ISBN : 978-979-122517-5
Pembentukan
Daerah Penangkapan Ikan
Domu Simbolon
Ririn Irnawati
Lucien P. Sitanggang
Dwi Ernaningsih
Victoria EN Manoppo
Muslim Tadjuddah
Karnan
Mohamad
Pembentukan
Daerah Penangkapan Ikan
Domu Simbolon
Ririn Irnawati
Lucien P. Sitanggang
Dwi Ernaningsih
Victoria EN Manoppo
Muslim Tadjuddah
Karnan
Mohamad
Diterbitkan oleh:
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
ISBN : 978-979-122517-5
4
PENGANTAR
Wilayah Indonesia memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia
(megabiodiversity). Tingginya keanekaragaman hayati tersebut bukan hanya disebabkan
oleh letak geografis yang sangat strategis melainkan juga dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti variasi iklim musiman, arus atau massa air laut yang mempengaruhi massa
air dari dua samudera, serta keragaman tipe habitat dan ekosistem yang terdapat di
dalamnya. Kondisi ini berpengaruh secara signifikan terhadap keberadaan sumberdaya
ikan dan daerah penangkapan ikan.
Daerah penangkapan ikan adalah suatu wilayah perairan di mana suatu alat tangkap
dapat dioperasikan secara sempurna untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan yang
terdapat didalamnya. Daerah penangkapan ikan merupakan salah satu faktor penentu
dan penting yang harus diketahui untuk mendukung keberhasilan kegiatan operasi
penangkapan ikan. Saat ini masih terjadi ketimpangan pemanfaatan wilayah perairan
laut di Indonesia, hal ini disebabkan kurangnya informasi mengenai daerah penangkapan
yang potensial.
Penulisan buku ini didorong pula oleh keinginan untuk menambah referensi tentang
daerah penangkapan ikan di Indonesia yang masih sangat terbatas jumlahnya. Bagi para
mahasiswa yang belajar tentang perikanan, khususnya operasi penangkapan ikan, atau
pihak lain yang memerlukannya, kiranya buku ini dapat menjadi tambahan referensi
untuk mengetahui dan memahami pentingnya daerah penangkapan ikan dalam kegiatan
penangkapan ikan sehingga dapat mencapai hasil yang optimal.
Penulis menyadari bahwa tulisan pada buku ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga
kritik dan saran konstruktif sangat diharapkan untuk perbaikan dan penyempurnaan buku
ini.
DAFTAR ISI
Halaman
BAB I URGENSI PENDETEKSIAN DAN PERLUASAN DAERAH
PENANGKAPAN IKAN DI INDONESIA .................................................... 1
1.1 Pendahuluan ......................................................................................... 1
1.2 Pendeteksian Daerah Penangkapan Ikan .............................................. 3
1.3 Perluasan Daerah Penangkapan Ikan .................................................... 14
1.4 Urgensi Pendeteksian dan Perluasan Daerah Penangkapan Ikan . 15
BAB II PEMBENTUKAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN DENGAN LIGHT
FISHING DAN RUMPON ............................................................................. 18
2.1 Pendahuluan ......................................................................................... 18
2.2 Perikanan Light Fishing ....................................................................... 19
2.3 Perikanan Rumpon ............................................................................... 27
BAB III PERANAN DAN APLIKASI TEKNOLOGI PENGINDERAAN
JARAK JAUH DALAM PENDUGAAN DAERAH
PENANGKAPAN IKAN ................................................................................ 42
3.1 Pendahuluan ......................................................................................... 42
3.2 Penginderaan Jarak Jauh (Inderaja) ...................................................... 43
3.3 Peranan Teknologi Penginderaan Jauh (Inderaja) dalam
Pendugaan Parameter Oseanografi Perikanan ....... 50
3.4 Aplikasi Teknologi Penginderaan Jarak Jauh (Inderaja) dalam
Pendugaan Daerah Penangkapan Ikan .................................................. 66
3.5 Sistem Informasi Geografis (SIG) ........................................................ 72
3.6 Penyebaran Informasi Perikanan .......................................................... 76
BAB IV PENGELOLAAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN DALAM
MENJAMIN USAHA PERIKANAN TANGKAP BERKELANJUTAN . 80
4.1 Pendahuluan ......................................................................................... 80
4.2 Daerah Penangkapan dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan ........... 81
4.3 Sistem Pengelolaan Daerah Penangkapan Ikan...... .............................. 86
4.4 Produktivitas Hasil Tangkapan Yang Berkelanjutan ............................ 90
BAB V PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS
DALAM PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP SKALA
KECIL ............................................................................................................. 92
5.1 Pendahuluan ......................................................................................... 92
6
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.1 Warna dan panjang gelombang cahaya ................................................ 7
Tabel 3.1 Konfigurasi spektral NOAA-AVHRR .................................................. 46
Tabel 3.2 Spesifikasi MODIS ............................................................................... 48
Tabel 3.3 Karakteristik kanal-kanal sensor MODIS ............................................. 49
Tabel 3.4 Karakteristik satelit dan sensor SeaWiFS ............................................. 51
Tabel 3.5 Data satelit ocean color dan spesifikasinya .......................................... 52
Tabel 3.6 Spesifikasi satelit-satelit lain ................................................................ 53
Tabel 6.1 Dampak metode penangkapan terhadap kualitas daerah penangkapan 123
Tabel 7.1 Dampak pemanasan global bagi organisme laut ................................... 153
8
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.1 Proses penangkapan ikan dengan bagan ........................................... 8
Gambar 1.2 Jenis lampu yang digunakan pada alat tangkap purse seine ............. 10
Gambar 1.3 Komponen dan prinsip kerja akustik ................................................ 11
Gambar 2.1 Light fishing pada bagan rambo (Sudirman 2003)............................ 21
Gambar 2.2 Rumpon laut dangkal (BPPL 1991).................................................. 27
Gambar 2.3 Rumpon laut dalam (BPL 1991) ....................................................... 28
Gambar 3.1 Sistem penginderaan jauh (Sutanto 1994) ........................................ 44
Gambar 3.2 Konfigurasi satelit NOAA (JARS 1993) .......................................... 46
Gambar 3.3 Skema peluncuran, orbit Satelit Seastar dan sensor SeaWiFS.......... 50
Gambar 3.4 Tipe jaring makanan di lautan yang dimulai dari fitoplankton
(Nybakken 1992) .............................................................................. 60
Gambar 3.5 Piramida makanan yang dimulai dari fitoplankton sebagai
produsen primer di laut (Nontji 2005) .............................................. 61
Gambar 3.6 Rantai makanan di lautan (Nybakken 1992) .................................... 62
Gambar 3.7 Skala nilai kandungan klorofil (mg/m3) ........................................... 69
Gambar 3.8 Mekanisme penyebaran informasi zona potensi penangkapan ikan
dari LAPAN ke nelayan ................................................................... 76
Gambar 5.1 Interkoneksi antara tiga ekosistem utama di wilayah pesisir ............ 95
Gambar 5.2 Segitiga berkelanjutan sistem perikanan (Charles 2001) ............... 100
Gambar 5.3 Zonasi mangrove di sebagian wilayah Sunderbans India
menggunakan data gabungan antara IRS LISS III dan PAN (Nayak
2008)................................................................................................. 101
Gambar 5.4 Zonasi terumbu karang (Gulf of Kachchh, Western India)
menggunakan data IKONOS (Nayak 2008) ..................................... 102
Gambar 5.5 Penggunaan OCEANSAT I OCM dan AVHRR SST untuk
mengindentifikasi daerah tangkapan yang potensial (Nayak 2008) . 103
Gambar 5.6 Skema langkah-langkah dalam sistem peringatan dini (early
warning system) (Dahdouh-Guebas 2002)...... ................................. 104
Gambar 6.1 Posisi trawl dasar saat dioperasikan ................................................. 112
Gambar 6.2 Posisi alat pengeruk scallop saat dioperasikan ................................. 113
Gambar 6.3 Bentuk jaring insang hanyut saat dioperasikan................................. 114
Gambar 6.4 Bentuk jaring insang dasar saat dioperasikan ................................... 114
Gambar 6.5 Bentuk jaring lampara saat dioperasikan .......................................... 115
9
BAB I
URGENSI PENDETEKSIAN DAN PERLUASAN
DAERAH PENANGKAPAN IKAN DI INDONESIA
1.1 Pendahuluan
rata-rata pendapatan 2,7 juta nelayan kecil di Indonesia hanya Rp 445 ribu
per keluarga per bulan. Pendapatan ini jauh di bawah pendapatan standar
hidup layak. Akibat selanjutnya adalah armada perikanan skala besar akan
mengalihkan wilayah tangkapan ke wilayah pesisir dengan alasan untuk
menghemat BBM. Padahal pesisir sudah mengalami tangkap lebih. Ini tak
hanya mengancam sumber kehidupan nelayan tradisional, tapi juga
berpotensi menimbulkan konflik horisontal karena penyerobotan wilayah
perikanan tradisional. Akibatnya, konflik nelayan tradisional dengan armada
perikanan besar semakin akut dan terbuka (Busyairi 2008).
Ciri khas perikanan Indonesia adalah didominasi perikanan rakyat,
artisanal, subsisten, dan skala kecil. Dari satu sisi, ciri ini adalah kekuatan
dimana rakyat dalam jumlah besar dapat ikut serta dan terlibat dalam
kegiatan ekonomi. Dari sisi lain, ciri ini adalah kelemahan yang
menunjukkan ketidakmampuan dan ketidaksanggupan Indonesia dalam
memanfaatkan potensi sumberdaya ikan yang dimilikinya. Sumberdaya ikan
yang ada memang betul harus dimanfaatkan oleh rakyat, namun ekonomi
perikanan rakyat bercirikan usaha kecil, artisanal dan subsisten tidak
membuat rakyat menjadi sejahtera dan tidak membuat sumberdaya
perikanan dimanfaatkan secara optimal. Akibatnya, ikan yang tidak
dimanfaatkan ditangkap secara ilegal atau dicuri oleh nelayan asing.
Dengan mengandalkan armada perikanan rakyat yang ada saat ini,
Indonesia sulit memanfaatkan sumberdaya perikanan yang dimilikinya.
Jumlah armada yang ada saat ini sebanyak kurang lebih 600.000 armada
perikanan. Sekilas dengan jumlah armada seperti ini, bisa dikatakan bahwa
perairan Indoensaia akan mudah ditaklukkan oleh nelayan, tetapi ternyata
tidak demikian adanya. Dari jumlah armada perikanan tersebut, sekitar 43%
adalah perahu kecil tanpa menggunakan motor, sekitar 28% adalah armada
perahu motor tempel (dengan kekuatan paling besar 40 PK), dan sisanya
sekitar 29% atau 127.000 unit adalah kapal bermotor (Nikijuluw 2008). Dari
127.000 kapal motor, 113.000 diantaranya adalah kapal motor < 10 GT dan
sekitar 3.500 unit berukuran > 50 GT.
Dengan struktur armada sebagaimana disebutkan di atas, tentu saja
sangat sulit bagi nelayan Indonesia memanfaatkan sumberdaya ikan yang
dimilikinya. Nelayan Indonesia hanya bisa berkonsentrasi di sekitar perairan
pesisir. Mereka sulit menjangkau perairan yang lebih jauh dan dalam.
12
tuna besar) sebagai konsumen. Oleh karena itu berbagai jenis ikan tertarik
untuk berkumpul di sekitar rumpon, mulai dari ikan-ikan pelagis kecil sampai
berbagai jenis ikan pelagis besar yang didominasi oleh tuna dan cakalang
(Monintja dan Zulkarnain 1995).
Rumpon berfungsi sebagai alat bantu menarik perhatian ikan agar
berkumpul pada suatu tempat atau wilayah (fish agregating device), tempat
berlindung, dan sumber makanan tambahan bagi ikan-ikan. Rumpon yang
dipasang di suatu perairan akan dimanfaatkan sebagai tempat berlindung
bagi ikan-ikan kecil atau lemah (pelagis kecil) dari predator. Kelompok ikan
ini biasanya berenang dengan mengusahakan posisi tubuh selalu
membelakangi rumpon (Subani 1986).
Sumberdaya ikan pelagis kecil yang banyak berkumpul di sekitar
rumpon umumnya jenis-jenis layang (Decapterus ruselli), kembung
(Rastrelliger sp) dan selar (Selaroides sp). Sedangkan sumberdaya ikan
pelagis besar yang banyak berkumpul di sekitar rumpon adalah cakalang
(Katsuwonus pelamis), madidihang (Thunnus albacores), tongkol
(Euthynnus sp) dan tuna mata besar (Thunnus obesus) (Monintja dan
Zulkarnain 1995).
De San (1982) dan Abidin (1987) menyatakan bahwa posisi rumpon
yang terbaik adalah tempat yang dikenal sebagai lintasan ruaya ikan,
daerah upwelling, water fronts dan arus eddy, dasar perairan yang datar,
tidak dekat dengan karang dan berada di ambang suatu palung laut.
Di Indonesia dikenal dua jenis rumpon, yaitu rumpon laut dangkal,
dipasang biasanya pada kedalaman kurang dari 100 m dan rumpon jenis
kedua adalah rumpon laut dalam, dipasang pada kedalaman lebih dari 600
m bahkan bisa sampai pada kedalaman 1.500 m. Rumpon jenis pertama
dikenal dalam perikanan pelagis kecil dengan alat tangkap yang digunakan
adalah payang, purse seine, cantrang dan lain-lain. Sedangkan jenis
rumpon yang kedua dikenal dalam perikanan tuna dan cakalang dengan alat
tangkap yang digunakan adalah huhate dan pancing ulur (Monintja dan
Zulkarnain 1995).
Menurut Keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan) No.
51/Kpts/IK.250/97, rumpon dibedakan menjadi tiga jenis yaitu: rumpon
perairan dasar, rumpon perairan dangkal dan rumpon perairan dalam.
Rumpon perairan dasar dipasang pada dasar perairan laut sampai dengan
14
jarak 3 mil laut yang diukur dari garis pasang surut terendah dan di atas 3
mil sampai 12 mil diukur dari garis pasang surut terendah pada waktu air
surut. Rumpon perairan dangkal ditempatkan pada kedalaman sampai 200
m, sedangkan rumpon laut dalam ditempatkan atau dipasang pada perairan
dengan kedalaman di atas 200 meter.
Rumpon merupakan suatu konstruksi bangunan yang dipasang di
dalam air dengan tujuan untuk memikat ikan agar berasosiasi dengannya
sehingga memudahkan penangkapan ikan tersebut (De San 1982 diacu
dalam Monintja dan Zulkarnain 1995). Pada prinsipnya rumpon terdiri dari
4 komponen utama, yaitu: pelampung (float), tali panjang (rope), pemikat
(attractor), dan pemberat (anchor).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih lokasi
pemasangan rumpon adalah: (1) bukan merupakan alur pelayaran dan
daerah suaka, (2) bukan merupakan daerah konsentrasi nelayan yang tidak
menggunakan rumpon, dan (3) memperhatikan daerah perbatasan antar
propinsi. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi konflik sosial antar nelayan
pemilik rumpon dan tidak memiliki rumpon.
(2) Cahaya
(3) Akustik
Gambar 1.2 Jenis lampu yang digunakan pada alat tangkap purse seine.
TIME DISPLAY -
BASE RECORDER
TRANSMITTER RECEIVER
(T) (R)
TRANSDUCER
(T/R)
atau oleh satu entitas usaha yang berada pada satu lokasi. Pada
kondisi demikian diharapkan dapat melibatkan penduduk lokal,
sehingga mereka dapat merasakan manfaat adanya kegiatan industri
terpadu.
(3) Motorisasi dan modernisasi armada perikanan rakyat. Dengan adanya
motorisasi dan modernisasi armada perikanan akan mengakibatkan
semakin luasnya jangkauan operasi penangkapan yang dilakukan,
dengan demikian daerah penangkapannya menjadi semakin luas.
(4) Pengaturan zonasi penangkapan disertai dengan pengawasan dan
penegakan hukum di tengah laut.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.depkominfo.go.id/portal/bow/modules/portalweb/sendmail/frontpa
ge. (17 Desember 2008)
26
Lillesand, T.M. and R.W. Kiefer. 1987. Remote Sensing and Image
Interpretation. USA: John Wiley and Sons. New York.
Razak A., Anwar K., dan Baskoro M.S. 2005. Fisiologi Mata Ikan. Bogor:
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Subani dan Barus. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut. Jakarta:
Jurnal Penelitian Perikanan Laut No 50 tahun 1988/1989 (edisi
khusus).
BAB II
PEMBENTUKAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN
DENGAN LIGHT FISHING DAN RUMPON
2.1 Pendahuluan
Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta
km² wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km² wilayah perairan zona
ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia. Wilayah perairan Indonesia memiliki
potensi sumberdaya ikan yang cukup besar. Pemanfaatan sumberdaya ikan
di perairan Indonesia cenderung mengalami peningkatan, mengikuti
permintaan konsumen yang terus bertambah, baik jumlah maupun jenisnya.
Teknik dan taktik penangkapan ikan (fishing technique and fishing tactics)
juga mengalami perkembangan yang pesat untuk dapat memeperoleh hasil
tangkapan yang banyak dengan kualitas yang memadai sesuai dengan
permintaan konsumen.
Nelayan seringkali memanfaatkan tanda-tanda alami dalam
mendeteksi daerah penangkapan ikan (fishing ground), yang diperoleh
berdasarkan pengalaman dan tradisi yang turun-temurun dari nenek
moyang, di antaranya : warna perairan lebih gelap dibandingkan perairan
sekitarnya, keberadaan burung beterbangan dan menukik-nukik ke
permukaan air, riak-riak perairan di permukaan air, dan sebagainya. Ikan
juga seringkali ditemukan nelayan bergerombol di sekitar batang-batang
kayu yang hanyut di perairan.
Salah satu faktor penentu keberhasilan operasi penangkapan ikan
adalah tersedianya informasi daerah penangkapan ikan yang potensial,
disamping faktor lainnya seperti kapal perikanan, metode dan teknologi
penangkapan ikan, alat tangkap dan kemampuan sumberdaya manusia
(nelayan). Faktor-faktor opearsi penangkapan ikan tersebut tentu saja
memiliki keterkaitan yang sangat erat satu dengan lainnya. Berhasil tidaknya
suatu alat tangkap dalam operasi penangkapan ikan sangatlah tergantung
pada bagaimana mendapatkan daerah penangkapan yang baik, dan
bagaimana operasi penangkapan ikan dilakukan. Beberapa cara dapat
dilakukan dalam upaya optimalisasi hasil tangkapan, di antaranya dengan
menggunakan alat bantu penangkapan. Macam-macam alat bantu
28
Rumpon atau Fish Aggregating Device (FAD) adalah salah satu jenis
alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dilaut, baik laut dangkal
maupun laut dalam. Pemasangan tersebut dimaksudkan untuk menarik
gerombolan ikan agar berkumpul di sekitar rumpon, sehingga ikan mudah
untuk ditangkap.
Definisi rumpon menurut SK Mentan No. 51/Kpts/IK.250/1/97 adalah
alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada
perairan laut. Selanjutnya dalam SK Mentan No. 51/Kpts/IK.250/1/97
tentang pemasangan dan pemanfaatan rumpon, yang menjelaskan bahwa
terdapat 3 jenis rumpon, yaitu :
(1) Rumpon perairan dasar, yaitu alat bantu penangkapan ikan yang
dipasang dan ditempatkan pada dasar perairan laut.
(2) Rumpon perairan dangkal, yaitu alat bantu penangkapan ikan yang
dipasang dan ditempatkan pada perairan laut dengan kedalaman sampai
dengan 200 meter (Gambar 2.2).
(3) Rumpon perairan dalam, yaitu alat bantu penangkapan ikan yang
dipasang dan ditempatkan pada perairan laut dengan kedalaman lebih
dari 200 m (Gambar 2.3).
ternyata dapat meningkatkan hasil tangkapan total sebesar 105% dan hasil
tangkapan per satuan upaya sebesar 142%. meningkatkan pendapatan
pemilik rumpon sebesar 367%, mengurangi pemakaian bahan bakar minyak
untuk kapal sebesar 64,3% serta mengurangi pemakalan umpan hidup
sebesar 50%. Namun dengan bertambahnya penggunaan rumpon maka
terlihat kecenderungan menurunnya hasil tangkapan per satuan upaya
(CPUE).
Menurut Preston (1982), secara garis besar rumpon terdiri atas tiga
bagian utama yang terdiri dan attraktor, mooring line dan pemberat.
Konstruksi rumpon, terdiri dan komponen-komponen yang sama bila dilihat
berdasarkan fungsinya seperti pelampung, alat pengumpul ikan, tali-temali
dan pemberat. tetapi untuk rumpon-rumpon yang dipergunakan oleh
nelayan diberbagai lokasi di Indonesia mempunyai perbedaan bila dilihat
dan material masing-masing komponen konstruksi rumpon tersebut.
Tim Pengkajian Rumpon IPB (1987) mengemukakan bahwa
persyaratan umum komponen-komponen dan konstruksi rumpon adalah
sebagai berikut :
(1) Pelampung,
Mempunyai kemampuan mengapung yang cukup baik (bagian yang
mengapung di atas air 1/3 bagian).
Konstruksi cukup kuat .
Tahan terhadap gelombang dan air.
Mudah dikenali dari jarak jauh.
Bahan pembuatnya mudah didapat.
(2) Atraktor atau pemikat :
Mempunyai daya pikat yang baik terhadap ikan.
Tahan lama.
Mempunyai bentuk seperti posisi potongan vertikal dengan arah ke
bawah.
Melindungi ikan-ikan kecil.
Terbuat dan bahan yang kuat, tahan lama dan murah.
(3) Tali-temali :
Terbuat dan bahan yang kuat dan tidak mudah busuk.
Harganya relatif murah mempunyai daya apung yang cukup untuk
mencegah gesekan terhadap benda-benda lainnya dan terhadap
arus.
Tidak bersimpul (less knot).
(4) Pemberat :
Bahannya murah, kuat dan mudah diperoleh.
40
(3) Rumpon itu sebagai tempat berlindung bagi beberapa jenis ikan yang
mempunyai sifat fototaksis negatif.
Samples dan Sproul (1985) mengemukakan teori tertariknya ikan
yang berada di sekitar rumpon disebabkan karena:
(1) Rumpon sebagai tempat berteduh (shading place) bagi beberapa jenis
ikan tertentu.
(2) Rumpon sebagai tempat mencari makan (feeding ground) bagi ikan-ikan
tertentu.
(3) Rumpon sebagai substrat untuk meletakkan telurnya bagi ikan-ikan
tertentu.
(4) Rumpon sebagai tempat berlindung (shelter) dan predator bagi ikan-ikan
tertentu..
(5) Rumpon sebagai tempat sebagai titik acuan navigasi (meeting point)
bagi i kan-ikan tertentu yang beruaya.
Gooding dan Magnuson (1967) melaporkan bahwa rumpon
merupakan tempat stasiun pembersih (cleaning place) bagi ikan ikan
tertentu. Dikemukakan bahwa dolphin dewasa umumnya akan mendekati
bagian bawah floating objects seperti rumpon dan menggesekkan
badannya. Breder (1949) juga mendukung hal ini dimana kadang-kadang
dolphin mendekati ikan lain untuk membersihkan badannya. Tingkah laku
ini sesuai dengan tingkah laku dan famili coryphaenids yang memindahkan
parasit atau menghilangkan iritasi kulit dengan cara menggesekkannya.
Freon dan Dagom (2000) menambahkan teori tentang rumpon sebagai
tempat berasosiasi (association place) bagi jenis ikan-ikan tertentu.
Rumpon yang dipasang. pada suatu perairan akan dimanfaatkan
oleh kelompok ikan tertentu sebagai tempat berlindung dan serangan
predator. Kelompok jenis ini akan berenang-renang dengan mengusahakan
agar posisi tubuh selalu membelakangi bangunan rumpon. Selain sebagai
tempat berlindung, rumpon diibaratkan sebagai pohon yang tumbuh di
padang pasir yang merupakan wadah pemikat kelompok ikan (Subani 1972)
Ikan berkumpul di sekitar rumpon untuk mencari makan. Dugaan ini
senada dengan pendapat Soemarto (1962) yang menyatakan bahwa dalam
area rumpon terdapat plankton yang merupakan makanan ikan yang lebih
banyak dibandingkan di luar rumpon. Diterangkan juga oleh Soemarto
(1962) bahwa perairan yang banyak planktonnya akan menarik ikan untuk
42
Maluku dan sebagian kecil di Samudera Pasifik yaitu Utara Irian jaya
dan Maluku.
(3) Pemasangan rumpon oleh nelayan Philippina bahkan semakin
cenderung tidak terkontrol, walaupun pembatasannya sudah dilakukan
oleh Direktorat jenderal Perikanan, sehingga menimbulkan situasi padat
rumpon yang menimbulkan keresahan nelayan-nelayan pole and line di
Sulawesi Utara dan Maluku karena rumpon tersebut diduga telah
menghalangi ruaya ikan dan Laut Sulawesi dan Pasifik yang menuju ke
perairan Maluku dan Laut Banda.
(4) Pemasangan rumpon laut dalam oleh perusahaan perikanan di lepas
pantai Jawa Barat dan lepas pantai Flores dan Timor telah menimbulkan
gejolak sosial (konfik sosial) karena telah mengganggu produktivitas
nelayan setempat.
Permasalahan di atas terjadi karena kebijakan rumponisasi oleh
pemerintah tidak dibarengi dengan sistem kelembagaan yang kuat, aturan
yang ada hanya sebatas lokasi pemasangan, dan bagaimana mendapatkan
ijin pemasangan rumpon. Hal-hal yang terkait dengan berapa jumlah ikan
yang boleh ditangkap oleh setiap kelompok nelayan rumpon, jenis dan
ukuran ikan yang boleh ditangkap, dan bagaimana tanggung jawab nelayan
rumpon dalam menjaga kelestarian sumberdaya ikan belum diatur secara
rinci. Untuk itu perlu ada sistem kelembagaan yang mengatur secara rinci
seperti tersebut di atas.
Untuk menanggulangi konflik baik secara internasional, regional dan
nasional di atas diperlukan peraturan-peraturan dalam skala nasional,
regional maupun internasional. Pemerintah Indonesia telah membuat
beberapa peraturan secara nasional tentang rumpon yaitu SK Mentan No.
51/Kpts/IK.250/1/97. Selain itu peraturan internasional tentang “Code of
Conduct for Responsible Fishing (CCRF)” (FAO, 1995) telah mulai disiapkan
untuk diimplementasikan, yang memuat beberapa aspek yaitu :
(1) Aspek pengelolaan perikanan (Fisheries Management).
(2) Aspek operasi penangkapan ikan (Fishing Operations).
(3) Aspek pembangunan akuakultur (Aquaculture Development).
(4) Aspek integrasi perikanan ke dalam pengelolaan kawasan pesisir
(Integration of Fisheries into Coastal Area management).
47
DAFTAR PUSTAKA
BAB III
PERANAN DAN APLIKASI
TEKNOLOGI PENGINDERAAN JARAK JAUH
DALAM PENDUGAAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN
3.1 Pendahuluan
bergerak tegak lurus dengan kecepatan sinar pada frekuensi pada panjang
gelombang tertentu (Sutanto 1987).
butir-butir di atmosfer berupa debu, uap air dan gas (Sutanto, dapat
memonitor seluruh permukaan bumi. Satelit-satelit yang digunakan dalam
penginderaan jauh terdiri dari satelit lingkungan, cuaca dan sumber daya
alam.1987). Objek yang terdeteksi oleh satelit dapat dibedakan karena
setiap objek di permukaan bumi mempunyai sifat reflektansi yang khas
terhadap panjang gelombang yang mengenai objek tersebut dan setiap
saluran pada sensor satelit menerima pantulan dan pancaran dari objek
pada panjang gelombang tertentu.
Tenaga panas yang dipancarkan dari obyek dapat direkam dengan
sensor yang dipasang jauh dari obyeknya. Penginderaan obyek tersebut
menggunakan spektrum inframerah termal (Paine 1981 diacu dalam Sutanto
1994). Dengan menggunakan satelit maka akan memungkinkan untuk
memonitor daerah yang sulit dijangkau dengan metode dan wahana yang
lain. Satelit dengan orbit tertentu
Terdapat beberapa jenis satelit yang mampu melakukan observasi
terhadap fenomena yang terjadi di permukaan bumi termasuk di permukaan
laut. Satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) milik
Amerika, membawa berbagai sensor, dan salah satunya adalah sensor
AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer). Satelit Sea Star yang
membawa sensor SeaWIFs menghasilkan data konsentrasi klorofil yang
berkaitan erat dengan konsentrasi plakton di laut. Satelit Feng Yun yang
membawa sensor untuk mendeteksi suhu permukaan laut dan konsentrasi
klorofil di laut.
Citra SPL dapat dihasilkan dari berbagai sensor termal yang dibawa
oleh berbagai satelit inderaja, seperti NOAA-AVHRR yang mengembangkan
metode multi kanal, dengan menggunakan kombinasi tiga kanal yaitu kanal
3, 4 dan 5 (triple window) dan metode kombinasi dua kanal yaitu kanal 4
56
dan 5 (split window). Metode split window dapat diterapkan untuk estimasi
SPL siang dan malam hari, sedangkan untuk metode triple window hanya
dapat digunakan pada pengamatan malam hari (McClain 1985).
Aqua, yang dalam bahasa latin berarti air, adalah suatu satelit ilmu
pengetahuan tentang bumi yang dimiliki NASA. Satelit ini mempunyai misi
mengumpulkan informasi tentang siklus air di bumi, termasuk penguapan
dari samudera, uap air di atmosfer, awan, presipitasi, kelembaban tanah, es
yang ada di laut dan darat, serta salju yang menutupi daratan. Variabel lain
yang diukur oleh Aqua adalah aerosol, tumbuhan yang menutupi daratan,
fitoplankton dan bahan organik terlarut di lautan, suhu udara, daratan dan air
(Graham 2005).
MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) adalah
salah satu instrumen penting di dalam satelit Terra (EOS AM) yang
diluncurkan pada tanggal 18 Desember 1999 dan Aqua (EOS PM) yang
diluncurkan pada tanggal 4 Mei 2002. MODIS mengorbit pada ketinggian
sampai 705 km di atas permukaan bumi dan dapat bertahan sampai 6
tahun. Sebenarnya tujuan utama Aqua dan Terra adalah memahami proses
yang saling berkait antara atmosfer, laut, dan daratan dengan perubahan
sistem cuaca dan pola iklim di bumi. Namun, karena sensor MODIS yang
dipasang di kedua satelit tersebut dapat mengukur hampir semua parameter
darat, laut, dan udara, kegunaannya menjadi sangat luas. Mulai dari indeks
tumbuhan, kelembaban tanah, kadar aerosol di udara, suhu permukaan laut,
dan kandungan klorofil laut. Seluruhnya ada 86 parameter yang bisa diukur
oleh masing-masing satelit, sehingga banyak keperluan lain bisa
ditumpangkan.
Sensor MODIS dilengkapai dengan sensifitas radiometrik tinggi (12
bit) dengan memiliki 36 spektral kanal yang berkisar pada panjang
gelombang 0,4–14,4 m. Selang panjang gelombang pada masing-masing
kanal dirancang cukup sempit agar mampu menghasilkan data
penginderaan jauh yang lebih akurat. Adapun spesifikasi MODIS dapat
dilihat pada Tabel 3.2.
57
Gambar 3.3 Skema peluncuran, orbit Satelit Seastar dan sensor SeaWiFS.
3.3.2 Salinitas
Gambar 3.4 Tipe jaring makanan di lautan yang dimulai dari fitoplankton
(Nybakken, 1992).
ada di daerah tersebut. Pada tipe rantai makanan lautan, produsen pertama
dimulai dari tumbuhan hijau atau fitoplankton, yang selanjutnya akan
dimakan oleh konsumen pertama sampai kepada konsumen tertinggi
(Gambar 3.6).
(Laut Banda, Arafura, Selat Bali dan selatan Jawa), proses pengadukan dan
pengaruh sungai-sungai (Laut Jawa, Selat Malaka dan Laut Cina Selatan).
perubahan kondisi suatu massa air dapat diketahui dengan melihat sifat-sifat
massa air yang meliputi suhu, salinitas, oksigen terlarut, dan kandungan
nutrien.
Dengan melihat akan keberadaan perairan Indonesia dimana karena
adanya perbedaan pola angin yang secara langsung mempengaruhi pola
arus permukaan perairan Indonesia dan perubahan karakteristik massa
diduga dapat mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap tingkat
produktivitas perairan. Keadaan ini tergantung pada berbagai hal, seperti
bagaimana sebaran faktor fisik-kimia perairan. Untuk itu perlu dilakukan
analisa untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor oseanografi terhadap
sebaran parameter oseanografi fisik-kimia perairan dan keterkaitannya
terhadap tingkat konsentrasi klorofil-a.
suatu perairan (Birowo 1983). Dalam proses upwelling ini terjadi penurunan
suhu permukaan laut dan tingginya kandungan zat hara dibandingkan
daerah sekitarnya. Tingginya kadar zat hara tersebut merangsang
perkembangan fitoplankton di permukaan. Karena perkembangan
fitoplankton sangat erat kaitannya dengan tingkat kesuburan perairan, maka
proses air naik selalu dihubungkan dengan meningkatnya produktivitas
primer di suatu perairan dan selalu diikuti dengan meningkatnya populasi
ikan di perairan tersebut. (Pariwono et al 1988 diacu dalam Presetiahadi
1994).
Ketika terjadi penaikan massa air (upwelling), lapisan termoklin
bergerak ke atas dan gradiennya menjadi tidak terlalu tajam sehingga
massa air yang kaya zat hara dari lapisan dalam naik ke lapisan atas.
Fluktuasi jangka pendek dari kedalaman termoklin dipengaruhi oleh
pergerakan permukaan, pasang surut, dan arus. Di bawah lapisan termoklin
suhu menurun secara perlahan-lahan dengan bertambahnya kedalaman.
Wyrtki (1961) mengatakan bahwa kedalaman termoklin di dalam Lautan
Hindia mencapai 120 m menuju ke Selatan di daerah Arus Equatorial
Selatan, kedalaman termoklin mencapai 140 m.
ikan. Sebagai contoh, dari sebaran suhu permukaan laut dan kesuburan
perairan dapat diperoleh informasi tentang fenomena oseanografi
khususnya thermal front dan upwelling yang merupakan indikator daerah
penangkapan ikan potensial. Pendugaan daerah penangkapan ikan dalam
hal ini dilakukan melalui interpretasi citra hasil deteksi satelit yang
dikombinasikan dengan data sekunder seperti tingkah laku ikan. Langkah
selanjutnya dilakukan analisis hubungan antara tingkah laku ikan dengan
perubahan habitat sebagai akibat terjadinya thermal front atau upwelling.
Dengan demikian, identifikasi daerah penangkapan ikan dengan
menggunakan teknologi penginderaan jauh ini merupakan pendeteksian
secara tidak langsung.
Pendeteksian daerah penangkapan ikan juga dapat dilakukan secara
langsung, yaitu melalui experimental fishing dan metode akustik. Upaya ini
diharapkan dapat menghasilkan informasi yang lebih akurat tentang
keberadaan daerah penangkapan ikan. Informasi ini dapat dikombinasikan
dengan hasil pendeteksian secara tidak langsung agar akurasinya lebih
tinggi.
Akurasi pendugaan daerah penangkapan ikan secara tidak langsung
juga dapat ditingkatkan melalui penggunaan berbagai data parameter
oseanografi, seperti mengkombinasikan data sebaran suhu permukaan laut,
kandungan klorofil, pola arus laut, dan lain-lain. Karakteristik toleransi
biologis ikan tertentu umumnya berbeda terhadap kondisi parameter-
parameter tersebut. Pada pihak lain diketahui bahwa sebaran parameter
oseanografi seperti suhu permukaan laut di wilayah perairan tertentu
kemungkinan dapat berubah dengan cepat. Dengan demikian, pengamatan
terhadap parameter oseanografi yang berkaitan erat dengan habitat ikan
sebaiknya dilakukan dengan frekuensi pengamatan yang tinggi.
Penyebaran suhu permukaan laut untuk area yang sangat luas
dewasa ini banyak diperoleh melalui penggunaan satelit NOAA-AVHRR.
Citra SPL dari suatu perairan yang luas dapat digunakan untuk mengetahui
pola penyebaran SPL, arus perairan, dan interaksinya dengan perairan lain
serta fenomena upwelling dan front di perairan yang merupakan daerah
penangkapan ikan potensial.
Data tentang konsentrasi klorofil dapat diperoleh dengan SeaWiFs
atau Feng Yun. Data tentang konsentrasi klorofil yang menunjukkan
78
hangat terpisah dari lapisan dalam yang dingin oleh lapisan tipis dengan
perubahan suhu yang cepat yang disebut termoklin atau lapisan
diskontinuitas. Suhu pada lapisan permukaan adalah seragam karena
percampuran oleh angin dan gelombang sehingga lapisan ini dikenal
sebagai lapisan percampuran (mixed layer). Mixed layer mendukung
kehidupan ikan-ikan pelagis, secara pasif mengapungkan plankton, telur
ikan, dan larva, sementara lapisan air dingin di bawah termoklin mendukung
kehidupan hewan-hewan bentik dan hewan laut dalam.
Ikan adalah hewan berdarah dingin yang suhu tubuhnya selalu
menyesuaikan dengan suhu sekitarnya. Ikan mempunyai kemampuan untuk
mengenali dan memilih kisaran suhu tertentu yang memberikan kesempatan
untuk melakukan aktivitas secara maksimum dan pada akhirnya
mempengaruhi kelimpahan dan penyebarannya. Dalam hal ini, suhu
berpenagruh terhadap proses metabolisme ikan, tingkat pertumbuhan, laju
makan, aktivitas seperti kecepatan renang, serta dalam rangsangan syaraf.
Pengaruh suhu perairan pada tingkah laku ikan paling jelas terlihat
selama pemijahan. Suhu air laut dapat mempercepat atau memperlambat
mulainya pemijahan pada beberapa spesies ikan. Suhu air dan arus selama
dan setelah pemijahan adalah faktor-faktor yang cukup berpengaruh penting
dalam menentukan daya tahan hidup larva pada ikan. Suhu ekstrim pada
daerah pemijahan (spawning ground) selama musim pemijahan dapat
memaksa ikan untuk memijah di perairan tertentu. Perubahan suhu jangka
panjang dapat mempengaruhi perpindahan tempat pemijahan (spawning
ground) yang selanjutnya akan mempengaruhi daerah penangkapan (fishing
ground) secara periodik.
tinggi paras laut, arah dan kecepatan arus dan tingkat produktifitas primer.
Analisis dengan SIG akan memberikan tampilan secara geografis
kecenderungan sebaran dari faktor-faktor lingkungan yang disukai ikan yang
akhirnya memberikan gambaran perkiraan daerah penangkapan ikan. Ikan
dengan mobilitasnya yang tinggi akan lebih mudah diprediksi
keberadaannya melalui teknologi ini karena ikan cenderung berkumpul pada
kondisi lingkungan tertentu.
Pemrosesan data perikanan pada teknologi sistem informasi daerah
penangkapan ikan dimaksudkan untuk mempresentasikan input,
manipulasi, pengelolaan, query, analisis, dan visualisasi. Apa yang tersaji
pada sebuah peta daerah penangkapan ikan, tidak lain adalah data atau
informasi tentang posisi penyebaran spasial daerah penangkapan ikan, baik
secara horizontal maupun vertikal. Namun demikian, sistem informasi
daerah penangkapan ikan tidak hanya dipandang sebagai pemindahan peta
konvensional kebentuk peta digital. Dengan kemampuannya memanipulasi
data, dan komputer yang dapat menangani berbagai basis data, maka
sistem ini merupakan salah satu alternatif yang dipilih untuk menyajikan
informasi berharga dengan cara menyajikan informasi tambahan lain dalam
suatu peta. Oleh karena itu, pada peta daerah penangkapan juga sering
ditampilkan parameter-parameter yang mempengaruhi penyebaran ikan,
bahkan alokasi spasial unit penangkapan dan musim penangkapan.
Kondisi perairan yang cocok untuk penyebaran spesies ikan tertentu
merupakan suatu sebaran spasial yang dapat dipetakan dengan teknologi
SIG. Data parameter oseanografi yang mempengaruhi penyebaran ikan
perlu diintegrasikan dengan berbagai layer pada SIG karena ikan sangat
mungkin merespon bukan hanya pada suatu parameter lingkungan saja,
tetapi berbagai parameter yang saling berkaitan. Contohnya tuna albacore di
laut utara Pasifik cenderung terkonsentrasi pada kisaran suhu 18,5–21,5ºC,
dan berassosiasi dengan tingkat klorofil-a 0,3 mg/m³, sedangkan ikan
cakalang dan tuna kecil (little/baby tuna) lebih menyukai perairan dengan
kisaran suhu 23–28ºC. Data oseanografi ini dapat diperoleh secara mudah
dengan perkembangan teknologi inderaja, bahkan dapat didownload pada
berbagai situs. Data tentang lokasi pendaratan ikan dan musim
penangkapan juga perlu dipetakan bersamaan dengan daerah penangkapan
84
dipercaya untuk menerima data via faksimili. Setiap kapal peserta kegiatan
percontohan diharapkan memiliki alat navigasi GPS (Global Positioning
System). Bilamana tidak terdapat peralatan navigasi tersebut, maka
program ini akan menyediakan sebuah alat bagi kapal penangkap ikan yang
bertindak selaku pemandu. Keberhasilan dari pemanfaatan teknologi
penginderaan jauh untuk perikanan ini juga terpulang kepada improvisasi
para nahkoda/nelayan yang secara naluri dengan pengalaman
tradisionalnya dapat membaca variasi dan kondisi perairan saat operasi
penangkapan ikan berlangsung.
Untuk mendukung pelaksanaan sosialisasi dan penerapan informasi
zona potensi penangkapan ikan tersebut diperlukan sarana komunikasi dan
perlengkapan kerja antara lain :
(1) Mesin facsimile, dipergunakan untuk menerima peta daerah
penangkapan ikan potensial.
(2) GPS Handheld, untuk menentukan posisi lokasi kapal pada saat
melakukan operasi penangkapan ikan di laut.
(3) Fishfinder, untuk mendeteksi besarnya gerombolan ikan pada lokasi
yang ditunjukkan pada peta daerah penangkapan ikan potensial.
(4) Radio All Band, sebagai sarana komunikasi antara petugas didarat
dengan kapal penangkap ikan untuk menyampaikan informasi terbaru.
(5) Life Jackets, untuk pengamanan petugas pelaksana sosialisasi.
87
DAFTAR PUSTAKA
Alimina N, Siregar VP, Simbolon D. 2005. Front dan upwelling di perairan
selatan Sulawesi Tenggara [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor
Gaol JL. 2003. Kajian karakter oseanografi Samudera Hindia bagian timur
dengan menggunakan multi sensor citra satelit dan hubungannya
dengan hasil tangkapan tuna mata besar (Thunnus obesus) [disertasi].
Bogor: IPB.
BAB IV
PENGELOLAAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN
DALAM MENJAMIN USAHA PERIKANAN TANGKAP
BERKELANJUTAN
4.1 Pendahuluan
masyarakat nelayan kita, mereka sering sekali bertumpuk pada satu area
peangkapan sehingga sering menimbulkan friksi dan ketersediaan
sumberdaya menjadi langka akibat eksploitasi secara terus menerus.
Dari sekian banyak permasalahan yang memerlukan perhatian
mendesak adalah, pertama, proses perusakan dan kerusakan sumber daya
perikanan yang semakin meluas. Kedua, ketimpangan pendapatan nelayan
dan ketimpangan kepadatan penangkapan ikan. Ketiga, konflik sosial dalam
pengelolaan sumberdaya perikanan. Keempat, belum terintegrasinya secara
optimal sektor perikanan dalam arah kebijakan Pemerintah Provinsi maupun
di tingkat kabupaten.
Salah satu ikan ekonomis peting yang perlu diketahui daerah
penangkapannya adalah ikan tuna. Hasil eksplorasi ikan tuna di Indonesia
baru mencapai 14% dari angka potensi lestari. Peningkatan upaya
penangkapan yang lebih realistis pada saat ini adalah dengan
memanfaatkan teknologi informasi spasial secara optimal. Pemerintah
melalui Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sedang
mengembangkan suatu program kegiatan yang bertujuan untuk membentuk
model basis data daerah penangkapan tuna yang mengelola data
tangkapan ikan secara harian dan menghasilkan peta prakiraan daerah
penangkapan dari citra satelit NOAA-AVHRR, sebagai hasil penerapan
konsep teknologi informasi spasial yang spesifik untuk eksplorasi tuna.
Suhu permukaan laut (SPL) merupakan faktor penting yang
mengatur proses kehidupan dan penyebaran ikan. Setiap spesies tuna
mempunyai kisaran SPL tertentu untuk aktivitasnya. Estimasi SPL dapat
dilakukan dari satelit NOAA-AVHRR melalui asumsi dasar bahwa setiap
objek memancarkan energi elektromagnetik sesuai dengan suhu, panjang
gelombang dan emisivitasnya
Ada beberapa parameter alam yang sering digunakan oleh para
nelayan dalam menentukan daerah penangkapan ikan. Salah satu
parameter yang sering digunakan nelayan tradisional adalah banyaknya
burung di atas perairan dan riak-riak air akibat pergerakan ikan ditenggarai
sebagai indikator banyaknya ikan di daerah tersebut. Namun keterbatasan
sarana nelayan tradisional sering sekali menjadi faktor utama nelayan tidak
dapat memperluas daerah penankapan ikan. Dengan pertimbangan ini
93
DAFTAR PUSTAKA
Dahuri, R, 2002. Membangun Kembali Perekonomian Indonesia Melalui
Sektor Perikanan dan Kelautan. Lembaga Informasi dan Studi
Pembangunan Indonesia. Jakarta.
BAB V
PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS
DALAM PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL
5.1 Pendahuluan
penangkapan ikan dan hasil tangkapan nelayan skala kecil ini sangat
tergantung pada kondisi ketiga ekosistem utama tersebut.
Pengelolaan perikanan tangkap skala kecil di beberapa wilayah
Indonesia dilakukan secara tradisional oleh masyarakat setempat dan juga
dilakukan secara partisipatif antara masyarakat nelayan dengan beberapa
unsur lain yang terlibat (stakeholders) termasuk pemerintah. Formulasinya
pengelolaan tersebut umumnya kurang didukung oleh informasi ilmiah yang
akurat. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, informasi
terutama yang terkait dengan daerah penangkapan ikan yang potensial dan
status sumberdaya pesisir lainnya sudah dapat ditentukan. Tulisan ini akan
menguraikan peranan penginderaan jauh dan sistem informasi geografis
dalam pengelolaan perikanan tangkap skala kecil secara berkelanjutan.
2002). Akan tetapi, dalam konteks ini hanya akan dibahas gambar optik
yang diperoleh melalui sensor angkasa luar (space-borne sensors).
Penginderaan jauh (inderaja) digunakan untuk memantau
permukaan lahan, laut dan bahkan atmosfer, dan bagaimana perubahan-
perubahan terjadi pada semua ini. Cakupan sebagian besar satelit
penginderaan jauh meliputi seluruh permukaan bumi, membuatnya menjadi
penting untuk fenomena berskala luas seperti sirkulasi air laut, iklim dan
penebangan hutan global, juga pada daerah terpencil. Pemotretan satelit
yang berulang-ulang pada daerah yang sama dapat dilakukan dalam jangka
waktu yang lama. Kemampuan ini membuatnya memungkinkan untuk
memantau perubahan lingkungan, meliputi dampak kegiatan manusia dan
proses alami, dan mensimulasi bagaimana kecenderungan dari apa yang
telah diamati pada masa lampau akan terjadi pada masa yang akan datang
(Anonim 2008).
Teknologi satelit inderaja beserta sensor-sensor yang menyertainya
dewasa ini telah mengalami kemajuan sedemikian rupa sehingga
menyebabkan resolusi spasial setiap piksel data citra hasil perekaman
sensor-sensor yang bersangkutan dapat mencapai puluhan meter, seperti
citra Landsat dan Spot, bahkan mencapai satu meter di muka bumi, seperti
citra IKONOS pankromatik (Prahasta 2001). Selain itu, proses perekaman
data citra dijital satelit ini dapat dilakukan dengan efektif dan efisien dalam
waktu yang relatif singkat. Dengan demikian, pengguna yantg
membutuhkannya hanya perlu mengirimkan permohonan perekaman citra
pada agen-agen citra satelit yang bersangkutan, dengan menentukan waktu
perekaman yang diinginkan beserta batas-batas koordinat wilayah yang
akan diliput, menentukan jumlah scenes citra yang diperlukan, dan tak lama
kemudian citranya akan diperoleh pengguna.
ecological
sustainability
Institutional
sustainability
economic community
sustainability sustainability
oleh suhu 30oC - 32oC, sehingga kurang cocok untuk tempat hidup ikan
layang yang membutuhkan suhu sekitar 29oC.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Space solutions for The World’s Problems : How The United
Nations Family Is Using Space Technology For Sustainable
Development : http://www.uncosa.unvienna.org).
Lillesand TM, Kiefer RW. 1994. Remote Sensing and Image Interpretation.
John Willey and Sons. New York.
117
BAB VI
KONFLIK PEMANFAATAN SUMBERDAYA DAN
DAERAH PENANGKAPAN IKAN
6.1 Pendahuluan
untuk mengangkat dasar katrol dari dasar. Bobbinis dapat digunakan untuk
mengurangi dampak pada dasar laut tetapi pada prinsipnya digunakan untuk
mengangkat jaring melewati karang atau dasar yang keras.
kerugian pada nelayan. Hal ini tentu saja tidak berwawasan lingkungan
karena dapat mengancam terhadap keberlanjutan populasi sumberdaya
ikan tersebut di atas.
Alat tangkap ini mirip dengan jaring insang hanyut akan tetapi
pengoperasiannya (setting) dilakukan dekat atau pada dasar perairan.
Panjangnya antara 175 - 420 m dan disebut juga jaring hiu atau grail nets.
Alat tangkap ini dapat dioperasikan di wilayah lepas pantai, pesisir dan
sungai. Gilnet di lepas pantai umumnya digunakan untuk menangkap hiu
dan bebepara ikan bersirip seperti snapper tropis.
Alat ini termasuk dalam kategori jaring lingkar, dan bentuknya seperti
dipan dengan dua sayap bercabang (Gambar 6.5). Biasanya digunakan
unutk menangkap ikan umpan, seperti garfish, pilchard dan anchovy. Dalam
perikanan lampara ini, nelayan seringkali membung spesies non-target
kembali ke laut, termasuk juga ikan-ikan kecil karena nilai ekonomisnya
rendah. Ikan ukuran kecil banyak tertangkap karena alat tangkap ini tidak
selektif. Tindakan tersebut tentu saja tidak berwawasan lingkungan.
6. Purse seine
akan tertutup dan akibatnya ikan tidak akan bisa meloloskan diri secara
vertikal ke bawah. Semakin panjang ukuran jaring, maka volume perairan
yang dapat dilingkar akan semakin banyak pula. Akibatnya schooling ikan
yang dapat dilingkari juga semakin banyak. Beach seine juga merupakan
jaring yang dioperasikan dengan cara melingkari gerombolan ikan di dekat
pantai dengan menggunakan perahu, kemudian jaring di tarik menuju pantai
oleh nelayan.
7. Drifting longlines
Drifting longline terdiri dari tali utama yang panjang dan mengapung
di atas atau dekat permukaan laut. Sepanjang tali utama tersebut dipasang
sejumlah tali cabang dengan umpan kail. Tali utama dibentangkan
sepanjang 10-80 km pada kedalaman renang ikan yang menjadi target
penangkapan seperti ikan tuna, marlin, swordfish dan hiu.
8. Bottom-set longlining
9. Droplining
Alat ini terdiri dari beberapa tali bercabang, dimana tiap tali tersebut
berisi hingga 100 tali berambut dengan kail. Droplining digunakan untuk
menangkap ikan seperti blue eyed cod, pink ling hiu dan snapper. Jika
dikelola dengan baik, droplining dapat menjadi salah satu metode
penagkapan ikan yang berkelanjutan. Metode ini dapat menggantikan trawl
di berbagai perairan, untuk menangkap spesies ikan yang habitatnya pada
perairan dalam, dimana tidak mampu mencapai kedalaman tersebut
(Gambar 6.10).
bawah perahu. Alat ini disetting melalui susunan katrol dan secara otomatis
dapat dinaikan dan diturunkan.
Alat ini termasuk pancing, yang terdiri dari tali nilon tunggal yang
diletakan pada alat penggulung, dan mata pancing. Mata pancing terbuat
dari baja atau stainless steel. Mata pancing sering dilengkapi dengan bulu-
bulu yang berwarna-warni untuk memikat perhatian ikan. Alat ini digunakan
untuk manangkap berbagai jenis spesies seperti tuna, snapper, jewfish, cod,
131
grouper, hiu dan bahkan ikan umpan seperti yellow-tail scad dan mackerel.
Alat ini sangat selektif, by-catch yang diperoleh relatif sedikit.
cumi (squid jigging), handline dan dive fisheries. Adapun perkiraan dampak
dari berbagai metode penangkapan terhadap sumberdaya dan habitat dapat
dilihat pada Tabel 6.1. Pada tabel disajikan contoh tingkatan (bobot) dari
dampak yang ditimbulkan oleh berbagai metode penangkapan, yang terdiri
atas very high impact, high/moderate impact, moderate impact,
moderate/low impact dan low impact.
Dampak terhadap
Alat tangkap
Sumberdaya Habitat
Bottom Trawl 5 5
Scallop dredges 5 5
Drifting gillnets 4 1
Bottom-set gillnets 4 3
Lampara nets 2 1
Purse seine 2 1
Beach seine 2 2
Drifting longlines 4 1
Droplining 3 1
Bottom-set longlining 5 2
Pots and traps 2 2
Trolling 5 1
Squid Jigging 1 1
Dive Fisheries 1 1
Hand line 1 1
Keterangan : 1 = low impact
2 = moderate/low impact
3 = moderate impact
4 = high/moderate impact
5 = very high impact
Laut yang luas dan sumber daya ikan melimpah, tetapi hasil (nilai
tambah) yang didapatkan oleh pelaku perikanan tangkap, khususnya
nelayan masih jauh dari cukup dan memprihatinkan. Pada akhir 1996, atas
inisiatif Bappenas terbentuklah Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumber
133
Daya Ikan Laut. Oleh komisi tersebut, perairan dan laut Indonesia untuk
pemanfaatan sumber daya perikanan dibagi menjadi sembilan Wilayah
Pengelolaan Perikanan (WPP), yaitu (1) Selat Malaka; (2) Laut Cina
Selatan; (3) Laut Jawa; (4) Laut Flores dan Selat Makassar; (5) Laut Banda;
(6) Laut Arafura; (7) Laut Seram dan Teluk Tomini; (8) Laut Sulawesi dan
Samudera Pasifik; dan (9) Samudera Hindia.
Pembagian WPP ini oleh Komisi Nasional Pengkajian Stok
Sumberdaya Ikan Laut lebih ditujukan untuk memudahkan sistem pendataan
yang selanjutnya digunakan untuk estimasi (pendugaan) stok. Pembagian
WPP ini lebih didasarkan pada daerah tempat ikan hasil tangkapan
didaratkan di pelabuhan. Hal ini memiliki kelemahan, karena data yang
didapat ternyata memiliki bias dan kurang akurat sehingga dapat
menyebabkan kesalahan dalam estimasi. Ini ditambah lagi dengan illegal
fishing oleh nelayan asing dan transaksi hasil tangkapan di tengah laut yang
tentu saja semakin mengacaukan data stok sumber daya ikan tersebut.
Jumlah pelabuhan perikanan masih jauh dari cukup, dan memiliki
kesenjangan yang sangat besar antara kawasan barat dengan kawasan
timur Indonesia.
Ketidakakuratan data terlihat jelas dengan adanya informasi bahwa
WPP Laut Jawa memiliki produksi tuna yang tinggi, padahal tuna tersebut
sebenarnya berasal dari Samudra Hindia dan Samudera Pasifik (utara
Papua). Tuna tersebut seakan-akan berasal dari Laut Jawa karena
didaratkan di Pelabuhan Muara Baru Jakarta, yang termasuk dalam WPP
Laut Jawa.
Di perairan Indonesia terdapat empat spesies utama ikan tuna, yaitu
yellowfin tuna (Thunnus albacora), bigeye tuna (Thunnus obesus), albacore
(Thunnus alalunga), dan southern bluefin tuna (Thunnus maccoyii). Perairan
barat Samudera Pasifik (termasuk di dalamnya perairan utara Papua)
merupakan kawasan yang memiliki kelimpahan ikan tuna tertinggi. Pada
perairan Samudera Hindia (termasuk di dalamnya perairan barat Sumatera,
selatan Jawa, Bali, NTB, dan NTT) juga merupakan perairan dengan
populasi tuna cukup tinggi. Yellowfin tuna, albacore, dan bigeye melakukan
pembesaran (nursery) di perairan Indonesia, tetapi southern bluefin tuna
hanya memijah (spawning) di perairan selatan Jawa.
134
sangat besar baik yang non hayati seperti bahan tambang dan energi
maupun hayati terutama ikan. Potensi sumberdaya ikan laut diiperikirakan
sebesar 6,26 juta ton/tahun yang terdiri dari potensi wilayah peariran
Indonesia sekitar 4,40 juta ton/tahun dan wilayah ZEEI sekitar 1,86 juta
ton/tahun. Hasil pengkajian stok (stock assessment) yang dilakukan oleh
Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan,
Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 2001, potensi SDI di
perairan Indonesia diperkirakan sebesar 6,40 juta ton pertahun, dengan
rincian 5,14 juta ton pertahun berasal dari perairan territorial dan 1,26 juta
ton pertahun berasal dari ZEEI. Mengingat besarnya sumberdaya yang ada
maka pantai dan laut dapat dijadikan sumber pangan dan bahan baku
industri.
Keadaan sumberdaya di suatu kawasan dipengaruhi oleh enam
faktor utama, yaitu pranata-pranata pengelolaan sumberdaya lokal, konteks
sosial budaya, kebijakan negara, variable teknologi, tingkat tekanan pasar
dan tekanan penduduk. Keenam faktor tersebut berpengaruh secara
langsung terhadap keadaan sumberdaya atau yang tidak langsung dengan
diperantarai oleh pranata lokal. Upaya pemerintah yang dilakukan lebih
berorientasi pada pertumbuhan daripada pemerataan yang mengedepankan
partisipasi masyarakat sebagai pelaku utama. Hal ini ternyata terjadi saat
pemerintahan orde baru, bahwa ciri-ciri pembangunan Orde Baru dapat
disimak dari : (1) pola pembanguan yang sentralistik; (2) Negara sangat
dominant terhadap masyarakat; (3) pembangunan yang diterapkan secara
seragam dengan mengabaikan keanekaragaman atau pluralitas masyarakat
dan kebudayaannya; (4) pendekatan yang bersifat mobilisasi lebih
diutamakan daripada partisipasi sosial.
Dalam pemanfaatan sumberadaya perikanan laut, terjadi kompetisi
baik antar nelayan lokal maupun dengan nelayan pendatang (andon).
Kompetisi juga terjadi dalam penggunaan teknologi alat tangkap dan
perebutan sumberdaya ikan di daerah penangkapan (fishing ground). Hal ini
kemudian menjadi potensi konflik yang suatu saat akan mengakibatkan
terjadinya konflik terbuka. Pemanfaatan teknologi penangkapan sangat
tergantung pada kemampuan modal dan ketrampilan nelayan dalam
menggunakaannya. Tidak semua lapisan masyarakat dapat memanfaatkan
teknologi penangkapan modern. Sementara laut sebagai common property
136
tangkap yang sama pula atau di antara para nelayan yang menggunakan
alat tangkap yang berbeda pada daerah penangkapan yang sama. Konflik
seperti demikian ternyata sering terjadi, seperti di perairan utara Jawa
Timur.
Konflik antar kelompok nelayan dalam memperebutkan sumberdaya
perikanan terjadi di beberapa daerah. Pesisir utara Jawa Timur yang
membentang dari Kabupaten Tuban hingga Kabupaten Sirtubondo juga
wilayah pesisir Pulau Madura. Kasus di perairan Bangkalan dimana dua
kelompok nelayan terlibat bentrok fisik akibat berebut daerah penangkapan
ikan . Peristiwa ini terjadi pada tanggal 12 Juli 1995 di perairan
Karangjamuang, Bangkalan utara. Konflik terjadi antara nelayan lokal
dengan nelayan Lamongan. Terjadilah pembakaran perahu-perahu nelayan
Lamongan oleh nelayan Bangkalan, karena menganggap wilayah perairan
tersebut adalah milik mereka sejak turun temurun, melarang nelayan
Lamongan untuk menangkap ikan di perairan mereka. Kasus serupa terjadi
pula di perairan Sidoarjo, dimana bentrok terjadi antara nelayan Pulau
Mandangin Sampang dengan Nelayan Kisik, Pasuruan yang disebabkan
perebutan lokasi penangkapan udang.
Kasus penggunaan alat tangkap terjadi di Perairan Probolinggo,
Pausuran dan Lamongan. Di Probolinggo, nelayan asal Kalibuntu, Kraksan
terlibat bentrok dengan nelayan Pulau Gili Ketapang yang disebabkan
penggunaan alat tangkap mini trawl untuk menangkap ikan. Sementara di
Pasuruan, bentrokan terjadi antara nelayan Kecamatan Lekok dengan
nelayan Kisik, Kalirejo Kecamatan Kraton dengan kasus yang sama.
Ratusan nelayan di Lamongan menghancurkan fasilitas publik, karena
menganggap Pemda Lamongan tidak segera melarang nelayan yang
menggunakan alat tangkap mini trawl yang telah berlangsung sudah lama.
Mereka beranggapan bahwa pengoperasian trawl telah merusak ekosistem
laut.
Konflik antar nelayan di perairan utara Jawa Timur sebenarnya telah
berlangsung lama, sejak tahun 70-an. Kejadian di Muncar misalnya, berawal
dari kalahnya nelayan tradisional bersaing terhadap nelayan purse seine.
Pertikaian akibat kecemburuan ini berlangsung hingga tahun 80-an. Namun
sejak tahun 90-an keadaan konflik bergeser tidak hanya antara nelayan
140
DAFTAR PUSTAKA
Australian Marine Conservation Society, 2008. Fishing gear in focus. The
Myer Foundation (www.amcs.org.au)
BAB VII
DAMPAK GLOBAL WARMING DAN CLIMATE CHANGE
TERHADAP PENYEBARAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN
7.1 Pendahuluan
dari hasil pembakaran yang menimbulkan polusi (emisi gas rumah kaca atau
emisi GRK).
Efek gas rumah kaca (GRK) selanjutnya memberi kontribusi penting
terhadap pemanasan global. Selama ini mungkin banyak salah persepsi
mengenai efek rumah kaca, yang beranggapan bahwa efek rumah kaca
disebabkan oleh bangunan yang menggunakan banyak kaca, sehingga
cahaya matahari terpantul dan melubangi atmosfer. Efek rumah kaca berarti
efek yang ditimbulkan oleh rumah kaca. Sebenarnya rumah kaca
dimanfaatkan oleh petani untuk menanam jenis tanaman yang
membutuhkan panas lebih atau menanam pada musim dingin, karena kaca
dapat meneruskan cahaya (panas), dan mengurung panas tersebut dalam
rumah kaca, sehingga panas didalamnya dapat dikendalikan. Dalam hal
pemanasan global, bumi dianalogikan dengan rumah kaca dan kacanya
adalah GRK. Gambaran efek rumah kaca dan proses terjadinya global
warming dapat dilihat pada Gambar 7.1 dan Gambar 7.2.
(4) Nitrogen oksida (N2O), adalah gas insulator panas yang sangat kuat,
terutama dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil dan lahan. Gas
menangkap panas 300 kali lebih besar dari CO2.
(5) Cloroflourocarbon (CFC) dihasilkan oleh pendingin-pendingin yang
menggunakan freon, seperti kulkas dan AC. CFC mampu menahan
panas dan mengurangi lapisan ozon, yang berguna untuk menahan
sinar UV masuk ke dalam bumi.
Beberapa sumber pemanasan global (Herwin 2008) di antaranya
adalah :
(1) Gas buangan industri dan penggunaan bahan bakar fosil.
(2) Penebangan hutan yang menyebabkan penyerapan CO2 oleh tumbuhan
berkurang, karena CO2 adalah bahan baku dalam proses fotosintesis.
Pemicu yang utama adalah illegal logging, pabrik kertas, furniture
berbahan dasar kayu, ekspor kayu.
(3) Kebakaran hutan, selain memiliki dampak yang sama dengan
penebangan hutan, pembakaran hutan juga melepaskan CO2 hasil
pembakaran. Pemicunya adalah pembukaan lahan baru, dan
pembukaan lahan pertanian.
(4) Pemakaian energi berlebihan, karena pembangkit listrik menggunakan
bahan bakar untuk menjalankan motornya (diesel), di mana pembangkit
listrik membuang energi dua kali lipat dari energi yang dihasilkan.
Akibat yang dapat ditimbulkan dari pemanasan global adalah:
(1) Pemanasan global menyebabkan perubahan iklim bumi, di mana
tumbuhan yang tidak dapat beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi
akan mengalami kepunahan, sehingga menyebabkan rantai makanan
menjadi terganggu, yang berakibat pada hewan yang mengkonsumsi
tumbuhan tersebut akan mengalami kepunahan pula, yang pada
akhirnya berdampak terhadap manusia sebagai konsumen tertinggi.
(2) Pemanasan global akan menyebabkan proses mutasi pada virus. Hal ini
berakibat virus semakin bervariasi dan semakin ganas karena virus
semakin agresif dalam suhu tinggi, dan nyamuk semakin berkembang
biak pada suhu tinggi. Hal ini akan menimbulkan banyak penyakit baru
yang dapat menyebabkan peningkatan kematian.
150
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti variasi iklim musiman, arus atau
massa air laut yang mempengaruhi massa air dari dua samudera, serta
keragaman tipe habitat dan ekosistem yang terdapat di dalamnya (DKP
2006).
Posisi geografis Indonesia menyebabkan adanya musim-musim yang
saling berlawanan dan bersifat ekstrem pada setiap saat di dalam wilayah
tertentu. Kekeringan dan kekurangan air terjadi di satu wilayah tertentu,
akan tetapi terjadi banjir di wilayah lain. Musibah angin kencang dan
gelombang pasang bisa terjadi setiap waktu dan sulit diprediksi jauh-jauh
sebelumnya. Kondisi cuaca atau iklim ekstrem muncul apabila terjadi
penyimpangan (anomali) kondisi udara karena unsur-unsur cuacanya
(misalnya suhu, tekanan, kelembaban, angin, dan curah hujan) berindikasi
menyimpang dari rata-ratanya.
Posisi Indonesia di garis equatorial dan menjadi wilayah konvergensi
massa air memberikan keuntungan klimatologis yang tidak dimiliki oleh
negara lain. Implikasi meteorologis sifat iklim tersebut, kawasan Indonesia
barat mendapatkan jumlah curah hujan lebih tinggi dibandingkan dengan
kawasan Indonesia timur, karena menjadi salah satu wilayah konvergensi
massa air dari laut Jawa dan Samudera Pasifik. Fisiografis wilayah juga
turut memberikan dampak yang tidak kecil terhadap karakteristik iklim suatu
wilayah.
berpengaruh pada kondisi iklim global. Elemen kunci pada fenomena El-
Nino adalah hasil dari interaksi antara kondisi permukaan air laut dan angin
(sistem pada laut-atmosfir). Prosesnya angin mendorong lapisan permukaan
air laut dan membawa massa air lapisan hangat dari Timur ke arah Barat
daerah tropis Pasifik. Hal ini menyebabkan tinggi permukaan air laut lebih
tinggi 0,5 m di Indonesia dibandingkan di Ekuador sedangkan suhu
permukaannya lebih tinggi 8oC pada daerah Barat. Ketika lapisan
permukaan air bergerak dari pantai Selatan Amerika, massa air dingin yang
kaya nutrien dari lapisan bawah naik ke atas menggantikan massa air
hangat di permukaan. Fenomena ini dikenal juga sebagai Upwelling. Ketika
massa air hangat terus bergerak ke arah barat batas antara massa air
hangat dan massa air dingin (termoklin) bergerak semakin ke atas
permukaan air pada bagian timur dan bergerak semakin ke bawah (ke
dalam) pada bagian barat. Akhirnya massa air yang kaya dengan nutrien
dari lapisan dalam perairan bercampur dengan lapisan massa air pada
permukaan sehingga memperkaya produktifitas primer perairan yang
berdampak pada keragaman biota laut dan jenis ikan utama di wilayah yang
dilalui El-Nino sehingga secara langsung mempangaruhi daerah
penangkapan ikan (fishing ground).
Cushing (1982) diacu dalam Pariworo (1996) menyebutkan bahwa
ENSO tahun 1972 merupakan penyebab penurunan drastis dari hasil
perikanan anchovy di Peru. Vildoso (1972) diacu dalam Pariworo (1996)
melaporkan bahwa ENSO 1972 menyebabkan suhu air laut meninggi hingga
mencapai 30oC dan menurunnya salinitas perairan Peru hingga 3,3%. Lebih
lanjut dilaporkan, hancurnya perikanan anchovy di Peru merupakan
penyebab menurunnya populasi burung-burung laut secara mencolok
(Valdivia 1974 diacu dalam Pariworo 1996). Pauly and Tsukayama (1987)
diacu dalam Pariworo (1996) menyatakan bahwa rekrutmen dari anchovetta
di Peru ditentukan oleh olakan frekuensi pendek di perairan yang
disebabkan oleh kekuatan angina. Ini berarti bahwa keberadaan stok ikan
ditentukan oleh kondisi lingkungan perairan di mana ikan hidup dan
berkembang biak. Muck et al (1987) diacu dalam Pariworo (1996)
membuktikan bahwa suhu perairan menentukan pola migrasi ikan mackerel,
yang berarti menentukan distribusi biomassa ikan tersebut sepanjang pantai
Peru. Selanjutnya dinyatakan bahwa jika suhu perairan pantai terlalu dingin,
157
maka pemijahan dari ikan mackerel dan horse mackerel akan berlangsung
di perairan yang suhunya lebih hangat (sepanjang garis luar dari paparan
benua).
Fenomena ENSO juga sangat berkaitan erat dengan populasi ikan di
laut, khususnya di Laut Pasifik (Serra 1987 diacu dalam Dirjen Penataan
Ruang 2005). Pada saat terjadi El Nino, populasi ikan khususnya jenis
pelagis seperti sardine (Sardinops sagax), anchoveta (Engaulis ringens),
jack mackerel (Tranchurus murphyi), dan Scomber japonicuperuanus)
berkurang karena sedikitnya makanan yang tersedia. Diantara ke empat
ikan ini, jenis sardine dan jack mackerel (Tranchurus murphyi) yang paling
terpengaruh oleh fenomena ENSO.
Iklim berpengaruh nyata terhadap kondisi oseanografi dan akhirnya
parameter-parameter oseanografi akan mempengaruhi tingkah laku ikan
dalam proses reproduksi, pemijahan, dan migrasinya. Migrasi dari larva ikan
sangat terkait dengan pola aliran arus laut. Cushing (1982) diacu dalam
Pariworo (1996) menyatakan bahwa gangguan dari lingkungan perairan
terhadap suatu rantai migrasi ikan akan menyebabkan ikan-ikan tersebut
membentuk suatu kelompok terpisah dari kelompok yang membentuk stok
ikan, atau mereka akan mati sebelum menjadi dewasa. Jika ini benar, maka
diduga ENSO pun akan berdampak penting terhadap ikan-ikan tangkap di
Indonesia (Pariworo 1996).
Tahun 1992 ketika ENSO yang paling kuat berlangsung, dikenang oleh
para nelayan di Teluk Palabuhanratu sebagai tahun panan raya (hasil
tangkapan ikan melebihi rata-rata). Menurut para nelayan tersebut, panen
raya semacam ini terjadi sekitar lima tahun sekali (Fuadi 1985 diacu dalam
Pariworo 1996). Fenomena ini sangat menarik, karena ENSO timbul sekitar
lima tahun sekali dan memberikan indikasi bahwa ENSO berpengaruh
terhadap penyebaran daerah penangkapan ikan, tetapi belum bisa
dipastikan apakah hasil tangkapan yang meningkat tersebut disebabkan
oleh meningkatnya populasi ikan di perairan Palabuhanratu atau karena
cuaca baik yang memungkinkan para nelayan lebih sering melaut, ataukah
karena kombinasi antara dua faktor tersebut (Pariworo 1996).
ENSO mengakibatkan suhu permukaan laut (SPL) meningkat dan
lapisan termoklin menipis. Kondisi ini jika disertai dengan kenaikan paras
laut, akan mengakibatkan menurunnya produksi primer di laut (Syahailatua
158
tercatat lebih dominan pada suhu 26oC. Hasil sebaran SPL ini ternyata
bertolak belakang dengan efek dari ENSO sendiri, di mana ENSO
mengakibatkan pemanasan atau peningkatan SPL. Keadaan ini ternyata
berkaitan dengan hasil penelitian Dr. Toshio Yamagata (University of Tokyo)
dan Saji Hamid (National Space Development Agency of Japan dan the
Japan Marine Science and technology Centre), yang menyatakan adanya
fenomena alam yang disebut dengan dipole mode event (DME). DME
merupakan perbedaan dua kutub (pole), di mana terjadi anomali positif SPL
di Samudera Hindia bagian barat dan anomali negatif SPL di Samudera
Hindia bagian timur. Gejala DME dicirikan dengan adanya angin tenggara
yang bertiup intensif pada musim timur yang menyebabkan penurunan SPL
(anomali negatif) di perairan Selatan Jawa-Bali. Hubungan antara DME
dengan ENSO sendiri belum diketahui secara pasti, namun diduga adanya
DME inilah yang menyebabkan SPL di perairan Selatan Jawa-Bali pada saat
musim timur menjadi rendah. Kejadian DME bersamaan dengan kejadian
ENSO pada 1997. DME dan ENSO juga bersamaan terjadinya pada tahun
1961 dan tahun 1994.
Saat musim timur sewaktu Non-ENSO (1999) menunjukkan adanya
variasi SPL yang berkisar antara 25-29oC dan lebih dominan pada suhu
27oC. Hal ini berkaitan dengan penelitian Purba et al. (1997) diacu dalam
Bahri (2002) yang menyatakan variasi SPL pada musim timur berkisar
antara 26-28oC. Saat musim timur berlangsung (Juni-Agustus), daerah
upwelling di perairan Selatan Jawa-Bali lebih tinggi intensitasnya di bagian
timur Pulau Jawa dan Bali. Pada musim timur SPL tercatat lebih dingin
dibandingkan musim lainnya dan merupakan musim yang tepat untuk
menangkap tuna, di mana daerah penangkapan ikan tuna sendiri cenderung
berada di sekitar daerah upwelling. Sebaran daerah penangkapan tuna
mata besar dan albakor menurut PT. Samodra Besar (PSB) pada tahun
1997 saat ENSO dan DME berlangsung menyebar dari lintang 10-15o LS
dan bujur 109-114oBT, dengan lokasi penangkapan potensial pada lintang
12-14oLS dan bujur 113-116oBT. Namun catatan hasil tangkapan pada
musim ini juga menunjukkan beberapa penangkapan tuna dilakukan hingga
lintang 15-17oLS dan bujur 107-108oBT serta 115-116oBT. Penangkapan
tuna yang masih di dalam perairan Selatan Jawa-Bali diduga disebabkan
intensitas upwelling yang tinggi dan merata di sepanjang perairan tersebut.
160
Hasil tangkapan tahun 1997 paling banyak terjadi pada Mei-Juli. Sebaran
penangkapan tuna pada 1999 sewaktu Non-ENSO menyebar dari lintang
11-15oLS dan bujur 107-116oBT, dengan daerah tangkapan potensial pada
lintang 12-14oLS dan bujur 113-115oBT. Dari catatan hasil tangkapan PSB
juga menunjukkan pada tahun Non-ENSO penangkapan dilakukan hingga
ke perairan Indonesia sebelah timur. Hasil tangkapan tuna mata besar dan
albakor di perairan Selatan Jawa-Bali yang dilakukan oleh PSB pada saat
ENSO berjumlah 26.002 ekor, lebih banyak dibandingkan saat Non-ENSO
yang berjumlah 19706 ekor. Sebaran laju tangkap (hook rate) menunjukkan
bahwa saat ENSO hook rate termasuk dalam kategori baik mendominasi
hasil tangkapan PSB sebanyak 1.462 kali (44,13%) dari total setting (3.313
kali), sedangkan pada saat Non-ENSO hook rate dalam kategori buruk lebih
banyak sekitar 1.730 kali (43,21%) dari total setting (4.004 kali).
Penelitian yang dilakukan oleh Syamsudin (2003), menunjukkan
bahwa perubahan iklim regional sangat mempengaruhi variasi antar bulanan
puncak musim penangkapan tongkol di Selat Sunda. Selama
berlangsungnya El Nino, perairan Selat Sunda merupakan tempat ideal
untuk menangkap tongkol. Puncak musim penangkapan adalah bulan Mei-
Agustus. Rentang waktu ini sebulan lebih panjang dibandingkan kondisi
normal yang mempunyai puncak musim penangkapan bulan Juni-Agustus.
Perubahan iklim regional La Nina yang dipicu dari Samudera Pasifik tidak
memberikan lingkungan hidup yang kondusif untuk migrasi ikan tongkol ke
Selat Sunda. Pada saat kejadian ini berlangsung, puncak musim
penangkapan terjadi dalam waktu yang relatif lebih pendek, yaitu pada
pertengahan bulan Mei-Juni.
Konsentrasi makanan dapat dipengaruhi oleh penyebaran suhu. Ikan
seringkali melakukan migrasi musiman menuju kutub selama musim panas,
dan menuju ekuator selama musim dingin. Dalam hal ini migrasi dapat
dipengaruhi oleh suhu selain dipengaruhi keberadaan kelimpahan makanan,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Tingkah laku schooling ikan
terkait dengan pemijahan, mencari makan, dan lain-lain juga mungkin
dikontrol oleh suhu, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kenaikan suhu menyebabkan air laut yang lebih hangat sehingga
dapat mencegah perkembangbiakan plankton dan mengurangi ketersediaan
makanan ikan. Beberapa spesies ikan kemungkinan akan bermigrasi ke
161
wilayah lain yang menawarkan kondisi suhu dan makanan yang lebih baik.
Hal ini akan mempengaruhi perpindahan dan penyebaran daerah
penangkapan ikan.
Suhu yang lebih tinggi dapat merusak atau memutihkan terumbu
karang. Terumbu karang yang tidak bermasalah, kebanyakan mampu
bertahan dengan naiknya paras laut yang telah diperkirakan kurang lebih 50
cm hingga tahun 2100 (IPCC 2001). Dataran terumbu yang terbuka pada
saat surut, yang membatasi pertumbuhan ke atas, dapat mengambil
keuntungan dari kenaikan itu. Akan tetapi karang yang telah melemah
karena meningkatnya suhu atau faktor-faktor lain (peningkatan SPL, badai,
tingkat CO2 dan sinar ultraviolet, perubahan pola arus) mungkin tidak dapat
tumbuh dan membangun kerangka tulang mereka secara normal. Apabila
hal ini terjadi, pulau-pulau yang rendah (low-lying) tidak mendapat
perlindungan dari terumbu karang disekitarnya seperti saat ini terhadap
energi gelombang dan badai (hal ini telah menjadi salah satu perhatian dari
negara-negara seperti Maldiva di Samudera Hindia serta Kiribai dan
Kepulauan Marshall di Samudera Pasifik, di mana kertinggian daratan rata-
rata kurang dari 3 meter di atas paras laut). Dampak pemanasan global
(peningkatan suhu air laut) bagi organisme menurut Norse (2001) disajikan
pada Tabel 7.1.
Dampak pemutihan karang bagi perikanan dapat mengikuti teori
umum interaksi habitat ikan terhadap terumbu karang (Pet-Soede 2000).
Beberapa faktor memberi sumbangan terhadap komposisi komunitas ikan di
terumbu, yang kesemuanya berhubungan dengan struktur fisik dan
kompleksitas terumbu karang. Pertama, kompetisi untuk makan yang
merupakan faktor penting dalam menentukan keanekaragaman dan
kelimpahan. Pada terumbu karang sehat, keragaman dan kuantitas
makanan adalah tinggi dan ini berdampak positif langsung pada keragaman
dan kelimpahan ikan (Robertson and Gaines 1986). Pada terumbu karang
yang kurang sehat, karang mati akan cepat ditumbuhi oleh alga secara
berlebihan, alga kemudian dimakan oleh herbivora seperti ikan kakatua
(Parrotfish, Scarus spp), dan populasi jenis-jenis ini dapat meningkat.
Pemakanan dalam jumlah besar oleh jenis-jenis ini kadangkala merusak
struktur terumbu, menyebabkan erosi kerangka karang, tetapi mereka juga
162
gerakan air (water movement), erosi dan sedimentasi akan berubah pada
saat yang sama, dan hasilnya dalam morfologi pesisir yang berubah (Rais et
al 2004). Adapun ilustrasi proses naiknya paras laut dan dampaknya
terhadap lingkungan pesisir dapat dilihat pada Gambar 7.3.
Kenaikan paras laut, sebagai akibat dari memuainya air laut dan
melelehnya gletser dan lapisan es di kutub, akan menyebabkan naiknya
paras laut. Kenaikan ini akan mempercepat erosi di wilayah pesisir, memicu
intrusi air laut ke air tanah, merusak lahan rawa di pesisir, dan
menenggelamkan pulau-pulau kecil.
DAFTAR PUSTAKA
Bahri S. 2002. Pola distribusi suhu permukaan laut dari citra satelit NOAA-
AVHRR dan hasil tangkapan tuna pada saat El-Nino Southern
Oscillation di perairan Selatan Jawa-Bali (8-15oLS dan 105-117oBT)
[skripsi]. Bogor: FPIK IPB.
Bernawis LI. 2005. Indonesia: Mengapa Laut Kita Istimewa Untuk Interaksi
Laut Atmosfer. Inovasi (4): 36-38.
Bijkma, L., Ehler, C.N., Klein, R.J.T., Kulshrestha, S.M., McLean, R.F.,
Mimura, N., Nicholls, R.J., Nurse, L., Perez Nieto, H., Stakhiv, E.Z.,
Turner, R.K. and Warrick, R.A. 1995. Coastal zones and small islands.
In R.T. Watson, M.C. Zinyowera and R.H. Moss (eds) Climate change
1995: Impacts, adaptations and mitigations of climate change:
scientific-technical analyses: the second assessment report of the
Inter-Governmental Panel on Climate Change. U.K: Cambridge
University Press. 6–12 p.
Eckert, G.J. 1987. Estimates of adult and juvenile mortality for labrid fishes
at One Tree Reef, Great Barrier Reef. Marine Biology 95: 167–171.
Hader DP, Kumar HD, Smith RC, Worrest RC. 2003. Aquatic Ecosystems:
Effects of Solar Ultraviolet Radiation and Interaction with Other
Climatic Change Factors. Photochem Photobiol Science (2): 39-50.
Harijono SWB. 2007. Kondisi Iklim Indonesia Saat ini dan Prediksi Iklim di
Masa Yang Akan Datang. http://www.bmg.go.id
Las I. 2007. Strategi dan Inovasi Antisipasi Perubahan Iklim (Bagian I).
Jakarta: Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian.
Lewis AR. 1997. Recruitment and post-recruit immigration affect the local
population size of coral reef fishes. Coral Reefs 16: 139–149.
Medley PA, Gaudian G, and Wells S. 1993. Coral reef fisheries stock
assessment. Reviews in Fish Biology and Fisheries 3: 242–285.
Norse EA. 2001. The chilling impact of global warming. Special to The Times
Marine Conservation Biology Institute.
http://members.aol.com/cmwwrc/marmamnews
Strong AE, Kearns EJ, and Gjovig KK. 2000. Sea surface temperature
signals from satellites–an update. Geophysical Research Letters 27:
1667–1670.
Wilkinson CR and Buddemeier RW. 1994. Global Climate Change and Coral
Reefs: Implications for People and Reefs. Report of the UNEP-IOC-
ASPEI-IUCN Global Task Team on Coral Reefs. Switzerland: IUCN
Gland. 124 pp.
177