Disusun Oleh :
Alya Shofiyah (1102018060)
Dibimbing Oleh :
dr. Fikri Faisal , Sp.P
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-
Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan kasus ini. Tidak
lupa shalawat serta salam penulis haturkan kepada junjungan nabi Muhammad
SAW beserta keluarga dan sahabatnya hingga akhir zaman.
Laporan Kasus berjudul Efusi Pleura Dextra dengan TB Paru ini disusun
dalam rangka memenuhi tugas menjalani Kepaniteraan di Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas YARSI RSU dr. Slamet
Kabupaten Garut. Pada kesempatan ini pula perkenankan penulis untuk
menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada dr. Fikri Faisal,
Sp. P, dokter konsulen penulis yang telah memberikan tugas ini, orangtua, saudara
dan teman semua yang telah memberikan do’a dan dukungannya.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
sehingga penyusunan laporan kasus ini dapat lebih baik dan bermanfaat di masa yang
akan datang.
Garut, 25 September 2022
Alya Shofiyah
2
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. Ayi
Jenis Kelamin : Laki-laki
Nomor CM : 01326217
Umur : 42 Tahun
Alamat : Pasir Kawao Sukaresmi
Agama : Islam
Pekerjaan : Karyawan (buruh)
Suku Bangsa : Sunda
Status Pernikahan : Menikah
Tanggal Masuk RS : 1 September 2022
Tanggal Pemeriksaan : 6 September 2022
Tanggal Keluar RS : 8 September 2022
Ruangan : Zamrud
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien dan
alloanamnesis dengan keluarga pasien diruang Zamrud, pada tanggal 6
september 2022 pukul 11.00.
4
sinar matahari yang cukup.
VIII. ANAMNESIS SISTEM ORGAN
1. Kulit : Tidak ada keluhan
2. Kepala : Tidak ada keluhan
3. Mata : Tidak ada keluhan
4. Telinga : Tidak ada keluhan
5. Hidung : Tidak ada keluhan
6. Mulut : Tidak ada keluhan
7. Leher : Tidak ada keluhan
8. Thoraks : Sesak Napas
9. Abdomen : Tidak ada keluhan
10. Saluran Kemih dan Kelamin : Tidak ada keluhan
11. Ekstremitas : Tidak ada keluhan
IX. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
2. GCS : E4M6V5
3. Kesadaran : Compos Mentis
4. Tekanan Darah : 133/100 mmHg
5. Nadi
a. Frekuensi : 122x/menit
b. Irama denyut nadi : Takikardi
c. Kualitas nadi : Baik
6. Suhu : 36.6ºC
7. Pernafasan : 24x/menit, regular
8. SpO2 : 93% free air
9. Gizi
a. BB : 52 kg
b. TB : 170 cm
5
c. IMT : 18 (Underweight)
X. STATUS GENERALIS
6
- TELINGA Bentuk : Normal
Lubang : Lapang
Sekret : Tidak ada
Selaput pendengaran : Utuh, intak
Penyumbatan : Tidak ada
Perdarahan : Tidak ada
7
- JANTUNG
a. Inspeksi
- Iktus cordis tidak terlihat
b. Palpasi
- Iktus kordis teraba pada ICS V linea midklavikularis sinistra
c. Perkusi
- Batas jantung kanan : ICS V linea parasternalis dextra
- Batas jantung kiri : ICS V linea midklavikularis sinistra
- Pinggang Jantung : ICS II linea parasternalis sinistra
d. Auskultasi
- Bunyi jantung I dan II regular
- Tidak terdengar suara tambahan, gallop (-), murmur (-)
- PULMO DEPAN
a. Inspeksi
- Bentuk normal, pergerakan dinding dada simetris
- Terpasang CTT pada ICS V linea midaxillaris dextra
- Tidak ada retraksi
b. Palpasi
- Fremitus taktil bagian dextra menurun dibandingkan dengan yang
kiri
- terdapat nyeri tekan di lapang paru ics IV-VI dextra
- pleural friction rub (+)
c. Perkusi
- Terdengar redup pada lapang paru dextra ICS IV-VI, sonor pada
lapang paru sinistra
d. Auskultasi
- Vesikular breathing sound bagian kanan menurun dibandingkan
dengan bagian kiri
- Tidak terdengar suara tambahan, ronkhi (-/-), wheezing(-/-)
8
PULMO BELAKANG
a. Inspeksi
- Bentuk normal, pergerakan dinding dada simetris
- Tidak ada retraksi
b. Palpasi
- Fremitus taktil bagian dextra menurun dibandingkan dengan yang
kiri
- terdapat nyeri tekan di ics 4-6 dextra
c. Perkusi
- Terdengar redup pada lapang paru dextra ICS IV-VI, sonor pada
lapang paru sinistra
d. Auskultasi
- Vesikular breathing sound bagian kanan menurun dibandingkan
dengan bagian kiri
- Tidak terdengar suara tambahan, ronkhi (-/-), wheezing(-/-)
- ABDOMEN
a. Inspeksi
- Abdomen datar, tidak tampak membesar
- Terdapat hiperpigmentasi pada abdomen, tidak ada jaringan parut
- Sikatriks (-), massa (-)
b. Auskultasi
- Bising usus (+) pada seluruh lapang abdomen.
c. Perkusi
9
- Timpani seluruh regio abdomen
- Nyeri ketok ginjal (-)
- Shifting dullness (-)
d. Palpasi
- Tidak teraba pembesaran hepar maupun lien
- Nyeri tekan (-)
- Tes undulasi (-)
EKSTREMITAS
Superior Inferior
Akral dingin -/- -/-
Edema -/- +/-
Sianosis -/- -/-
CRT <2 detik +/+ +/+
Gerak Dalam batas normal Dalam batas normal
10
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan
Cairan Pleura
Albumin C Pleura 1900 mg/dL
Glukosa C Pleura 100 mg/dL
Protein C Pleura 4520 mg/dL
Jumlah Sel 27 /mm3
Hitung Jenis Sel
PMN 24 %
MN 76 %
Rivalta Positif
Preparat BTA Negatif
Hasil Rontgen Foto Thorax pada 31 Agustus 2022 (sebelum tindakan CTT)
11
Pemeriksaan Radiologi Foto Thorax AP pada tanggal 06/09/2022
- Efusi Pleura Kanan
- Suspek Ateletaksis Kanan
- Cor tidak melebar (CTR < 50%)
- Sinus dan diafragma normal
- Pulmo : Hilus normal, corakan bronkovaskular normal, tampak perselubungan
opak homogen berbentuk segitiga di lapang tengah kanan.
- Kesan : TB Paru aktif
XII. RESUME
Pasien Tn. Ayi, 42 tahun datang ke RSUD dr. Slamet Garut dengan keluhan
sesak nafas yang memberat sejak 1 hari SMRS. Pasien mengaku sering sesak nafas
12
sebelumnya dan membaik setelah beristirahat. Keluhan disertai batuk dan demam
naik turun sejak 2 bulan yang lalu. Pasien juga mengaku mengalami penurunan berat
badan. Pasien juga merasakan tidurnya lebih nyaman bila menyamping, menghadap
ke kiri. Terkadang pasien berkeringan dingin pada malam hari.
Riwayat pengobatan TB Paru disangkal. Riwayat TB Paru pada keluarga
disangkal. Pasien beberapa bulan yang lalu merupakan perokok aktif. Riwayat
penyakit hipertensi, DM, jantung, ginjal, diabetes disangkal.
Pada pemeriksaan fisik didaptakan, untuk status lokalis paru, tepasang CTT
pada ICS V linea midaxillaris dextra, Fremitus taktil bagian dextra menurun
dibandingkan dengan yang kiri, terdapat nyeri tekan di lapang paru ics IV-VI dextra,
pleural friction rub (+). Pada perkusi terdengar redup pada lapang paru dextra ICS
IV-VI, pada auskultasi Vesikular breathing sound lapang paru kanan menurun
dibandingkan dengan kiri. Jantung dan abdomen dalam batas normal.
Pada pemeriksaan penunjang menunjukan Anemia, Leukositosis dan
trombositosis. Pada analisis cairan pleura, menunjukkan cairan pleura jenis transudat.
serta pemeriksaan rontgen thorax menunjukan kesan TB paru aktif.
1. Rontgen Thorax
2. Hematologi
13
XV. RENCANA TERAPI
a. IVFD Asering 20 TPM
b. Cefotaxime 2 x 1 gr IV
c. Metilprednisolon 2 x 62.5 mg IV
d. Omeprazole 2 x 20 mg po
e. Curcuma 2 x 1 tab PO
f. 4 FDC 1 x 3 tab PO
XVI. EDUKASI
1. Edukasi pasien dan keluarga tentang kondisi yang dialami pasien saat ini.
2. Edukasi pasien pengobatan TB dengan OAT sampai tuntas
3. Etika batuk dan penggunaan masker.
4. Istirahat cukup dan rutin olahraga.
XVII. Prognosis
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tuberkulosis
2.1.1 Definisi
2.1.2 Epidemiologi
15
Tenggara dengan 43% kasus baru, lalu Afrika sebanyak 25%, dan Pasifik Barat
sebanyak 18%. 4
2.1.3 Etiologi
pada suhu 37oC dengan pertumbuhan yang lambat yaitu 2-60 hari. Genus
bakteri ini mempunyai karakteristik yang unik karena memiliki dinding sel
yang kaya akan lipid dan lapisan tebal peptidoglikan yang mengandung asam
mikolat, arabinogalaktan, dan lipoarabinomanan. Asam mikolat ini hanya
dijumpai pada dinding sel bakteri genus mycobacterium. 6
16
oksigen dalam melakukan metabolisme. Sifat ini menunjukkan bahwa bakteri
ini lebih menyukai jaringan kaya oksigen, tekanan bagian apikal paru paru lebih
tinggi daripada jaringan lainnya sehingga bagian tersebut menjadi tempat yang
baik untuk mendukung pertumbuhan bakteri M. tuberculosis.7
2.1.4 Patogenesis
17
Infeksi dan Invasi Makrofag
18
terhadap tuberkulosis, seperti yang ditemukan oleh studi di antara orang Afrika
Barat. Polimorfisme dalam banyak gen, seperti yang mengkode
histokompatibilitas antigen leukosit (HLA), interferon (IFN-γ), sel T faktor
pertumbuhan (TGF-β), interleukin (IL) 10, protein pengikat mannose, reseptor
IFN-γ, Toll-like receptor (TLR) 2, reseptor vitamin D, dan IL-1, telah dikaitkan
Respon Tubuh
Pada tahap awal interaksi inang-bakteri, baik fusi antara fagosom dan
lisosom terjadi, mencegah kelangsungan hidup basil, atau basil mulai
berkembang biak, akhirnya membunuh makrofag. Berbagai traktan kemoat
yang dilepaskan setelah lisis sel (komponen komplemen, molekul bakteri, dan
sitokin) merekrut immature monocyte-derived macrophages,termasuk sel
dendritik, yang bermigrasi ke saluran drainase kelenjar getah bening dan
Pada titik ini, perkembangan CMI dan kekebalan humoral dimulai. Tahap
awal infeksi ini biasanya tanpa gejala sekitar 2-4 minggu setelah infeksi, dua
respon host berkembang menjadi M. tuberculosis: CMI yang mengaktifkan
makrofag respons dan respons yang merusak jaringan. Respon pengaktifan
makrofag adalah fenomena yang dimediasi sel T yang menghasilkan aktivasi
makrofag yang mampu membunuh dan mencerna basil tuberkel. Merusak
jaringan respons adalah hasil dari hipersensitivitas tipe lambat (delayed-type
hypersensitivity/DTH) reaksi terhadap berbagai antigen basiler; itu
menghancurkan Makrofag tidak aktif yang mengandung basil pengganda tetapi
juga menyebabkan nekrosis kaseosa pada jaringan yang terlibat. Meskipun
kedua respons ini dapat menghambat pertumbuhan mikobakteri, itu adalah
19
keseimbangan antara keduanya yang menentukan bentuk tuberkulosis yang
Pembentukan Granuloma
20
bertahun-tahun. Lesi yang “sembuh” di parenkim paru dan hilar kelenjar getah
21
pada anak). Dalam kasus CMI, dua jenis sel yang penting: makrofag, yang
langsung memfagosit basil tuberkel, dan sel T (terutama limfosit T CD4+),
yang menginduksi proteksi melalui produksi sitokin, terutama IFN-γ. Setelah
infeksi M. tuberculosis, makrofag alveolar mengeluarkan berbagai sitokin yang
bertanggung jawab untuk sejumlah kejadian (misalnya, pembentukan
granuloma) serta efek sistemik (misalnya, demam dan penurunan berat badan).
Monosit dan makrofag yang tertarik ke situs adalah komponen kunci dari
respon imun. Mekanisme utama mereka mungkin terkait dengan produksi
oksida nitrat, yang memiliki aktivitas antimi kobakteri dan meningkatkan
sintesis sitokin seperti tumor necrosis factor (TNF ) dan IL-1, yang pada
gilirannya mengatur pelepasan intermediet nitrogen reaktif. Selain itu,
makrofag dapat mengalami mekanisme apoptosis defensif untuk mencegah
pelepasan sitokin.8,9
Peran Limposit T
22
mengatur gen yang terlibat dalam efek bakterisida. Sel T CD8+ telah dikaitkan
dengan aktivitas protektif melalui respon sitotoksik dan lisis sel yang terinfeksi
serta dengan produksi IFN-γ dan TNF . Akhirnya, sel pembunuh alami
bertindak sebagai co-regulator dari Aktivitas litik sel T CD8+, dan sel T
semakin dianggap terlibat dalam respons protektif dalam manusia
1. Tuberkulosis Primer
Infeksi primer terjadi pada paparan pertama terhadap tuberkel basili. Hal
ini biasanya terjadi pada masa anak, oleh karenanya sering diartikan sebagai TB
anak. Namun, infeksi ini dapat terjadi pada usia berapapun pada individu yang
belum pernah terpapar M.TB sebelumnya. Percik renik yang mengandung basili
yang terhirup dan menempati alveolus terminal pada paru, biasanya terletak di
bagian bawah lobus superior atau bagian atas lobus inferior paru. Basili
23
kemudian mengalami terfagosistosis oleh makrofag; produk mikobakterial
mampu menghambat kemampuan bakterisid yang dimiliki makrofag alveolus,
sehingga bakteri dapat melakukan replikasi di dalam makrofag. Makrofag dan
monosit lain bereaksi terhadap kemokin yang dihasilkan dan bermigrasi menuju
fokus infeksi dan memproduksi respon imun. Area inflamasi ini kemudian
disebut sebagai Ghon focus.1
Basili dan antigen kemudian bermigrasi keluar dari Ghon focus melalui jalur
limfatik menuju Limfe nodus hilus dan membentuk kompleks (Ghon) primer.
Respon inflamasinya menghasilkan gambaran tipikal nekrosis kaseosa. Di
dalam nodus limfe, limfosit T akan membentuk suatu respon imun spesifik dan
mengaktivasi makrofag untuk menghambat pertumbuhan basili yang
terfagositosis. Fokus primer ini mengandung 1,000–10,000 basili yang
kemudian terus melakukan replikasi. Area inflamasi di dalam fokus primer
akan digantikan dengan jaringan fibrotik dan kalsifikasi, yang didalamnya
terdapat makrofag yang mengandung basili terisolasi yang akan mati jika sistem
imun host adekuat. Beberapa basili tetap dorman di dalam fokus primer untuk
beberapa bulan atau tahun, hal ini dikenal dengan “kuman laten”. Infeksi primer
biasanya bersifat asimtomatik dan akan menunjukkan hasil tuberkulin positif
dalam 4-6 minggu setelah infeksi. Dalam beberapa kasus, respon imun tidak
cukup kuat untuk menghambat perkembangbiakan bakteri dan basili akan
menyebar dari sistem limfatik ke aliran darah dan menyebar ke seluruh tubuh,
menyebabkan penyakit TB aktif dalam beberapa bulan. TB primer progresif
pada parenkim paru menyebabkan membesarnya fokus primer, sehingga dapat
ditemukan banyak area menunjukkan gambaran nekrosis kaseosa dan dapat
ditemukan kavitas, menghasilkan gambaran klinis yang serupa dengan TB post
primer.
24
2. Tuberkulosis pasca primer
TB pasca primer merupakan pola penyakit yang terjadi pada host yang
sebelumnya pernah tersensitisasi bakteri TB. Terjadi setelah periode laten yang
memakan waktu bulanan hingga tahunan setelah infeksi primer. Hal ini dapat
dikarenakan reaktivasi kuman laten atau karena reinfeksi.
Reaktivasi terjadi ketika basili dorman yang menetap di jaringan selama
beberapa bulan atau beberapa tahun setelah infeksi primer, mulai kembali
bermultiplikasi. Hal ini mungkin merupakan respon dari melemahnya sistem
imun host oleh karena infeksi HIV. Reinfeksi terjadi ketika seorang yang
pernah mengalami infeksi primer terpapar kembali oleh kontak dengan orang
yang terinfeksi penyakit TB aktif. Dalam sebagian kecil kasus, hal ini
merupakan bagian dari proses infeksi primer. Setelah terjadinya infeksi primer,
perkembangan cepat menjadi penyakit intra-torakal lebih sering terjadi pada
anak dibanding pada orang dewasa. Foto toraks mungkin dapat memperlihatkan
gambaran limfadenopati intratorakal dan infiltrat pada lapang paru. TB post-
primer biasanya mempengaruhi parenkim paru namun dapat juga melibatkan
organ tubuh lain. Karakteristik dari dari TB post primer adalah ditemukannya
kavitas pada lobus superior paru dan kerusakan paru yang luas. Pemeriksaan
sputum biasanya menunjukkan hasil yang positif dan biasanya tidak ditemukan
limfadenopati intratorakal. 1
25
Gambar 3.
2.15 Klasifikasi
Terduga (presumptive) pasien TB adalah seseorang yang mempunyai
keluhan atau gejala klinis mendukung TB (sebelumnya dikenal sebagai terduga
TB). Pasien TB yang terkonfirmasi bakteriologis adalah pasien TB yang
terbukti positif bakteriologi pada hasil pemeriksaan (contoh uji bakteriologi
adalah sputum, cairan tubuh dan jaringan) melalui pemeriksaan mikroskopis
langsung, TCM TB, atau biakan. Termasuk dalam kelompok pasien ini
adalah :1
26
Pasien TB terdiagnosis secara klinis adalah pasien yang tidak memenuhi
kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi didiagnosis sebagai pasien TB
aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan pengobatan TB.1
27
terdapat lesi di paru. Pasien yang mengalami TB paru dan ekstra paru
harus diklasifikasikan sebagai kasus TB paru.
b. TB ekstra paru adalah kasus TB yang melibatkan organ di luar
parenkim paru seperti pleura, kelenjar getah bening, abdomen, saluran
genitorurinaria, kulit, sendi dan tulang, selaput otak. Kasus TB ekstra
paru dapat ditegakkan secara klinis atau histologis setelah diupayakan
semaksimal mungkin dengan konfirmasi bakteriologis.
28
f. Kasus lain-lain adalah pasien sebelumnya pernah mendapatkan OAT
dan hasil akhir pengobatannya tidak diketahui atau tidak
didokumentasikan.
g. Kasus dengan riwayat pengobatan tidak diketahui adalah pasien yang
tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya sehingga tidak dapat
dimasukkan dalam salah satu kategori di atas.
a. Monoresisten (TB MR): resistensi terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama.
b. Poliresisten ( TB PR): resistensi terhadap lebih dari satu jenis OAT lini
pertama selain isoniazid (H) dan rifampisin (R) secara bersamaan.
c. Multidrug resistant (TB MDR) : minimal resistan terhadap isoniazid (H)
dan rifampisin (R) secara bersamaan.
d. Extensive drug resistant (TB XDR) : TB-MDR yang juga resistan terhadap
salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan salah satu dari OAT lini
kedua jenis suntikan (kanamisin, kapreomisin, dan amikasin).
e. Rifampicin resistant (TB RR) : terbukti resistan terhadap Rifampisin baik
menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip
(konvensional), dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang
29
terdeteksi. Termasuk dalam kelompok TB RR adalah semua bentuk TB
MR, TB PR, TB MDR dan TB XDR yang terbukti resistan terhadap
rifampisin.
1. Gejala Respiratorik
a. Batuk
Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling
sering dikeluhkan. Batuk terjadi karena iritasi bronkus yang pada awalnya
tidak berdahak, tetapi karena terjadi peradangan maka batuk akan menjadi
produktif. Biasanya batuk ringan sehingga dianggap batuk biasa. Apabila
batuk telah berlangsung lebih dari 2 minggu, maka harus dipikirkan adanya
TB. 10,11
b. Dahak
Dahak bersifat mukoid dan keluar dalam jumlah sedikit, kemudian berubah
menjadi mukopurulen/kuning atau kuning hijau sampai purulen. Dahak
berubah menjadi kental apabila sudah terjadi perlunakan. 10,11
c. Batuk darah (hemoptysis)
Darah yang dikeluarkan penderita mungkin berupa garis atau bercak-
bercak darah, gumpalan-gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah
sangat banyak. Keadaan ini terjadi akibat pecahnya aneurisma
(Rasmussen’s aneurysm) pada pembuluh darah yang berdilatasi di kavitas
atau dari formasi aspergiloma pada kavitas lama. Berat ringannya batuk
darah tergantung dari besar atau kecilnya pembuluh darah yang terkena. 10,11
d. Nyeri dada
Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang
sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan
kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya. 10,11
30
e. Sesak napas
Pada penyakit yang ringan belum dirasakan sesak napas. Sesak napas akan
ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah
meliputi setengah bagian paru-paru. 10,11
2. Gejala Sistemik
a. Demam
Faktor Risiko TB
Terdapat beberapa kelompok orang yang memiliki risiko lebih tinggi untuk
mengalami penyakit TB, kelompok tersebut adalah : 1
31
7. Berada di tempat dengan risiko tinggi terinfeksi tuberkulosis (contoh: lembaga
permasyarakatan, fasilitas perawatan jangka panjang)
8. Petugas kesehatan.
2.1.7 Diagnosis
Diagnosis Klinis
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan lain berupa dahak bercampur
darah, batuk darah, sesak napas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat
32
badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisis, demam
meriang lebih dari satu bulan. Riwayat dengan keluhan yang sama sebelumnya
perlu ditanyakan beserta dengan riwayat pengobatannya. Adanya keluarga atau
tetangga yang memiliki keluhan yang sama dapat lebih mengarahkan diagnosis
sebagai TB. Perlu juga ditanyakan mengenai pencahayaan dan sirkulasi udara
dirumah (ventilasi).
2. Pemeriksaan Fisik
Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks
(puncak) paru. Apabila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka
didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara napas bronkial. Akan
didapatkan juga suara napas tambahan seperti ronkhi basah, kasar dan nyaring.
Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara napas menjadi
vesikuler yang melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi
memberikan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan suara
amforik.
3. Pemeriksaan Laboratorium
33
diagnosis TB. Tetapi tidak semua pemeriksaan ini harus dilakukan, sesuaikan
dengan keperluan penunjang saja.
a. Darah
Pada saat TB paru mulai aktif akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit
meninggi, laju endap darah mulai meningkat. Hasil pemeriksaan darah lain juga
didapatkan :
1. Anemia ringan dengan gambaran normokrom normositer.
2. Gama globulin meningkat
3. Kadar natrium darah meningkat. Pemeriksaan tersebut tidak spesifik.
b. Dahak / Sputum
Hingga sekarang prinsip penemuan BTA tetap merupakan salah satu pilihan
utama, dengan beberapa alasan antara lain murah, objektif dan spesifik. Teknik
pewarnaan yang kini banyak digunakan adalah Ziehl Neelsen. Dibutuhkan tiga
spesimen dahak untuk menegakkan diagnosis TB. Untuk kenyamanan penderita,
pengumpulan dahak dilakukan dengan prinsip Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS).
Pemeriksaan bakteriologi dapat dilakukan dengan pemeriksaan sedian langsung
dengan mikroskop biasa, mikroskop fluorensens atau biakan kuman.
34
pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang, terduga pasien membawa sebuah
pot dahak untuk menampung dahak pagi pada hari kedua.
b. P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasyankes.
c. S(sewaktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan
dahak pagi.
Tes Bakteriologis
35
ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan BTA positif, minimal dari satu
spesimen. 1
2. Semua pasien dengan HIV yang didiagnosis TB aktif. Khususnya mereka yang
tinggal di daerah dengan prevalensi TB resistan obat yang tinggi.
4. Semua pasien baru di daerah dengan kasus TB resistan obat primer >3%.
5. Pasien baru atau riwayat OAT dengan sputum BTA tetap positif pada akhir
fase intensif. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan sputum BTA pada bulan
berikutnya.
36
(dua) jam. Konfirmasi hasil uji kepekaan OAT menggunakan metode
konvensional masih digunakan sebagai baku emas (gold standard). Penggunaan
TCM tidak dapat menyingkirkan metode biakan dan uji kepekaan konvensional
yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis definitif TB, terutama pada pasien
dengan pemeriksaan mikroskopis apusan BTA negatif, dan uji kepekaan OAT
untuk mengetahui resistensi OAT selain rifampisin.
Tes Tuberculin
37
sebelumnya. Hal ini yang dimediasi oleh sel-sel limfosit T (CMI) yang telah
tersensitisasi akibat terinfekasi oleh M.Tuberkulosis secara alamiah.
Tes ini dilakukan dengan menginjeksikan tuberculin tes (PPD RT-23 2TU atau
PPD S 5TU), dosis 0,1 ml, secara intrakutan di bagian volar lengan bawah. Reaksi
tuberculin mulai 5-6 jam setelah penyuntikan dan indurasi maksimal terjadi setelah
38
Tabel 1. Interpretasi uji Tuberkulin
39
Pemeriksaan Radiologi
tuberculoma.13
menyelubungi semua lapang paru. Gambaran lain yang dapat ditemukan pada kasus
TB adalah adanya penebalan pleura (pleuritis), massa cairan dibagian bawah paru
(pneumotoraks).13
40
Diagnosis TB pada anak
Tanda dan gejala klinis berupa gejala sistemik/umum atau sesuai organ
terkait. Gejala klinis TB pada anak tidak khas, karena gejala serupa juga dapat
disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB. Gejala khas TB sebagai berikut: 1
1. Batuk ≥ 2 minggu
2. Demam ≥ 2 minggu
3. BB turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya
4. Lesu atau malaise ≥ 2 minggu
5. Gejala-gejala tersebut menetap walau sudah diberikan terapi yang adekuat.
Diagnosis TB Ekstrapulmonal
Gejala dan keluhan tergantung pada organ yang terkena, misalnya kaku kuduk
pada meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe
superfisialis pada limfadenitis TB serta deformitas tulang belakang (gibbus) pada
spondilitis TB. Diagnosis pasti pada pasien TB ekstra paru ditegakkan dengan
pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau histopatologis dari contoh uji yang diambil
kecurigaan TB kelenjar.1
41
Penegakan diagnosis TB resistan obat
a. Metode Fenotipik
1. INH
2. Ofloksasin atau Levofloksasin
3. Kapreomisin
4. Moksiflokasin
b. Tes Genotipik
1. Menggunakan Xpert MTB/RIF atau lebih dikenal dengan tes cepat molekuler
(TCM). Merupakan tes amplifikasi asam nukleat secara otomatis sebagai sarana
deteksi TB dan uji kepekaan untuk rifampisin.
42
Sedangkan LPA lini kedua untuk mendeteksi resistansi pada obat golongan
flurokuinolon dan obat injeksi lini kedua.
2.1.8 Tatalaksana
1. Tujuan Pengobatan TB 1
43
2. Prinsip Pengobatan TB 1
a. Tahap Awal
44
Tabel 2. Rekomendasi OAT lini pertama untuk dewasa
b. Tahap Lanjutan
Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada
dalam tubuh, khususnya kuman persisten sehingga pasien dapat sembuh dan
mencegah terjadinya kekambuhan. Durasi tahap lanjutan selama 4 bulan. Pada fase
lanjutan seharusnya obat diberikan setiap hari.
45
WHO dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis and
Lung Disease) merekomendasikan paduan OAT standar, yaitu :
1. Kategori 1 :
46
2. Kategori 2 :
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
a. Pasien kambuh
b. Pasien gagal
c. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
47
3. OAT Sisipan (HRZE)
Paduan OAT ini diberikan kepada pasien BTA positif yang pada akhir
pengobatan intensif masih tetap BTA positif. Paket sisipan KDT adalah sama
seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama
sebulan (28 hari).
48
c. Pirazinamid fase intensif 25 mg/kg BB atau 35 mg/kgBB 3 x seminggu
atau 50 mg/kgBB 2 x seminggu, bersifat bakterisid, dapat membunuh
kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. 10,14
d. Streptomisin 15mg/kgBB atau BB > 60 kg: 1000 mg, BB 40-60 kg: 750
mg, BB < 40 kg sesuai dosis, bersifat bakterisid. 10,14
e. Ethambutol fase intesif 15 mg /kg BB dan fase lanjutan 15 mg/kgBB
atau 30mg/kgBB 3 x seminggu, bersifat bakteriostatik. 10,14
49
Efek Samping Kemungkina obat penyebab Pengobatan
Berat
Ruam kulit dengan atau tanpa streptomisin isoniazid Hentikan OAT
gatal rifampisin pirazinamid
Ringan
Anoreksia, mual, neri perut Pirazinamid, rifampisin, Berikan obat dengan bantuan
isoniazid sedikit makanan atau menelan
OAT sebelum tidur, dan sarankan
untuk menelan pil secara lambat
dengan sedikit air. Bila gejala
menetap atau memburuk, atau
muntah berkepanjangan atau
terdapat tanda tanda perdarahan,
pertimbangkan kemungkinan
ETD mayor dan rujuk ke dokter
ahli segera .
Nyeri sendi Aspirin atau obat anti inflamasi
50
non-steroid, atau parasetamol
2.1.9 Pencegahan
1.Vaksinasi
51
2.1.9 Komplikasi
Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan
menimbulkan komplikasi, yang dibagi atas:19
2.1.10 Prognosis
52
2.2 Efusi Pleura
2.2.1 Definisi
Efusi pleura merupakan manifestasi penyakit pada pleura yang paling sering
dengan etiologi yang bermacam-macam mulai dari kardiopulmoner, inflamasi,
hingga keganasan yang harus segera dievaluasi dan diterapi.
2.2.2 Epidemiologi
Penelitian di Aceh tahun 2019, pasien efusi pleura terbanyak dominan laki-
laki (66,9%) dengan proporsi usia tertinggi yaitu 46-55 dan >65 tahun pada laki-laki
sedangkan pada perempuan yaitu 56-65 tahun. Pneumonia menjadi etiologi efusi
pleura non-maligna terbanyak. Eksudat merupakan jenis cairan pleura yang paling
banyak ditemukan (72,9%) dan lokasi efusi yang paling sering adalah hemithorax
dekstra (53,4%). Penyakit penyerta dengan penyakit terbanyak yaitu tuberkulosis
(11,3%). Hasil pemeriksaan kultur cairan pleura menunjukkan adanya pertumbuhan
bakteri dengan jenis bakteri terbanyak adalah Staphylococcus hominis (22,9%).
2.2.3 Anatomi
53
Pleura adalah membran tipis terdiri dari 2 lapisan yaitu pleura visceralis dan
parietalis. Secara histologis kedua lapisan ini terdiri dari sel mesothelial, jaringaan
ikat, dan dalam keadaan normal, berisikan lapisan cairan yang sangat tipis. Membran
serosa yang membungkus parekim paru disebut pleura viseralis, sedangkan membran
serosa yang melapisi dinding thorak, diafragma, dan mediastinum disebut pleura
parietalis. Rongga pleura terletak antara paru dan dinding thoraks. Rongga pleura
dengan lapisan cairan yang tipis ini berfungsi sebagai pelumas antara kedua pleura.
Pleura terbentuk dari dua membran serosa, yakni pleura visceral yang
melapisi paru serta pleura parietal yang melapisi dinding toraks bagian dalam. Pada
hakikatnya kedua lapis membran ini saling bersambungan di dekat hilus, yang secara
anatomis disebut sebagai refleksi pleura. Pleura visceral dan parietal saling
bersinggungan setiap kali manuver pernapasan dilakukan, sehingga dibutuhkan suatu
kemampuan yang dinamis dari rongga pleura untuk saling bergeser secara halus dan
lancar. Ditinjau dari permukaan yang bersinggungan dengannya, pleura visceral
terbagi menjadi empat bagian, yakni bagian kostal, diafragama, mediastinal, dan
servikal.
54
Terdapat faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya kontak antarmembran
maupun yang mendukung pemisahan antarmembran. Faktor yang mendukung kontak
antarmembran adalah: (1) tekanan atmosfer di luar dinding dada dan (2) tekanan
atmosfer di dalam alveolus (yang terhubung dengan dunia luar melalui saluran
napas). Sementara itu faktor yang mendukung terjadi pemisahan antarmembran
adalah: (1) elastisitas dinding toraks serta (2) elastisitas paru. Pleura parietal memiliki
persarafan, sehingga iritasi terhadap membran ini dapat mengakibatkan rasa alih yang
timbul di regio dinding torako-abdominal (melalui n. interkostalis) serta nyeri alih
daerah bahu (melalui n. frenikus).
55
jenis
leukosit
Keganasan Turbid 1- <100.00 Normal Normal Pemeriksaan
hingga 10.000 0 hingga hingga ↓ sitologi
berdarah limfosit ↓
Tuberkulosis Serosang 5- <10.000 Normal Normal Pemeriksaan
(campuran 10.000 sampai sampai marker TB
darah dan limfosit ↓ ↓ ADA: >70
cairan IU/L TB,
serosa) jika<40
IU/L bukan
TB.
Pewarnaan
BTA: 0-
10% dengan
pewarnaan
TB
kultur dan
resistensi
Efusi pleura transudatif merupakan efusi pleura yang berjenis efusi transudate. Efusi
pleura transudatif dapat dibebakan berbagai faktor antara lain disebabkan oleh gagal
jantung kongestif, emboli pada paru, sirosis hati atau yang merupakan penyakit pada
intraabdominal, dialisis peritoneal, hipoalbuminemia, sindrom nefrotik,
glomerulonefritis akut, retensi garam maupun setelah pembedahan jantung.
56
2. Efusi Pleura Eksudatif
Efusi pleura eksudatif merupakan jenis cairan eksudat yang terjadi akibat adanya
peradangan atau proses infiltrasi pada pleura maupun jaringan yang berdekatan
dengan pleura. Selain itu adanya kerusakan pada dinding kapiler juga dapat
mengakibatkan terbentuknya cairan yang mengandung banyak protein keluar dari
pembuluh darah dan berkumpul pada rongga pleura. Penyebab efusi pleura eksudatif
juga bisa di sebabkan oleh adanya bendungan pada pembuluh limfe.
Penyebab lainnya dari efusi pleura eksudatif yaitu adanya neoplasma, infeksi,
penyakit jaringan ikat, penyakit intraabdominal dan imunologik.
a. Neoplasma
>2.500/mL. yang terdiri dari limfosit, sel maligna, dan sering terjadi reakumulasi
setelah terasentesis, selain itu tumor metatastik yang berasal dari karsinoma mammae
lebih sering bilateral dibandingkan dengan karsinoma bronkogenik yang diakibatkan
adanya penyumbatan pembuluh limfe atau adanya penyebaran ke daerah pleura.
Penyebab lainnya adalah limfoma, mesotelimoa dan tumor jinak ovarium atau
sindrom meig.
b. Infeksi
Penyebab dari efusi pleura eksudatif adalah infeksi, mikroorganismenya adalah virus,
bekteri, mikoplasma maupun mikobakterium. Bakteri dari pneumonia akut jarang
sekali dapat menyebabkan efusi pleura eksudatif, efusi pleura yang mengandung
nanah disertai mikroorganisme di sebut dengan empyema. Selain empyema
57
pneumonia yang disebabkan oleh virus dan mikoplasma juga dapat menyababkan
efusi pleura.
Penyakit jaringan ikat yang dapat menyababkan efusi pleura adalah seperti lupus
eritematosus sistemik dan artritis rheumatoid.
d. Penyakit intraabdominal
Efusi pleura yang disebabkan oleh penyakit intra abdominalis tidak hanya dapat
menyebabkan efusi pleura eksudatif saja tetapi dapat juga menyebabkan efusi pleura
transudatif tergantung pada jenis penyababnya. Penyakit intraabdominal yang dapat
menyebabkan efusi pleura eksudatif adalah kasus pasca bedah abdomen, perforasi
usus, dan hepatobiliar yang dapat menyababkan abses subdiafragmatika. Hal yang
sering ditemukan sebagai penyabab efusi pleura dari penyakit intra abdominalis
adalah abses hepar karena amoba.
e. Imunologik
Imunologik yang dapat menyababkan efusi pleura adalah seperti efusi rheumatoid,
efusi lupus, efusi sarkoidosis, granulomatosis wagener, sindrom sjogren, paska cedera
jantung, emboli paru, paru uremik dan sindrom meig.
Efusi pleura rheumatoid banyak di jumpai pada pasien laki-laki dibandingkan pada
pasien perempuan. Biasanya pasien rheumatoid tingkat sedang sampai berat yang
mempunyai nodul subkutan dapat menyabkan efusi pleura rheumatoid. Pada pasien
efusi pleura rheumatoid pasien mengaluhkan nyeri pleuritik dan sesak napas.
58
Efusi pleura hemoragis merupakan efusi pleura yang di sebakan oleh trauma, tumor,
infark paru maupun tuberkolosis.
Penyebab efusi pleura dari lokasi terbentuknya dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu
unilateral dan bilateral. Jenis efusi pleura unilateral tidak ada kaitannya dengan
penyebab penyakit tetapi efusi pleura bilateral dapat ditemukan pada penyakit-
penyakit berikut seperti gagal jantung kongestif, sindroma nefrotik, asites, infark
paru, tumer dan tuberkolosis.
Cairan pleura secara maksroskopik diperiksa warna, turbiditas, dan bau dari
cairannya. Efusi pleura transudate cairannya biasanya jernih, transparan, berawarna
kuning jerami dan tidak memiliki bau. Sedangakan cairan dari pleura yang
menyerupai susu bisanya mengandung kilus (kilotoraks). Cairan pleura yang berbau
busuk dan mengandung nanah biasanya disebabkan oleh bakteri anaerob. Cairan yang
berwarna kemerahan biasanya mengandung darah, sedangkan jika berwarna coklat
biasanya di sebabkan oleh amebiasis. Sel darah putih dalam jumlah banyak dan
adanya peningkatan dari kolesterol atau trigliserida akan menyebabkan cairan pleura
berubah menjadi keruh (turbid). Setelah dilakukan proses sentrifugasi, supernatant
empiema menjadi jernih dan berubah menjadi warna kuning, sedangkan jika efusi
disebabkan oleh kilotoraks warnanya tidak akan berubah tetap seperti berawan.
Sedangkan jika dilakukan sentripugasi. Penambahan 1 mL darah pada sejumlah
volume cairan pleura sudah cukup untuk menyababkan perubahan pada warna cairan
menjadi kemerahan yang di sebabkan darah tersebut mengandung 5000-10.000 sel
eritrosit.
59
Efusi pleura yang banyak mengandung darah (100.000 eritrosit/mL) Memicu dugaan
adanya trauma, keganasan atau emboli dari paru. Sedangkan cairan pleura yang
kental dan terdapat darah biasanya disebabakn adanya keganasan. Jika hematocrit
cairan pleura melebihi 50% dari hematocrit dari darah perifer, termasuk dalam
hemotoraks.
Faktor Resiko
Faktor resiko efusi pleura adalah faktor resiko dari penyakit yang mendasari atau
penyebab efusi pleura itu sendiri. Beberapa faktor risiko yang meningkatkan
seseorang mengidap efusi pleura, antara lain:
2.2.5 Patofisiologi
60
Patofisiologi efusi pleura didasari ketidakseimbangan antara produksi dan absorpsi
cairan di cavum pleura, sehingga menyebabkan akumulasi cairan pleura, baik berupa
transudat maupun eksudat. Keduanya terbentuk melalui mekanisme yang berbeda,
meskipun tidak jarang cairan pleura
Cairan yang terakumulasi didalam kavum pleura umumnya timbul apabila cairan
yang diproduksi lebih banyak dibandingkan yang diresorbsi. Hal ini bisa disebabkan
61
karena adanya peningkatan tekanan mikrovaskuler paru (contohnya pada kasus gagal
jantung), berkurangnya tekanan onkotik (pada kasus hipoproteinemia), peningkatan
permeabilitas mikrovaskuler, berkurangnya drainage limfatik (pada kasus
limfangitis), atau adanya defek pada diafragma sehingga cairan peritoneal dapat
masuk kedalam kavum pleura. Cairan yang terakumulasi didalam kavum pleura bisa
berupa transudat, eksudat, pus, darah ataupun chyle. Secara radiologi efusi pleura
umumnya akan memberikan gambaran radiologi yang hampir sama sehingga sulit
untuk dibedakan.3 Cairan pleura sebenarnya adalah cairan interseluler pleura parietal.
Oleh karena pleura parietal disuplai oleh sirkulasi sistemik sedangkan tekanan
didalam rongga pleura lebihrendah dibanding atmosfir, gradien tekanan bergerak dari
interselular pleura ke arah rongga pleura.
Ada 6 mekanisme yang bertanggung jawab atas terjadinya penumpukan cairan dalam
rongga pleura, yaitu:
62
Tanda dan gejala yang ditimbulkan dari efusi pleura yang berdasarkan penyakit yang
mendasarinya.
Sesak nafas
Rasa berat pada daerah dada
Bising jantung yang disebabkan payah jantung
Lemas yang progresif
Penurunan berat badan yang disebabkan neoplasma
Batuk disertai darah pada perokok yang disebabkan Ca bronkus
Demam subfebril yang disebabkan oleh TB Paru
Demam mengigil yang disebabkan empyema
Asites pada penderita serosis hati
Asites disertai tumor di daerah pelvis yang disebabkan oleh penderita sindrom
meig.
2.2.7 Diagnosis
Tes darah, untuk melihat tanda-tanda infeksi serta memeriksa fungsi ginjal
dan fungsi hati
Biopsi paru, untuk mendeteksi sel atau jaringan yang tidak normal di paru-
paru
63
Ekokardiografi, untuk memeriksa kondisi jantung dan mendeteksi gangguan
pada jantung
Evaluasi efusi pleura dimulai dari pemeriksaan imejing untuk menilai jumlah
cairan, distribusi dan aksesibilitasnya serta kemungkinan adanya abnormalitas
intratorakal yang berkaitan dengan efusi pleura tersebut.7 Pemeriksaan foto toraks
posteroanterior (PA) dan lateral sampai saat ini masih merupakan yang paling
diperlukan untuk mengetahui adanya efusi pleura pada awal diagnosa. Pada posisi
tegak, akan terlihat akumulasi cairan yang menyebabkan hemitoraks tampak lebih
tinggi, kubah diafragma tampak lebih ke lateral, serta sudut kostofrenikus yang
menjadi tumpul. Untuk foto toraks PA setidaknya butuh 175-250 mL cairan yang
terkumpul sebelumnya agar dapat terlihat di foto toraks PA. Sementara foto toraks
lateral dekubitus dapat mendeteksi efusi pleura dalam jumlah yang lebih kecil yakni 5
mL. jika pada foto lateral dekubitus ditemukan ketebalan efusi 1 cm maka jumlah
cairan telah melebihi 200 cc, ini merupakan kondisi yang memungkinkan untuk
dilakukan Universitas Sumatera Utara torakosentesis. Namun pada efusi loculated
temuan diatas mungkin tidak dijumpai. Pada posisi supine, efusi pleura yang sedang
hingga masif dapat memperlihatkan suatu peningkatan densitas yang homogen yang
menyebar pada bagian bawah paru, selain itu dapat pula terlihat elevasi
hemidiafragma, disposisi kubah diafragma pada daerah lateral. Tomografi komputer
(CT-scan) dengan kontras harus dilakukan pada efusi pleura yang tidak terdiagnosa
jika memang sebelumnya belum pernah dilakukan.
64
ultrasound dan CT. Efusi yang sangat besar dapat membuat hemitoraks menjadi opak
dan menggeser mediastiunum ke sisi kontralateral. Efusi yang sedemikian masif
umumnya disebabkan oleh keganasan, parapneumonik, empiema, dan tuberkulosis.
Namun apabila mediastinum bergeser ke sisi di mana efusi pleura masif berada, perlu
dipikirkan kejadian obstruksi endobronkial ataupun penekanan akibat tumor.
2.2.8 Tatalaksana
Penatalaksanaan yang utama pada kasus effusi pleura adalah dengan mengurangi
gejala yang ditimbulkan dengan jalan mengeluarkan cairan dari dalam rongga pleura
kemudian mengatasi penyakit yang mendasarinya. Pilihan terapinya bergantung pada
jenis effusi pleura, stadium, dan penyakit yang mendasarinya. Pertama kita harus
menentukan apakah cairan pleura eksudat atau transudat. Penatalaksanaan effusi
pleura dapat berupa aspirasi cairan pleura ataupun pemasangan selang dada. Aspirasi
cairan pleura dilakukan untuk tujuan diagnostic misalnya pada effusi pleura yang
tidak diketahui penyebabnya dan terapeutik yaitu untuk mengevakuasi cairan maupun
65
udara dari rongga pleura ketika pasien tidak sanggup lagi untuk menunggu dilakukan
pemasangan selang dada misalnya pada pasien tension pneumotoraks. Selain aspirasi
cairan pleura dapat juga dilakukan pemasangan selang dada untuk tujuan terapeutik.
Pemasangan selang dada diperlukan jika terjadi gangguan fungsi fisiologis sistem
pernapasan dan kardiovaskular. Selain torakosentesis, prinsip penanganan efusi
pleura adalah dengan mengobati penyakit yang mendasarinya. Tindakan emergensi
diperlukan ketika jumlah cairan effusi tergolong besar, adanya gangguan pernapasan,
ketika fungsi jantung terganggu atau ketika terjadi perdarahan pleura akibat trauma
tidak dapat terkontrol. Drainase rongga pleura juga harus segera dilakukan pada kasus
empiema toraks
b. Thoracosintesis
66
menganalisis etiologi penyakit, sedangkan thoracocentesis terapeutik dilakukan
untuk mengeluarkan volume cairan yang berlebih.
Selang dada atau gembok salir air yang dikenal dalam dunia medis sebagai water
sealed drainage (WSD) yaitu tindakan medis bertujuan mengeluarkan cairan atau
udara dari rongga dada melalui selang. Selang dengan air sebagai “katup” ini
memungkinkan pergerakan cairan atau udara keluar dari rongga dada secara satu
arah. Pemasangan selang dada dilakukan pada kondisi seperti akumulasi udara
(pneumotoraks), cairan (efusi pleura), darah (hematotoraks), dan nanah di rongga
pleura (empiema toraks). Kondisi tersebut dapat diketahui berdasarkan keluhan
yang dialami oleh pasien seperti sesak napas, pemeriksaan fisis paru dan
pemeriksaan penunjang seperti foto toraks, ultrasonografi, dan CT-scan dada.
67
cairan atau udara di rongga dada minimal. Pasien dapat bernapas lebih nyaman
setelah dilakukan pemasangan WSD.
Pasien rawat yang telah dipasang WSD dievaluasi berkala selama beberapa hari,
seperti perkembangan keluhan pasien, jumlah cairan atau udara, kemungkinan
kebocoran atau sumbatan di selang dada, serta kemungkinan terjadi komplikasi
pemasangan WSD. Jumlah produksi cairan atau udara terdeteksi berkurang di
dalam penampung menandakan sudah terjadi perbaikan klinis. Apabila sudah
mengalami perbaikan, maka WSD akan dilepas seluruhnya kemudian pasien
dipulangkan untuk rawat jalan.
Komplikasi yang sering terjadi akibat pemasangan WSD adalah nyeri pada lokasi
insersi. Sedangkan komplikasi yang jarang terjadi (<5% kasus) yaitu perdarahan,
infeksi di lokasi insersi, terdapat udara bebas di bawah kulit (emfisema subkutis),
malposisi selang dada, cedera organ atau saraf, dan edema paru terjadi akibat
pengembangan paru kolaps secara cepat. Risiko infeksi dapat dikurangi dengan
cara melakukan perawatan luka secara rutin dan menjaga kebersihan sekitar
lokasi insersi.
d. Pleurodosis
68
kemungkinan tingkat keberhasilan prosedur serta risikonya agar pasien mendapat
manfaat optimal dari tindakan ini. Pemilihan teknik yang tepat, agen sklerosis,
kriteria pemilihan pasien merupakan hal yang sering diperdebatkan serta
menentukan keberhasilan tindakan. Telah dikenal banyak macam agen sklerosis
seperti tetrasiklin, doksisiklin, minosiklin, bleomisin, kuinakrin, dan darah pasien
sendiri namun yang sering digunakan adalah talk karena murah, cukup efektif,
serta komplikasi yang minimal. Pleurodesis menggunakan talk tidak
membutuhkan anestesia umum maupun intubasi trakea. Sebelum prosedur, perlu
dilakukan evaluasi pasien meliputifoto toraks, bronkoskopi bila memungkinkan,
anamnesis dan pemeriksaan fisik ulang, menilai kembali hasillaboratorium, serta
insersi chest tube bila belum terpasang. Talk dimasukkan ke rongga pleura
melalui chest tube dan pasien diminta bernapas beberapa kali agar larutan talk
tertarik ke rongga pleura. Setelah prosedur, perlu dilakukan foto toraks dan
pemantauan tanda vital, drainase chest tube harian, kebocoran udara, serta
kontrol nyeri. Komplikasi yang mungkin timbul meliputi nyeri, takikardia,
takipnea, pneumonitis, demam, ekspansi paru inkomplit, serta reaksi alergi.
Operasi dapat dilakukan bila metode pengeluaran cairan dari rongga pleura
tersebut tidak efektif. Operasi dilakukan dengan mengangkat jaringan pada
rongga dada yang diduga menyebabkan efusi pleura. Ada dua metode operasi
yang bisa dilakukan, yaitu torakoskopi atau torakotomi. CTT adalah prosedur
yang dilakukan untuk mengalirkan cairan, darah, atau udara dari ruang di sekitar
paru-paru. Prosedur ini dapat dilakukan ketika pasien memiliki penyakit, seperti
pneumonia atau kanker, yang menyebabkan cairan ekstra menumpuk di ruang di
sekitar paru-paru (disebut efusi pleura). ctt mungkin juga diperlukan bila pasien
mengalami cedera parah pada dinding dada atau pembedahan yang menyebabkan
69
perdarahan di sekitar paru-paru (disebut hemotoraks). Kadang-kadang, paru-paru
pasien dapat tertusuk secara tidak sengaja, memungkinkan udara berkumpul di
luar paru-paru, menyebabkan keruntuhannya (disebut pneumotoraks).
Ctt melibatkan menempatkan tabung plastik berongga antara tulang rusuk dan ke
dalam dada untuk mengalirkan cairan atau udara dari sekitar paru-paru. Tabung
sering dihubungkan ke mesin pengisap untuk membantu drainase.
Selang tetap berada di dada sampai semua atau sebagian besar udara atau cairan
terkuras, biasanya dalam beberapa hari. Kadang-kadang obat khusus diberikan
melalui selang dada ketika cairan atau udara tidak hilang dalam beberapa hari
2.2.9 Komplikasi
Efusi pleura yang dibiarkan tanpa penanganan dapat menyebabkan kondisi berikut
ini:
Atelektasis, yang terjadi ketika alveolus tidak terisi udara dan menyebabkan
kerusakan paru.
Komplikasi Thoracocentesis
Komplikasi yang paling umum terjadi pada thoracocentesis atau pleural tap adalah
pneumothorax. Selain itu, dapat terjadi reakumulasi cairan, nyeri, perdarahan,
infeksi, dan edema paru. Edema paru biasanya terjadi akibat aspirasi cairan yang
70
terlalu banyak atau terlalu cepat. Oleh karena itu, aspirasi biasanya disarankan tidak
melebihi 1.5 liter per kali.
2.2.10 Prognosis
71
respon terhadap kemoterapi seperti limfoma dan kanker payudara memiliki harapan
hidup yang lebih baik dibandingkan kanker paru dan mesotelioma. Analisa sel dan
analisa biokimia cairan pleura juga dapat menentukan prognosa. Misalnya cairan
pleura dengan pH yang lebih rendah biasanya berkaitan dengan massa keadaan
tumor yang lebih berat dan prognosa yang lebih buruk
72
DAFTAR PUSTAKA
7. Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Loscalzo J. Harrisons Manual
73
10. Amiruddin L. Pemeriksaan Tes Tuberkulin. Makassar: Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin; 2017.
11. Amin Z, Bahar A. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Tuberkulosis. Jakarta:
InternaPublishing; 2016.
74
75