Anda di halaman 1dari 75

LAPORAN KASUS

EFUSI PLEURA DEXTRA DENGAN TB PARU

Disusun Oleh :
Alya Shofiyah (1102018060)

Dibimbing Oleh :
dr. Fikri Faisal , Sp.P

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI RSU dr.
SLAMET KABUPATEN GARUT PERIODE 2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-
Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan kasus ini. Tidak
lupa shalawat serta salam penulis haturkan kepada junjungan nabi Muhammad
SAW beserta keluarga dan sahabatnya hingga akhir zaman.

Laporan Kasus berjudul Efusi Pleura Dextra dengan TB Paru ini disusun
dalam rangka memenuhi tugas menjalani Kepaniteraan di Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas YARSI RSU dr. Slamet
Kabupaten Garut. Pada kesempatan ini pula perkenankan penulis untuk
menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada dr. Fikri Faisal,
Sp. P, dokter konsulen penulis yang telah memberikan tugas ini, orangtua, saudara
dan teman semua yang telah memberikan do’a dan dukungannya.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
sehingga penyusunan laporan kasus ini dapat lebih baik dan bermanfaat di masa yang
akan datang.
Garut, 25 September 2022

Alya Shofiyah

2
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. Ayi
Jenis Kelamin : Laki-laki
Nomor CM : 01326217
Umur : 42 Tahun
Alamat : Pasir Kawao Sukaresmi
Agama : Islam
Pekerjaan : Karyawan (buruh)
Suku Bangsa : Sunda
Status Pernikahan : Menikah
Tanggal Masuk RS : 1 September 2022
Tanggal Pemeriksaan : 6 September 2022
Tanggal Keluar RS : 8 September 2022
Ruangan : Zamrud

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien dan
alloanamnesis dengan keluarga pasien diruang Zamrud, pada tanggal 6
september 2022 pukul 11.00.

Keluhan Utama : Sesak

III. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Pasien Tn. Ayi, 42 tahun datang ke RSUD dr. Slamet Garut dengan
keluhan sesak nafas yang memberat sejak 1 hari SMRS. Pasien mengaku
sering sesak nafas sebelumnya dan membaik setelah beristirahat. Keluhan
disertai batuk dan demam naik turun sejak 2 bulan yang lalu. Pasien juga
mengaku mengalami penurunan berat badan. Pasien juga merasakan tidurnya
3
lebih nyaman bila menyamping, menghadap ke kiri. Terkadang pasien
berkeringan dingin pada malam hari. Keluhan yang dirasakan sangat
mengganggu aktivitas. Keluhan mual muntah disangkal pasien dan BAK
tidak ada keluhan.
Riwayat pengobatan TB Paru disangkal. Riwayat TB Paru pada
keluarga disangkal. Pasien beberapa bulan yang lalu merupakan perokok aktif.
Riwayat penyakit jantung, ginjal, diabetes mellitus, hipertensi, dan asma
disangakal. Pasien menyakal alkohol.

IV. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


- Riwayat Keluhan Serupa (-)
- Riwayat Hipertensi (-)
- Riwayat Diabetes Mellitus (-)
- Riwayat Asma (-)
- Riwayat Penyakit jantung (-)
- Riwayat Penyakit Paru (-)
-
V. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
- Riwayat Keluhan Serupa (-)
- Riwayat Hipertensi (-)
- Riwayat Diabetes Mellitus (-)
- Riwayat Asma (-)
- Riwayat Penyakit jantung (-)
- Riwayat Penyakit Paru (-)
VI. RIWAYAT ALERGI
Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat-obatan, makanan, dan minuman.

VII.RIWAYAT SOSIAL DAN EKONOMI


Pasien merupakan seorang buruh, karyawan. Riwayat perokok aktif.
Pasien tinggal di pemukiman yang padat penduduk dengan ventilasi dan

4
sinar matahari yang cukup.
VIII. ANAMNESIS SISTEM ORGAN
1. Kulit : Tidak ada keluhan
2. Kepala : Tidak ada keluhan
3. Mata : Tidak ada keluhan
4. Telinga : Tidak ada keluhan
5. Hidung : Tidak ada keluhan
6. Mulut : Tidak ada keluhan
7. Leher : Tidak ada keluhan
8. Thoraks : Sesak Napas
9. Abdomen : Tidak ada keluhan
10. Saluran Kemih dan Kelamin : Tidak ada keluhan
11. Ekstremitas : Tidak ada keluhan
IX. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
2. GCS : E4M6V5
3. Kesadaran : Compos Mentis
4. Tekanan Darah : 133/100 mmHg
5. Nadi
a. Frekuensi : 122x/menit
b. Irama denyut nadi : Takikardi
c. Kualitas nadi : Baik
6. Suhu : 36.6ºC
7. Pernafasan : 24x/menit, regular
8. SpO2 : 93% free air
9. Gizi
a. BB : 52 kg
b. TB : 170 cm

5
c. IMT : 18 (Underweight)
X. STATUS GENERALIS

- KULIT Warna : Sawo matang


Pucat : Tidak tampak pucat
Jaringan parut :Tidak ada
Turgor : Turgor kembali cepat
Pembuluh darah : Tidak tampak pelebara
Lapisan lemak : Merata
Efloresensi : Tidak ada
Pigemenntasi : tidak tampak hiperpigmentasi
Suhu Raba : normal
Kelembapan : normal
Keringat : normal

- KEPALA Bentuk : Normocephal


Rambut : Hitam, distribusi merata, tidak
mudah dicabut
Ekspresi wajah : Tenang
Simetris muka : Simetris
- MATA Exoptahlmus : Tidak ada
Endopthalmus : Tidak ada
Kelopak mata : Tidak edema
Konjuntiva anemis : -/-
Sklera ikterik : -/-
Pupil : Bulat, isokor
Lapang penglihatan : Normal
Lensa : Jernih
RCL : +/+
RCTL : +/+

6
- TELINGA Bentuk : Normal
Lubang : Lapang
Sekret : Tidak ada
Selaput pendengaran : Utuh, intak
Penyumbatan : Tidak ada
Perdarahan : Tidak ada

- HIDUNG Bentuk : Normal


Deviasi septum : Tidak ada
Napas cuping hidung : Tidak ada
Secret : Tidak ada
Epitaksis : Tidak ada
Sinus : Tidak ada

- MULUT Bibir : Kering


Faring : Tidak hiperemis
Tonsil : T1/T1, tidak hiperemis
Lidah : normal
Uvula : Tidak deviasi
Langit-langit : normal

- LEHER JVP : 5+2 cm H20


Trakea : Ditengah, tidak deviasi
Kelenjar tiroid : Tidak teraba pembesaran
KGB : Tidak teraba pembesaran

- AXILLA KGB : Tidak teraba pembesaran

7
- JANTUNG
a. Inspeksi
- Iktus cordis tidak terlihat
b. Palpasi
- Iktus kordis teraba pada ICS V linea midklavikularis sinistra
c. Perkusi
- Batas jantung kanan : ICS V linea parasternalis dextra
- Batas jantung kiri : ICS V linea midklavikularis sinistra
- Pinggang Jantung : ICS II linea parasternalis sinistra
d. Auskultasi
- Bunyi jantung I dan II regular
- Tidak terdengar suara tambahan, gallop (-), murmur (-)

- PULMO DEPAN
a. Inspeksi
- Bentuk normal, pergerakan dinding dada simetris
- Terpasang CTT pada ICS V linea midaxillaris dextra
- Tidak ada retraksi
b. Palpasi
- Fremitus taktil bagian dextra menurun dibandingkan dengan yang
kiri
- terdapat nyeri tekan di lapang paru ics IV-VI dextra
- pleural friction rub (+)
c. Perkusi
- Terdengar redup pada lapang paru dextra ICS IV-VI, sonor pada
lapang paru sinistra
d. Auskultasi
- Vesikular breathing sound bagian kanan menurun dibandingkan
dengan bagian kiri
- Tidak terdengar suara tambahan, ronkhi (-/-), wheezing(-/-)

8
PULMO BELAKANG

a. Inspeksi
- Bentuk normal, pergerakan dinding dada simetris
- Tidak ada retraksi
b. Palpasi
- Fremitus taktil bagian dextra menurun dibandingkan dengan yang
kiri
- terdapat nyeri tekan di ics 4-6 dextra
c. Perkusi
- Terdengar redup pada lapang paru dextra ICS IV-VI, sonor pada
lapang paru sinistra
d. Auskultasi
- Vesikular breathing sound bagian kanan menurun dibandingkan
dengan bagian kiri
- Tidak terdengar suara tambahan, ronkhi (-/-), wheezing(-/-)

Pemantauan Cairan Pleura CTT


Tanggal Volume Jenis Undulasi Air Bubble Kekeruhan
06/09/2022 500cc Eksudat + - Serosa
07/09/2022 1000cc Eksudat + - Serosa
08/09/2022 250cc Eksudat - - Serosa

- ABDOMEN
a. Inspeksi
- Abdomen datar, tidak tampak membesar
- Terdapat hiperpigmentasi pada abdomen, tidak ada jaringan parut
- Sikatriks (-), massa (-)
b. Auskultasi
- Bising usus (+) pada seluruh lapang abdomen.
c. Perkusi

9
- Timpani seluruh regio abdomen
- Nyeri ketok ginjal (-)
- Shifting dullness (-)

d. Palpasi
- Tidak teraba pembesaran hepar maupun lien
- Nyeri tekan (-)
- Tes undulasi (-)

EKSTREMITAS
Superior Inferior
Akral dingin -/- -/-
Edema -/- +/-
Sianosis -/- -/-
CRT <2 detik +/+ +/+
Gerak Dalam batas normal Dalam batas normal

XI. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Hematologi pada tanggal 5/09/2022

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai


Rujukan
Darah Rutin
Hemoglobin 10.6 g/dL 13,0 – 18,0
Hematokrit 33 % 40 – 52
Leukosit 11.000 /mm3 3800 –
10600
Trombosit 689.000 /mm3 150000 –
440000
Eritrosit 3.92 juta/mm3 3,5 – 6,5
Laju endap darah 100/118 mm/jam 0-10

Pemeriksaan Analisa Cairan Pleura pada tanggal 06/09/2022

10
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan
Cairan Pleura
Albumin C Pleura 1900 mg/dL
Glukosa C Pleura 100 mg/dL
Protein C Pleura 4520 mg/dL
Jumlah Sel 27 /mm3
Hitung Jenis Sel
PMN 24 %
MN 76 %
Rivalta Positif
Preparat BTA Negatif

Hasil Rontgen Foto Thorax pada 31 Agustus 2022 (sebelum tindakan CTT)

11
Pemeriksaan Radiologi Foto Thorax AP pada tanggal 06/09/2022
- Efusi Pleura Kanan
- Suspek Ateletaksis Kanan
- Cor tidak melebar (CTR < 50%)
- Sinus dan diafragma normal
- Pulmo : Hilus normal, corakan bronkovaskular normal, tampak perselubungan
opak homogen berbentuk segitiga di lapang tengah kanan.
- Kesan : TB Paru aktif

XII. RESUME
Pasien Tn. Ayi, 42 tahun datang ke RSUD dr. Slamet Garut dengan keluhan
sesak nafas yang memberat sejak 1 hari SMRS. Pasien mengaku sering sesak nafas

12
sebelumnya dan membaik setelah beristirahat. Keluhan disertai batuk dan demam
naik turun sejak 2 bulan yang lalu. Pasien juga mengaku mengalami penurunan berat
badan. Pasien juga merasakan tidurnya lebih nyaman bila menyamping, menghadap
ke kiri. Terkadang pasien berkeringan dingin pada malam hari.
Riwayat pengobatan TB Paru disangkal. Riwayat TB Paru pada keluarga
disangkal. Pasien beberapa bulan yang lalu merupakan perokok aktif. Riwayat
penyakit hipertensi, DM, jantung, ginjal, diabetes disangkal.
Pada pemeriksaan fisik didaptakan, untuk status lokalis paru, tepasang CTT
pada ICS V linea midaxillaris dextra, Fremitus taktil bagian dextra menurun
dibandingkan dengan yang kiri, terdapat nyeri tekan di lapang paru ics IV-VI dextra,
pleural friction rub (+). Pada perkusi terdengar redup pada lapang paru dextra ICS
IV-VI, pada auskultasi Vesikular breathing sound lapang paru kanan menurun
dibandingkan dengan kiri. Jantung dan abdomen dalam batas normal.
Pada pemeriksaan penunjang menunjukan Anemia, Leukositosis dan
trombositosis. Pada analisis cairan pleura, menunjukkan cairan pleura jenis transudat.
serta pemeriksaan rontgen thorax menunjukan kesan TB paru aktif.

XIII. DAFTAR PERMASALAHAN


- TB Paru dengan Efusi Pleura dextra
- Anemia
- Leukositosis
- trombositosis

XIV. RENCANA PEMERIKSAAN

1. Rontgen Thorax

2. Hematologi

3. Cek SGOT, SGPT, Ureum, dan Kreatinin

13
XV. RENCANA TERAPI
a. IVFD Asering 20 TPM
b. Cefotaxime 2 x 1 gr IV
c. Metilprednisolon 2 x 62.5 mg IV
d. Omeprazole 2 x 20 mg po
e. Curcuma 2 x 1 tab PO
f. 4 FDC 1 x 3 tab PO

XVI. EDUKASI
1. Edukasi pasien dan keluarga tentang kondisi yang dialami pasien saat ini.
2. Edukasi pasien pengobatan TB dengan OAT sampai tuntas
3. Etika batuk dan penggunaan masker.
4. Istirahat cukup dan rutin olahraga.

XVII. Prognosis

Quo ad Vitam : Dubia ad bonam

Quo ad Sanactionam : Dubia ad bonam

Quo ad Functionam : Dubia ad bona

14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuberkulosis
2.1.1 Definisi

Tuberkulosis adalah suatu penyakit kronik menular yang disebabkan oleh


bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat
tahan asam sehingga sering dikenal dengan Basil Tahan Asam (BTA). Sebagian
besar kuman TB sering ditemukan menginfeksi parenkim paru dan
menyebabkan TB paru, namun bakteri ini juga memiliki kemampuan
menginfeksi organ tubuh lainnya (TB ekstra paru) seperti pleura, kelenjar limfe,
tulang, dan organ ekstra paru lainnya. 1

2.1.2 Epidemiologi

Menurut data Profil Kesehatan Indonesia, insidensi tuberkulosis di


Indonesia mencapai 316 per 100.000 penduduk di tahun 2018. Namun, ada
penurunan jumlah kasus TB dari 568.987 di tahun 2019 menjadi 351.936 di
tahun 2020. Pada tahun 2020, sekitar 10 juta orang diestimasikan terinfeksi TB
di seluruh dunia, dengan 5,6 juta kasus laki-laki dan 3,3 juta kasus perempuan.
Pada tahun yang sama, jumlah kasus baru TB paling banyak terjadi di Asia
Tenggara dengan 43% kasus baru, lalu Afrika sebanyak 25%, dan Pasifik Barat
sebanyak 18%.

Pada tahun 2020, sekitar 10 juta orang diestimasikan terinfeksi TB di


seluruh dunia, dengan 5,6 juta kasus laki-laki dan 3,3 juta kasus perempuan.
Pada tahun yang sama, jumlah kasus baru TB paling banyak terjadi di Asia

15
Tenggara dengan 43% kasus baru, lalu Afrika sebanyak 25%, dan  Pasifik Barat
sebanyak 18%. 4

Gambar 1. Persebaran TB di Indonesia 2021

2.1.3 Etiologi

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh


agen infeksi bakteri M. tuberculosis yang umumnya menyerang organ paru
pada manusia. penyakit ini ditularkan oleh penderita BTA positif yang
menyebar melalui droplet nuclei yang keluar saat penderita batuk atupun bersin.
Bakteri yang menyebar di udara dapat dihirup oleh orang sehat sehingga dapat
menyebabkan infeksi. 5

M. tuberculosis merupakan bakteri Gram positif yang bersifat aerob


obligat (bakteri yang mutlak memerlukan oksigem bebas dalam hidupnya),
tidak mempunyai endospora, tidak mempunyai kapsul, tidak motil, tahan
terhadap asam, bentuk sel batang dengan ukuran 0,2-0,4 x 2-10 μm, tumbuh

pada suhu 37oC dengan pertumbuhan yang lambat yaitu 2-60 hari. Genus
bakteri ini mempunyai karakteristik yang unik karena memiliki dinding sel
yang kaya akan lipid dan lapisan tebal peptidoglikan yang mengandung asam
mikolat, arabinogalaktan, dan lipoarabinomanan. Asam mikolat ini hanya
dijumpai pada dinding sel bakteri genus mycobacterium. 6

Dalam jaringan tubuh, bakteri ini dapat mengalami dorman selama


beberapa tahun sehingga bakteri ini dapat aktif kembali menyebabkan penyakit
bagi penderita. Mikroorganisme ini memiliki sifat aerobik yang membutuhkan

16
oksigen dalam melakukan metabolisme. Sifat ini menunjukkan bahwa bakteri
ini lebih menyukai jaringan kaya oksigen, tekanan bagian apikal paru paru lebih
tinggi daripada jaringan lainnya sehingga bagian tersebut menjadi tempat yang
baik untuk mendukung pertumbuhan bakteri M. tuberculosis.7

M. tuberculosis dapat menular ketika penderita tuberkolosis paru BTA


positif berbicara, bersin dan batuk yang secara tidak langsung mengeluarkan
doplet nuklei yang mengandung mikroorganisme M. tuberculosis dan terjatuh
ke lantai, tanah, atau tempat lainnya. Paparan sinar matahari atau suhu udara
yang panas mengenai doplet nuklei tersebut dapat menguap. Menguapnya
droplet bakteri ke udara dibantu dengan pergerakan aliran angin yang
menyebabkan bakteri M. tuberculosis yang terkandung di dalam doplet nuklei
terbang melayang mengikuti aliran udara. Apabila bakteri tersebut terhirup oleh
orang sehat maka orang itu berpotensi terinfeksi bakteri penyebab tuberkulosis.
Tuberkulosis paling banyak menyerang usia produktif usia antara 15 hingga 49
tahun dan penderita tuberkolosis BTA positif dapat menularkan penyakit
tersebut pada segala kelompok usia. 7

2.1.4 Patogenesis

M. tuberculosis paling sering ditularkan dari orang dengan TB paru


menular ke orang lain oleh droplet nuclei melalui batuk, bersin, atau berbicara.
M. tuberculosis dapat tetap tersuspensi di udara selama beberapa jam.
Kemungkinan seseorang tertular tuberkulosis tergantung pada kedekatan kontak
dan durasi. Pasien tuberkulosis dengan dahak yang mengandung BTA terlihat
dengan mikroskop adalah yang paling banyak kemungkinan besar menularkan
infeksi. Pasien dengan BTA sputum-negatif/kultur-positif negatif, dan

tuberkulosis ekstrapulmoner pada dasarnya tidak menular.1

17
Infeksi dan Invasi Makrofag

Interaksi M. tuberculosis dengan inang manusia dimulai ketika inti


tetesan yang mengandung mikroorganisme dari pasien infeksi yang terhirup.
Meskipun sebagian besar basil yang dihirup terperangkap di saluran udara
bagian atas dan dikeluarkan oleh sel mukosa bersilia, sebagian kecil (biasanya
<10%) mencapai alveoli. Di sana, makrofag alveolar yang belum diaktifkan
memfagositosis basil. Invasi makrofag oleh mikobakteri sebagian besar berasal
dari pengikatan dinding sel bakteri dengan berbagaimolekul permukaan sel
makrofag, termasuk reseptor pelengkap, reseptor mannose, immunoglobulin
reseptor GFcγ, dan reseptor Scavenger tipe A. Limifositosis fagosit
ditingkatkan dengan aktivasi komplemen, yang mengarah ke opsonisasi basil
dengan produk aktivasi C3 seperti: sebagai C3b. Setelah fagosom terbentuk,
kelangsungan hidup M. tuberculosis di dalamnya tampaknya bergantung pada
penurunan pengasaman karena kurangnya akumulasi vesikular proton adenosin
trifosfatase. Serangkaian peristiwa yang kompleks memungkinkan dihasilkan
oleh glikolipid dinding sel bakteri lipoarabinomannan (LAM). LAM
menghambat peningkatan Ca2+ intraseluler. Dengan demikian, jalur
Ca2+/calmodulin (mengarah ke fusi fagosom-lisosom) terganggu, dan basil
dapat bertahan hidup di dalam fagosom. Jika basil yang berhasil dalam
menangkap pematangan fagosom, kemudian replikasi dimulai, dan makrofag

akhirnya pecah dan melepaskan isi basilernya.8

Ketahanan Bawaan Terhadap Infeksi

Beberapa pengamatan menunjukkan bahwa faktor genetik memainkan


kunci peran dalam resistensi nonimun bawaan terhadap infeksi dengan M.
tuberculosis dan perkembangan penyakit. Homolog manusia NRAMP1, yang
memetakan ke kromosom 2q, mungkin berperan dalam menentukan kerentanan

18
terhadap tuberkulosis, seperti yang ditemukan oleh studi di antara orang Afrika
Barat. Polimorfisme dalam banyak gen, seperti yang mengkode
histokompatibilitas antigen leukosit (HLA), interferon (IFN-γ), sel T faktor
pertumbuhan (TGF-β), interleukin (IL) 10, protein pengikat mannose, reseptor
IFN-γ, Toll-like receptor (TLR) 2, reseptor vitamin D, dan IL-1, telah dikaitkan

dengan kerentanan terhadap tuberkulosis.8,9

Respon Tubuh

Pada tahap awal interaksi inang-bakteri, baik fusi antara fagosom dan
lisosom terjadi, mencegah kelangsungan hidup basil, atau basil mulai
berkembang biak, akhirnya membunuh makrofag. Berbagai traktan kemoat
yang dilepaskan setelah lisis sel (komponen komplemen, molekul bakteri, dan
sitokin) merekrut immature monocyte-derived macrophages,termasuk sel
dendritik, yang bermigrasi ke saluran drainase kelenjar getah bening dan

menyajikan antigen mikobakteri ke T limfosit.8,9

Pada titik ini, perkembangan CMI dan kekebalan humoral dimulai. Tahap
awal infeksi ini biasanya tanpa gejala sekitar 2-4 minggu setelah infeksi, dua
respon host berkembang menjadi M. tuberculosis: CMI yang mengaktifkan
makrofag respons dan respons yang merusak jaringan. Respon pengaktifan
makrofag adalah fenomena yang dimediasi sel T yang menghasilkan aktivasi
makrofag yang mampu membunuh dan mencerna basil tuberkel. Merusak
jaringan respons adalah hasil dari hipersensitivitas tipe lambat (delayed-type
hypersensitivity/DTH) reaksi terhadap berbagai antigen basiler; itu
menghancurkan Makrofag tidak aktif yang mengandung basil pengganda tetapi
juga menyebabkan nekrosis kaseosa pada jaringan yang terlibat. Meskipun
kedua respons ini dapat menghambat pertumbuhan mikobakteri, itu adalah

19
keseimbangan antara keduanya yang menentukan bentuk tuberkulosis yang

akan berkembang kemudian.8,9

Pembentukan Granuloma

Dengan perkembangan kekebalan spesifik dan akumulasi sejumlah besar


makrofag teraktivasi di lokasi lesi primer, lesi granulomatosa (tubercles)
terbentuk. Lesi ini terdiri dari akumulasi limfosit dan makrofag teraktivasi yang
berevolusi menuju morfologi epiteloid dan sel raksasa. Mulanya, respons yang
merusak jaringan dapat membatasi mikobakteri pertumbuhan dalam makrofag.
Seperti yang dinyatakan di atas, respons ini, dimediasi oleh berbagai produk
bakteri, tidak hanya menghancurkan makrofag tetapi juga menghasilkan
nekrosis padat awal di pusat tuberkel. Meskipun M. tuberculosis dapat bertahan
hidup, pertumbuhannya dihambat dalam lingkungan nekrotik ini oleh: tekanan
oksigen rendah dan pH rendah. Pada titik ini, beberapa lesi dapat sembuh
dengan fibrosis dengan kalsifikasi berikutnya,tetapi peradangan dan nekrosis

terjadi pada lesi lain.8,9

Respon Pengaktifan Makrofag

CMI (cell-mediated immunity) sangat penting pada tahap awal ini. Di


sebagian besar individu yang terinfeksi, makrofag lokal diaktifkan ketika
antigen basiler yang diproses oleh makrofag merangsang T limfosit untuk
melepaskan berbagai limfokin. Makrofag teraktivasi berkumpul di sekitar pusat
lesi dan secara efektif menetralkan basil tuberkel tanpa menyebabkan kerusakan
jaringan lebih lanjut. Di bagian tengah lesi, bahan nekrotik menyerupai keju
lunak (caseous nekrosis). Bahkan saat menyembuhkan terjadi, basil yang hidup
mungkin tetap tidak aktif di dalam makrofag atau dalam bahan nekrotik selama

20
bertahun-tahun. Lesi yang “sembuh” di parenkim paru dan hilar kelenjar getah

bening kemudian dapat mengalami kalsifikasi.8,9

Reaksi Delayed-Type Hypersensitivity

Dalam sebagian kecil kasus, respons pengaktifan makrofag lemah, dan


pertumbuhan mikobakteri hanya dapat dihambat oleh reaksi DTH yang intensif,
yang mengarah ke jaringan paru-paru penghancuran. Lesi cenderung membesar
lebih jauh, dan jaringan sekitarnya semakin rusak. Di tengah lesi, bahan kaseosa
mencair. Dinding bronkial serta pembuluh darah diserang dan dihancurkan, dan
rongga terbentuk. Bahan kaseosa cair, mengandung sejumlah besar basil,
dialirkan melalui bronkus. Di dalam rongga, basil tuberkel berkembang biak,
tumpah ke saluran udara, dan dibuang ke lingkungan melalui manuver ekspirasi

seperti batuk dan berbicara.8,9

Pada tahap awal infeksi, basil biasanya diangkut oleh makrofag ke


kelenjar getah bening regional, dari yang mereka mendapatkan akses ke aliran
darah dan menyebar luas ke seluruh tubuh. Lesi yang dihasilkan mungkin
mengalami evolusi yang sama seperti yang ada di paru-paru, meskipun
sebagian besar cenderung sembuh. Penyebaran hematogen dapat terjadi pada

tuberkulosis milier yang fatal atau meningitis tuberkulosis.8,9

Peran Makrofag Dan Monocytes

Meskipun CMI (cell-mediated immunity) memberikan perlindungan

parsial terhadap M. tuber culosis, kekebalan humoral memainkan peran yang


kurang jelas dalam perlindungan (meskipun bukti terakumulasi di adanya
antibodi LAM (lipoarabinomannan), yang dapat mencegah penyebaran infeksi

21
pada anak). Dalam kasus CMI, dua jenis sel yang penting: makrofag, yang
langsung memfagosit basil tuberkel, dan sel T (terutama limfosit T CD4+),
yang menginduksi proteksi melalui produksi sitokin, terutama IFN-γ. Setelah
infeksi M. tuberculosis, makrofag alveolar mengeluarkan berbagai sitokin yang
bertanggung jawab untuk sejumlah kejadian (misalnya, pembentukan
granuloma) serta efek sistemik (misalnya, demam dan penurunan berat badan).
Monosit dan makrofag yang tertarik ke situs adalah komponen kunci dari
respon imun. Mekanisme utama mereka mungkin terkait dengan produksi
oksida nitrat, yang memiliki aktivitas antimi kobakteri dan meningkatkan
sintesis sitokin seperti tumor necrosis factor (TNF ) dan IL-1, yang pada
gilirannya mengatur pelepasan intermediet nitrogen reaktif. Selain itu,
makrofag dapat mengalami mekanisme apoptosis defensif untuk mencegah

pelepasan sitokin.8,9

Peran Limposit T

Makrofag alveolar, monosit, dan sel dendritic juga penting dalam


memproses dan menyajikan antigen untuk limfosit T, terutama sel T CD4+ dan
CD8+. Hasilnya adalah aktivasi dan proliferasi CD4+ T limfosit, yang sangat
penting untuk pertahanan inang terhadap M. tuberculosis. Gangguan kualitatif
dan kuantitatif sel T CD4+ menjelaskan ketidakmampuan orang yang terinfeksi
HIV untuk menahan proliferasi mikobakteri. Limfosit T CD4+ yang teraktivasi
dapat berdiferensiasi menjadi sel TH1 atau TH2 yang memproduksi sitokin. sel
TH1 menghasilkan IFN-γ—penggerak makrofag dan monosit—dan IL-2. Sel
TH2 menghasilkan IL-4, IL-5, IL-10, dan IL-13 dan dapat meningkatkan
imunitas humoral. Interaksi berbagai sitokin ini dan regulasi silangnya
menentukan respons pejamu. Peran dari sitokin dalam mempromosikan
pembunuhan intraseluler mycobacterteria, bagaimanapun, belum sepenuhnya
dijelaskan. IFN-γ dapat menginduksi generasi intermediet nitrogen reaktif dan

22
mengatur gen yang terlibat dalam efek bakterisida. Sel T CD8+ telah dikaitkan
dengan aktivitas protektif melalui respon sitotoksik dan lisis sel yang terinfeksi
serta dengan produksi IFN-γ dan TNF . Akhirnya, sel pembunuh alami
bertindak sebagai co-regulator dari Aktivitas litik sel T CD8+, dan sel T
semakin dianggap terlibat dalam respons protektif dalam manusia

Gambar 2. Pathogenesis pathway

1. Tuberkulosis Primer
Infeksi primer terjadi pada paparan pertama terhadap tuberkel basili. Hal
ini biasanya terjadi pada masa anak, oleh karenanya sering diartikan sebagai TB
anak. Namun, infeksi ini dapat terjadi pada usia berapapun pada individu yang
belum pernah terpapar M.TB sebelumnya. Percik renik yang mengandung basili
yang terhirup dan menempati alveolus terminal pada paru, biasanya terletak di
bagian bawah lobus superior atau bagian atas lobus inferior paru. Basili

23
kemudian mengalami terfagosistosis oleh makrofag; produk mikobakterial
mampu menghambat kemampuan bakterisid yang dimiliki makrofag alveolus,
sehingga bakteri dapat melakukan replikasi di dalam makrofag. Makrofag dan
monosit lain bereaksi terhadap kemokin yang dihasilkan dan bermigrasi menuju
fokus infeksi dan memproduksi respon imun. Area inflamasi ini kemudian
disebut sebagai Ghon focus.1

Basili dan antigen kemudian bermigrasi keluar dari Ghon focus melalui jalur
limfatik menuju Limfe nodus hilus dan membentuk kompleks (Ghon) primer.
Respon inflamasinya menghasilkan gambaran tipikal nekrosis kaseosa. Di
dalam nodus limfe, limfosit T akan membentuk suatu respon imun spesifik dan
mengaktivasi makrofag untuk menghambat pertumbuhan basili yang
terfagositosis. Fokus primer ini mengandung 1,000–10,000 basili yang
kemudian terus melakukan replikasi. Area inflamasi di dalam fokus primer
akan digantikan dengan jaringan fibrotik dan kalsifikasi, yang didalamnya
terdapat makrofag yang mengandung basili terisolasi yang akan mati jika sistem
imun host adekuat. Beberapa basili tetap dorman di dalam fokus primer untuk
beberapa bulan atau tahun, hal ini dikenal dengan “kuman laten”. Infeksi primer
biasanya bersifat asimtomatik dan akan menunjukkan hasil tuberkulin positif
dalam 4-6 minggu setelah infeksi. Dalam beberapa kasus, respon imun tidak
cukup kuat untuk menghambat perkembangbiakan bakteri dan basili akan
menyebar dari sistem limfatik ke aliran darah dan menyebar ke seluruh tubuh,
menyebabkan penyakit TB aktif dalam beberapa bulan. TB primer progresif
pada parenkim paru menyebabkan membesarnya fokus primer, sehingga dapat
ditemukan banyak area menunjukkan gambaran nekrosis kaseosa dan dapat
ditemukan kavitas, menghasilkan gambaran klinis yang serupa dengan TB post
primer.

24
2. Tuberkulosis pasca primer

TB pasca primer merupakan pola penyakit yang terjadi pada host yang
sebelumnya pernah tersensitisasi bakteri TB. Terjadi setelah periode laten yang
memakan waktu bulanan hingga tahunan setelah infeksi primer. Hal ini dapat
dikarenakan reaktivasi kuman laten atau karena reinfeksi.
Reaktivasi terjadi ketika basili dorman yang menetap di jaringan selama
beberapa bulan atau beberapa tahun setelah infeksi primer, mulai kembali
bermultiplikasi. Hal ini mungkin merupakan respon dari melemahnya sistem
imun host oleh karena infeksi HIV. Reinfeksi terjadi ketika seorang yang
pernah mengalami infeksi primer terpapar kembali oleh kontak dengan orang
yang terinfeksi penyakit TB aktif. Dalam sebagian kecil kasus, hal ini
merupakan bagian dari proses infeksi primer. Setelah terjadinya infeksi primer,
perkembangan cepat menjadi penyakit intra-torakal lebih sering terjadi pada
anak dibanding pada orang dewasa. Foto toraks mungkin dapat memperlihatkan
gambaran limfadenopati intratorakal dan infiltrat pada lapang paru. TB post-
primer biasanya mempengaruhi parenkim paru namun dapat juga melibatkan
organ tubuh lain. Karakteristik dari dari TB post primer adalah ditemukannya
kavitas pada lobus superior paru dan kerusakan paru yang luas. Pemeriksaan
sputum biasanya menunjukkan hasil yang positif dan biasanya tidak ditemukan
limfadenopati intratorakal. 1

25
Gambar 3.

2.15 Klasifikasi
Terduga (presumptive) pasien TB adalah seseorang yang mempunyai
keluhan atau gejala klinis mendukung TB (sebelumnya dikenal sebagai terduga
TB). Pasien TB yang terkonfirmasi bakteriologis adalah pasien TB yang
terbukti positif bakteriologi pada hasil pemeriksaan (contoh uji bakteriologi
adalah sputum, cairan tubuh dan jaringan) melalui pemeriksaan mikroskopis
langsung, TCM TB, atau biakan. Termasuk dalam kelompok pasien ini
adalah :1

a. Pasien TB paru BTA positif


b. Pasien TB paru hasil biakan M.TB positif
c. Pasien TB paru hasil tes cepat M.TB positif
d. Pasien TB ekstra paru terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan
BTA, biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena.
e. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.

26
Pasien TB terdiagnosis secara klinis adalah pasien yang tidak memenuhi
kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi didiagnosis sebagai pasien TB
aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan pengobatan TB.1

Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah :

1. Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks


mendukung TB.
2. Pasien TB paru BTA negatif dengan tidak ada perbaikan klinis setelah
diberikan antibiotika non OAT, dan mempunyai faktor risiko TB
3. Pasien TB ekstra paru yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris
dan histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis.
4. TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring.

Pasien TB yang terdiagnosis secara klinis dan kemudia terkonfirmasi


bakteriologis positif (baik sebelum maupun setelah memulai pengobatan) harus
diklasifikasi ulang sebagai pasien TB terkonfirmasi bakteriologis.

Guna menghindari terjadinya over diagnosis dan situasi yang merugikan


pasien, pemberian pengobatan TB berdasarkan diagnosis klinis hanya
dianjurkan pada pasien dengan pertimbangan sebagai berikut :

1. Keluhan, gejala dan kondisi klinis sangat kuat mendukung diagnosis TB


2. Kondisi pasien perlu segera diberikan pengobatan misal: pada kasus
meningitis TB, TB milier, pasien dengan HIV positif, perikarditis TB dan
TB adrenal. :

1. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomis :

a. TB paru adalah kasus TB yang melibatkan parenkim paru atau


trakeobronkial. TB milier diklasifikasikan sebagai TB paru karena

27
terdapat lesi di paru. Pasien yang mengalami TB paru dan ekstra paru
harus diklasifikasikan sebagai kasus TB paru.
b. TB ekstra paru adalah kasus TB yang melibatkan organ di luar
parenkim paru seperti pleura, kelenjar getah bening, abdomen, saluran
genitorurinaria, kulit, sendi dan tulang, selaput otak. Kasus TB ekstra
paru dapat ditegakkan secara klinis atau histologis setelah diupayakan
semaksimal mungkin dengan konfirmasi bakteriologis.

2. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan :

a. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapat OAT


sebelumnya atau riwayat mendapatkan OAT kurang dari 1 bulan (<
dari 28 dosis bila memakai obat program).
b. Kasus dengan riwayat pengobatan adalah pasien yang pernah
mendapatkan OAT 1 bulan atau lebih (>28 dosis bila memakai obat
program). Kasus ini diklasifikasikan lebih lanjut berdasarkan hasil
pengobatan terakhir sebagai berikut :
c. Kasus kambuh adalah pasien yang sebelumnya pernah mendapatkan
OAT dan dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap pada akhir
pengobatan dan saat ini ditegakkan diagnosis TB episode kembali
(karena reaktivasi atau episode baru yang disebabkan reinfeksi).
d. Kasus pengobatan setelah gagal adalah pasien yang sebelumnya
pernah mendapatkan OAT dan dinyatakan gagal pada akhir
pengobatan.
e. Kasus setelah loss to follow up adalah pasien yang pernah menelan
OAT 1 bulan atau lebih dan tidak meneruskannya selama lebih dari 2
bulan berturut-turut dan dinyatakan loss to follow up sebagai hasil
pengobatan.

28
f. Kasus lain-lain adalah pasien sebelumnya pernah mendapatkan OAT
dan hasil akhir pengobatannya tidak diketahui atau tidak
didokumentasikan.
g. Kasus dengan riwayat pengobatan tidak diketahui adalah pasien yang
tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya sehingga tidak dapat
dimasukkan dalam salah satu kategori di atas.

Penting diidentifikasi adanya riwayat pengobatan sebelumnya karena


terdapat risiko resistensi obat. Sebelum dimulai pengobatan sebaiknya
dilakukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan obat menggunakan
tercepat yang telah disetujui WHO (TCM TB MTB/Rif atau LPA (Hain
test dan genoscholar) untuk semua pasien dengan riwayat pemakaian
OAT.

3. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat, klasifikasi TB


terdiri dari :

a. Monoresisten (TB MR): resistensi terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama.
b. Poliresisten ( TB PR): resistensi terhadap lebih dari satu jenis OAT lini
pertama selain isoniazid (H) dan rifampisin (R) secara bersamaan.
c. Multidrug resistant (TB MDR) : minimal resistan terhadap isoniazid (H)
dan rifampisin (R) secara bersamaan.
d. Extensive drug resistant (TB XDR) : TB-MDR yang juga resistan terhadap
salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan salah satu dari OAT lini
kedua jenis suntikan (kanamisin, kapreomisin, dan amikasin).
e. Rifampicin resistant (TB RR) : terbukti resistan terhadap Rifampisin baik
menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip
(konvensional), dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang

29
terdeteksi. Termasuk dalam kelompok TB RR adalah semua bentuk TB
MR, TB PR, TB MDR dan TB XDR yang terbukti resistan terhadap
rifampisin.

2. 1.6 Manifestasi Klinis dan Faktor Risiko

1. Gejala Respiratorik
a. Batuk

Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling
sering dikeluhkan. Batuk terjadi karena iritasi bronkus yang pada awalnya
tidak berdahak, tetapi karena terjadi peradangan maka batuk akan menjadi
produktif. Biasanya batuk ringan sehingga dianggap batuk biasa. Apabila
batuk telah berlangsung lebih dari 2 minggu, maka harus dipikirkan adanya
TB. 10,11
b. Dahak
Dahak bersifat mukoid dan keluar dalam jumlah sedikit, kemudian berubah
menjadi mukopurulen/kuning atau kuning hijau sampai purulen. Dahak
berubah menjadi kental apabila sudah terjadi perlunakan. 10,11
c. Batuk darah (hemoptysis)
Darah yang dikeluarkan penderita mungkin berupa garis atau bercak-
bercak darah, gumpalan-gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah
sangat banyak. Keadaan ini terjadi akibat pecahnya aneurisma
(Rasmussen’s aneurysm) pada pembuluh darah yang berdilatasi di kavitas
atau dari formasi aspergiloma pada kavitas lama. Berat ringannya batuk
darah tergantung dari besar atau kecilnya pembuluh darah yang terkena. 10,11
d. Nyeri dada
Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang
sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan
kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya. 10,11

30
e. Sesak napas
Pada penyakit yang ringan belum dirasakan sesak napas. Sesak napas akan
ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah
meliputi setengah bagian paru-paru. 10,11

2. Gejala Sistemik
a. Demam

Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang kadang


panas badan dapat mencapai 40-41oc. Serangan demamdapat sembuh
sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali.Keadaan ini sangat
dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi
Tuberkulosis yang masuk. 10,11
b. Malaise dan nafsu makan berkurang
Tuberkulosis bersifat radang menahun sehingga dapat terjadi rasa tidak
enak badan, pegal-pegal, nafsu makan berkurang, badan makin kurus, sakit
kepala dan mudah lelah. 10,11

Faktor Risiko TB

Terdapat beberapa kelompok orang yang memiliki risiko lebih tinggi untuk
mengalami penyakit TB, kelompok tersebut adalah : 1

1. Orang dengan HIV positif dan penyakit imunokompromais lain.


2. Orang yang mengonsumsi obat imunosupresan dalam jangka waktu panjang.
3. Perokok
4. Konsumsi alkohol tinggi
5. Anak usia <5 tahun dan lansia
6. Memiliki kontak erat dengan orang dengan penyakit TB aktif yang infeksius.

31
7. Berada di tempat dengan risiko tinggi terinfeksi tuberkulosis (contoh: lembaga
permasyarakatan, fasilitas perawatan jangka panjang)
8. Petugas kesehatan.

2.1.7 Diagnosis

Definisi pasien TB dapat dibagi berdasarkan hasil konfirmasi berdasarkan


klinis dan pemeriksaan bakteriologis 1,10

Diagnosis Klinis

Pasien yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis


tetapi didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk
diberikan pengobatan TB. Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:

a. Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks


mendukung TB.

b. Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris dan


histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis.

c. TB anak yang terdiagnosis dengan sistem skoring.


Pasien TB yang terdiagnosis secara klinis dan kemudian terkonfirmasi
bakteriologis positif (baik sebelum maupun setelah memulai pengobatan) harus
diklasifikasi ulang sebagai pasien TB terkonfirmasi bakteriologis. Diagnosis TB
dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan
penunjang.
1. Anamnesis

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan lain berupa dahak bercampur
darah, batuk darah, sesak napas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat

32
badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisis, demam
meriang lebih dari satu bulan. Riwayat dengan keluhan yang sama sebelumnya
perlu ditanyakan beserta dengan riwayat pengobatannya. Adanya keluarga atau
tetangga yang memiliki keluhan yang sama dapat lebih mengarahkan diagnosis
sebagai TB. Perlu juga ditanyakan mengenai pencahayaan dan sirkulasi udara
dirumah (ventilasi).
2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin didapatkan


konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, demam, badan kurus dan
berat badan turun.

Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks
(puncak) paru. Apabila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka
didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara napas bronkial. Akan
didapatkan juga suara napas tambahan seperti ronkhi basah, kasar dan nyaring.
Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara napas menjadi
vesikuler yang melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi
memberikan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan suara
amforik.

Pada pleuritis TB kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari banyaknya


cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan redup atau pekak, pada
auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada posisi yang
terdapat cairan. Pada limfadenitis TB terlihat pembesaran kelenjar getah bening
tersering didaerah leher kadang didaerah ketiak. Pembesaran tersebut dapat
menjadi cold abscess.

3. Pemeriksaan Laboratorium

Beberapa penunjang laboratorium bisa membantu dalam menegakkan

33
diagnosis TB. Tetapi tidak semua pemeriksaan ini harus dilakukan, sesuaikan
dengan keperluan penunjang saja.

a. Darah
Pada saat TB paru mulai aktif akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit
meninggi, laju endap darah mulai meningkat. Hasil pemeriksaan darah lain juga
didapatkan :
1. Anemia ringan dengan gambaran normokrom normositer.
2. Gama globulin meningkat
3. Kadar natrium darah meningkat. Pemeriksaan tersebut tidak spesifik.

b. Dahak / Sputum

Hingga sekarang prinsip penemuan BTA tetap merupakan salah satu pilihan
utama, dengan beberapa alasan antara lain murah, objektif dan spesifik. Teknik
pewarnaan yang kini banyak digunakan adalah Ziehl Neelsen. Dibutuhkan tiga
spesimen dahak untuk menegakkan diagnosis TB. Untuk kenyamanan penderita,
pengumpulan dahak dilakukan dengan prinsip Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS).
Pemeriksaan bakteriologi dapat dilakukan dengan pemeriksaan sedian langsung
dengan mikroskop biasa, mikroskop fluorensens atau biakan kuman.

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai


keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak
untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 contoh uji dahak
yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak
Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):
a. S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang berkunjung

34
pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang, terduga pasien membawa sebuah
pot dahak untuk menampung dahak pagi pada hari kedua.
b. P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasyankes.
c. S(sewaktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan
dahak pagi.

Tes Bakteriologis

Semua pasien terduga TB harus menjalani pemeriksaan bakteriologis untuk


mengkonfirmasi penyakit TB. Pemeriksaan bakteriologis merujuk pada
pemeriksaan apusan dari sediaan biologis (dahak atau spesimen lain),
pemeriksaan biakan dan identifikasi M. tuberculosis atau metode diagnostik
cepat yang telah mendapat rekomendasi WHO. Kasus TB Paru BTA positif

35
ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan BTA positif, minimal dari satu
spesimen. 1

Diagnosis TB Paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu


dengan pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud
adalah pemeriksaan mikroskopis, tes cepat molekuler TB dan biakan.
Pemeriksaan TCM digunakan untuk penegakan diagnosis TB, sedangkan
pemantauan kemajuan pengobatan tetap dilakukan dengan pemeriksaan
mikroskopis. Apabila pemeriksaan secara mikroskopis hasilnya negatif dan tidak
memilki akses rujukan (radiologi/TCM/biakan) maka dilakukan pemberian terapi
antibiotika spektrum luas (Non- OAT dan Non-kuinolon) terlebih dahulu selama
1-2 minggu. Jika tidak ada perbaikan klinis setelah pemberian antibiotik, pasien
perlu dikaji faktor risiko TB. 1

WHO merekomendasikan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan minimal


terhadap rifampisin dan isoniazid pada kelompok pasien berikut:

1. Semua pasien dengan riwayat pengobatan OAT. Hal ini dikarenakan TB


resistan obat banyak ditemukan terutama pada pasien yang memiliki riwayat
gagal pengobatan sebelumnya.

2. Semua pasien dengan HIV yang didiagnosis TB aktif. Khususnya mereka yang
tinggal di daerah dengan prevalensi TB resistan obat yang tinggi.

3. Pasien dengan TB aktif yang terpajan dengan pasien TB resistan obat.

4. Semua pasien baru di daerah dengan kasus TB resistan obat primer >3%.

5. Pasien baru atau riwayat OAT dengan sputum BTA tetap positif pada akhir
fase intensif. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan sputum BTA pada bulan
berikutnya.

Pemeriksaan dengan TCM dapat mendeteksi M. tuberculosis dan gen


pengkode resistan rifampisin (rpoB) pada sputum kurang lebih dalam waktu 2

36
(dua) jam. Konfirmasi hasil uji kepekaan OAT menggunakan metode
konvensional masih digunakan sebagai baku emas (gold standard). Penggunaan
TCM tidak dapat menyingkirkan metode biakan dan uji kepekaan konvensional
yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis definitif TB, terutama pada pasien
dengan pemeriksaan mikroskopis apusan BTA negatif, dan uji kepekaan OAT
untuk mengetahui resistensi OAT selain rifampisin.

Pada kondisi tidak berhasil mendapatkan sputum secara ekspektorasi


spontan maka dapat dilakukan tindakan induksi sputum atau prosedur invasif
seperti bronkoskopi atau torakoskopi.Pemeriksaan tambahan pada semua pasien
TB yang terkonfirmasi bakteriologis maupun terdiagnosis klinis adalah
pemeriksaan HIV dan gula darah. Pemeriksaan lain dilakukan sesuai indikasi
misalnya fungsi hati, fungsi ginjal, dan lain-lain.

Gambar 4. Alur Diagnosis TB

Tes Tuberculin

Selain dengan uji mikrobiologis, untuk membantu menegakan diagnose TB


dapat digunakan uji tes tuberculin atau Mantoux test. Tes ini dilakukan berdasarkan
adanya hipersensitivitas tubuh akibat adanya infeksi oleh M. Tuberkulosis

37
sebelumnya. Hal ini yang dimediasi oleh sel-sel limfosit T (CMI) yang telah
tersensitisasi akibat terinfekasi oleh M.Tuberkulosis secara alamiah.

Bertepatan dengan munculnya kekebalan, DTH ke M. tuberculosis


berkembang. Reaktivitas ini adalah dasar dari TST (tuberculin skin test), yang
digunakan terutama untuk mendeteksi Infeksi M. tuberculosis pada orang tanpa
gejala. Mekanisme seluler yang bertanggung jawab atas reaktivitas TST terkait
terutama dengan sel limfosit T CD4+ yang tersensitisasi sebelumnya, yang tertarik ke
tempat uji kulit mereka berkembang biak dan menghasilkan sitokin. Meskipun DTH
dikaitkan dengan kekebalan protektif (dengan orang yang positif TST menjadi kurang
rentan terhadap infeksi M. tuberculosis baru daripada TST-negatif per anak), itu sama
sekali tidak menjamin perlindungan terhadap reaktivasi. Bahkan, kasus tuberkulosis
aktif sering disertai dengan reaksi uji kulit yang sangat positif.

Tes ini dilakukan dengan menginjeksikan tuberculin tes (PPD RT-23 2TU atau

PPD S 5TU), dosis 0,1 ml, secara intrakutan di bagian volar lengan bawah. Reaksi

tuberculin mulai 5-6 jam setelah penyuntikan dan indurasi maksimal terjadi setelah

48 – 72 jam dan selanjutnya berkurang selama beberapa hari.12

38
Tabel 1. Interpretasi uji Tuberkulin

39
Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan Radiologi dapat membantu dalam menegakan diagnose TB.


Lokasi lesi tuberkuloasis biasanya berapa di apeks paru (segmen apical lobus), tetapi
tidak menutup kemungkinan dapat ditemukan di bagian inferior paru ataupun
dibagian hillus paru. Gambaran radiologi tuberkuloasis menyerupai awan-awan
dengan batas yang tidak tegas. Bila lesi udah diliputi oleh jaringan ikat akan
menunjukan bayangan bulat dengan batas tegas, lesi ini disebut dengan

tuberculoma.13

Gambaran radiologis TB milier merupakan gambaran bercak putih halus yang

menyelubungi semua lapang paru. Gambaran lain yang dapat ditemukan pada kasus

TB adalah adanya penebalan pleura (pleuritis), massa cairan dibagian bawah paru

(efusi pleura), bayangan hitam radiolusen di pinggir paru atau pleura

(pneumotoraks).13

Gambar 6. Foto Thorax pada pasien TB

40
Diagnosis TB pada anak

Tanda dan gejala klinis berupa gejala sistemik/umum atau sesuai organ
terkait. Gejala klinis TB pada anak tidak khas, karena gejala serupa juga dapat
disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB. Gejala khas TB sebagai berikut: 1

1. Batuk ≥ 2 minggu
2. Demam ≥ 2 minggu
3. BB turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya
4. Lesu atau malaise ≥ 2 minggu
5. Gejala-gejala tersebut menetap walau sudah diberikan terapi yang adekuat.

Diagnosis TB Ekstrapulmonal

Gejala dan keluhan tergantung pada organ yang terkena, misalnya kaku kuduk
pada meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe
superfisialis pada limfadenitis TB serta deformitas tulang belakang (gibbus) pada
spondilitis TB. Diagnosis pasti pada pasien TB ekstra paru ditegakkan dengan
pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau histopatologis dari contoh uji yang diambil

dari organ tubuh yang terkena.1

Pemeriksaan mikroskopis dahak wajib dilakukan untuk memastikan


kemungkinan TB Paru. Pemeriksaan TCM pada beberapa kasus curiga TB ekstra paru
dilakukan dengan contoh uji cairan serebrospinal (cerebro spinal fluid/CSF) pada
kecurigaan TB meningitis, contoh uji kelenjar getah bening melalui pemeriksaan
biopsi aspirasi jarum halus (fine neddle aspirate biopsy/FNAB) pada pasien dengan

kecurigaan TB kelenjar.1

41
Penegakan diagnosis TB resistan obat

Diagnosis TB RO ditegakkan berdasarkan hasil uji kepekaan yang bertujuan


untuk menentukan ada atau tidaknya resistansi M. tuberculosis terhadap OAT. 1

a. Metode Fenotipik

Menggunakan media padat (Lowenstein Jensen / LJ) atau media cair


(mycobacteria growth indicator tube / MGIT). Saat ini program TB menggunakan
paket standar uji kepekaan yang menguji lima obat berikut :

1. INH
2. Ofloksasin atau Levofloksasin
3. Kapreomisin
4. Moksiflokasin

b. Tes Genotipik

1. Menggunakan Xpert MTB/RIF atau lebih dikenal dengan tes cepat molekuler
(TCM). Merupakan tes amplifikasi asam nukleat secara otomatis sebagai sarana
deteksi TB dan uji kepekaan untuk rifampisin.

2. Menggunakan line probe assay (LPA) dikenal sebagai Hain test/Genotype


MTBDR plus (LPA lini pertama) dan MTBDRsl (LPA lini kedua). LPA lini
pertama dapat mendeteksi resistansi terhadap obat rifampisin dan isoniazid.

42
Sedangkan LPA lini kedua untuk mendeteksi resistansi pada obat golongan
flurokuinolon dan obat injeksi lini kedua.

Gambar 7. Alur diagnosis TB-RO

2.1.8 Tatalaksana

1. Tujuan Pengobatan TB 1

a. Menyembuhkan, mempertahankan kualitas hidup dan produktivitas


pasien
b. Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan
c. Mencegah kekambuhan TB
d. Mengurangi penularan TB kepada orang lain
e. Mencegah perkembangan dan penularan resistan obat

43
2. Prinsip Pengobatan TB 1

Obat anti-tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam pengobatan


TB. Pengobatan TB merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah
penyebaran lebih lanjut dari bakteri penyebab TB. Pengobatan yang adekuat
harus memenuhi prinsip:

a. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung


minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi
b. Diberikan dalam dosis yang tepat
c. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (pengawas
menelan obat) sampai selesai masa pengobatan.
d. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap
awals erta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.

3. Tahapan pengobatan TB terdiri dari 2 tahap, yaitu :

a. Tahap Awal

Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini


adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang
ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil
kuman yang mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien mendapatkan
pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan
selama 2 bulan. Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa
adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan
selama 2 minggu pertama

44
Tabel 2. Rekomendasi OAT lini pertama untuk dewasa

Penggunaan sterptomisin pada pasienberusia diatas 60 tahun tidak


dapat mentoleransi lebih dari 500-700 mg perhari, beberapa pedoman
merekomendasikan dosis 10 mg/kg BB pada pasien kelompok usia ini.
Pasien dengan berat badan di bawah 50 kg tidak dapat mentoleransi dosis
lebih dari 500-750 mg perhari.

b. Tahap Lanjutan

Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada
dalam tubuh, khususnya kuman persisten sehingga pasien dapat sembuh dan
mencegah terjadinya kekambuhan. Durasi tahap lanjutan selama 4 bulan. Pada fase
lanjutan seharusnya obat diberikan setiap hari.

Fase Intesif Fase Lanjutan


RHZE 2 bulan RH 4 bulan

45
WHO dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis and
Lung Disease) merekomendasikan paduan OAT standar, yaitu :

1. Kategori 1 :

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

a. Pasien baru TB paru BTA positif


b. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
c. Pasien TB ekstra paru

Adapun kombinasi obat yang digunakan adalah: 2(HRZE)/4(HR)3

Tabel 3. Dosis panduan OAT KDT Kategori 1

46
2. Kategori 2 :

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:

a. Pasien kambuh
b. Pasien gagal
c. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

Adapun kombinasi obat yang digunakan adalah: 2(HRZE)S/


(HRZE)/5(HR)3E3:

Tabel 4. Dosis panduan OAT kategori 2

47
3. OAT Sisipan (HRZE)

Paduan OAT ini diberikan kepada pasien BTA positif yang pada akhir
pengobatan intensif masih tetap BTA positif. Paket sisipan KDT adalah sama
seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama
sebulan (28 hari).

Tabel 5. Dosis Sisipan

Jenis Obat yang digunakan untuk pengobatan TB :


a. Isoniazid (INH) dosis 5 mg/kg BB, maksimal 300 mg, 10 mg/kgBB 3 x
seminggu atau 15 mg/kgBB 2 x seminggu, bersifat bakterisid, dapat
membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama
pengobatan. 10,14
b. Rifampisin dosis 10 mg/ kg BB, maksimal 600 mg 2-3 x/minggu,
Rifampisin, bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi dorman
yang tidak dapat dibunuh INH. 10,14

48
c. Pirazinamid fase intensif 25 mg/kg BB atau 35 mg/kgBB 3 x seminggu
atau 50 mg/kgBB 2 x seminggu, bersifat bakterisid, dapat membunuh
kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. 10,14
d. Streptomisin 15mg/kgBB atau BB > 60 kg: 1000 mg, BB 40-60 kg: 750
mg, BB < 40 kg sesuai dosis, bersifat bakterisid. 10,14
e. Ethambutol fase intesif 15 mg /kg BB dan fase lanjutan 15 mg/kgBB
atau 30mg/kgBB 3 x seminggu, bersifat bakteriostatik. 10,14

Obat-obatan tersebut tersedia dalam kemasan obat tunggal dan obat


kombinasi (Fixed Dose Combination/FDC). FDC direkomendasikan bila
tidak dilakukan pengawasan menelan obat. Kombinasi dosis tetap ini terdiri
dari: 10,14
a. 4 obat kombinasi dalam satu tablet yaitu rifampicin 150 mg, isoniazid 75
mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg.
b. 2 obat kombinasi dalam satu tablet yaitu rifampicin 150 mg, isoniazid 75
mg.

Pasien TB paru sebaiknya mendapatkan paduan obat : 2RHZE/4HR,


selama 6 bulan. Untuk TB ekstra paru biasanya diperlukan durasi
pengobatan yang lebih dari 6 bulan. Semua pasien dengan riwayat
pengobatan OAT harus diperiksa uji kepekaan OAT pada awal pengobatan.
Uji kepekaan dapat dilakukan dengan metode cepat atau rapid test (TCM,
LPA lini 1 dan 2), dan metode konvensional baik metode padat (LJ), atau
metode cair (MGIT) .

49
Efek Samping Kemungkina obat penyebab Pengobatan
Berat
Ruam kulit dengan atau tanpa streptomisin isoniazid Hentikan OAT
gatal rifampisin pirazinamid

Tuli streptomisin Hentikan streptomisin

Pusing vertigo dan nistagmus streptomisin Hentikan streptomisin

Ikterik tanpa penyakit hepar streptomisin, isoniazid, Hentikan OAT


(hepatitis) rifampisin, pirazinamid

Bingung (curiga gagal hati Isoniazid, pirazinamid, Hentikan OAT


imbas obat bila terdapat rifampisin Sebagian besar
ikterik) OAT

Gangguang penglihatan Etambutol Hentikan etambutol


(singkirkan penyebab lainnya)

Syok, purpura, gagal ginjal Rifampisin Hentikan rifampisin


akut (sangat jarang terjadi,
akibat gangguan imunologi
oliguria Streptomisin Hentikan streptomisin

Ringan

(Lanjutkan OAT dan cek dosis OAT)

Anoreksia, mual, neri perut Pirazinamid, rifampisin, Berikan obat dengan bantuan
isoniazid sedikit makanan atau menelan
OAT sebelum tidur, dan sarankan
untuk menelan pil secara lambat
dengan sedikit air. Bila gejala
menetap atau memburuk, atau
muntah berkepanjangan atau
terdapat tanda tanda perdarahan,
pertimbangkan kemungkinan
ETD mayor dan rujuk ke dokter
ahli segera .
Nyeri sendi Aspirin atau obat anti inflamasi

50
non-steroid, atau parasetamol

Rasa terbakar, kebas atau isoniazid Piridoksin 50-75 mg/ hari(13)


kesmutan di tangan dan kaki

Rasa Mengantuk isoniazid Obat dapat diberikan sebelum


tidur

Air kemih berwarna rifampisin Pastikan pasien diberitahukan


kemerahan sebelum mulai minum obat dan
bila hal ini terjadi adalah normal

Sindrom flu (demam, isoniazid Ubah pemberian rifampisin


menggigil, malaise, sakit intermiten menjadi setiap hari
kepala, nyeri tulang.

2.1.9 Pencegahan

1.Vaksinasi

Vaksinasi dengan Strain M. bovis yang dilemahkan, bacille Calmette- Guérin


(BCG), melindungi bayi dan anak kecil dari bentuk TB yang serius (misalnya,
meningitis)dan penyakit milier) dan direkomendasikan untuk penggunaan rutin di

negara-negara denganprevalensiTB yang tinggi.9

2. Pola Hidup Sehat dan Penggunaan Masker

Penggunaan masker dapat mencegak penularan tuberculosis yang dapat


menular secara droplet, selain menggunakan masker cuci tangan dengan air mengalir
dapat mecegah tertularnya M. tuberculosis. Pola hidup yang sehat seperti makan
makanan yang bergizi dan rutin olah raga mampu meningkatkan imun. Bagi penghuni
rumah yang tinggal serumah dengan penderita TB, harus menggunakan peralatan
makan dan mandi secara terpisah. 9

51
2.1.9 Komplikasi
Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan
menimbulkan komplikasi, yang dibagi atas:19

a. Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema, dan laringitis.

b. Komplikasi lanjut: obstruksi jalan napas (SOPT: Sindrom Obstruksi Paska


Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat, fibrosis paru, kor-pulmonal, sindrom
gagal napas, yang sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB.

c. Komplikasi sistemik : menigitis TB, tamponade jantung, kerusakan Ginjal dan


Hepar.

2.1.10 Prognosis

Keberhasilan pengobatan tergantung pada stadium penyakit pada saat


didiagnosis. Dengan fasilitas diagnostik modern, pasien didiagnosis sejak dini
bersamaan dengan OAT yang sangat efektif, sehingga jumlah pasien dengan
perubahan radiologis lanjut akan turun. Kepatuhan meminum OAT serta Status gizi
yang baik dan kontrol dari setiap morbiditas membantu meminimalkan kemungkinan
kekambuhan. 1

52
2.2 Efusi Pleura

2.2.1 Definisi

Efusi pleura merupakan keadaan di mana cairan menumpuk di dalam rongga


pleura. Dalam keadaan normal, rongga pleura diisi cairan sebanyak 10-20 ml yang
berfungsi mempermudah pergerakan paru di rongga dada selama bernapas. Jumlah
cairan melebihi volum normal dapat disebabkan oleh kecepatan produksi cairan di
lapisan pleura parietal yang melebihi kecepatan penyerapan cairan oleh pembuluh
limfe dan pembuluh darah mikropleura viseral.

Efusi pleura merupakan manifestasi penyakit pada pleura yang paling sering
dengan etiologi yang bermacam-macam mulai dari kardiopulmoner, inflamasi,
hingga keganasan yang harus segera dievaluasi dan diterapi.

2.2.2 Epidemiologi

Penelitian di Aceh tahun 2019, pasien efusi pleura terbanyak dominan laki-
laki (66,9%) dengan proporsi usia tertinggi yaitu 46-55 dan >65 tahun pada laki-laki
sedangkan pada perempuan yaitu 56-65 tahun. Pneumonia menjadi etiologi efusi
pleura non-maligna terbanyak. Eksudat merupakan jenis cairan pleura yang paling
banyak ditemukan (72,9%) dan lokasi efusi yang paling sering adalah hemithorax
dekstra (53,4%). Penyakit penyerta dengan penyakit terbanyak yaitu tuberkulosis
(11,3%). Hasil pemeriksaan kultur cairan pleura menunjukkan adanya pertumbuhan
bakteri dengan jenis bakteri terbanyak adalah Staphylococcus hominis (22,9%).

2.2.3 Anatomi

53
Pleura adalah membran tipis terdiri dari 2 lapisan yaitu pleura visceralis dan
parietalis. Secara histologis kedua lapisan ini terdiri dari sel mesothelial, jaringaan
ikat, dan dalam keadaan normal, berisikan lapisan cairan yang sangat tipis. Membran
serosa yang membungkus parekim paru disebut pleura viseralis, sedangkan membran
serosa yang melapisi dinding thorak, diafragma, dan mediastinum disebut pleura
parietalis. Rongga pleura terletak antara paru dan dinding thoraks. Rongga pleura
dengan lapisan cairan yang tipis ini berfungsi sebagai pelumas antara kedua pleura.

Pleura terbentuk dari dua membran serosa, yakni pleura visceral yang
melapisi paru serta pleura parietal yang melapisi dinding toraks bagian dalam. Pada
hakikatnya kedua lapis membran ini saling bersambungan di dekat hilus, yang secara
anatomis disebut sebagai refleksi pleura. Pleura visceral dan parietal saling
bersinggungan setiap kali manuver pernapasan dilakukan, sehingga dibutuhkan suatu
kemampuan yang dinamis dari rongga pleura untuk saling bergeser secara halus dan
lancar. Ditinjau dari permukaan yang bersinggungan dengannya, pleura visceral
terbagi menjadi empat bagian, yakni bagian kostal, diafragama, mediastinal, dan
servikal.

54
Terdapat faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya kontak antarmembran
maupun yang mendukung pemisahan antarmembran. Faktor yang mendukung kontak
antarmembran adalah: (1) tekanan atmosfer di luar dinding dada dan (2) tekanan
atmosfer di dalam alveolus (yang terhubung dengan dunia luar melalui saluran
napas). Sementara itu faktor yang mendukung terjadi pemisahan antarmembran
adalah: (1) elastisitas dinding toraks serta (2) elastisitas paru. Pleura parietal memiliki
persarafan, sehingga iritasi terhadap membran ini dapat mengakibatkan rasa alih yang
timbul di regio dinding torako-abdominal (melalui n. interkostalis) serta nyeri alih
daerah bahu (melalui n. frenikus).

2.2.4 Etiologi dan Klasifikasi

Penyebab Tampilan Hitung Eritrosit pH Glukosa Keterangan

55
jenis
leukosit
Keganasan Turbid 1- <100.00 Normal Normal  Pemeriksaan
hingga 10.000 0 hingga hingga ↓ sitologi
berdarah limfosit ↓
Tuberkulosis Serosang 5- <10.000 Normal Normal  Pemeriksaan
(campuran 10.000 sampai sampai marker TB
darah dan limfosit ↓ ↓ ADA: >70
cairan IU/L TB,
serosa) jika<40
IU/L bukan
TB.
 Pewarnaan
BTA: 0-
10% dengan
pewarnaan
 TB
kultur dan
resistensi

1. Efusi Pleura Transudatif

Efusi pleura transudatif merupakan efusi pleura yang berjenis efusi transudate. Efusi
pleura transudatif dapat dibebakan berbagai faktor antara lain disebabkan oleh gagal
jantung kongestif, emboli pada paru, sirosis hati atau yang merupakan penyakit pada
intraabdominal, dialisis peritoneal, hipoalbuminemia, sindrom nefrotik,
glomerulonefritis akut, retensi garam maupun setelah pembedahan jantung.

56
2. Efusi Pleura Eksudatif

Efusi pleura eksudatif merupakan jenis cairan eksudat yang terjadi akibat adanya
peradangan atau proses infiltrasi pada pleura maupun jaringan yang berdekatan
dengan pleura. Selain itu adanya kerusakan pada dinding kapiler juga dapat
mengakibatkan terbentuknya cairan yang mengandung banyak protein keluar dari
pembuluh darah dan berkumpul pada rongga pleura. Penyebab efusi pleura eksudatif
juga bisa di sebabkan oleh adanya bendungan pada pembuluh limfe.

Penyebab lainnya dari efusi pleura eksudatif yaitu adanya neoplasma, infeksi,
penyakit jaringan ikat, penyakit intraabdominal dan imunologik.

a. Neoplasma

Neoplasma dapat menyebkan efusi pleura dikarenakan karsinoma bronkogenik


karena dalam keadaan tersebut jumlah leukosit

>2.500/mL. yang terdiri dari limfosit, sel maligna, dan sering terjadi reakumulasi
setelah terasentesis, selain itu tumor metatastik yang berasal dari karsinoma mammae
lebih sering bilateral dibandingkan dengan karsinoma bronkogenik yang diakibatkan
adanya penyumbatan pembuluh limfe atau adanya penyebaran ke daerah pleura.
Penyebab lainnya adalah limfoma, mesotelimoa dan tumor jinak ovarium atau
sindrom meig.

b. Infeksi

Penyebab dari efusi pleura eksudatif adalah infeksi, mikroorganismenya adalah virus,
bekteri, mikoplasma maupun mikobakterium. Bakteri dari pneumonia akut jarang
sekali dapat menyebabkan efusi pleura eksudatif, efusi pleura yang mengandung
nanah disertai mikroorganisme di sebut dengan empyema. Selain empyema

57
pneumonia yang disebabkan oleh virus dan mikoplasma juga dapat menyababkan
efusi pleura.

c. Penyakit jaringan ikat

Penyakit jaringan ikat yang dapat menyababkan efusi pleura adalah seperti lupus
eritematosus sistemik dan artritis rheumatoid.

d. Penyakit intraabdominal

Efusi pleura yang disebabkan oleh penyakit intra abdominalis tidak hanya dapat
menyebabkan efusi pleura eksudatif saja tetapi dapat juga menyebabkan efusi pleura
transudatif tergantung pada jenis penyababnya. Penyakit intraabdominal yang dapat
menyebabkan efusi pleura eksudatif adalah kasus pasca bedah abdomen, perforasi
usus, dan hepatobiliar yang dapat menyababkan abses subdiafragmatika. Hal yang
sering ditemukan sebagai penyabab efusi pleura dari penyakit intra abdominalis
adalah abses hepar karena amoba.

e. Imunologik

Imunologik yang dapat menyababkan efusi pleura adalah seperti efusi rheumatoid,
efusi lupus, efusi sarkoidosis, granulomatosis wagener, sindrom sjogren, paska cedera
jantung, emboli paru, paru uremik dan sindrom meig.

Efusi pleura rheumatoid banyak di jumpai pada pasien laki-laki dibandingkan pada
pasien perempuan. Biasanya pasien rheumatoid tingkat sedang sampai berat yang
mempunyai nodul subkutan dapat menyabkan efusi pleura rheumatoid. Pada pasien
efusi pleura rheumatoid pasien mengaluhkan nyeri pleuritik dan sesak napas.

3. Efusi pleura hemoragis

58
Efusi pleura hemoragis merupakan efusi pleura yang di sebakan oleh trauma, tumor,
infark paru maupun tuberkolosis.

4. Berdasarkan lokasi cairan yang terbentuk

Penyebab efusi pleura dari lokasi terbentuknya dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu
unilateral dan bilateral. Jenis efusi pleura unilateral tidak ada kaitannya dengan
penyebab penyakit tetapi efusi pleura bilateral dapat ditemukan pada penyakit-
penyakit berikut seperti gagal jantung kongestif, sindroma nefrotik, asites, infark
paru, tumer dan tuberkolosis.

5. Analisis cairan pleura

Cairan pleura secara maksroskopik diperiksa warna, turbiditas, dan bau dari
cairannya. Efusi pleura transudate cairannya biasanya jernih, transparan, berawarna
kuning jerami dan tidak memiliki bau. Sedangakan cairan dari pleura yang
menyerupai susu bisanya mengandung kilus (kilotoraks). Cairan pleura yang berbau
busuk dan mengandung nanah biasanya disebabkan oleh bakteri anaerob. Cairan yang
berwarna kemerahan biasanya mengandung darah, sedangkan jika berwarna coklat
biasanya di sebabkan oleh amebiasis. Sel darah putih dalam jumlah banyak dan
adanya peningkatan dari kolesterol atau trigliserida akan menyebabkan cairan pleura
berubah menjadi keruh (turbid). Setelah dilakukan proses sentrifugasi, supernatant
empiema menjadi jernih dan berubah menjadi warna kuning, sedangkan jika efusi
disebabkan oleh kilotoraks warnanya tidak akan berubah tetap seperti berawan.
Sedangkan jika dilakukan sentripugasi. Penambahan 1 mL darah pada sejumlah
volume cairan pleura sudah cukup untuk menyababkan perubahan pada warna cairan
menjadi kemerahan yang di sebabkan darah tersebut mengandung 5000-10.000 sel
eritrosit.

59
Efusi pleura yang banyak mengandung darah (100.000 eritrosit/mL) Memicu dugaan
adanya trauma, keganasan atau emboli dari paru. Sedangkan cairan pleura yang
kental dan terdapat darah biasanya disebabakn adanya keganasan. Jika hematocrit
cairan pleura melebihi 50% dari hematocrit dari darah perifer, termasuk dalam
hemotoraks.

Faktor Resiko

Faktor resiko efusi pleura adalah faktor resiko dari penyakit yang mendasari atau
penyebab efusi pleura itu sendiri. Beberapa faktor risiko yang meningkatkan
seseorang mengidap efusi pleura, antara lain:

• Memiliki riwayat tekanan darah tinggi (hipertensi), merokok, mengonsumsi


minuman beralkohol, atau terkena paparan debu asbes.

• Menjalani perawatan atau pengobatan untuk penyakit kanker yang memengaruhi


cara tubuh dalam menahan cairan

• riwayat imunisasi BCG

• riwayat kontak dengan penderita TB

2.2.5 Patofisiologi

60
Patofisiologi efusi pleura didasari ketidakseimbangan antara produksi dan absorpsi
cairan di cavum pleura, sehingga menyebabkan akumulasi cairan pleura, baik berupa
transudat maupun eksudat. Keduanya terbentuk melalui mekanisme yang berbeda,
meskipun tidak jarang cairan pleura

Cairan yang terakumulasi didalam kavum pleura umumnya timbul apabila cairan
yang diproduksi lebih banyak dibandingkan yang diresorbsi. Hal ini bisa disebabkan

61
karena adanya peningkatan tekanan mikrovaskuler paru (contohnya pada kasus gagal
jantung), berkurangnya tekanan onkotik (pada kasus hipoproteinemia), peningkatan
permeabilitas mikrovaskuler, berkurangnya drainage limfatik (pada kasus
limfangitis), atau adanya defek pada diafragma sehingga cairan peritoneal dapat
masuk kedalam kavum pleura. Cairan yang terakumulasi didalam kavum pleura bisa
berupa transudat, eksudat, pus, darah ataupun chyle. Secara radiologi efusi pleura
umumnya akan memberikan gambaran radiologi yang hampir sama sehingga sulit
untuk dibedakan.3 Cairan pleura sebenarnya adalah cairan interseluler pleura parietal.
Oleh karena pleura parietal disuplai oleh sirkulasi sistemik sedangkan tekanan
didalam rongga pleura lebihrendah dibanding atmosfir, gradien tekanan bergerak dari
interselular pleura ke arah rongga pleura.

Ada 6 mekanisme yang bertanggung jawab atas terjadinya penumpukan cairan dalam
rongga pleura, yaitu:

1. Peningkatan tekanan hidrostatik sirkulasi mikrovaskular. Keadaan ini dijumpai


pada gagal jantung kongestif.
2. Turunnya tekanan onkotik sirkulasi mikrovaskular. Keadaan ini terjadi akibat
hipoalbuminemia seperti pada sindroma nefrotik.
3. Turunnya tekanan intra pleura, yang dapat disebabkan oleh atelektasis atau
reseksi paru.
5. Meningkatnya permeabilitas kapiler pleura. Keadaan ini diakibatkan oleh
peradangan pleura, misalnya pada efusi pleura akibat tuberculosis atau penyakit
keganasan.
6. Terhambatnya aliran getah bening akibat tumor atau fibrosis paru
7. Masuknya cairan dari rongga peritoneum akibat asites

2.2.6 Manifestasi Klinis

62
Tanda dan gejala yang ditimbulkan dari efusi pleura yang berdasarkan penyakit yang
mendasarinya.

 Sesak nafas
 Rasa berat pada daerah dada
 Bising jantung yang disebabkan payah jantung
 Lemas yang progresif
 Penurunan berat badan yang disebabkan neoplasma
 Batuk disertai darah pada perokok yang disebabkan Ca bronkus
 Demam subfebril yang disebabkan oleh TB Paru
 Demam mengigil yang disebabkan empyema
 Asites pada penderita serosis hati
 Asites disertai tumor di daerah pelvis yang disebabkan oleh penderita sindrom
meig.

2.2.7 Diagnosis

 Pemindaian dengan foto Rontgen atau CT scan, untuk memeriksa apakah


terjadi penumpukan cairan di paru-paru

 Thoracentesis, untuk mengambil sampel cairan dari rongga dada kemudian


menelitinya di laboratorium

 Tes darah, untuk melihat tanda-tanda infeksi serta memeriksa fungsi ginjal
dan fungsi hati

 Biopsi paru, untuk mendeteksi sel atau jaringan yang tidak normal di paru-
paru

63
 Ekokardiografi, untuk memeriksa kondisi jantung dan mendeteksi gangguan
pada jantung

 Bronkoskopi, untuk memeriksa gangguan di saluran pernapasan

Pemeriksaan pencitraan radiologis

Evaluasi efusi pleura dimulai dari pemeriksaan imejing untuk menilai jumlah
cairan, distribusi dan aksesibilitasnya serta kemungkinan adanya abnormalitas
intratorakal yang berkaitan dengan efusi pleura tersebut.7 Pemeriksaan foto toraks
posteroanterior (PA) dan lateral sampai saat ini masih merupakan yang paling
diperlukan untuk mengetahui adanya efusi pleura pada awal diagnosa. Pada posisi
tegak, akan terlihat akumulasi cairan yang menyebabkan hemitoraks tampak lebih
tinggi, kubah diafragma tampak lebih ke lateral, serta sudut kostofrenikus yang
menjadi tumpul. Untuk foto toraks PA setidaknya butuh 175-250 mL cairan yang
terkumpul sebelumnya agar dapat terlihat di foto toraks PA. Sementara foto toraks
lateral dekubitus dapat mendeteksi efusi pleura dalam jumlah yang lebih kecil yakni 5
mL. jika pada foto lateral dekubitus ditemukan ketebalan efusi 1 cm maka jumlah
cairan telah melebihi 200 cc, ini merupakan kondisi yang memungkinkan untuk
dilakukan Universitas Sumatera Utara torakosentesis. Namun pada efusi loculated
temuan diatas mungkin tidak dijumpai. Pada posisi supine, efusi pleura yang sedang
hingga masif dapat memperlihatkan suatu peningkatan densitas yang homogen yang
menyebar pada bagian bawah paru, selain itu dapat pula terlihat elevasi
hemidiafragma, disposisi kubah diafragma pada daerah lateral. Tomografi komputer
(CT-scan) dengan kontras harus dilakukan pada efusi pleura yang tidak terdiagnosa
jika memang sebelumnya belum pernah dilakukan.

Gambaran radiologi yang penting ditemukan pada efusi pleura adalah


penumpulan sudut kostofrenikus pada foto posteroanterior. Jika foto polos toraks
tidak dapat menggambarkan efusi, diperlukan apencitraan radiologi lain seperti

64
ultrasound dan CT. Efusi yang sangat besar dapat membuat hemitoraks menjadi opak
dan menggeser mediastiunum ke sisi kontralateral. Efusi yang sedemikian masif
umumnya disebabkan oleh keganasan, parapneumonik, empiema, dan tuberkulosis.
Namun apabila mediastinum bergeser ke sisi di mana efusi pleura masif berada, perlu
dipikirkan kejadian obstruksi endobronkial ataupun penekanan akibat tumor.

– Kiri: Foto PA yang Menggambarkan Penumpullan Sudut Kostrofrenikus Kiri;


Kanan: Foto LLD Pasien yang Sama

2.2.8 Tatalaksana

Penatalaksanaan yang utama pada kasus effusi pleura adalah dengan mengurangi
gejala yang ditimbulkan dengan jalan mengeluarkan cairan dari dalam rongga pleura
kemudian mengatasi penyakit yang mendasarinya. Pilihan terapinya bergantung pada
jenis effusi pleura, stadium, dan penyakit yang mendasarinya. Pertama kita harus
menentukan apakah cairan pleura eksudat atau transudat. Penatalaksanaan effusi
pleura dapat berupa aspirasi cairan pleura ataupun pemasangan selang dada. Aspirasi
cairan pleura dilakukan untuk tujuan diagnostic misalnya pada effusi pleura yang
tidak diketahui penyebabnya dan terapeutik yaitu untuk mengevakuasi cairan maupun

65
udara dari rongga pleura ketika pasien tidak sanggup lagi untuk menunggu dilakukan
pemasangan selang dada misalnya pada pasien tension pneumotoraks. Selain aspirasi
cairan pleura dapat juga dilakukan pemasangan selang dada untuk tujuan terapeutik.
Pemasangan selang dada diperlukan jika terjadi gangguan fungsi fisiologis sistem
pernapasan dan kardiovaskular. Selain torakosentesis, prinsip penanganan efusi
pleura adalah dengan mengobati penyakit yang mendasarinya. Tindakan emergensi
diperlukan ketika jumlah cairan effusi tergolong besar, adanya gangguan pernapasan,
ketika fungsi jantung terganggu atau ketika terjadi perdarahan pleura akibat trauma
tidak dapat terkontrol. Drainase rongga pleura juga harus segera dilakukan pada kasus
empiema toraks

a. Pengobatan kausal (pengobatan terhadap penyakit yang mendasari)

b. Thoracosintesis

Thoracocentesis (thoracentesis) atau yang sering juga dikenal sebagai pleural


tap adalah prosedur untuk mengeluarkan cairan dari rongga pleura, misalnya
pada efusi pleura, empiema, atau hemothorax. Normalnya, cairan fisiologis di
rongga pleura hanya terdapat dalam jumlah sedikit. Namun, apabila terjadi
akumulasi cairan dengan volume atau komposisi abnormal, maka kondisi
tersebut bersifat patologis. Indikasi utama thoracocentesis adalah untuk
mengaspirasi cairan dari rongga pleura, baik untuk tujuan diagnostik maupun
terapeutik. Tindakan ini dapat dilakukan untuk tujuan diagnostik ketika etiologi
akumulasi cairan belum diketahui dan dapat dilakukan untuk tujuan terapeutik
bila volume cairan yang berlebih menyebabkan gejala klinis.

Indikasi thoracocentesis (thoracentesis) atau pleural tap adalah untuk


mengaspirasi cairan patologis dari rongga pleura, misalnya pada kasus efusi
pleura, empiema, atau hemothorax. Indikasi ini dapat dibedakan menjadi tujuan
diagnostik atau terapeutik. Thoracocentesis diagnostik dilakukan untuk

66
menganalisis etiologi penyakit, sedangkan thoracocentesis terapeutik dilakukan
untuk mengeluarkan volume cairan yang berlebih.

c. Water Sealed Drainage

Selang dada atau gembok salir air yang dikenal dalam dunia medis sebagai water
sealed drainage (WSD) yaitu tindakan medis bertujuan mengeluarkan cairan atau
udara dari rongga dada melalui selang. Selang dengan air sebagai “katup” ini
memungkinkan pergerakan cairan atau udara keluar dari rongga dada secara satu
arah. Pemasangan selang dada dilakukan pada kondisi seperti akumulasi udara
(pneumotoraks), cairan (efusi pleura), darah (hematotoraks), dan nanah di rongga
pleura (empiema toraks). Kondisi tersebut dapat diketahui berdasarkan keluhan
yang dialami oleh pasien seperti sesak napas, pemeriksaan fisis paru dan
pemeriksaan penunjang seperti foto toraks, ultrasonografi, dan CT-scan dada.

Pemasangan WSD menggunakan bius lokal dapat dilakukan langsung di samping


tempat tidur pasien atau di ruang tindakan. Selang dada dewasa memiliki ukuran
diameter 6,7 hingga 13,3 mm disesuaikan kondisi yang dialami oleh pasien.
Selang dada diinsersikan pada ruang antariga di sisi samping dada dan sampai
menembus rongga dada. Selang lalu dihubungkan ke penampung WSD. Drainase
satu arah ini terjadi karena ada perbedaan tekanan antara rongga dada dan botol
penampung, sehingga cairan yang sudah masuk ke dalam botol penampung tidak
dapat kembali ke rongga dada. Alat WSD ini dipertahankan sampai jumlah

67
cairan atau udara di rongga dada minimal. Pasien dapat bernapas lebih nyaman
setelah dilakukan pemasangan WSD.

Pasien rawat yang telah dipasang WSD dievaluasi berkala selama beberapa hari,
seperti perkembangan keluhan pasien, jumlah cairan atau udara, kemungkinan
kebocoran atau sumbatan di selang dada, serta kemungkinan terjadi komplikasi
pemasangan WSD. Jumlah produksi cairan atau udara terdeteksi berkurang di
dalam penampung menandakan sudah terjadi perbaikan klinis. Apabila sudah
mengalami perbaikan, maka WSD akan dilepas seluruhnya kemudian pasien
dipulangkan untuk rawat jalan.

Komplikasi yang sering terjadi akibat pemasangan WSD adalah nyeri pada lokasi
insersi. Sedangkan komplikasi yang jarang terjadi (<5% kasus) yaitu perdarahan,
infeksi di lokasi insersi, terdapat udara bebas di bawah kulit (emfisema subkutis),
malposisi selang dada, cedera organ atau saraf, dan edema paru terjadi akibat
pengembangan paru kolaps secara cepat. Risiko infeksi dapat dikurangi dengan
cara melakukan perawatan luka secara rutin dan menjaga kebersihan sekitar
lokasi insersi.

d. Pleurodosis

Pleurodesis adalah penyatuan pleura viseralis dengan parietalis baik secara


kimiawi, mineral ataupun mekanik, secara permanen untuk mencegah akumulasi
cairan maupun udara dalam rongga pleura. Tindakan tersebut umumnya
diindikasikan untuk efusi pleura maligna dan pneumotoraks spontan. TIdak ada
kontraindikasi absolut untuk pleurodesis, namun perlu dipertimbangkan

68
kemungkinan tingkat keberhasilan prosedur serta risikonya agar pasien mendapat
manfaat optimal dari tindakan ini. Pemilihan teknik yang tepat, agen sklerosis,
kriteria pemilihan pasien merupakan hal yang sering diperdebatkan serta
menentukan keberhasilan tindakan. Telah dikenal banyak macam agen sklerosis
seperti tetrasiklin, doksisiklin, minosiklin, bleomisin, kuinakrin, dan darah pasien
sendiri namun yang sering digunakan adalah talk karena murah, cukup efektif,
serta komplikasi yang minimal. Pleurodesis menggunakan talk tidak
membutuhkan anestesia umum maupun intubasi trakea. Sebelum prosedur, perlu
dilakukan evaluasi pasien meliputifoto toraks, bronkoskopi bila memungkinkan,
anamnesis dan pemeriksaan fisik ulang, menilai kembali hasillaboratorium, serta
insersi chest tube bila belum terpasang. Talk dimasukkan ke rongga pleura
melalui chest tube dan pasien diminta bernapas beberapa kali agar larutan talk
tertarik ke rongga pleura. Setelah prosedur, perlu dilakukan foto toraks dan
pemantauan tanda vital, drainase chest tube harian, kebocoran udara, serta
kontrol nyeri. Komplikasi yang mungkin timbul meliputi nyeri, takikardia,
takipnea, pneumonitis, demam, ekspansi paru inkomplit, serta reaksi alergi.

e. Tindakan bedah (chest tube thoracoscomy)

Operasi dapat dilakukan bila metode pengeluaran cairan dari rongga pleura
tersebut tidak efektif. Operasi dilakukan dengan mengangkat jaringan pada
rongga dada yang diduga menyebabkan efusi pleura. Ada dua metode operasi
yang bisa dilakukan, yaitu torakoskopi atau torakotomi. CTT adalah prosedur
yang dilakukan untuk mengalirkan cairan, darah, atau udara dari ruang di sekitar
paru-paru. Prosedur ini dapat dilakukan ketika pasien memiliki penyakit, seperti
pneumonia atau kanker, yang menyebabkan cairan ekstra menumpuk di ruang di
sekitar paru-paru (disebut efusi pleura). ctt mungkin juga diperlukan bila pasien
mengalami cedera parah pada dinding dada atau pembedahan yang menyebabkan

69
perdarahan di sekitar paru-paru (disebut hemotoraks). Kadang-kadang, paru-paru
pasien dapat tertusuk secara tidak sengaja, memungkinkan udara berkumpul di
luar paru-paru, menyebabkan keruntuhannya (disebut pneumotoraks).

Ctt melibatkan menempatkan tabung plastik berongga antara tulang rusuk dan ke
dalam dada untuk mengalirkan cairan atau udara dari sekitar paru-paru. Tabung
sering dihubungkan ke mesin pengisap untuk membantu drainase.

Selang tetap berada di dada sampai semua atau sebagian besar udara atau cairan
terkuras, biasanya dalam beberapa hari. Kadang-kadang obat khusus diberikan
melalui selang dada ketika cairan atau udara tidak hilang dalam beberapa hari

2.2.9 Komplikasi

Efusi pleura yang dibiarkan tanpa penanganan dapat menyebabkan kondisi berikut
ini:

 Atelektasis, yang terjadi ketika alveolus tidak terisi udara dan menyebabkan
kerusakan paru.

 Empiema, yaitu menumpuknya nanah di rongga pleura.

 Pneumothorax akibat penumpukan udara pada rongga pleura.

 Penebalan pleura dan munculnya jaringan parut di lapisan paru-paru.

 Komplikasi Thoracocentesis

Komplikasi yang paling umum terjadi pada thoracocentesis atau pleural tap adalah
pneumothorax. Selain itu, dapat terjadi reakumulasi cairan, nyeri, perdarahan,
infeksi, dan edema paru. Edema paru biasanya terjadi akibat aspirasi cairan yang

70
terlalu banyak atau terlalu cepat. Oleh karena itu, aspirasi biasanya disarankan tidak
melebihi 1.5 liter per kali.

Komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah hemothorax, cedera neurovaskular,


cedera diafragma, dan cedera organ seperti hepar dan lien bila pungsi terlalu rendah.
Pada kasus keganasan, ada risiko seeding tumor saat jarum bergerak masuk ke
dalam rongga pleura. Pada kasus infeksi (misalnya abses dinding dada), ada risiko
seeding infeksi ke rongga pleura yang menimbulkan empiema.

Perdarahan paling sering disebabkan oleh laserasi arteri interkostal posterior.


Karena itu, titik penusukan harus dilakukan tepat di atas tulang iga untuk mencegah
cedera arteri interkostal posterior tersebut.

2.2.10 Prognosis

Prognosis efusi pleura bervariasi dan bergantung dari etiologi yang


mendasarinya, derajat keparahan saat pasien masuk, serta analisa biokimia cairan
pleura. Namun demikian, pasien yang lebih dini memiliki kemungkinan lebih
Universitas Sumatera Utara rendah untuk terjadinya komplikasi. Pasien pneumonia
yang disertai dengan efusi memiliki prognosa yang lebih buruk ketimbang pasien
dengan pneumonia saja. Namun begitupun, jika efusi parapneumonia ditangani
secara cepat dan tepat, biasanya akan sembuh tanpa sekuele yang signifikan. Namun
jika tidak ditangani dengan tepat, dapat berlanjut menjadi empiema, fibrosis
konstriktiva hingga sepsis. Efusi pleura maligna merupakan pertanda prognosis
yang sangat buruk, dengan median harapan hidup 4 bulan dan rerata harapan hidup
1 tahun. Pada pria hal ini paling sering disebabkan oleh keganasan paru, sedangkan
pada wanita lebih sering karena keganasan pada payudara. Median angka harapan
hidup adalah 3-12 bulan bergantung dari jenis keganasannya. Efusi yang lebih

71
respon terhadap kemoterapi seperti limfoma dan kanker payudara memiliki harapan
hidup yang lebih baik dibandingkan kanker paru dan mesotelioma. Analisa sel dan
analisa biokimia cairan pleura juga dapat menentukan prognosa. Misalnya cairan
pleura dengan pH yang lebih rendah biasanya berkaitan dengan massa keadaan
tumor yang lebih berat dan prognosa yang lebih buruk

72
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Tatalaksana


Tuberkuloasis. Jakarta: Kemenkes RI; 2020.

2. Kementerian Kesehatan RI 2018. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2017.


Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.

3. World Health Organization (WHO). Global Tuberculosis Report 2021. 2021


October. 

4. Astrianty D, Husein SG, Mentari RJ. Karakterisasi bakteri Mycobacterium


tuberculosis menggunakan spektrofotometri fourier transform infrared.
Indones J Pharm Sci Technol. 2017;6(2):13–21.

5. Mar’iyah K, Zulkarnain. Patofisiologi penyakit infeksi tuberkulosis.


2021;7(November):88–92.

6. Loscalzo J. Harrisons Pumonary and Critical Care Medicine. New York: Mc


Graw Hill; 2015.

7. Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Loscalzo J. Harrisons Manual

of Interna Medicine 20th Edition. New York: Mc Graw Hill; 2020.

8. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
2011.
9. Rasjid R. Patofisiologi dan Diagnostik Tuberkulosis Paru. Dalam: Yusuf A,
Tjokronegoro A. Tuberkulosis Paru Pedoman Penataan Diagnostik dan
Terapi. Jakarta.Balai penerbit FKUI;1985: 1-11.

73
10. Amiruddin L. Pemeriksaan Tes Tuberkulin. Makassar: Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin; 2017.

11. Amin Z, Bahar A. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Tuberkulosis. Jakarta:
InternaPublishing; 2016.

12. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Ikatan Dokter Indonesia.


Panduan tatalaksana tuberkulosis sesuai ISTC dengan strategi DOTS untuk
dokter praktik swasta. Jakarta: Depkes RI, IDI; 2010.

13. Greenwood D, Slack R, Peutherer J, Barer M. Medical microbiology: a guide


to microbial infections: pathogenesis, immunity, laboratory diagnosis and
control. Edisi ke-17. UK: Churchill Livingstone; 2007.

14. Rasjid R. Patofisiologi dan Diagnostik Tuberkulosis Paru. Dalam: Yusuf A,


Tjokronegoro A. Tuberkulosis Paru Pedoman Penataan Diagnostik dan
Terapi. Jakarta.Balai penerbit FKUI;1985: 1-11.

74
75

Anda mungkin juga menyukai