Anda di halaman 1dari 33

MINI RISET PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK

PERKEMBANGAN MORAL ANAK USIA SD

DI SD NEGERI 060912 MEDAN DENAI

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK :4

 Meutia Anggraini 3192411008


 Fadillah Pauziah 3192411020
 Wahyu Sabtiya Darma 3191111001

KELAS : PPKn B 2019

DOSEN PENGAMPU : DRA. ERLINDA SIMANUNGKALIT, M.Pd

MATA KULIAH : PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

OKTOBER 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Swt. Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunia-Nya penu
dapat menyelesaikan tugas Mini Riset yang berjudul “Perkembangan Moral Anak Usia SD di SD Neger
060912 Medan Denai” sebagai tugas dari mata kuliah Perkembangan Peserta Didik.

Dalam pembuatan makalah Mini Riset ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang terlibat sampai makalah ini dapat tersusun, terkhusus kepada Bapak Dra.
Erlinda Simanungkalit, M.Pd. sebagai Dosen Pengampu mata kuliah Perkembangan Peserta
Didik.

Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini kiranya masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karen
kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan. Semoga makalah
dapat bermanfaat bagi pembaca dan penulis sendiri tentunya.

Medan, 05 November 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii

RINGKASAN ....................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1

1.1 Latar Belakang ..................................................................................1

1.2 Tujuan Penelitian ...............................................................................1

1.3 Manfaat Penelitian .............................................................................2

BAB II LANDASAN TEORITIS .........................................................................3

2.1 Uraian Permasalahan .........................................................................3

2.2 Subjek Penelitian .............................................................................15

2.3 Assesment Data ...............................................................................15

BAB III METODE PELAKSANAAN ...............................................................16

3.1 Lokasi Penelitian .............................................................................16

3.2 Metode Penelitian ............................................................................16

3.3 Langkah Penelitian ..........................................................................16

BAB IV PEMBAHASAN ....................................................................................17

4.1 Analisa Pembahasan ........................................................................17

4.2 Kekuatan Penelitian .........................................................................20

4.3 Kelemahan Penelitian ......................................................................20

ii
BAB V PENUTUP................................................................................................21

5.1 Kesimpulan ......................................................................................21

5.2 Saran ................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................v

LAMPIRAN.......................................................................................................... vi

iii
RINGKASAN

Perkembangan moral awalnya dipusatkan pada disiplin yaitu jenis disiplin yang terbaik
untuk mendidik anak yang mematuhi hukum, dan pengaruh disiplin tersebut pada
penyesuaian pribadi dan sosial. Didalam makalah ini kita akan membahas tentang
perkembangan moral terkhusus pada anak usia Sekolah Dasar.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana upaya pembelajaran moral
yang di lakukan oleh kepala sekolah, guru, maupun orang tua anak usia sekolah dasar, cara
untuk membimbing anak usia sekolah dasar dalam penerapan perkembangan moral, dan sikap
yang diberikan kepala sekolah, guru, maupun orang tua dalam mendidik moral anak usia
sekolah dasar.

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai laporan penelitian yang dapat digunakan
sebagai sumber literasi bagi para pembaca dan sebagai evaluasi dan pembelajaran bagi
mahasiswa sebagai calon guru di masa depan bagaimana cara membimbing moral bagi anak
usia sekolah dasar yang bak dan efektif.

Subjek dalam penelitian ini adalah kepala sekolah, guru, maupun orang tua siswa/siswi
SD Negeri 060912 Medan Denai. Penelitian ini menggunakan beberapa cara, yaitu
pengumpulan data melalui angket dan observasi secara langsung.

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan moral awalnya dipusatkan pada disiplin yaitu jenis disiplin yang
terbaik untuk mendidik anak yang mematuhi hukum, dan pengaruh disiplin tersebut pada
penyesuaian pribadi dan sosial. Secara bertahap bergeser ke arah perkembangan moral
kepola yang normal untuk aspek perkembangan ini dan usia seorang anak dapat
diharapkan bersikap sesuai dengan cara yang disetujui masyarakat. Dengan adanya
peningkatan yang serius dalam kenakalan remaja, minat untuk mempelajari penyebab,
penanganan, dan pencegahan menjadi sasaran perhatian. Mula-mula minat ini terbatas
pada penelitian remaja karena sesungguhnya, anak-anak tidak dianggap “anak nakal”
betapapun jauhnya penyimpangan perilaku mereka dari standar yang disetujui
masyarakat.
Manusia sulit bersikap netral terhadap perkembangan moral. Banyak orang tua
khawatir bahwa anak-anak mereka bertumbuh tanpa nilai-nilai tradisional. Para guru
mengeluh bahwa murid-murid mereka tidak sopan. Didalam makalah ini kita akan
membahas tentang perkembangan moral terkhusus pada anak usia Sekolah Dasar.

1.2 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bagaimana upaya pembelajaran moral yang di lakukan oleh kepala
sekolah, guru, maupun orang tua anak usia sekolah dasar.
2. Untuk mengetahui bagaimana cara untuk membimbing anak usia sekolah dasar dalam
penerapan perkembangan moral.
3. Untuk mengetahui bagaimana sikap yang diberikan kepala sekolah, guru, maupun
orang tua dalam mendidik moral anak usia sekolah dasar.

1
1.3 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut .

1. Dapat mengetahui bagaimana upaya pembelajaran moral, cara untuk membimbing


anak usia sekolah dasar dalam penerapan perkembangan moral, dan sikap yang
diberikan kepala sekolah, guru, maupun orang tua dalam mendidik moral anak usia
sekolah dasar di SD Negeri 060912 Medan Denai.
2. Laporan penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber literasi bagi para pembaca.
3. Sebagai evaluasi dan pembelajaran bagi mahasiswa sebagai calon guru di masa depan
bagaimana cara membimbing moral bagi anak usia sekolah dasar yang baik dan
efektif.

2
BAB II

LANDASAN TEORITIS

2.1 Uraian Permasalahan

A. Pengertian Moral

Moral berasal dari bahasa Latin "mos" (jamak: mores) yang berarti kebiasaan, adat.
Kata "mos" (mores) dalam bahasa Latin sama artinya dengan etos dalam bahasa Yunani.
Di dalam bahasa Indonesia, kata moral diterjemahkan dengan arti susila. Adapun
pengertian moral yang paling umum adalah tindakan manusia yang sesuai dengan ide-ide
yang diterima umum, yaitu berkaitan dengan makna yang baik dan wajar. Dengan kata
lain, pengertian moral adalah suatu kebaikan yang disesuaikan dengan ukuran-ukuran
tindakan yang diterima oleh umum, meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu.
Kata moral selalu mengacu pada baik dan buruknya perbuatan manusia sebagai manusia.
Telah banyak ahli yang mencoba memberikan pengertian moral. Seperti apa pengertian
moral menurut mereka?

Berikut ini beberapa Pengertian Moral Menurut para Ahli:

 Pengertian Moral Menurut Chaplin (2006): Moral mengacu pada akhlak yang
sesuai dengan peraturan sosial, atau menyangkut hukum atau adat kebiasaan yang
mengatur tingkah laku.

Maka dapat disimpulkan bahwa moral adalah suatu keyakinan tentang benar salah,
baik dan buruk, yang sesuai dengan kesepakatan sosial, yang mendasari tindakan atau
pemikiran. Jadi, moral sangat berhubungan dengan benar salah, baik buruk, keyakinan,
diri sendiri, dan lingkungan sosial.

B. Tahap-tahap Perkembangan Moral

Tahap-tahap perkembangan moral yang sangat dikenal diseluruh dunia adalah yang
dikemukakan oleh Lawrence E. Kohlbert (1995), yaitu sebagai berikut:

3
a. Tingkat Prakonvensional
Tingkat prakonvensional adalah aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral
masih ditafsirkan oleh individu/anak berdasarkan akibat fisik yang akan diterimanya
baik berupa sesuatu yang menyakitkan atau kenikmatan. Tingkat prakonvensional
memiliki dua tahap, yaitu:
Tahap 1: Orientasi hukuman dan kepatuhan
Pada tahap ini, akibat-akibat fisik pada perubahan menentukan baik buruknya
tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-
mata menghidari hukuman dan tunduk pada kekuasaan tanpa mempersoalkannya.
Tahap 2: Orientasi relativis-instrumental
Pada tahap ini, perbuatan dianggap benar adalah perbuatan yang merupakan cara
atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan
orang lain. Hubungan antarmanusia diipandang seperti huubungan di pasar yang
berorientasi pada untung-rugi.
b. Tingkat Konvensional
Tingkat konvensional atau konvensional awal adalah aturan-aturan dan ungkapan-
ungkapan moral dipatuhi atas dasar menuruti harapan keluarga, kelompok, atau
masyarakat. Tingkat konvensional memiliki dua tahap, yaitu:
Tahap 3: Orientasi kesepakatan antara pribadi atau disebut orientasi “Anak Manis”
Pada tahap ini, perilaku yang dipandang baik adalah yang menyenangkan dan
membantu orang lain serta yang disetujui oleh mereka.
Tahap 4: Orientasi hukum dan ketertiban
Pada tahap ini, terdapat orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap, penjagaan tata
tertib sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri,
menhormati otoritas, aturan yang tetap, dan penjagaan tata tertib sosial yang ada.
Semua ini dipandang sebagai sesuatu yang bernilai dalam dirinya.
c. Tingkat Pascakonvensional, Otonom, atau Berdasarkan Prinsip
Tingkat pascakonvensional adalah aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral
dirumuskan secara jelas berdasarkan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki
keabsahan dan dapat diterapkan, terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang
berpegang pada prinsip tersebut dan terlepas pula dari identifikasi diri dengan
kelompok tersebut. Tingkat pascakonvensional memiliki dua tahap, yaitu:

4
Tahap 5: Orientasi kontrak sosial legalitas
Pada tahap ini, individu pada umumnya sangat bernada utilitarian. Artinya perbuatan
yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum
yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh masyarakat. Pada tahap ini
terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativisme nilai dan pendapat pribadi sesuai
dengan relativisme nilai tersebut. Terdapat penekanan atas aturan prosedural untuk
mencapai kesepakatan, terlepas dari apa yang telah disepakati secara konstitusional
dan demokratis, dan hak adalah masalah nilai dan pendapat pribadi. Hasilnya adalah
penekanan pada sudut pandang legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan
untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial.
Di luar bidang hukum, persetujuan bebas, dan kontrak merupakan unsur pengikat
kewajiban .
Tahap 6: Orientasi prinsip dan etika universal
Pada tahap ini, hak ditentukan oleh suara batin sesuai dengan prinsip-prinsip etis
yang dipilih sendiri dan yang mengacu kepada komprehensivitas logis, universalitas,
dan konsestensi logis. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis, bukan merupakan
peraturan moral konkret. Pada dasarnya inilah prinsip-prinsip universal keadilan,
resiprositas, persamaan hak asasi manusia, serta rasa hormat kepada manusia sebagai
pribadi.

C. Perkembangan Dan Pengembangan Moral anak usia Sekolah Dasar

Perilaku moral berarti perilaku yang menyesuaikan dengan kode moral dari kelompok
sosialnya. Moral berasal dari bahsa latin: mores berarti tatakrama atau kebiasaan. Perilaku
moral dikendalikan oleh konsep moral, yakni aturan-aturan dalam bertingkah laku,
dimana anggota masyarakat berperilaku sesuai dengan pola perilaku yang diharapkan
oleh masyarakatnya, sedangkan perilaku immoral adalah perilaku yang gagal
menyesuaikan pada harapan sosial. Perilaku tersebut tidak dapat diterima oleh norma-
norma sosial. Perilaku unmoral adalah perilaku yang tidak menghiraukan harapan dari
kelompok sosialnya. Perilaku ini cenderung terlihat pada kanak-kanak. Ketika masih
kanak-kanak, anak tidak diharapkan untuk mengenal seluruh tata krama dari suatu
kelompok. Begitu anak memasuki usia remaja dan menjadi anggota suatu kelompok, anak
dituntut untuk bertingkah laku sesuai dengan kebiasaan kelompoknya. Tingkah laku yang

5
sesuai dengan aturan tidak hanya sesuai dengan dasar-dasar yang ditetapkan secara sosial
tetapi juga perlu diikuti secara suka rela. Hal ini terjadi pada otoritas eksternal maupun
internal. Dalam perkembangan moral kelak anak-anak harus belajar mana yang benar dan
mana yang salah. Kemudian, begitu anak bertambah besar, ia harus tahu alasan mengapa
sesuatu dianggap benar sementara yang lain tidak. Dengan demikian, anak perlu
dilibatkan dalam aktivitas kelompok, tetapi yang terpenting tetap perlu mengembangkan
harapan melakukan mana yang baik dan mana yang buruk.

Menurut Piaget, antara usia lima dan dua belas tahun konsep anak mengenai keadilan
sudah berubah. Pengertian yang kaku dan keras tentang benar dan salah, yang dipelajari
dari orang tua, menjadi berubah dan anak mulai memperhitungkan keadaan-keadaan
khusus di sekitar pelanggaran moral. Jadi, menurut piaget relativitasme moral
menggantikan moral yang kaku. Misalnya bagi anak lima tahun, berbohong selalu buruk,
sedangkan anak yang lebih sadar bahwa dalam bebarapa situasi, berbohong dibenarkan,
dan oleh karena itu, berbohong tidak selalu buruk.

Kohlberg memperluas teori Piaget dan menamakan tingkat kedua dari perkembangan
moral moral akhir masa kanak-kanak sebagai tingkat moralitas konvensional atau
moralitas dari aturan-aturan dan penyesuaian konvensional. Dalam tahap pertama dari
tingkat ini oleh Kohlberg disebutkan moralitas anak baik, anak mengikuti peraturan untuk
mengambil hati orang lain dan untuk mempertahankan hubungan-hubunganyang baik.
Dalam tahap kedua, kohlberg mengatakan bahwa kalau kelompok sosial menerima
peraturan-peraturan yang sesuai bagi semua anggota kelompok, ia harus menyesuaikan
diri dengan peraturan untuk menghindari penolakan kelompok dan celaan.

Jean Piaget (1950) menyatakan bahwa setiap anak memiliki cara tersendiri dalam
menginterpretasikan dan beradaptasi dengan lingkungannya (teori perkembangan
kognitif). Menurutnya, setiap anak memiliki struktur kognitif yang disebut schemata yaitu
sistem konsep yang ada dalam pikiran sebagai hasil pemahaman terhadap objek yang ada
dalam lingkungannya. Pemahaman tentang objek tersebut berlangsung melalui proses
asimilasi (menghubungkan objek dengan konsep yang sudah ada dalam pikiran) dan
proses akomodasi (proses memanfaatkan konsep-konsep dalam pikiran untuk
menafsirkan objek). Kedua proses tersebut jika berlangsung terus menerus akan membuat
pengetahuan lama dan pengetahuan baru menjadi seimbang. Dengan cara seperti itu

6
secara bertahap anak dapat membangun pengetahuan melalui interaksi dengan
lingkungannya.

Berdasarkan hal tersebut, maka perilaku belajar anak sangat dipengaruhi oleh aspek-
aspek dari dalam dirinya dan lingkungannya. Kedua hal tersebut tidak mungkin
dipisahkan karena memang proses belajar terjadi dalam konteks interaksi diri anak
dengan lingkungannya.

Anak usia sekolah dasar berada pada tahapan operasi konkret. Pada rentang usia
sekolah dasar tersebut anak mulai menunjukkan perilaku belajar sebagai berikut:

(1) Mulai memandang dunia secara objektif, bergeser dari satu aspek situasi ke aspek lain
secara reflektif dan memandang unsur-unsur secara serentak, (2) Mulai berpikir secara
operasional, (3) Mempergunakan cara berpikir operasional untuk mengklasifikasikan
benda-benda, (4) Membentuk dan mempergunakan keterhubungan aturan-aturan, prinsip
ilmiah sederhana, dan mempergunakan hubungan sebab akibat, dan (5) Memahami
konsep substansi, volume zat cair, panjang, lebar, luas, dan berat.

Memperhatikan tahapan perkembangan berpikir tersebut, kecenderungan belajar anak


usia sekolah dasar memiliki tiga ciri, yaitu:

(1) Konkrit. Konkrit mengandung makna proses belajar beranjak dari hal-hal yang
konkrit yakni yang dapat dilihat, didengar, dibaui, diraba, dan diotak atik, dengan titik
penekanan pada pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar. Pemanfaatan
lingkungan akan menghasilkan proses dan hasil belajar yang lebih bermakna dan
bernilai, sebab siswa dihadapkan dengan peristiwa dan keadaan yang sebenarnya,
keadaan yang alami, sehingga lebih nyata, lebih faktual, lebih bermakna, dan
kebenarannya lebih dapat dipertanggungjawabkan.

(2) Integratif; Pada tahap usia sekolah dasar anak memandang sesuatu yang dipelajari
sebagai suatu keutuhan, mereka belum mampu memilah-milah konsep dari berbagai
disiplin ilmu, hal ini melukiskan cara berpikir anak yang deduktif yakni dari hal umum ke
bagian demi bagian.

(3) Hierarkis; Pada tahapan usia sekolah dasar, cara anak belajar berkembang secara
bertahap mulai dari hal-hal yang sederhana ke hal-hal yang lebih kompleks. Sehubungan

7
dengan hal tersebut, maka perlu diperhatikan mengenai urutan logis, keterkaitan antar
materi, dan cakupan keluasan serta kedalaman materi.

1. Usaha Pengembangan Tingkah Laku Bermoral


Sejalan dengan pencapaian tujuan pendidikan, perlu diupayakan suatu sistem
pendidikan yang mampu membentuk kepribadian dan ketrampilan peserta didik yang
unggul, yakni beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, manusia yang
kreatif, cakap, terampil, jujur, dapat dipercaya, disiplin, bertanggung jawab dan memiliki
solidaritas sosial yang tinggi. Untuk mewujudkan manusia yang unggul perlu diberikan
landasan pendidikan yang kokoh. Oleh karena itulah kebutuhan dasar siswa harus
terpenuhi lebih dahulu, yaitu: kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan akan
rasa kasih sayang, dan kebutuhan akan harga diri. Bangsa kita sebenarnya telah memiliki
pilar pendidikan yang sangat fundamental, yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantoro,
Ing Ngarso Sun Tulodho, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani, namun
implementasinya dalam pendidikan kita masih rendah. Empat pilar pendidikan yang
dijadikan fondasi pendidikan pada era informasi dan jaringan global ini dalam meraih dan
merebut pasar internasional. Keempat pilar tersebut adalah:
 Learning to Know (belajar untuk tahu)
Pada proses pembelajaran melalui penerapan paradigma ini, peserta didik akan
dapat memahami dan menghayati bagaimana suatu pengetahuan dapat diperoleh dari
fenomena yang terdapat dalam lingkungannya. Untuk mengkondisikan masyarakat
belajar yang efektif dewasa ini, diperlukan pemahaman yang jelas tentang “apa” yang
perlu diketahui, “bagaimana” mendapatkan Ilmu pengetahuan, “mengapa’ ilmu
pengetahuan perlu diketahui, “untuk apa” dan “siapa” yang akan menggunaka ilmu
pengetahuan itu. Belajar untuk tahu diarahkan pada peserta didik agar mereka
memiliki pengetahuan fleksibel, adaptable, value added dan siap memakai bukan siap
pakai. Sebab, salah satu ukuran luar yang dapat dipakai untuk melihat sejauh mana
tingkat kemjuan diskursus suatu disiplin ilmu adalah dengan melihat upaya-upaya dan
hasil diskursus mengenai disiplin tersebut.
 Learning to Do (Belajar untuk melakukan)
Proses pembelajaran dengan penekanan agar peserta didik menghayati proses
belajar dengan melakukan sesuatu yang bermakna ‘’Active Learning‘’. Peserta didik
memperoleh kesempatan belajar dan berlatih untuk dapat menguasai dan memiliki
standar kompetensi dasar yang dipersyaratkan dalam dirinya. Proses pembelajaran

8
yang dilakukan menggali dan menemukan informasi (information searching and
exploring), mengolah dan informasi dan mengambil keputusan (information
processing and decision making skill), serta memecahkan masalah secara kreatif
(creative problem solving skill). Menurut John Dewey bahwa pembelajaran yang
dapat dilakukan dengan: 1). Belajar peserta didik dengan berpikir kreatif, 2).
Keterampilan proses, 3). Problem solving approach, 4). Pendekatan inkuiri, 5).
Program sekolah yang harus terpadu dengan kehidupan masyarakat, dan 6).
Bimbingan sebagai bagian dari mengajar. Beberapa bentuk Active Learning ;
Kegiatan Active learning dilakukan dengan kegiatan mandiri, peserta didik membaca
sendiri bahan yang akan dibahas di kelas.

 Learning to be (Belajar untuk menjadi diri sendiri)


Proses pembelajaran yang memungkinkan lahirnya manusia terdidik dengan sikap
mandiri. Kemandirian belajar merupakan kunci terbentuknya rasa tanggung jawab dan
kepercayaan diri untuk berkembang secara mandiri. Sikap percaya diri akan lahir dari
pemahaman dan pengenalan diri secara tepat. Belajar mandiri harus didorong melalui
penumbuhan motivasi diri. Banyak pendekatan pembelajaran yang dapat diterapkan
dalam melatih kemandirian peserta didik, misalnya; pendekatan sinektik, problem
soving, keterampilan proses, discovery, inquiry, kooperatif, dan sebagainya
Pendekatan pembelajaran tersebut mengutamakan keterlibatan peserta didik secara
efektif. Pendekatan-pendektan pembelajaran ini pada dasarnya suatu proses sosial,
peserta didik dibantu dalam melakukan peran sebagai pengamat yang berhubungan
dengan permasalahan yang dihadapi. Meskipun guru dapat memberikan situasi
masalah, namun dalam penerapannya, peserta didik mencari, menanyakan, memeriksa
dan berusaha menemukan sendiri hal-hal yang dipelajari. Para peserta didik mulai
berpikir berdasarkan kemampuan dan pengalamannya masing-masing secara logis.
Strategi pembelajaran inkuiri merupakan salah satu alternatif pendekatan
pembelajaran yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran.
 Learning To Live Together (Belajar untuk Hidup Bersama)
Proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik menghayati hubungan
antar manusia secara intensif dan terus menerus untuk menghindarkan pertentangan
ras/etnis, agama, suku, keyakinan politik, dan kepentingan ekonomi. Peningkatan
pendidikan nilai kemanusiaan, moral, dan agama yang melandasi hubungan antar
manusia.

9
Untuk mewujudkan makna pendidikan dan fondasi pembelajaran yang
terintegrasikannya nilai-nilai kemanusiaan dalam kepribadian dan perilaku selama
proses pembelajaran diperlukan proses pembelajaran yang efektif. Keefektifan proses
pembelajaran merupakan pencerminan dalam mencapai tujuan pembelajaran tepat
yang sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Keefektifan proses
pembelajaran berkenaan dengan jalan, upaya, teknik dan strategi yang digunakan
dalam mencapai tujuan pembelajaran secara optimal, tepat dan cepat (Nana Sudjana,
1996 : 52). Sekolah tidak hanya berkewajiban untuk memelihara nilai-nilai
masyarakat, namun juga harus memberikan keaktifan kepada peserta didik dan secara
kritis dalam menghadapi masalah-masalah sosial, dan harus mengadakan usaha
pemecahan masalah.
Salah satu faktor yang mempengaruhi keefektifan pembelajaran antara lain
kemampuan guru dalam menggunakan strategi. Penerapan strategi pembelajaran
dipengaruhi oleh faktor tujuan, peserta didik, situasi, fasilitas dan pembelajaran itu
sendiri. Dengan menerapkan metode yang tepat, proses pembelajaran akan
berlangsung lebih efektif sehingga hasil pembelajaran akan lebih baik dan mantap.
Salah satu strategi pembelajaran yang memberikan perhatian pengembangan potensi
peserta didik adalah strategi keterampilan proses (proses pemecahan masalah).

2. Orang Tua dan Pengembangan Moral Anak Usia Sekolah Dasar


Orang tua sangat besar peranannya dalam perkembangan moral anak. Tidak
seorang pun ahli perkembangan moral anak yang membantah bahwa moral anak
terbentuk melalui hubungan sosial. Hubungan sosial pertama yang dialami anak
dalam hidupnya adalah orang tuanya. Orang tua brperan besar dalam membentuk
tingkah laku altruitis, role taking,dan perasaan bersalah pada anak. Kasih sayang
orang tua terhadap anak, membangun sistem interaksi yang bermoral antara anak
dengan orang lain. Hubungan dengan orang tua yang hangat, ramah, gembira, dan
kasih sayang, merupakan pupuk bagi perkembangan moral anak.
Pengembangan tingkah laku moral tidak lepas dari berbagai peran keluarga
adalah sebagai berikut:
a. Memperkenalkan nilai moral yang berlaku di masyarakat.
Di negara kita ada empat sumber nilai yang dijadikan pedoman dalam bertingkah
laku, yaitu agama, ilmu pengetahuan, nilai-nilai luhur bangsa Indonesia (Pancasila)

10
dan adat istiadat. Anak harus diperkenalkan dengan aturan-aturan berhubungan sosial
yang sesuai dengan keempat sumber nilai itu. Kebiasaan yang berlaku di masyarakat
tidak boleh bertentangan dengan keempat sumber nilai itu. Kalau terjadi pertentangan
nilai yang berlaku di masyarakat dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
keempat sumber itu, maka anak akan mengikuti kebiasaan yang berlaku di
masyarakat, karena seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa anak akan bertingkah
laku yang dianggap baik oleh orang dewasa sekitarnya walaupun tidak sesuai dengan
moral. Dalam bertingkah laku mereka belum mempunyai kesadaran untuk berpegang
teguh pada prinsip moral, tetapi cenderung mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang
dewasa dalam masyarakat sekitarnya.

b. Memperkuat tingkah laku altruistik


Seperti halnya pengembangan tingkah laku sosial, tingkah laku altruistik
memegang peranan yang menentukan dalam perkembangan moral anak. Tingkah laku
suka menolong, membagi milik sendiri kepada teman sebaya merupakan contoh
tingkah laku altruistik. Pada periode sekolah dasar, tingkah laku altruistik dapat
dikembangkan secara baik dengan merangsang perkembangan tingkah laku empati
terlebih dahulu. Hoffman (Dalam Elida, 2005: 175) mengungkapkan bahwa
”penguasaan tingkah laku empati merupakan dasar bagi perkembangan moral anak”.
Tingkah laku empati dapat dilihat dari kemampuan anak untuk merasakan orang lain.
Misalnya, seorang anak melihat temannya yang bersedih karena kehilangan pencil.
Anak itu dapat menghayati perasaan temannya dan mengerti bahwa temannya sedang
sedih. Kalau anak menghibur atau membantu kawannya itu tidak sedih, maka tingkah
laku ini disebut altruistik.

c. Membangkitkan perasaan bersalah


Untuk membangkitkan perasaan bersalah jika melakukan sesuatu yang melanggar
moral, orang tua dan guru perlu memahami tentang timbulnya perasaan bersalah dari
aspek moral dalam diri anak, seperti yang dikemukan oleh Hoffman (Dalam Elida,
2005:177) sebagai berikut :
1) Perasaan bersalah mulai dapat dialami anak pada umur dua tahun namun belum
sempurna. Pada umur enam tahun anak telah memiliki perasaan bersalah yang
sempurna.

11
2) Pembiasaan disiplin yang mementingkan kesadaran anak tentang akibat tingkah
lakunya terhadap orang lain dapat mengembangkan perasaan bersalah. Disiplin seprti
ini disebut disiplin dengan teknik induksi.
3) Membangkitkan perasaan empati atau cepat merasakan perasaan orang lain
sehingga dapat meningkatkan perasaan bersalah.
4) Timbulnya perasaan bersalah dalam diri anak, dapat mengubah atau memperbaiki
tingkah laku anak terhadap korban kejahatan.
5) Perasaan bersalah kadang – kadang menimbulkan tingkah laku meninjau dan
menilai diri sendiri, sehingga dalam bertindak tidak dikuasai oleh kepentingan diri
sendiri.
6) Perasaan bersalah dapat juga dikembangkan dengan memberikan contoh.
7) Perasaan bersalah dapat juga dilakukan dengan disiplin penarikan cinta.

d. Memperkuat kata hati


Pengembangan kata hati merupakan usaha memperkuat kata hati itu sendiri.
Memperkuat kata hati berarti mengembangkan tingkah laku altruistik, role taking, dan
perasaan bersalah. Oleh karena itu, sebenarnya cara mengembangkan kata hati tidak
berbeda dengan pengembangkan tingkah laku altruistik, role taking, dan perasaan
bersalah.

3. Guru dan Pengembangan Moral Anak Usia Sekolah Dasar


Tak jauh beda dengan orang tua , guru juga memiliki peranan penting dalam
mengembangkan moral anak usia sekolah dasar .
Guru diartikan sebagai orang yang bekerja pada bidang pendidikan dan
pengajaran yang ikut bertanggungjawab membentuk anak-anak mencapai kedewasaan
masing-masing. Pendidik memberikan peranan yang sangat besar dalam menentukan
keberhasilan pengajaran di sekolah. Banyak unsur-unsur manusiawi yang dimilikinya
seperti, sikap, sistem nilai, perasaan, motivasi, kebiasaan, dan keteladanan yang
diharapkan dari proses pembelajaran yang tidak dapat mungkin dicapai kecuali
melalui pendidik.
Secara umum tugas pendidik adalah mendidik, yaitu membantu dalam
mengupayakan perkembangan peserta didik dalam mengoptimalkan segala potensi
hidupnya.

12
Peranan guru di sekolah yaitu dengan menanamkan hidup bersih dan teratur,
menciptakan lingkungan yang menunjang, kebiasaan dan disiplin yang tinggi,
memberikan tanggung jawab terhadap semua anak, membina kerjasam yang baik,
tenggang rasa, peercaya diri melalui mdel-model dan lain-lain. Kepada anak diberikan
fasilitas dan kesempatan yang cukup dalam memberdayakan alat-alat yang ada di
sekolah, di bawah pengawasan dan bimbingan guru. Guru harus dapat membina
kerjasama yang baik dengan orang tua siswa, masyarakat dan semua orang-orang
yang terlibat dalam kelancaran proses pendidkan di sekolah.
Baik orang tua maupun guru dalam melayani perkembangan tersebut janganlah
bersikap otoriter, karena tipe yang demikian akan menghambat tugas perkembangan
anak. Setiap kegiatan anak dapat diajak untuk bekerjasama dan bermusyawarah.
Dengan sikap demikian sangat menentukan keberhasilan perkembangan anak.

4. Teman Sebaya dan Pengembangan Moral Anak Usia Sekolah Dasar


Hubungan antarteman sebaya pada masa kecil itu sangat besar kontribusinya
terhadap keefektifan fungsi individu pada masa-masa kehidupan selanjutnya. Oleh
karena itu, Hartup (1992) menyimpulkan bahwa kualitas hubungan anak dengan anak-
anak lain merupakan prediktor terbaik bagi kemampuan adaptasinya pada masa
dewasanya.
Hubungan dengan teman sebaya tampak mempunyai berbagai macam fungsi,
yang banyak di antaranya dapat memfasilitasi proses belajar dan perkembangan anak.
Melalui hubungan teman sebaya, anak memperoleh kesempatan untuk belajar
keterampilan sosial yang penting untuk kehidupannya, terutama keterampilan yang
dibutuhkan untuk memulai dan memelihara hubungan sosial dan untuk memecahkan
konflik sosial, yang mencakup keterampilan berkomunikasi, berkompromi, dan
berdiplomasi (Asher et al., 1982 - dalam Burton, 1986). Di samping mengajari anak
cara bertahan hidup di kalangan sesamanya, hubungan teman sebaya memberikan
kepada anak konteks untuk dapat membandingkan dirinya dengan orang lain serta
memberi kesempatan untuk belajar berkelompok.
Combs dan Slaby (Budd, 1985) menemukan bahwa hubungan teman sebaya yang baik
secara konsisten terkait langsung dengan dimensi keramahan, partisipasi, pengayoman
(nurturance), kemurahan hati, dan responsif dalam interaksi teman sebaya. Di samping itu,
anak yang banyak melibatkan dirinya dengan teman sebayanya juga dapat memperoleh
kesempatan untuk membangun rasa percaya diri sosial (social self-confidence (Burton, 1986).

13
Anak-anak ini dapat memupuk kepercayaan terhadap kemampuannya sendiri untuk mencapai
tujuan interpersonalnya, sehingga tidak akan mudah merasa kecewa dengan pasang/surutnya
interaksi sosial. Hal-hal tersebut berimplikasi terhadap kemampuan penyesuaian sosial dan
profesionalnya di kemudian hari (Burton, 1986).
Interaksi sosial memberikan kepada anak kesempatan untuk belajar dari reaksi
teman sebayanya. Berbagai studi tentang penguatan (reinforcement) dari teman
sebaya menunjukkan bahwa anak lebih cenderung untuk mengerem penggunaan
strategi agresif terhadap teman sebayanya yang memberikan perlawanan terhadap
agresi tersebut (Jewett, 1992). Karena hubungan anak dengan teman sebayanya itu
bersifat egaliter, maka interaksi antara teman sebaya memperkenalkan kepada anak
perilaku saling memberi dan menerima, yang sangat penting untuk memupuk
sosialisasi dan menekan agresi(Budd, 1985). Lebih jauh, sejumlah kajian literatur
(Ladd & Asher, 1985; Hartup, 1992), menunjukkan bahwa perolehan dan
pemeliharaan berbagai bentuk perilaku sosial, disposisi kepribadian, dan sikap yang
diperoleh pada masa kanak-kanak (misalnya pola bahasa, isyarat altruistik,
popularitas di kalangan teman sebaya, keyakinan moral) sebagian tergantung pada
reaksi yang diperoleh anak dari teman-teman sebayanya. Berbagai studi juga
menunjukkan bahwa anak belajar dengan memperhatikan dan meniru perilaku teman-
teman sebayanya. Perilaku prososial maupun agresif anak diperoleh dengan
memperhatikan teman-teman sebayanya melakukan respon semacam itu, begitu juga
dengan perilaku spesifik laki-laki atau perempuan, standar untuk penguatan diri (self-
reinforcement) dan perilaku yang menunjukkan sifat pemberani (Ladd & Asher,
1985).
Hartup (1992) mengidentifikasi empat fungsi hubungan teman sebaya, yang mencakup:
1) Hubungan teman sebaya sebagai sumber emosi (emotional resources), baik untuk
memperoleh rasa senang maupun untuk beradaptasi terhadap stress;
2) Hubungan teman sebaya sebagai sumber kognitif (cognitive resources) untuk pemecahan
masalah dan perolehan pengetahuan;
3) Hubungan teman sebaya sebagai konteks di mana keterampilan sosial dasar (misalnya
keterampilan komunikasi sosial, keterampilan kerjasama dan keterampilan masuk kelompok)
diperoleh atau ditingkatkan; dan
4) Hubungan teman sebaya sebagai landasan untuk terjalinnya bentuk-bentuk hubungan
lainnya (misalnya hubungan dengan saudara kandung) yang lebih harmonis. Hubungan teman
sebaya yang berfungsi secara harmonis di kalangan anak-anak prasekolah telah terbukti dapat
memperhalus hubungan antara anak-anak itu dengan adiknya.

14
Hartup (1992) mengidentifikasi empat jenis pengajaran antarteman sebaya, yaitu
peer tutoring, cooperative learning, peer collaboration dan peer modeling. Peer
tutoring adalah transmisi informasi secara didaktik dari satu anak ke anak lain,
biasanya dari “ahli” kepada “pemula”. Cooperative learning adalah cara belajar yang
menuntut anak untuk saling berkontribusi dalam pemecahan masalah dan berbagi
imbalannya. Peer collaboration terjadi bila semua anggota kelompok belajar itu
adalah pemula yang bekerjasama untuk menyelesaikan suatu tugas yang tidak dapat
dilakukan sendiri-sendiri. Peer modeling adalah transmisi informasi melalui peniruan
antarteman sebaya.

2.2 Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah kepala sekolah, guru, maupun orang tua siswa/siswi
SD Negeri 060912 Medan Denai.

2.3 Assesment Data

Penelitian ini menggunakan beberapa cara, yaitu pengumpulan data melalui angket dan
observasi secara langsung.

15
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian


Obsevasi dilaksanakan di SD Negeri 060912 Medan Denai yang beralamat di Jl. Denai
No. 166, Tegal Sari Mandala III, kec. Medan Denai, Kota Medan, Sumatera Utara.
Observasi dilaksanakan pada Senin, 03 November 2019.

3.2 Metode Penelitian


Penelitian ini dilakukan melalui metode teknik pengumpulan data melalui angket
(kuesioner) dan observasi secara langsung pada SD Negeri 060912 Medan Denai.
Metode yang juga digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, dengan
mengadakan wawancara kepada kepala sekolah, guru, dan orang tua siswa serta mengisi
kuesioner dalam wawancara tersebut.

3.3 Langkah Penelitian

Langkah awal dari penelitian ini adalah mengumpulkan dan mempelajari sejumlah
literature baik dari buku, jurnal, maupun artikel yang berkaitan dengan perkembangan
moral anak. Lalu, tak lupa peneliti meminta izin kepada kepala sekolah di sekolah yang
akan diobservasi. Sebelum melakukan penelitian, peneliti terlebih dulu menyiapkan
instrument yang akan digunakan, yaitu alat video, pedoman wawancara, angket, dan
instrument lainnya yang menunjang kelancaran jalannya penelitian. Kemudian, peneliti
mencari subjek yang memenuhi kriteria penelitian.

16
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Hasil dan Pembahasan


Dari hasil pengisian angket dan wawancara secara langsung oleh kepala sekolah, guru,
dan orang tua siswa pada SD Negeri 060912 Medan Denai, maka dilampirkanlah hasil
perolehan angket dalam penyajian tabel berikut.

LEMBAR OBSERVASI PERKEMBANGAN MORAL ANAK USIA SD

Nama
Kepsek : Hj. Derliana S.Pd

Guru : Ririn Junika Wardani

Orang Tua : Intan

Petunjuk Pengisian:

Berikut ini adalah pernyataan yang menanyakan apakah bapak/ibu membantu


Perkembangan Moral siswa dengan cara memberi tanda ceklis (√) pada kolom yang
tersedia,(“Ya” atau “Tidak”).

Tabel 4 Perkembangan Moral

4.1 Upaya Kepala Sekolah Membantu Perkembangan Moral Siswa Usia Sekolah Dasar

No Pernyataan Jawaban
Ya Tidak
1. Melakukan budaya salam tangan/ucapan saat bertemu √
2. Menunjukkan sikap dan tindakan yang positif jika berjumpa √
dengan semua warga sekolah

17
3. Menjadi teladan dalam bersikap terhadap warga sekolah √
4. Memberi arahan tentang pembentukan moral siswa diwaktu pagi √
sebelum masuk kelas
5. Pada waktu tertentu memberi nasehat kepada siswa. √
6. Merealisasikan program kegiatan yang dapat membentuk ahlak √
siswa.
7. Mengadakan acara silaturahmi antar guru dan siswa √
8. Memberi arahan tentang moral yang baik ketika memberi amanat √
saat upacara hari senin.
9. Mengingatkan siswa untuk taat melaksanakan ibadah √
10. Melakukan kegiatan beribadah sehari-hari dengan tuntunan √
guru
11. Membuat kebijakan yang bernuansa membangun moral siswa √

4.2 Upaya Guru Bidang Studi/ Guru Kelas Membantu Perkembangan Moral Siswa
Usia Sekolah Dasar

No Pernyataan Jawaban
Ya Tidak
1. Melakukan kegiatan berdoa setiap awal dan akhir pembelajaran. √
2. Menganjurkan siswa agar saling menghargai antar sesama √
3. Menganjurkan agar siswa berperilaku jujur √
4. Menyarankan siswa agar mengenal prilaku baik sebagai cerminan √
akhlak yang mulia.
5. Tidak mempermalukan siswa apabila memberi tanggapan yang √
salah.
6. Menghormati potensi yang dimiliki siswa. √
7. Melakukan pembelajaran bermoral di dalam kelas √
8. Meminta maaf kepada siswa apabila melakukan kesalahan √
9. Tidak membawa masalah pribadi ke sekolah. √
10. Mengapresiasi perhatian siswa atas kesediaan mengikuti √

18
pembelajaran.
11. Mengucapkan terima kasih diakhir pembelajaran. √
12. Membiarkan anak senang melakukan sesuatu sesuai aturan √

4.3 Upaya Orangtua Membantu Perkembangan Moral Siswa Usia Sekolah Dasar
No Pernyataan Jawaban
Ya Tidak
1. Dimanapun berada berperilaku sesuai dengan norma yang berlaku √
2. Menanamkan sikap penuh kasih sayang √
3. Tidak membanding-bandingkan potensi.Anak √
4. Mendukung perkembangan potensi anak kearah yang lebih positif √
5. Mengawasi hubungan pergaulan anak √
6. Mendidik anak mengenakan pakaian yang sopan √
7. Mendidik anak mengikuti program keagamaan √
8. Menggunakan kata yang mendidik ketika berbicara √
9. Menjadi ayah dan ibu yang bertanggung jawab √
10. Menciptakan suasana yang harmonis dalam keluarga √
11. Mendidik anak untuk pandai menjaga diri √
12. Tidak egois menyikapi perilaku anak √
13. Menyikapi potensi anak dengan positif √
14. Berusaha mengendalikan emosi marah dalam keluarga √

Dari Lembar Observasi tersebut, yaitu mengenai kegiatan siswa dalam proses
pembelajaran, dapat dilihat bahwasanya siswa sudah mendapatkan upaya-upaya yang positif
untuk pembentukan moralnya dalam perkembanga usianya. Upaya-upaya tersebut tidak
hanya mereka dapat di lingkungan sekolah saja tetapi mereka juga mendapatnya di
lingkungan rumah. Yang menyebabkan siswa akan selalu berpedoman pada moral yang telah
diajarkan padanya selama berinteraksi di lingkungannya baik lingkungan sebaya maupun
lingkungan umum.

19
4.2 Kekuatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan salah satu metode kuesioner. Kuesioner atau sering juga
dikenal dengan istilah angket merupakan salah satu instrumen pengumpul data paling populer
yang digunakan dalam penelitian pendidikan maupun sosial. Di dalam kuesioner terdapat
beberapa pertanyaan atau pernyataan yang berhubungan erat dengan permasalahan penelitian
yang hendak dipecahkan.
Dalam penelitian kuantitatif, kuesioner merupakan instrumen yang paling sering
digunakan, karena kuesioner mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan alat
pengumpul data yang lain. Kelebihannya, yaitu:
o Dapat mengungkapkan pendapat atau tanggapan seseorang baik secara individual
maupun kelompok terhadap permasalahan
o Dapat disebarkan untuk responden yang berjumlah besar dengan waktu yang relatif
singkat
o Tetap terjaganya objektivitas responden dari pengaruh luar terhadap satu
permasalahan yang diteliti
o Tetap terjaganya kerahasiaan responden untuk menjawab sesuai dengan pendapat
pribadi
o Karena diformat dalam bentuk surat, maka biaya lebih murah
o Penggunaan waktu yang relatif fleksibel sesuai dengan waktu yang telah diberikan
peneliti
o Dapat menjaring informasi dalam skala luas dengan waktu yang cepat

4.3 Kelemahan Penelitian


Kuesioner juga mempunyai beberapa kelemahan yang jika tidak diperhatikan oleh
peneliti yang dapat menyebabkan kegagalan dalam mencari informasi yang diperlukan.
Kelemahannya, yaitu:
o Peneliti tidak dapat melihat reaksi responden ketika memberikan informasi melalui
isian kuesioner
o Responden tidak memberikan jawaban dalam waktu yang telah ditentukan
o Responden memberikan jawaban secara asal-asalan
o Kembalinya kuesioner tergantung pada kesadaran responden dalam menjawab dan
mengantar lewat kantor pos.

20
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Moral adalah suatu keyakinan tentang benar salah, baik dan buruk, yang sesuai
dengan kesepakatan sosial, yang mendasari tindakan atau pemikiran. Jadi, moral sangat
berhubungan dengan benar salah, baik buruk, keyakinan, diri sendiri, dan lingkungan
sosial.
Tahap-tahap perkembangannya yaitu:
1. Tingkat prakonvensional
2. Tingkat konvensional
3. Tingkat pascakonvensional

Memperhatikan tahapan perkembangan berpikir tersebut, kecenderungan belajar anak


usia sekolah dasar memiliki tiga ciri, yaitu:
(1) Konkrit
(2) Integratif
(3) Hierarkis

Dalam meningkatkan perkembangan dan pengembangan moral diperlukan usaha-


usaha seperti, peran dari orang tua, guru, maupun dari teman sebaya.

Dari hasil observasi mengenai perkembangan moral pada anak usia SD di SD Negeri
060912 Medan Denai, bahwasanya upaya untuk mengembangkan moral sudah diterapkan
baik oleh kepala sekolah, guru, maupun orangtua siswa/siswi. Dimana guru dan siswa
harus sama-sama bersikap aktif dalam membimbing anak usia SD tersebut dengan cara
penuh kasih saying dan pengertian atas sikap mereka.

21
5.2 Saran

Sejak dini, anak-anak harus diberikan pelatihan untuk mengembangkan moralnya agar
menjadi pribadi yang baik. Olehnya itu, diperlukan peran dari berbagai pihak untuk
membuat moral anak tersebut menjadi baik dan bagus serta mampu diarahkan.

22
DAFTAR PUSTAKA

Rahmulyani, dkk. 2015. Perkembangan Peserta Didik. Medan:Unimed Press.

https://www.kompasiana.com/usfitriyah/58bd698a337a61ed09456535/perkembangan-moral-
menurut-para-ahli (diakses pada tanggal 05 November 2019).

http://nurfadilamyduadelapan28.blogspot.com/2017/07/perkembangan-moral-peserta-didik.html
(diakses pada tanggal 05 November 201 9).

v
LAMPIRAN

WAWANCARA KEPALA SEKOLAH

WAWANCARA GURU MATA PELAJARAN

vi
WAWANCARA ORANG TUA SISWA

Foto Bersama Guru Mata Pelajaran

vii
SURAT BALASAN

viii
ANGKET

ix
x

Anda mungkin juga menyukai