Anda di halaman 1dari 4

Bakteri Penyebab Infeksi pada Sistem Muskuloskeletal

1. Clostridium tetani
Clostridium tetani merupakan mikroorganisme berukuran 0,5-2 x 2 x 18
μm, motil, basil pembentuk spora, dan Gram positif. Mikroorganisme ini
membentuk spora bulat terminal sehingga membentuk morfologi
drumstick/palu gada. Bakteri ini lebih sulit tumbuh dibandingkan C.
perfringens karena sangat sensitif terhadap oksigen. Bentuk vegetatif C.
tetani sangat cepat mati ketika terpapar oksigen, tetapi bentuk spora
bakteri ini memungkinkannya untuk bertahan hidup di kondisi lingkungan
yang buruk dan lama. Bakteri ini memproduksi dua toksin,
hemolysin/tetanolysin dan neurotoxin/tetanospasmin. Sifat klinis
tetanolysin kurang diketahui karena diinhibisi oleh adanya oksigen dan
serum kolesterol. Tetanospasmin dilepaskan ketika sel lisis dan yang
menyebabkan manifestasi klinis tetanus. Tetanospasmin bekerja dengan
menginaktivasi protein yang mengatur pelepasan neurotransmitter
penghambat glisin dan gamma-aminobutyric acid (GABA). Akibatnya,
terjadi aktivitas excitatory synaptic yang tidak terkontrol pada neuron
motorik sehingga terjadi paralisis spastik. Toksin yang bersifat
irreversible ketika berikatan dengan neuron motorik sehingga
penyembuhan bergantung pada pembentukan terminal axonal yang baru.
Bakteri ini dapat ditemukan di mana-mana, seperti pada tanah yang subur,
di GI tracts hewan, bahkan manusia. Periodi inkubasi bervariasi mulai dari
harian hingga mingguan. Durasi inkubasi ini sangat bergantung antara
jarak luka primer dengan sistem saraf pusat. Gejala tetanus
umum/generalized tetanus dapat berupa spasme pada otot masseter,
disebut trismus atau lockjaw dan paling sering ditemukan kasus pasien
tetanus. Gejala lain yaitu pasien tampak seperti senyum sinis/ sardonic
smile akibat kontraksi terus menerus otot-otot wajah, disebut sebagai risus
sardonicus. Tanda awal yang dapat ditemukan seperti keluarnya air liur,
berkeringat, iritabilitas/lekas marah, dan spasme persisten
punggung/opisthotonos. Pada kasus yang lebih parah dapat menyebabkan
gangguan pada sistem nervus otonom dengan tanda dan gejala, seperti
aritmia cardiak, fluktuasi tekanan darah, berkeringat, dan dehidrasi.
Tetanus lokal/local tetanus dapat terjadi apabila toksin terdapat pada otot
yang terinfeksi awal dengan gejala kontraksi spastik dan tonik otot lokal.
Apabila lokasi infeksi awal terjadi pada kepala dapat menyebabkan
cephalic tetanus dengan gejala disfagia, trismus, dan focal cranial
neuropathy yang tersering pada n. facialis. Neonatal tetanus terjadi apabila
infeksi awal terjadi pada umbilikus bayi yang dapat berkembang menjadi
tetanus umum. Mortalitas tetanus neonatal hingga lebih dari 90% dan
dapat menyebabkan defek perkembangan pada bayi yang selamat.
Diagnosis didasarkan atas presentasi klinis, pemeriksaan mikroskopik atau
kultur dapat berguna, tetapi jarang berhasil karena kultur positif hanya
ditemukan pada 30% kasus. Hal ini terjadi karena bakteri ini tumbuh
sangat lambat dan mudah mati ketika terpapar udara. Deteksi toksin
tetanus maupun antibodi terhadap toksin sulit dideteksi karena toksin
sangat cepat berikatan dengan neuron motorik. Apabila kultur berhasil
dilakukan, deteksi toksin yang diproduksi oleh isolat bakteri dapat
dikonfirmasi dengan tes netralisasi antitoksin tetanus pada tikus.[1]
Manajemen tetanus meliputi imunisasi, medikasi, dan pembedahan.
Pemberian vaksinasi dengan kombinasi empat vaksin direkomendasikan,
yaitu: vaksin diphtheria, tetanus toxoid, dan pertussis (DTaP); tetanus
toxoid dengan dosis diphtheria dan pertussis yang dikurangi (Tdap);
diphtheria dan tetanus toxoid (DT); dan tetanus toxoid dan dosis diphtheria
yang dikurangi (Td). Vaksin DtaP diberikan pada anak di bawah tujuh
tahun pada bulan kedua, keempat, keenam, bulan ke-12 sampai ke-15, dan
saat usia 4-6 tahun. Apabila pasien tidak toleran dengan DtaP, dapat
diberikan vaksin DT. Vaksin Tdap diberikan pada usia 11-12 tahun.
Apabila anak belum menerima rangkaian vaksin sebelum usia tujuh tahun
dapat diberikan Tdap pada usia 7-10 tahun. Pada usia 19 tahun atau lebih
diberikan single dose Tdap diikutin dengan booster Td setiap 10 tahun.
Saat hamil, vaksin Tdap dapat diberikan selama trimester ketiga setiap
kehamilan.[2]
Manajemen saat terinfeksi dapat dilakukan debridement pada luka,
pemberian antibiotik penicillin atau metronidazole untuk mengeradikasi
kuman. Human tetanus immunoglobulin diberikan untuk menetralisasi
toksin yang belum berikatan dan dapat diberikan juga vaksin tetanus
toxoid karena infeksi tetanus tidak memproduksi imunitas adaptif.
Pemberian sedasi juga dapat dilakukan untuk mengatasi kekakuan otot
dengan pemberian fenobarbital atau diazepam. [1]
Pembiakan C. tetani dapat dilakukan pada media sheep blood agar, nutrien
agar, atau macconkey agar dengan suhu 33-37℃ dan pH 7,4-7,6.

Pada sheep blood agar, awalnya akan tampak seperti koloni α-hemolitik
kemudian menjadi seperti β-hemolitik akibat produksi toksin tetanolysin,
sedangkan bentuk koloni tampak ireguler dan berwarna abu-abu.
Pada pemeriksaan mikroskopis akan tampak bakteri berbentuk bacillus
dengan karakteristik drumstick karena adanya spora pada terminal bakteri.
Bakteri ini tersusun tunggal atau bisa tampak berpasangan atau
membentuk rantai pendek. Bakteri ini bersifat motil dengan flagella tipe
peritrichate. Bakteri ini memiliki kapsul yang dengan pewarnaan tinta inda
akan tampak bening dengan latar hitam, sedangkan dengan pewarnaan
Gram akan tampak ungu sehingga termasuk bakteri Gram positif.[3]
1. Murray PR, Rosenthal KS, Pfaller MA. Medical microbiology. 9th Ed.
New York: Elsevier; 2021.
2. Finkelstein P, Teisch L, Allen C, Ruiz G. Tetanus: a potential public
health threat in times of disaster. Prehospital and Disaster Medicine.
2017;32(3):339-42.
3. Procop GW, Church DL, Hall GS, et al. Koneman’s color atlas and
textbook of diagnostic microbiology. 7th Ed. China: Wolters Kluwer;
2017.

Anda mungkin juga menyukai