TINJAUAN PUSTAKA
Mangga merupakan salah satu jenis buah yang mempunyai sumber vitamin
dan mineral yang banyak terdapat di indonesia (Ademola et al, 2013). Selain
dapat dikonsumsi sebagai buah segar, mangga juga dapat diolah menjadi berbagai
macam makanan dan minuman, seperti sirup mangga, puding mangga, maupun
buah kaleng segar.
2.5.2 Morfologi
Mangga arumanis memiliki bentuk morfologi yang membedakan dari jenis
varietas mangga yang lainnya baik dari segi ukuran batang, bentuk daun, bunga,
serta buah. Mangga arum manis ini memiliki bentuk batang dengan percabangan
banyak. Diameter batang berkisar antara 150- 210 cm dengan rata-rata tinggi
tanaman kurang lebih 10m. Bentuk batang bulat serta berwarna kecoklatan
(Ichsan & Wijaya, 2014).
Daun mangga ini memiliki struktur daun sangat lebat yang berbentuk
lonjong, memanjang dengan ujung yang meruncing. Panjang daunnya sekitar 22-
24cm. Daun muda berwarna hijau muda agak kemerahan, sedangkan daun tua
berwana hijau tua. Daun mangga ini memiliki permukaan daun yang berombak
serta memiliki tangkai daun berkisar antara 4,5cm (Ichsan & Wijaya, 2014).
Bunga dari daun mangga ini yakni majemuk dan panjangnya kurang lebih
43cm sampai 45cm. Bentuk bunga seperti piramida lancip dengan warna kuning
11 muda agak kemerahan. Tangkai bunga berwarna hijau kemerahan (Ichsan
&Wijaya, 2014). Bunga mangga ini mekar sempurna pada pukul 03.00-07.00 atau
pada pukul 12.00 (Oktovianto, et al 2015).
Bagian yang paling menarik yakni buah dari tanaman mangga arumanis
ini. Buah berwarna mencolok daripada varietas buah yang lainnya. Bentuk buah
mangga ini jorong dengan kulit buah berwarna merah jingga ada pula yang
berwarna hijau kemerahan. Ukuran buah tidak terlalu besar layaknya buah
mangga pada umumnya (sekitar 200-250 gram per buah), rasa buah manis, aroma
buah harum dan tajam serta banyak mengandung air (Ichsan & Wijaya, 2014).
Buah mangga ini memiliki biji yang hampir sama bentuknya dengan buah
mangga varian lainnya. Bentuk biji (pelok) pada buah mangga arum manis ini
berukuran kecil, lonjong dan pipih (Ichsan & Wijaya, 2014).
2.7 Pir
Buah pir merupakan salah satu buah yang sering dikonsumi oleh masyarakat
Indonesia adalah Pir asia (Pyrus pyrifolia) karena buah pir memilki karakteristik
yang manis, asam dan renyah (Silvia dkk., 2014). Tingginya konsumsi masyarakat
Indonesia akan buah pir dibuktikan dengan adanya import dari China, Afrika
Selatan, Australia, Korea Selatan dan Amerika yang mencapai 69 ribu ton untuk
buah pir tersebut (Nurchayati dan Hikmah, 2014).
Salah satu upaya untuk memperpanjang masa simpan buah pir potong dapat
menggunakan pelapis edible coating yang relatif aman bila ikut dikonsumsi
bersamaan dengan buah pir. Menurut (al-Juhaimi dkk 2012), edible coating
adalah
pemberian lapisan tipis pada permukaan buah dengan tujuan untuk menghambat
gas, uap air, sehingga proses respirasi terkendali dan tidak berlebih serta
menghindari kontak dengan oksigen sehingga proses pemasakan dan pencoklatan
buah diperlambat. Lapisan yang ditambahkan pada permukaan buah ini tidak
memiliki efek yang merugikan bila dikonsumsi. Selain itu manfaat edible coating
menurut (Baldwin dkk., 2012), dapat memperbaiki kualitas tampilan dan umur
simpan buah atau sayuran.
2.8 Rehidrasi
Sebagian besar produk yang dikeringkan biasanya harus direhidrasi sebelum
dikonsumsi ataupun dikombinasikan dengan produk pangan lainnya (Maskan,
2001 dalam Ansari et al., 2015).
- 2.9 Rendemen
Pengeringan bertujuan untuk memperpanjang umur simpan dengan cara
mengurangi kadar air untuk mencegah tidak ditumbuhi oleh mikroorganisme
pembusuk. Dalam proses pengeringan dilakukan pengaturan terhadap suhu,
kelembaban (humidity) dan aliran udara. Perubahan kadar air dalam bahan pangan
disebabkan oleh perubahan energy dalam sistem (Farel, 2012).
Untuk itu, dilakukan perhitungan terhadap neraca energy untuk mencapai
keseimbangan. Menurut (Farel, 2012), alasan yang mendukung proses
pengeringan dapat pertumbuhan mikroorganisme adalah untuk mempertahankan
mutu produk terhadap perubahan fisik dan kimiawi yang ditentukan oleh
perubahan kadar air, mengurangi biaya penyimpanan, pengemasan dan
transportasi, untuk mempersiapkan produk kering yang akan 9 dilakukan pada
tahap berikutnya, menghilangkan kadar air yang ditambahkan akibat selama
proses sebelumnya, memperpanjang umur simpan dan memperbaiki kegagalan
produk. Produk kering dapat digunakan sebagai bahan tambahan dalam
pembuatan produk baru.
Pengeringan kombinasi yaitu pengeringan dengan panas sinar matahari
dan panas buatan. Cara ini lebih baik karena tidak tergantung cuaca dan bahan
bakar lebih sedikit. Pengeringan dengan sinar matahari menjadikan mutu biji lebih
baik yaitu menjadi mengkilap. Caranya adalah biji ditebarkan di lantai
penjemuran di bawah terik matahari.Tetapi pengeringan ini membutuhkan tenaga
kerja yang lebih banyak, waktu yang dibutuhkan juga sangat lama dan sangat
bergantung dengan cuaca karena jika cuaca buruk misalnya cuaca sedang hujan
atau tidak ada matahari maka pengeringan ini tidak dapat dilakukan. Untuk
mengantisipasi cuaca yang tidak menentu tersebut maka pengeringan yang baik
adalah pengeringan yang dilakukan dengan alat pengering yang dalam hal ini
dipakai cabinet dryer. Prinsip pengeringan cabinet dryer menggunakan udara
pengering sebagai medium panas dalam menurunkan kadar air biji hingga 6%
(Farel, 2012).
Pengeringan adalah terjadinya penguapan air ke udara karena perbedaan
kandungan uap air antara udara dengan bahan yang dikeringkan. Dalam hal ini
kandungan uap air udara lebih sedikit atau udara mempunyai kelembaban nisbi
yang rendah sehingga terjadi penguapan (Adawyah, 2014).
Kemampuan udara membawa uap air bertambah besar jika perbedaan
antara kelembaban nisbi udara pengering dengan udara sekitar bahan semakin
besar. Salah satu faktor yang mempercepat proses pengeringan adalah kecepatan
angin atau udara yang mengalir. Udara yang tidak mengalir menyebabkan
kandungan uap air disekitar bahan yang dikeringkan semakin jenuh sehingga
pengeringan semakin lambat. Kelembaban udara berpengaruh terhadap proses
pemindahan uap air. Apabila kelembaban udara tinggi, maka perbedaan tekanan
uap di dalam dan di luar menjadi kecil sehingga menghambat pemindahan uap air
dalam bahan ke luar. Kemampuan bahan untuk melepaskan air dari permukaan
akan semakin besar dengan meningkatnya suhu udaara pengering yang digunakan.
Peningkatan suhu juga menyebabkan kecilnya jumlah panas yang dibutuhkan
untuk menguapkan air bahan (Adawyah, 2014).
Tujuan pengeringan untuk mengurangi kadar air bahan sampai batas
perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzim yang dapat menyebabkan
pembusukan terhambat atau bahkan terhenti sama sekali. Dengan demikian, bahan
yang dikeringkan mempunyai waktu simpan lebih lama (Adawyah, 2014).
Proses pengeringan diperoleh dengan cara penguapan air. Cara tersebut
dilakukan dengan menurunkan kelembaban nisbi udara dengan mengalirkan udara
panaas di sekeliling bahan, sehingga tekanan uap air bahan lebih besar dari
tekanan uap air di udara. Perbedaan tekanan itu menyebabkan terjadinya aliran
uap air dari bahan ke udara (Adawyah, 2014).
Faktor – faktor yang mempengaruhi penguapan adalah (Adawyah, 2014)
1. Laju pemanasan waktu energi panas dipindahkan pada bahan
2. Jumlah panas yang dibutuhkan untuk menguapkan air
3. Suhu maksimum pada bahan
4. Tekanan pada saat terjadinya penguapan
Jumlah kandungan air pada bahan hasil pertanian akan mempengaruhi
daya tahan bahan tersebut terhadap serangan mikroba. Untuk memperpanjang
daya awet suatu bahan maka sebagian air pada bahan dihilangkan sehingga
mencapai kadar air tertentu (Adawyah, 2014).
1. Air Bahan
Kandungan air yang terdapat di dalam suatu bahan terdiri atas tiga jenis, masing-
masing air bahan itu adalah sebagai berikut.
a. Air bebas ( free moisture) Bagian air ini terdapat pada permukaan bahan, dapat
dipergunakan oleh mikroba untuk pertumbuhan, serta dapat pula dijadikan sebagai
media reaksi kimiawi. Air bebas dapat dengan mudah diuapkan pada proses
pengeringan. Untuk menguapkan air bebas diperlukan energi yang lebih sedikit
dibandingkan dengan menguapkan air terikat (Adawyah, 2014)
b. Air Terikat Menurut Adawyah (2014), air terikat pada bahan pangan terbagi
menjadi dua yaitu: air terikat secara fisik dan air terikat secara kimia.
1. Air terikat secara fisik
Air terikat secara fisik merupakan bagian air bahan yang terdapat dalam jaringan
matriks bahan karena adanya ikatan-ikatan fisik.
2. Air Terikat secara kimia
Untuk Menguapkan air yang terikat secara kimia dalam proses pengeringan,
dibutuhkan energi yang besar. Apabila kandungan air tersebut dihilangkan.
Apabila kandungan air tersebut dihilangkan maka pertumbuhan mikroorganisme
dan terjadi reaksi pencokelatan (browning).
2. Kadar Air Bahan
Kadar air bahan menunjukkan banyaknya kandungan air per satuan bobot bahan.
Ada dua metode untuk menentukan kadar air bahan, yaitu berdasarkan bobot
kering (dry basis) dan berdasarkan bobot basah (wet basis) (Adawyah, 2014).
Penentuan kadar air bahan berdasarkan bobot basah (wet basis) dalam perhitungan
berlaku rumus sebagai berikut (Adawyah, 2014). 𝐾𝐴 = 𝑊𝑎/𝑊𝑏 x 100%
Keterangan : KA = Kadar air bahan berdasarkan bobot basah (%) 𝑊𝑎 = Bobot air
bahan (gr) 𝑊𝑏 = Bobot air bahan basah (gr) Perhitungan kadar air bahan
berdasarkan bobot kering berlaku rumus sebagai berikut ( Adawyah, R., 2014).
𝐾𝐴 = 𝑊𝑎/𝑊𝑏 𝑥 100%
Keterangan : KA = Kadar air bahan berdasarkan bobot kering (%) 𝑊𝑎 = Bobot
air bahan (gr) 𝑊𝑏 = Bobot bahan kering (gr)
3. Kadar Air Kesetimbangan
Bahan basah di dalam alat pengering akan mengalami penguapan pada seluruh
permukaannya. Penguapan tersebut akan terhenti pada saat tertentu, karena
molekul-molekul air yang belum diserap dari bahan sama jumlahnya dengan
molekul-molekul air yang diserap oleh permukaan bahan basah tersebut. Keadaan
itu dikatakan sebagai keadaan keseimbangan antara penguapan dan pengembunan
(Adawyah, 2014).
Kadar air kesetimbangan suatu bahan dapat diartikan sebagai kadar air
minimum yang dapat dikeringkan di bawah kondisi pengeringan yang tetap atau
pada suhu dan kelembaban nisbi yang tetap. Suatu bahan berada dalam keadaan
seimbang dengan kondisi sekelilingnya, apabila laju kehilangan air dari bahan
menuju kondisi sekeliling (atmosfer) sama dengan laju air yang didapat dari udara
sekelilingnya (Adawyah, 2014).
Daftar Pustaka
Ichsan, M, C, & Wijaya, I. 2014. Karakter Morfologis dan beberapa
Keunggulan Mangga Arumanis (Mangifera indica, L) Agritrop Jurnal Ilmu-ilmu
Pertanian, 67-72
Ademola, A. K,. Adedokun, A.K., and Abdulganiy, O.R. (2013). “Effect
of Slice Thickness and Temperature On The Drying Kinetics of Mango
(Mangifera
Indica L.). International Jounal RRAS, 15(1).
Oktavianto Yoga, Sunaryo, Agus Suryanto. 2015. Karakterisasi Tanaman
Mangga (Mangifera indica L.) Cantek, Ireng, Empok, Jempol di Desa Tiron,
Kecamatan Banyakan, Kediri. Jurnal Produksi Tanaman. 3(2):91- 97
Thipnate, Poonsiri and S. Sukhonthara. 2015. Control of Enzymatic
Browning in Apple and Potato Purees by Using Guava Extract.Silpakorn U
Science & Tech J Vol.9(2). ISSN 1905-9159.
Endrizzi, I. et al. (2015) ‘A conjoint study on apple acceptability: Sensory
characteristics and nutritional information’, Food Quality and Preference,
40(PA), pp. 39–48. doi: 10.1016/J.FOODQUAL.2014.08.007.
Nurchayati., dan Hikmah. 2014. Distribusi buah lokal dan buah import
(studi kasus pada pedagang buah di kota Semarang. Jurnal Ilmiah UNTAG
Semarang 3 (1): 17-29.
al-Juhaimi, F., Kashif, G., dan Elfadil, E.B. 2012. Effect of Gum Arabic
on Weight Loos, Firmness and Sensory Characteristics of Cucumber Edible
Coating (Cucumis Sativus L.) Fruit During Storage. J.Bot4(4):1439-1444.
Baldwin, E.A., Hagenmaier, R., dan Bay, J. 2012.Edible Coating and Film
to Improve Food Quallity Second edition. CRC Press, London.