Anda di halaman 1dari 22

PANDANGAN ISLAM TENTANG PENDIDIKAN

Makalah disusun sebagai salah satu tugas Mata Kuliah Ulumul Qur’an

Dosen Pengampu: Dr. Esi Hairani M.Pd.

Disusun Oleh :Kelompok 11

Anisa Noviananda : 20312275

Anti Isnaeni : 20312278

FAKULTAS TARBIYAH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

INSTITUT ILMU Al-QUR`AN (IIQ) JAKARTA

TAHUN AKADEMIK 2020/2021


KATA PENGANTAR
‫الر ِحي ِْم‬
َّ ‫الرحْ َم ِن‬
َّ ‫هللا‬
ِ ‫ــــــــــــــــــم‬
ِ ‫س‬ْ ‫ِب‬

Alhamdulillah, Puji syukur kepada Allah Swt., kami panjatkan atas limpahan Rahmat,
Hidayah serta Inayah-Nya, kami bisa menyelesaikan karya Ilmiyah berupa makalah yang
singkatdan sederhana ini. Shalawat serta salam mudah-mudahan tetap tercurah kepada
junjungan kita Nabi akhir zaman, penolong umat, yaitu Baginda Muhammad Saw. yang telah
menunjukkan kita kepada jalan hidup lurus yang di ridhoi oleh Allah Swt. dengan ajarannya
agama Islam.
Makalah ini dibuat dalam rangka untuk memenuhi tugas dari Ibu Dosen Mata Kuliah
Filsafat Ilmu Pendidikan dengan judul Pandangan Islam Tentang Pendidik, FakultasTarbiyah
Program Studi Pendidikan AgamaIslam (PAI) Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta. Dalam
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Dosen Pengampu Ibu Dr. Esi Hairani M.Pd. yang selalu kami harapkan keberkahannya dan
semua pihak yang telahmembantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini masih belum sempurna, untuk itu perlu masukan dari semua pihak
terutama Ibu Dr. Esi Hairani M.Pd. dan teman-teman Mahasiswi lainnya. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi penyusun sendiri umumnya para
pembaca makalah ini, apabila ada kekurangan dalam penulisan makalah ini Penulis mohon
maaf yang sebesar-besarnya. Terima kasih.

Tangerang, 27 September 2021

Penulis

i
ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................. i


DAFTAR ISI........................................................................................................................................... ii
BAB I ...................................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah................................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................................................... 1
C. Tujuan Masalah .............................................................................................................................. 1
BAB II..................................................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN ..................................................................................................................................... 2
A. Pandangan Islam Tentang Pendidikan ........................................................................................ 2
B. Tujuan Pendidikan Islam ............................................................................................................ 4
1. Tujuan Jasmaniyah (Ahdaf al-Jismiyyah)............................................................................... 4
2. Tujuan Rohaniah (Ahdaf al-Ruhiyah)..................................................................................... 5
3. Tujuan Aqliyah (Ahdaf al-Aqliyyah) ...................................................................................... 6
4. Tujuan Ijtima’iyah (Ahdaf al-Ijtima’iyyah) ............................................................................ 6
C. Konsep Kepribadian Muslim dan Indikator-Indikatornya .......................................................... 7
D. Konsep Pendidikan Nasional Pancasila .................................................................................... 15
BAB III ................................................................................................................................................. 18
PENUTUP ............................................................................................................................................ 18
A. Kesimpulan .................................................................................................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 19

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Menurut Langgulung pendidikan Islam
tercakup dalam delapan pengertian, yaitu At-Tarbiyyah Ad-Din (Pendidikan keagamaan),
At-Ta’lim fil Islamy (pengajaran keislaman), Tarbiyyah Al-Muslimin (Pendidikan orang-
orang islam), At-tarbiyyah fil Islam (Pendidikan dalam islam), At-Tarbiyyah ‘inda
Muslimin (pendidikan dikalangan Orang-orang Islam), dan At-Tarbiyyah Al-Islamiyyah
(Pendidikan Islami). Arti pendidikan Islam itu sendiri adalah pendidikan yang berdasarkan
Islam. Isi ilmu adalah teori. Isi ilmu bumi adalah teori tentang bumi. Maka isi Ilmu
pendidikan adalah teori-teori tentang pendidikan, Ilmu pendidikan Islam secara lengkap isi
suatu ilmu bukanlah hanya teori.

Hakikat manusia menurut Islam adalah makhluk (ciptaan) Tuhan, hakikat


wujudnya bahwa manusia adalah mahkluk yang perkembangannya dipengaruhi oleh
pembawaan dan lingkungan. Manusia sempurna menurut Islam adalah jasmani yang sehat
serta kuat dan Berketerampilan, cerdas serta pandai. Tujuan umum pendidikan Islam ialah
terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah
menjadikan seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah. Yang dimaksud
menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pandangan islam tentang pendidikan?
2. Apa tujuan pendidikan islam?
3. Apa saja konsep kepribadian muslim dan indikator-indikatornya?
4. Apa saja konsep pendidikan nasional Pancasila?

C. Tujuan Masalah
1. Mahasiswa dapat mengetahui pandangan islam tentang pendidikan.
2. Mahasiswa dapat mengetahui tujuan pendidikan islam .
3. Mahasiswa dapat mengetahui kepribadian muslim serta indikatornya.
4. Mahasiswa dapat mengetahui konsep pendidikan nasional Pancasila.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pandangan Islam Tentang Pendidikan


Pengertian Pendidikan islam menurut para ahli
maka istilah pendidikan Islam disebut Tarbiyah Islamiyah. Sedangkan secara
terminologi ada beberapa istilah tentang pendidikan Islam diantaranya : Musthtafa al-
Maraghiy membagi kegiatan al-tarbiyat dengan dua macam. Pertama, tarbiyat
khalqiyat, yaitu penciptaan, pembinaan dan pengembangan jasmani peserta didik agar
dapat dijadikan sebagai sarana bagi pengembangan jiwanya. Kedua, tarbiyat diniyat
tahzibiyat, yaitu pembinaan jiwa manusia dan kesempurnaannya melalui petunjuk
wahyu Ilahi.1
Berdasarkan pembagian, maka ruang lingkup al-tarbiyat mencankup berbagai
kebutuhan manusia, baik kebutuhan dunia dan akhirat, serta kebutuhan terhadap
kelestarian diri sendiri, sesamanya, alam lingkungan dan relasinya dengan Tuhan. Al-
Abrasyi memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam adalah mempersiapkan
manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, tetap
jasmaninya, sempurna budi pekertinya (akhlaknya), teratur pikirannya, halus
perasaannya, mahir dalam pekerjaannya, manis tutur katanya baik dengan lisan atau
tulisan.2 Sedangkan menurut Ahmad D. Marimba, bahwa pendidikan Islam adalah
bimbingan jasmani dan rohani menuju kepada terbentuknya kepribadian utama
menurut ukuran-ukuran Islam.3 Dengan memperhatikan kedua definisi di atas maka
berarti pendidikan Islam adalah suatu proses edukatif yang mengarah kepada
pembentukan akhlak atau kepribadian.
Sebagaimana yang sudah diketahui bersama Islam sangat menekankan umatnya
untuk belajar dan tahu (berpendidikan). Hal itu bisa di buktikan dengan banyaknya
seruan-seruan untuk belajar yang dapat ditemui baik di dalam Al-Qur’an, Hadist
maupun ibarah-ibarah dari para Ulama pendahulu. “Menuntut ilmu wajib atas tiap
muslim (baik muslimin maupun muslimah)”. (HR. Ibnu Majah). Islam begitu
menganggap penting terhadap Ilmu Pengetahuan). Dalam Islam, kedudukan orang
yang berpendidikan, terutama pendidikan agama, sangat dimuliakan. Bisa juga dilihat

1
Musthafa al-Maraghiy, Tafsir al-Maraghiy, (Bairut: Dar al-Fikr, tt), Juz I, hlm. 30
2
Muhammad Athiyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah Islamiyah, cet.3, (Dar al-Fikr al-Arabi, tt), hlm. 100.
3
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1962), hlm 131

2
3

sendiri di kalangan masyarakat, bagaimana seorang guru atau ustadz mendapatkan


posisi yang cukup bergengsi. Lebih- lebih jika orang tersebut menyandang gelar
Profesor atau Doktor (Ilmu Umum) dan Kiai (Ilmu Agama), maka dia akan dihormati
oleh setiap lapisan masyarakat bahkan pejabat pemerintah sekalipun.
Dalam al-Qur’an, Allah SWT pun telah berfirman mengenai kedudukan orang
yang berpendidikan,dalam Q.S. Al-Mujadalah ayat 11 yang berbunyi:

ِ ‫ي رفَ ِع هاّلل الَّ ِذين اهمنُوا ِمْن ُكمۙ والَّ ِذين اُوتُوا الْعِْلم در هجتۙ و ه‬
‫اّللُ ِبَا تَ ْع َملُ ْو َن َخبِ ْير‬
َٰ ََ َ ْ َ ْ َ ْ ْ َ َ ْ ُٰ ْ َ
“… Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah maha mengetahuai apa yang kamu kerjakan”.
(QS. Al-Mujadalah: 11).

Dari sini bisa disimpulkan bahwa Islam begitu menghargai sebuah sistem yang
namanya pendidikan dan orang-orang yang aktif di dalamnya. Akan tetapi yang perlu
difikirkan untuk menyadari bersama bahwa, secara tidak langsung diberi 2 pilihan
oleh Allah SWT. Pertama, menjadi mulia, yaitu dengan menjadi orang yang
berpendidikan. Kedua, menjadi orang yang biasa-biasa saja yang berhak memilih dan
harus menerima semua konsekuensinya. Istilah “pendidikan” dalam pendidikan Islam
disebut al- ta’lim. Al-Ta’lim biasanya diterjemahkan dengan “pengajaran”. Ia kadang-
kadang disebut dengan al-ta’dib. Al-ta’dib secara etimologi diterjemahkan dengan
perjamuan makan atau 9 pendidikan sopan santun.4
Sedangkan al-Ghazali menyebut “pendidikan” dengan sebutan al-riyadhat. Al-
riyadhat dalam arti bahasa diterjermahkan dengan olah raga atau pelatihan. Term ini
dikhususkan untuk pendidikan masa kanak-kanak, sehingga al-Ghazali menyebutnya
dengan riyadha as-shibyan. Menurut mu’jam (Kamus) kebahasaan, kata al-tarbiyat
memiliki tiga akar kebahasaan,5 yaitu : 1. Tarbiyah-Yarbuu-Rabba : yang memiliki
arti tambah (zad) dan berkembang (nama). Pengertian ini didasarkan atas Q.S. al-Rum
ayat 39. 2. Yurabbi-Tarbiyah-Rabbi : yang memiliki arti tumbuh (nasya’) dan menjadi
besar (tara ra’a). 3. Tarbiyah-Yurabbi-Rabba : yang memiliki arti memperbaiki
(ashalaha), menguasai urusan, memelihara, merawat, menunaikan, memperindah,

4
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: YP3A, 1987), hlm. 149.
5
Ibnu Manzhur, Abiy al-Fadhl al-Din Muhammad Mukarram, Lisan al-Arab, (Bairut: Dar alAhya’, tt),
Jilid V, hlm. 94-96.
4

memberi makan, mengasuh, tuan, memiliki, mengatur dan menjaga kelestarian dan
eksistensinya.6

B. Tujuan Pendidikan Islam


Zakiah Daradjat berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuan adalah
sesuatu yang diharapkan tercapai setelah suatu usaha atau kegiatan selesai.7
Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang berproses melalui tahap-
tahap dan tingkatan-tingkatan tertentu. Karena pendidikan terlaksana dalam
tahapan tertentu itu, maka pendidikan tentu saja memiliki tujuan yang bertahap
dan bertingkat. Tujuan pendidikan bukanlah suatu benda yang berbentuk tetap dan
statis, tetapi ia merupakan suatu keseluruhan dari kepribadian seseorang, yakni
berkenaan dengan seluruh aspek kehidupannya yang berjenjang.
Ramayulis mengemukakan aspek-aspek tujuan pendidikan Islam dalam
bukunya Ilmu Pendidikan Islam.8 Menurut beliau, aspek tujuan Pendidikan islam
itu meliputi empath al, yaitu tujuan jasmaniah (ahdaf jismiyyah), Tujuan rohaniah
(ahdaf alruhiyyah), tujuan akal (ahdaf al-aqliyyah), tujuan sosial (ahdaf al-
ijtima’iyyah). Masing-masing aspek tujuan tersebut akan diuraikan di bawah ini.

1. Tujuan Jasmaniyah (Ahdaf al-Jismiyyah)


Tujuan Pendidikan perlu dikaitkan dengan tugas manusia selaku khalifah di
muka bumi yang harus memiliki kemampuan jasmani yang bagus di samping
rohani yang teguh. Dalam Hadits Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam bersabda:

‫ىل هللاِ ِم َن‬ِ ُّ ‫ي َخ ْي و أُ ِح‬


َ ‫بإ‬
ِ
َ ‫ال َر ُس ْو ُل هللا صلى هللا علیھ و َسلَّم أَلْ ُم ْؤم ُن الْ َق ِو ُّ ر‬
َ َ‫ق‬
ِ ‫ضعِْی‬
‫ف‬ َ ْ‫الْ ُم ْؤِم ِن ال‬.
“Orang mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih di sayangi oleh Allah daripada orang mukmin
yang lemah”.9

6
Karim al-Bastani, dkk, Al-Munjid fi Lughat wa ‘Alam, (Bairut: Dar al-Masyriq, 1975), hlm. 243-244.
7
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h.29.
8
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 2002), h.75.
9
KH. Kahar Masyhur, Bulughul Maram, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h.43.
5

Kata “kuat” dalam hadits di atas dapat diartikan dengan kuat secara jasmani
sesuai dengan firman Allah :

‫اْلِ ْس ِم‬
ْ ‫اصطََفاهُ َعلَْی ُك ْم َوَز َادهُ بَ ْسطَةً ِِف الْعِْل ِم َو‬ َّ ‫إِ َّن‬
ْ َ‫اّلل‬
“Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas
dan tubuh yang kuat perkasa” Q.S. Al-Baqarah: 247.

Dalam ayat di atas dikisahkan bahwa Talut dipilih oleh Allah menjadi raja
karena pandai dan kuat tubuhnya untuk melawan Djalut yang terkenal berbadan
besar seperti raksasa, namun Talut dapat mengalahkannya dengan perantaraan
Daud yang melemparkan bandilnya dengan pertolongan Allah dapat merobohkan
tubuh Djalut hingga tewas.
Jadi tujuan pendidikan Islam adalah untuk membentuk manusia muslim yang
sehat dan kuat jasmaninya serta memiliki keterampilan yang tinggi.10

2. Tujuan Rohaniah (Ahdaf al-Ruhiyah)


Kalau kita perhatikan, namun ini dikaitkan dengan kemampuan manusia
menerima agama Islam yang inti ajarannya adalah keimanan dan ketaatan kepada
Allah, Tuhan Yang Maha Esa dengan tunduk dan patuh kepada nilai-nilai
moralitas yang diajarkan-Nya dengan mengikuti keteladanan Rasulullah
Shalallahu alaihi wasalam, inilah tujuan rohaniah pendidikan Islam.
Tujuan pendidikan rohaniah diarahkan kepada pembentukan akhlak mulia,
yang ini oleh para pendidik modern Barat dikategorikan sebagai tujuan pendidikan
religious, yang oleh kebanyakan pemikir pendidikan Islam tidak disetujui istilah
itu, karena akan memberikan kesan akan adanya tujuan pendidikan yang non
religious dalam Islam.11
Muhammad Qutb mengatakan bahwa tujuan pendidikan ruhiyyah
mengandung pengertian “ruh” yang merupakan mata rantai pokok yang
menghubungkan antara manusia dengan Allah, dan pendidikan Islam harus

10
H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h.229.
11
Muhammad Qutb, Manhaj al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Kairo: Dar al-Qalam, 1967), h.13-50.
6

bertujuan untuk membimbing manusia sedemikian rupa sehingga ia selalu tetap


berada di dalam hubungan dengan-Nya.12

3. Tujuan Aqliyah (Ahdaf al-Aqliyyah)


Selain tujuan jasmaniyah dan tujuan rohaniah, pendidikan Islam juga
memperhatikan tujuan akal. Aspek tujuan ini bertumpu pada pengembangan
intelegensia (kecerdasan) yang berada dalam otak. Sehingga mampu memahami
dan menganalisis fenomena-fenomenan ciptaan Allah di jagad raya ini. Seluruh
alam ini bagaikan sebuah buku besar yang harus dijadikan obyek pengamatan dan
renungan pikiran manusia sehingga daripadanya ia mendapatkan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang makin berkembang dan makin mendalam.
Firman Allah yang mendorong pendidikan akal banyak terdapat di dalam Al-
Qur’an tak kurang dari 300 kali.13
Kemudian melalui proses observasi dengan panca indra, manusia dapat dididik
untuk menggunakan akal kecerdasannya untuk meneliti, menganalisis keajaiban
ciptaan Allah di alam semesta yang berisi khazanah ilmu pengetahuan yang
menjadi bahan pokok pemikiran yang analitis untuk dikembangkan menjadi ilmu-
ilmu pengetahuan yang diterapkan dalam bentuk-bentuk teknologi yang semakin
canggih.
Proses intelektualisasi pendidikan Islam terhadap sasaran pendidikannya
berbeda dengan proses yang sama yang dilakukan oleh pendidikan non Islami,
misalnya pendidikan sekuler di Barat. Ciri khas pendidikan yang dilaksanakan
oleh pendidikan Islam adalah tetap menanamkan (menginternalisasikan) dan
mentransformasikan nilai-nilai Islam seperti keimanan, akhlak dan ubudiyah serta
mu’amalah ke dalam pribadi manusia didik.

4. Tujuan Ijtima’iyah (Ahdaf al-Ijtima’iyyah)


Tujuan sosial ini merupakan pembentukan kepribadian yang utuh dari roh,
tubuh, dan akal. Di mana identitas individu di sini tercermin sebagai manusia yang
hidup pada masyarakat yang plural (majemuk). Tujuan pendidikan sosial ini
penting artinya karena manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi seyogyanya

12
Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Islam Berdasarkan Al-Qur’an, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1990), h.142.
13
H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1991), h.233.
7

mempunyai kepribadian yang utama dan seimbang. Yang karenanya tidak


mungkin manusia menjauhkan diri dari kehidupan bermasyarakat.14
Individu merupakan bagian integral dari anggota kelompok di dalam
masyarakat atau keluarga, atau sebagai anggota keluarga dan pada waktu yang
sama sebagai anggota masyarakat. Kesesuaiannya dengan cita-cita sosial
diperoleh dari individu-individu. Maka persaudaraan dianggap sebagai salah satu
kunci konsep sosial dalam Islam yang menghendaki setiap individu memperlukan
individu lainnya dengan cara-cara tertentu.
Keserasian antara individu dan masyarakat tidak mempunyai sifat kontradiksi
antara tujuan sosial dan tujuan individual. “Aku” adalah “kami”, merupakan
pernyataan yang tidak boleh berarti kehilangan “aku”-nya.
Pendidikan menitikberatkan perkembangan karakter-karakter yang unik, agar
manusia mampu beradaptasi dengan standart masyarakat bersama-sama dengan
cita-cita yang ada padanya. Keharmonisan yang seperti inilah yang merupakan
karakteristik pertama yang akan dicari dalam tujuan pendidikan Islam.
Oleh karena itu aspek sosial haruslah mendapatkan perhatian dengan porsi
yang cukup di dalam pendidikan Islam, agar peserta didik mampu dan pandai
menempatkan diri pada lingkungannya, tolong menolong dan saling membantu
dengan masyarakatnya, sekaligus menyadari bahwa dirinya tidak mungkin hidup
sendiri tanpa bantuan dari yang lain. Yang dengan demikian, seorang muslim atau
peserta didik, akan dapat diterima oleh masyarakatnya, dan ia bisa tenang dan
harmonis hidup di tengah-tengah masyarakat.

C. Konsep Kepribadian Muslim dan Indikator-Indikatornya


Kepribadian berasal dari kata personare (Yunani), yang berarti menyuarakan
melalui alat. Menurut Anton M. Moeliono sebagaimana dikutip oleh Jalaludin, kata
pribadi diartikan sebagai keadaan manusia orang per orang atau keseluruhan sifat-sifat
yang merupakan watak perorangan.
Menurut Mohammad Surya sebagaimana dikutip oleh Tohirin, kepribadian
diartikan sebagai keseluruhan kualitas perilaku individu yang merupakan cirinya yang
khas dalam berinteraksi dengan lingkungannya.15 Kepribadian adalah sifat hakiki
yang tercermin pada sikap seseorang atau suatu bangsa yang membedakan dirinya

14
Ag. Sujono, Pendahuluan Pendidikan Islam, (Bandung: CV. Bina Ilmu, tt),
15
Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005),
hlm. 156
8

dari orang atau bangsa lain. Dalam pengertian umum, kepribadian dipahami sebagai
sikap pribadi atau ciri khas yang dimiliki seseorang atau bangsa.
Menurut istilah kepribadian merupakan karakteristik atau gaya dan sifat khas
yang ada pada diri seseorang dengan merujuk pada bagaimana individu tersebut
tampil dan menimbulkan kesan bagi individu lainnya. Setiap manusia memiliki
persona, karena suatu inidvidu itu berbudi dan berkehendak sekurang-kurangnya
memiliki potensi. Persona ini disebut juga dengan pribadi. Pribadi ini berkembang
sehingga budinya pun berkembang.16
Dari beberapa keterangan tersebut di atas jelaslah bahwa kepribadian
merupakan bagian dari proses kehidupan seseorang. Kepribadian itu dapat
ditunjukkan melalui perilaku. Perilaku merupakan hasil interaksi antara karakteristik
kepribadian dan kondisi sosial serta kondisi fisik lingkungan. Jadi kepribadian akan
mempengaruhi perilaku. Oleh karena itu proses yang diawali masing-masing orang itu
berbeda, maka masing-masing inidividu juga berbeda-beda.
Pribadi muslim merupakan pribadi sosial yang luhur, yang dibangun diatas
masyarakat besar yang berakhlak mulia. Padanya terdapat tuntutan agama yang hanif,
lurus bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis. Ia berdiri kukuh dalam undang-undang
agama, mengarahkan manusia pada cita-cita moral yang luhur. Pribadi seperti itu
telah Allah berikan seperti contoh akhlak Nabi Muhammad SAW, sebagai manusia
yang mempunyai akhlak yang luhurcerminan kepribadian muslim.
Muslim berarti orang Islam, orang berIslam adalah orang yang menyerah,
tunduk, patuh, berperilaku baik, agar hidupnya bersih lahir batinnya sehingga pada
gilirannya akan mendapatkan keselamatan hidup di dunia dan di akhirat. Kepribadian
muslim sebagaimana yang ditulis dalam definisi operasional adalah identitas yang
dimiliki seseorang sebagai ciri khas dari keseluruhan tingkah laku sebagai muslim,
baik yang ditampilkan dalam tingkah laku secara lahiriyah maupun batiniyah.
Tingkah laku lahiryah seperti cara berhadapan dengan teman, orang tua dan guru.
Sedangkan tingkah laku secara batiniyah seperti sabar, tekun, disiplin, toleran, jujur,
amanat, ikhlas, dan berbagai sikap dan perilaku terpuji lainnya sebagaimana tercermin
dari sifat Akhlak Al-Karimah. Sikap-sikap tersebut timbul dari dorongan batin yang
merupakan tampilan dari sikap dan perilaku seorang hamba yang bertakwa.17

16
Syarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak Peran Moral Intelektual Emotional Dan Sosial
Sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 218
17
Jalaludin, Teologi Pendidikan,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.194
9

Indikator-indikator konsep kepribadian muslim


a. Pandangan hidup
1) Tanggung jawab
Tanggung jawab adalah kesadaran untuk melakukan kewajibannya
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, keluarga, dan masyarakat.
Menurut Prof. Dr. Hamka, bertanggung jawab adalah kata yang telah hidup
dalam masyarakat bangsa Indonesia sejak memperjuangkan kemerdekaan.
Dahulu kita tidak mengenal artinya secara mendalam.
Pedoman dalam memikul suatu tanggungjawab adalah jiwa sendiri.
Dalam jiwa yang bertujuan suci dan berkehendak mulia senantiasa muncul
ilham menghadapi pekerjaan. Laksanakan terus kerja itu dan jangan
diperhatikan kebencian dan kemarahan orang. Tidak semua orang akan marah
atau benci. Pasti ada orang yang akan menyetujui. Jangan hanya mengingat
orang yang tidak suka. Ingat pula bahwa banyak yang suka. Di sana terletak
kebesaran jiwa orang yang suci dan bertanggung jawab.
Sikap tanggung jawab adalah salah satu faktor yang dapat menambah
nilai pada karakter seseorang, hal ini dikarenaikan berani bertanggung jawab
membuat orang yang kuat menjadi lebih kuat. Ataupun sebaliknya, suatu
pekerjaan yang dipikul dengan tidak penuh tanggung jawab akan membuat
orang yang lemah menjadi lebih lemah.
Selanjutnya Prof. Dr. Hamka menjelaskan bahwa untuk mencapai
kesempurnaan dari sikap tanggung jawab seseorang harus memiliki sikap
sabar menyertainya. Karena dalam menjalankan setiap tugas atau suatu
kewajiban seseorang harus disertai kesabaran. Seperti dalam kutipan yang
disampaikan Prof. Buya Hamka sebagai berikut:
“Kesempurnaan tanggung jawab adalah sabar. Bukan hanya halangan
dari yang dibenci dan sayang yang akan menghambat. Bahkan, banyak
keadaan lain yang harus dihadapi, dilalui dan diatasi. Pengalaman hidup
menunjukkan bahwa suatu keadaan yang sulit tidaklah terus dalam
kesulitannya. Hari ini ada kemudahan, besok pasti ada kesulitan.” Berdasarkan
kutipan tersebut, sabar merupakan kunci dalam menjalankan dan
menyelesaikan suatu pekerjaan atau kewajiban.18

18
Hamka, Pribadi Hebat, (Jakarta: Gema Insani, 2014), hlm. 130-134.
10

2) Berterus terang (jujur)


Seorang muslim senantiasa bersikap jujur dengan masyarakat
sekitarnya. Islam mengajarkan kepada seorang muslim bahwa kejujuran
adalah inti dari kebajikan dan fondasi akhlak yang mulia. Sifat ini akan
mengantarkan seseorang pada kebaikan, dan kebaikan menyebabkan seorang
masuk surge. Sementara kedustaan menggiring seseorang pada kedurhakaan,
dan kedurhakaan menyebabkan dia masuk neraka.
Karenanya sosok muslim sejati selalu berbuat jujur. Segala perkataan
dan perbuatannya dihiasi dengan kejujuran. Orang yang mempunyai derajat
yang tinggi dan mulia adalah yang ditulis di sisi Allah sebagai orang jujur.19
Seorang muslim yang jujur dan telah mencapai kedudukan yang tinggi
ini, tidak akan melakukan tipu daya, melanggar janji, dan berkhianat.
Memang, sudah menjadi kepastian jika kejujuran itu akan membawa pada
nasihat, kejernihan, keadilan, dan ketepatan janji. Sesungguhnya, masyarakat
muslim adalah masyarakat yang penuh kasih sayang. Masyarakat yang diliputi
nilai-nilai ketulusan hati dan menjunjung tinggi norma kebaikan dan
kejujuran. Sehingga dalam masyarakat tersebut tidak ada celah untuk
melakukan tipu daya, pengkhianatan, dan pelanggaran janji.
Rasulullah Shalallahu „Alaihi Wasallam sangat mencela tipu daya,
pengkhianatan, dan pelanggaran janji. Beliau menganjurkan kepada kita untuk
menjauhkan dan melempar sifat ini dari masyarakat Islam. Beliau telah
mengabarkan bahwa para pengkhianat akan dikumpulkan di hari kiamat.
Setiap mereka akan membawa panjipanji pengkhianatannya masing-masing.
Nabi Muhammad Shalallahu „Alaihi Wasallam terkenal sebagai
pribadi yang jujur baik pada masa Jahiliah maupun Islam. Sebelum wahyu
turun dan sebelum Rasulullah mendakwahkan ajaran Islam, kaum Quraisy
mengenal beliau sebagai orang yang jujur dan dapat dipercaya. Ketika Hajar
Aswad terbawa banjir, Muhammad turut serta mengembalikannya ke tempat
semula. Langkah kedatangan beliau yang hendak bergabung dengan pemuka-
pemuka Quraisy, disambut dengan kata-kata penghormatan, “Orang yang
jujur dan dapat dipercaya telah datang”20

19
Muhammad „Ali Hasyimi, Membentuk Pribadi Muslim Ideal Menurut Al-Qur‟an & As-
Sunnah, (Jakarta: Al-I‟tishom, 2019), hlm. 196-197.
20
Abdul Mun‟im al-hasyimi, Akhlak Rasul Menurut Bukhari & Muslim, (Jakarta: Gema
11

3) Memiliki kemauan yang keras


Bertanggungjawab, kesabaran dan kemauan, semuanya tumbuh dari
satu pokok utama, yaitu kemauan. Tiga perkara yang menjadi kekayaan jiwa
kita, dalam menjadi manusia, yaitu pikiran, perasaan, dan kemauan.
Bagaimanapun tajamnya pikiran seperti ahli filsafat yang besar atau halus
perasaan seperti penyair atau pelukis, tidaklah akan terlaksana cita-cita jika
kemauan tidak ada. Tercapainya suatu cita-cita semua orang tentu punya cita
atau terlaksananya suatu pikiran yang besar adalah karena kemauan.21
Kesempurnaan pribadi terletak pada kesempurnaan kemaun. Kemauan
menimbulkan ketabahan, kegigihan, dan keteguhan. Ketika memukul,
hendaklah memukul sampai hancur. Ketika bertahan, hendaklah menahan
pukulan walaupun betapa hebat datangnya. Siapa yang lebih dahulu berhenti,
itulah yang kalah.
Dalam buku Pribadi Hebat ini, Prof. Dr. Hamka meberikan contoh
kemauan dengan pertandingan olahraga. Dalam pertandingan olahraga,
kemauan itu dididik, misalnya melakukan perlombaan lari. Walaupun lawan
bertanding sudah terlalu jauh, sekali-kali jangan mengencong ke tepi jalan
karena telah merasa kalah. Terus berlari dengan bersemangat sampai ke
tempat pemberhentian di garis finis.
Sampai di sana ulurkan tangan kepada lawan yang menang dan
turutlah bergembira menyambut kemenangannya. Kita yang hari ini kalah,
terus berlatih. Semoga di hari lain bermain lebih baik dan memperoleh
kemenangan. Apabila setiap lomba kalah juga, menujulah kepada hal yang
lain. itu tanda bukan di sana tempat kita akan memperoleh kemenangan.
Masih banyak lagi pintu kemenangan yang lain dalam hidup asalkan mau.22
4) Sabar
Dalam kitab Ihya‟ Ulumuddin, Imam al-Ghazali berkata, “Sabar
adalah menerima dengan lapang dada hal-hal yang menyakitkan dan
menyusahkan serta menahan amarah atas perlakuan kasar. Barangsiapa masih
mengeluh bila diperlakukan buruk oleh orang lain, maka hal itu menunjukkan
masih buruknya akhlak orang tersebut, karena akhlak yang mulia

Insani, 2014). Hlm. 121.


21
Hamka, Pribadi Hebat, (Jakarta: Gema Insani, 2014), hlm. 137-139.
22
Hamka, Falsafah Hidup, (Jakarta: Republika Penerbit, 2018), hlm. 74.
12

sesungguhnya adalah menerima secara lapang dada semua bentuk perlakuan


yang menyakitkan.23
Di tempat lain dalam kitab Ihya‟ Ulumuddin, Imam al-Ghazali
berkata, “Sesungguhnya yang dimaksud dengan sabar adalah ketetapan hati
yang didorong oleh motif keagamaan untuk melawan keinginan-keinginan
yang muncul akibat dorongan hawa nafsu. Sabar terklasifikasi menjadi dua.
Pertama, kesabaran lahiri, seperti menahan kejengkelan ketika menghadapi
kesusahan-kesusahan dalam melaksanakan ibadah atau tindakan-tindakan
lainnya selagi tindakan tersebut masih sejalan dengan semangat ajaran Islam.
Kedua, kesabaran batini, yaitu menahan diri dari dorongandorongan
syahwat dan keinginan hawa nafsu. Bila kesabaran itu untuk menahan
keinginan nafsu perut dan kelamin maka dinamakan dengan al-„iffah atau
menjaga kehormatan. Bila untuk berjuang melapangkan dada menerima
musibah yang sulit diterima maka namanya ashshabru (kesabaran), bila
potensi kesabaran itu untuk menahan nafsu memburu kekayaan maka
namanya adalah dhabthun-nafsi atau menahan diri. Jika kesabaran itu
digunakan untuk melapangkan dada menghadapi musuh dalam peperangan
maka namanya adalah assyajaa‟ ah atau keberanian. Jika kesabaran itu
digunakan untuk menerima bencana-bencana alam yang menimpa maka
namanya sa‟atush-shadr atau kelapangan dada. Bila kesabaran digunakan
untuk menahan omongan maka namanya adalah kitmaanus-sirri atau
menyimpan rahasia. Dan jika digunakan untuk menahan diri dari menikmati
kebutuhan-kebutuhan sekunder atau komplementer dalam hidup ini, namanya
adalah qana‟ah atau menerima dengan senang hati.
Kebanyakan perilaku-perilaku yang munculnya dari dorongan
semangat keimanan masuk dalam kategori kesabaran. Karenanya di saat
Rasulullah Shalallahu „Alaihi Wasallam ditanya tentang apa itu Iman, beliau
menjawab, “Iman adalah kesabaran.” Karena sabar memang inti dari
keimanan, bahkan, termasuk amalan paling utama.24

23
Abdul Mun‟im al-hasyimi, Akhlak Rasul Menurut Bukhari & Muslim, (Jakarta: Gema
Insani, 2014). Hlm. 52.
24
Abdul Mun‟im al-hasyimi, Akhlak Rasul Menurut Bukhari & Muslim, (Jakarta: Gema
Insani, 2014). Hlm. 52-53.
13

Imam al-Bukhari dalam kitab ash-Shahih memaparkan beberapa kisah


berharga bagi para pembaca yang bisa dijadikan teladan dalam masalah
kesabaran. Diantaranya adalah kisah kesabaran Zaid bin Arqam r.a. yang
kehilangan daya penglihatannya. Zaid menuturkan kisah pribadinya,
“Kemampuan penglihatan mata ku berkurang. Suatu hari Rasulullah
Shalallahu „Alaihi Wasallam. menjengukku dan berkata, “Wahai Zaid. Bila
penglihatanmu hilang apa yang akan kamu lakukan?‟ Zaid menjawab, „saya
bersabar dan dalam kondisi seperti itu saya akan mencari pahala dari Allah
Subhanahu Wa Ta‟ala‟ Bila mata kamu hilang kemudian kamu menerima
dengan bersabar dan mencari pahala dari Allah (dengan kondisi itu) maka
pahalamu adalah surga.25
b. Ikhlas
Kata ikhlas yang terkenal berarti suci, bersih dari kotoran. Ibarat emas
yang asli, tidak bercampur sedikit pun dengan tembaga atau loyang yang
disepuh emas. Jika diartikan dalam bahasa kita, lebih tepatnya disebut jujur
karena mengenai hati. Boleh juga lebih halus dari itu, yaitu murni dan boleh
juga dimaknai maruah. Orang yang bersifat ikhlas, disebut mukhlis, selalu
bekerja dengan baik walaupun tidak di hadapan orang lain.26
Ikhlas artinya suci bersih terhadap Tuhan. Ikhlas itu bertingkat dua.
Pertama ikhlas daripada manusia. Artinya di dalam segala amal kebajikan
yang dikerjakan, tidaklah diharapkan puji sanjungan dari manusia. Karena
kalau demikain yang jadi niat, riya-lah namanya, amalan tidak akan diterima
Allah, dan tidak pulalah seluruh manusia akan dapat menghasilkan apa yang
dimaksudnya, karena sebanyak puji di dunia ini sebanyak itu pula cela yang
akan diterima.
Jauhilah mengharapkan penghargaan manusia. Tetapi carilah amal
yang disukai Allah. Adapun amal kepada Allah, terbagi dua pula. Ada yang
mengharapkan diberi-Nya upah, pahala, lalu dimasukkan ke dalam surga. Dan
takut pula akan masuk api neraka yang sangat panas itu, menyala-nyala, ada
ular, kala, lipa dan malaikat yang kejam-kejam, tidak mengenal kasihan.

25
Abdul Mun‟im al-hasyimi, Akhlak Rasul Menurut Bukhari & Muslim, (Jakarta: Gema
Insani, 2014). Hlm. 49.
26
Hamka, Pribadi Hebat, (Jakarta: Gema Insani, 2014), hlm. 140.
14

Amalan yang karena rindu masuk surga dan takut masuk neraka itu,
lebih tinggi derajatnya daripada amalan karena mencari pujian manusia. Tetapi
amalan ini masih jauh lebih rendah dari ikhlas yang sejati. Orang ikhlas yang
sejati, beramal tidaklah mengharapkan upah, sebab hubungannya dengan
Tuhannya bukanlah hubungan antara buruh dengan majikan. Tetapi hubungan
hamba dengan Tuhan. Pekerjaan yang dikerjakan hamba, bukanlah pekerjaan
Tuhan dan bukan kembali manfaatnya kepada Tuhan, tetapi berpulang
manfaatnya kepada hamba itu sendiri. Sebab itu, maka hamba yang ikhlas itu
mengikuti perintah Tuhan, Tuhan memerintahkan supaya bekerja baik, untuk
kemaslahatan dirinya sendiri.27
Tidaklah sempurna ikhlas orang yang mengharap surga di dalam
amalannya dan takut akan neraka. Padahal kita bekerja menjunjung tinggi
perintah Tuhan bukanlah lantaran mengharap akan laba. Kita wajib beribadah
kepada-Nya, akal kita yang waras yang telah membisikkan bahwa memang
wajib kita beribadah kepada-Nya. Sebab tidak terbalas oleh kita jasa ihsan-
Nya kepada diri kita. Banyak benar pemberian-Nya tidak terhitung
jumlahnya.28
Orang yang ikhlas berani mengakui kebenaran jika nyata kepadanya
bahwa jalan yang ditempuhnya salah. Saad Zaglul Pasya berkata, “Kita di sini
bermusyawarah mencari yang benar. Kita berkumpul di sini bukan
mempertahankan diri kita, melainkan mempertahankan kebenaran.”
Ikhlas dapat dilatih dengan cara berhati-hati memilih perkataan yang
akan dikeluarkan sebagaimana berhati-hati menyisihkan uang yang palsu
dengan uang yang asli. Berhati-hati menyusun pikiran, sebab pikiran yang
tersusun akan dikeluarkan dengan perantara kata-kata.29
c. Bersemangat
Semangat yang berapi-api adalah sebagian dari sikap berani, yang
timbul karena dorongan percaya atas kekuatan diri sendiri. Namun, jika
semata-mata bersemangat saja, pengetahuan tentang hal yang akan dihadapi
tidak ada, tidak akan berhasil. Sebab itu meskipun semangat berapi-api,

27
Hamka, Lembaga Budi, (Jakarta: Republika Penerbit, 2018), hlm. 5-6.
28
Hamka, Lembaga Budi, (Jakarta: Republika Penerbit, 2018), hlm. 7
29
Hamka, Pribadi Hebat, (Jakarta: Gema Insani, 2014), hlm. 145-146.
15

janganlah berjalan dalam gelap gulita malam dengan tiada bersuluh, suluhnya
adalah kekuatan kepercayaan, ilmu dan pikiran.
Prof. Dr. Hamka memaparkan, bahwa pendidik berkewajiban
membangkitkan semangat pada anak-anak yang dididiknya. Anak-anak harus
digembirakan dan jangkan dipangkas pucuknya yang akan tumbuh. Jangan
selalu dipatahkan. Apa pun pekerjaan yang dikerjakannya dengan gembira,
asalkan jangan melarat, janganlah dilarang, tetapi sambut dan tuntunlah.
Dari pernyataan Prof. Dr. Hamka, dapat disimpulkan bahwa pendidik
mempunyai peran dalam menumbuhkan semangat anak-anak serta
membimbing dan mengarahkan apa yang dicita-citakan anak-anak. Karena
semangat yang besar karena cita-cita yang besar tidaklah bergantung kepada
umur.
d. Berperasaan Halus
Kehalusan perasaan adalah hasil pribadi yang kuat. Setengah karena
diwarisi dan setengahnya karena luas pergulan, banyak pengalaman, dan
banyak melihat negeri orang lain sehingga dapat membandingkan dengan
masyarakat dan lingkungan orang lain. Dia dapat menghargai orang lain dalam
pendiriannya karena ia mengetahui pokok pangkal yang menjadi sebab
pendirian itu meskipun pada dasarnya dia tidak menyetujuinya.
Dalam buku ini prof. Dr. Hamka menganjurkan untuk halus perasaan,
namun sifat “lekas perasa angina” sangat berbahaya pula. Terlalu sentiment
sangat besar celakanya. Karena dengan demikian, kita akan merasa canggung
bergaul dengan orang lain. Halus perasaan yang seperti ini tidak menegakkan
pribadi, melainkan meruntuhkannya.

D. Konsep Pendidikan Nasional Pancasila


Krisis yang terjadi di Indonesia tahun 1998 sebagai akibat tidak
dilaksanakannya Pancasila secara konsisten oleh pemerintah Indonesia. Sila
Ketuhanan Yang Maha Esa secara tegas melarang rakyat Indonesia mencuri, tidak
satupun agama di muka bumi ini membenarkan pengikutnya melakukan pencurian,
penipuan, manipulasi terhadap orang lain. Di Indonesia pada akhir pemerintahan Orde
Baru justru korupsi sudah merupakan perbuatan yang biasa dilakukan oleh pejabat
publik sehingga menyebabkan terjadinya krisis ekonomi yang menyengsarakan
seluruh rakyat Indonesia.
16

Seperti kita ketahui bahwa pelaksanaan Pendidikan Pancasila di Perguruan


Tinggi mengalami pasang surut karena kebijakan penyelenggaraan Pendidikan
Pancasila tidak diimplementasikan oleh perguruan tinggi dengan baik oleh perguruan
tinggi negeri maupun swasta. Hal ini terjadi karena dasar hukum yang mengatur
berlakunya Pendidikan Pancasila di perguruan tinggi selalu mengalami perubahan dan
persepsi serta pengembangan kurikulum di masing-masing perguruan tinggi yang
sering berganti-ganti. Lahirnya ketentuan Pasal 35 ayat (3) Undang-undang Nomor 12
Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menyatakan bahwa kurikulum pendidikan
tinggi wajib memuat mata kuliah Agama, Pancasila, Kewarganegaraan, dan Bahasa
Indonesia.
Hal ini menunjukkan bahwa negara menghendaki agar Pendidikan Pancasila
dilaksanakan dan wajib dimuat dalam kurikulum perguruan tinggi sehingga mata
kuliah Pendidkan Pancasila dapat lebih fokus dalam membina pemahaman dan
penghayatan mahasiswa mengenai ideologi bangsa Indonesia. Ini berarti Pendidikan
Pancasila diharapkan dapat menjadi ruh dalam membentuk jati diri mahasiswa guna
mengembangkan jiwa profesionalismenya sesuai dengan bidang studinya masing-
masing. Selain itu dengan mengacu kepada ketentuan dalam Pasal 2 Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi di Indonesia harus berdasarkan
Pancasila. Ini berarti bahwa Perguruan Tinggi di Indonesia harus terus menerus
mengembangkan nilai-nilai Pancasila dalam berbagai segi kebijakannya dan
menyelenggarakan mata kuliah pendidkan Pancasila secara sungguh-sungguh dan
bertanggung jawab.
1. Asal Mula Pancasila
Sebelum disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI), nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara
Republik Indonesia telah ada pada bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala.
Nilai-nilai tersebut kemudian digali oleh para pendiri negara (the founding father)
dan dijadikan sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia. Menurut Prof. Dr.
Notonegoro, S.H. (dalam Kaelan, 1996) Pancasila kalau ditinjau dari asal
mulanya, atau sebab musabab Pancasila dapat dipakai sebagai falsafah negara,
maka Pancasila memenuhi syarat empat sebab (kausalitas) yakni:
a. Causa Materialis (asal mula bahan)
Causa materialis artinya asal mula bahan, artinya sebelum Pancasila
17

dirumuskan sebagai asas kehidupan bangsa, maka unsur-unsur Pancasila


sudah ada sejak zaman dahulu, yang dapat dilihat dari adat istiadat,
kebudayaan, dan dalam agama-agama.
b. Causa Formalis (asal mula bentuk)
Causal formalis artinya asal mula bentuk atau bangunan. Hal ini
mengandung arti bahwa pembentuk negara dalam hal ini adalah Ir.
Soekarno dan Drs. Moh. Hatta sebagai anggota BPUPKI bersama-sama 15
anggota BPUPKI lainnya merumuskan dan membahas Pancasila. Hal ini
juga disebut sebagai asal mula tujuan.
c. Causa Efisien (asal mula karya)
Causa efisien atau asal mula karya mengandung arti bahwa sejak mulai
dirumuskannya, dibahas dalam sidang BPUPKI pertama dan kedua, juga
dalam rangka proses pengesahan Pancasila oleh PPKI yang menjadikan
Pancasila sebagai dasar filsafat negara pada tanggal 18 Agustus 1945
sebagai asal mula karya. Juga di dalam Panitia Sembilan 22 Juni 1945
yang merumuskan Piagam Jakarta yang memuat rancangan dasar negara
Pancasila sebagai asal mula sambungan.
d. Causa Finalis (asal mula tujuan) Causa finalis atau asal mula tujuan yakni
berkaitan dengan tujuan dirumuskannya Pancasila sebagai dasar negara
Republik Indonesia. Panitia Sembilan termasuk di dalamnya Ir.Soekarno
dan Drs. Moh. Hatta, menyusun Piagam Jakarta (Pembukaan UUD 1945)
pertama kali dibentuk, dan yang memuat Pancasila. Kemudian BPUPKI
menerima rancangan tersebut dengan segala perubahannya. Hal ini
dimaksudkan agar Pancasila dijadikan dasar filsafat Negara Republik
Indonesia. (Prof. Dr.Notonagoro, 1975, dalam Kaelan, 1996).30

30
Drs. Syamsir, M.Si., Ph.D, pendidikan pancasila untuk perguruan tinngi ( Palembang, 2017), hal.
13-15.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
pendidikan Islam adalah suatu proses edukatif yang mengarah kepada pembentukan
akhlak atau kepribadian. Dalam sebuah Hadist berbunyi “Menuntut ilmu wajib atas tiap
muslim (baik muslimin maupun muslimah)”. (HR. Ibnu Majah). Islam begitu menganggap
penting terhadap Ilmu Pengetahuan. Dalam Islam, kedudukan orang yang berpendidikan,
terutama pendidikan agama, sangat dimuliakan. Bisa juga dilihat sendiri di masyarakat
bagaimana kalangan guru dan ustad mendapat prilaku baik dari lingkungan sekitar.

Dalam Ilmu Pendidikan juga terdapat tujuan -tujuan tertentu, dintaranya yaitu: tujuan
jasmaniyah, tujuan rohaniyah, tujuan aqliyah. Dan tujuan ijtimaiyah.

Pribadi muslim merupakan pribadi sosial yang luhur, yang dibangun diatas masyarakat
besar yang berakhlak mulia. Padanya terdapat tuntutan agama yang hanif, lurus bersumber
dari Al-Qur’an dan Hadis. Ia berdiri kukuh dalam undang-undang agama, mengarahkan
manusia pada cita-cita moral yang luhur.

18
DAFTAR PUSTAKA

Al-Maraghiy, Musthafa. Tafsir al-Maraghiy. Bairut: Dar al-Fikr, tt, Juz I.


Athiyah al-Abrasyi, Muhammad. al-Tarbiyah Islamiyah. cet.3, Dar al-Fikr al-
Arabi.
Marimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: PT. Al-
Ma’arif, 1962.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta : YP3A, 1987.
Manzhur, Ibnu. Lisan al-Arab. Bairut: Dar alAhya. Jilid V.
Al-Bastani, Karim. Al-Munjid fi Lughat wa ‘Alam. Bairut: Dar al-Masyriq, 1975.
Daradjat, Zakiah. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1992.
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Kalam Mulia, 2002.
Masyhur, KH. Kahar. Bulughul Maram. Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
Arifin, H.Muhammad. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
Qutb, Muhammad. Manhaj al-Tarbiyah al-Islamiyah. Kairo: Dar al-Qalam, 1967.
Abdullah, Abdurrahman Saleh. Teori-teori Pendidikan Islam Berdasarkan Al-
Qur’an. Jakarta: Rineka Cipta, 1990.
Arifin, H. Muhammad. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara, 1991.
Sujono, Ag. Pendahuluan Pendidikan Islam, Bandung: CV. Bina Ilmu.

19

Anda mungkin juga menyukai