Pada prakemerdekaan pendidikan bukan untuk mencerdaskan kaum pribumi, melainkan lebih
pada kepentingan kolonial penjajah. Pada bagian ini, semangat menggeloraan ke-Indonesia-
an begitu kental sebagai bagian dari membangun identitas diri sebagai bangsa merdeka.
Karena itu tidaklah berlebihan jika instruksi menteri saat itu pun berkait dengan upaya
memompa semangat perjuangan dengan mewajibkan bagi sekolah untuk mengibarkan sang
merah putih setiap hari di halaman sekolah, menyanyikan lagu Indonesia Raya, hingga
menghapuskan nyanyian Jepang Kimigayo. Organisasi kementerian yang saat itu masih
bernama Kementerian Pengajaran pun masih sangat sederhana. Tapi kesadaran untuk
menyiapkan kurikulum sudah dilakukan.
Menteri Pengajaran yang pertama dalam sejarah Republik Indonesia adalah Ki Hadjar
Dewantara. Pada Kabinet Syahrir I, Menteri Pengajaran dipercayakan kepada Mr. Mulia. Mr.
Mulia melakukan berbagai langkah seperti meneruskan kebijakan menteri sebelumnya di
bidang kurikulum berwawasan kebangsaan, memperbaiki sarana dan prasarana pendidikan,
serta menambah jumlah pengajar. Pada Kabinet Syahrir II, Menteri Pengajaran dijabat
Muhammad Sjafei sampai tanggal 2 Oktober 1946. Selanjutnya Menteri Pengajaran
dipercayakan kepada Mr. Soewandi hingga 27 Juni 1947. Pada era kepemimpinan Mr.
Soewandi ini terbentuk Panitia Penyelidik Pengajaran Republik Indonesia yang diketuai Ki
Hadjar Dewantara. Panitia ini bertujuan meletakkan dasar-dasar dan susunan pengajaran baru.
Era Demokrasi Liberal (1951-1959)
Dapat dikatakan pada masa ini stabilitas politik menjadi sesuatu yang langka, demikian
halnya dengan program yang bisa dijadikan tonggak, tidak bisa dideskripsikan dengan baik.
Selama masa demokrasi liberal, sekitar sembilan tahun, telah terjadi tujuh kali pergantian
kabinet. Kabinet Natsir yang terbentuk tanggal 6 September 1950, menunjuk Dr. Bahder
Johan sebagai Menteri Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan (PP dan K). Mulai bulan
April 1951 Kabinet Natsir digantikan Kabinet Sukiman yang menunjuk Mr. Wongsonegoro
sebagai Menteri PP dan K. Selanjutnya Dr. Bahder Johan menjabat Menteri PP dan K sekali
lagi, kemudian digantikan Mr. Mohammad Yamin, RM. Soewandi, Ki Sarino
Mangunpranoto, dan Prof. Dr. Prijono. Pada periode ini, kebijakan pendidikan merupakan
kelanjutan kebijakan menteri periode sebelumnya. Yang menonjol pada era ini adalah
lahirnya payung hukum legal formal di bidang pendidikan yaitu UU Pokok Pendidikan
Nomor 4 Tahun 1950.
Era Demokrasi Terpimpin (1959-1966)
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mengakhiri era demokrasi parlementer, digantikan era demokrasi
terpimpin. Di era demokrasi terpimpin banyak ujian yang menimpa bangsa Indonesia.
Konfrontasi dengan Belanda dalam masalah Irian Barat, sampai peristiwa G30S/PKI menjadi
ujian berat bagi bangsa Indonesia. Dalam Kabinet Kerja I, 10 Juli 1959 – 18 Februari 1960,
status kementerian diubah menjadi menteri muda. Kementerian yang mengurusi pendidikan
dibagi menjadi tiga menteri muda. Menteri Muda Bidang Sosial Kulturil dipegang Dr. Prijono,
Menteri Muda PP dan K dipegang Sudibjo, dan Menteri Muda Urusan Pengerahan Tenaga
Rakyat dipegang Sujono.
Setelah berjaya memenangkan enam kali Pemilu, Orde Baru pada akhirnya sampai pada akhir
perjalanannya. Pada tahun 1998 Indonesia diterpa krisis politik dan ekonomi. Demonstrasi
besar-besaran di tahun tersebut berhasil memaksa Presiden Soeharto meletakkan jabatannya.
Kabinet pertama di era reformasi adalah kabinet hasil Pemilu 1999 yang dipimpin Presiden
Abdurrahman Wahid. Pada masa ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan diubah
menjadi Departemen Pendidikan Nasional dengan menunjuk Dr. Yahya Muhaimin sebagai
Menteri Pendidikan Nasional. Pada tahun 2001 MPR menurunkan Presiden Abdurrahman
Wahid dalam sidang istimewa MPR dan mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai
presiden.
Surat Edaran (SE) tersebut diterbitkan dengan memperhatikan situasi pandemi Covid-
19 2022
“Dengan mempertimbangkan situasi pandemi Covid-19 saat ini serta berdasarkan hasil
pembahasan bersama antara Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi
(Kemenkomarvest), Kementerian Agama (Kemenag), Kementerian Kesehatan (Kemenkes)
serta Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Kemendikbudristek, diperlukan adanya
dikresi Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri yang mengatur Pembelajaran Tatap Muka
(PTM) Seratus Persen di Masa Pandemi Covid-19”, jelas Sekretaris Jenderal
Kemendikbudristek, Suharti di Jakarta, (1/8).
“Kesepakatan di atas juga berdasarkan masukan dari berbagai pihak di luar kementerian
terkait. Kita ingin pembelajaran di satuan pendidikan dapat berjalan dengan baik namun
dengan tetap meminimalkan resiko penularan Covid-19 di satuan pendidikan”, sambung
Suharti.
Pemerintah Daerah juga didorong untuk merespon dengan cepat bila mendapat
informasi/surveilans epidemiologis, untuk selanjutnya melakukan penelusuran kontak erat
(tracing) dan tes Covid-19 lalu melakukan penetapan kluster penularan Covid-19 di satuan
pendidikan berdasarkan hasil yang diperoleh. Selain itu Pemerintah Daerah juga diharuskan
untuk melakukan pengawasan dan memberikan pembinaan terhadap penyelenggaraan PTM
yang masih berlangsung di daerahnya, terutama dalam hal memastikan penerapan protokol
kesehatan secara ketat oleh satuan pendidikan, pelaksanaan penemuan kasus aktif (active case
finding) di satuan pendidikan baik melalui pelacakan kontak dari penemuan kasus aktif,
survei berkala maupun penggunaan aplikasi Peduli Lindungi.
B.KRONOLOGIS BENTUK DAN STRUKTUR ORGANISASI DARI AWAL SAMPAI
AKHIR
2. Inspektorat Jenderal
Inspektorat Jenderal mempunyai tugas menyelenggarakan pengawasan internal di
lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Inspektorat Jenderal Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan fungsi:
a. Penyusunan kebijakan teknis pengawasan intern di lingkungan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan;
b. Pelaksanaan pengawasan intern di lingkungan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan terhadap kinerja dan keuangan melalui audit, reviu, evaluasi,
pemantauan, dan kegiatan pengawasan lainnya;
c. Pelaksanaan pengawasan untuk tujuan tertentu atas penugasan Menteri;
Berbagai gejolak perubahan yang terjadi pada lingkungan bisnis, menuntut individu maupun
organisasi untuk melakukan penyesuaian yang berkelanjutan. Penyesuaian ini dapat dilakukan
melalui praktik manajemen perubahan, di mana terjadi proses penyejajaran yang berkelanjutan
antara organisasi dengan pasarnya, dan melakukannya secara lebih tanggap daripada para
pesaingnya ( Upaya untuk berhasil melakukan perubahan harus dimulai dengan memastikan
adanya cukup orang yang bertindak dengan urgensi yang memadai. Hal ini dapat terwujud jika
organisasi sigap mengidentifikasi peluang dan potensi masalah yang mungkin akan dihadapi
organisasi di masa mendatang (John Kotter dan Dan Cohen, 2014: 21). Ini pun yang turut
dilakukan oleh PT. Sucofindo (persero), meski tergolong sebagai BUMN yang telah matang dari
segi usia maupun pengalaman, tidak berarti membuatnya terbebas dari tantangan perubahan.
Seperti yang terjadi di tahun 2018, intervensi lingkungan eksternal berupa perubahan teknologi
dan perubahan regulasi pemerintah dalam menghadapi pesaing asing di sektor yang sama,
menjadi tantangan utama yang harus dihadapi oleh PT. Sucofindo. Kontras dengan hal itu,
kebutuhan internal menuntut PT. Sucofindo untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas
sumber daya yang dimiliki untuk meningkatkan daya saing.
Menyikapi hal tersebut, berdasarkan hasil kajian tabloid internal PT. Sucofindo di tahun 2018,
diketahui jika Sucofindo tengah memantapkan diri untuk melakukan perubahan melalui
transformasi yang terarah pada pembenahan SDM dan inovasi teknologi ( dan untuk mencapai
sasaran tersebut, berdasarkan hasil Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pada Maret 2018,
telah diputuskan bahwa PT. Sucofindo akan melakukan pengembangan organisasi melalui
penambahan struktur Direktorat SDM dan penunjukkan Direktur SDM, sebagai titik awal upaya
pembenahan SDM perusahaan. Sumber daya manusia merupakan aset penting yang memegang
kunci keberhasilan dari kegiatan transformasi (Sopiah dan Etta, 2018: 228). Hal ini sejalan
dengan pandangan John Kotter dalam Wibowo (2016: 211) bahwa ada tahapan di mana
organisasi perlu merekrut, mempromosikan, dan mengembangkan pegawai yang dinilai mampu
melaksanakan perubahan visi. Maka dari itu, merujuk pada kondisi di mana banyak pegawai usia
lanjut yang akan pensiun dalam lima tahun ke depan, mendorong urgensi bagi PT. Sucofindo
untuk mulai mempersiapkan SDM dengan talenta-talenta baru yang lebih produktif dan inovatif,
sebagai pengganti dari SDM lama. Hal tersebut diwujudkan melalui beberapa perubahan
prosedur pengelolaan SDM, seperti program rekrutmen yang kini lebih terbuka pasca
diberlakukannya sistem online, serta program pengembangan yang sistematis untuk
mempersiapkan kaderisasi untuk mengisi jabatan struktural.
Perlu diketahui jika tujuan dari rekrutmen adalah menerima pelamar sebanyak-banyaknya, sesuai
dengan kualifikasi kebutuhan perusahaan, dari berbagai sumber, sehingga memungkinkan
terjaringnya calon pegawai dengan kualitas tertinggi dari yang terbaik (Rivai dalam Sopiah dan
Etta, 2018: 262). Untuk mencapai hal tersebut, diberlakukannya program rekrutmen
Management trainee (MT) yang dibentuk dengan fokus pengembangan karir di level manajemen,
dengan berbasis online. Program ini merupakan wujud diberlakukannya perubahan prosedur
serta teknologi melalui pemanfaatan digitalisasi, yang dapat meningkatkan akurasi hasil,
melipatgandakan kecepatan, serta lebih efektif dan efisien dibandingkan sistem berbasis offline
(Rhenald Kasali, 2018: 22). Di sisi lain, untuk program kaderisasi posisi-posisi struktural,
perusahaan menyeleksi pegawai potensial untuk mengikuti kegiatan Officer Development
Program (ODP). Perubahan terhadap struktur, prosedur, dan teknologi bisa menjadi sangat
penting, namun tidak diragukan jika perubahan sentral sesungguhnya terletak pada perubahan
perilaku individu (John Kotter dan Dan Cohen, 2014: 3). Organisasi sangat memerlukan adanya
perubahan sikap yang signifikan dalam apa yang pegawai kerjakan. Bagi Sucofindo sendiri,
perubahan sikap menuju kedisiplinan sangat diharapkan dari seluruh insan perusahaan. Penangan
terkait kedisiplinan ini pada dasarnya telah diberlakukan sejak 1 juni 2015 melalui peraturan
khusus yang tertuang dalam Keputusan Direksi Nomor 22/KD/2015 tentang peraturan disiplin
pegawai. Namun demikian, pelanggaran masih terus terjadi, seperti yang tercatat pada periode
Oktober 4
22 hingga Desember 2017, berdasarkan No. SKD 740/ SKD/ 2017 terjadi pelanggaran yang
dilakukan oleh Divisi Pengembangan Bisnis Korporat (PBK). Adapun pelanggaran lain yang
tercatat oleh Tim Satuan Pengendali Operasi (Satdalop) terkait dijualnya sampel pasca analisis
yang sudah tidak terpakai, di mana hal ini menyalahi prosedur yang telah ditetapkan. Sisanya,
terjadi pelanggaran ringan berkaitan dengan masalah disiplin kehadiran sepanjang Januari hingga
Maret Kondisi ini menunjukkan jika upaya perubahan sikap belum sepenuhnya didukung oleh
keseluruhan insan Sucofindo. Maka dari itu, pada Maret 2018, dibentuk dan ditugaskannya Tim
Satuan Tugas (Satgas) Kampanye Budaya, yang pada tahun ini menitikberatkan pada tema
penerapan disiplin waktu terkait absensi. Berdasarkan dari data yang diperoleh oleh peneliti,
benar bahwasanya PT. Sucofindo telah menyadari pentingnya upaya perubahan untuk
beradaptasi dengan kondisi lingkungan bisnis saat ini. Namun demikian, seperti pendapat
Wibowo (2016: 148) bahwa untuk mengelola perubahan, diperlukan SDM yang memahami
tujuan suatu perubahan dan memiliki kompetensi untuk melakukannya, namun kesalahan yang
umumnya terjadi, banyak organisasi yang lebih berfokus pada merubah struktur, prosedur, dan
teknologi yang pada dasarnya mudah dikendalikan, padahal nyatanya masalah utama terletak
pada merubah perilaku SDM. Kondisi tersebut yang mengindikasikan diperlukannya manajemen
perubahan oleh PT. Sucofindo untuk memastikan upaya perubahan dapat berjalan dengan baik,
dan mencapai hasil seperti yang diharapkan
B. KRONOLOGIS BENTUK DAN STRUKTUR ORGANISASI DARI AWAL
SAMAPI AKHIR
Gambar 1.1
Struktur Organisasi PT.
Sucofindo