Anda di halaman 1dari 2

SENI DAN ILUSI

(Oleh: Titis Irodatur Rahman)

_29 Februari 2020_

Seni, sebutan bagi segala karya manusia yang mengandung unsur keindahan. Terhitung
sejak diciptakan manusia, tabiatnya memang menyukai keindahan. Bahkan seiring
perkembangan zaman, budaya bangsa-bangsa acap kali berlomba dalam estetika. Stonehenge,
Petra Treasury, Chefchaouen, Menara Pisa, dan Candi Borobudur, ah., sangat menarik memang.
Bukankah kesenian tercipta karena alasan? Sejarah misalanya, pemberontakan, perjuangan, cinta
kasih. Terlepas dari dimensi-dimensi tersebut, sadarkah jika seni hanyalah bentuk ilusi yang
sengaja dicipta. Ilusi, memiliki kaitan erat dengan manipulasi. Sengaja dibuat makhluk hebat
bernama manusia sebagai pemuas nafsu duniawi.

Sebagai contoh lukisan, “diciptakan untuk mengejar ketiadaan sesuatu yang dicintai”, kata
Carlos Fuentes. Sama halnya dengan fotografi, adalah seni pengabadian cahaya. Citra yang
disajikan merupakan salinan visual, hanya sebagian, dan tidak lengkap. Dengan kata lain lukisan
atau foto memunculkan ‘ilusi kehadiran’. Ilusi yang mengarus dalam gerak dan waktu 1.
Sederhananya, foto atau gambar memang difungsikan sebagai pengabadian momen. Cukup
dengan melihat gambar dua dimensi, imaji manusia mampu menjelajah kejadian-kejadian
lampau. Bahkan dewasa ini penyajiannya dikemas dengan bentuk yang lebih menarik. Video,
kombinasi audio visual membuat ilusi kehadiran semakin nyata.

Beberapa orang ada yang lebih memilih tulisan sastra. Bergelut dengan diksi-diksi,
menyelami rangkaian retorika dan akhirnya tenggelam dalam majas-majasnya. Ada fiksi ada
nonfiksi. Tulisan memang umumnya dibarengi dengan kecemerlangan imaji dan kelenturan
fantasi. Namun ilusi yang dihadapi bukan lagi ilusi kehadiran, melainkan ‘ilusi kebenaran’. Lagi-
lagi kata Carlos Fuentes, “Sastra adalah sebuah luka yang darinya mengalir perceraian antara
kata-kata dan benda”. Tak pernah ada deskripsi yang sempurna, sebab kenyataan dan bahasa
tidak pernah identik. Bagaimanapun juga kenyataan tak pernah bisa diungkapkan secara tepat
dalam bahasa2. Dalam hal ini subjektifitas manusia mengambil peran paling banyak dalam
pemahaman sastra.
1
Zulkarbaen Ishak. 2018. Fantasmagoria. Yogyakarta. Basabasi.
2
ibid
Kemudian teater, seni lakon yang benar-benar menyihir. Perpaduan mimik, gestur, dan olah
vokal. Mengagumkan, tapi sadarkah ketika serentetan peristiwa yang dipentaskan aktor
senantiasa menyisakan goresan-goresan jiwa. Seorang aktor mencoba menguasai dua jiwa yang
berbeda. Tragedi dan komedi yang berkecamuk, paras jiwa ditutup dengan cerita-cerita jenaka.
Lalu ilusi apa yang dihadapi dari sebuah teater? Justru ilusinya lebih kompleks, tidak hanya
sekedar ilusi kehadiran dan kebenaran, tapi juga ‘ilusi emotional’ yang dihadapi sang pemeran.

Tidak ada yang salah dengan seni, sebagaimana kaum-kaum akademisi yang berjalan
dengan lagak ambisinya. Makhluk yang melintasi ruang dan waktu dengan perasaan terkesima
terhadap kehebatan nalar dan sains. Sesekali boleh jadi menggoda Tuhan untuk membuat skrip
takdirnya. Namun tidak sampai berlebihan, perihal seni memang difungsikan sebagai pemuas
batin. Sifatnya pun subjektif, yang berarti menandakan bahwa eksistensi masusia itu beragam.
Dan di akhir tulisan ini pun lagi-lagi saya merasa ambigu sendiri. Tentang fantasmagoria,
berbaurnya rentetan gambar, citra, figur-figur yang memanipulasi penglihatan, hingga susah
dibedakan antara yang nyata dan maya. Benar-benar pengertian yang rumit.

Anda mungkin juga menyukai