Anda di halaman 1dari 10

Bagaimana DPS Bank Syariah Harus Bersikap?

Indra Gunawan

NIM. 20210320200006

1. Abstrak
Pada saat ini, beberapa pengamat mengkritik moralitas asli keuangan Islam dan mengutuk
ketidakpatuhan beberapa produk dan operasi terhadap syariah Islam. Kegagalan dalam
memenuhi prinsip-prinsip syariah akan menimbulkan risiko Syariah dan merusak
kredibilitas dan reputasi industri BS. Kredibilitas BS terkait dengan pengaruh DPS dalam
keputusan perbankan dan konsistensi dalam interpretasi Syariah. Apakah ada kode etik
tanggung jawab DPS Apakah DPS memiliki kekuatan nyata pada aturan operasi keuangan
BS Apakah BS melakukan kontrol atas konsistensi berbagai keputusan DPS. Penulisan ini
dilakukan dengan menggunakan studi dokumen/studi pustaka dari bahan-bahan pustaka,
yaitu dengan mengumpulkan berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan, jurnal, dan
artikel yang berkaitan dengan topik tulisan ini. Berdasarkan hasil penelitian terhadap
peranan DPS ditemukan kelemahan pelaksanaan fungsi DPS dalam melakukan pengawasan
kepatuhan atas prinsip syariah Pengoptimalan peranan DPS merupakan sesuatu yang sangat
penting untuk memastikan operasional BS sudah sesuai prinsip-prinsip syariah yang
merujuk kepada al-Qur’an, Sunnah, dan ijma’ yang di Indonesia diwakilkan dengan fatwa
DSN MUI. Berdasarkan hasil penelitian terhadap peranan DPS ditemukan kelemahan
pelaksanaan fungsi DPS. Kelemahan-kelemahan tersebut seharusnya dapat diperbaiki
secara bersama-sama baik dari sisi DSN MUI, regulator dan pelaku industri perbankan
syariah.
Kata Kunci: Tata Kelola, Dewan Pengawas Syariah, Syariah Islam, Bank Syariah
2. Latar Belakang
Islam merupakan agama samawi yang paling lengkap dalam mengatur kehidupan
manusia dalam menjalani kehidupan duniawi dan akhirat. Agama Islam merupakan agama
yang didalamnya terkandung kemuliaan-kemuliaan mengatur kehidupan manusia di
kehidupan dunia dan akhirat. Kemuliaan tersebut adalah antara lain :
a. Islam menghasilkan kebaikan dan keberkahan baik di dunia maupun di akhirat. Sesuai
dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu:
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menzhalimi satu kebaikan pun dari seorang
mukmin, diberi dengannya di dunia dan dibalas dengannya di akhirat. Adapun orang
kafir diberi makan dengan kebaikan yang dilakukannya karena Allah di dunia sehingga
jika tiba akhirat, kebaikannya tersebut tidak akan dibalas.” HR. Muslim (no. 2808 (56)).
b. Dengan berlandaskan tauhid dan ikhlas, suatu amal shalih yang sedikit dapat
menghasilkan ganjaran yang melimpah. Sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam yaitu:
Dari al-Bara’ Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Seorang laki-laki yang memakai pakaian
besi mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian ia bertanya, ‘Wahai
Rasulullah, apakah aku boleh ikut perang ataukah aku masuk Islam terlebih dahulu?’
Maka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Masuk Islamlah terlebih
dahulu, baru kemudian ikut berperang.’ Maka, laki-laki tersebut masuk Islam lalu ikut
berperang dan akhirnya terbunuh (dalam peperangan). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pun bersabda: ‘Laki-laki tersebut beramal sedikit namun diganjar sangat
banyak.’” HR. Al-Bukhari dalam Kitab Jihad (no. 2808) dan Muslim dalam Kitab
‘Imarah (no. 1900).
c. Islam merupakan agama yang menyerukan kebaikan dan menjauhi keburukan. Setiap
kebaikan telah diajarkan oleh Islam, baik yang besar maupun yang kecil sebesar biji
sawi. Selain itu, setiap keburukan di dunia ini telah digambarkan oleh Islam untuk
dijauhi dan jangan didekati.
d. Islam merupakan agama yang di dalamnya melindungi kekayaan. Hal tersebut dapat
dilihat bahwa Islam menyerukan kejujuran dan meninggikan pelaku kejujuran. Selain
itu, orang jujur dijanjikan kebahagian dalam hidup di dunia dan akhirat kelak
mendapatkan surga. Islam sangat mengharamkan ketidakjujuran, korupsi, pencurian dan
penipuan serta memberikan hukuman bagi pelakunya. Islam memberikan hukuman
untuk tindakan pencurian dengan memotong tangan pencuri supaya orang tidak
memiliki keberanian untuk mencuri harta orang lain. Dengan potong tangan tersebut
akan menyebabkan pencuri putus asa karena dipotong tangannya.
Sesuai dengan firman Allah Azza wa Jalla yaitu:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah.
Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha bijaksana.” [Al-Ma’idah: 38]

Sebagaimana telah diketahui bersama, Islam sangat menentang adanya Riba. Banyak
sekali teks Al-Quran yang menggambarkan bahwa Allah telah menetapkan haramnya riba.
Allah telah berfirman:

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al
Baqarah: 275)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 278).
Keuangan Islam mengedepankan pendekatan keuangan alternatif yang diharapkan dapat
menegakkan keadilan sosial ekonomi. Hamzah (2015), mantan ketua Bank Pembangunan
Islam, mendefinisikan misi keuangan Islam sebagai saluran kesejahteraan sosial-ekonomi
dan moral dalam masyarakat secara global.
Menurut UU No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Bank Syariah (BS) adalah Bank
yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya
terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Dalam melakukan
kegiatan usahanya, BS berdasarkan prinsip syariah meliputi perjanjian dengan pihak lain
dalam rangka penyimpanan dana dan atau pembiayaan serta kegiatan usaha lainnya yang
sesuai dengan prinsip syariah. BS memiliki tiga fungsi utama yaitu menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan investasi, menyalurkan dana kepada masyarakat
yang membutuhkan dana dari perbankan, dan memberikan pelayanan berupa jasa perbankan
syariah. BS menarik banyak perhatian global selama krisis keuangan global, karena rata-
rata pengembalian yang diperoleh BS jauh lebih tinggi daripada bank konvensional (BK)
(Deutsche Bank, 2011).
Dalam melakukan opersionalnya, BS menghubungkan pembangunan keuangan dengan
ekonomi riil melalui beberapa larangan yang mencakup penggunaan bunga dan produksi
produk dan kegiatan yang berbahaya, dan mempromosikan partisipasi dan solidaritas dalam
ekuitas. Untuk lebih meningkatkan industri, sangat penting untuk membangun kepercayaan
publik dalam cara organisasi dikelola dan dioperasikan. Hal ini dapat dilakukan dengan
meningkatkan operasinya untuk bertindak sesuai dengan syariah (Syahar, Nawawi dan
Salin, 2018). BS memiliki tanggung jawab untuk memastikan pemenuhan prinsip Syariah
dalam produk dan operasionalnya. Pemenuhan terhadap prinsip Syariah akan dicapai jika
BS memiliki rancangan tata kelola terkait syariah yang memadai. Dalam pengertian ini dan
untuk tujuan kredibilitas, BS telah membentuk Dewan Pengawas Syariah (DPS) mereka
sendiri yang biasanya terdiri dari ulama Syariah. Tata kelola Syariah yang mengacu pada
semua elemen tentang peran aktif DPS dan kepatuhan terhadap Syariah sangat mendasar
bagi BS. Pemenuhan prinsip syariah dan penerapan GCG terkait syariah disarankan oleh
lembaga internasional seperti AAOIFI dan IFSB (Hamzah, 2013). Akhir-akhir ini, beberapa
pengamat mengkritik moralitas asli industri pebankan syariah dan menyayangkan tidak
terpenuhinya prinsip syariah Islam dalam beberapa produk dan operasional BS. Faktanya,
ketidakpatuhan prinsip-prinsip syariah akan menimbulkan risiko Syariah dan merusak
kredibilitas dan reputasi industri BS.
Tidak terpenuhinya prinsih syariah tersebut dapat dikaitkan dengan kurang optimalnya
peran DPS dalam GCG terkait Syariah. Anggota DPS, yang ditunjuk dan dibayar oleh BS,
hanya berperan sebagai badan penasihat. Mereka tidak memiliki wewenang yang diperlukan
untuk menyelesaikan tugas dan melaksanakan keputusan dan ini dapat dijelaskan dengan
ketergantungan mereka dengan manajemen. Juga, perlu dicatat bahwa keragaman latar
belakang dan aliran yurisprudensi yang berbeda dari anggota DPS serta konteks regional
dan lingkungan peraturan nasional di mana fungsi anggota DPS dapat menciptakan
inkonsistensi dalam interpretasi Syariah dan dengan demikian dapat mencegah harmonisasi
produk dan operasi keuangan.
Perkembangan BS di Indonesia ditandai dengan lahirnya Bank Muamalat Indonesia
pada tahun 1992. Namun, perkembangan yang signifikan baru terjadi setelah adanya
gerakan reformasi di tahun 1998. Secara perlahan, Bank Syariah dapat memenuhi keinginan
masyarakat yang menghendaki adanya pelayanan perbankan dengan menggunakan prinsip
syariah dan dapat menghindari riba.
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk membahas secara singkat keadaan praktik
tata kelola BS di Indonesia terutama bagaimana sikap DPS dalam melakukan pengawasan
kepatuhan operasional BS terhadap syariah.

3. Tinjauan Teoritis

2.1. Pengertian Tata Kelola

Tata kelola yang bagus selama beberapa waktu telah dipandang sebagai pekerjaan yang
signifikan bagi stakeholders. Meskipun maksud dari tata kelola perusahaan berbeda antara
satu organisasi dengan yang lain, atau antara satu negara dengan negara yang lain, isu
sentral yang penting adalah untuk memajukan sebuah menakisme dalam mengangkat dan
mengawasi perusahaan. Namun, dengan tekanan bisnis saat ini, tatanan tata kelola
perusahaan berubah sangat cepat. Kemajuan moneter dan globalisasi membatasi para
pemimpin untuk melakukan penilaian ulang menyeluruh terhadap tata kelola perusahaan.
(Tapanjeh, 2009).
Tata kelola perusahaan adalah metode di mana perusahaan diarahkan, dikelola, atau
dikendalikan. Tata kelola perusahaan mencakup hukum dan kebiasaan yang mempengaruhi
arah itu, serta tujuan yang diatur oleh korporasi. Peserta utama adalah pemegang saham,
manajemen dan dewan direksi. Peserta lainnya termasuk regulator, karyawan, pemasok,
mitra, pelanggan, konstituen (untuk badan terpilih) dan masyarakat umum (Choudhury dan
Alam, 2013).
Teori dan praktik tata kelola perusahaan berkaitan dengan maksimalisasi kepentingan
bersama dari jaringan faktor yang berinteraksi dengan operasi, organisasi, dan keterkaitan
tujuan dan sasaran perusahaan. Tujuan yang dihasilkan diwujudkan dari matriks ekonomi,
keuangan, hukum, karyawan, manajer, dan elemen sosial yang dibawa di tempat diskursif
dunia usaha dengan bimbingan dan kontrol dapat dirumuskan sebagai model standar. Tetapi
terlepas dari beragam bentuk yang dapat diambil model semacam itu untuk memungkinkan
penyelidikan intelektual dan empirisme praktis untuk aplikasi, pandangan dunia filosofis
dan budaya di mana tujuan tersebut dicapai dan menjelaskan materi dalam konstruksi sifat
konflik, resolusi konflik dan sifat diskursif dari hubungan yang terbentuk antara arah
multidimensi. Akibatnya, juga, preferensi dan perilaku organisasi agen dan institusi
mengalami interaksi halus untuk mengungkap aturan bimbingan dan kontrol untuk tata
kelola perusahaan (Choudhury dan Alam, 2013).

2.2. Pengertian DPS

Salah satu pilar penting dalam pengembangan BS adalah kepatuhan akan syariah. Pilar
inilah yang menjadi pembeda utama antara BS dengan BK. Untuk menjamin teraplikasinya
prinsip-prinsip syariah di lembaga perbankan, diperlukan pengawasan syariah yang
diperankan oleh DPS. DPS merupakan bagian BS yang independen dan memiliki keahlian
dalam syariah terutama fiqih terkait dengan muamalah.
Dalam UU No. 10 tahun 1998, dinyatakan bahwa DPS harus dibentuk dalam suatu BS.
Selain itu, dalam UU No. 21 tahun 2008 pasal 32 angka 1 dinyatakan bahwa dalam BS dan
BK yang memiliki UUS wajib dibentuk DPS. Dalam struktur BS, DPS memiliki posisi yang
sama dengan dewan komisaris. Posisi tersebut memiliki maksud supaya DPS lebih
dipandang dan memiliki kebebasan pendapat dalam rangka memberikan pengawasan
kepada direksi di BS terkait dengan pengimplementasian produk BS. Sehingga, DPS
ditetapkan pada saat diselenggarakannya rapat umum pemegang saham (RUPS). Namun,
sebelum ditetapkan dalam RUPS, anggota DPS tersebut harus sudah mendapatkan
pengesahan dari DSN MUI.

4. Metode Penelitian

Tulisan ini menggunakan prinsip penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang
dilakukan terhadap asas-asas hukum, kaedah-kaedah hukum dalam arti nilai (norm),
peraturan hukum konkrit dan sistem hukum yang berhubungan dengan materi yang diteliti.
Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah dengan menggunakan studi literatur
dari bahan-bahan pustaka, yaitu teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi
penelaahan terhadap buku, litertur, jurnal, dan laporan yang terkait dengan topik penulisan.

5. Temuan dan Pembahasan

4.1. Tanggung Jawab DPS


DPS dalam BS memiliki fungsi strategis dan penting dalam melakukan pengawasan
pemenuhan prinsip syariah oleh BS. Dikarenakan DPS memiliki fungsi yang strategis
dan penting, kedua UU memasukan kebutuhan adanya DPS dalam perusahaan
berlandaskan syariah dan BS yaitu UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
dan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Sehingga,
kedudukan DPS pada BS memiliki dasar hukum yang sangat kuat di BS. Hal tersebut
disebabkan karena keberadaannya merupakan hal yang sangat strategis dan penting.
Upaya yang dilakukan dalam rangka mengoptimalkan fungsi DPS merupakan hal
sesuatu yang sangat dibutuhkan untuk memastikan operasional BS sudah sesuai
prinsip-prinsip syariah Islam. Selain fungsi tersebut, DPS memiliki fungsi yaitu fungsi
mendorong pertumbuhan industri keuangan syariah yang ada di Indonesia. Dalam
Pasal 32 UU No. 21 Tahun 2008 disbutkan bahwa DPS wajib dibentuk pada BS dan
BK yang memiliki UUS, mereka dilantik oleh RUPS berdasarkan rekomendasi MUI.
Salah satu tugas DPS adalah memberikan masukan kepada direktur dan mengawasi
kegiatan operasional BS supaya patuh terhadap prinsip syariah.
AAOIFI memberikan standar terkait dengan DPS, bagaimana komposisinya, dan
prinsip dari DPS. Menurut AAOIFI, DPS harus merupakan bagian yang bebas dan
terdiri atas alim ulama yang menguasai ilmu perbankan dan ilmu syariah. DPS tidak
harus terdiri dari ulama, tetapi dapat juga terdiri dari ahli di bidang lain yang terkait
dengan keuangan syariah dan hukum Islam terutama fiqih muamalah. DPS diberikan
tugas meneliti, mengarahkan, dan mengawasi operasional BS dalam rangka
memastikan BS memenuhi ketentuan serta prinsip syariah.
Berdasarkan PBI No. 11/33/PBI/2009 pasal 46 disebutkan bahwa tugas dan tanggung
jawab DPS sesuai dengan prinsip-prinsip GCG. Kegiatan DPS dalam rangka
melaksanakan tugas dan tanggung jawab sesuai dengan prinsip-prinsip GCG tersebut
adalah antara lain sebagai berikut:
a. Memastikan produk serta operasional BS memenuhi prinsip syariah baik dalam
pedoman operasional maupun implementasinya.
b. Mengawal dan melakukan pengawasan terhadap proses mengembangkan produk
baru BS sehingga produk baru tersebut dapat sesuai dengan syariah.
c. Memohon ke DSN MUI untuk dapat mengeluarkan fatwa berkenaan dengan
produk baru BS yang belum terdapat fatwanya.
d. Melakukan review secara berkala terhadap kepatuhan prinsip syariah baik dalam
penghimpunan dana maupun penyaluran pembiayaan dan pemberian layanan jasa
BS.
e. Meminta data dan informasi yang terkait dengan aspek syariah dari satuan kinerja
BS.

4.2. Peranan DPS dalam BS

Dalam operasional BS, DPS memiliki tugas dan tanggung jawab fungsi pengawasan
yang meliputi pengawasan terkait operasional BS dan produk BS. Tugas adan
tanggung jawab dalam kegiatan pengawasan tersebut antara lain adalah sebagai
berikut:

a. Memastikan produk dan operasional BS memenuhi prinsip syariah baik dalam


pedoman operasional maupun implementasinya.

Tugas pengawasan DPS atas terpenuhinya prinsip syariah meliputi cakupan yang
lebih luas yaitu untuk memastikan bahwa kegiatan operasional dan aktivitas BS
telah memenuhi prinsip syariah. Dalam rangka memastikan produk BS telah
memenuh, maka DPS bertugas melakukan penelitian dan mengeluarkan
rekomendasi atas produk baru tersebut. Dengan demikian, DPS bertindak sebagai
first line of defence sebelum produk baru tersebut direview dan dikeluarkan
fatwanya oleh DSN MUI.

b. Mengawasi proses pengembangan produk baru BS agar sesuai dengan syariah.

Perkembangan usaha BS dibutuhkan antara lain kemampuan BS untuk dapat


mengakomodasi kebutuhan masyarakat akan pelayanan jasa keuangan syariah.
Sehingga dibutuhkan pengembangan produk yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat dan syariah.

Dalam mengembangkan produk-produk barunya, bank syariah tidak boleh hanya


mempertimbangkan tentang keuntungan yang akan diperoleh, akan tetapi juga
harus memperhatikan dan mematuhi rambu-rambu syariah yang terdapat dalam
fatwa DSN MUI. Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya bahwa dalam
pengembangan produk baru, DPS harus terlebih dahulu meminta penjelasan dari
pejabat bank syariah yang berwenang mengenai tujuan, karakteristik, dan akad
yang digunakan dalam produk baru tersebut. DPS selanjutnya akan melakukan
pemeriksaan terhadap akad yang digunakan dalam produk terkait. Apabila akad
yang digunakan dalam produk baru telah terdapat di dalam fatwa DSN MUI, maka
yang dilakukan DPS selanjutnya adalah menganalisis kesesuaian akad yang
digunakan dalam produk baru dengan fatwa DSN MUI. Jika sesuai, maka DPS
akan memberikan opini terhadap kesesuaian syariah atas skim maupun prosedur
yang terkait dengan produk baru tersebut, setelah itu barulah selanjutnya
dimintakan izin pelaksanaannya kepada otoritas yang berwenang, yang dalam hal
ini telah terjadi peralihan wewenang dari Bank Indonesia (BI) kepada Otoritas Jasa
Keuangan (OJK).

c. Memohon ke DSN MUI untuk dapat mengeluarkan fatwa berkenaan dengan


produk baru BS yang belum terdapat fatwanya

Fungsi utama DSN MUI adalah mengawasi produk-produk lembaga keuangan


syariah agar sesuai dengan syariah islam. Selain itu DSN MUI juga berfungsi
untuk meneliti dan memberi fatwa bagi produkproduk yang dikembangkan oleh
bank syariah. Dalam pengembangan produk baru bank syariah, DPS harus
memeriksa terlebih dahulu ada tidaknya fatwa DSN MUIatas akad yang digunakan
dalam produk baru tersebut, jika ternyata ditemukan bahwa akad yang digunakan
belum ada fatwanya, maka DPS mengusulkan kepada direksi bank untuk
melengkapi akad produk baru tersebut dengan fatwa DSN MUI yang berlaku.

Lambatnya DSN MUI dalam merespon kebutuhan-kebutuhan akan fatwa terhadap


pertanyaan atau usulan produk menyebabkan pihak manajemen melakukan inisiatif
bisnis selama DPS mengizinkan. Di sisi lain, OJK dalam melakukan pemeriksaan
selalu berpedoman terhadap fatwa DSN MUI sehingga jika manajemen melakukan
tindakan yang tidak diatur oleh fatwa maka tindakan tersebut tidak diperbolehkan.

d. Melakukan review secara berkala terhadap kepatuhan prinsip syariah baik dalam
penghimpunan dana maupun penyaluran pembiayaan dan pemberian layanan jasa
BS
Berdasarkan PBI No. 10/16/PBI/2008 tentang perubahan atas PBI No.
9/19/PBI/2007 tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan
dana dan penyaluran dana, BS wajib untuk memenuhi prinsip syariah di dalam
kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa.
e. Meminta data dan informasi yang terkait dengan aspek syariah dari satuan kerja
BS
DPS terlibat aktif dalam proses pengawasan aspek syariah pada setiap lini kegiatan
yang menjadi tugas dan tanggungjawabnya. Semua kegiatan yang dilaksanakan
oleh DPS tentu memerlukan data dan informasi yang akurat dari satuan kerja atau
unit kerja terkait. Kesadaran akan pentingnya pemenuhan aspek syariah oleh
semua satuan kerja atau unit kerja di bank syariah dapat mendukung pelaksanaan
tugas DPS. Dalam menjalankan tugas pengawasannya DPS dapat bersinergi
dengan baik dengan satuan kerja atau unit kerja di bank syariah sehingga seluruh
kebutuhan data dan informasi yang dibutuhkan oleh DPS dapat terpenuhi.
Salah satu masalah utama dalam pelaksanaan manajemen risiko dalam perbankan
syariah adalah peran DPS tidak optimal dan harus diperbaiki di masa depan. Peran
DPS jika tidak optimal terhadap praktik kepatuhan syariah mengakibatkan rusaknya
citra dan kredibilitas BS. Hal demikian, akan dapat mempengaruhi pandangan dan
penilaian masyarakat, yang selanjutannya dapat mengurangi kepercayaan masyarakat
terhadap perbankan syariah.

Berdasarkan hasil penelitian terhadap peranan DPS ditemukan kelemahan pelaksanaan


fungsi DPS yaitu:

a. Sampai dengan saat ini, tidak terdapat landasan hukum khusus yang mengatur
terkait pengawasan khusus atas kepatuhan syariah BS oleh DPS;
b. DPS hanya digunakan sebagai pelengkap struktur dalam BS;
c. Keterpilihan Anggota DPS dikarenakan ketokohan, bukan berdasarkan sebuah
kriteria yang menggambarkan kepemilikian keahlian dan pengetahuannya di
bidang keuangan dan BS;
d. Dikarenakan Anggota DPS berkeja untuk BS dan diberikan gaji oleh BS tersebut,
mengakibatkan kurang independen dan bebas serta lebih subyektif dalam
pengawasan. DPS kurang dapat bersikap tegas terhadap BS yang diawasi.
e. DPS bukan merupakan pekerjaan utamas, sehingga tidak memiliki waktu yang
cukup untuk menjalankan pengawasan. Pengawasan terhadap BS hanya dilakukan
sebagai pekerjaan sambilan;
f. Terbatasnya keahlian DPS dalam bidang pemeriksaan, keuangan, dan hukum
dagang;
g. Kurang efektifnya pengawasan DPS yang ditandai dengan masih banyaknya kasus
ketidakpatuhan BS terhadap syariah.

6. Kesimpulan Pembahasan

Upaya yang dilakukan dalam rangka mengoptimalkan fungsi DPS merupakan hal
sesuatu yang sangat dibutuhkan untuk memastikan operasional BS sudah sesuai prinsip-
prinsip syariah Islam.

Disebutkan di pasal 47 PBI No. 11/33/PBI/2009 bahwa yang dimaksud dengan tugas
dan tanggung jawab DPS adalah memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta
mengawasi kegiatan bank agar sesuai dengan prinsip syariah.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap peranan DPS ditemukan kelemahan pelaksanaan
fungsi DPS. Kelemahan-kelemahan tersebut seharusnya dapat diperbaiki secara bersama-
sama baik dari sisi DSN MUI, regulator dan pelaku industri perbankan syariah.

Anda mungkin juga menyukai