Anda di halaman 1dari 12

KEBAKU DAN WU’HO

*Makanan Lokal Masyarakat Lamatuka

KEBAKU (Kacang Hutan Beracun)

Salah satu pangan lokal masyarakat Lamatuka adalah kebaku atau sejenis
kacang/polong-polongan dengan kandungan zat berbahaya yang sangat kuat. Meskipun
kacang ini beracun, masyarakat Lamatuka khususnya masyarakat yang mendiami wilayah
pegunungan (Desa Lamalela dan desa Banitobo) tetap mengkonsumsi kacang ini dari jaman
dahulu bahkan hingga sekarang.

Kacang beracun ini banyak sekali tumbuh liar di dalam hutan. Saat musim
penghujan, kacang akan mulai tumbuh dengan sendirinya dengan jumlah yang sangat
banyak. Sementara pada musim kemarau, masyarakat sudah bisa memanen/ mengambil
kacang ini karena kulit luar kacang ini sudah menggeras dan pecah.

Sumber : dokumentasi pribadi Sumber : kumparan.com / Tradisi Makan Kacang Beracun Sianida
Gambar Kebaku Sebelum Diolah Gambar Kebaku Setelah Diolah

Cara penggolahan kebaku atau kacang hutan beracun ini oleh masyarakat setempat
dilakukan dengan beberapa tahapan berikut :

1. Kacang hutan ini dikeringkan terlebih dahulu dengan cara di jemur dibawah
terik matahari.
2. Sebelum dimasak, kacang ini akan dicuci dengan air bersih terlebih dahulu
kemudian di rebus hingga mendidih.
3. Setelah mendidih, air rebusan hasil dari kacang ini akan dibuang kemudian
kacang ini akan direbus lagi menggunakan air rebusan yang baru.
4. Proses pergantian air rebusan kacang ini diulanggi paling kurang sebanyak 9
(sembilan) kali dengan tujuan menggurangi kadar racun yang terdapat dalam
kacang tersebut.
5. Setelah melewati paling kurang 9 kali proses perebusan hingga air hasil
rebusan terlihat lebih jernih dan tidak lagi terasa pahit.maka kacang beracun
ini dapat aman untuk dikonsumsi.

WU’HO (Buah Balam)

Selain dapat digunakan sebagai media permainan tradisonal, wu’ho atau dikenal
dengan sebutan buah balam juga dijadikan sebagai makanan lokal oleh masyarakat etnik
Lamatuka. Pohon balam ini juga tumbuh liar dengan sendirinya di hutan. Saat musim
penghujan, buah balam akan mulai tumbuh dengan sendirinya hingga pada musim kemarau,
kulit luar buah balam ini sudah menggeras dan pecah jatuh ke tanah.

Sumber : dokumentasi pribadi Sumber : dokumentasi pribadi


Gambar Balam Sebelum Diolah Gambar Balam Setelah Diolah

Proses penggolahan biji balam atau wu’ho hingga dapat dikonsumsi memerlukan
waktu yang cukup lama kaeran harus melewati proses penggolahan yang cukup rumit.
Berikut ini adalah langkah-langkah proses pengolah biji balam hingga dapat dikonsumsi :

1. Biji balam atau wu’ho dikeringkan terlebih dahulu dengan cara di jemur
dibawah terik matahari.
2. Sebelum dimasak, biji balam ini akan dicuci dengan air bersih terlebih dahulu
kemudian di bakar hingga kulit luar biji balam menjadi gosong.
3. Setelah itu, biji balam tersebut akan dipukul hingga tekstur kulit luar biji balam
yang keras menjadi empuk/lunak.
4. Kulit luar biji balam yang sudah empuk akan dibuang untuk diambil isi/daging
buah balam kemudian direndam.
5. Proses perendaman isi/daging buah balam berlangsung selama 5 (lima)
sampai 6 (enam) hari. Setiap hari selama proses perendaman, air rendaman
buah balam ini akan dibuang dan diganti dengan air bersih yang baru.
6. Setelah melewati proses perendaman dan tekstur isi/daging buah balam
sudah mulai lunak maka buah balam ini dipotong/diiris sesuai kebutuhan.
7. Daging buah balam ini selanjutnya diolah sesuai kebutuhan. Biasanya diolah
dengan cara di-loma (dibakar didalam wadah berupa bambu) kemudian
dihidangkan bersama dengan kebaku atau kacang hutan.

MOTIF BRO’SANG DAN BWA’SA


*Motif Tenun Ikat Etnik Lamatuka

Menenun oleh orang lamaholot khususnya etnik Lamatuka merupakan pekerjaan


kaum wanita yang diturunkan dari generasi ke generasi. Menenun bukanlah sebuah
pekerjaan yang mudah   karena dapat menyita banyak waktu hingga berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun.
Adapun jenis Tenun ikat yang dihasilkan oleh etnik lamatuka terdiri dari berbagai
jenis seperti kwatek dan nowing. Dalam pemakaiannya, kain tenun ini dibedakan
berdasarkan gender yaitu, Kewatek digunakan kaum perempuan dan Nowing digunakan
untuk laki-laki. Untuk motif atau pola yang sering ditemui dalam tenun ikat khas masyarakat
lamatuka adalah motif bro’sang dan motif bwa’sa.

MOTIF BRO’SANG

Motif bro’sang ini sendiri merupakan motif tenun ikat yang berbentuk seperti anak
tangga. Pola susunan anak tangga ini dimulai dari pola menanjak kemudian diikuti pula
menurun. Dan setiap pola anak tangga menurun akan dilanjutkan lagi dengan pola anak
tangga menanjak hingga membentuk pola seperti susunan bangun segitiga tanpa alas yang
saling berhubungan.

Sumber : dokumentasi pribadi


Gambar Pola Motif Bro’sang
Motif bro’sang ini juga menggambarkan proses perjalanan suku asli etnik Lamatuka
dalam pelarianya dari pulau lepan bata dan masuk dari terowongan di pantai Wainere dan
keluar di bukit nuba pae hati. Susunan pola anak tangga pada motif bro’sang ini mewakili
urutan suku-suku lamatuka yang melewati terowongan tersebut dimulai dari suku Ruing
sebagai orang pertama memasuki terowongan diikuti suku Tukan, suku Lengari, suku
Lewuras dan suku Lasar sebagai orang terakhir yang memasuki terowongan tersebut.

MOTIF BWA’SA

Motif bwa’sa ini merupakan motif tenun ikat yang berbentuk belah ketupat. Pada
umumnya motif bwa’sa terdiri dari beberapa susunan atau tumpukan belah ketupat.
Tumpukan atau susunan bangun belah ketupat yang terdapat dalam motif bwa’sa ini
menggambarkan keadaan dimana setelah berhasil keluar dari terowongan dan tiba bukit
nuba pae hati.

Sumber : dokumentasi pribadi


Gambar Pola Motif Bwa’sa

Belah ketupat yang berada di bagian tengah merupakan gambaran dari nuba yang
dikelilingi oleh semua suku etnik Lamatuka. Sedangkan belah ketupat yang mengelilingi
nuba (belah ketupat dibagian tenggah) merupakan gambaran dari suku-suku yang duduk
menggelilingi nuba dikenal dengan sebutan nobo. Jadi nobo dapat di simbolkan sebagai
suku-suku dari etnik Lamatuka yakni suku Ruing, suku Tukan, suku Lengari, suku Lewuras,
dan suku Lasar.
HAU’ HE’
*Sejarah Asal Usul Masyarakat Lamatuka

Etnik Lamatuka merupakan masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah Kecamatan


Lebatukan. Masyarakat Lamatuka mendiami wilayah yang sering dikenal dengan sebutan
Lera Lodo. Etnis ini tersebar hampir di seluruh wilayah pesisir kecamatan Lebatukan meliputi
desa Baopana, desa Lamatuka, sebagian desa Merdeka, desa Hadakewa dan desa
Lerahingga. Selain itu, sebagian besar etnis Lamatuka ini juga mendiami wilayah
pegunungan Bengkari dan menyebar beberapa desa yakni di desa Banitobo dan Desa
Lamalela. Terdapat 5 (lima) suku yang termasuk dalam etnik Lamatuka ini antara lain Suku
Lasar, suku Ruing, Suku Lengari, Suku Lewuras, dan Suku Tukan.

Dikisahkan bahwa pada mulanya nenek moyang masyarakat Lamatuka tinggal dan
menetap sebuah di tempat bernama Serang Gorang yang terletak di sebuah pulau bernama
pulau Lepan Bata. Hingga dikisahkan pada suatu hari terjadi bencana blero lero (Gempa
Bumi) mengguncang pulau tersebut. Bukan hanya itu saja, gempa bumi tersebut
mengakibatkan terjadinya ar’ru bure (Gelombang Tsunami) pada permukaan laut lalu
menerjang daratan pulau Lepan Bata. Malapetaka ini terjadi pada malam hari, dimana semua
penduduk penghuni pulau Lepan Bata tengah tertidur lelap. Gempa bumi yang bersamaan
dengan sapuan gelombang tsunami di malam hari mengakibatkan kepanikan semua
penghuni pulau berlarian dan berhamburan untuk menyelamatkan diri.
Ditengah kepanikan penduduk pulau tersebut, dibawah pimpinan seorang raja
bernama Raja Sige dan Permaisurinya yang bernama Sepae, ada beberapa penduduk pulau
yang mengungsi untuk menjauhkan diri dari pulau tersebut dengan menggunakan sebuah
kapal. Adapun kelompok masyarakat yang berhasil mengungsi dan berlayar menggunakan
kapal tersebut berasal dari Suku Ruing, Suku Tukan, suku Lengari, dan turut serta juga Suku
Lasar dan Suku Lewuras yang berperan sebagai nahkoda dari kapal yang ditumpangi.

Singkat cerita setelah berlayar dalam waktu yang cukup lama, perahu yang
ditumpangi kelima suku tersebut tersebut tiba di sebuah daratan yang bernama pantai
Wainere. Keadaan wilayah sekitar pantai Wainere kala itu masih belum berpenghuni dan
terdiri dari tebing-tebing yang curam. Di antara tebing-tebing curam tersebut terdapat
sebuah lubang terowongan dengan ukuran yang memungkinkan untuk dapat dilewati oleh
tubuh manusia. Diantara rombongan tersebut terdapat dua (2) orang tua berusia lanjut
bernama Ama Dolu Sinu dan Ina Ema Hinggi.

Ama Dolu Sinu dan Ina Ema Hinggi ini berinisiatif untuk terlebih dahulu masuk dan
menyusuri terowongan tersebut. Di bawah naungan dan arahan Ama Dolu Sinu dan Ina Ema
Hinggi, satu persatu anggota rombongan tersebut memasuki terowongan tersebut mengikuti
langkah Ama Dolu Sinu dan Ina Ema Hinggi. Suku pertama yang masuk menyusuri
terowongan tersebut adalah Suku Riung sehingga suku tersebut dianggap sebagai saudara
sulung, selanjutnya diikuti oleh suku Tukan sebagai saudara tengah, diikuti suku Lengari
sebagai saudara bungsu. Sedangkan suku Lewuras dan suku Lasar menjadi orang yang
terakhir masuk ke terowongan karena sebagai nahkoda kapal maka mereka juga sebagai
orang terakhir yang turun dari kapal.

Setelah berjalan menyusuri terowongan tersebut, akhirnya mereka tiba pada ujung
terowongan tersebut. Ujung terowongan tersebut ternyata terletak disebuah bukit bernama
Nuba Pae Hati. Kemudian Ama Dolu Sinu dan Ina Ema Hinggi terlebih dahulu keluar dari
terowongan tersebut. Kedua orang tua ini mulai memberikan arahan kepada semua
kelompok suku yang masih berada didalam terowongan untuk keluar satu per satu. Suku
Ruing menjadi orang pertama yang keluar dari terowongan tersebut lalu disusul oleh suku
Tukan, suku Lenggari, suku Lewuras dan yang terakhir keluar adalah suku Lasar.

Ama Dolu Sinu dan Ina Ema Hinggi mengarahkan suku Lasar sebagai orang terakhir
yang keluar dari terowongan, namun ketika melihat kedalam terowongan ternyata kelihatan
masih ada orang yang mencoba untuk keluar dari terowongan tersebut. Namun penampilan
makhluk tersebut tidak lazim seperti tampak manusia normal. Makhluk tersebut memiliki
perawakan menyeramkan karena memiliki kulit yang hitam legam dengan tanduk
dikepalanya. Karena bukan merupakan anggota rombongan yang turut dalam pelayaran dari
pulau lepan bata dan diyakini memiliki niat yang jahat maka Ama Dolu Sinu dan Ina Ema
Hinggi berupaya untuk mencegah makhluk tersebut agar tidak keluar dari terowongan
dengan cara menutup mulut terowongan tersebut menggunakan sebuah batu besar.

Karena telah merasa selamat dari bencana di pulau lepan bata dan selamat dari
berbagai macam rintangan di sepanjang perjalanan, maka semua anggota rombongan pun
beristirahat sejenak Nuba Pae Hati. Kemudian mereka mulai membuat pemukiman di daerah
bukit Nuba Pae Hati dan dengan berjalanya waktu maka pemukiman ini bertambah luas
hingga ke beberapa titik perkampungan di wilayah sekitar Nuba Pae Hati. Namun karena
adanya peristiwa bencana erupsi gunung Ile Werung atau gunung Hobal pada Tahun 1979
yang mengakibatkan tsunami yang di daerah Waiteba dan sekitarnya maka sebagian besar
masyarakat Lamatuka memilih untuk pindah ke tempat yang lebih aman di sekitar wilayah
pesisir pantai utara pulau Lembata.
KEWA PATI
*Cerita Rakyat - Asal Usul Nama Kampung Ilowutung

Tersebutlah sebuah tempat pada zaman dahulu, yang hingga saat ini dikenal dengan
nama kampung Ilowutung atau desa Lamalela. Pada saat itu, sebagian besar masyarakat
yang mendiami tempat tersebut hidup sebagai petani. Mereka bertani dan berladang untuk
menanam jagung, padi, dan umbi-umbian untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Orang-
orang hidup dengan rukun dan damai, mereka senantiasa bergotong-royong baik itu dalam
melakukan pekerjaan mereka sehari-hari maupun ketika melakukan pekerjaan berat
misalnya ketika membangun rumah.

Di antara orang-orang yang mendiami tempat itu, ada seorang nenek bernama Kewa
Pati. Ia berasal dari Etti'u (tanah ikun). Ia tinggal di sebuah tempat bernama Here Ler'e yang
kediamanya tak jauh dari kampung yang belum bernama tersebut.
Selain berladang, kegiatan sehari-hari nenek Kewa Pati adalah menenun kewatek
(sarung dari bahan benang kapas yang dipintal). Motif tenunan kwatek yang dibuatnya
diambil dari motif seekor ulat yang secara sengaja dipelihara oleh nenek Kewa Pati. Ulat
tersebut dipeliharanya secara khusus di dalam sebuah lepee (sejenis anyaman dari daun
lontar). Ulat tersebut diperlakukan oleh nenek Kewa Pati dengan penuh kasih dan sayang
sebagaimana seorang manusia. Ulat tersebut kerap diberi makan dan minum selayaknya
seorang manusia. Singkatnya nenek Kewa Pati merawat ulat tersebut sebagai bagian dari
hidupnya sendiri. Sesekali tak kala akan menenun , nene Kewa Pati mengeluarkan ulat
tersebut dari leppe.

Seiring waktu yang berjalan, ulat kecil itu bertumbuh hingga menjadi tubuhnya
bertambah besar menjadi seekor ular besar. Leppe yang berukuran kecil sudah tak dapat
menampung tubuh ular tersebut. Nenek Kewa Pati kemudian menggali sebuah lubang di
tanah lalu menempatkan ular tersebut ke dalam lubang yang sudah disiapkannya.

Ukuran tubuh ular tersebut kian hari kian membesar. Makanannya pun berubah dari
makan buah-buahan dan dedaunan kini ia harus diberi binatang seperti babi dan kambing
sebagai makanannya. Nenek Kewa Pati terus berupaya untuk selalu memberi makan kepada
ular kesayangannya itu. Namun jumlah ternak besar sebagai makanan ular tersebut semakin
hari semakin berkurang bahkan habis sama sekali. Nenek Kewa Pati lalu beralih memberi
makan ular tersebut dengan daging manusia.

****

Di kampung tersebut, anak-anak memiliki sebuah kegemaran yakni menyumpit


belalang hutan atau dalam bahasa daerah "buhu maro" untuk dijadikan lauk sebagai
pengganti sumber protein hewani. Hampir setiap hari mereka berburu belalang ke hutan. Hal
ini mereka lakukan beramai-ramai dengan penuh semangat karena akan terasa sangat
mengasyikkan.

Hingga pada suatu hari disaat hendak berburu belalang, tanpa disadari oleh anak-
anak yang kebetulan lewat dekat kediaman nenek Kewa Pati, si nenek melihat mereka lalu
timbul niat jahat dalam dirinya.

"Anak-anak ini dapat dijadikan santapan bagi ular peliharaanku" gumamnya didalam
hati.

Ia memulai niat jahatnya dengan muslihat licik dengan bersembunyi diantara semak
belukar sambal mengintai anak-anak yang sedang asyik berburu belalang.

"Hai anak-anak!" sapanya sambil keluar dari tempat persembunyiannya. Anak-anak


kampung terkejut, wajah mereka ketakutan. Namun nenek Kewa Pati kembali menyapa
mereka dengan ramah
“Hai anak-anakku, kalian sudah berburu belalang sedari tadi, kalian pasti sangat haus
dan lapar. Ayo mampir ke pondok nenek, di sana ada pisang yang matang dan air minum
yang segar kalian boleh makan dan minum sepuasnya, setelah itu silakan lanjutkan
perburuan kalian. Ayo!" ajak nenek Kewa Pati dengan nada suara yang dibuat seramah
mungkin.

Rasa takut anak-anak kampung seketika lenyap ketika membayangkan lezatnya buah
pisang yang matang dan air minum segar yang ditawarkan si nenek. Mereka pun singgah di
pondok nenek Kewa Pati. Singkat cerita, ketika anak-anak kampung itu sedang asyik
menikmati buah pisang dan minum air, keluarlah si ular peliharaan nenek kewa pati dan
memangsa anak-anak tersebut.

Kelicikan dan kejahatan nenek Kewa Pati seperti ini terjadi berulang-ulang kali.
Banyak anak di kampung hilang tanpa jejak. Masyarakat sekitar kampung tersebut pun
diliputi keresahan, akhirnya para orang tua dan tetua adat berkumpul dan bertukar pikiran
mencari penyebab hilangnya anak-anak mereka. Tercetuslah sebuah strategi untuk mencari
tahu penyebab hilangnya anak-anak dari kampung tersebut. Beberapa orang dewasa
ditugaskan untuk memata-matai setiap kegiatan yang dilakukan oleh anak-anak yang
berasal dari kampung tersebut.

Keesokan harinya sekelompok anak-anak bergerak ke hutan tempat dimana mereka


selalu berburu belalang. Di dekat hutan itu ada sebuah pohon besar yang disebut Illo. Orang
yang bertugas mengintai anak-anak memanjat pohon Illo tersebut dan bersembunyi di balik
rimbun daunnya. Dengan cara tersebut maka keberadaan mereka tidak dapat diketahui oleh
orang lain. Kemudian seperti biasa nene Kewa Pati muncul dan mengajak anak-anak
tersebut ke pondok nya dan disana telah menanti si ular dan dalam sekejap kemudian tubuh
anak-anak tersebut menjadi santapan lezat bagi si ular peliharaan nenek Kewa Pati.
Menyaksikan kejadian tersebut, para pengintai yang bersembunyi di atas pohon Illo kaget
bukan kepalang. Dengan tergesa-gesa mereka turun dari atas pohon Illo dan berlari menuju
kampung. Mereka segera memberitahukan kejadian yang dilihatnya kepada segenap orang
tua dan para tetua adat. Semua orang di kampung itu menjadi sangat marah terhadap ular
tersebut, lalu mereka berembuk menyusun rencana dan siasat untuk membunuh ular
tersebut. "Pokoknya ular itu harus kita bunuh demi arwah anak-anak kita yang telah di
mangsanya" demikian tekad yang bulat dari orang-orang kampung tersebut.

Tibalah saat yang telah direncanakan, kaum wanita ditugaskan untuk membuat
minyak dari buah kelapa sedangkan kaum laki-laki bertugas memintal tali dari sabut kelapa,
dan seorang bapak ditugaskan memotong sebatang kayu leddo serta bambu sebagai bahan
untuk membuat jerat berukuran besar. Minyak kelapa yang dibuat oleh kaum wanita
digunakan untuk melumasi kayu leddo yang berfungsi sebagai tiang jerat (dalam bahasa
setempat di sebut “Itu”) agar kayu yang keras tersebut dapat ditekukkan. Bambu digunakan
sebagai pengait jerat, dan tali jerat dirangkai dari pintalan sabut kelapa. Singkat cerita
sebuah jerat berukuran besar itu siap digunakan untuk menjerat ular jahat peliharaan nenek
Kewa Pati.
Siasat pun dilancarkan untuk memancing nenek Kewa Pati agar meninggalkan
pondok kediamannya, sekelompok orang ditugaskan untuk berkumpul di sebuah tempat di
dekat kampung itu yang bernama Wehema. Mereka kemudian menyembelih seekor babi dan
di seolah-olah mereka sedang melangsungkan sebuah pesta dengan hidangan daging babi.
Nenek Kewa Pati diundang untuk ikut dalam pesta tersebut, inilah siasat jitu untuk
memancing si nenek keluar dari pondok nya. Siasat ini berhasil, nenek Kewa Pati datang ke
wehema mengikuti pesta makan daging babi dan meninggalkan ular peliharaannya sendirian
di pondoknya.

Pada saat yang bersamaan, sekelompok pria bergerak menuju ke pondok kediaman
si nenek Kewa Pati. Mereka bergerak dengan cepat agar kehadiran mereka tidak diketahui
oleh si ular, sebuah jerat besar berhasil dipasang tepat di mulut lubang tempat kediaman si
ular besar. Siasat berikutnya pun dilancarkan, seorang anak ditugaskan sebagai umpan yang
menarik perhatian si ular dengan berpura-pura sedang menyumpit belalang tepat di depan
mulut lubang tempat tinggal ular tersebut. Saat melihat anak tersebut sontak si ular
bergerak dengan cepat keluar dari lubang nya hendak memangsa anak tersebut, belum
sempat menyentuh tubuh si anak leher ular besar itu masuk dalam perangkap, tiang jerat
berayun kencang dan tali jerat yang besar melilit kencang di tubuh si ular. Ia meronta-ronta,
tubuhnya yang panjang dan besar diayunkan ke sana kemari menghantam pondok, pohon-
pohon dan bebatuan di sekelilingnya. Pondok nenek Kewa Pati porak-poranda dihantam
tubuh ular besar yang meronta hendak melepaskan diri dari lilitan tali jerat, namun semakin
meronta semakin kencang lilitan tali jerat di lehernya hingga beberapa saat kemudian
tubuhnya mengejang kaku, ular besar peliharaan nenek Kewa Pati pemangsa anak-anak
kampung itu akhirnya meregang nyawa.

Pada sore harinya seusai pesta di wehema, nenek Kewa Pati pun pulang ke
pondoknya kediamanya. Alangkah terkejut dirinya saat menyaksikan pondoknya yang porak-
poranda dan lebih mengejutkan lagi ternyata ular besar peliharaannya telah mati tergantung
pada sebuah jerat berukuran besar. Ia menangis sejadi-jadinya, meratap dan menjerit.
Potongan daging babi yang dibawahnya sebagai makanan untuk si ular terpaksa dibuangnya
ke tanah. Secara ajaib potongan daging babi yang dibuang ke tanah itu kemudian tumbuh
menjadi pohon kelore (mangkudu) dan diyakini pohon tersebut masih hidup hingga saat ini.
Peristiwa ini juga membuat nenek Kewa Pati menghilang dari kampung. Kematiannya pun
tetap misteri bagi orang di kampung tersebut hingga saat ini.

Begitulah akhir dari kisah nenek Kewa Pati, kayu leddo dan bambu yang berfungsi
sebagai jerat itu tumbuh dan hidup sampai sekarang ini sebagai pohon keramat terlarang
yang tidak boleh disentuh oleh masyarakat kampung. Sedangkan pohon Illo yang digunakan
sebagai tempat pengintaian ditetapkan sebagai nama kampung Ilowutu atau dalam lafal
bahasa Indonesianya Ilowutung. Ilowutu terdiri dari dua kata Illo (nama pohon) dan wuttu
( ujung) jadi secara harafiah kampung Ilowutu berarti kampung yang berada di ujung pohon
Illo. Kini kampung ini lebih dikenal dengan nama kampung Ilowutung atau desa Lamalela.

Anda mungkin juga menyukai