Anda di halaman 1dari 14

STUDI HADIS DALAM PERSPEKTIF SUNNI DAN SYIAH:

SEBUAH TINJAUAN KOMPARATIF

Makalah ini Diajukan untuk Memenuhi salah satu Tugas Terstruktur Mata Kuliah
Studi Hadis yang diampu oleh:
Prof. Dr. Munzir Suparta, MA.
Dr. Romlah Abu Bakar Askar, MA.

Disusun oleh:

Ayi Yusri Ahmad Tirmidzi


NIM. 21210110000021

Tutik Khoirunnisa
NIM. 21310110000005

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2022
Ayi Yusri A. Tirmidzi
& Tutik Khoirunnisa

Studi Hadis dalam Perspektif Sunni dan Syiah:


Sebuah Tinjauan Komparatif

Ayi Yusri Ahmad Tirmidzi


Tutik Khoirunnisa

1
Studi Hadis dalam Persp.. Sunni Syiah
Ayi Yusri A. Tirmidzi
& Tutik Khoirunnisa

I. INTRODUKSI
A. Latar Belakang
Dalam diskursus keislaman, Hadis adalah pedoman sekaligus
primadona kehidupan setelah Al-Qur`an. Kepercayaan dan pengamalan
terhadap Hadis merupakan wujud ketaatan seorang muslim terhadap Allah
melalui Rasul-Nya (Q.S. 4: 13).1 Hal ini menegaskan bahwa Hadis berikut
Al-Qur`an adalah dua pokok yang eksis secara integral sebagai pedoman
bagi umat Islam, baik mengenai persoalan akidah, ibadah, ataupun
muamalah. Eksistensi Hadis demikian diakui secara mufakat bahkan oleh
dua mazhab pemikiran terbesar umat Islam, yakni Sunni dan Syiah. Artinya,
keduanya sama-sama beranggapan bahwa Hadis merupakan bagian dari
hujah bagi umat Islam.
Meski begitu, beberapa perbedaan pemahaman di lain persoalan—
terkait Hadis—terjadi di antara kedua mazhab tersebut, bahkan bermulai dari
konsep fundamental.2 Perbedaan prinsip dasar yang substansial terkait Hadis
antara Sunni dan Syiah ini berimplikasi pada kualitas atau kategorisasi Hadis
yang dapat dijadikan pedoman sekaligus sebagai hujjah atau dasar hukum.
Perbedaan kualifikasi yang ditetapkan oleh Sunni dan Syiah juga selanjutnya
berimplikasi pada klasifikasi dan kualitas Hadis mereka masing-masing.
Selain itu, implikasi terbesar lainnya yakni adanya perbedaan kitab Hadis di
antara keduanya, yakni Sunni berpegang pada Shahih Bukhari sementara
Syiah berpedoman pada Al-Kafi.3
Perbedaan ini terjadi karena ikhtilaf dalam memahami,
menginterpretasi, dan menerima historioritas, juga perkembangan sosial
politik. Hal ini juga menegaskan adanya perbedaan pengetahuan yang
dialami dan perbedaan penginterpretasian terhadap apa yang diketahui.
Perbedaan ini terus muncul dalam perjalanannya sejak awal kemunculan
kedua mazhab ini, juga faktor tempat dan konsisi sosial yang yang terus

1
M. Ghufron & Rahmawati, Ulumul Hadits: Praktis dan Mudah, (Yogyakarta: Kalimedia, 2017), 7.
2
Aulia Diana Devi & Seka Andrean, “Tinjauan Hadis Perspektif Sunni dan Syiah”, Jurnal Tahdis,
12(1), 2021, 11.
3
Rahmat Miskaya dkk., “Kajian Hadis Perspektif Sunni dan Syiah: Historisitas, Kehujahan Hadis,
Parameter Kesahihan Hadis dan Keadilan Sahabat”, Jurnal Studi Hadis Nusantara, 3(1), 2021, 28.

2
Studi Hadis dalam Persp.. Sunni Syiah
Ayi Yusri A. Tirmidzi
& Tutik Khoirunnisa

mempengaruhi pengetahuan dan pemahaman tersebut menjadi pandangan


yang berbeda-beda. Syahdan, penulis kira sangat penting untuk memaparkan
bagaimana sebetulnya diskusi tentang Hadis ini dalam persepektif Sunni dan
Syiah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang hendak
dibahas pada makalah ini adalah:
1. Bagaimana Definisi Hadis dan Kehujahannya menurut Sunni dan Syiah?
2. Bagaimana Penulisan Hadis dan Kodifikasinya menurutSunni dan Syiah?
3. Bagaimana Kualifikasi Hadis atau Kategorisasinya menurut Sunni dan
Syiah?
4. Bagaimana Status ‘Adalah Shahabat Persepektif Sunni dan Syiah?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalan
ini adalah untuk:
1. Memahami Definisi dan Kehujahan Hadis dalam Perspektif Sunni dan
Syiah.
2. Memahami Penulisan dan Kodifikasi Hadis dalam Perspektif Sunni dan
Syiah.
3. Memahami Kualifikasi Hadis dalam Perspektif Sunni dan Syiah.
4. Memahami Status ‘Adalah Shahabat dalam Perspektif Sunni dan Syiah.

II. DISKUSI
A. Definisi dan Kehujahan Hadis
Pada dasarnya, mayoritas mazhab dalam Islam mufakat terhadap
urgensitas peranan Hadis sebagai rujukan utama setelah Al-Qur`an. Otoritas
Rasulullah SAW, dalam konteks ini—selain Al-Qur`an—adalah postulat
yang tak terbantahkan sekaligus pemangku legitimasi dengan wahyu-Nya. Di
sisi lain, Rasulullah SAW secara faktual adalah wujud manifestasi Qur`ani
yang nyata dan pragmatis.4 Aktualisasi konsep dan prinsip dasar Al-Quran
yang bersifat teoretik dioprasionalisasikan oleh Rasulullah SAW melalui

4
Yusuf Al-Qaradhawi, Al-Qur`an dan Al-Sunnah, terj. B. Fanani, (Jakarta: Rabbani Press, 1997), 121.

3
Studi Hadis dalam Persp.. Sunni Syiah
Ayi Yusri A. Tirmidzi
& Tutik Khoirunnisa

keteladanan dalam kehidupannya. Dalam kajian Islam, Hadis berfungsi


sebagai perinci yang mujmal, penafsir ayat yang mubham, pembatas yang
mutlaq, pengkhusus yang ’am, dan penjelas hukum (bayan al-tafsir).5
Kenyataan teoretik ini mengindikasikan betapa penting dan strategisnya
posisi Hadis dalam konstruksi (pondasi) ajaran Islam.
Dalam perspektif Sunni, secara umum Hadis dipahami sebagai segala
sesuatu yang berasal dari Rasulullah SAW baik melalui ucapan (qaul),
tindakan (fi’l), atau ketetapan (tikrar).6 Meskipun secara rinci banyak
perbedaan definisi Hadis di kalangan ulama Sunni, namun pada hakekatnya
para ulama sunni ini mufakat dan meyakini bahwa Hadis adalah keseluruhan
yang berasal dari Rasullulah SAW. Sementara dalam perspektif Syiah, Hadis
dipahami sebagai segala sesuatu yang dinisbatkan pada imam-imam
ma’shum yakni Rasulullah SAW dan Imam 12 baik berupa ucapan, tindakan,
atau ketetapan mereka.7 Konsep Imam 12 inilah yang menjadi pembeda
dasar Sunni dan Syiah.
Dalam hal ini Syiah meyakini bahwa para Imam mustahil melakukan
kesalahan, sengaja atau pun tidak selama hidupnya. Itulah sebabnya Abu
Zahrah—ulama Syiah kontemporer—mengatakan, ”Sesungguhnya
keyakinan ma’sumnya para imam berkonsekuensi pada pemahaman bahwa
Hadis-hadis yang berasal dari mereka otomatis derajatnya sahih, tanpa
prasyarat adanya kesinambungan sanad sampai Muhammad SAW
sebagaimana yang disyaratkan kelompok Ahlussunah”.8 Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa Syiah cenderung meminimalisasi cakupan Hadis
dengan pembatasan yang mereka yakini, yakni periwayatan Hadis dianggap
sah jika melalui jalanAhl al-Bait—yang ma’shum saja, yakni terbatas pada
segenap imam dua belas.
B. Penulisan dan Kodifikasi Hadis
1. Perspektif Kaum Sunni

5
Pernyataan seperti ini banyak ditegaskan oleh Al-Quran, seperti dalam QS. Al-Hasyr [57]: 7, QS. Al-
Naḥl [47]: 80, QS. Al-Aḥzab [33]: 21. Lihat, Muhammad Ali & Didik Himawan, “The Role of Hadis
as Religion Doctrine Resource, Evidence Proof of Hadis anda Hadis Function to Al-Qur`an”, Jurnal
Risalah, 5(1), 2019, 128.
6
M. Ghufron & Rahmawati, Op Cit., 10.
7
Lenni Lestarii, “Epistemologi Hadis Perspektif Syi’ah,” Jurnal Al-Bukhari, 2(1), 2019, 41.
8
Ibid., 42.

4
Studi Hadis dalam Persp.. Sunni Syiah
Ayi Yusri A. Tirmidzi
& Tutik Khoirunnisa

Kaum Sunni mempunyai motivasi tinggi dalam pengumpulan


Hadis secara kuantitatif tanpa menghiraukan dan melakukan seleksi
terdahulu apakah mereka semata-mata melegitimasi Hadis Rasulullah,
atau mereka menjadi bagian dari fatawa` atau tabi’in. Pengumpulan ini
terjadi pada kurun abad ke-2 H. Syahdan, karya para muhadditsin pada
abad ke-2 ini masih tercampur antara Hadis Rasulullah juga Hadis atau
Atsar sahabat serta tabi’in. Hal tersebut menyebabkan Hadis para
muhadditsin tersebut belum dapat diklasifikasikan sebagaimana kategori
Hadis shahih, hasan, atau dha’if dan mana yang marfu’, mauquf, atau
maqthu’. Lalu di abad ke-3 H, para muhadditsin mulai fokus dalam
kodifikasi Hadis. Periode ini masyhur dikenal dengan periode seleksi
Hadis, yakni pada masa daulah Bani Umayyah.9 Saat itu, para ahli Hadis
sangat bersungguh-sungguh dalam seleksi Hadis melalui kaidah-kaidah
Hadis yang sudah dirumuskan. Sehingga pada akhirnya, para
muhadditsin tersebut berhasil dan sukses memfilterisasi Hadis sesuai
dengan kategori atau klasifikasinya.
Kemudian selanjutnya, karena masih banyak ditemukan Hadis
dhaif dalam rentetan Hadis Shahih, maka pada abak ke-4 H terjadilah
pemisahan antara para ulama mutaqaddimin yang kemudian dilakukan
kodifikasi berupa kitab. Dalam penyusunan kitab ini mereka mesti
mengadakan penelitian bersama para ulama mutaakhirin yang mengutip
dari kitab-kitab yang telah disusun para ulama mutaqaddimin. Hingga
kini, upaya ulama muhadditsin tersebut bertujuan untuk
mengklasifikasikan Hadis pada himpunan Hadis yang memiliki jenis dan
kategori serupa. Perjuangan ini kemudian membuat peradaban Hadis di
abad selanjutnya melalui karya-karya para muhadditsin lebih
komprehensif, sederhana, dan sistematis.10
2. Perspektif Kaum Syiah
Penulisan Hadis dalam historioritas kaum Syiah yang telah
dimotori oleh para ahl al-bait dan sahabat lainnya senantiasa berjalan
lancar dan terus berlanjut. Lalu pada zaman jamawi’ atau kodifikasi
9
Zainudin, “Kajian Hadis dalam Pandangan Sunni dan Syiah”, Qolamuna, 3(2), 2018, 172.
10
Ibid., 173.

5
Studi Hadis dalam Persp.. Sunni Syiah
Ayi Yusri A. Tirmidzi
& Tutik Khoirunnisa

Hadis, Syiah lebih sering menukil karya Hadis yang sudah ada
sebelumnya daripada harus bersandar pada penukilan ucapan
(qauliyyah).11 Menurut beberapa peneliti, terdapat setidaknya empat
periode dalam penulisan Hadis pada sejarah Syiah, yakni sebagai berikut:
a. Periode awal sejarah Syiah ketika itu sudah banyak bermunculan
tentang penulisan Hadis yang keseluruhan Hadis-hadis tersebut sudah
tidak ada lagi seperti kitab Abi Dzar, kitab Salman, dan lainnya.
b. Periode kedua, sejarah penulisan Hadis kaum Syiah disebut pula
periode al-ushul arba’umiyyah, yakni Hadis yang dikumpulkan dan
diriwayatkan sejak zaman Sayyidina Ali RA hingga saat ini.
Keberadaannya eksis pada hasil catatan Nahjul Balaghah, Sahifah
Sajadiyyah, dan Imam Zaman,
c. Periode ketiga yakni masa jamawi’ Hadis. Kitab Hadis yang disusun
pada periode ini di antaranya: 1) Man la Yahduruhu Al-faqih karya
Muhammad bin Ali (381 H), 2) Al-Istibshar Fima ikhtalaf min al-
Akhbar karya al-Thusi, 3) Al-Kaafi karya Muhammad ibn Ya’qub
Qulaini (329 H), dan 4) Tahzib al-Ahkam karya Syaikh al-Thaifah
Muhamad ibn Hasan al-Thusi (460 H).
d. Periode ke empat, yakni periode sistematisasi dan penyempurnaan.
Dalam konteks ini benyak golongan muhadditsin yang berupaya
jamawi’ Hadis beserta periwayatan Syiah yang tidak dapat
ditemukan pada kitab Al-Arba’ah yang selanjutnya disusun dalam
wujud karya kitab. Di antaranya yaitu Bihar Al-Anwar, Jami’Al-
Hadis wa Al-Syiah, dan Wasail Al-Syiah.12
Syahdan, hemat penulis semua hal yang dikerjakan oleh kaum
Sunni juga kaum Syiah terkait dengan konifikasi Hadis sejatinya tidak
mesti dipermasalahkan. Bahkan, dari masing-masing katib atau jurnalis
mereka dapat disebut sebagai cendekiawan cerdas dan pemberani dalam
mewujudkan kodifikasi Hadis. Karena itu, sepantasnya hal tersebut
diberikan apresiasi meskipun terdapat masih banyak hal dari beberapa
kitab Syiah yang sepenuhnya belum tercatat sejarah, barangkali
11
Ibid., 171.
12
Ibid., 171.

6
Studi Hadis dalam Persp.. Sunni Syiah
Ayi Yusri A. Tirmidzi
& Tutik Khoirunnisa

penyebabnya karena pada zaman dahulu para muhadditsin dari kalangan


Syiah tak sempat mewariskannya kepada penerus generasinya.
C. Kualifikasi Hadis
1. Perspektif Sunni
Rasulullah SAW dalam menyampaikan sebuah Hadis acap kali
kepada sahabat yang jumlahnya banyak, juga terkadang hanya beberapa
sahabat—bahkan cuma satu atau dua orang saja. Demikian seterusnya
hingga kepada generasi yang menyusun Hadis (muallif) dalam berbagai
kitab. Oleh karena itu, informasi yang dihimpun oleh banyak orang lebih
meyakinkan dibanding informasi yang dihimpun hanya oleh satu atau
dua orang. Syahdan, klasifikasi Hadis secara kuantitas periwayatnya
perspektif Sunni adalah 1) Hadis mutawatir dan 2) Hadis ahad.
Pertama, Hadis mutawatir. Menurut Al-Baghdadi, Hadis mutawatir
merupakan suatu periwayatan Hadis yang diterima dari sekelompok
orang dengan jumlah banyak yang—menurut kebiasaan—mustahil
mendustakan kesaksiannya. Senada dengan Al-baghdadi, Al-’Asqalani
memandang Hadis mutawatir sebagai Hadis yang diriwayatkan oleh
banyak orang yang mustahil—menurut kebiasaan—bersepakat untuk
berbohong. Berdasarkan definisi tersebut, proses gradualitas Hadis
mutawatir berjalan dari generasi ulama ke generasi ulama penerus
selanjutnya.13
Kedua, Hadis ahad atau Hadis yang diriwayatkan oleh sedikit
orang saja. Dari aspek kualitasnya, Sunni membagi kualitas Hadis
menjadi dua: 1) maqbul (dapat menjadi hujjah), yakni Hadis sahih dan
Hadis hasan; dan 2) mardud (tidak dapat menjadi hujjah), yakni Hadis
dha’if. Kategori Hadis ini sudah muncul di kalangan Sunni sejak era
mutaqaddimīn. 1) Hadis sahih adalah Hadis yang bersambung sanadnya
dan diriwayatkan oleh orang-orang yang dianggap adil dan ḍabith, serta
tidak ditemui syadz (kejanggalan), juga tidak ada ’illat (cacat). 2) Hadis
ḥasan, yakni Hadis yang sanadnya bersambung dan diriwayatkan oleh
rawi yang adil namun kekuatan hafalannya rendah, pun tidak janggal dan

13
Rahmat Miskaya dkk., Op Cit., 31.

7
Studi Hadis dalam Persp.. Sunni Syiah
Ayi Yusri A. Tirmidzi
& Tutik Khoirunnisa

tidak cacat. 3) Hadis dha’if, yakni Hadis yang tidak memenuhi


persyaratan sahih, seperti misal sanadnya ada yang terputus atau ada di
antara rawi yang terindikasi berdusta.14
2. Perspektif Syiah
Dalam tradisi Syiah, Hadis diklasifikasikan menjadi empat
kategori, yakni 1) Hadis ṣaḥīḥ, 2) Hadis ḥasan, 3) Hadis muwassaq, dan
4) Hadis ḍha’īf. Berikut penjelasannya:15 Pertama, Hadis sahih, yakni
Hadis yang memiliki kesinambungan sanad kepada imam ma’shum yang
adil—dalam semua tingkatan—dan jumlahnya banyak. Artinya, Hadis
sahih menurut Syiah adalah Hadis yang memiliki standar periwayatan
yang baik dari imam-imam yang ma’shum.
Kedua, Hadis ḥasan. Menurut Syiah hasan adalah Hadis yang
sanadnya bersambung kepada imam ma’shum dari rawi adil yang sifat
keadilannya diakui dalam seluruh atau sebagian tingkatan periwayat
dalam sanadnya. Syiah mensyaratkan Hadis hasan dengan 1) bertemunya
sanad kepada imam ma’shum secara gradual juga semua rawi-nya dari
kelompok imamiyah, dan 2) semua rawi-nya terpuji dengan pujian yang
baik dan tidak dikecam. Sebab dapat dipastikan bahwa jika rawi-nya
dikecam, maka periwayatannya tertolak.
Ketiga, Hadis muwassaq atau Hadis yang sanadnya bersambung
kepada imam ma’shum dan dinyatakan tsiqah oleh para pengikut Syiah
Imamiyah, meskipun akidahnya rusak seperti misalnya dia tergolong
dalam kelompok yang berbeda dengan Imamiyah. Dengan demikian,
syarat Hadis muwassaq yaitu: 1) sanadnya bersambung kepada imam
ma’shum, 2) para rawi-nya bukan dari kelompok imamiah namun
dianggap tsiqah oleh Ja’fariyah secara khusus, dan 3) sebagian
periwayatannya sahih dan tidak mesti dari imamiah. Syarat Hadis
muwassaq ini sejalan atas pengaruh pemahaman Syiah, yakni derajat
Hadis muwassaq berada setelah Hadis sahih dan Hadis hasan sebab
adanya rawi selain dari Ja’fariyah.16
14
Ibid., 31.
15
Aulia Diana Devi & Seka Andrean, Op Cit., 16-17.
16
Siti Fahimah, “Epistemologi Hadis Sunni-Syiah: Analisa terhadap Implikasinya”, Jurnal Alamtara,
2(1), 2018, 58.

8
Studi Hadis dalam Persp.. Sunni Syiah
Ayi Yusri A. Tirmidzi
& Tutik Khoirunnisa

Keempat, Hadis dha’if, yaitu Hadis yang tidak mencapai salah satu
dari tiga derajat di atas. Seperti misalnya terdapat orang fasik di dalam
sanadnya, atau orang yang berdusta. Oleh sebab itu, Syiah menolak
Hadis-hadis—sahih—dari tiga Khulafā al-Rāsyidīn dan sahabat lainnya,
pun tābi’īn, serta para imam ahli Hadis dan fuqaha karena mereka tidak
memercayai akidah imamiyah itsna ‘asyariyah. Artinya, riwayat-riwayat
sahih yang pada sanadnya terdapat para sahabat besar dan para imam
yang amanah tetapi tidak percaya dengan akidah Syiah maka Hadis
tersebut dinyatakan dha’if oleh Syiah. Namun di lain sisi, Hadis dha’if
tersebut bukan berarti tidak dapat diamalkan namun eksistensinya dapat
sejajar dengan Hadis sahih mana kala Hadis tersebut senada dengan
ajaran Syiah.17 Demikianlah pemahaman Syiah terkait kualifikasi Hadis.

D. A’dalah Shahabat
Menurut Sayyid Sabiq, sahabat memiliki derajat yang sangat penting
sebab dari mereka lah Hadis mulai diriwayatkan dan disebarluaskan ke
seluruh wilayah negeri, khususnya di jazirah Arab. Pada periode awal Islam,
para shahabat selalu berkonsultasi kepada Rasulullah SAW tentang solusi
persoalan yang tidak diketahui oleh mereka. Namun, Rasulullah SAW acap
kali menerima pendapat para sahabat dengan persetujuan atau meluruskan
kesalahan mereka. Menurut Ibnu Hajar al-’Asqalani, kelompok ahlussunnah
atau Sunni menyepakati bahwa mayoritas sahabat adalah orang yang adil,
tidak ada ikhtilaf tentang hal ini kecuali segelintir ahli bid’ah. Menurut
Sunni, kaum muslimin wajib meyakini keadilan sahabat tersebut sebab telah
ditegaskan bahwa para sahabat merupakan ahli surga, yakni tak satu pun di
antara mereka yang menjadi ahli neraka.18
Menurut Akram Dhiya al-Umari, ulama Sunni seperti Imam al-
Baghdadi menegaskan bahwa tidak perlu ada ikhtilaf lagi tentang keadilan
sahabat sebab sudah mutlak ditegaskan dalam Al-Qur`an dan Hadis. Khitab
perintah tersebut tertuju langsung kepada para sahabat Rasulullah SAW yang

17
Rahmat Miskaya dkk., Op Cit., 32.
18
Ibid., 32.

9
Studi Hadis dalam Persp.. Sunni Syiah
Ayi Yusri A. Tirmidzi
& Tutik Khoirunnisa

menyaksikan turun dan sampainya wahyu. Hal ini sebagaimana pernyataan


Imam al-Nawawi yang menyebut bahwa jumhur ulama telah mufakat akan
keadilan sahabat. Oleh kaerna itu, siapa pun tidak diperkenankan mengkritik
mereka, sebab dikhawatirkan akan menyimpang dari Al-Qur`an dan Hadis
yang telah mencatat keadilan para sahabat. Dengan demikian, mayoritas
ulama Sunni yakin bahwa semua sahabat—tanpa terkecuali—adalah adil,
baik yang berstatus sahabat senior atau sahabat junior, begitu pun yang
terlibat dalam perselisihan antara Ali dan Mu’awiyah atau pun tidak.
Adapun menurut konsep Syiah, khusunya Syiah Rafidhah menegaskan
bahwa hampir semua sahabat adalah kafir, terkecuali 17 sahabat.19
Sementara sekte Syiah Imamiyyah (Itsna Asyariyyah) berpendirian lain,
mereka menyatakan bahwa para sahabat adalah manusia biasa. Sebagiannya
adalah orang-orang yang adil, sementara sebagian lainnya dianggap munafik,
pembelot, dan pelaku maksiat. Bagi kelompok Syiah Imamiyyah, tidak
seluruh sahabat Rasulullah memiliki sifat adil, sebab derajat adil memiliki
syarat dan sifat tertentu yang diakui syar’i. Artinya, siapa saja yang
memenuhi ketentuan tersebut maka ia dapat disebut sebagai sahabat yang
adil. Sebaliknya, bagi siapa pun yang tidak memenuhinya maka tidak dapat
disebut adil.
Menurut Ahmad Husein Ya’qub, Syiah Imamiyyah memiliki lima
rukun atau syarat sebagai parameter dalam menentukan a’dalah shahabah.
Kelima rukun tersebut yaitu: 1) kekerabatan dan keturunan suci Rasulullah
SAW; 2) yang lebih dahulu menyatakan keimanannya; 3) tingkat
ketakwaannya; 4) tingkat keilmuannya; dan 5) mereka yang mengakui
kekhilafahan atas orang yang ditunjuk oleh Rasulullah SAW sebagai
pemimpin syar’i pengganti Rasulullah SAW tanpa disertai kebencian dan
keterpaksaan.20 Demikianlah pandangan dua mazhab—Sunni Syiah—terkait
keadilan para sahabat.

III. KONKLUSI

19
Darsul S. Puyu, “Kontroversi Keadilan Para Sahabat (Pertarungan dalam Kritik Hadis)”, Jurnal
Tahdis, 7(2), 2016, 146.
20
Ibid., 147.

10
Studi Hadis dalam Persp.. Sunni Syiah
Ayi Yusri A. Tirmidzi
& Tutik Khoirunnisa

Berdasarkan penjelasan di atas, secara definitif Hadis menurut Sunni dan


Syiah memiliki perbedaan yang cukup tampak. Selanjutnya, dalam klasifikasi
Hadis, kaum Sunni mengkategorikan Hadis—berdasarkan atas segi kualitasnya
—menjadi Hadis sahih, Hadis hasan, dan Hadis dha’if. Sementara menurut
kaum Syiah, Hadis dikategorikan menjadi Hadis Sahih, Hadis hasan, Hadis
muwwassaq, dan Hadis dha’if. Sunni dan Syiah sepakat bahwasanya Hadis
menjadi pokok ajaran kedua dalam Islam setelah Al-Qur`an. Namun pada
penerimaan Hadis yang sah dijadikan hujjah ada beberapa perbedaan. Hal ini
dikarenakan ikhtilaf tentang a’dalah shahabah. Sunni menyatakan semua
sahabat bersifat adil, sehinga Hadis yang diterima riwayatnya dari mereka itu
maqbul dan dapat dijadikan hujjah. Sementara Syiah menganggap sahabat
adalah manusia biasa, sebab menurut Syiah persahabatan dengan Rasulullah
SAW tidak menjamin orang tersebut mempunyai sifat yang shalih. Oleh karena
itu, dalam segi ke-hujjah-an Hadis masih perlu dilakukan rincian pembahasan
yang komprehensif.

11
Studi Hadis dalam Persp.. Sunni Syiah
Daftar Pustaka

Ali, M., & Himawan, D. (2019). The Role of Hadis as Religion Doctrine Resource,
Evidence Proof of Hadis anda Hadis Function to Al-Qur`an. Jurnal Risalah,
5(1), 126-139.

Al-Qardhawi, Y. (1997). Al-Qur`an dan Al-Sunnah. (B. Fanani, Penerj.) Jakarta:


Rabbani Press.

Devi, A. D., & Andrean, S. (2021). Tinjauan Hadis Perspektif Sunni dan Syiah.
Jurnal Tahdis, 12(1), 10-20.

Fahimah, S. (2018). Epistemologi Hadis Sunni-Syiah: Analisa terhadap


Implikasinya. Jurnal Alamtara, 2(1), 51-64.

Ghufron, M., & Rahmawati. (2017). Ulumul Hadits: Praktis dan Mudah.
Yogyakarta: Kalimedia.

Lestari, L. (2019). Epistemologi Hadis Perspektif Syiah. Jurnal Al-Bukhari, 2(1), 39-
50.

Miskaya, R., Ahmad, N. S., Sumbulah, U., & Thoriqudin, M. (2021). Kajian Hadis
Perspektif Sunni dan Syiah: Historisitas, Kehujahan Hadis, Parameter
Kesahihan Hadis dan Keadilan Sahabat. Jurnal Studi Hadis Nusantara, 3(1),
27-34.

Puyu, D. S. (2016). Kontroversi Keadilan Para Sahabat (Pertarungan dalam Kritik


Hadis). Jurnal Tahdis, 7(2), 145-147.

Zainuddin. (2018). Kajian Hadis dalam Pandangan Sunni dan Syiah. Jurnal
Qolamuna, 3(2), 170-180.

Anda mungkin juga menyukai