Makalah disusun sebagai salah satu tugas Mata Kuliah Ulumul Qur’an
FAKULTAS TARBIYAH
Alhamdulillah, Puji syukur kepada Allah Swt., kami panjatkan atas limpahan Rahmat,
Hidayah serta Inayah-Nya, kami bisa menyelesaikan karya Ilmiyah berupa makalah yang
singkatdan sederhana ini. Shalawat serta salam mudah-mudahan tetap tercurah kepada
junjungan kita Nabi akhir zaman, penolong umat, yaitu Baginda Muhammad Saw. yang telah
menunjukkan kita kepada jalan hidup lurus yang di ridhoi oleh Allah Swt. dengan ajarannya
agama Islam.
Makalah ini dibuat dalam rangka untuk memenuhi tugas dari Ibu Dosen Mata Kuliah
Filsafat Ilmu Pendidikan dengan judul Pandangan Islam Tentang Pendidik, FakultasTarbiyah
Program Studi Pendidikan AgamaIslam (PAI) Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta. Dalam
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Dosen Pengampu Ibu Dr. Esi Hairani M.Pd. yang selalu kami harapkan keberkahannya dan
semua pihak yang telahmembantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini masih belum sempurna, untuk itu perlu masukan dari semua pihak
terutama Ibu Dr. Esi Hairani M.Pd. dan teman-teman Mahasiswi lainnya. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi penyusun sendiri umumnya para
pembaca makalah ini, apabila ada kekurangan dalam penulisan makalah ini Penulis mohon
maaf yang sebesar-besarnya. Terima kasih.
Penulis
i
ii
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
1. Apa pandangan islam tentang pendidikan?
2. Apa tujuan pendidikan islam?
3. Apa saja konsep kepribadian muslim dan indikator-indikatornya?
4. Apa saja konsep pendidikan nasional Pancasila?
C. Tujuan Masalah
1. Mahasiswa dapat mengetahui pandangan islam tentang pendidikan.
2. Mahasiswa dapat mengetahui tujuan pendidikan islam .
3. Mahasiswa dapat mengetahui kepribadian muslim serta indikatornya.
4. Mahasiswa dapat mengetahui konsep pendidikan nasional Pancasila.
1
BAB II
PEMBAHASAN
1
Musthafa al-Maraghiy, Tafsir al-Maraghiy, (Bairut: Dar al-Fikr, tt), Juz I, hlm. 30
2
Muhammad Athiyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah Islamiyah, cet.3, (Dar al-Fikr al-Arabi, tt), hlm. 100.
3
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1962), hlm 131
2
3
ِ ي رفَ ِع هاّلل الَّ ِذين اهمنُوا ِمْن ُكمۙ والَّ ِذين اُوتُوا الْعِْلم در هجتۙ و ه
اّللُ ِبَا تَ ْع َملُ ْو َن َخبِ ْير
َٰ ََ َ ْ َ ْ َ ْ ْ َ َ ْ ُٰ ْ َ
“… Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah maha mengetahuai apa yang kamu kerjakan”.
(QS. Al-Mujadalah: 11).
Dari sini bisa disimpulkan bahwa Islam begitu menghargai sebuah sistem yang
namanya pendidikan dan orang-orang yang aktif di dalamnya. Akan tetapi yang perlu
difikirkan untuk menyadari bersama bahwa, secara tidak langsung diberi 2 pilihan
oleh Allah SWT. Pertama, menjadi mulia, yaitu dengan menjadi orang yang
berpendidikan. Kedua, menjadi orang yang biasa-biasa saja yang berhak memilih dan
harus menerima semua konsekuensinya. Istilah “pendidikan” dalam pendidikan Islam
disebut al- ta’lim. Al-Ta’lim biasanya diterjemahkan dengan “pengajaran”. Ia kadang-
kadang disebut dengan al-ta’dib. Al-ta’dib secara etimologi diterjemahkan dengan
perjamuan makan atau 9 pendidikan sopan santun.4
Sedangkan al-Ghazali menyebut “pendidikan” dengan sebutan al-riyadhat. Al-
riyadhat dalam arti bahasa diterjermahkan dengan olah raga atau pelatihan. Term ini
dikhususkan untuk pendidikan masa kanak-kanak, sehingga al-Ghazali menyebutnya
dengan riyadha as-shibyan. Menurut mu’jam (Kamus) kebahasaan, kata al-tarbiyat
memiliki tiga akar kebahasaan,5 yaitu : 1. Tarbiyah-Yarbuu-Rabba : yang memiliki
arti tambah (zad) dan berkembang (nama). Pengertian ini didasarkan atas Q.S. al-Rum
ayat 39. 2. Yurabbi-Tarbiyah-Rabbi : yang memiliki arti tumbuh (nasya’) dan menjadi
besar (tara ra’a). 3. Tarbiyah-Yurabbi-Rabba : yang memiliki arti memperbaiki
(ashalaha), menguasai urusan, memelihara, merawat, menunaikan, memperindah,
4
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: YP3A, 1987), hlm. 149.
5
Ibnu Manzhur, Abiy al-Fadhl al-Din Muhammad Mukarram, Lisan al-Arab, (Bairut: Dar alAhya’, tt),
Jilid V, hlm. 94-96.
4
memberi makan, mengasuh, tuan, memiliki, mengatur dan menjaga kelestarian dan
eksistensinya.6
6
Karim al-Bastani, dkk, Al-Munjid fi Lughat wa ‘Alam, (Bairut: Dar al-Masyriq, 1975), hlm. 243-244.
7
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h.29.
8
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 2002), h.75.
9
KH. Kahar Masyhur, Bulughul Maram, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h.43.
5
Kata “kuat” dalam hadits di atas dapat diartikan dengan kuat secara jasmani
sesuai dengan firman Allah :
اْلِ ْس ِم
ْ اصطََفاهُ َعلَْی ُك ْم َوَز َادهُ بَ ْسطَةً ِِف الْعِْل ِم َو َّ إِ َّن
ْ َاّلل
“Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas
dan tubuh yang kuat perkasa” Q.S. Al-Baqarah: 247.
Dalam ayat di atas dikisahkan bahwa Talut dipilih oleh Allah menjadi raja
karena pandai dan kuat tubuhnya untuk melawan Djalut yang terkenal berbadan
besar seperti raksasa, namun Talut dapat mengalahkannya dengan perantaraan
Daud yang melemparkan bandilnya dengan pertolongan Allah dapat merobohkan
tubuh Djalut hingga tewas.
Jadi tujuan pendidikan Islam adalah untuk membentuk manusia muslim yang
sehat dan kuat jasmaninya serta memiliki keterampilan yang tinggi.10
10
H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h.229.
11
Muhammad Qutb, Manhaj al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Kairo: Dar al-Qalam, 1967), h.13-50.
6
12
Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Islam Berdasarkan Al-Qur’an, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1990), h.142.
13
H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1991), h.233.
7
14
Ag. Sujono, Pendahuluan Pendidikan Islam, (Bandung: CV. Bina Ilmu, tt),
15
Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005),
hlm. 156
8
dari orang atau bangsa lain. Dalam pengertian umum, kepribadian dipahami sebagai
sikap pribadi atau ciri khas yang dimiliki seseorang atau bangsa.
Menurut istilah kepribadian merupakan karakteristik atau gaya dan sifat khas
yang ada pada diri seseorang dengan merujuk pada bagaimana individu tersebut
tampil dan menimbulkan kesan bagi individu lainnya. Setiap manusia memiliki
persona, karena suatu inidvidu itu berbudi dan berkehendak sekurang-kurangnya
memiliki potensi. Persona ini disebut juga dengan pribadi. Pribadi ini berkembang
sehingga budinya pun berkembang.16
Dari beberapa keterangan tersebut di atas jelaslah bahwa kepribadian
merupakan bagian dari proses kehidupan seseorang. Kepribadian itu dapat
ditunjukkan melalui perilaku. Perilaku merupakan hasil interaksi antara karakteristik
kepribadian dan kondisi sosial serta kondisi fisik lingkungan. Jadi kepribadian akan
mempengaruhi perilaku. Oleh karena itu proses yang diawali masing-masing orang itu
berbeda, maka masing-masing inidividu juga berbeda-beda.
Pribadi muslim merupakan pribadi sosial yang luhur, yang dibangun diatas
masyarakat besar yang berakhlak mulia. Padanya terdapat tuntutan agama yang hanif,
lurus bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis. Ia berdiri kukuh dalam undang-undang
agama, mengarahkan manusia pada cita-cita moral yang luhur. Pribadi seperti itu
telah Allah berikan seperti contoh akhlak Nabi Muhammad SAW, sebagai manusia
yang mempunyai akhlak yang luhurcerminan kepribadian muslim.
Muslim berarti orang Islam, orang berIslam adalah orang yang menyerah,
tunduk, patuh, berperilaku baik, agar hidupnya bersih lahir batinnya sehingga pada
gilirannya akan mendapatkan keselamatan hidup di dunia dan di akhirat. Kepribadian
muslim sebagaimana yang ditulis dalam definisi operasional adalah identitas yang
dimiliki seseorang sebagai ciri khas dari keseluruhan tingkah laku sebagai muslim,
baik yang ditampilkan dalam tingkah laku secara lahiriyah maupun batiniyah.
Tingkah laku lahiryah seperti cara berhadapan dengan teman, orang tua dan guru.
Sedangkan tingkah laku secara batiniyah seperti sabar, tekun, disiplin, toleran, jujur,
amanat, ikhlas, dan berbagai sikap dan perilaku terpuji lainnya sebagaimana tercermin
dari sifat Akhlak Al-Karimah. Sikap-sikap tersebut timbul dari dorongan batin yang
merupakan tampilan dari sikap dan perilaku seorang hamba yang bertakwa.17
16
Syarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak Peran Moral Intelektual Emotional Dan Sosial
Sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 218
17
Jalaludin, Teologi Pendidikan,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.194
9
18
Hamka, Pribadi Hebat, (Jakarta: Gema Insani, 2014), hlm. 130-134.
10
19
Muhammad „Ali Hasyimi, Membentuk Pribadi Muslim Ideal Menurut Al-Qur‟an & As-
Sunnah, (Jakarta: Al-I‟tishom, 2019), hlm. 196-197.
20
Abdul Mun‟im al-hasyimi, Akhlak Rasul Menurut Bukhari & Muslim, (Jakarta: Gema
11
23
Abdul Mun‟im al-hasyimi, Akhlak Rasul Menurut Bukhari & Muslim, (Jakarta: Gema
Insani, 2014). Hlm. 52.
24
Abdul Mun‟im al-hasyimi, Akhlak Rasul Menurut Bukhari & Muslim, (Jakarta: Gema
Insani, 2014). Hlm. 52-53.
13
25
Abdul Mun‟im al-hasyimi, Akhlak Rasul Menurut Bukhari & Muslim, (Jakarta: Gema
Insani, 2014). Hlm. 49.
26
Hamka, Pribadi Hebat, (Jakarta: Gema Insani, 2014), hlm. 140.
14
Amalan yang karena rindu masuk surga dan takut masuk neraka itu,
lebih tinggi derajatnya daripada amalan karena mencari pujian manusia. Tetapi
amalan ini masih jauh lebih rendah dari ikhlas yang sejati. Orang ikhlas yang
sejati, beramal tidaklah mengharapkan upah, sebab hubungannya dengan
Tuhannya bukanlah hubungan antara buruh dengan majikan. Tetapi hubungan
hamba dengan Tuhan. Pekerjaan yang dikerjakan hamba, bukanlah pekerjaan
Tuhan dan bukan kembali manfaatnya kepada Tuhan, tetapi berpulang
manfaatnya kepada hamba itu sendiri. Sebab itu, maka hamba yang ikhlas itu
mengikuti perintah Tuhan, Tuhan memerintahkan supaya bekerja baik, untuk
kemaslahatan dirinya sendiri.27
Tidaklah sempurna ikhlas orang yang mengharap surga di dalam
amalannya dan takut akan neraka. Padahal kita bekerja menjunjung tinggi
perintah Tuhan bukanlah lantaran mengharap akan laba. Kita wajib beribadah
kepada-Nya, akal kita yang waras yang telah membisikkan bahwa memang
wajib kita beribadah kepada-Nya. Sebab tidak terbalas oleh kita jasa ihsan-
Nya kepada diri kita. Banyak benar pemberian-Nya tidak terhitung
jumlahnya.28
Orang yang ikhlas berani mengakui kebenaran jika nyata kepadanya
bahwa jalan yang ditempuhnya salah. Saad Zaglul Pasya berkata, “Kita di sini
bermusyawarah mencari yang benar. Kita berkumpul di sini bukan
mempertahankan diri kita, melainkan mempertahankan kebenaran.”
Ikhlas dapat dilatih dengan cara berhati-hati memilih perkataan yang
akan dikeluarkan sebagaimana berhati-hati menyisihkan uang yang palsu
dengan uang yang asli. Berhati-hati menyusun pikiran, sebab pikiran yang
tersusun akan dikeluarkan dengan perantara kata-kata.29
c. Bersemangat
Semangat yang berapi-api adalah sebagian dari sikap berani, yang
timbul karena dorongan percaya atas kekuatan diri sendiri. Namun, jika
semata-mata bersemangat saja, pengetahuan tentang hal yang akan dihadapi
tidak ada, tidak akan berhasil. Sebab itu meskipun semangat berapi-api,
27
Hamka, Lembaga Budi, (Jakarta: Republika Penerbit, 2018), hlm. 5-6.
28
Hamka, Lembaga Budi, (Jakarta: Republika Penerbit, 2018), hlm. 7
29
Hamka, Pribadi Hebat, (Jakarta: Gema Insani, 2014), hlm. 145-146.
15
janganlah berjalan dalam gelap gulita malam dengan tiada bersuluh, suluhnya
adalah kekuatan kepercayaan, ilmu dan pikiran.
Prof. Dr. Hamka memaparkan, bahwa pendidik berkewajiban
membangkitkan semangat pada anak-anak yang dididiknya. Anak-anak harus
digembirakan dan jangkan dipangkas pucuknya yang akan tumbuh. Jangan
selalu dipatahkan. Apa pun pekerjaan yang dikerjakannya dengan gembira,
asalkan jangan melarat, janganlah dilarang, tetapi sambut dan tuntunlah.
Dari pernyataan Prof. Dr. Hamka, dapat disimpulkan bahwa pendidik
mempunyai peran dalam menumbuhkan semangat anak-anak serta
membimbing dan mengarahkan apa yang dicita-citakan anak-anak. Karena
semangat yang besar karena cita-cita yang besar tidaklah bergantung kepada
umur.
d. Berperasaan Halus
Kehalusan perasaan adalah hasil pribadi yang kuat. Setengah karena
diwarisi dan setengahnya karena luas pergulan, banyak pengalaman, dan
banyak melihat negeri orang lain sehingga dapat membandingkan dengan
masyarakat dan lingkungan orang lain. Dia dapat menghargai orang lain dalam
pendiriannya karena ia mengetahui pokok pangkal yang menjadi sebab
pendirian itu meskipun pada dasarnya dia tidak menyetujuinya.
Dalam buku ini prof. Dr. Hamka menganjurkan untuk halus perasaan,
namun sifat “lekas perasa angina” sangat berbahaya pula. Terlalu sentiment
sangat besar celakanya. Karena dengan demikian, kita akan merasa canggung
bergaul dengan orang lain. Halus perasaan yang seperti ini tidak menegakkan
pribadi, melainkan meruntuhkannya.
30
Drs. Syamsir, M.Si., Ph.D, pendidikan pancasila untuk perguruan tinngi ( Palembang, 2017), hal.
13-15.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
pendidikan Islam adalah suatu proses edukatif yang mengarah kepada pembentukan
akhlak atau kepribadian. Dalam sebuah Hadist berbunyi “Menuntut ilmu wajib atas tiap
muslim (baik muslimin maupun muslimah)”. (HR. Ibnu Majah). Islam begitu menganggap
penting terhadap Ilmu Pengetahuan. Dalam Islam, kedudukan orang yang berpendidikan,
terutama pendidikan agama, sangat dimuliakan. Bisa juga dilihat sendiri di masyarakat
bagaimana kalangan guru dan ustad mendapat prilaku baik dari lingkungan sekitar.
Dalam Ilmu Pendidikan juga terdapat tujuan -tujuan tertentu, dintaranya yaitu: tujuan
jasmaniyah, tujuan rohaniyah, tujuan aqliyah. Dan tujuan ijtimaiyah.
Pribadi muslim merupakan pribadi sosial yang luhur, yang dibangun diatas masyarakat
besar yang berakhlak mulia. Padanya terdapat tuntutan agama yang hanif, lurus bersumber
dari Al-Qur’an dan Hadis. Ia berdiri kukuh dalam undang-undang agama, mengarahkan
manusia pada cita-cita moral yang luhur.
18
DAFTAR PUSTAKA
19