Anda di halaman 1dari 15

III.

BENTUK DAN PELAKSANAAN KHOTBAH

Bentuk khotbah

Menjadi Seorang pendetaharus bisa mempersiapkan khotbahnya.

Dalam berkhotbah jangan mengatakan, menurut pola manakah saya akan berkhotbah (teksual/analisis,
topikal/sintetis, ekspositori/analisis-sintetis, TIDAK!!

melainkan hendaklah ia mencari apakah Firman Tuhan kepadanya dan kepada jemaat? Hal itu dapat
berarti bahwa kita memikirkan bentuk khotbah seblum berkhotbah , akan tetapi kita harus berusaha
supaya bentuk khotbah sama sekali ditentukan oleh isinya, yaitu oleh nats khotbah. Jika kita sudah
melakukan persediaan eksegese dan meditasi maka rancangan dari bentuj khotbah yang di persipakn
telah terpenuhi.

bita dengan cara bagaimana Firman Allah patut disampaikan sehingga dapat dimengerti oleh jemaat
kita. Di bawah ini akan dikemukakan kaidah yang umum untuk bentuk khotbah kita:

beberapa Susunan khotbah kita harus sedemikian rupa hingga

yang kurang penting; b) bagian-bagian yang penting di dalam nats kita diutamakan dari a) tujuan
(skopus) nats khotbah menjadi juga tujuan khotbah;

nats itu; c) bagian-bagian di dalam khotbah sesuai dengan bagian-bagian di dalam nats, jadi kita tidak
membagi semua khotbah atas 3 bagian, melainkan menjadi dua, tiga, empat atau lima bagian sesuai
dengan

) nats khotbah diterangkan dengan kata-kata, kalimat-kalimat dan uraian-uraian yang jelas (jangan
dikaburkan dengan istilah-istilah asing, kalimat-kalimat yang umum dan uraian yang kacau-balau!).

Dalam usaha kita menyusun khotbah dengan baik, hendaklah kita belajar dari ahli-ahli pidato, tetapi
tanpa meniru mereka begitu saja. Jika mereka sungguh-sungguh berusaha, maka mereka akan memberi
bentuk yang sempurna kepada pikiran mereka, dengan maksud memberi kesan kepada pendengarnya,
apalagi pendeta-pendeta patut berusaha memberi bentuk yang pantas kepada khotbahnya, bukan
supaya mengesankan bagi orang tentang pikiran dan kepandaian manusia, melainkan untuk
memperdengarkan Firman Tuhan yang betul!

Di sini harus dipikirkan juga permulaan dan akhir khotbah. Kaidah satu-satunya yang tetap berlaku
mengenai permulaan, ialah bahwa kalimat-kalimat yang pertama segera menarik perhatian jemaat,
Karena andaikata pendengar-pendengar sudah merasa bosan pada permulaan khotbah, mungkin sekali
mereka melayangkan pikirannya atau mengantuk sepanjang khotbah itu. Tetapi kaidah tersebut tidak
berarti bahwa kita perlu membuat suatu 'pendahuluan' yang khusus. Justru pendahuluan yang demikian
dapat menjemukan orang terutama jika si pengkhotbah menganggap perlu membawa pendengarnya
dengan lambat laun saja kepada pokok nats khotbah. Yang sebenarnya diharapkan jemaat dari
pendetanya, ialah supaya ia menyampaikan Firman Tuhan kepadanya, bukan membuang waktu dengan
berkata lebih dulu tentang ini dan itu yang tidak ada hubungannya dengan nats Alkitab.

Jika dikatakan bahwa permulaan khotbah harus menarik dengan itu tidaklah juga dimaksudkan bahwa si
pengkhotbah lebih dulu menceritakan salah satu cerita, entah bersangkut-paut dengan perikop atau
tidak. Dengan sengaja kita berkata tentang permulaan dan bukan tentang pendahuluan khotbah, karena
tidak perlu pendeta membicarakepada cara improvisasi (atau ex tempore) saja, artinya mengemukakan
pikiran yang baru timbul ketika berdiri di atas mimbar. Tentulah cara ini tidak dapat disetujui sesudah
membaca apa yang diuraikan tentang ujud khotbah dan usaha melakukan hermeneutika yang
bertanggung pada saat itu juga akan mengajar kamu apa yang harus kamu katakan" jawab. Jika "tukang
improvisasi" itu menunjuk kepada Roh Kudus yang menghiburkan murid-murid supaya jangan takut
apabila dibawa orang (Luk. 12:12), maka kita menjawab bahwa nats tersebut tadi tidak mengenai
pemberitaan Firman Tuhan pada umumnya, melainkan mau ke hadapan pemerintah rohani atau
duniawi. Tidak pernah dikatakan tidak mempersiapkan diri untuk berkhotbah) daripada mereka yang
bahwa Roh Kudus lebih berkenan menolong orang yang malas (yang dengan rajin berusaha memahami
isi nats Alkitab untuk menerangkana kepada jemaat dengan sebaik-baiknya, atau bahwa Roh Kudus lebih
persiapan. Jika seorang pendeta tidak bekerja menyusun khotbahnya aktif di atas mimbar daripada di
kantor tempat pendeta mengadakan lebih dulu, maka kemungkinan besar bahwa apa yang
diucapkannya di atas mimbar bukan rahasia-rahasia Roh Kudus, melainkan pikiranpikiran yang sudah
lama di dalam hatinya, bahkan pikiran itu sering di sampaikan dalam keadaan kacau karena tidak
disaring dan disusun nya lebih dulu.

Yesus mengumpamakan seorang ahli Taurat dengan "tuan rumah, yang mengeluarkan harta yang baru
dan yang lama dari perbendaharaannya” (Mat. 13:52). Dengan cara improvisasi, apa yang dikeluarkan
agaknya adalah hal-hal yang lama saja, karena yang baru harus diterima lebih dulu dari Tuhan (ketika
menyelidiki Alkitab) sebelum dapat diteruskan kepada jemaat.
Memang ada kenyataan dalam sejarah bahwa beberapa ahli berkhotbah (dan pidato) mengucapkan
khotbah atau pidato yang sangat mengesankan biarpun tidak bersiap-siap lebih dulu. Hal itu hanya
dapat terjadi karena mereka sejak lama memikirkan pokok mereka dengan sedalam-dalamnya, dan
karena mereka mempunyai bakat menyusun bahan itu pada saat menghadapi pendengarnya dengan
jelas dan dengan cara menarik. Tetapi untuk menafsirkan suatu nats Alkitab, cara improvisasi adalah
paling tidak memuaskan, karena pendeta agaknya tidak mengetahui lebih dulu apakah tujuan Firman
Tuhan dengan perantara nats khotbahnya untuk masa dan keadaan yang tertentu. Pada waktu
menyediakan khotbah, pendeta itu perlu mendengar Firman Tuhan lebih dulu untuk dirinya sendiri ,
maka dengan demikian ia akan insaf pula bahwa rancangan Allah bukan rancangan manusia, dan jalan
Tuhan bukan jalan kita, melainkan jauh berbeda seperti tingginya langit dari bumi (Yes. 55:8-9).

Daimla பபாபோமா

63

kepada cara improvisasi (atau ex tempore) saja, artinya mengemukakan pikiran yang baru timbul ketika
berdiri di atas mimbar. Tentulah cara ini tidak dapat disetujui sesudah membaca apa yang diuraikan
tentang ujud khotbah dan usaha melakukan hermeneutika yang bertanggung pada saat itu juga akan
mengajar kamu apa yang harus kamu katakan" jawab. Jika "tukang improvisasi" itu menunjuk kepada
Roh Kudus yang menghiburkan murid-murid supaya jangan takut apabila dibawa orang (Luk. 12:12),
maka kita menjawab bahwa nats tersebut tadi tidak mengenai pemberitaan Firman Tuhan pada
umumnya, melainkan mau ke hadapan pemerintah rohani atau duniawi. Tidak pernah dikatakan tidak
mempersiapkan diri untuk berkhotbah) daripada mereka yang bahwa Roh Kudus lebih berkenan
menolong orang yang malas (yang dengan rajin berusaha memahami isi nats Alkitab untuk
menerangkana kepada jemaat dengan sebaik-baiknya, atau bahwa Roh Kudus lebih persiapan. Jika
seorang pendeta tidak bekerja menyusun khotbahnya aktif di atas mimbar daripada di kantor tempat
pendeta mengadakan lebih dulu, maka kemungkinan besar bahwa apa yang diucapkannya di atas
mimbar bukan rahasia-rahasia Roh Kudus, melainkan pikiranpikiran yang sudah lama di dalam hatinya,
bahkan pikiran itu sering di sampaikan dalam keadaan kacau karena tidak disaring dan disusun nya lebih
dulu.

Yesus mengumpamakan seorang ahli Taurat dengan "tuan rumah, yang mengeluarkan harta yang baru
dan yang lama dari perbendaharaannya” (Mat. 13:52). Dengan cara improvisasi, apa yang dikeluarkan
agaknya adalah hal-hal yang lama saja, karena yang baru harus diterima lebih dulu dari Tuhan (ketika
menyelidiki Alkitab) sebelum dapat diteruskan kepada jemaat.
Memang ada kenyataan dalam sejarah bahwa beberapa ahli berkhotbah (dan pidato) mengucapkan
khotbah atau pidato yang sangat mengesankan biarpun tidak bersiap-siap lebih dulu. Hal itu hanya
dapat terjadi karena mereka sejak lama memikirkan pokok mereka dengan sedalam-dalamnya, dan
karena mereka mempunyai bakat menyusun bahan itu pada saat menghadapi pendengarnya dengan
jelas dan dengan cara menarik. Tetapi untuk menafsirkan suatu nats Alkitab, cara improvisasi adalah
paling tidak memuaskan, karena pendeta agaknya tidak mengetahui lebih dulu apakah tujuan Firman
Tuhan dengan perantara nats khotbahnya untuk masa dan keadaan yang tertentu. Pada waktu
menyediakan khotbah, pendeta itu perlu mendengar Firman Tuhan lebih dulu untuk dirinya sendiri ,
maka dengan demikian ia akan insaf pula bahwa rancangan Allah bukan rancangan manusia, dan jalan
Tuhan bukan jalan kita, melainkan jauh berbeda seperti tingginya langit dari bumi (Yes. 55:8-9).

Sebagai kesimpulan boleh dikatakan bahwa khotbah improvisasi hanya diizinkan apabila pendeta
dengan tidak disangka-sangka diminta mengadakan kebaktian. (Kata "improvisasi” dari bhs. Latin
improvisus tidak tersangka, tidak direncanakan, dengan tiba-tiba). Jadi jika seorang pendeta tiba-tiba
diminta mengadakan kebaktian, jangan ia menolak sambil menerangkan bahwa ia tidak bersedia untuk
itu. Melainkan hendaklah ia memilih satu pokok atau nats yang sudah pernah direnungkan dengan baik-
baik sambil mengharapkan pertolongan Roh Kudus.

Untuk khotbah yang direncanakan lebih dahulu harus dituntut suatu persiapan seperti diuraikan dalam
Bab II: nats khotbah pada taraf yang pertama diselidiki secara ilmiah, dan pada taraf yang kedua
diperhadapkan dengan keadaan dan soal-soal masa sekarang. Sudah tentu dalam usaha ini pengkhotbah
tidak berdiri di atas nats, melainkan ia sadar bahwa di dalamnya Tuhan hendak berfirman kepadanya,
oleh sebab itu ia akan bekerja dalam suasana meminta doa dan mendengar dengan rendah hati apa
yang dikatakan Tuhan kepadanya. "Seorang pengkhotbah tidak boleh puas sebelum nats khotbah itu
mulai berkata kepadanya sedemikian rupa hingga minatnya dibangkitkan, lantas ia menjadi pendengar
pertama dari yang akan diberitakanya kemudian kepada jemaat" (Schädelin).

Karena bentuk khotbah ditentukan oleh isinya, maka sudah barang tentu ketika meditasi itu sudah
terbayang-bayang bagaimana kira-kira susunan khotbah dengan bagiannya masing-masing, titik
beratnya, tujuannya, contoh-contoh dan sebagainya. Segala pikiran yang timbul waktu itu terus dicatat,
kemudian disusun sedemikian rupa hingga terjadi rangka dasar yang logis, artinya bagian masing-masing
membicarakan suatu pokok yang tertentu, dan segala bagian ada hubungannya yang nyata satu sama
lain, seolah-olah menampakkan suatu perkembangan pikiran yang dapat diikuti oleh pendengar tanpa
kesulitan. Tetapi janganlah kita berpendapat bahwa semua pikiran dan catatan yang timbul dalam usaha
meditasi itu harus dipaparkan juga dalam khotbah. Ada renungan yang tidak erat bersangkut-paut
dengan nats kita, ada pikiran yang membawa terlalu jauh dari tujuannya, ada penyelidikanpenyelidikan
yang penting untuk pengkhotbah sendiri, tetapi yang hanya memberatkan atau menjemukan jemaat,
ada contoh atau perumpamaan yang terlalu pincang semua hal yang demikian tidak boleh masuk ke
dalam khotbah! Jadi sesudah bagian meditasi selesai, perlu kita menyaring catatan-catatan kita, yaitu
membuang segala unsur yang kurang pantas untuk pemberitaan kita.

Di sini timbullah soal apakah khotbah seluruhnya harus ditulis kalimat demi kalimat, atau apakah cukup
berkhotbah berdasarkan

-catatan saja. Kedua cara

cam catatanitu ada baiknya dan ada buruknya. Jika khotbah ditulis lebih dulu, maka baiknya ialah bahwa
kita terpaksa menyusun pikiran-pikiran lebih dulu, mencari kata dan kalimat yang akhirnya boleh kita
membaca seluruhnya kepada diri kita, seolah-olah tepat untuk memberi bentuk kepada pikiran dan
perasaan kita, dan menjadi pendengar yang pertama yang dengan kritis menilai khotbah itu. Ada
kemungkinan juga: kita membacakan khotbah kita kepada seorang teman yang cukup kritis dan berani
memberitahukan kesannya sehingga kita dapat memperbaiki bagian-bagian yang kurang jelas atau
menyeleweng dari nats khotbah. Tetapi ada juga bahaya yang menganpengkhotbah pada jalan ini: ketika
menulis khotbahnya barangkali ia kurang insaf bahwa ia harus mengadakan percakapan (dialog) dengan
jemaatnya. Khotbahnya menyerupai suatu karangan teologis yang mungkin dapat dipergunakan oleh
salah satu majalah Gereja, tetapi kurang tepat untuk diucapkan dari mimbar. Tentulah bahaya itu dapat
di singkirkan jika pendeta ketika menulis khotbahnya selalu insaf bahwa karangan itu akan disampaikan
secara lisan kepada jemaat. Bahaya yang kedua ialah bahwa pendeta di atas mimbar tidak
menyampaikan khotbahnya dengan bebas, melainkan membacakan naskah khotbah kepada para
pendengarnya. Cara penyampaian khotbah yang demikian harus ditolak mentah-mentah karena
beberapa hal (lihat bagian c) di bawah).

Jika pendeta mempergunakan catatan-catatan saja yang disusun ketika meditasi, maka baiknya ialah
bahwa ia tidak terikat kepada naskah khotbah, melainkan menghadapi jemaat dan membentuk
kalimatkalimatnya dalam hubungan yang langsung dengan pendengarnya. Pengkhotbah tidak dipandang
sebagai perantara saja di antara naskah khotbah (entah ditulis oleh dia sendiri atau orang lain?) dan
jemaat itu (apakah ia memang membacakan kepada jemaat atau kepada dirinya sendiri saja?),
melainkan jemaat menyaksikan usaha pendeta untuk berpikir dan memberi bentuk kepada pikirannya
yang dapat dipahami oleh pendengar. Tetapi di sini pun harus ditunjukkan beberapa bahaya. Ada
kemungkinan bahwa ketika membuat persiapan, pendeta mencatat judul-judul tentang bagian-bagian
khotbah, tetapi tidak cukup dipikirapa yang mau dikatakan dalam bagian masing-masing. Jadi si
pengkhotbah mulai mengobrol saja, dan kecek yang dikeluarkannya mungkin sekali tidak banyak
bersangkut-paut dengan Firman Tuhan, Untuk menutup kekosongan dalam persiapannya ia berbicara
tentang Allah dan manusia pada umumnya, mulai dari Adam sampai kepada Wahyu, atau mengisi
kelowongan dengan kalimat-kalimat yang umum mengenai dosa dan keselamatan yang tidak dapat
menarik si pendekan ngar.

dulu, atau meditasi yang menghasilkan catatan-catatan saja? Tidak Jadi cara mana yang akan kita pilih:
khotbah yang ditulis lebih perlu kita memilih satu cara sambil menolak yang lain secara mutlak.
khotbahnya lebih dulu jika kemungkinan itu ada, tetapi dalam pada itu Sebagai pedoman umum boleh
dikatakan: hendaklah pendeta menulis perlu dikemukakan suatu syarat yang mutlak, yaitu khotbah
harus dihafal dalam garis besarnya sehingga dapat disampaikan dengan bebas kepada jemaat. Ketika
pendeta mengadakan turne (kunjungan), agaknya tidak mungkin menulis tiap-tiap khotbah lebih dulu.
Tetapi biarpun ia akan memberitakan Injil berdasarkan catatan-catatan saja, hendaklah si dicegah. Entah
pendeta atau pemberita berdayung di dalam perahu, pengkhotbah berusaha supaya bahaya yang
tersebut di atas dapat entah berjalan kaki melalui hutan rimba, selalu ada kesempatan melakukan
meditasi, artinya memikirkan nats yang dipilih untuk khot. bah nanti. Maka ketika ia sudah tiba di
kampung tempat kebaktian, ia mengundurkan diri sebentar untuk mencatat hasil pemikirannya dan
membuat rangka dasar untuk khotbahnya. Tetapi sesudah turne selesai, baiklah pendeta menyediakan
lebih banyak waktu lagi untuk mempersiapkan khotbahnya sehingga ia dapat menulisnya seluruhnya.
Dengan demikian ia memaksa diri pula melakukan penyelidikan yang seksama dan teliti yang menjadi
syarat untuk khotbah yang betul-betul. Baiklah kita menyimpulkan pertimbangan ini sebagai berikut:
pendeta boleh berkhotbah berdasarkan catatan-catatan saja jika keadaan mendesak, tetapi persiapan
secara tertulis pada umumnya lebih menjamin suatu khotbah yang memuaskan.

Akhirnya harus disinggung hal waktu yang dipergunakan untuk persiapan. Pemberitaan Injil adalah tugas
pendeta yang terpenting, oleh sebab itu hendaklah ia menyediakan cukup waktu untuk persiapan itu.
Janggal betul jika seorang pendeta berkata bahwa ia tidak ada waktu untuk persiapan khotbah. Biasanya
soal terletak pada faktor yang lain: orang itu tidak sanggup membagi-bagi waktunya sesuai dengan
keperluan pelayanannya. Mengenai waktu yang harus diuntukkan bagi persiapan khotbah tidak dapat
ditetapkan kaidah yang umum. Ada orang yang bekerja lancar, ada yang perlahan-lahan, selain daripada
itu ada nats yang makan lebih banyak waktu dari nats yang lain. Tetapi sebagai angka rata-rata boleh
dikatakan bahwa untuk persiapan yang lengkap mulai dari usaha eksegese sampai menghafal khotbah
harus dihitung 12 jam. Oleh sebab itu janganlah persiapan itu dimulai pada hari Sabtu, tentu hasil yang
diinginkan tidak tercapai. Hal yang penting ialah pada hari Senin. (Ada pendeta yang memilih nats
khotbah 4 minggu sebelum berkhotbah supaya cukup waktu untuk tafsiran dan renungan!) Jika nats
sudah dipilih, maka waktu malam sebelum tidur, atau pagi

percakapan dan pembacaan selama satu minggu akan dihubungkan pagi sebelum bangun kita
merenungkannya, dan segala pengalaman, gunakan sebagai contoh atau penjelasan di dalam khotbah
nanti. dengan perikop kita dan mungkin sebagiannya pantas untuk diperBaiklah sebagai usul dikemukan
rencana
berikut: Senin/Selasa Rabu Kamis

persiapan khotbah sebagai

Jumat Sabtu/Minggu pagi : menetapkan nats dan melakukan tafsirannya. merenungkan nats khotbah
sambil mencari hubungannya dengan masa kini (meditasi). menulis khotbah. menghafal khotbah.

Tentulah rencana

yang demikian tidak perlu menjadi peraturan mutlak, melainkan tiap-tiap pengkhotbah harus mencari
sendiri cara yang terbaik. Sudah barang tentu rencana di atas tidak berarti bahwa pendeta membuat
persiapan untuk khotbahnya sepanjang hari dari Senin sampai Sabtu! Jika kita ambil waktu yang
tersebut di atas, maka kita akan mempergunakan rata-rata dua jam sehari untuk persiapan khotbah.

b) Tentang gaya bahasa khotbah

Tiap-tiap orang sebenarnya mempunyai gaya bahasa yang tersendiri, artinya caranya membentuk
kalimat-kalimat dan corak yang memberikan kepada pikirannya berbeda dari cara orang lain. (Bnd.
misalnya perbedaan gaya bahasa di antara nabi-nabi Israel, di antara Matius dengan Yohanes, Paulus
dengan Yakobus!). Firman Tuhan tidak menghapuskann perbedaan-perbedaan tersebut, melainkan
mempergunakan dan menyempurnakan gaya bahasa yang ada pada kita masingmasing. Oleh sebab itu
tidak dapat dibenarkan jika seorang pengkhotbah muda meniru gaya bahasa dan cara berkhotbah
pendeta yang tua (entah yang menjadi gurunya atau yang mengesankan dia oleh caranya yang
istimewa). Meskipun tidak dapat diberikan kaidah-kaidah yang tegas mengenai gaya bahasa yang
berlaku untuk tiap-tiap pengkhotbah secara umum, namun perlu kita memperhatikan beberapa
petunjuk yang tidak boleh diabaikan jika kita ingin supaya khotbah dimengerti oleh semua orang. Apa
yang dikatakan dalam pasal "Khotbah untuk Jemaat" (hlm. 22-26) harus dipikirkan lagi berhubungan
dengan hal gaya bahasa.
Tuntutan yang mutlak yang berlaku untuk semua pengkhotbah gaya bahasa dan karangan khotbah
harus sedemikian rupa hingga jemaat dapat mengerti Firman Tuhan yang disampaikan kepadanya. Jadi
bahasa dan susunan kita harus menjadi sederhana, bukan dalam ialah:

arti "primitif" atau "kurang bermakna", melainkan dalam arti terang, jelas, gampang dimengerti oleh
orang banyak. Kalimat-kalimat tidak boleh terlalu panjang, dan segala kata-kata asing, istilah teologi
yang tidak umum dan kutipan-kutipan dalam bahasa asing patut dielakkan. Dengan sengaja hal itu di sini
dititikberatkan sekali lagi karena sudah menjadi suatu penyakit di antara kita mempergunakan bahasa
asing di dalam khotbah. Mungkin dengan demikian pendeta mau membuktikan pengetahuannya dan
supaya mengesankan bagi para pendengar, tetapi dalam pada itu ia sudah jauh menyeleweng dari
tugasnya. Rasul Paulus pernah merasa perlu "memegahkan diri” karena dipaksa oleh orang Korintus
yang tertarik oleh rasul-rasul palsu yang membesarkan diri sambil menghina Paulus (2 Kor. 11-12).
Tetapi ia yakin bahwa lagak-lagakan itu tidak menurut kehendak Tuhan, melainkan kebodohan manusia
saja: jemaat tentu tidak dibangun oleh petunjukan kepintaran pendeta. Oleh sebab itu hendaklah
penjelasan Paulus (2 Kor. 11:17) menjadi suatu teguran untuk mereka yang suka mempertunjukkan
kearifan mereka di atas mimbar:

"Apa yang aku katakan, aku mengatakannya bukan sebagai seorang yang berkata menurut firman
Tuhan, melainkan sebagai seorang bodoh yang berkeyakinan, bahwa ia boleh bermegah".

Kesanggupan menguraikan sebuah pokok dengan sederhana dan bersahaja menuntut suatu usaha yang
luar biasa ketika membuat persiapan. Karena biasanya nats khotbah sendiri tidak sederhana, bahkan
makin lama kita memikirkannya makin ruwet dan banyak simpang siurnya. Tentu salah jika kita
mengabaikan segala soal yang terletak di dalam nats kita, tetapi kita tidak boleh terseret di dalamnya,
melainkan harus bekerja sampai soal-soal tersebut dipecahkan, simpul-simpul diuraikan, bagian-bagian
yang gelap diterangkan. Hendaklah kita belajar dari guru yang baik: jika ia mau mengatasi suatu pokok
yang tertentu ia terpaksa menyelidikinya sedalam-dalamnya, membaca buku-buku yang bersangkutan,
seolah-olah naik ke taraf yang tertinggi dalam pengetahuan dan keahlian mengenai pokok tersebut.
Tetapi sebelum menghadapi murid yang mau diajarinya ia harus turun lagi dari tempatnya yang tinggi
itu, mempersahajakan ilmunya sedemikian rupa sehingga anak-anak itu dapat memahaminya. Hanya
dialah patut disebut guru yang baik yang sanggup menyesuaikan bahannya dengan kesanggupan
muridnya. Hal itu berlaku juga untuk pendeta! Sering kedengaran keluhan bahwa khotbah seorang
pendeta melayang di atas kepala-kepala para pendengar; sebabnya ialah si pengkhotbah tidak berusaha
menyesuaikan diri dengan kesanggupan jemaatnya. Dalam pada itu janganlah kita bimbang jika terdapat
beberapa orang 'cendikiawan' dalam ke baktian. Seringkali orang itu dalam hal-hal rohani tidak melebihi
taraf seorang yang baru sidi.
Cara yang terbaik untuk menjelaskan

syarat yang berikut: suatu ajaran yang abstrak jalah dengan memakai lukisan, perumpamaan atau
kiasan. Dalam hal ini dapat kita belajar dari Tuhan Yesus sendiri yang memakai banyak menjelaskan
ajarannya dengan kiasan-kiasan. Dengan cara menceriperumpamaan (bnd. Mat. 13:34). Rasul Paulus
pun selalu berusaha takan lebih dulu 'sesuatu yang diketahui dan dimengerti semua orang, dapatlah
diterangkan hal-hal yang belum diketahui dan belum dimengerti; peristiwa duniawi menjadi kiasan
kerajaan Allah: kenyataan bendawi menunjuk kepada hakikat rohani. Tidak selalu gampang menemukan
kiasan atau perumpamaan yang tepat, oleh sebab itu pengkhotbah pada waktu membuat persiapan
perlu memikirkan hal itu dengan tekun dan mencari-cari sampai ia mendapat perumpamaan atau cerita
penjelasan yang memuaskan. Dalam hal itu harus dipenuhi syarat

Perumpamaan jangan diceritakan sebagai tambahan saja atau untuk menarik hati orang, melainkan
harus ada sangkut-paut yang langsung dengan nats khotbah dan kebenaran yang hendak disampaikan
kepada jemaat;

kiasan yang dipilih itu tidak boleh terlalu pincang, artinya bertentangan dengan apa yang mau
dijelaskan, karena jika begitu si pendengar disesatkan, bukan diberi pelajaran;

perumpamaan atau cerita penjelasan mempunyai fungsi melayani di dalam khotbah, oleh sebab itu
tidak boleh menjadi hal yang utama dari khotbah itu (sehingga mis. si pendengar sesudah khotbah
hanya teringat akan cerita pendeta saja, tetapi lupa akan hubungannya dengan Firman Tuhan yang
hanya mau dijelaskan oleh kiasan itu!);

tidak boleh dicampur dua perumpamaan atau kiasan, karena hal itu mengacaukan pikiran si pendengar,
bahkan bisa menggelisahkan. (Mis. orang Kristen diumpamakan dengan domba-domba gembalaan yang
baik yang dibangun sebagai batu menjadi rumah rohani (Yoh. 10; 1 Ptr. 2:4-5);

janganlah cerita yang sama dipergunakan berulang-ulang, karena hal itu menjemukan pendengar,
bahkan mereka akan menertawakan pengkhotbah yang selalu menyajikan kiasan yang sudah lama
diketahui orang. .
Tetapi panjang khotbah tidak dapat diberi menit. Yang utama ialah bukan lamanya kita berkhotbah,
melainkan Yang lazim didengar pada masa kini ialah khotbah di antara 15 dan 45 supaya khotbah berisi
dan perhatian orang tertarik oleh Firman Tuhan. yang kurang baik akan membosankan orang biarpun
seperemKhotbah

peraturan yang tetap

pat jam saja, padahal jika minat orang tetap dipertahankan, maka 45 menit dirasa seperti waktu yang
singkat saja. Pada umumnya tidak + 30 menit, dengan kelonggaran untuk menambah atau mengurangi
salah jika kita berpegang kepada jalan tengah, yaitu berkhotbah selama sedikit. Berdasarkan
pengalaman kita masing-masing mengenai ce patnya kita berbicara dapat dihitung berapa halaman
perlu kita tulis sehingga dapat mengisi waktu khotbah yang direncanakan. Khotbah yang terlalu panjang
biasanya menyatakan bahwa si pengkhotbah kurang membuat persiapan, artinya ia tidak cukup
menyaring bahan-bahan yang dikumpulkan, atau ia terus-menerus bicara karena belum puas dengan
apa yang dikatakannya selama itu. Cuma dengan demikian kelalaiannya tidak dibetulkan, bahkan makin
nyata dan menyolok mata. Seorang pendeta yang ketika berkhotbah memperhatikan reaksi pendengar-
pendengarnya dapat mengetahui apakah caranya berkhotbah me. narik atau tidak. Jika anggota-anggota
jemaat berbisik-bisik, menguap, mengantuk, menggaruk lantai dengan kaki membaca dalam Alkitab atau
kitab nyanyian, maka sudah barang tentu semua itu menjadi tanda bahwa khotbah itu tidak
memuaskan. Maka haruslah pendeta membuat suatu analisis dari khotbahnya berdasarkan patokan
ilmu homiletika untuk membetulkan caranya berkhotbah.

c) Hal menghafal khotbah

Di atas sudah dikatakan bahwa cara membacakan khotbah kepada jemaat harus ditolak mentah-
mentah. Apa sebabnya? Jika kita bercakap-cakap dengan seorang teman, tentu kita menghadapi dia,
memandang mukanya, memperhatikan reaksinya, menyesuaikan perkataan kita dengan
kesanggupannya untuk memahami dan mengertinya. Oleh sebab itu, jika khotbah itu memang menjadi
suatu dialog, artinya percakapan dengan jemaat, maka perlu sekali pendeta menghadapi jemaat (bukan
naskahnya!) berkata menuju pendengarnya (bukan menuju kakinya!) dan memperhatikan reaksi
anggota jemaat. Kalau syarat-syarat dialog itu tidak dipedulikan, maka tidak heran jika para pendengar
merasa bahwa pengkhotbah itu membaca khotbah untuk diri sendiri saja, mengadakan sebuah monolog
yang bersifat "terserah kepada siapa yang mau mendengarnya! Kecuali kalau isi khotbah yang dibacakan
demikian menarik secara luar biasa (yang sebenarnya jarang terjadi), maka kemungkinan besar banyak
orang tidak sanggup memusatkan perhatiannya kepada suara orang yang "kesunyian" di atas mimbar itu
yang membacakan hasil pemikirannya dengan agak monoton (selalu sama nadanya).
Jadi jika khotbah seluruhnya ditulis, tetapi tidak dibacakan di atas mimbar, maka haruslah pendeta
menghafal khotbahnya sebagai langkah yang terakhir dalam persiapannya. Tentu usaha ini tidak akan
memuas

cara melainkan kita lebih dulu harus menentukan cukup waktu pada waktu kan jika dilakukan selama
setengah jam saja pada malam Minggu, otak tidak capai, misalnya Sabtu pagi. Cara menghafal tidak
boleh semekanis, artinya naskah dimasukkan ke dalam otak tanpa bantuan akal dan perasaan,
melainkan sementara menghafal hendaklah kita terus-menerus memikirkan dan merenungkan Firman
Tuhan yang telah kita dengar dan yang nanti akan kita perdengarkan kepada jemaat. Dalam usaha ini
mungkin sekali kita akan insaf bahwa suatu kalimat kurang jelas, suatu kata harus diganti oleh kata lain,
suatu penjelasan pendek harus disisipkan di antara dua bagian, beberapa kalimat patut dicoret dan
sebagainya. Semua itu dapat dilaksanakan ketika menghafal khotbah. Jika kita menghafal secara
demikian, maka jemaat tidak akan pengkhotbah digerakkan oleh Firman Tuhan, dan pendeta itu tidak
memperdebatkan salah satu pokok teologi, melainkan berbicara dari hati ke hati sebagai utusan Tuhan.
Kata seorang ahli khotbah: "Tiaptiap khotbah lahir dua kali pertama di meja tulis, kedua di mimbar”
(Tholuck).

Apabila kita sudah menghafal khotbah itu janganlah kita membawa naskah ke atas mimbar, karena ada
bahaya kita toh terlalu terikat kepada persiapan yang tertulis itu. Melainkan hendaklah kita, ketika
menghafal, memberi judul kepada bagian khotbah masing-masing, atau mencatat inti tiap-tiap pasal
saja, maka berdasarkan catatan-catatan ini kita sanggup mengucapkan khotbah itu dengan bebas tanpa
lupa akan hal-hal yang penting. Sudah barang tentu tiap-tiap kalimat dan tiap-tiap kata tidak perlu tepat
sama seperti termuat dalam naskah, asal kita berpegang secara umum kepada hasil persiapan kita.

Tuntutan supaya khotbah itu dihafal mempunyai juga suatu arti nilai terhadap khotbah kita. Kita semua
mengetahui bahwa jika kita membaca sebuah cerita yang menarik, biarpun membacanya satu kali saja,
kita sanggup menceritakannya kepada orang lain dalam garis besarnya. Akan tetapi lain halnya dengan
kupasan filsafat atau teologi: mungkin sekali kita harus membacanya berulang-ulang, baru kita
mengerti , tetapi belum sanggup juga menguraikannya kepada orang lain. Dengan kata lain: hal yang
konkret dan menarik lebih gampang dihafal dan dimengerti daripada hal yang abstrak yang tidak
mengesankan. Lagi, jika seseorang menceritakan kepada kita berturut-turut perjalanannya dari
Indonesia ke Eropa, maka kita dengan mudah dapat mengikuti laporannya dan kemudian sanggup akan
mengulang apa yang telah kita dengar. Akan tetapi jika laporan itu kacau, sebentar disinggung pelayaran
di laut, sesudah itu persiapan-persiapan sebelum berangkat, lantas beberapa pengalaman di Eropa,
kemudian dua tiga

penjelasan yang melupakan mengenai pelayaran, maka sudah tentu si dengan teratur, gampang
dimengerti dan dihafal, padahal apa yang pengalaman pelancong itu dengan teratur. Tegasnya, apa yang
disusun pendengar pusing kepala dan tidak akan sanggup membayangkan kusut dan kacau susunannya,
menyebabkan pusing kepala.

Dari contoh-contoh di atas kita mengambil kesimpulan sebagai berikut: khotbah yang disusun baik, yang
isinya konkret dan uraiannya jelas dapat dihafal dengan mudah oleh pendeta sendiri, bahkan akan
dimengerti dan diingat oleh para pendengar. Sebaliknya: jika pengkhotbah merasa sulit menghafal
khotbahnya, hendaklah ia memeriksa nas kahnya berdasarkan pertanyaan yang berikut:

Apakah khotbah saya sudah saya susun dengan logis dan betul, artinya ada perkembangan yang teratur,
perjalanan langkah demi langkah, dari permulaan sampai akhir?

Apakah khotbah saya sudah saya berikan bentuk yang menarik, artinya segala bagian dapat dimengerti
karena konkret, dijelaskan oleh kiasan, dihubungkan dengan masa kini? Jika syarat-syarat itu sudah
dipenuhi,

tentu pendeta tidak akan mengalami kesulitan dalam menghafal khotbahnya.

Akhirnya hendaklah kita memperhatikan ini: tentu saja kita menghendaki supaya jemaat sesudah
kebaktian tetap ingat akan isi khotbah kita, karena Firman Tuhan yang disampaikan kepada mereka
patut menjadi pedoman untuk kehidupan kita masing-masing. Tetapi jika khotbah itu sedemikian rupa
hingga pendeta sendiri tidak dapat ingat akan isinya yang dikarangnya sendiri (tidak sanggup
menghafalnya!), lebih-lebih lagi para pendengar akan lekas lupa khotbah itu, bahkan kemungkinan besar
bahwa mereka sama sekali tidak

memahaminya.

3. Pengucapan khotbah

Selama ini dibicarakan segala soal mengenai persiapan khotbah. Kini harus dipikirkan cara mengucapkan
khotbah dengan sebaikbaiknya. Hal itu tidak boleh dilalaikan, karena dengan pengucapan yang kurang
baik, artinya sebuah khotbah yang sempurna dapat berkurang bahkan hilang sama sekali. Tetapi
sebaliknya tidak boleh dikatakan bahwa pengucapan yang sempurna memberi makna kepada khotbah
yang tidak berisi! Di atas sudah diuraikan dengan panjang lebar bahwa khotbah itu harus disampaikan
dengan bebas, artinya tanpa terikat petpada naskah. Hal itu agaknya sudah jelas dan tidak usah
dititikberatkan lagi. Masih ada beberapa pokok lain yang patut diperhatikan berhubung dengan
pengucapan khotbah itu:

Suatu syarat yang penting ialah supaya suara pengkhotbah terang dan cukup nyaring. Khotbah yang
terbaik tidak akan mengesankan jika jemaat tidak mengertinya karena suara terlalu lembut atau
pengkhotbah tidak membuka mulutnya dengan semestinya. Jika seorang pendeta sadar bahwa caranya
mengucapkan kata-kata tidak memuaskan, hendaklah ia berlatih dengan pertolongan seorang teman
sampai sanggup mengeluarkan kata-kata dengan terang.

Pada pihak lain salah juga jika suara pendeta terlalu besar, karena memekakkan dan meletihkan para
pendengar. Seorang ahli homiletika menunjuk kepada nats Daniel 10:6 di mana dikatakan tentang
seorang malaikat bahwa "suara ucapannya seperti gaduh orang banyak”. Katanya, hal itu pantas untuk
malaikat yang wajahnya seperti cahaya kilat dan matanya seperti suluh yang menyala-nyala, akan tetapi
kita ini manusia saja dan bukan malaikat, oleh sebab itu hendaklah suara kita sama seperti suara
manusia juga. Tidak ada gunanya menutup kelemahan isi khotbah dengan bunyi suara yang
berdengung! Yang jauh lebih penting dari besar suara, ialah lafal yang tepat sehingga semua huruf dan
suku-suku kata terdengar.

Yang harus sangat dijaga juga ialah pengucapan khotbah secara monoton, artinya suara tetap pada nada
yang sama, tidak ada lagunya, tidak ada perubahan lembut/keras atau cepat/perlahan-lahan. Tentu
monotoni itu adalah musuh tiap-tiap khotbah, karena dengan suara yang demikian si pendengar dinina-
bobokan (dibuat mengantuk), dan tentulah orang yang mengantuk tidak akan digerakkan oleh khotbah
biarpun isinya betul. Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan monotoni dan oleh sebab itu harus
dihindarkan:

jika khotbah dibacakan saja dari naskah, bahaya monotoni memang besar, karena usaha pendeta
membaca tulisannya dengan lancar menghalangi dia memikirkan isi khotbah dan pengucapan yang
menarik;

jika khotbah dihafalkan secara mekanis saja, pengkhotbah semata-mata hanya mereproduksi apa yang
dahulu ditulis dan dianggap sudah beku itu, maka suaranya tentu dipengaruhi sehingga kedengaran
seperti bunyi mesin saja. Sebaliknya jika pengkhotbah hidup di dalam natsnya, hatinya tetap digerakkan
oleh Firman Tuhan, maka suaranya menyaksikkan pengalaman demikian dan menarik perhatian para
pendengar; panjang

sehingga usaha

yang jika khotbah yang dikarang lebih dulu sebenarnya terlalu tetapi pendeta tidak mau berbicara
terlalu lama, maka terpaksa ia akan berbicara dengan cepat dan suaranya menjadi monoton saja.
Pendengar-pendengar biasanya tidak sanggup mengikuti khotbah

lantas ketinggalan, maka pikirannya melayang kepada hal-hal yang yang diucapkan dengan terlalu cepat,
melainkan mereka lekas capai lain yang tidak lari secepat khotbah itu.

Pada pengkhotbah kadang-kadang terdapat keyakinan yang sama sekali tidak tepat, yaitu bahwa kita
harus berkhotbah dengan cepat supaya para pendengar jangan merasa bosan. Kenyataannya
sebaliknya: penuturan yang terlalu cepat adalah menjemukan dan melesukan, padahal perkataan-
perkataan yang disusun dengan tenang dan berhati : hati adalah menarik (asal memang berisi!).
Hendaklah kita mengelakkan cara berkhotbah tanpa istirahat dari permulaan sampai habis. Isti. rahat
pendek itu ada artinya yang penting, yaitu para pendengar disa darkan bahwa kini sudah selesai satu
bagian dan mulai bagian lain; mereka dapat meringkaskan di dalam pikiran apa yang yang didengar tadi
dan bersedia menghadapi pokok yang berikut. Dalam naskah yang disusun dengan baik kita membuat
beberapa banyak bagian dengan garis yang kosong di antaranya. Dalam khotbah, garis yang kosong dan
permulaan yang baru haruslah dinyatakan dengan istirahat yang pendek. Selain daripada itu dalam
naskah dapat digaris kalimat-kalimat yang penting, tetapi garis itu tidak dilihat oleh para pendengar.
Oleh sebab itu hendaklah kita mengucapkan kalimat yang penting dengan perlahan-lahan sedikit, dan
sesudah itu berhenti sebentar. Istirahat sesudah perkataan yang penting adalah jauh lebih mengesankan
daripada beberapa kata yang ditambahkan untuk menyatakan makna kalimat yang penting tersebut,
karena mungkin sekali kata-kata yang berikut itu mengurangi arti kalimat yang penting tadi, bukan
menitikberatkannya. Kadang-kadang dapat dialami bahwa seorang pendeta yang membacakan
khotbahnya dengan tidak beristirahat, hanya berhenti sebentar ketika tidak sanggup membaca
tulisannya. Sudah barang tentu istirahat yang demikian bukan pada tempat yang tepat, bahkan sangat
mencolok mata.

Dalam usaha mengelakkan monotoni itu janganlah kita lari ke ujung lain, tegasnya jangan memberi
kepada suara kita suatu "warna" yang luar biasa yang tidak pernah kedengaran kecuali di atas mimbar
(suara yang sangat bersifat mengharukan, memilukan hati, menegur, memarahi dan sebagainya). Tetapi
yang seharusnya mengharukan dan menegur, ialah Firman Tuhan, bukan warna suara pendeta!
Perubahan suara yang mencolok itu dapat menimbulkan kesan seolah-olah pengkhotbah tidak tulus
ikhlas, tidak wajar. Mimbar itu tempat memberitakan Firman Tuhan, bukan panggung sandiwara di
mana pengkhotbah memegang peranan yang istimewa selama setengah jam! "Suara mimbar" itu
sebenarnya suatu penyakit yang tersebar di mana-mana yang harus kita berantas sekuat-kuatnya.

yang Hal yang tersebut di atas berlaku juga untuk gerak-gerik pendeta ketika menyampaikan
khotbahnya. Sudah barang tentu seseorang yang hatinya diharukan oleh Firman Tuhan dan yang
menyampaikan berita luar biasa itu kepada sesamanya tidak akan berdiri secara kaku di atas
mimbarnya, melainkan akan menggerakkan tangannya dan badannya menurut kebiasaannya. Dalam hal
itu tidak dapat diberi suatu kaidah yang tertentu, karena gerak-gerik memang bergantung kepada tabiat
masing-masing. Janganlah orang yang biasanya berbicara dengan memaksa diri menunjukkan banyak
gerak-gerik tangannya; cukup kalau ja menjaga supaya jangan terlalu kaku kelihatannya. Sebaliknya
seseorang yang biasanya menggerakkan tubuh dan anggotanya ketika berbicara boleh berbuat demikian
juga di atas mimbar, asal jangan berlebihlebihan sampai mencolok mata atau menggelikan. Sebagai
kesimpulan boleh dikatakan: janganlah warna suara dan gerak-gerik di atas mimbar berbeda dari
kebiasaan pendeta sehari-hari. mengenai wajah si

Akhirnya perlu dikemukakan sepatah dua kata pengkhotbah. Tentu kita dapat mempengaruhi secara
langsung roman muka kita, akan tetapi jelaslah bahwa paras itu membayangkan suasana hati. Kita dapat
menentukan dari muka orang apakah seseorang itu marah atau senang, berduka atau bersukacita.
Demikianlah seorang pendeta yang memberitakan kabar kesukaan janganlah berwajah seolaholah ia
marah atau sedih hati. Jika ia sendiri insaf akan arti Injil itu, tentulah dari hatinya yang penuh sukacita itu
akan terbayang juga perasaan suka pada mukanya. Jika kita memberitakan kabar kesukaan dengan
muka yang muram, tentu tidak akan diterima oleh pendengar kita. Ketika membuat persiapan khotbah,
pendeta biasanya bergumul dengan nats khotbah (dan dengan kelemahan diri!), bahkan boleh jadi ia
mengerutkan kening dan mengeluh. Akan tetapi ketika ia naik mimbar, pergumulan tersebut sudah lalu
(kecuali jika persiapannya kurang) sehingga ia tidak usah dipengaruhi lagi oleh pengalaman-pengalaman
yang dahulu itu. Dengan rendah hati (karena insaf akan dosanya dan kelemahannya), akan tetapi juga
disertai kesukaan dan keberanian si pendeta akan naik mimbar, karena Tuhan memanggil dia menjadi
utusan-Nya dengan tugas yang mahamulia, seperti dalam Efesus 2:17:

Anda mungkin juga menyukai