Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOKINETIK

PENGARUH FAKTOR FORMULASI TERHADAP BIOAVAIBILITAS SEDIAAN ORAL

Disusun Oleh
Kelompok 1 :
Chamelia
Meri Oliviana Dewi 332198221141
Nur
Ulfa

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN IKIFA JAKARTA
2022
I. PENDAHULUAN

A. Judul Percobaan
Praktikum Pengaruh Faktor Formulasi Terhadap Bioavaibilitas Sediaan Oral
B. Tanggal Percobaan
Rabu, 05 Oktober 2022 Dan 12 Oktober 2022
Tujuan Percobaan
1. Tujuan Umum
a. Mahasiswa dapat menerapkan prinsip-prinsip farmakokinetik
berbagai macam obat
b. Mahasiswa mampu memiliki keterampilan dalam memberi dan
mengaplikasikan obat secara rasional untuk kepentingan klinik
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa dapat memberikan obat secara enteral (oral maupun
sonde lambung)
b. Mahasiswa dapat menjelaskan efek hipnotik dan anastetik suatu
obat.
C. Binatang Percobaan
Tikus putih (Rattus norvegicus) dengan rincian berat badan sebagai
berikut:
Praktikum 1 (Tikus A), Praktkum 2 (Tikus B)
1. Tikus A1: 30 gram
2. Tikus A2: 30 gram
3. Tikus A3: 30 gram
4. Tikus B1 : 31 gram
5. Tikus B2 : 35 gram
6. Tikus B2 : 36 gram

1
II. TINJAUAN PUSTAKA(DASAR TEORI)

Farmakologi adalah ilmu yang mempelajari mengenai zat-zat


kimia yang berinteraksi dengan manusia.Interaksi ini terbagi menjadi 2
jenis :
a. Farmakodinamik, efek obat terhadap tubuh.
b. Farmakokinetik, bagaimana tubuh mempengaruhi obat dengan
berlalunya waktu yaitu absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi
(Neal, 2006).

Fenobarbital (fenobarbital; PB) disintesis oleh Emil Fischer, ahli


kimiaorganik Jerman, pada tahun 1911. Sifat antikonvulsan yang
ditemukan secara kebetulan oleh Alfred Hauptmann, yang awalnya
digunakan sebagai obat efek hipnotik untuk pasien epilepsinya. PB tetap
memiliki posisi dalam terapi dan masih paling banyak diresepkan di
seluruh dunia pengobatan untuk epilepsi (Brodie dan Kwan, 2004).

Walaupun organisasi Kesehatan Dunia merekomendasikan


fenobarbital sebagai pilihanpertama obat untuk kejang dan epilepsi yang
paling di negara berkembangterutama karena biaya,namun, beberapa studi
telah menunjukkan bahwa 30 - 50% anak yang diobati dengan fenobarbital
mengalami efek samping perilaku, dan satu studi menunjukkan penurunan
terus-menerus dalam IQ (Banu et al, 2006).

Fenobarbital dengan efek hipnotik, sedatif, dan anastetik dapat


mendepresi aktivitas central nervous system pada formatio reticularis,
dimana barbiturat akan memperpanjang efek inhibitor oleh GABA dan
glycine (dengan cara berikatan pada reseptor GABA dan membuat durasi
pembukaan GABA mediated chloride ion channel lebih lama) sehingga hal
tersebut akan menimbulkan efek depresi saraf(Banu et al, 2006).

2
Jalur pemberian obat dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu
enteral dan paraenteral.

1. Enteral
Obat yang diberikan melalui jalur pencernaan, terbagi menjadi
beberapa cara yaitu :
a. Oral
Diberikan melalui mulut (ingesti) dan saluran pencernaan, lalu
diserap dan didistribusikan ke organ target.
1) Indikasi
Diberikan pada pasien sadar.
2) Kontra indikasi
tidak dapat diberikan kepada pasien tidak sadar.
3) Kelebihan
Aman, praktis, ekonomis.
4) Kekurangan
Absorpsi pelan dan variatif, terkena “jalur panjang”
metabolisme, bila pahit tidak disukai.
b. Sonde
Diberikan langsung ke saluran cerna dengan sonde lambung.
1) Indikasi
Distensi lambung, keracunan, kekurangan nutrisi
2) Kontra indikasi

Bahaya pemasangan alat

c. Sublingual
Obat yang diabsorpsi langsung dari rongga mulut ke sirkulasi
umum tanpa melalui sistem portal hati, sehingga menghindari
first-pass metabolism.
Contoh obat : gliseril trinitrat

3
2. Parenteral
a. Injeksi Intracutan
Injeksi ke jaringan kulit dengan teknik injeksi sudut 15°.
1) Indikasi
Dapat dilakukan pada pasien tidak sadar
2) Kontra indikasi
Luka, alergi, infeksi kulit
3) Kelebihan
Proses sederhana
4) Kekurangan
Efek lama
b. Injeksi Subcutan
Injeksi pada jaringan subcutan atau jaringan antara kulit
dengan otot dengan teknik penyuntikan dengan sudut 45°.
c. Injeksi Intramuskular
Pemberian obat melalui injeksi pada otot dengan teknik
penyuntikan dengan sudut 90°.
1) Indikasi
Dapat dilakukan pada pasien tidak sadar
2) Kontra indikasi
Infeksi, lesi kulit, tonjolan tulang
3) Kelebihan
Absorpsi cepat
4) Kekurangan

Iritasi lokal, butuh steril

d. Injeksi Intravena
Memberikan obat melalui injeksi pada pembuluh vena.
1) Indikasi
Dapat dilakukan pada pasien tidak sadar.
2) Kontra indikasi
Tidak steril, tidak larut air

4
3) Kelebihan
Kerja akurat
4) Kekurangan
Butuh kondisi steril, perlu tenaga ahli

5
III. METODE PERCOBAAN

A. BAHAN DAN ALAT YANG DIGUNAKAN


1. Natrium fenobarbital (30 mg untuk manusia dengan BB 70 kg) sebagai larutan
5% yang didispersikan masing-masing dalam :
2. Larutan Farmagel A 1%
3. Timbangan
4. Pencatat waktu
5. Spoit ujung tumpul (spoit oral)
6. HEWAN UJI Mencit jantan (Mus muscullus).

Perhitungan Dosis Hewan Uji


Hal yang harus diketahui :
1. Dosis obat pada manusia dewasa
Dosis Phenobarbital : 40 mg / 70 Kg BB
2. Faktor Konversi  Perubahan dosis dari manusia ke hewan uji
FK manusia ke mencit : 0.0026
3. Rute Pemberian obat  untuk menentukan volume maksimum
pemberian obat ke hewan uji
i.p = 1 ml
s c = 0,5 ml
I.m = 0.005 ml
p.o = 1 ml
i.v = 0.5 ml
4. Bobot hewan uji
5. Jumlah hewan uji yang digunakan dalam praktikum
6. Ketentuan khusus
VAO = ½ . V Maks
VAO = Volume administrasi obat = volume
Misalnya : volume p.o 1 ml
VAO = ½ x 1 ml
VAO = 0,5 ml

6
Langkah perhitungan dosis
1. Perhitungan dosis konversi dari manusia ke hewan uji
Dosis konversi = 40 mg / 70 Kg BB x 0,0026 = 0,104 mg / 20 gr
2. Perhitungan stok pemberian
Bobot hewan uji misalnya 30 gr
Stok = 0,104 mg / 20 gr x 30 gr
½ x 1 ml (po)
= 0,156/0,5 ml

= 0,312 mg/ml
3. Penimbangan bahan
Jumlah hewan uji x (1/2 x 1 ml)
3 x (1/2 x 1ml ) = 1,5 ml - jumlah CMC, Tragakan & Gelatin

Jumlah obat yang ditimbang = 0,312 mg/ml x 1,5 ml


= 0,468 mg  Jumlah Phenobarbital

Sediaan yang dibuat : 0,468 mg phenobarbital dalam 1,5 ml (CMC,


Tragakan & Gelatin)

4. VAO : Dosis konversi x berat hewan uji / jumlah obat yang ditimbang
= 0,104 mg/20 gr x 30 gr / 0,312
= 0,5 ml
VAO = Volume administrasi obat
Sesuai dengan ketentuan ½ Vmaks = ½ x 1ml
= 0,5 ml

3. Penimbangan bahan
- Larutan Farmagel A / Gelatin
Ditimbang 1 gram Gelatin, larutkan dalam 5ml air panas, aduk rata,
didiamkan selama lima menit
Ambil 1,5 ml lalu dispersikan phenobarbital kedalamnya

7
CARA KERJA
1. Buat Larutan Farmagel
2. Hewan uji dibagi dalam tiga kelompok (sediaan diberikan secara oral) :
- Kelompok I diberi 1,5 ml sediaan dalam larutan Farmagel A/ gelatin,
berikan per oral 0,5 ml pada 1 ekor mencit, lakukan pada 2 mencit lainnya
- Kelompok II diberi 1,5 ml sediaan dalam larutan tragakan, berikan per oral
0,5 ml pada 1 ekor
Mencit, lakukan pada 2 mencit lainnya
- Kelompok III diberi 1,5 ml sediaan dalam larutan CMC, berikan per oral 0,5
ml pada 1 ekor
Mencit, lakukan pada 2 mencit lainnya

Pegang mencit pada tengkuknya



Jarum oral yang telah diisi 0,5 ml dimasukkan ke mulut mencit melalui
langit-langit masuk esofagus

Dorong larutan tersebut ke dalam esofagus

3. Catat waktu saat mulai timbulnya efek (Onset Of Action)


4. Catat waktu saat hilangnya refleks balik badan (RBB) atau righting reflex
(bila mencit ditelentangkan tidak bisa kembali ke posisi normal dalam waktu
30 detik)
5. Setelah refleks tersebut hilang, catat waktu saat refleks tersebut diperoleh
kembali (durasi).
6. Hasil pengamatan dari tiap kelompok dikumpulkan dan dibuatkan tabel.
Kemudian disusun rancangan percobaannya dan dilanjutkan uji statistik
terhadap data yang diperoleh.
7. Simpulkan bagaimana pengaruh bahan pengental terhadap bioavaibilitas
sediaan yang diberikan secara oral.

8
Data Yang Diperoleh
Sediaan Waktu Untuk Waktu Reflex
Kelompok Durasi
Onset of Action Balik Badan
A/1 Farmagel A/ 30 menit 60 menit 60 – 30 = 30 menit
A/2 Gelatin
A/3 Praktikum 1
Rata-rata
B/1
T Farmagel A/
B/2
Gelatin
B/3
Rata-rata

Onset : Mencit sudah tidak ada reflex balik badan ketika ditelentangkan  satuan
menit
Waktu Refleks balik badan : waktu mencit sudah kembali keposisi tengkurep
seperti biasa  menit
Durasi : selisih waktu reflex badan dikurangi dengan onset of action

1) Memercik ujung jarum untuk menghindari emboli.


2) Melakukan aspirasi dan memastikan tidak ada darah pada spuit yang
menandakan lokasi injeksi sudah tepat
3) Menginjeksikan obat dengan sudut 45º.
4) Mencatat waktu permulaan pemberian obat masing-masing tikus, diamati
selama 10 menit, dan lihat perubahan tiap 1 menit.
5) Memasukkan masing-masing tikus pada beakerglass sesuai tanda yang
telah diberikan.
6) Mengamati dan mencatat waktu saat timbulnya gejala berikut :
a. Aktivitas spontan menghilang dengan respon stimuli yang masih
normal.
b. Aktivitas spontan menghilang dengan gerakan-gerakan yang tak
terkoordinasi terhadap stimuli tersebut.
c. Tak ada respon stimuli akan tetapi masih dapat berdiri.
d. Usaha untuk dapat berdiri dilakukan, tetapi tidak berhasil.
e. Tidak ada pergerakan sama sekali.

9
IV. PEMBAHASAN
1. Kesimpulan
Pada praktikum Cara Pemberian Obat (CPO), memberikan Na
Phenobarbital pada tikus dengan cara pemberian yang berbeda-beda untuk
mengetahui bagaimana respon yang muncul terhadap mencit tersebut jika
diberikan melalui sondase, intramuscular, intravena, intraperitoneal, dan
subcutan. Ternyata terdapat perbedaan dalam kecepatan respon tikus
terhadap Na Phenobarbital jika diberikan dengan cara pemberian yang
berbeda-beda.

a. Tikus A1 diberikan fenobarbital dengan cara sonde lambung. Berat


tikus A1 adalah 200 gr, dan dosis fenobarbital yang diberikan sebanyak
0,2 cc. Sonde dimasukkan melalui rahang tikus, diteruskan hingga
lambung. Pada pengamatan, efek A (Aktivitas spontan menghilang
dengan respon stimuli yang masih normal terlihat pada menit ke-1, efek
B (gerak spontan dan respon tidak terkoordinasi) terlihat pada menit ke-
2, efek C (Ada respon dan bisa berdiri) terlihat pada menit ke-3. Pada
pengamatan selanjutnya, efek D (Ada usaha berdiri tapi gagal) terlihat
pada menit ke-5 dan efek E (tidak ada pergerakan) terlihat pada menit
ke-8. Pemberian obat dengan cara sonde lambungmemiliki absorbsi
yang paling lama karena melalui metabolisme lintas pertama di hepar.
b. Tikus A2 diberikan Na Phenobarbital dengan cara injeksi intramuscular.
Berat tikus A2 adalah 125 gr. Kemudian tikus difiksasi pada papan lilin.
Tikus tersebut akan diberikan pemberian obat melaluiintra muscular
(IM). Sebelum diinjeksi, semuanya harus aseptis terlebih dahulu, seperti
mengoleskan alcohol dengan menggunakan kapas pada perut tikus.
Kemudian injeksi Na Phenobarbital melalui intra muscular (IM)dengan
membentuk sudut sekitar 900. Dosis Na Phenobarbital yang diberikan
sebanyak 0,315 cc.Injeksi disertai dengan aspirasi. Pada pengamatan,
efek A(Aktivitas spontan menghilang dengan respon stimuli yang masih
normal terlihat pada menit ke-1, efek B (gerak spontan dan respon tidak
terkoordinasi) terlihat pada menit ke-2, efek C (Ada respon dan bisa

10
berdiri) terlihat pada menit ke-3. Pada pengamatan selanjutnya, efek D
(Ada usaha berdiri tapi gagal) terlihat pada menit ke-4 dan efek E (tidak
ada pergerakan) terlihat pada menit ke-5. Pemberian obat dengan cara
intramuskular (IM) memiliki “onset of action” bervariasi, berupa
larutan dalam air yang lebih cepat diabsorpsi daripada obat berupa
larutan dalam minyak, dan juga obat dalam sediaan suspensi, kemudian
memiliki kecepatan penyerapan obat yang sangat tergantung pada besar
kecilnya partikel yang tersuspensi: semakin kecil partikel, semakin
cepat proses absorpsi(Roach, 2007).
c. Tikus A3 diberikan Na Phenobarbital dengan cara injeksi intravena. Be-
rat tikus 150 gr, dan dosis Na Phenobarbital yang diberikan sebanyak
0,378 cc. Injeksi dilakukan pada ekor tikus dengan sudut 45°. Pada
pengamatan efek A (Aktivitas spontan menghilang dengan respon stim-
uli yang masih normal) terlihat pada sebelum menit ke-1, efek B (gerak
spontan dan respon tidak terkoordinasi) terlihat pada menit ke-1, efek C
(Ada respond dan bisa berdiri) terlihat pada menit ke- 2. Pada penga-
matan selanjutnya, efek D (ada usaha berdiri tapi gagal) terlihat pada
menit ke-3 dan efek E (tidak ada pergerakan) terlihat pada menit ke-4.
Pencapaian efek E terlihat cukup cepat karena pada hakikatnya, intra-
vena tidak melalui proses absorbs karena langsung terdistribusi secara
sistemik.
d. Tikus A4 ditimbang beratnya. Berat dari tikus tersebut 125 gram. Ke-
mudian tikus difiksasi pada papan lilin. Tikus tersebut akan diberikan
pemberian obat melalui intraperitoneal. Sebelum diinjeksi, semuanya
harus aseptis terlebih dahulu, seperti mengoleskan alcohol dengan
menggunakan kapas pada perut tikus. Kemudian injeksi Na Phenobarbi-
tal melalui intraperitoneal dengan membentuk sudut sekitar 300. Injeksi
disertai dengan aspirasi. Diusahakan agar di dalam spuit tidak ada udara
yang masuk. Dosis Na Phenobarbital yang diberikan sebanyak 0,315 cc.
Lalu, tikus dimasukkan ke dalam beacker glass dan diamati respon yang
muncul selama 10 menit.
1) Pengamatan yang didapat pada menit ke-1 sampai dengan menit ke-3

11
adalah respon A dimana aktivitas spontan pada tikus menghilang
dengan respon stimuli masih normal. Efek dari Phenobarbital
memang sangat beragam. Efek utamanya adalah depresi system
syaraf pusat. Sedangkan, pada menit ke-1 sampai dengan ke-3
efeknya adalah hipoactivity (berkurangnya aktivitas secara
abnormal) tetapi tikus masih merespon dan bergerak ketika dipegang
(Nisa, 2009). Pada menit ke-4 respon yang terjadi adalah respon B
dimana saat aktivitas spontan mulai menghilang dan disertai dengan
gerakan-gerakan yang tidak terkoordinasi terhadap stimuli tersebut.
Pada menit tersebut masih terjadi hipoactivity dan juga ataxia (tidak
teraturnya gerakan otot) apabila dipegang (Nisa, 2009).
2) Pada menit ke-5 efek yang terjadi adalah adanya respon C dimana
sudah tidak ada respon terhadap stimuli akan tetapi masih dapat
berdiri. Pada menit tersebut terjadi iritabilitas negative (hilangnya
respon terhadap rangsang mekanis) (Nisa, 2009). Pada menit ke-6
terdapat respon D yaitu usaha untuk dapat berdiri dilakukan tetapi,
tidak berhasil. Hal tersebut menandakan adanya paralisis kaki
(hilangnya fungsi motorik yang disebabkan oleh lesi mekanisme
syaraf atau otot) dan juga relaxation (hilangnya atau berkurangnya
ketegangan otot) (Nisa, 2009). Pada menit ke-7 sampai dengan ke-10
tikus tidak bergerak sama sekali dan tidak ada usaha untuk berdiri.
Hal yang terjadi adalah passivity
(kondisi menjadi tidak aktif dan tidak bergerak) (Nisa, 2009).
3) Pada intraperitoneal banyak terdapat pembuluh darah sehingga obat
dapat langsung masuk ke dalam pembuluh darah sehingga efek yang
dihasilkan juga lumayan cepat. Tetapi, tidak secepat pada pemberian
obat dengan intravena dan intramuscular (Nugraha, 2011).
e. Tikus A5 diberikan Na Phenobarbital dengan cara injeksi subcutan.
Berat tikus 175 gr, dan dosis Na Phenobarbital yang diberikan sebanyak
0,441 cc. Injeksi dilakukan pada subcutan dengan sudut 45°. Pada
pengamatan, efek A (Aktivitas spontan menghilang dengan respon
stimuli yang masih normal) terlihat pada menit ke-1, efek B (gerak

12
spontan dan respon tidak terkoordinasi) terlihat pada menit ke-3. Pada
pengamatan selanjutnya, efek C (Ada respon dan bisa berdiri) terlihat
pada menit ke-4 dan efek E (tidak ada pergerakan) terlihat pada menit
ke-6. Pencapaian efek E terbilang cukup lambat karena pada
hakikatnya, subcutan memiliki daya absorpsi yang cukup pelan namun
konstan dan stabil untuk menghasilkan sustainable effect bagi tubuh
(Brunton et al, 2006).
Pengamatan dalam eksperimen kali ini menunjukkan hasil
yang mendekati dengan dasar teori.Injeksi obat secara intravena secara
stabil memberikan hasil yang signifikan dan lebih cepat dibandingkan
cara pemberian obat yang lainnya, disusul oleh pemberian obat dengan
cara intramuscular, subcutan,intraperitoneal, dan sonde.
Pemberian obat secara enteral menggunakan sonde dan jarum
tumpul memberikan respon yang paling lambat, dimana hal ini sesuai
dengan teori yang ada.
Antara dasar teori dengan hasil pengamatan saat praktikum itu
sudah mendekati sama, namun jika dilihat lagi belum terlalu akurat
dalam pengamatannnya yang mungkin disebabkan oleh berbagai
kemungkinan berikut :
a. Kesalahan dalam memberikan dosis obat
Hal ini sangat mungkin terjadi, mengingat akurasi dosis yang tidak
dapat ditegakkan dengan baik.Spuit tidak memiliki garis penunjuk
volume yang mendetail sehingga kekurangan/kelebihan dosis amat
mungkin terjadi.Selain dari faktor spuit, kesalahan praktikan dalam
memasukkan dosis obat ke dalam spuit juga dapat terjadi.Hal ini
bisa disebabkan mata praktikan yang tidak sejajar dengan garis
penanda volume pada spuit atau karena praktikan yang tidak
cermat dan tergesa-gesa.
b. Kesalahan dalam melakukan teknik pemberian obat
Kesalahan tersebut dapat disebabkan ketidakterampilan praktikan
dalam melakukan prosedur pemberian obat, dimana hal ini terkait
pengalaman praktikan yang belum terbiasa melakukan prosedur

13
tersebut.Selain itu, gerakan dari binatang percobaan yang cukup
kuat membuat praktikan kesulitan melakukan prosedur secara lege
artis. Hal lain yang mempengaruhi tatalaksana prosedur yang tidak
baik adalah praktikan yang terlalu tergesa-gesa di dalam
melakukan prosedur pemberian obat.
c. Kurangnya waktu dalam eksperimen
Beberapa cara pemberian obat belum sempat menunjukkan
keseluruhan respon efek obat (misalkan, hanya terhenti di respon
kedua, karena waktu yang sudah habis). Hal ini dapat
menyebabkan praktikan tidak dapat dengan cermat melakukan
prosedur, selain itu praktikan tidak dapat mengamati seluruh proses
timbulnya respon efek obat hingga selesai (hal ini terjadi pada cara
pemberian obat secara intravena dan enteral).Namun hal ini
seharusnya dapat menjadi tantangan bagi praktikan agar dalam
praktikum selanjutnya dapat melakukan praktikum dengan lebih
sigap, cermat, dan tepat sehingga waktu tidak terbuang percuma
dan dapat mengerjakan setiap komponen praktikum dengan baik.
d. Binatang percobaan yang kurang kooperatif
Tikus putih (Rattus norvegicus) yang digunakan dalam praktikum
kali ini memiliki daya berontak yang cukup kuat, bergerak aktif
saat akan diberikan obat dan menggigit praktikan sehingga
menyulitkan praktikum dalam melakukan prosedur pemberian
obat. Hal tersebut dapat disebabkan oleh praktikan yang belum
menguasai cara menangani binatang percobaan, sehingga binatang
percobaan menganggap adanya “serangan”. Hal ini menjadi
tantangan bagi praktikan agar dalam praktikum selanjutnya dapat
menghadapi binatang percobaan dengan baik dan bisa melakukan
prosedur praktikum dengan benar.

14
2. Saran

15
DAFTAR PUSTAKA

Banu, Selina H et al. 2012. Journal: “Side effects of phenobarbital and


carbamazepine in childhood epilepsy: randomised controlled trial”.
BMJ 2007;334:1207.

Berman, Audrey. Et al. 2012. Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis Kozier &
Erb. Edisi 5. Jakarta: EGC.

Brodie, Martin J. dan Kwan , Patrick. 2012. Journal: “Phenobarbital for the
Treatment of Epilepsy in the 21st Century: A Critical Review”. Hong
Kong :Departmentof Medicine and Therapeutics, The Chinese University
of Hong Kong.

Brunton, Laurence L. et al. 2012. Goodman & Gilman's The Pharmacological


Basis Of Therapeutics. 11th Edition. New York: McGraw - Hill.

Departemen Kesehatan RI. 2010. Pencegahan Dan Penatalaksaan Asfiksia


Neonatorum. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Dewi, Mariani. 2010. Phenobarbital. Available at:
http://epilepsiindonesia.com/obat-epilepsi/phenobarbital, diakses 02 Mei
2014.

Dorland, W. A. Newman. 2012. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC .

Kee, Joyce L. 2010. Farmakologi : Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta:


EGC.

Neal, Michael J. 2010. At A Glance : Farmakologi Medis. Jakarta: Erlangga.

Stevens, P.J.M, F. Bordui, J.A.G. van der Weyde. 2012. Ilmu Keperawatan. Edisi
2. Jakarta: EGC.

Roach, Sally S. 2010.Introductory Clinical Pharmacology.7th Edition. United


States of America: Lippincott Williams & Wilkins.

16
Sanjoyo, Raden. 2010. Obat (Biomedik Farmakologi). Available at:
http://yoyoke.web.ugm.ac.id/download/obat.pdf, diakses 02 Mei 2014.

Staf Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI. 2009. Kumpulan Kuliah


Farmakologi. Edisi ke-2. Jakarta: EGC.

Tomb, David A. 2010.Buku Saku Psikiatri. Jakarta : EGC.

Townsend, Mary C. 2010. Buku Saku Pedoman Obat Dalam Keperawatan


Psikiatri. Jakarta: EGC.

Utomo,MT. Ilmu Kesehatan Anak XXXVI Kapita Selekta Ilmu Kesehatan Anak VI.
Available at: http://www.pediatrik.com/pkb/061022022401-qf2m135.pdf,
diakses 02 Mei 2014

17

Anda mungkin juga menyukai