkap ikan yang


membentuk schooling di lapisan permukaan perairan. Dinding jaring
digunakan untuk menghadang schooling ikan meloloskan diri secara
horizontal dari cakupan alat tangkap. Dengan menarik tali bagian bawah
jaring atau sering disebut dengan istilah tali kolor, maka jaring bagian bawah
125

akan tertutup dan akibatnya ikan tidak akan bisa meloloskan diri secara
vertikal ke bawah. Semakin panjang ukuran jaring, maka volume perairan
yang dapat dilingkar akan semakin banyak pula. Akibatnya schooling ikan
yang dapat dilingkari juga semakin banyak. Beach seine juga merupakan
jaring yang dioperasikan dengan cara melingkari gerombolan ikan di dekat
pantai dengan menggunakan perahu, kemudian jaring di tarik menuju pantai
oleh nelayan.

Gambar 6.6 Bentuk purse seine saat dioperasikan.

Gambar 6.7 Bentuk beach seine saat dioperasikan.


126

Ikan lumba-lumba (dolphin) yang sering beassosiasi dengan


schooling ikan pelagis seringkali tertangkap dengan purse seine. Keadaan
ini seringkali mengundang reaksi yang keras dari berbagai pihak pemerhati
lingkungan, terutama terkait dengan semakin berkurangnya populasi ikan
lumba-lumba di perairan. Pengoperasian beach seine di wilayah pantai
seringkali menangkap ikan-ikan yang masih juvenil dan merusak ekosistem
padang lamun dan terumbu karang.

7. Drifting longlines

Drifting longline terdiri dari tali utama yang panjang dan mengapung
di atas atau dekat permukaan laut. Sepanjang tali utama tersebut dipasang
sejumlah tali cabang dengan umpan kail. Tali utama dibentangkan
sepanjang 10-80 km pada kedalaman renang ikan yang menjadi target
penangkapan seperti ikan tuna, marlin, swordfish dan hiu.

Gambar 6.8 Bentuk drifting Longline saat dioperasikan.

Penggunaan perikanan longline, teristimewa di Australia bagian timur


telah mengundang banyak perhatian publik, terkait dengan tertangkapnya
ikan lumba-lumba, hiu dan paus. Longline juga dapat membunuh burung
laut seperti albatross, walaupun telah diambil langkah-langkah untuk
mengurangi damapknya di Australia.
127

8. Bottom-set longlining

Alat ini mirip dengan drifting longlines tetapi dioperasikan di dasar


perairan. Alat ini umunnya digunakan untuk menangkap ikan dasar atau
demersal seperti pink ling, hiu dan blue-eye trevala. Metode ini memiliki
dampak terhadap spesies ikan yang habitatnya di laut dalam.

Gambar 6.9 Bentuk bottom-set longlining saat dioperasikan.

9. Droplining

Alat ini terdiri dari beberapa tali bercabang, dimana tiap tali tersebut
berisi hingga 100 tali berambut dengan kail. Droplining digunakan untuk
menangkap ikan seperti blue eyed cod, pink ling hiu dan snapper. Jika
dikelola dengan baik, droplining dapat menjadi salah satu metode
penagkapan ikan yang berkelanjutan. Metode ini dapat menggantikan trawl
di berbagai perairan, untuk menangkap spesies ikan yang habitatnya pada
perairan dalam, dimana tidak mampu mencapai kedalaman tersebut
(Gambar 6.10).

10. Pots and traps

Alat ini merupakan jenis perangkap dan umumnya digunakan untuk


menangkap kepiting dan lobster. Terdapat berbagai tipe perangkap dan
salah satunya adalah bubu. Umumnya berbentuk bundar atau empat
128

persegi panjang, dan ukurannya bervariasi. Terdapat pintu yang didisain


sedemikian rupa sehingga ikan mudah masuk tetapi sulit keluar untuk
meloloskan diri. Alat juga dapat dilengkapi dengan penyaring atau filter
untuk meloloskan ikan kecil. Alat ini dapat dioperasikan langsung dari atas
perahu secara berurutan sekaligus dalam waktu yang sama atau
ditenggelamkan ditenggelamkan ke dasar laut dan diberi pelampung tanda
di permukaan air (Gambar 6.11).

Gambar 6.10 Bentuk droplining saat dioperasikan.

Gambar 6. 11 Pots and trap.


129

By-catch yang diperoleh berupa molusca (seperti cuttlefish dan


octopus), invertebrate lain yang tertarik terhadap umpan, dan ikan juvenil.
By-catch lainnya adalah penyu yang terperangkap ke dalam alat. Tali
pelampung kadang-kadang menjerat spesies ikan paus. Alat tangkap ini
juga dapat merusak ekosistem terumbu karang.

11. Trolling line

Trolling line merupakan jenis pancing. Alat ini umumnya digunakan


secara komersial di Australia untuk menangkap spanish mackerel, coral trut,
yellowtail kingfish and beberapa jenis tuna. Trolling memiliki tali dan pada
setiap tali memiliki satu mata pancing. Beberapa tali bisanya ditarik atau
diseret secara serentak dengan kapal, dan dioperasikan dekat permukaan
atau pada kedalaman tertentu. By-catch yang diperoleh seperti hiu yang
berassosiasi dengan schooling tuna.

Gambar 6.12 Konstruksi trolling line.

12. Squid jigging

Alat ini biasanya dioperasikan pada malan hari dengan


menggunakan cahaya sebagai stimulus untuk menarik perhatian cumi
(squid) yang menjadi tujuan utama penangkapan. Alat dioperasikan dari
samping perahu, karena cumi biasanya berkumpul di area yang terlindung di
130

bawah perahu. Alat ini disetting melalui susunan katrol dan secara otomatis
dapat dinaikan dan diturunkan.

Gambar 6.13 Konstruksi squid jigging.

13. Dive fisheries

Dive fisheries, menggunakan peralatan diving untuk menangkap


biota laut tertentu, seperti teripang, trochus, spiny lobsters tropis atau untuk
kegiatan eksplorasi.

14. Hand line

Alat ini termasuk pancing, yang terdiri dari tali nilon tunggal yang
diletakan pada alat penggulung, dan mata pancing. Mata pancing terbuat
dari baja atau stainless steel. Mata pancing sering dilengkapi dengan bulu-
bulu yang berwarna-warni untuk memikat perhatian ikan. Alat ini digunakan
untuk manangkap berbagai jenis spesies seperti tuna, snapper, jewfish, cod,
131

grouper, hiu dan bahkan ikan umpan seperti yellow-tail scad dan mackerel.
Alat ini sangat selektif, by-catch yang diperoleh relatif sedikit.

Gambar 6.14 Dive fisheries.

Gambar 6.15 Konstruksi hand line.

Metode penangkapan sebagaimana telah diuraikan di atas, memiliki


dampak terhadap kualitas daerah penangkapan, baik dari aspek
sumberdaya maupun aspek habitat. Trawl dan scallop dredge memberi
dampak negatif paling besar (kurang berwawasan lingkungan), sedangkan
metode penangkapan yang paling berwawasan lingkungan adalah pancing
132

cumi (squid jigging), handline dan dive fisheries. Adapun perkiraan dampak
dari berbagai metode penangkapan terhadap sumberdaya dan habitat dapat
dilihat pada Tabel 6.1. Pada tabel disajikan contoh tingkatan (bobot) dari
dampak yang ditimbulkan oleh berbagai metode penangkapan, yang terdiri
atas very high impact, high/moderate impact, moderate impact,
moderate/low impact dan low impact.

Tabel 6.1 Dampak metode penangkapan terhadap kualitas daerah


penangkapan

Dampak terhadap
Alat tangkap
Sumberdaya Habitat
Bottom Trawl 5 5
Scallop dredges 5 5
Drifting gillnets 4 1
Bottom-set gillnets 4 3
Lampara nets 2 1
Purse seine 2 1
Beach seine 2 2
Drifting longlines 4 1
Droplining 3 1
Bottom-set longlining 5 2
Pots and traps 2 2
Trolling 5 1
Squid Jigging 1 1
Dive Fisheries 1 1
Hand line 1 1
Keterangan : 1 = low impact
2 = moderate/low impact
3 = moderate impact
4 = high/moderate impact
5 = very high impact

6.4 Kondisi Sumberdaya dan Perairan Indonesia

Laut yang luas dan sumber daya ikan melimpah, tetapi hasil (nilai
tambah) yang didapatkan oleh pelaku perikanan tangkap, khususnya
nelayan masih jauh dari cukup dan memprihatinkan. Pada akhir 1996, atas
inisiatif Bappenas terbentuklah Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumber
133

Daya Ikan Laut. Oleh komisi tersebut, perairan dan laut Indonesia untuk
pemanfaatan sumber daya perikanan dibagi menjadi sembilan Wilayah
Pengelolaan Perikanan (WPP), yaitu (1) Selat Malaka; (2) Laut Cina
Selatan; (3) Laut Jawa; (4) Laut Flores dan Selat Makassar; (5) Laut Banda;
(6) Laut Arafura; (7) Laut Seram dan Teluk Tomini; (8) Laut Sulawesi dan
Samudera Pasifik; dan (9) Samudera Hindia.
Pembagian WPP ini oleh Komisi Nasional Pengkajian Stok
Sumberdaya Ikan Laut lebih ditujukan untuk memudahkan sistem pendataan
yang selanjutnya digunakan untuk estimasi (pendugaan) stok. Pembagian
WPP ini lebih didasarkan pada daerah tempat ikan hasil tangkapan
didaratkan di pelabuhan. Hal ini memiliki kelemahan, karena data yang
didapat ternyata memiliki bias dan kurang akurat sehingga dapat
menyebabkan kesalahan dalam estimasi. Ini ditambah lagi dengan illegal
fishing oleh nelayan asing dan transaksi hasil tangkapan di tengah laut yang
tentu saja semakin mengacaukan data stok sumber daya ikan tersebut.
Jumlah pelabuhan perikanan masih jauh dari cukup, dan memiliki
kesenjangan yang sangat besar antara kawasan barat dengan kawasan
timur Indonesia.
Ketidakakuratan data terlihat jelas dengan adanya informasi bahwa
WPP Laut Jawa memiliki produksi tuna yang tinggi, padahal tuna tersebut
sebenarnya berasal dari Samudra Hindia dan Samudera Pasifik (utara
Papua). Tuna tersebut seakan-akan berasal dari Laut Jawa karena
didaratkan di Pelabuhan Muara Baru Jakarta, yang termasuk dalam WPP
Laut Jawa.
Di perairan Indonesia terdapat empat spesies utama ikan tuna, yaitu
yellowfin tuna (Thunnus albacora), bigeye tuna (Thunnus obesus), albacore
(Thunnus alalunga), dan southern bluefin tuna (Thunnus maccoyii). Perairan
barat Samudera Pasifik (termasuk di dalamnya perairan utara Papua)
merupakan kawasan yang memiliki kelimpahan ikan tuna tertinggi. Pada
perairan Samudera Hindia (termasuk di dalamnya perairan barat Sumatera,
selatan Jawa, Bali, NTB, dan NTT) juga merupakan perairan dengan
populasi tuna cukup tinggi. Yellowfin tuna, albacore, dan bigeye melakukan
pembesaran (nursery) di perairan Indonesia, tetapi southern bluefin tuna
hanya memijah (spawning) di perairan selatan Jawa.
134

Ikan tuna yang masuk ke perairan Indonesia diperkirakan mencapai


50% dari total populasi yang ada. Pemanfaatan sumber daya perikanan ini
dihadapkan pada beberapa kendala yang cukup serius, di antaranya (1)
sumber daya ikan bersifat tidak terlihat, (2) milik bersama, (3) berisiko tinggi,
dan (4) mudah rusak. Sumber daya ikan tidak tampak secara langsung oleh
mata manusia (invisible), karena habitat ikan dan manusia berbeda. Namun,
perbedaan media (habitat) ini dapat diantisipasi dengan mempelajari tingkah
laku ikan (fish behaviour) yang akan ditangkap serta memperdalam
pemahaman penggunaan alat bantu pendeteksi keberadaan ikan
(echosounder, fish finder, dan sonar).
Perairan yang merupakan habitat ikan adalah milik umum (common
property), perairan tersebut tidak mungkin dikaveling seperti halnya daratan,
sehingga siapapun dapat memanfaatkan sumber daya ikan yang ada. Akan
tetapi, perebutan daerah penangkapan ikan tetap saja terjadi. Oleh karena
itu, diperlukan suatu peraturan dan atau undang-undang untuk
mengatasinya.
Usaha penangkapan ikan merupakan usaha yang berisiko tinggi
(high risk), karena dilakukan di laut dengan kondisi yang sulit dikontrol.
Untuk mengurangi risiko kerja dan agar hasil tangkapan yang diperoleh
sesuai dengan harapan, pengetahuan tentang teknologi penangkapan dan
keselamatan kerja di atas kapal sangat diperlukan.
Komoditas ikan merupakan produk yang cepat rusak (highly
perishable), untuk menjaga agar mutu dapat dipertahankan, pascapanen
perlu mendapatkan perlakuan yang serius. Perlu pertimbangan yang matang
untuk mengantisipasi jarak antara lokasi penangkapan (fishing ground)
dengan tempat pendaratan ikan (TPI) ataupun pelabuhan perikanan.

6.5 Konflik Pemanfaatan Daerah Penangkapan Ikan di Indonesia dan


Upaya Pengendalian

Indonesia mempunyai wilayah perairan sebesar 5,8 juta km2, yang


terdidri dari 0,3 juta km2 laut territorial, 2,8 juta km2 perairan nusantara dan
2,7 km2 zona ekonomi ekslusif. Sekitar 70 % wilayah Indonesia berupa laut
dengan jumlah pulau lebih dari 17.000 dan garis pantai sepanjang 81.000
km. Oleh karena itu sumberdaya pantai dan laut yang dimiliki Indonesia
135

sangat besar baik yang non hayati seperti bahan tambang dan energi
maupun hayati terutama ikan. Potensi sumberdaya ikan laut diiperikirakan
sebesar 6,26 juta ton/tahun yang terdiri dari potensi wilayah peariran
Indonesia sekitar 4,40 juta ton/tahun dan wilayah ZEEI sekitar 1,86 juta
ton/tahun. Hasil pengkajian stok (stock assessment) yang dilakukan oleh
Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan,
Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 2001, potensi SDI di
perairan Indonesia diperkirakan sebesar 6,40 juta ton pertahun, dengan
rincian 5,14 juta ton pertahun berasal dari perairan territorial dan 1,26 juta
ton pertahun berasal dari ZEEI. Mengingat besarnya sumberdaya yang ada
maka pantai dan laut dapat dijadikan sumber pangan dan bahan baku
industri.
Keadaan sumberdaya di suatu kawasan dipengaruhi oleh enam
faktor utama, yaitu pranata-pranata pengelolaan sumberdaya lokal, konteks
sosial budaya, kebijakan negara, variable teknologi, tingkat tekanan pasar
dan tekanan penduduk. Keenam faktor tersebut berpengaruh secara
langsung terhadap keadaan sumberdaya atau yang tidak langsung dengan
diperantarai oleh pranata lokal. Upaya pemerintah yang dilakukan lebih
berorientasi pada pertumbuhan daripada pemerataan yang mengedepankan
partisipasi masyarakat sebagai pelaku utama. Hal ini ternyata terjadi saat
pemerintahan orde baru, bahwa ciri-ciri pembangunan Orde Baru dapat
disimak dari : (1) pola pembanguan yang sentralistik; (2) Negara sangat
dominant terhadap masyarakat; (3) pembangunan yang diterapkan secara
seragam dengan mengabaikan keanekaragaman atau pluralitas masyarakat
dan kebudayaannya; (4) pendekatan yang bersifat mobilisasi lebih
diutamakan daripada partisipasi sosial.
Dalam pemanfaatan sumberadaya perikanan laut, terjadi kompetisi
baik antar nelayan lokal maupun dengan nelayan pendatang (andon).
Kompetisi juga terjadi dalam penggunaan teknologi alat tangkap dan
perebutan sumberdaya ikan di daerah penangkapan (fishing ground). Hal ini
kemudian menjadi potensi konflik yang suatu saat akan mengakibatkan
terjadinya konflik terbuka. Pemanfaatan teknologi penangkapan sangat
tergantung pada kemampuan modal dan ketrampilan nelayan dalam
menggunakaannya. Tidak semua lapisan masyarakat dapat memanfaatkan
teknologi penangkapan modern. Sementara laut sebagai common property
136

resources (sumberdaya milik bersama) tidak memiliki batasan wilayah yang


jelas.dalam kondisi tersebut. Dengan demikian, terjadilah benturan atau
konflik di antara para nelayan yang sangat tergantung secara ekonomis
terhadap laut.
Konflik pada masyarakat nelayan dapat terjadi akibat faktor eksternal
dan internal. Kasus konflik akibat faktor eksternal terjadi akibat terusiknya
kelangsungan usaha masyarakat setempat karena beroperasinya kapal-
kapal besar dari daerah lain sehingga aktivitas keseharian nelayan setempat
menjadi terganggu. Kasus yang diakibatkan faktor internal adalah konflik
penggunaan alat penangkap ikan. Masalah ini yang sering terjadi di banyak
daerah, dimana alat tradisional semakin terlindas oleh nelayan yang
menggunakan alat tangkap yang dimodifikasi dan mempunyai catchability
yang lebih tinggi. Konflik tersebut sering kali melibatkan dua kelompok
nelayan yang berbeda teknologi dalam memperebutkan daerah dan target
penangkapan yang sama.
Konflik antar nelayan disebabkan oleh berbagai faktor. Pertama,
jumlah nelayan dengan beragam alat tangkap serta ukuran kapal telah
meningkat. Kedua, luas wilayah operasi tidak bertambah luas karena
teknologi yang dikuasai tidak berkembang. Ketiga, perairan telah mengalami
kondisi tangkap lebih dan populasi ikan mulai menurun. Keempat, kesalahan
pemahaman atas implikasi dan perumusan Undang-Undang mengenai
otonomi daerah yang mengatur kewenangan pengelolaan wilayah perairan
laut.
Tiga faktor pertama sebagian dapat disebabkan oleh krisis ekonomi
yang telah menimbulkan pergeseran sektor ketenagakerjaan dari
manufaktur ke perikanan tangkap. Sementara over kapitalisasi operasi
perikanan laut dalam pemanfaatan sumberdaya laut bersama, sudah
berkurang potensinya. Sedang faktor keempat berkaitan dengan regulasi
yang mengatur pengelolaan laut sebagai sumber daya bersama.
Dari sisi kepentingan, konflik di wilayah pantai menjadi sangat tinggi
terutama setelah masuknya masyarakat non lokal yang cenderung
memanfaatkan sumberdaya pantai secara intensif baik modal maupun
teknologi dan kurang memperhatikan kepentingan kelompok atau
sektor/subsektor lain terutama masyarakat lokal. Masyarakat lokal justru
seringkali makin tersisihkan karena tidak mampu bersaing.
137

Berdasarkan berbagai kasus konflik yang terjadinya di masyarakat


nelayan, ternyata salah satu penyebabnya adalah karena kondisi
kepemilikan bersama sumberdaya perikanan laut. Dalam hal ini
keikutsertaan bersifat bebas dan terbuka.
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah mengatur
bahwa Pemerintah Propinsi memiliki kewenangan pengelolaan wilayah laut
sejauh 12 mil dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan
kepulauan, sedangkan Pemerintah Kota atau Kabupaten berhak mengelola
sepertiganya atau sejauh 4 mil. Ketentuan itu mencerminkan adanya
pergeseran paradigma pembangunan kelautan (termasuk perikanan) dari
pola sentralistik ke desentralistik. Namun, konflik antar nelayan makin marak
setelah lahirnya Undang-Undang tersebut. Dalam kenyataannya, seringkali
timbul penafsiran yang berbeda-beda baik di kalangan Pemerintah Daerah
maupun nelayan, karena operasionalisasi desentralisasi pengelolaan
wilayah laut belum tergambar secara jelas. Gejala ini terlihat dari adanya
beberapa pemerintah daerah yang mengeluarkan perijinan di bidang
penangkapan ikan yang di luar kewenangannya. Sementara, sebagian
kalangan nelayan menafsirkan otonomi daerah dalam bentuk pengkaplingan
laut, yang berarti suatu komunitas nelayan tertentu berhak atas wilayah laut
tertentu dalam batas kewenangan daerahnya, baik dalam pengertian hak
kepemilikan (property rights) maupun pemanfaatan (economic rights).
Fenomena ini menyulut timbulnya konflik antar nelayan.
Masalah yang mucul dengan adanya pemberian kewenangan
wilayah laut kepada daerah oleh, antara lain :
(1) Tidak sesuai dengan filosofis laut sebagai perekat dan pemersatu
sehingga laut seharusnya tidak boleh dibagi-bagi.
(2) Secara teknis akan sulit, karena titik-titik koordinat dan garis-garis batas
memang dapat digambarkan pada peta, tetapi pada pelaksanaannya (di
laut) tidak mungkin jelas, sehingga dapat menimbulkan kesalahpahaman
yang berakhir dengan konflik;
(3) Pengertian yang benar mengenai batas dan berbagai implikasinya tidak
mudah dipahami, baik oleh masyarakat umum maupun oleh pejabat.
Interprestasi UU No 22 th 1999 masih kurang jelas. Banyak pihak
yang mempertanyakan tentang wilayah otonomi penangkapan ikan,
sementara peraturan pelaksanaan dari UU tersebut belum ada. Dengan
138

demikian, penguasaan wilayah perairan ditafsirkan sebagai bentuk


pengkavlingan laut. Sedang pada tingkat nelayan telah menimbulkan konflik
horisontal yang amat tajam.
Secara umum konflik antar nelayan dapat dikelompokkan menjadi 4
(empat) macam, yaitu : (1) konflik kelas, (2) konflik orientasi, (3) konflik
agraria, dan (4) konflik primordial. Konflik kelas atau disebut juga konflik
vertikal, yakni konflik antara nelayan perikanan industri dengan nelayan
perikanan rakyat. Hal ini biasanya dipicu oleh perbedaan upaya tangkap
(effort), yang dicerminkan oleh ukuran kapal dan penerapan teknologi. Pada
perikanan industri, kapal yang digunakan berukuran lebih besar dan
menerapkan teknologi maju. Sedangkan pada perikanan rakyat, kapalnya
lebih kecil dan teknologi yang diterapkan sederhana. Perbedaan ini
mengakibatkan timbulnya kecemburuan sosial, karena hasil tangkapan
nelayan perikanan industri lebih banyak dibanding perikanan rakyat.
Disamping itu, nelayan perikanan rakyat merasa khawatir hasil
tangkapannya akan semakin menurun karena sumberdaya ikan yang
tersedia ditangkap oleh kapal-kapal berukuran besar.
Konflik orientasi yaitu konflik antara nelayan yang berorientasi pasar
dengan nelayan yang masih terikat nilai-nilai tradisional. Nelayan yang
berorientasi pasar biasanya mengabaikan aspek kelestarian untuk
mendapatkan hasil tangkapan sebanyak-banyaknya. Dalam praktiknya,
nelayan tersebut sering menggunakan alat tangkap yang merusak
sumberdaya ikan dan lingkungannya, misalnya bahan peledak dan bahan
beracun. Di sisi lain, sebagian nelayan sangat peduli terhadap kelestarian
sumberdaya ikan, sehingga mereka menggunakan alat tangkap yang ramah
lingkungan.
Konflik agraria yaitu konflik perebutan penangkapan (fishing ground),
biasanya terjadi antar nelayan yang berbeda domisilinya. Konflik seperti ini
yang sekarang sedang marak, sebagai dampak euforia otonomi daerah.
Sedangkan konflik primordial terjadi sebagai akibat perbedaan identitas atau
sosial budaya, misalnya etnik dan daerah asal. Konflik ini agak kabur
sebagai konflik tersendiri, karena seringkali sebagai selubung dari konflik
lainnya yakni konflik kelas, konflik orientasi maupun konflik agraria.
Konflik nelayan terjadi di antara kelompok nelayan yang
menggunakan semberdaya alam yang sama dengan penggunaan alat
139

tangkap yang sama pula atau di antara para nelayan yang menggunakan
alat tangkap yang berbeda pada daerah penangkapan yang sama. Konflik
seperti demikian ternyata sering terjadi, seperti di perairan utara Jawa
Timur.
Konflik antar kelompok nelayan dalam memperebutkan sumberdaya
perikanan terjadi di beberapa daerah. Pesisir utara Jawa Timur yang
membentang dari Kabupaten Tuban hingga Kabupaten Sirtubondo juga
wilayah pesisir Pulau Madura. Kasus di perairan Bangkalan dimana dua
kelompok nelayan terlibat bentrok fisik akibat berebut daerah penangkapan
ikan . Peristiwa ini terjadi pada tanggal 12 Juli 1995 di perairan
Karangjamuang, Bangkalan utara. Konflik terjadi antara nelayan lokal
dengan nelayan Lamongan. Terjadilah pembakaran perahu-perahu nelayan
Lamongan oleh nelayan Bangkalan, karena menganggap wilayah perairan
tersebut adalah milik mereka sejak turun temurun, melarang nelayan
Lamongan untuk menangkap ikan di perairan mereka. Kasus serupa terjadi
pula di perairan Sidoarjo, dimana bentrok terjadi antara nelayan Pulau
Mandangin Sampang dengan Nelayan Kisik, Pasuruan yang disebabkan
perebutan lokasi penangkapan udang.
Kasus penggunaan alat tangkap terjadi di Perairan Probolinggo,
Pausuran dan Lamongan. Di Probolinggo, nelayan asal Kalibuntu, Kraksan
terlibat bentrok dengan nelayan Pulau Gili Ketapang yang disebabkan
penggunaan alat tangkap mini trawl untuk menangkap ikan. Sementara di
Pasuruan, bentrokan terjadi antara nelayan Kecamatan Lekok dengan
nelayan Kisik, Kalirejo Kecamatan Kraton dengan kasus yang sama.
Ratusan nelayan di Lamongan menghancurkan fasilitas publik, karena
menganggap Pemda Lamongan tidak segera melarang nelayan yang
menggunakan alat tangkap mini trawl yang telah berlangsung sudah lama.
Mereka beranggapan bahwa pengoperasian trawl telah merusak ekosistem
laut.
Konflik antar nelayan di perairan utara Jawa Timur sebenarnya telah
berlangsung lama, sejak tahun 70-an. Kejadian di Muncar misalnya, berawal
dari kalahnya nelayan tradisional bersaing terhadap nelayan purse seine.
Pertikaian akibat kecemburuan ini berlangsung hingga tahun 80-an. Namun
sejak tahun 90-an keadaan konflik bergeser tidak hanya antara nelayan
140

tradisional dengan nelayan modern seperti kejadian pembakaran purse


seine di Masalembu dan Sumenep, tetapi juga antar nelayan tradisional.
Pemanfaatan potensi sumberdaya ikan yang besar di perairan
Indonesia menganut asas kehatian-hatian (precautionary approach). Hal ini
terlihat dari kebijakan pemerintah yang menetapkan JTB (Jumlah
Tangkapan yang Diperbolehkan) yang berasal dari perairan territorial,
perairan wilayah, dan perairan ZEEI. Potensi dan JTB di atas dimungkinkan
mengalami perubahan ke arah yang positif, yakni terjadi kenaikan. Asumsi
bahwa potensi SDI di perairan Indonesia sebesar 6,40 juta ton pertahun dan
JTB sebesar 5,12 juta ton pertahun, maka produktifitas nelayan di Indonesia
diperkirakan rata-rata sebesar 1,35 ton/orang/tahun atau ekivalen 6,63
kg/orang/hari (lama melaut 200 hari dalam 1 tahun). Rendahnya
produktifitas nelayan menyebabkan persaingan untuk mendapatkan hasil
tangkapan semakin lama akan semakin ketat, karena rezim pengelolaan
sumberdaya ikan bersifat terbuka (open access).
Kondisi di atas dimungkinkan merupakan salah satu penyebab
nelayan di negara kita rentan terhadap konflik. Untuk itu perlu dilakukan
langkah-langkah strategis dan komprehensif untuk mengatasi masalah ini,
terutama guna melindungi nelayan perikanan rakyat yang merupakan
bagian terbesar dari seluruh nelayan dan tingkat kesejahteraannya masih
rendah.
Pada tahun 2001 produksi ikan Indonesia dari hasil penangkapan di
laut mencapai 4,069 juta ton, dengan tingkat pemanfaatan telah mencapai
63,49% dari potensi lestari sebesar 6,409 juta ton/tahun atau 79,37% dari
JTB sebesar 5,127 juta juta ton/tahun. Pemanfaatan tersebut tidak merata
untuk setiap Wilayah Pengelolaan Perikanan, karena di beberapa wilayah
pengelolaan telah terjadi overfishing seperti di Laut Jawa dan Selat Sunda.
Terjadinya over fishing telah mendorong nelayan yang biasa menangkap
ikan di perairan tertentu terpaksa melakukan penangkapan ikan di daerah
penangkapan (fishing ground) lain yang masih potensial. Apabila tidak
diantisipasi, hal ini dapat menjadi faktor pendorong timbulnya konflik antara
nelayan pendatang dengan nelayan lokal, sebagaimana sering ditemukan
di berbagai wilayah perairan Indonesia.
Sumberdaya kawasan pesisir dan laut termasuk obyek strategis yang
menjadi ajang perebutan kepentingan. Konflik diperkirakan masih akan terus
141

berlangsung. Secara struktural, nelayan di Indonesia rentan terhadap


konflik, sehingga perlu ditempuh langkah-langkah untuk mengantisipasi agar
konflik antar nelayan dapat dihindari. Berbagai sumbangan pemikiran yang
ada masih perlu didiskusikan lebih lanjut, dengan harapan diperoleh solusi
yang lebih tepat dan dapat menjadi masukan bagi para pengambil kebijakan
dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan.
Sebagian besar nelayan di Indonesia, baik nelayan perikanan
industri maupun nelayan perikanan rakyat masih mengutamakan rente
ekonomi dalam memanfaatkan sumberdaya ikan. Hal ini mendorong
nelayan untuk menangkap ikan sebanyak-banyaknya dan mengabaikan
aspek-aspek kelestarian, meskipun di beberapa daerah berlaku kearifan-
kearifan lokal (local wisdom), pengetahuan lokal dan hukum-hukum adat.
Dampak dari padanya, prinsip-prinsip kanibalisme sering terjadi di laut dan
konflik antar nelayan tidak dapat dihindari. Untuk itu, pembangunan
perikanan tangkap harus mampu merubah orientasi nelayan ke arah yang
lebih arif dan bijak dalam memanfaatkan sumberdaya ikan, guna menjaga
kelestarian dan menghindari konflik.
Jumlah nelayan kategori miskin pada akhir tahun 2000 diperkirakan
mencapai 23.327.228 nelayan. Sumber lain menyebutkan 85% penduduk di
wilayah pantai yang subur dan produktif masih miskin, terutama di wilayah
pantai yang tingkat aksesibilitasnya sangat rendah. Sekitar 60% penduduk
tinggal dan menggantungkan hidupnya di wilayah pantai dan laut. Lebih dari
90% produksi ikan dihasilkan di daerah perairan pantai oleh nelayan tanpa
perahu, perahu motor dan perahu motor tempel. Tingkat pendidikan nelayan
juga masih rendah bahkan sebagian tidak berpendidikan, penghasilan tidak
menentu, tanpa jaminan kesehatan dan hari tua, tinggal di rumah yang
kurang layak dan sebagainya. Disisi lain, mereka pada umumnya konsumtif
dan tidak mempunyai budaya menabung. Masyarakat dengan kondisi sosial
ekonomi yang demikian, biasanya emosional, nekat dan mudah dipengaruhi.
Permasalahan kecil yang timbul di antara mereka dapat menyebabkan
terjadinya pembunuhan. Oleh karena itu mereka sangat rentan terhadap
konflik, meskipun penyebabnya seringkali masalah sepele.
Salah satu pemicu timbulnya konflik antar nelayan adalah kondisi
sosial, budaya, ekonomi dan motivasi atau perilaku yang ada pada
masyarakat nelayan. Dengan memperhatikan aspek sosial-budaya dan
142

ekonomi masyarakat nelayan, pemikiran-pemikiran mengatasi konlik


perebutan sumberdaya ikan tidak mudah dilaksanakan. Prinsip yang harus
dikembangkan untuk menghindari konflik adalah strategi pemanfataan
sumberdaya harus mempertimbangkan pendekatan yang menyeluruh, yang
harus memperhatikan interaksi positif antara kepentingan ekonomi dan
lingkungan. Untuk menghindari konflik, maka perlu dilakukan upaya-upaya
yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan nelayan dan perubahan
motivasi atau perilaku ke arah yang lebih positif. Upaya tersebut antara lain
dapat dilakukan melalui kegiatan pemberdayaan (empowerment).
Diharapkan dengan kegiatan pemberdayaan yang dilakukan secara intensif
dan berkesinambungan maka konflik antar nelayan dapat dihindari.
Untuk menghindari konflik di wilayah perairan yang telah mengalami
padat tangkap bahkan menunjukkan gejala over fishing, perlu dilakukan
pemindahan (relokasi) armada dari daerah tersebut ke perairan lain yang
masih surplus tingkat pemanfaatan sumberdaya ikannya. Upaya realokasi
ini diharapkan akan dapat mewujudkan keseimbangan tingkat pemanfaatan
di perairan Indonesia, menjaga kelestarian sumberdaya ikan, disamping
menghindari konflik perebutan daerah penangkapan ikan.
Sumberdaya ikan dapat mengalami degradasi bahkan pemusnahan
apabila dieksploitasi secara tidak terkendali, meskipun sumberdaya ikan
merupakan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources). Fenomena
ini menimbulkan kekhawatiran sebagian nelayan akan hilangnya mata
pencaharian mereka, sehingga memunculkan konflik dengan nelayan yang
kurang peduli terhadap kelestarian sumberdaya ikan.
Penerapan manajemen perikanan yang berkelanjutan dan berbasis
masyarakat adalah keharusan, agar pemanfaatan sumberdaya ikan dapat
dilakukan secara terus menerus dari generasi ke generasi. Pelibatan
masyarakat secara penuh dalam pemanfaatan sumberdaya ikan
(perencanaan, pelaksanaan sampai pengawasan termasuk rehabilitasi dan
konservasi) dimaksudkan agar seluruh stakeholders merasa memiliki dan
bertanggung jawab terhadap kelestarian sumberdaya ikan.
Upaya lain yang dapat dilakukan untuk menghindari konflik antar
nelayan adalah pengembangan usaha alternatif, misalnya di bidang
budidaya ikan, pengolahan ikan, perbengkelan dan sebagainya. Dengan
adanya usaha alternatif diharapkan nelayan akan memperoleh penghasilan
143

tambahan, sehingga ketergantungan terhadap hasil tangkapan ikan dapat


dikurangi dan keinginan nelayan untuk menangkap ikan sebanyak-
banyaknya juga dapat ditekan. Upaya tersebut juga dapat sekaligus
mengurangi jumlah nelayan kerena beralih profesi ke usaha alternatif yang
lebih prospektif. Berkurangnya jumlah nelayan di daerah-daerah yang padat,
seperti Pantai Utara Jawa dan Pantai Timur Sumatera juga merupakan
solusi untuk menghindari konflik.
Usaha penangkapan ikan pada umumnya lebih berorentasi pada
jumlah (volume) hasil tangkapan, dibanding nilai (value) hasil tangkapan.
Hal ini menyebabkan terjadinya inefisiensi (pemborosan) dalam
pemanfaatan sumberdaya ikan dan dapat menjadi pemicu timbulnya
degradasi sumberdaya yang bermuara kepada konflik. Salah satu upaya
yang dapat ditempuh untuk mengatasi masalah tersebut adalah
meningkatkan nilai tambah melalui pembinaan mutu. Dengan meningkatnya
mutu diharapkan harga jual ikan akan mengalami kenaikan dan pada
gilirannya akan merubah orientasi nelayan yang hanya sekedar mengejar
jumlah hasil tangkapan.
Pemerintah melalui Kepmentan No. 607 Tahun 1975 jo No. 392
Tahun 1999 tentang Jalur-Jalur Penangkapan Ikan telah berupaya agar
konflik antar nelayan dapat dihindari. Dengan lemahnya pengawasan dan
penegakan hukum, maka KepMen tersebut justru memicu timbulnya konflik.
Oleh karena itu, penegakan hukum yang konsisten juga merupakan upaya
yang harus ditempuh untuk mengendalikan konflik. Penegakkan aturan
hukum terkait dengan penggunaan teknologi penangkapan yang merusak
lingkungan, yang akhirnya dapat menyebabkan kecemburuan sosial dan
meningkatkan kesenjangan pendapatan diantara kelompok nelayan juga
harus dilakukan. Penegakan hukum ini harus dibarengi dengan pengawasan
yang ketat, bilamana terjadi pelanggaran peraturan harus ditindak tegas,
tentunya aturan hukum yang berkaitan dengan permasalahan ini harus jelas
terlebih dulu, agar tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda.
144

DAFTAR PUSTAKA
Australian Marine Conservation Society, 2008. Fishing gear in focus. The
Myer Foundation (www.amcs.org.au)

Fisheries Global Information System (www.fao.org.au) Australian Fisheries


Resources (Australian Bureau of Rural Sciences)

Shaughnessy. P.D. (1999) The Action Plan for Australian Seals,


Environment Australia, April 1999.

Bone, C. (1998) Preliminary investigation into Leatherback turtle


(Dermochelys coriacea) distribution, abundance and interactions with
fisheries in Tasmanian waters. Final report to (project no. SOMS97-
06) Environment Australia, Parks and Wildlife Service, Tasmania
September 1998.

Third International Lobster Congress, September (1999) Hall presented on


“Ecosystem protection and lobster fishing: reconciling radical and
reactionary perspectives.” Hall commented on the role of lobsters as
keystone predators.
New Zealand Seafood Industry webpage
(http://www.seafood.co.nz/business/fishaqua/catch/squidjig.asp)

Great Barrier Reef Marine Park Authority – Representative Areas Program –


Background and History
(http://www.reefed.edu.au/rap/overview/intro/divefish.html)

Australian Fisheries Management Authority – Southern Squid Jig Fishery:


Seal Interaction Project
(http://www.afma.gov.au/services/research/reports/r02_0170.pdf)
145

BAB VII
DAMPAK GLOBAL WARMING DAN CLIMATE CHANGE
TERHADAP PENYEBARAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN

7.1 Pendahuluan

Salah isu lingkungan terpenting dewasa ini adalah terjadinya


perubahan iklim global (global climate change) dan perubahan lingkungan
atau ekosistem (global environmental change) yang diakibatkan oleh
terjadinya pemanasan global (global warming). Perubahan iklim yang
diakibatkan kecenderungan suhu udara di bumi yang semakin meningkat
telah menjadi isu global. Pemanasan suhu bumi dapat terjadi secara
alamiah maupun akibat kemajuan industrialisasi yang semakin pesat,
sehingga menghasilkan gas-gas seperti karbondioksida, methane, nitrogen
oksida, dan kloroflourokarbon. Dengan meningkatnya konsentrasi gas-gas
tersebut di atmosfer bumi, maka penyerapan energi matahari dan refleksi
panas matahari menjadi semakin tinggi, dan pada akhirnya meningkatkan
suhu udara di bumi dan memicu terjadinya perubahan iklim. Perubahan iklim
berpengaruh pada seluruh sistem di bumi yang meliputi ekosistem, struktur
komunitas dan populasi, serta distribusi organisme. Indikasi perubahan iklim
mulai nampak dengan bergesernya periode musim dari waktu yang
biasanya. Perubahan iklim berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan
manusia dan lingkungannya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Selama 50 tahun terakhir, suhu atmosfir dan konsentrasi
karbondioksida terus meningkat, dan secara langsung kondisi ini juga
menaikkan suhu air laut. Kandungan karbondioksida pada tahun 1958
sejumlah 315 ppm meningkat menjadi lebih dari 350 ppm di tahun 1988
diikuti dengan sedikit kenaikan kandungan gas metan dan nitrogen.
Kemampuan menangkap dan menghambat panas dari jenis gas tersebut
tidak dapat dihindarkan, sehingga membentuk greenhouse effect (Levinto,
2001). Akibatnya, suhu atmosfir akan meningkat secara global (global
warming) yang akhirnya berdampak buruk bagi organisme, termasuk bagi
beberapa organisma laut yang tidak mampu bertahan pada perubahan
suhu ekstrim tersebut. Sebagai contoh, coral akan mengalami bleaching
pada perairan yang suhunya meningkat sekitar 1-3oC dari suhu normalnya
146

28oC (Smith 1992). Kondisi ini berpotensi untuk memaksa organisme


melakukan migrasi untuk mencari lingkungan yang sesuai dengan kondisi
fisiologisnya. Hal ini berarti bahwa global warming berpotensi untuk
mengurangi organisme hidup, baik jumlah maupun kualitasnya
sebagaimana dikawatirkan oleh para ilmuwan.
Dampak perubahan iklim dan pemanasan global terhadap potensi
perikanan dan kelautan Indonesia sangat kompleks. Dampak yang
ditimbulkan bisa saja terjadi, baik secara langsung maupun tidak langsung,
dalam jangka waktu pendek menengah ataupun jangka panjang. Indonesia
sebagai negara kepulauan memiliki garis pantai yang luas dan potensi
perikanan dan kelautan yang cukup besar. Di lain pihak, posisi geografis
yang berada di antara dua samudera dan dua benua serta terletak di
ekuator akan menyebabkan kawasan Indonesia lebih dinamis akibat
perubahan iklim dan pemanasan global. Kondisi dinamis ini tentu saja akan
berpengaruh secara signifikan terhadap keberadaan sumberdaya ikan (SDI)
dan daerah penangkapan ikan yang merupakan lahan penting bagi
sebagian besar penduduk yang bermukim di pesisir. Oleh karena itu,
Indonesia harus mampu mengungkap fenomena perubahan iklim dan
pemanasan global, serta dampaknya. Kemampuan itu sangat diperlukan
agar dapat menyiapkan langkah-langkah mitigasi, antisipasi, dan adaptasi
untuk mengurangi dampak negatif pemanasan global dan perubahan iklim
tersebut.

7.2 Global Warming

Pemanasan global atau global warming bermula dari revolusi industri


pada akhir abad ke-18. Revolusi industri adalah perubahan pola produksi
yang dulu menggunakan tenaga manusia berubah menjadi mesin dan
teknologi (industri). Tujuan dari revolusi industri adalah untuk mencapai
keuntungan yang lebih besar, karena penggunaan mesin dianggap lebih
efisien daripada menggunakan tenaga manusia. Sejak saat itu juga bahan
bakar fosil mulai digunakan secara intensif. Namun demikian, kemajuan
yang diimpikan melalui revolusi industri, ternyata menimbulkan masalah
baru, karena setiap mesin yang digunakan akan menghasilkan gas buangan
147

dari hasil pembakaran yang menimbulkan polusi (emisi gas rumah kaca atau
emisi GRK).
Efek gas rumah kaca (GRK) selanjutnya memberi kontribusi penting
terhadap pemanasan global. Selama ini mungkin banyak salah persepsi
mengenai efek rumah kaca, yang beranggapan bahwa efek rumah kaca
disebabkan oleh bangunan yang menggunakan banyak kaca, sehingga
cahaya matahari terpantul dan melubangi atmosfer. Efek rumah kaca berarti
efek yang ditimbulkan oleh rumah kaca. Sebenarnya rumah kaca
dimanfaatkan oleh petani untuk menanam jenis tanaman yang
membutuhkan panas lebih atau menanam pada musim dingin, karena kaca
dapat meneruskan cahaya (panas), dan mengurung panas tersebut dalam
rumah kaca, sehingga panas didalamnya dapat dikendalikan. Dalam hal
pemanasan global, bumi dianalogikan dengan rumah kaca dan kacanya
adalah GRK. Gambaran efek rumah kaca dan proses terjadinya global
warming dapat dilihat pada Gambar 7.1 dan Gambar 7.2.

Gambar 7.1 Efek rumah kaca (Harijono 2006).


148

Gambar 7.2 Proses terjadinya global warming (Harijono 2006).

GRK adalah gas-gas yang dapat memerangkap dan menyerap


panas. Macam-macam GRK (Herwin 2008) adalah :
(1) Uap air, karena dengan semakin meningkatnya suhu bumi, maka air
(laut, danau, dan lain-lain) akan semakin banyak yang menguap dan
menambah jumlah uap air di atmosfer, dengan kondisi demikian suhu
bumi pun akan semakin meningkat, karena uap air juga merupakan
GRK,
(2) Karbondioksida (CO2) adalah faktor kedua terbesar penyebab
pemanasan global, tetapi inilah faktor yang paling mungkin untuk kita
dikendalikan dalam rangka mengurangi pemanasan global, karena
sebagian besar gas CO2 diproduksi dari pembakaran dan industri,
berbeda dengan uap air yang menguap dengan sendirinya.
(3) Metan (CH4), merupakan insulator (zat penyerap, tidak menghantarkan,
isolator) yang efektif, mampu menangkap panas 20 kali lebih banyak bila
dibandingkan CO2. Metan dilepaskan selama produksi (penambangan,
pengeboran) dan transportasi (pengolahan) batu bara, gas alam dan
minyak bumi. Gas ini efeknya lebih parah dari CO2, tetapi jumlahnya jauh
lebih sedikit dibanding CO2, sehingga dampaknya tidak sebesar CO2.
149

(4) Nitrogen oksida (N2O), adalah gas insulator panas yang sangat kuat,
terutama dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil dan lahan. Gas
menangkap panas 300 kali lebih besar dari CO2.
(5) Cloroflourocarbon (CFC) dihasilkan oleh pendingin-pendingin yang
menggunakan freon, seperti kulkas dan AC. CFC mampu menahan
panas dan mengurangi lapisan ozon, yang berguna untuk menahan
sinar UV masuk ke dalam bumi.
Beberapa sumber pemanasan global (Herwin 2008) di antaranya
adalah :
(1) Gas buangan industri dan penggunaan bahan bakar fosil.
(2) Penebangan hutan yang menyebabkan penyerapan CO2 oleh tumbuhan
berkurang, karena CO2 adalah bahan baku dalam proses fotosintesis.
Pemicu yang utama adalah illegal logging, pabrik kertas, furniture
berbahan dasar kayu, ekspor kayu.
(3) Kebakaran hutan, selain memiliki dampak yang sama dengan
penebangan hutan, pembakaran hutan juga melepaskan CO2 hasil
pembakaran. Pemicunya adalah pembukaan lahan baru, dan
pembukaan lahan pertanian.
(4) Pemakaian energi berlebihan, karena pembangkit listrik menggunakan
bahan bakar untuk menjalankan motornya (diesel), di mana pembangkit
listrik membuang energi dua kali lipat dari energi yang dihasilkan.
Akibat yang dapat ditimbulkan dari pemanasan global adalah:
(1) Pemanasan global menyebabkan perubahan iklim bumi, di mana
tumbuhan yang tidak dapat beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi
akan mengalami kepunahan, sehingga menyebabkan rantai makanan
menjadi terganggu, yang berakibat pada hewan yang mengkonsumsi
tumbuhan tersebut akan mengalami kepunahan pula, yang pada
akhirnya berdampak terhadap manusia sebagai konsumen tertinggi.
(2) Pemanasan global akan menyebabkan proses mutasi pada virus. Hal ini
berakibat virus semakin bervariasi dan semakin ganas karena virus
semakin agresif dalam suhu tinggi, dan nyamuk semakin berkembang
biak pada suhu tinggi. Hal ini akan menimbulkan banyak penyakit baru
yang dapat menyebabkan peningkatan kematian.
150

(3) Pemakaian zat-zat yang merusak ozon (O3) menyebabkan sinar


matahari (ultraviolet) dengan intensitas tinggi langsung masuk ke bumi,
sehingga menyebabkan kanker kulit.
(4) Pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim, mengakibatkan
La Nina (peningkatan curah hujan), El Nino (kemarau berkepanjangan),
yang pada akhirnya menimbulkan banjir dan kekeringan. Dalam hal ini
musim juga tidak dapat diramalkan dan berakibat pada kegagalan panen
serta menyebabkan krisis air dan pangan.

7.3 Climate Change

Ketika bumi menerima panas dari matahari, secara alami sebagian


panas akan terperangkap di atmosfer akibat adanya beberapa gas.
Terperangkapnya panas oleh gas-gas di atmosfer dikenal dengan efek
rumah kaca. Sebenarnya efek rumah kaca diperlukan agar permukaan bumi
cukup hangat untuk didiami. Sayangnya, aktivitas manusia membuat
konsentrasi gas-gas penyerap panas semakin tinggi dan menyebabkan
suhu permukaan bumi semakin panas sehingga terjadilah perubahan iklim.
Gas-gas rumah kaca yang meningkat ini menimbulkan efek
pemantulan dan penyerapan terhadap gelombang panjang yang bersifat
panas (inframerah) yang diemisikan oleh permukaan bumi kembali ke
permukaan bumi. Efek rumah kaca menyebabkan terjadinya akumulasi
panas (energi) di atmosfer bumi. Dengan adanya akumulasi yang
berlebihan, iklim global akan melakukan penyesuaian. Penyesuaian yang
dimaksud salah satunya adalah dengan peningkatan temperatur bumi
(pemanasan global) yang berakibat berubahnya iklim regional, seperti pola
curah hujan, penguapan, pembentukan awan, yang disebut perubahan iklim
atau climate change (Susandi 2008).
Pengamatan temperatur global sejak abad 19 menunjukkan adanya
perubahan rata-rata temperatur yang menjadi indikator adanya perubahan
iklim. Perubahan temperatur global ini ditunjukkan dengan naiknya rata-rata
temperatur hingga 0,74oC antara tahun 1906 hingga tahun 2005.
Temperatur rata-rata global ini diproyeksikan akan terus meningkat sekitar
1,8-4,0oC di abad sekarang ini, dan bahkan menurut kajian lain dalam
151

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) diproyeksikan berkisar


antara 1,1-6,4oC (Susandi 2008).
Dengan terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim, maka
temperatur atmosfer diperkirakan akan meningkat 1,5–4,5oC pada tahun
2100. Dampak yang diperkirakan muncul pada kondisi tersebut adalah :
(1) Musnahnya berbagai jenis keanekaragaman hayati.
(2) Meningkatnya frekuensi dan intensitas hujan, badai, angin topan, dan
banjir.
(3) Mencairnya es dan glasier di kutub.
(4) Meningkatnya jumlah tanah kering yang potensial menjadi gurun karena
kekeringan yang berkepanjangan.
(5) Kenaikan paras laut diperkirakan hingga 15-95 cm, dan menyebabkan
banjir yang luas.
(6) Kenaikan suhu air laut menyebabkan terjadinya pemutihan karang (coral
bleaching) dan kerusakan terumbu karang di seluruh dunia.
(7) Meningkatnya frekuensi kebakaran hutan.
(8) Menyebarnya penyakit-penyakit tropis, seperti malaria, ke daerah -
daerah baru karena bertambahnya populasi serangga (nyamuk).
(9) Daerah-daerah tertentu menjadi padat dan sesak karena terjadi arus
pengungsian.

7.4 Posisi Strategis Indonesia

Perubahan iklim global (global warning dan climate change)


memberikan dampak yang cukup parah bagi Indonesia karena kompleksitas
posisi geografis Indonesia. Kompleksitas posisi Indonesia tersebut menurut
Harijono (2007) adalah: (1) posisi Indonesia yang berada diantara dua
benua (Australia dan Asia), (2) berada diantara dua samudera (Hindia dan
Pasifik), (3) berada di garis ekuator, (4) memiliki pulau yang membujur
(misal Pulau Jawa) dan pulau yang melintang (misal Pulau Sulawesi), (5)
Indonesia memiliki pulau-pulau kecil, (6) memiliki selat dan teluk, dan (7)
memiliki topografi pegunungan.
Posisi Indonesia yang berada antara dua benua dan dua samudera,
terletak di ekuator, negara kepulauan dengan 81.000 km garis pantai
dengan dua pertiga lautan, merupakan kawasan paling dinamis dan
152

memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sektor kelautan, serta


menyebabkan setiap saat ada musim-musim yang saling berlawanan dan
bersifat ekstrem, di mana satu wilayah terjadi kekeringan dan kekurangan
air, dan di wilayah lain terjadi banjir.
Indonesia yang terdiri dari rangkaian kepulauan juga menguntungkan
bagi Indonesia. Jika rangkaian kepulauan dari Sumatera sampai Papua
tidak ada, maka Samudera Pasifik dan Hindia akan bergabung. Dinamika
perairan laut Indonesia merupakan dinamika massa air samudera di dunia
yang memberikan dampak terhadap variabilitas iklim global sehingga
memberikan peluang penting bagi Indonesia untuk berperan dalam
pengendalian iklim global.
Perairan Indonesia merupakan perairan di mana terjadi lintasan arus
yang membawa massa air dari Lautan Pasifik ke Lautan Hindia yang
biasanya disebut Arus Lintas Indonesia atau Arlindo. Arlindo ini merupakan
suatu sistem arus yang menghubungkan Samudera Pasifik dengan
Samudera Hindia. Fieux et al (1996) diacu dalam Bernawis (2005)
menyatakan bahwa jalur Arlindo dimulai dari perairan antara Mindanao dan
Halmahera, mengalir masuk melalui Selat Makassar sebagai jalur
utamanya. Setelahnya arlindo meninggalkan perairan Indonesia melalui
Selat Lombok dan sebagian besar lainnya berbelok melalui Laut Flores, Laut
Banda dan memasuki Samudera Hindia. Indonesia ibarat sebagai sebuah
kanal yang menghubungkan dua samudera, di mana stratifikasi suhu dan
salinitasnya mengalami modifikasi secara signifikan karena pasang surut,
percampuran oleh angin dan karena aliran laut udara. Berbagai massa air
dari Pasifik yang menjadi arlindo terubah, sehingga profil suhu dan
salinitasnya yang memasuki Hindia sangat berbeda dengan sumber asalnya
di Pasifik.
Ketiadaan Arlindo akan meningkatkan paras laut di Samudera Pasifik
dan menurunkannya di Samudera Hindia setinggi 2-10 cm. Perubahan
dalam bilangan sentimeter dalam skala samudera akan berpengaruh sangat
besar pada sirkulasi lautan dan keadaannya secara keseluruhan, yang
berimplikasi pada perubahan drastis pada sistem iklim regional.
Indonesia memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia
(megabiodiversity). Tingginya keanekaragaman hayati tersebut bukan hanya
disebabkan oleh letak geografis yang sangat strategis melainkan juga
153

dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti variasi iklim musiman, arus atau
massa air laut yang mempengaruhi massa air dari dua samudera, serta
keragaman tipe habitat dan ekosistem yang terdapat di dalamnya (DKP
2006).
Posisi geografis Indonesia menyebabkan adanya musim-musim yang
saling berlawanan dan bersifat ekstrem pada setiap saat di dalam wilayah
tertentu. Kekeringan dan kekurangan air terjadi di satu wilayah tertentu,
akan tetapi terjadi banjir di wilayah lain. Musibah angin kencang dan
gelombang pasang bisa terjadi setiap waktu dan sulit diprediksi jauh-jauh
sebelumnya. Kondisi cuaca atau iklim ekstrem muncul apabila terjadi
penyimpangan (anomali) kondisi udara karena unsur-unsur cuacanya
(misalnya suhu, tekanan, kelembaban, angin, dan curah hujan) berindikasi
menyimpang dari rata-ratanya.
Posisi Indonesia di garis equatorial dan menjadi wilayah konvergensi
massa air memberikan keuntungan klimatologis yang tidak dimiliki oleh
negara lain. Implikasi meteorologis sifat iklim tersebut, kawasan Indonesia
barat mendapatkan jumlah curah hujan lebih tinggi dibandingkan dengan
kawasan Indonesia timur, karena menjadi salah satu wilayah konvergensi
massa air dari laut Jawa dan Samudera Pasifik. Fisiografis wilayah juga
turut memberikan dampak yang tidak kecil terhadap karakteristik iklim suatu
wilayah.

7.5 Dampak Global Warming dan Climate Change terhadap Penyebaran


Daerah Penangkapan Ikan

Secara umum, perikanan dapat dikategorikan dalam perikanan


rakyat, perikanan komersil dan perikanan rekreasi, dan ketiga kategori
perikanan ini sangat rentan terhadap perubahan iklim. Dampak negatif dari
perubahan iklim merupakan isu penting, karena sangat terkait dengan
kondisi SDI dan daerah penangkapan yang menjadi sumber kegiatan
ekonomi dan lahan usaha bagi sebagian besar masyarakat pesisir. Dengan
demikian, kondisi tersebut akan mempengaruhi kondisi sosial dan ekonomi
masyarakat. Jika perubahan terjadi pada stok perikanan, maka sumber
protein dari laut akan semakin berkurang, dan akan sangat berpengaruh
154

pada situasi ketahanan pangan nasional, terutama untuk pemenuhan gizi


masyarakat.
Belum banyak riset tentang dampak perubahan iklim global terhadap
perikanan, termasuk kaitannya dengan kondisi daerah penangkapan.
Banyak para ilmuwan menduga bahwa menurunnya stok adalah akibat dari
lebih tangkap (overfishing), padahal bisa saja terjadi karena migrasi jenis
ikan akibat perubahan iklim. Diperkirakan beberapa lokasi di daerah
temperate akan menjadi lokasi ruaya tetap dari ikan-ikan yang biasanya
hidup di wilayah tropis. Akibat dari kejadian ini, maka stok perikanan akan
menurun, namun di lain pihak pola migrasi tetap ini sekaligus juga akan
menurunkan tingkat keanekaragaman biota laut dari tropis ke temperate.
Indonesia selayaknya waspada karena kondisi ini dapat saja terjadi, dengan
demikian Indonesia dapat kehilangan status sebagai negara maritim dengan
mega-biodiversity laut.
Perubahan iklim global akan mempengaruhi setidaknya tiga unsur
iklim dan komponen alam (Las 2007), yaitu:
(1) naiknya suhu udara yang juga berdampak terhadap unsur iklim lain,
terutama kelembaban dan dinamika atmosfer,
(2) berubahnya pola curah hujan dan semakin meningkatnya intensitas
kejadian iklim ekstrim (anomali iklim) seperti El Nino dan La Nina, dan
(3) naiknya paras laut akibat pencairan gunung es di kutub utara.
Naiknya suhu udara di bumi akibat pemanasan global, berdampak
pada meningkatnya suhu air, dan secara tidak langsung menambah volume
air di samudera. Implikasinya adalah semakin tingginya paras laut (sea
level). Dalam 10 tahun terakhir paras laut meningkat setinggi 0,1-0,3 m,
sedangkan lewat model prediksi diperkirakan ada perubahan paras laut
antara 0,3-0,5 m, dan kemungkinan menutupi area seluas 1 juta km2
(Syahailatua 2008). Jika hal ini terus menerus terjadi, maka hutan mangrove
yang sangat potensial sebagai spawning area berbagai spesies ikan tertentu
akan semakin berkurang luasnya. Menurunnya luasan hutan mangrove akan
berpengaruh terhadap :
(1) Tingkat produktifitas perairan semakin menurun.
(2) Kelangsungan hidup (survival rate) daripada biota laut, termasuk ikan
yang berasosiasi dengan ekosistem pesisir akan menurun akibat
meningkatnya salinitas perairan.
155

(3) Daerah penangkapan potensial akan semakin berkurang.


Selanjutnya Syahailatua (2008) menyatakan bahwa naiknya paras laut akan
mempengaruhi formasi North Atlantic deep water (NADW) yang akan sangat
berpengaruh langsung pada sirkulasi global air laut.
Meningkatnya stratifikasi air laut di Samudera Pasifik akan
meningkatkan frekuensi kejadian El Nino Southern Oscillation (ENSO) dan
variasi iklim lebih ekstrem (Syahailatua 2008). ENSO merupakan fenomena
alam dengan dampak global terhadap iklim dunia. Sekitar setengah dar
populasi dunia menderita ketika timbul fenomena ini. Kejadian berdampak
negatif ini muncul ketika fenomena El-Nino yang berlangsung, yang terjadi
ketika Southern Oscillation Index (SOI) bernilai negatif (Quinn 1974 diacu
dalam Pariworo 1996).
El-Nino pada awalnya merupakan fenomena alam lokal di perairan
lepas pantai Amerika Latin di Samudera Pasifik, di mana jika muncul
menyebabkan suhu perairan laut menghangat sekitar bulan Desember.
Fenomena southern oscillation adalah suatu siklus tekanan udara
permukaan laut dengan tekanan udara tinggi di Samudera Pasifik Selatan
(diwakili oleh tekanan udara permukaan di Tahiti) dan tekanan rendah di
Samudera Hindia (diwakili oleh tekanan udara permukaan di Darwin). SOI
adalah perbedaan tekanan udara permukaan rata-rata antara wilayah timur
Pasifik dengan wilayah barat pasifik. Nilai SOI pada tahun berlangsungnya
El-Nino yang kuat, yaitu tahun 1982-1983 dan tahun 1991-1992, berkisar
antara -3,0 hingga -5,0 (Trenberth 1976 diacu dalam Pariworo 1996).
Ketika ENSO berlangsung, terjadi perubahan iklim yang mencolok di
berbagai tempat di dunia. Sebagai contoh, pada waktu ENSO di Peru
menyebabkan kondisi perikanan Peru anjlok, sedangkan Indonesia dan
Australia mengalami kekeringan yang berkepanjangan yang pada gilirannya
menyebabkan kerugian besar pada sektor pertanian (Pariworo 1996).
Pada awalnya orang berpendapat bahwa El-Nino hanya
mempengaruhi perairan Peru namun kemudian diketahui bahwa El-Nino
dapat berpengaruh pada daerah tropis di Pasifik dengan sekala global.
Umumnya El-Nino disertai dengan perubahan sirkulasi di astmosfir yang
dikenal sebagai southern oscillation. Gabungan dari pengaruh El-Nino dan
southern oscillation yang dikenal sebagai ENSO inilah yang memiliki
pengaruh terhadap perikanan dan kehidupan biota laut serta secara umum
156

berpengaruh pada kondisi iklim global. Elemen kunci pada fenomena El-
Nino adalah hasil dari interaksi antara kondisi permukaan air laut dan angin
(sistem pada laut-atmosfir). Prosesnya angin mendorong lapisan permukaan
air laut dan membawa massa air lapisan hangat dari Timur ke arah Barat
daerah tropis Pasifik. Hal ini menyebabkan tinggi permukaan air laut lebih
tinggi 0,5 m di Indonesia dibandingkan di Ekuador sedangkan suhu
permukaannya lebih tinggi 8oC pada daerah Barat. Ketika lapisan
permukaan air bergerak dari pantai Selatan Amerika, massa air dingin yang
kaya nutrien dari lapisan bawah naik ke atas menggantikan massa air
hangat di permukaan. Fenomena ini dikenal juga sebagai Upwelling. Ketika
massa air hangat terus bergerak ke arah barat batas antara massa air
hangat dan massa air dingin (termoklin) bergerak semakin ke atas
permukaan air pada bagian timur dan bergerak semakin ke bawah (ke
dalam) pada bagian barat. Akhirnya massa air yang kaya dengan nutrien
dari lapisan dalam perairan bercampur dengan lapisan massa air pada
permukaan sehingga memperkaya produktifitas primer perairan yang
berdampak pada keragaman biota laut dan jenis ikan utama di wilayah yang
dilalui El-Nino sehingga secara langsung mempangaruhi daerah
penangkapan ikan (fishing ground).
Cushing (1982) diacu dalam Pariworo (1996) menyebutkan bahwa
ENSO tahun 1972 merupakan penyebab penurunan drastis dari hasil
perikanan anchovy di Peru. Vildoso (1972) diacu dalam Pariworo (1996)
melaporkan bahwa ENSO 1972 menyebabkan suhu air laut meninggi hingga
mencapai 30oC dan menurunnya salinitas perairan Peru hingga 3,3%. Lebih
lanjut dilaporkan, hancurnya perikanan anchovy di Peru merupakan
penyebab menurunnya populasi burung-burung laut secara mencolok
(Valdivia 1974 diacu dalam Pariworo 1996). Pauly and Tsukayama (1987)
diacu dalam Pariworo (1996) menyatakan bahwa rekrutmen dari anchovetta
di Peru ditentukan oleh olakan frekuensi pendek di perairan yang
disebabkan oleh kekuatan angina. Ini berarti bahwa keberadaan stok ikan
ditentukan oleh kondisi lingkungan perairan di mana ikan hidup dan
berkembang biak. Muck et al (1987) diacu dalam Pariworo (1996)
membuktikan bahwa suhu perairan menentukan pola migrasi ikan mackerel,
yang berarti menentukan distribusi biomassa ikan tersebut sepanjang pantai
Peru. Selanjutnya dinyatakan bahwa jika suhu perairan pantai terlalu dingin,
157

maka pemijahan dari ikan mackerel dan horse mackerel akan berlangsung
di perairan yang suhunya lebih hangat (sepanjang garis luar dari paparan
benua).
Fenomena ENSO juga sangat berkaitan erat dengan populasi ikan di
laut, khususnya di Laut Pasifik (Serra 1987 diacu dalam Dirjen Penataan
Ruang 2005). Pada saat terjadi El Nino, populasi ikan khususnya jenis
pelagis seperti sardine (Sardinops sagax), anchoveta (Engaulis ringens),
jack mackerel (Tranchurus murphyi), dan Scomber japonicuperuanus)
berkurang karena sedikitnya makanan yang tersedia. Diantara ke empat
ikan ini, jenis sardine dan jack mackerel (Tranchurus murphyi) yang paling
terpengaruh oleh fenomena ENSO.
Iklim berpengaruh nyata terhadap kondisi oseanografi dan akhirnya
parameter-parameter oseanografi akan mempengaruhi tingkah laku ikan
dalam proses reproduksi, pemijahan, dan migrasinya. Migrasi dari larva ikan
sangat terkait dengan pola aliran arus laut. Cushing (1982) diacu dalam
Pariworo (1996) menyatakan bahwa gangguan dari lingkungan perairan
terhadap suatu rantai migrasi ikan akan menyebabkan ikan-ikan tersebut
membentuk suatu kelompok terpisah dari kelompok yang membentuk stok
ikan, atau mereka akan mati sebelum menjadi dewasa. Jika ini benar, maka
diduga ENSO pun akan berdampak penting terhadap ikan-ikan tangkap di
Indonesia (Pariworo 1996).
Tahun 1992 ketika ENSO yang paling kuat berlangsung, dikenang oleh
para nelayan di Teluk Palabuhanratu sebagai tahun panan raya (hasil
tangkapan ikan melebihi rata-rata). Menurut para nelayan tersebut, panen
raya semacam ini terjadi sekitar lima tahun sekali (Fuadi 1985 diacu dalam
Pariworo 1996). Fenomena ini sangat menarik, karena ENSO timbul sekitar
lima tahun sekali dan memberikan indikasi bahwa ENSO berpengaruh
terhadap penyebaran daerah penangkapan ikan, tetapi belum bisa
dipastikan apakah hasil tangkapan yang meningkat tersebut disebabkan
oleh meningkatnya populasi ikan di perairan Palabuhanratu atau karena
cuaca baik yang memungkinkan para nelayan lebih sering melaut, ataukah
karena kombinasi antara dua faktor tersebut (Pariworo 1996).
ENSO mengakibatkan suhu permukaan laut (SPL) meningkat dan
lapisan termoklin menipis. Kondisi ini jika disertai dengan kenaikan paras
laut, akan mengakibatkan menurunnya produksi primer di laut (Syahailatua
158

2008, Hader et al 2003). Hal ini berarti bahwa daerah penangkapan


potensial juga akan semakin berkurang.
El Nino adalah fenomena alami yang telah terjadi sejak berabad-
abad yang lalu, walaupun tidak selalu dengan pola yang sama, merupakan
gelombang panas di garis ekuator Samudera Pasifik. El Nino muncul
dewasa ini setiap 2–7 tahun, lebih kuat dan berkontribusi pada peningkatan
temperatur bumi. Dampaknya dapat dirasakan di seluruh dunia dan
menunjukkan bahwa iklim di bumi benar-benar berhubungan. Para ilmuwan
menguji bagaimana pemanasan global yang diakibatkan oleh aktivitas
manusia dapat mempengaruhi El Nino: akumulasi GRK di atmosfer
membantu menyuntikkan panas ke Samudera Pasifik. Oleh karena itu, El
Nino muncul lebih sering dan lebih ganas dari sebelumnya (UNDP Indonesia
2007).
Pada saat terjadi El Nino, kita biasanya lebih sering mengalami
kemarau. Ketika terjadi La Nina kita lebih sering dilanda banjir. Memasuki
musim hujan, indikasi munculnya kondisi ekstrem umumnya ditandai dengan
hadirnya angin kencang, guntur, hujan deras, dipicu oleh awan jenis
konveksi yang disebut awan Cb (cumulonimbus). Awan Cb terjadi karena
adanya proses thermal (pemanasan udara basah yang naik ke atas) dan
proses mekanis, yaitu pertemuan angin yang menimbulkan gerak vertikal
udara basah ke atas. Proses thermal umumnya terjadi saat peralihan musim
(kemarau ke hujan atau sebaliknya) sehingga indikasi ini akan mudah
dijumpai saat ini di wilayah Indonesia. Proses thermal biasanya bersifat lokal
dan kurang memberi dampak terhadap munculnya kondisi ekstrem (Dirjen
Penataan Ruang 2005).
Dalam kurun waktu tahun 1844-2006 (UNDP Indonesia 2007), dari
43 kemarau panjang, sebanyak 37 kali berkaitan dengan El Nino. El Nino
berkaitan dengan berbagai perubahan arus laut di Samudera Pasifik yang
menyebabkan air laut menjadi luar biasa hangat. Kejadian sebaliknya, arus
menjadi amat dingin, yang disebut dengan La Nina.
Berdasarkan penelitian Bahri (2002), yang meneliti kaitan antara
ENSO dengan SPL hasil deteksi satelit NOAA-AVHRR di perairan Jawa-
Bali, menyatakan bahwa pola distribusi SPL di perairan Selatan Jawa-Bali
pada musim timur sewaktu berlangsungnya ENSO berkisar antara 24,5-
27,5oC (lebih rendah sekitar 0,5oC dari kondisi normal). Di mana suhu yang
159

tercatat lebih dominan pada suhu 26oC. Hasil sebaran SPL ini ternyata
bertolak belakang dengan efek dari ENSO sendiri, di mana ENSO
mengakibatkan pemanasan atau peningkatan SPL. Keadaan ini ternyata
berkaitan dengan hasil penelitian Dr. Toshio Yamagata (University of Tokyo)
dan Saji Hamid (National Space Development Agency of Japan dan the
Japan Marine Science and technology Centre), yang menyatakan adanya
fenomena alam yang disebut dengan dipole mode event (DME). DME
merupakan perbedaan dua kutub (pole), di mana terjadi anomali positif SPL
di Samudera Hindia bagian barat dan anomali negatif SPL di Samudera
Hindia bagian timur. Gejala DME dicirikan dengan adanya angin tenggara
yang bertiup intensif pada musim timur yang menyebabkan penurunan SPL
(anomali negatif) di perairan Selatan Jawa-Bali. Hubungan antara DME
dengan ENSO sendiri belum diketahui secara pasti, namun diduga adanya
DME inilah yang menyebabkan SPL di perairan Selatan Jawa-Bali pada saat
musim timur menjadi rendah. Kejadian DME bersamaan dengan kejadian
ENSO pada 1997. DME dan ENSO juga bersamaan terjadinya pada tahun
1961 dan tahun 1994.
Saat musim timur sewaktu Non-ENSO (1999) menunjukkan adanya
variasi SPL yang berkisar antara 25-29oC dan lebih dominan pada suhu
27oC. Hal ini berkaitan dengan penelitian Purba et al. (1997) diacu dalam
Bahri (2002) yang menyatakan variasi SPL pada musim timur berkisar
antara 26-28oC. Saat musim timur berlangsung (Juni-Agustus), daerah
upwelling di perairan Selatan Jawa-Bali lebih tinggi intensitasnya di bagian
timur Pulau Jawa dan Bali. Pada musim timur SPL tercatat lebih dingin
dibandingkan musim lainnya dan merupakan musim yang tepat untuk
menangkap tuna, di mana daerah penangkapan ikan tuna sendiri cenderung
berada di sekitar daerah upwelling. Sebaran daerah penangkapan tuna
mata besar dan albakor menurut PT. Samodra Besar (PSB) pada tahun
1997 saat ENSO dan DME berlangsung menyebar dari lintang 10-15o LS
dan bujur 109-114oBT, dengan lokasi penangkapan potensial pada lintang
12-14oLS dan bujur 113-116oBT. Namun catatan hasil tangkapan pada
musim ini juga menunjukkan beberapa penangkapan tuna dilakukan hingga
lintang 15-17oLS dan bujur 107-108oBT serta 115-116oBT. Penangkapan
tuna yang masih di dalam perairan Selatan Jawa-Bali diduga disebabkan
intensitas upwelling yang tinggi dan merata di sepanjang perairan tersebut.
160

Hasil tangkapan tahun 1997 paling banyak terjadi pada Mei-Juli. Sebaran
penangkapan tuna pada 1999 sewaktu Non-ENSO menyebar dari lintang
11-15oLS dan bujur 107-116oBT, dengan daerah tangkapan potensial pada
lintang 12-14oLS dan bujur 113-115oBT. Dari catatan hasil tangkapan PSB
juga menunjukkan pada tahun Non-ENSO penangkapan dilakukan hingga
ke perairan Indonesia sebelah timur. Hasil tangkapan tuna mata besar dan
albakor di perairan Selatan Jawa-Bali yang dilakukan oleh PSB pada saat
ENSO berjumlah 26.002 ekor, lebih banyak dibandingkan saat Non-ENSO
yang berjumlah 19706 ekor. Sebaran laju tangkap (hook rate) menunjukkan
bahwa saat ENSO hook rate termasuk dalam kategori baik mendominasi
hasil tangkapan PSB sebanyak 1.462 kali (44,13%) dari total setting (3.313
kali), sedangkan pada saat Non-ENSO hook rate dalam kategori buruk lebih
banyak sekitar 1.730 kali (43,21%) dari total setting (4.004 kali).
Penelitian yang dilakukan oleh Syamsudin (2003), menunjukkan
bahwa perubahan iklim regional sangat mempengaruhi variasi antar bulanan
puncak musim penangkapan tongkol di Selat Sunda. Selama
berlangsungnya El Nino, perairan Selat Sunda merupakan tempat ideal
untuk menangkap tongkol. Puncak musim penangkapan adalah bulan Mei-
Agustus. Rentang waktu ini sebulan lebih panjang dibandingkan kondisi
normal yang mempunyai puncak musim penangkapan bulan Juni-Agustus.
Perubahan iklim regional La Nina yang dipicu dari Samudera Pasifik tidak
memberikan lingkungan hidup yang kondusif untuk migrasi ikan tongkol ke
Selat Sunda. Pada saat kejadian ini berlangsung, puncak musim
penangkapan terjadi dalam waktu yang relatif lebih pendek, yaitu pada
pertengahan bulan Mei-Juni.
Konsentrasi makanan dapat dipengaruhi oleh penyebaran suhu. Ikan
seringkali melakukan migrasi musiman menuju kutub selama musim panas,
dan menuju ekuator selama musim dingin. Dalam hal ini migrasi dapat
dipengaruhi oleh suhu selain dipengaruhi keberadaan kelimpahan makanan,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Tingkah laku schooling ikan
terkait dengan pemijahan, mencari makan, dan lain-lain juga mungkin
dikontrol oleh suhu, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kenaikan suhu menyebabkan air laut yang lebih hangat sehingga
dapat mencegah perkembangbiakan plankton dan mengurangi ketersediaan
makanan ikan. Beberapa spesies ikan kemungkinan akan bermigrasi ke
161

wilayah lain yang menawarkan kondisi suhu dan makanan yang lebih baik.
Hal ini akan mempengaruhi perpindahan dan penyebaran daerah
penangkapan ikan.
Suhu yang lebih tinggi dapat merusak atau memutihkan terumbu
karang. Terumbu karang yang tidak bermasalah, kebanyakan mampu
bertahan dengan naiknya paras laut yang telah diperkirakan kurang lebih 50
cm hingga tahun 2100 (IPCC 2001). Dataran terumbu yang terbuka pada
saat surut, yang membatasi pertumbuhan ke atas, dapat mengambil
keuntungan dari kenaikan itu. Akan tetapi karang yang telah melemah
karena meningkatnya suhu atau faktor-faktor lain (peningkatan SPL, badai,
tingkat CO2 dan sinar ultraviolet, perubahan pola arus) mungkin tidak dapat
tumbuh dan membangun kerangka tulang mereka secara normal. Apabila
hal ini terjadi, pulau-pulau yang rendah (low-lying) tidak mendapat
perlindungan dari terumbu karang disekitarnya seperti saat ini terhadap
energi gelombang dan badai (hal ini telah menjadi salah satu perhatian dari
negara-negara seperti Maldiva di Samudera Hindia serta Kiribai dan
Kepulauan Marshall di Samudera Pasifik, di mana kertinggian daratan rata-
rata kurang dari 3 meter di atas paras laut). Dampak pemanasan global
(peningkatan suhu air laut) bagi organisme menurut Norse (2001) disajikan
pada Tabel 7.1.
Dampak pemutihan karang bagi perikanan dapat mengikuti teori
umum interaksi habitat ikan terhadap terumbu karang (Pet-Soede 2000).
Beberapa faktor memberi sumbangan terhadap komposisi komunitas ikan di
terumbu, yang kesemuanya berhubungan dengan struktur fisik dan
kompleksitas terumbu karang. Pertama, kompetisi untuk makan yang
merupakan faktor penting dalam menentukan keanekaragaman dan
kelimpahan. Pada terumbu karang sehat, keragaman dan kuantitas
makanan adalah tinggi dan ini berdampak positif langsung pada keragaman
dan kelimpahan ikan (Robertson and Gaines 1986). Pada terumbu karang
yang kurang sehat, karang mati akan cepat ditumbuhi oleh alga secara
berlebihan, alga kemudian dimakan oleh herbivora seperti ikan kakatua
(Parrotfish, Scarus spp), dan populasi jenis-jenis ini dapat meningkat.
Pemakanan dalam jumlah besar oleh jenis-jenis ini kadangkala merusak
struktur terumbu, menyebabkan erosi kerangka karang, tetapi mereka juga
162

membatasi pertumbuhan alga. Meningkatnya populasi ikan bernilai


komersial ini juga merupakan keuntungan ekonomis.

Tabel 7.1 Dampak pemanasan global bagi organisme laut


No. Jenis Biota Dampak Hipotesis
1 Pasific sockeye Banyak kematian dan Sockeye salmon sangat sensitif
salmon kerusakan habitat terhadap perubahan suhu
2 Phytoplankton Blooming pada perairan Blooming nutrien karena peristiwa
dekat dengan equator upwelling
3 Sockeye salmon Jumlah menurun di Peningkatan suhu
Sungai Fraser British
Columbia
4 Alaska’s Pasific Turun drastis pada Peningkatan suhu
salmon 1997 dan 1998
5 Ikan karang dan Berpindah dari Respon akibat pemanasan global
invertebrata California ke arah kutub
(anemones,
crabs dan
snails)
6 Burung laut Reproduksi menurun Kelaparan karena sulit
dan kematian mendapatkan makanan dari laut
meningkat
7 Coral reefs Bleaching, putih dan Tingginya suhu pada 1997 dan
mati 1998 menyebabkan bleaching
pada coral di daerah tropis
termasuk Samudera Pasifik, S.
Hindia, Laut Merah, Teluk Persia,
Laut Mediterania, Laut Karibia.
Hampir 90% coral di Samudera
Hindia mati.
8 Clams and Memerlukan suhu yang Suhu yang hangat
oysters sedang (moderate)
9 Ikan estuarin Menurun jumlahnya Oksigen terlarut rendah
10 Bluefish, tuna, Melakukan migrasi Bermigrasi ke daerah yang lebih
mackerel hangat
11 Udang karang, Menurun jumlahnya di Bermigrasi ke daerah yang lebih
lobster Mexico dingin suhunya di perairan teluk di
Alabama, Mississippi, dan Florida
12 Paus Kehilangan sumber Hilangnya udang rill
makanan
163

No. Jenis Biota Dampak Hipotesis


13 Tuna Ukuran menurun
14 Western Populasi menurun Tidak mampu beradaptasi dengan
Alaskan salmon drastis sejak 1997 dan suhu tinggi
1998 bersamaan
dengan El-Nino
15 Ikan karang Berpindah ke arah Hilangnya habitat yang bersuhu
kutub tepat
16 Zooplankton, Menurun jumlahnya Hilangnya habitat yang bersuhu
copepoda 70% sejak 1950an tepat
17 Kepiting Meletakkan telur pada Hilangnya daerah pantai berpasir
daerah pantai berpasir
18 Anjing laut dan Bermukim di pulau pasir Erosi karena kenaikan ketinggian
kura-kura air laut
19 Organisme Membutuhkan salinitas Salinitas meningkat
daerah estuarin rendah
20 Pemangsa Membutuhkan salinitas Salinitas menurun karena
oyster tinggi kenaikan tinggi paras laut
21 Udang Bergantung pada Hilangnya habitat pasang surut
daerah pasang surut di karena kenaikan paras laut
pantai
22 Udang krill Menurun populasinya Efek pemanasan global
(makanan
favorit paus dan
pinguin)

Kedua, terumbu karang menyediakan lingkungan yang tepat untuk


kegiatan reproduksi dan penempatan larva ikan dan ini akan turut
menentukan struktur komunitas ikan dewasa nantinya (Medley et al 1983,
Eckert 1987, Lewis 1987). Terumbu karang berstruktur kompleks yang sehat
akan memaksimalkan jumlah keragaman dan kuantitas ruangan guna
kesuksesan reproduksi. Ketiga, terumbu karang menyediakan naungan dan
perlindungan dari para predator, khususnya bagi ikan berjenis kecil dan ini
mempengaruhi pola kelangsungan hidup dan kelimpahannya saat dewasa
(Eggleston 1995). Secara garis besar, terumbu karang sehat berdampak
positif bagi ketiga faktor tersebut (makanan, reproduksi dan naungan) dan
imbalannya adalah peningkatan keragaman dan kelimpahan ikan.
164

Kenaikan suhu laut sebesar 1-20C diperkirakan akan terjadi tahun


2100 (Bijkma et al 1995). Bahkan telah terjadi kenaikan 0,50C di beberapa
daerah tropis selama 2 dekade terakhir (Strong et al 2000). Walaupun hanya
mengalami perubahan kecil, tetapi hal tersebut dapat diartikan bahwa
selama periode yang lebih hangat dari fluktuasi musim yang normal, suhu
akan melebihi batas toleransi dari hampir semua jenis karang. Akibatnya,
frekuensi pemutihan karang akan semakin meningkat. Suatu kenaikan suhu
dapat berarti daerah yang saat ini berada di luar wilayah terumbu karang
akan menjadi tempat pertumbuhan karang, menghasilkan perpindahan
geografis dari distribusi populasi pembangun terumbu karang. Memang
membutuhkan waktu sebelum hal ini terbukti dan bilamana hal ini terjadi,
faktor-faktor lingkungan lain dengan posisi lintang yang lebih tinggi mungkin
tidak kondusif untuk pertumbuhan terumbu karang. Lebih lanjut lagi, naiknya
SPL mempengaruhi kepekaan zooxanthellae, contohnya sinar yang
diperlukan untuk fotosintesis malah merusak sel-selnya (Hoegh-Guldberg
1999). Karang dapat menjadi rapuh karena kenaikan radiasi sinar UV akibat
menipisnya lapisan ozon.
Emisi global dari GRK meningkatkan konsentrasi CO2 di atmosfir dan
di lautan ke tingkat yang akhirnya mengurangi kemampuan terumbu karang
untuk tumbuh dengan proses pengapuran normal. Tingginya konsentrasi
CO2 meningkatkan keasaman air, yang menurunkan tingkat pengapuran
karang. Tingkat pengapuran diperkirakan dapat menurun sekitar 14–30%
tahun 2050 (Hoegh-Guldberg 1999). Ini akan mengurangi kemampuan
terumbu untuk pulih kembali, dan akan mempersulit kemampuan terumbu
karang untuk menyesuaikan diri dengan kenaikan paras laut dan perubahan
geologi.
Perubahan pada suatu terumbu karang sebagai hasil kematian
karang dapat mempengaruhi hasil perikanan, jenis perikanan dan ruang
distribusi dari usaha perikanan, yaitu:
(1) Penurunan tingkat reproduksi ikan dan tempat berlindung sebagai akibat
menurunnya sumber makanan dan lingkungan yang kurang sesuai.
Konsekuensinya dapat bervariasi sesuai dengan jenis perikanan.
(i) Dalam perikanan yang bergantung sepenuhnya pada ikan terumbu
karang, jumlah tangkapan mungkin berkurang dan komposisi
tangkapan dapat berubah menjadi jenis herbivora. Ikan-ikan ini
165

acapkali bernilai jual lebih rendah, sehingga pendapatan nelayan


berkurang. Akibatnya alternatif sumber pendapatan nelayan
semakin sedikit dan pendapatan juga berkurang.
(ii) Perikanan yang menargetkan ikan besar yang habitatnya di dekat
terumbu karang, akan mengalami penurunan tangkapan jika jenis
tersebut pindah ke daerah yang lebih baik untuk mencari
mangsanya.
(iii) Perikanan dengan target jenis ikan kecil yang habitatnya di daerah
terumbu karang atau laguna pada kurun waktu tertentu dalam
hidupnya, mungkin akan mengalami penurunan tangkapan saat
terumbu karang menghilang.
(iv) Perikanan multi-jenis dan multi-alat, yang umum di Indonesia dan
daerah terumbu karang lainnya, mungkin cukup fleksibel dalam
beradaptasi pada perubahan persediaan ikan dan sumber mata
pencaharian mereka. Jangka waktu yang cukup lama dalam
perubahan persediaan ikan dapat memudahkan adaptasi ini.
(2) Perubahan struktur terumbu karang mendorong penggunaan metode
penangkapan ikan yang merusak, seperti trawling, yang sebelumnya
tidak dipakai karena kerusakan peralatan memancing yang disebabkan
oleh terumbu karang.
(3) Perubahan tata ruang pada karakteristik habitat terumbu karang dapat
mengakibatkan nelayan memindahkan usaha penangkapan ke daerah
lain untuk jenis ikan target lainnya.
Berbagai hal yang perlu diperhatikan dalam pendugaan daerah
penangkapan ikan, kaitannya dengan penyebaran suhu perairan, yaitu : (1)
penyebaran dan variabilitas suhu secara temporal dan spasial, (2) suhu
optimum bagi jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan, (3) pengamatan
hidrografi dan meteorologi untuk dapat memberikan informasi mengenai
isoterm permukaan, dan (4) perubahan keadaan hidrografi harus dapat
diramalkan. Informasi tersebut di atas sangat penting dalam rangka untuk
meningkatkan keberhasilan operasi penangkapan ikan.
Setiap spesies ikan memiliki ciri khas kisaran suhu dan batasan
toleransi terhadap suhu. Suhu sering digunakan sebagai indikator
keberadaan ikan (daerah penangkapan ikan). Hubungan antara hasil
tangkapan ikan dengan suhu permukaan laut telah banyak dipelajari, untuk
166

mengetahui sejauh mana peranan suhu terhadap pembentukan daerah


penangkapan ikan. Suhu merupakan parameter yang paling mudah diamati,
dan dari banyak penelitian diketahui bahwa ikan dapat mendeteksi
perubahan suhu kurang dari 0,10C. Struktur suhu berdasarkan kedalaman
juga dapat digunakan untuk menentukan metode dan taktik penangkapan
ikan.
Susanawati (2005) yang melakukan penelitian mengenai kaitan antara
SPL dengan fluktuasi hasil tangkapan ikan tongkol di perairan
Pameungpeuk, menyatakan bahwa daerah penangkapan nelayan
Pameungpeuk (sekitar Sancang, Cimari, Cipalebuh, Cipasarangan dan
Cilauteureun) memiliki SPL yang cenderung hangat. Suhu hangat yang
berkisar antara 27-32oC masih dapat ditolerir oleh ikan tongkol tongkol. Ikan
tongkol umumnya menyukai daerah perairan yang panas dan berada di
sekitar perairan pantai maupun lepas pantai. Selama bulan Juli-September,
daerah penangkapan potensial terlihat menyebar, hal ini berkaitan dengan
sebaran SPL optimum yang disenangi oleh ikan tongkol yang ditemukan di
perairan tersebut. Daerah penangkapan di daerah Pameungpeuk terlihat
menyebar setiap bulannya. Pada bulan Juli daerah penangkapan di mana
terdapat SPL yang optimum untuk tongkol berada di sekitar perairan
Cipalebuh dan Cimari. Pada Agustus di sekitar perairan Cipalebuh,
Cilauteureun dan Sancang. Pada bulan September berada di sekitar
perairan Cimahi, Cipalebuh, Cilauteureun, Sancang dan Cipasarangan.
Penyebaran ikan dapat diprediksi dengan mengetahui suhu
optimum, dan penyebaran SPL secara temporal dan spasial. Selain itu suhu
dan perubahannya sering dijadikan indikator kondisi-kondisi lainnya dan
perubahan lingkungan yang dapat mempengaruhi distribusi spesies secara
langsung. Batasan suhu (gradien horisontal suhu yang tajam) kadang-
kadang merupakan batasan arus permukaan, dan mempengaruhi distribusi
spesies dan mereka berkumpul dekat dengan perbatasan tersebut
(boundaries area).
Perubahan suhu perairan bisa dijadikan indikator perubahan dari
lingkungan, serta perubahan massa air laut. Ikan adalah hewan berdarah
dingin, yaitu suhu tubuhnya tidak diatur secara internal (seperti pada
mammalia), tetapi menyesuaikan diri dengan suhu di sekelilingnya. Oleh
karena itu metabolisme ikan dipengaruhi suhu lingkungan.
167

Perubahan suhu berpengaruh terhadap rangsangan syaraf, dan


proses metabolisme ikan. Konsekuensinya akan berpengaruh terhadap
pertumbuhan ikan, aktivitas ikan dalam mencari makanan, mobilitas
pergerakan, ruaya, penyebaran, kelimpahan, schooling, maturity, fekunditas,
pemijahan, masa inkubasi dan penetasan telur, serta kelangsungan hidup
larva ikan. Perubahan suhu perairan menjadi di bawah suhu normal
menyebabkan penurunan aktivitas gerakan, makan, dan menghambat
berlangsungnya proses pemijahan. Pada umumnya semakin bertambah
besar ukuran dan semakin tua ikan, ada kecenderungan menyukai dan
mencari perairan dengan suhu yang lebih rendah di perairan yang lebih
dalam.
Temperatur atau panas di lautan akan menyebabkan: (1) pemuaian
air laut, (2) pencairan gletser atau es kutub, dan (3) penguapan yang
menimbulkan awan dan pada akhirnya menyebabkan hujan, di mana ketiga
hal tersebut dapat menyebabkan kenaikan paras laut (sea level rise).
Pemanasan global yang terjadi telah memacu deglasiasi (pencairan
lapisan es yang menutupi bumi), sehingga menyebabkan naiknya paras laut
(accelerated sea level rise). Hollin and Barry (1979) menyatakan jika lapisan
es yang menutupi Greenland mencair seluruhnya maka air laut global akan
naik 7,6 m, lapisan es di atas 100 m dari garis keseimbangan di Greenland
telah mencair dan masuk ke laut. Elevasi 100 m di atas garis keseimbangan
dinamakan run-off line di mana pencairan es masih terjadi, namun semua es
cair menjadi beku lagi. Garis keseimbangan adalah garis di mana pencairan
es dan jatuhnya salju adalah sama. Saat ini terjadi sekitar 58-70% dari salju
yang turun dalam setahun telah mencair. Greenland harus mempunyai suhu
kira-kira 15-200C untuk menempatkan seluruh lapisan es di bawah garis
keseimbangan.
Beberapa hal yang dapat terjadi akibat naiknya paras laut adalah: (1)
meningkatnya erosi pantai, (2) banjir di wilayah pesisir yang lebih buruk, (3)
terbenamnya wilayah lahan basah pesisir, (4) meningkatnya salinitas di
daerah estuari yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup biota-biota di
pesisir, (5) perubahan rentang pasut (tidal range) di sungai dan teluk, (6)
perubahan lokasi penumpukan redimen dari sungai, dan (7) tenggelamnya
terumbu karang. Perubahan ekologis tidak hanya disebabkan naiknya paras
laut saja, tetapi juga terkait dengan perubahan lingkungan abiotik seperti
168

gerakan air (water movement), erosi dan sedimentasi akan berubah pada
saat yang sama, dan hasilnya dalam morfologi pesisir yang berubah (Rais et
al 2004). Adapun ilustrasi proses naiknya paras laut dan dampaknya
terhadap lingkungan pesisir dapat dilihat pada Gambar 7.3.
Kenaikan paras laut, sebagai akibat dari memuainya air laut dan
melelehnya gletser dan lapisan es di kutub, akan menyebabkan naiknya
paras laut. Kenaikan ini akan mempercepat erosi di wilayah pesisir, memicu
intrusi air laut ke air tanah, merusak lahan rawa di pesisir, dan
menenggelamkan pulau-pulau kecil.

Gambar 7.3 Kenaikan ketinggian permukaan air laut


(http://www.environmentaldefense.org).

Sebagai negara kepulauan, Indonesia paling rentan terhadap


kenaikan paras laut. Telah dilakukan proyeksi kenaikan paras laut untuk
wilayah Indonesia, hingga tahun 2100, diperkirakan adanya kenaikan paras
laut hingga 1,1 m yang yang berdampak pada hilangnya daerah pantai dan
pulau-pulau kecil seluas 90.260 km2 (Susandi 2004). Setiap kenaikan 1 m
dapat menenggelamkan 405.000 ha wilayah pesisir dan menenggelamkan
2.000 pulau yang terletak dekat permukaan laut beserta kawasan terumbu
karang. Penelitian mutakhir mengungkapkan bahwa minimal 8 dari 92 pulau-
169

pulau kecil terluar yang merupakan perbatasan perairan Indonesia sangat


rentan terhadap kenaikan paras laut. Banyak bagian di wilayah pesisir
sudah semakin rentan oleh erosi, yang juga sudah diperparah oleh aktivitas
manusia seperti pembangunan dermaga dan tanggul di laut, pembendungan
sungai, penambangan pasir dan batu, relokasi pantai dan perusakan hutan
mangrove. Saat ini sekitar 42 juta nelayan Indonesia mendiami wilayah yang
terletak 10 m di atas permukaan laut (UNDP Indonesia 2007).
Panjang garis pantai akan berkurang dengan naiknya paras laut,
ratusan ribu kilometer persegi daratan di pesisir pantai akan hilang ditelan
laut dan bersamanya akan ikut tenggelam pula kota-kota dan desa pesisir
yang menjadi permukiman dari lebih seratus juta orang yang sebagian besar
miskin serta asset dan infrastruktur. Pesatnya peningkatan paras laut ini
tidak akan mampu diimbangi dengan kecepatan untuk memindahkan
nelayan dan menggantikan infrastruktur yang hilang. Belum lagi tiadanya
modal untuk melaksanakannya. Bencana besar itu akan datang dalam
hitungan beberapa dekade saja apabila upaya antisipasi tidak dilakukan,
baik secara regional maupun global.
Naiknya paras laut sangat berdampak terhadap kondisi Indonesia
yang terdiri dari pulau-pulau kecil. Kenaikan paras laut menggenangi dan
menenggelamkan ratusan pulau, serta menenggelamkan batas wilayah
negara Indonesia. Menurut DKP dalam kurun waktu 2 tahun (2005-2007)
Indonesia telah kehilangan 24 pulau kecil. Lokasi ke-24 pulau yang
tenggelam tersebut adalah 3 pulau di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), 3
pulau di Sumatera Utara, tiga pulau di Papua, 5 pulau di Kepulauan Riau, 2
pulau di Sumatera Barat, 1 pulau di Sulawesi Selatan, dan 7 pulau di
kawasan Kepulauan Seribu.
Naiknya paras laut (sea level rise) merupakan salah satu
permasalahan penting yang harus dihadapi oleh negara-negara kepulauan
seperti Indonesia. Fenomena alam ini perlu diperhitungkan dalam kegiatan
pengelolaan wilayah pesisir karena dapat berdampak langsung pada
pemunduran garis pantai, serta mengganggu aset-aset nelayan,
mengganggu perkembangan ekonomi nelayan, bahkan menyebabkan
terjadinya perpindahan nelayan yang mendiami wilayah-wilayah rentan di
sepanjang pesisir.
170

Penelitian mengenai dampak kenaikan paras laut misalnya yang


terjadi di Banjarmasin (Susandi et al. 2008), yaitu proyeksi kenaikan paras
laut di wilayah Banjarmasin mencapai ketinggian 0,37 m untuk tahun 2010,
0,48 m untuk tahun 2050, dan 0,93 untuk tahun 2100.
Bahaya lain yang berkaitan dengan iklim di Indonesia adalah lokasi
dan pergerakan siklon tropis di wilayah selatan timur Samudera Hindia
(Januari-April) dan sebelah timur samudera Pasifik (Mei-Desember). Di
beberapa wilayah Indonesia hal ini dapat menyebabkan angin kencang dan
curah hujan tinggi yang dapat berlangsung hingga berjam-jam atau berhari-
hari. Angin kencang juga sering terjadi selama peralihan angin munson
(angin musim hujan) dari arah timur laut ke barat daya (UNDP Indonesia
2007).
Perubahan pola tahunan atmosfir dapat mengakibatkan berubahnya
frekuensi dan intensitas badai dan angin puyuh, juga perubahan pola
presipitasi. Meningkatnya badai dapat mengakibatkan peningkatan
kerusakan tidak hanya pada terumbu karang, tetapi juga komunitas pesisir.
Salah satu tanda terjadinya perubahan iklim global (global warming
and climate change) adalah peristiwa ledakan jumlah plankton, khususnya
fitoplankton atau dikenal dengan istilah red tide. Terjadinya red tide dapat
menimbulkan dampak negatif bagi biota yang hidup di suatu perairan. Red
tide digunakan untuk menggambarkan tentang kejadian atau fenomena
alam akibat terjadinya biakan massal dari suatu populasi fitoplankton, di
mana pada saat itu jumlah selnya mencapai puluhan juta sel per liter.
Biakan massal ini dapat mengakibatkan terjadinya perubahan warna
perairan yang biasanya berwarna biru atau biru kehijauan menjadi merah
kecoklatan atau hijau kekuningan (Wiadnyana 2003).
Peristiwa red tide menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan
dan SDI di perairan alami, tambak, dan menghilangnya ikan dari lokasi
penangkapan. Munculnya jenis-jenis plankton red tide akan menimbulkan
kematian massal biota laut akibat pengurasan oksigen (anoxious), merusak
dan mengganggu sistem pernafasan ikan, dan meracuni lingkungan
perairan dan biota laut lainnya.
Peristiwa red tide dapat terjadi di perairan-perairan yang cukup jauh
dari daratan (laut lepas), tetapi pada umumnya red tide cenderung terjadi di
perairan pesisir atau di atas paparan benua. Beberapa faktor pemicu
171

terjadinya fenomena red tide adalah pengkayaan unsur-unsur hara atau


eutrofikasi, berkurangnya pemakanan oleh herbivora terhadap jenis plankton
red tide beracun, perubahan hidrometeorologi dalam skala besar, adanya
upwelling yang mengangkat massa air kaya unsur-unsur hara, adanya hujan
lebat, dan masuknya air tawar ke laut dalam jumlah yang besar (Wiadnyana
2003).
Red tide yang terjadi di beberapa perairan Indonesia mempunyai
keterkaitan dengan terjadinya fenomena alam El Nino. Kejadian red tide baik
yang terjadi di Indonesia maupun di Asia Tenggara ternyata waktunya
bersamaan dengan terjadinya El Nino pada tahun 1983, 1987 dan 1988. Di
mana pada saat itu tengah berlangsung gerakan air hangat atau gelombang
panas dari Pasifik Timur ke Pasifik Barat, dengan demikian kejadian red tide
umumnya sangat berkaitan dengan kejadian fenomena alam El Nino yang
merupakan salah satu tanda terjadinya global change (global warming and
climate change).
Fitoplankton yang blooming di beberapa perairan Asia Tenggara
termasuk Indonesia merupakan jenis fitoplankton yang memproduksi racun
yang potensial mematikan seperti saxotoxin (Wiadnyana 2003). Peristiwa ini
pernah terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT), Ujung Pandang dan
Kalimantan Timur (Kaltim), di mana terjadi keracunan dan kematian massal
manusia, yang diduga akibat mengkonsumsi ikan selar dan tembang yang
mabuk terapung di perairan (NTT), serta mengkonsumsi kerang dan ikan
mati (Ujung Pandang dan Kaltim).
Peristiwa red tide juga terjadi di Lampung Timur pada tahun1992, di
mana jumlah organisme mencapai 300 juta sel per liter, sehingga dalam
waktu singkat seluruh tambak ditutupi air yang berwarna merah sehingga
menghancurkan seluruh tambak, dan kegiatan penangkapan kehilangan
produksi penangkapan ikan di laut sekitar 80% dari total tangkapan.
Peristiwa red tide yang terjadi di Pulau Pari menimbulkan pemandangan
yang dahsyat, yaitu perairan tampak hijau dan mata pun akan terasa perih
jika berada dekat perairan. Hal ini karena pada saat itu konsentrasi amoniak
sangat tinggi dan berbau menyengat. Bila terkena sentuhan, maka air yang
berwarna hijau tersebut akan berubah menjadi merah seperti darah.
Bila peristiwa red tide semakin parah, dapat menyebabkan kondisi
perairan menjadi kekurangan oksigen, akibatnya terjadi kematian ikan
172

secara massal. Bahkan akan menyebabkan perairan menjadi miskin dan


ikan menjadi punah atau langka. Salah satu tindakan yang dapat menjadi
salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah tindakan budidaya
tanaman atau biota laut, di mana hal ini dimaksudkan untuk mencegah
terjadinya pengkayaan nutrisi berlebihan di suatu perairan. Tindakan ini juga
akan memberikan keuntungan ganda, yaitu kondisi perairan dan sumber
daya laut akan terpelihara secara berkelanjutan.
Secara umum terdapat tiga cara yang mulai dikembangkan untuk
mengendalikan karbon, karena karbon mempunyai kontribusi cukup besar
sebagai penyebab perubahan iklim. Tiga cara tersebut diantaranya adalah
CDM (clean development mechanism), REDD (reduced emission from
deforestation on development country), dan CCS (carbon capture and
storage) (Dobelden 2007).
CDM merupakan salah satu mekanisme yang terdapat dalam
Protocol Kyoto. Mekanisme CDM merupakan satu-satunya mekanisme yang
melibatkan negara berkembang, di mana negara maju dapat menurunkan
emisi gas rumah kacanya dengan mengembangkan proyek-proyek ramah
lingkungan di negara berkembang. Mekanisme ini pada dasarnya
merupakan perdagangan karbon, di mana negara berkembang dapat
menjual kredit penurunan emisi kepada negara yang memiliki kewajiban
untuk menurunkan emisi, yang disebut negara Annex I. Akan tetapi
mekanisme perdagangan karbon ini masih mengalami tantangan.
Diantaranya dana hasil CDM memang dialokasikan untuk reboisasi, akan
tetapi reboisasi yang dilakukan tidak benar-benar dapat mengembalikan
ekosistem yang rusak. Selama ini reboisasi yang dilakukan menggunakan
monoculture tree plantations yang artinya dilakukan penanaman kembali
lahan yang gundul dengan satu jenis bibit pohon. Hal tersebut dianggap
memberikan efek buruk terhadap lingkungan dan komunitas di sekitar hutan
yang rusak karena reboisasi yang dilakukan tidak mampu mengembalikan
kualitas ekosistem (Dobelden 2007).
REDD adalah cara mereduksi karbon dengan jalan mengatur laju
deforestasi. Pelaksanaan REDD dapat dilaksanakan bersama dengan
pelaksanaan CDM yang sudah berlangsung. Hanya saja, dana hasil CDM
sebagian dipisahkan untuk biaya perawatan atau pelestarian hutan yang
masih ada. Dalam UNFCCC (United Nations Framework Convention on
173

Climate Change) disebutkan bahwa opsi yang digunakan dikenal dengan


sebutan 50-50-50. Artinya mengurangi laju deforestasi hingga 50% pada
tahun 2050 sambil mempertahankan laju deforestasi pada kisaran tersebut,
diklaim akan menyelamatkan 50 milyar ton emisi karbon. Sementara itu,
hasil pertemuan di Bali mengisyaratkan bahwa REDD akan focus pada
penilaian perubahan cakupan hutan dan kaitannya dengan emisi GRK,
metode pengurangan emisi dari deforestasi, dan perkiraan jumlah
pengurangan emisi dari deforestasi. Deforestasi dianggap sebagai
komponen penting dalam perubahan iklim sampai 2012 (Dobelden 2007).
Sementara itu, CCS adalah suatu cara mengurangi emisi karbon
dengan jalan menyuntikkan karbon dioksida ke perut bumi. Metode ini
membutuhkan ruang kosong di perut bumi, bisa juga menggunakan sumur-
sumur gas dan munyak bumi yang sudah mongering. Akan tetapi, kendala
penerapan teknologi ini adalah mahalnya biaya investasi dan tidak semua
orang bisa melakukan transfer teknologi walaupun untuk Indonesia teknologi
tersebut mampu mengurangi emisi karbon hingga 20% pada tahun 2005
(Dobelden 2007).
174

DAFTAR PUSTAKA

Bahri S. 2002. Pola distribusi suhu permukaan laut dari citra satelit NOAA-
AVHRR dan hasil tangkapan tuna pada saat El-Nino Southern
Oscillation di perairan Selatan Jawa-Bali (8-15oLS dan 105-117oBT)
[skripsi]. Bogor: FPIK IPB.

Bernawis LI. 2005. Indonesia: Mengapa Laut Kita Istimewa Untuk Interaksi
Laut Atmosfer. Inovasi (4): 36-38.

Bijkma, L., Ehler, C.N., Klein, R.J.T., Kulshrestha, S.M., McLean, R.F.,
Mimura, N., Nicholls, R.J., Nurse, L., Perez Nieto, H., Stakhiv, E.Z.,
Turner, R.K. and Warrick, R.A. 1995. Coastal zones and small islands.
In R.T. Watson, M.C. Zinyowera and R.H. Moss (eds) Climate change
1995: Impacts, adaptations and mitigations of climate change:
scientific-technical analyses: the second assessment report of the
Inter-Governmental Panel on Climate Change. U.K: Cambridge
University Press. 6–12 p.

Dirjen Penataan Ruang. 2005. Penyesuaian Sistem Penataan Ruang


Terhadap Perubahan Iklim. Jakarta: Dekimpraswil Dirjen Penataan
Ruang. 9 hlm.

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Strategi Utama Jejaring


Kawasan Konservasi Laut. Jakarta: Direktorat Jenderal Kelautan,
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil DKP. 125 hlm.

Dobelden. 2007. http://dobelden.wordpress.com

Eckert, G.J. 1987. Estimates of adult and juvenile mortality for labrid fishes
at One Tree Reef, Great Barrier Reef. Marine Biology 95: 167–171.

Eggleston DB. 1995. Recruitment in Nassau grouper Epinephelus striatus:


post- settlement abundance, microhabitat features, and ontogenetic
habitat shifts. Marine Ecology Progress Series 124: 9–22.

Hader DP, Kumar HD, Smith RC, Worrest RC. 2003. Aquatic Ecosystems:
Effects of Solar Ultraviolet Radiation and Interaction with Other
Climatic Change Factors. Photochem Photobiol Science (2): 39-50.

Harijono SWB. 2007. Kondisi Iklim Indonesia Saat ini dan Prediksi Iklim di
Masa Yang Akan Datang. http://www.bmg.go.id

Hela I and Laevastu T. 1970. Fisheries Oceanography. London: Fishing


News Books. p 123.
175

Herwin. 2008. Global Warming. http://herwin.wordpress.com

Hoegh-Guldberg O. 1999. Climate change, coral bleaching and the future of


the world’s coral reefs. Marine and Freshwater Research 50: 839–866.
[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2001. Special Reports
on Emission Scenarios (SRES). http://www.ipcc.ch.

Las I. 2007. Strategi dan Inovasi Antisipasi Perubahan Iklim (Bagian I).
Jakarta: Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian.

Levinton JS. 2001. Marine Biology Function, Biodiversity, Ecology 2nd


Edition. New York: Oxford University Press.

Lewis AR. 1997. Recruitment and post-recruit immigration affect the local
population size of coral reef fishes. Coral Reefs 16: 139–149.

Medley PA, Gaudian G, and Wells S. 1993. Coral reef fisheries stock
assessment. Reviews in Fish Biology and Fisheries 3: 242–285.
Norse EA. 2001. The chilling impact of global warming. Special to The Times
Marine Conservation Biology Institute.
http://members.aol.com/cmwwrc/marmamnews

Pariworo J. 1996. Pengaruh El-Nino Southern Oscillation (ENSO) terhadap


hasil tangkapan ikan di Indonesia [Laporan Penelitian]. Bogor: FPIK
IPB.

Pet-Soede L. 2000. The Effects of Coral Bleaching on Fisheries in the Indian


Ocean. In S. Westmacott, H. Cesar and L. Pet Soede (eds).
Socioeconomic Assessment of the Impacts of the 1998 Coral Reef
Bleaching in the Indian Ocean. Resource Analysis and Institute for
Environmental Science (IVM) Report to the World Bank. African
Environmental Division for the CORDIO programme. 46 p.

Strong AE, Kearns EJ, and Gjovig KK. 2000. Sea surface temperature
signals from satellites–an update. Geophysical Research Letters 27:
1667–1670.

Susanawati D. 2005. Analisis suhu permukaan laut kaitannya dengan


fluktuasi hasil tangkapan ikan tongkol di perairan Pameungpeuk
[skripsi]. Bogor : FPIK IPB.

Susandi A. 2004. The Impact of International Greenhouse Gas Emissions


Reduction On Indonesia. Jerman: Report on Earth System Science,
Max Planck Institute for Meteorology.
176

Susandi A, Herlianti I, Tamamadin M. 2008. Dampak Perubahan Iklim


Terhadap Ketinggian Paras laut Di Wilayah Banjarmasin. Bandung:
Program Studi Meteorologi ITB. 8 hlm.

Syahailatua A. 2008. Perubahan Iklim Terhadap Kelautan.


http://www.lipi.go.id

Syamsudin F. 2003. Melacak Lokasi Tongkol di Selat Sunda. Jakarta: BPPT.


http://beritaiptek.com

[UNDP Indonesia] United Nations Development Programme Indonesia.


2007. Sisi Lain Perubahan Iklim: Mengapa Indonesia Harus
Beradaptasi Untuk Melindungi Rakyat Miskin. Jakarta: UNDP
Indonesia. 20 hlm.

Wiadnyana NN. 2003. Ledakan Fitoplankton Tanda Perubahan Global.


http://www.lipi.go.id

Wilkinson CR and Buddemeier RW. 1994. Global Climate Change and Coral
Reefs: Implications for People and Reefs. Report of the UNEP-IOC-
ASPEI-IUCN Global Task Team on Coral Reefs. Switzerland: IUCN
Gland. 124 pp.
177

Anda mungkin juga menyukai