Anda di halaman 1dari 22

Paper Matematika

Model-Model Pembelajaran Matematika


Al Zikir, Siti Mukarromah
Pendidikan Matematika S2, Universitas Negeri Semarang

PENDAHULUAN
Pendidikan menurut SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 merupakan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak serta ketrampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Pendidikan sendiri dibagi menjadi menjadi pendidikan formal dan non formal, dimana
pendidikan formal ini tidak lepas dari yang namanya pembelajaran di kelas. Belajar merupakan
proses aktif untuk membangun pengetahuan siswa, sedangkan pembelajaran adalah proses
komunikasi antara guru dengan siswa dan sumber belajar dalam lingkungan belajar (Rohmah,
2021; Isrok’atun & Rosmala, 2018; Junarti dkk, 2022). Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat 20 “Pembelajaran adalah proses interaksi
peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”. Miarso dalam
Octavia, Shilphy A, 2020), ada lima jenis interaksi yang dapat berlangsung dalam proses belajar
dan pembelajaran yaitu: interaksi antara pendidik dan peserta didik, interaksi antara sesama
peserta didik atau antar sejawat, interaksi peserta didik dengan narasumber, interaksi peserta
didik dengan sumber belajar yang sengaja dikembangkan dan interaksi peserta didik bersama
pendidik dengan lingkungan sosial dan alam. Di dalam pembelajaran, terdapat komponen-
komponen yang berkaitan dengan proses pembelajaran, yaitu pendidik, peserta didik, kelas,
tujuan, materi, kegiatan belajar-mengajar, metode, media, evaluasi (Ibrahim, 2014 dalam Syam,
Suhendi, dkk, 2022).
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran penting yang diajarkan kepada peserta
didik mulai dari jenjang sekolah dasar sampai jenjang sekolah tinggi. Tujuan, materi, proses, dan
penilaian pembelajaran matematika di kelas akan selalu menyesuaikan dengan tuntutan
perubahan zaman. Dengan demikian metode, model, pendekatan, dan strategi pembelajaran
matematika yang digunakan guru di kelas akan ikut menentukan pencapaian tujuan pelajaran
matematika. (Shadiq, Fadjar, 2009). Wardhani (2008), tujuan mata pelajaran Matematika
diuraikan sama untuk semua satuan pendidikan dasar dan menengah (SD/MI, SMP/MTs,
SMA/MA, SMK/MAK) yaitu agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut.
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan
konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien dan tepat dalam pemecahan masalah
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam
membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan
matematika
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model
matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh
4. Mengkomunikasikan gagasan dengan symbol, tabel, diagram atau media lain untuk
memperjelas keadaan atau masalah
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa
ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya
diri dalam pemecahan masalah.

Formulasi lima tujuan pelajaran matematika di atas menunjukkan pentingnya memfasilitasi


para peserta didik untuk mempelajari kemampuan berpikir dan bernalar selama proses
mempelajari pengetahuan matematika di kelas. Oleh karena itu, pendidik harus memahami
berbagai model, metode, pendekatan, dan strategi pembelajaran matematika yang berpusat pada
peserta didik.

Tujuan pembelajaran menjadi titik tolak dalam menentukan langkah-langkah kegiatan


pembelajaran dari awal hingga akhir pembelajaran. Langkah-langkah atau alur kegiatan
pembelajaran tersaji dalam sebuah model pembelajaran. (Isrok’atun & Rosmala, 2018). Model
Pembelajaran merupakan pola desain pembelajaran yang menggambarkan secara sistematis
langkah demi langkah pembelajaran untuk membantu peserta didik dalam mengonstruksi
informasi, ide, dan membangun pola pikir untuk mencapai tujuan pembelajaran. Secara garis
besar, model pembelajaran menjadi pedoman dalam merancang dan melaksanakan langkah-
langkah pembelajaran dari awal hingga evaluasi pada akhir pembelajaran. Selain itu, model
pembelajaran dapat membuat kegiatan pembelajaran menjadi terarah sampai pada evaluasi akhir
sehingga dapat melihat ketercapaian kegiatan pembelajaran. Oleh sebab itu, seorang pendidik
perlu memahami model pembelajaran matematika yang akan digunakan agar pembelajaran dapat
berjalan secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan pembelajaran matematika yang
diharapkan.
Coba bayangkan bagaimana dampaknya ketika guru di kelas hanya ceramah terus atas semua
materi yang diberikan, padahal tujuan pembelajarannya adalah peserta didik mampu
memecahkan masalah? Apakah peserta didik mampu mencapai tujuan pembelajaran tersebut?
tentu tidak. Peserta didik tentu akan kesulitan, bahkan lupa dengan materi yang dijelaskan oleh
guru karena mereka hanya mendengarkan. Oleh karena itu, dibutuhkan pemilihan strategi
pembelajaran yang tepat, salah satunya melalui memilih model pembelajaran yang sesuai
(Suryani & Rahayu, 2018).   

PEMBAHASAN

Model Pembelajaran
Model pembelajaran diartikan sebagai prosedur sistematis yang digunakan dalam mengelola
pengalaman belajar siswa guna mencapai tujuan pembelajaran (Suryani & Rahayu, 2018).
Sebagai suatu kerangka konseptual, Suryani & Rahayu (2018) menyatakan bahwa model
pembelajaran akan diacu oleh guru dalam pembelajaran yang dilakukan (di dalam model
pembelajaran ini terlihat gambaran yang menyeluruh mengenai bentuk pembelajaran yang
dilakukan oleh guru). Konsep model pembalajaran menurut Trianto dalam (Afandi dkk, 2013)
adalah suatu perencanaan atau pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan
pembelajaran di kelas atau pembelajaran tutorial. Model pembelajaran mengacu pada pendekatan
pembelajaran yang akan digunakan, termasuk di dalamnya terdapat tujuan-tujuan pengajaran,
tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan pengelolaan kelas.
Didalam model pembelajaran terdapat strategi, teknik, metode, bahan, media dan alat penilaian
pembelajaran.

Karakteristik Model Pembelajaran


Model pembelajaran mempunyai makna yang lebih kompleks dari pendekatan, strategi,
metode, ataupun Teknik (Octavia, 2020). Selanjutnya menurut Octavia (2020) suatu rancangan
pembelajaran dikatakan menggunakan model pembelajaran apabila mempunyai 4 (empat) ciri
khusus, yakni rasional teoritis yang logis yang disusun oleh penciptanya, landasan pemikiran
tentang apa dan bagaimana siswa belajar, tingkah laku yang dibutuhkan agar model dapat
berhasil dilaksanakan, serta lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran
tercapai. Pada umumnya, model mengajar yang baik seperti dikatakan dalam (Suryani &
Rahayu, 2018) memiliki sifat atau karakteristik sebagai berikut:
1. Memiliki prosedur yang sistematis untuk memodifikasi perilaku siswa yang didasarkan pada
asumsi tertentu
2. Hasil belajar ditetapkan secara khusus, mengenai apa yang harus dipertunjukkan siswa
setelah menyelesaikan rangkaian pembelajaran
3. Penetapan lingkungan secara khusus
4. Menggambarkan dan menjelaskan hasil belajar dalam bentuk perilaku yang semestinya.
5. Interaksi dengan lingkungan

Manfaat Model Pembelajaran


Manfaat model pembelajaran adalah pedoman dalam merancang dan melaksanakan
pembelajaran. Dalam Octavia (2020) secara lebih rinci dijabarkan manfaat model pembelajaran
bagi guru dan siswa sebagai berikut:
a. Bagi guru
1. Memudahkan dalam melaksanakan tugas pembelajaran
2. Dapat mendorong aktivitas siswa dalam pembelajaran
3. Memudahkan dalam melakukan analisis terhadap perilaku siswa baik secara personal
atau kelompok
b. Bagi siswa
1. Berkesempatan aktif dalam proses pembelajaran
2. Memudahkan siswa untuk memahami materi pelajaran
3. Mendorong semangat siswa dalam mengikuti pembelajaran

Macam-macam Model Pembelajaran Matematika

A. Model Pembelajaran Kooperatif


Menurut Slavin, “cooperative learning refer to a varaiaty of teaching methods in which
students work ini small groups to help one another learn academic content”. Model
pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran di mana upaya-upaya berorientasi
pada tujuan tiap individu menyumbang pencapaian tujuan individu lain guna mencapai
tujuan bersama. Dengan kata lain, pembelajaran kooperatif adalah suatu bentuk pembelajaran
yang menggunakan pendekatan melalui kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dan
memaksimalkan kondisi belajar dalam mencapai tujuan belajar. Dalam belajar kooperatif,
siswa tidak hanya mampu dalam memperoleh materi, tetapi juga mampu memberi dampak
afektif seperti gotong royong kepedulian sesama teman dan lapang dada. Sebab, di dalam
pembelajaran kooperatif melatih para siswa untuk mendengarkan pendapat orang lain. Tugas
kelompok akan dapat memacu siswa untuk bekerja secara bersama-sama dan saling
membantu satu sama lain dalam mengintegrasikan pengetahuan-pengetahuan baru dengan
pengetahuan yang telah dimilikinya.
Tujuan dari pembelajaran kooperatif adalah menciptakan situasi ketika keberhasilan individu
ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya. Hal ini berbeda dengan tujuan
pembelajaran konvensional yang menerapkan sistem kompetisi, di mana keberhasilan
individu diorientasikan pada kegagalan orang lain. Oleh karena itu, strategi pembelajaran
kooperatif ini dikembangkan untuk mencapai tiga tujuan pembelajaran penting yaitu hasil
belajar akademik, penerimaan terhadap perbedaan individu, dan pengembangan keterampilan
sosial.
Menurut Lie (dalam Fathurrohman, Muhammad, 2015) Pembelajaran kooperatif memiliki
unsur-unsur yang saling terkait antara yang satu dengan yang lainnya yaitu: 1) saling
ketergantungan positif; 2) akuntabilitas individual; 3) Interaksi promotif; 4) Keterampilan
interpersonal dan kelompok kecil; dan 5) proses kelompok. Menurut Muslimin Ibrahim,
unsure-unsur dasar pembelajaran kooperatif sebagai berikut.
1) Siswa dalam kelompoknya haruslah beranggapan bahwa mereka “sehidup
sepenanggungan bersama”.
2) Siswa bertanggung jawab atas segala sesuatu di dalam kelompoknya seperti milik mereka
sendiri.
3) Siswa haruslah melihat bahwa semua anggota di dalam kelompoknya memiliki tujuan
yang sama.
4) Siswa haruslah membagi tugas dan tanggung jawab yang sama diantara kelompoknya.
5) Siswa akan dikenakan evaluasi atau diberikan hadiah/penghargaan yang juga akan
dikenakan untuk semua anggota kelompok.
6) Siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani
dalam kelompok kooperatif.
7) Siswa berbagi kepemimpinan dan mereka membutuhkan keterampilan untuk belajar
bersama selama proses belajarnya.

Sementara itu, ciri-ciri model pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut.

1) Siswa dalam kelompok secara kooperatif menyelesaikan materi belajar sesuai kompetensi
dasar yang akan dicapai.
2) Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan yang berbeda-beda, baik
tingkat kemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Jika mungkin anggota kelompok berasal
dari ras, budaya, suku yang berbeda serta memerhatikan kesetaraan gender.
3) Penghargaan lebih menekankan pada kelompok daripada masing-masing individu. Dalam
pembelajaran, dikembangkan diskusi dan komunikasi dengan tujuan agar siswa saling
berbagi kemampuan, saling belajar berpikir kritis, saling menyampaikan pendapat, saling
memberi kesempatan menyalurkan kemampuan, saling membantu belajar, saling menilai
kemampuan, dan peranan diri sendiri maupun teman lain.

Macam-macam model Cooperative Learning yaitu: 1) Student Teams Achievement Devisions


(STAD); 2) Teams Games Tournament (TGT); 3) Snowball Throwing; 4) Jigsaw; 5)
Learning Together; 6) Cooperative Learning Structure (CLS); 7) Group Investigation (GI);
8) Complex Instruction (CI); 9) Team Accelerated Instruction (TAI); 10) Cooperative
Integrated Reading and Composition (CIRC); 11) Structured Dyadic Methods (SDM); 12)
Spontaneous Group Discusion (SGD); 13) Numbered Head Together (NHT); 14) Team
Product (TP); 15) Cooperative Review (CR); 16) CO-OP CO-OP; 17) Think Pair Share
(TPS); 18) Discusion Group (DG)-Group Project (GP); 19) Match a Match; 20) Bertukar
Pasangan; 21) Structured Numbered Heads; 22) Two Stay Two (TSTS); 23) Keliling
Kelompok; 24) Kancing Gemerincing; 25) Keliling Kelas; 26) Role Playing; 27) Tea Party;
28) Berkirim salam dan soal; 29) Write Around; 30) Listening Team; 31) Student Team
Learning; 32) Inside-Outside Circle; 33) Tari Bambu; 34) Paired Story Telling.
B. Model Pembelajaran Student Centered Oriented
1. Model Pembelajaran Inkuiri
Model pembelajaran ini merupakan model yang melibatkan semaksimal mungkin
kemampuan siswa dalam mencari jawaban (melakukan penyeledikan) dengan cara sistematis
dan kritis agar dengan sendirinya siswa bisa merumuskan hasil penemuannya dengan percaya
diri melalui bimbingan dari guru (Rokhimawan dkk, 2022). Pembelajaran model inquiri
berfokus pada siswa dengan guru sebagai fasilitator. Dalam melakukan penyelidikan, peserta
didik mendapatkan bimbingan dari guru berupa petunjuk, arahan, pertanyaan, ataupun dialog
sehingga siswa diharapkan dapat membuat kesimpulan sesuai rancangan guru (Isrok’atun &
Amelia, 2018). Dalam melaksanakan pembelajaran, permasalahan dimunculkan oleh guru.
Selain itu, dalam membuat pelaksanaan pembelajaran guru harus merancang kegiatan yang
memungkinkan siswa melakukan kegiatan penemuan didalam mengerjakan materi pelajaran.
Penggunaan model ini dapat membantu pendidik untuk mengaitkan materi ajar yang sudah
diajarkan dengan keadaan sehari-hari siswa dan memberikan dorongan pada siswa untuk
menghubungkan pengetahuannya dengan kehidupan sehari-hari (Isrok’atun & Amelia, 2018).
Langkah-langkah model pembelajaran inquiry meliputi pengajuan suatu masalah,
merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, analisis data, dan
menarik kesimpulan. Karakteristik model pembelajaran ini adalah menekankan pada aktivitas
siswa secara maksimal untuk mencari dan menemukan jawaban dari suatu hal yang
dipertanyakan (Isrok’atun & Amelia, 2018). 
Isrok’atun & Amelia (2018) menyatakan kelebihan dan kekurangan model inkuiri sebagai
berikut:
Kelebihan model pembelajaran inquiry adalah:
a. Menekankan pada perkembangan tiga ranah, yakni kognitif, afektif, dan psikomotorik,
sehingga pembelajaran yang berlangsung dapat berupa pembelajaran bermakna
b. Memberi ruang untuk siswa sesuai gaya belajarnya
c. Aktivitas siswa menjadi meningkat dengan adanya pencarian dan pengolahan informasi
serta jawaban pertanyaan secara mandiri.
Kelemahan model inquiry adalah:
a. Jika topik yang diberikan pendidik tidak jelas, maka dampaknya akan membuat siswa
kebingungan
b. Model ini penerapannya membutuhkan waktu yang lama 
c. Sulit dikembangkan pada ruang lingkup kelas yang sisiwanya banyak
d. Model ini sulit diterapkan Ketika fokusnya pada kompetensi siswa dalam menguasai
materi ajar.

2. Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)


Pembelajaran Berbasis Masalah atau Problem Based Learning secara umum terdiri dari
menyajikan kepada siswa situasi masalah yang autentik dan bermakna yang dapat
memberikan kemudahan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan inquiri.
Permasalahan diberikan sebagai awal untuk membangun konsep. Menururt Arend dalam
Trianto dalam (Afandi dkk, 2013) menyatakan pengajaran berdasarkan masalah merupakan
suatu pendekatan pembelajaran dimana siswa mengerjakan permasalahan yang autentik
dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inquiri dan
keterampilan berpikir tingkat lebih tinggi, mengembangkan kemandirian, dan percaya diri.
Model pembelajaran ini berpusat pada siswa dengan peran guru sebagai pembimbing dan
fasilitator (Sitio, 2022). Pembelajaran diawali dengan pemberian masalah yang bersifat
kompleks kepada siswa, dilanjutkan dengan masalah-masalah yang spesifik, tujuannya
adalah untuk mencari solusi dari masalah kompleks tersebut. Isrok’atun & Amelia (2018)
menyatakan model pengajaran berbasis masalah memiliki karakteristik sebagai berikut: 
1. Pembelajaran berfokus pada siswa, oleh karena itu siswa dituntut aktif dalam
membangun suatu konsep materi pelajaran
2. Identik dengan disajikannya suatu masalah sebagai fokus pembelajaran. Masalah yang
disajikan berupa permasalahan nyata kehidupan sehari-hari, tujuannya adalah agar siswa
lebih mudah memahami masalah dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
3. Sumber atau informasi pendukung pemecahan masalah didapatkan siswa secara
mandiri   
4. Dilakukan dengan menggunakan kelompok kecil dalam belajar, tujuannya agar siswa
dapat bekerja secara kolaboratif.
5. Guru berperan sebagai fasilitator
Adapun tujuan dari model pembelajaran PBM ini adalah untuk membantu siswa
mengembangkan keterampilan berpikir dan keterampilan pemecahan masalah serta menjadi
pembelajar yang mandiri. Sintaks pembelajaran berbasis masalah ini terdiri dari orientasi
siswa pada masalah, mengorganisasi siswa untuk belajar, membimbing penyelidikan secara
individual ataupun kelompok, mengembangkan dan menyajikan hasil karya, menganalisis
dan mengevaluasi proses pemecahan masalah, menyajikan masalah, mendiskusikan suatu
masalah, menyelesaikan masalah diluar bimbingan guru, berbagi informasi, menyajikan
solusi dan merefleksi (Isrok’atun & Amelia, 2018).

3. Model Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning)


Pembelajaran berbasis proyek adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan suatu
proyek dalam proses pembelajaran. Proyek yang dikerjakan oleh peserta didik dapat
berupa proyek perseorangan atau kelompok dan dilaksanakan dalam jangka waktu
tertentu secara kolaboratif, menghasilkan sebuah produk, yang kemudian hasilnya akan
ditampilkan atau dipresentasikan. Pelaksanaan proyek dilakukan secara kolaborati,
inovatif, unik, dan yang berfokus pada pemecahan masalah yang berhubungan dengan
kehidupan peserta didik.
Pembelajaran berbasis proyek yang efektif, menurut Klein, et al. (dalam Fathurrohman,
Muhammad, 2015) harus memiliki karakteristik sebagai berikut.
 Leads students to investigate important ideas and question.
 Is framed around and inquiry process.
 Is differentiated according to student needs and interest.
 Is driven by student independent production and presentation rather than teacher
delivery of information.
 Requires the use of creative thinking, and information skills to investigate, draw.
 Conclusion about and create content.
 Connect to real world and authentic problems and issues.
Secara umum, langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Proyek (PBP) dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Penentuan 2. Perancangan 3. Penyusunan Jadwal
Proyek langkah-langkah pelaksanaan proyek
penyelesaian proyek

6. Evaluasi Proses 5. Penyusunan 4. Penyelesaian Proyek


dan Hasil proyek. Laporan dan dengan Fasilitasi dan
Presentasi/Publikasi Monitoring Guru
Hasil Proyek

Gambar. Langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Proyek


4. Model Pembelajaran Berbasis Pengalaman (Experiental Learning)
Pembelajaran berbasis pengalaman adalah proses belajar secara induktif, berpusat pada
pembelajar dan berorientasi pada aktivitas refleksi secara personal tentang suatu
pengalaman dan memfromulasikan rencana untuk menerapkan apa yang telah diperoleh
dari pengalaman dalam konteks situasi matematika yang lain adalah faktor kritis dalam
menjaga efektivitas pembelajaran berbasis pengalaman. Pembelajaran berbasis
pengalaman terjadi ketika pembelajar, (1) berpartisipasi dalam suatu aktivitas; (2)
menyelidiki secara kritis aktivitas pengalaman untuk diklarifikasi; (3) menarik
pemahaman yang berguna dari analisis terhadap pengalaman yang diperoleh; (4)
menggunakan pengalaman yang telah diperoleh untuk bekerja pada situasi yang baru.
Langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Pengalaman dalam proses pembelajaran yaitu:
1) Concrete experience (feeling): Belajar dari pengalaman-pengalaman yang spesifik.
Peka terhadap situasi.
2) Reflective observation (watching): mengamati sebelum membuat suatu keputusan
dengan mengamati lingkungan dari perspektif-perspektif yang berbeda. Memandang
dari berbagai hal untuk memperoleh suatu makna.
3) Abstract conceptualization (thinking): Analisis logis dari gagasan-gagasan dan
bertindak sesuai pemahaman pada suatu situasi.
4) Active experimentation (doing): kemampuan untuk melaksanakan berbagai hal
dengan orang-orang dan melakukan tindakan berdasarkan peristiwa. Termasuk
didalamnya adalah pengambilan resiko.
5. Model Pembelajaran Autentik (Authentic Learning)
Pembelajaran autentik adalah sebuah pendekatan pembelajaran yang memungkinkan
peserta didik menggali, mendiskusikan, dan membangun secara bermakna konsep-konsep
dan hubungan-hubungan, yang melibatkan masalah nyata dan proyek yang relevan
dengan peserta didik (Donovan, M. Suzanne, dkk., 2006 dalam Fathurrohman,
Muhammad, 2015). Istilah autentik berarti asli, sejati dan nyata. Pembelajaran ini dapat
digunakan untuk peserta didik pada semua tingkatan kelas, maupun peserta didik dengan
berbagai macam tingkat kemampuan.
Literatur menunjukkan bahwa pembelajaran autentik memiliki beberapa karakteristik
kunci sebagai berikut.
 Belajar adalah berpusat pada tugas-tugas autentik yang menarik bagi peserta didik.
 Peserta didik terlibat dalam eksplorasi dan penyelidikan.
 Belajar, paling sering adalah interdisipliner.
 Belajar sangat erat hubungannya dengan dunia di luar dinding kelas.
 Peserta didik menjadi terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan order kemampuan
berpikir lebih tinggi, seperti menganalisis, sintesis, merancang, menaipulasi, dan
mengevaluasi informasi.
 Peserta didik menghasilkan produk yang bisa dibagi dengan pemirsa di luar kelas.
 Belajar adalah peserta didik didorong dengan guru, orangtua, dan para ahli di luar
semua membantu/pembinaan dalam proses pembelajaran.
 Pembelajar menggunakan perancah teknik.
 Peserta didik memiliki peluang untuk wacana sosial. (Newman, F.M. dkk, 1995
dalam Fathurrohman, Muhammad, 2015)
6. Model Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning)
Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) atau CTL merupakan konsep
pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia
kehidupan siswa secara nyata, sehingga siswa mampu menghubungkan dan menerapkan
kompetensi dalam kehidupan sehari-hari (Mulyasa dalam Afandi dkk, 2013). Pendapat lain
mengatakan bahwa CTL adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara
materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata siswa, dan mendorong siswa membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan
sehari-hari. Jadi model ini menghadirkan dunia nyata di dalam kelas dengan tujuan untuk
menghubungkan antara pengetahuan yang ada dengan kehidupan sehari-hari, sehingga
pengetahuan yang diperoleh dapat diterapkan dalam dunia nyata (Afandi dkk, 2013). CTL
memungkinkan proses belajar mengajar yang tenang dan menyenangkan, karena
pembelajarannya dilakukan secara alamiah, sehingga memungkinkan peserta dapat
mempraktekkan secara langsung materi yang dipelajarinya. CTL juga mendorong peserta
memahami hakekat, makna, dan manfaat belajar, sehingga memungkinkan mereka rajin, dan
termotivasi dalam belajar.
Karakteristik pembelajaran CTL seperti dinyatakan dalam Afandi (2013) adalah sebagai
berikut:
1) Pembelajaran dilaksanakan dalam konteks autentik, yaitu pembelajaran dihubungkan
dengan dunia nyata (learning in real life setting).
2) Pembelajaran memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan tugas-ttgas yang
bermakna (meaningful learning). 
3) Pembelajaran dilaksanakan dengan memberikan pengalaman bermakna kepada siswa
(learning by doing). 
4) Pembelajaran dilaksanakan melalui kerja kelompok, berdiskusi,
saling mengoreksi antar teman (learning in a group). 
5) Pembelajaran memberikan kesempatan untuk menciptakan rasa kebersamaan, kerjasama,
dan saling memahami antara satu dengan yang lain secara mendalam (learning to know
each other deeply). 
6) Pembelajaran dilaksanakan secara aktif, kreatif, produktif, dan mementingkan kerja sama
(learning to ask, to inquiry, to work together). 
7) Pembelajaran dilaksanakan dalam situasi yang menyenangkan (learning as an enjoy
activity).

7. Model Pembelajaran Discovery Learning


Model pembelajaran discovery learning adalah model pembelajaran penemuan. Dimana
dalam proses pembelajaran peserta didiklah yang banyak menemukan konsep. Sehingga
peserta didik tidak hanya diam menunggu guru. Dan model pembelajaran ini adalah model
pembelajaran yang berpusat kepada peserta didik atau student centered. Sehingga siswa
dituntut aktif.
Menurut Kemdikbud, 2015 (dalam Susana, Afria, 2019) langkah-langkah dalam
mengaplikasikan model discovery learning di kelas adalah sebagai berikut:
1) Stimulasi/Pemberian Rangsangan
2) Identifikasi Masalah
3) Pengumpulan Data
4) Pengolahan Data
5) Pembuktian
6) Menarik Kesimpulan/Generalisasi

C. Model-model Pembelajaran Inovatif Alternatif


1. Model Pembelajaran Langsung
Pembelajaran langsung atau Direct Instruction didefinisikan sebagai model pembelajaran
dimana guru mentransformasikan informasi, pengetahuan, atau keterampilan secara langsung
kepada peserta didik, pembelajaran berorientasi pada tujuan dan distrukturkan oleh guru.
Pembelajaran langsung merujuk pada berbagai teknik pembelajaran ekspositori (pemindahan
informasi dari guru kepada murid secara langsung, misalnya melalui metode ceramah,
demonstrasi, dan tanya jawab) yang melibatkan seluruh kelas. Pendekatan dalam model ini
adalah pembelajaran dengan guru sebagai pusatnya, dalam hal ini guru berperan
menyampaikan isi materi pelajaran dalam format yang sangat terstruktur, mengarahkan
kegiatan para peserta didik, dan mempertahankan fokus pencapaian akademik. Tujuan utama
pembelajaran langsung menurut Depdiknas adalah untuk memaksimalkan penggunaan waktu
belajar peserta didik.   
Model pembelajaran langsung dapat diidentifikasi dengan beberapa karakteristik, yaitu:
1) Transformasi dan keterampilan secara langsung 
2) Pembelajaran berorientasi pada tujuan tertentu 
3) Materi pembelajaran yang telah terstruktur 
4) Lingkungan belajar yang telah terstruktur 
5) Distruktur oleh guru.
Tahap pelaksanaan model pembelajaran langsung terdiri atas orientasi (pendahuluan),
presentasi (penyampaian materi oleh guru), latihan terstruktur (guru mengarahkan siswa
untuk berlatih, guru memberikan umpan balik atau respon kepada siswa), latihan terbimbing
(guru memonitor dan membimbing siswa dalam melaksanakan latihan), dan latihan mandiri. 
Kelebihan dari model pembelajaran langsung ini adalah guru mengendalikan isi materi
dan urutan informasi yang diterima oleh siswa sehingga dapat mempertahankan focus
mengenai apa yang harus dicapai oleh siswa; dapat diterapkan secara efektif dalam kelas 
yang besar maupun kecil; dapat digunakan untuk menekankan poin-poin penting atau
kesulitan-kesulitan yang mungkin dihadapi siswa sehingga hal-hal tersebut dapat
diungkapkan; dapat menjadi cara yang efektif untuk mengajarkan informasi dan pengetahuan
faktual yang sangat terstruktur; merupakan cara yang paling efektif untuk mengajarkan
konsep dan keterampilan-keterampilan yang eksplisit kepada siswa yang berprestasi rendah;
dapat menjadi cara untuk menyampaikan informasi yang banyak dalam waktu yang relatif
singkat yang dapat diakses secara setara oleh seluruh siswa. 
Kelemahan dari model pembelajaran langsung diantaranya adalah a) Model pembelajaran
langsung bersandar pada kemampuan siswa untuk mengasimilasikan informasi melalui
kegiatan mendengarkan, mengamati, dan mencatat. Karena tidak semua siswa memiliki
keterampilan dalam hal-hal tersebut, guru masih harus mengajarkannya kepada siswa. b)
Dalam model pembelajaran langsung, sulit untuk mengatasi perbedaan dalam hal
kemampuan, pengetahuan awal, tingkat pembelajaran dan pemahaman, gaya belajar, atau
ketertarikan siswa. c) Siswa hanya memiliki sedikit kesempatan untuk terlibat secara aktif,
sehingga sulit bagi siswa untuk mengembangkan keterampilan sosial dan interpersonal
mereka. d) Karena guru memainkan peran pusat dalam model ini, kesuksesan strategi
pembelajaran ini bergantung pada kompetensi guru.

2. Model Quantum Teaching and Learning


Quantum Teaching menurut Bobby De Porter adalah konsep yang menguraikan cara-cara
baru dalam memudahkan proses belajar mengajar, lewat pemaduan unsur seni dan
pencapaian-pencapaian yang terarah, apa pun mata pelajaran yang diajarkan. Quantum
teaching menjadikan segala sesuatu berarti dalam proses belajar mengajar, setiap kata,
pikiran, tindakan asosiasi, dan sampai sejauh mana mengubah lingkungan, presentasi, dan
rancangan pengajaran.
Adapun asas Quantum Teaching adalah bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan antarkan
dunia kita ke dunia mereka. Hal ini mengingatkan kita pada pentingnya memasuki dunia
murid sebagai langkah pertama. Memasuki terlebih dahulu dunia mereka berarti akan
memberi izin untuk memimpin, menuntun, dan memudahkan perjalanan mereka menuju
kesadaran dan ilmu pengetahuan yang lebih luas. Sedangkan tujuan Quantum Teaching
adalah untuk meraih ilmu pengetahuan yang luas dengan berdasarkan prinsip belajar yang
menyenangkan dan menggairahkan.
Aplikasi Quantum Teaching dapat dinamakan dengan TANDUR. Aplikasi dari TANDUR
sangat jelas manfaatnya ketika diterapkan dalam kelas yang memiliki siswa dengan
antusiasme belajar yang rendah. TANDUR ditujukan untuk meningkatkan minat siswa dalam
belajar sehingga proses penyampaian materi dapat berjalan dengan baik. TANDUR
merupakan singkatan dari enam fase pengajar yang meliputi Tumbuhkan, Alami, Namai,
Demonstrasikan, Ulangi dan Rayakan.

3. Model Pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME).


Pandangan tentang PMR dewasa ini sebagian besar dipengaruhi oleh pandangan Freudenthal
tentang matematika (Heuvel-Panhuizen, 1998 dalam (Putrawangsa, Susilahudin, 2017).
Menurut Freudenthal, pembelajaran matematika harus dihubungkan dengan dunia nyata,
dekat dengan peserta didik, dan berkaitan dengan kehidupan masyarakat, agar melekat
menjadi sistem nilai yang diakui pada diri manusia.
Oleh karena itu, Freudenthal memandang bahwa pembelajaran matematika sebagai suatu
aktifitas yang dilakukan oleh manusia. Pandangan matematika sebagai suatu aktivitas
manusia yang merujuk pada proses pembelajaran matematika yang memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk melakukan kegiatan eksplorasi terhadap phenomena/kejadian
yang dapat dibayangkan oleh peserta didik guna mengembangkan dan membangun
pengetahuan mereka, bukan memandang pembelajaran matematika sebagai suatu ilmu yang
pembelajarannya melalui pemindahan (transfer) pengetahuan. Ide pembelajaran matematika
melalui eksplorasi terhadap phenomena/kejadian yang dapat dibayangkan oleh siswa ini
kemudian dikenal dalam PMR dengan istilah Dedactical Phenomenology. (Putrawangsa,
Susilahudin, 2017)
Lebih lanjut, dalam PMR pembelajaran matematika seharusnya memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk mengalami proses penemuan kembali konsep-konseo matematika
dengan cara melakukan kegiatan-kegiatan yang memungkinkan mereka untuk menemukan
konsep-konsep tersebut melalui bimbingan orang yang lebih ahli, dalam hal ini adalah
pendidik. Ide ini kemudian dikenal dengan istilah Guided Reinvention (proses penemuan
terbimbing). (Putrawangsa, Susilahudin, 2017)
Selain dua ide di atas (Dedactical Phenomenology dan Guided Reinvention), pembelajaran
matematika dalam PMR memberikan ruang kreasi yang luas kepada peserta didik untuk
mengembangkan representasi atau model matematika terhadap masalah matematika yang
dihadapi nantinya digunakan model untuk mengkomunikasikan ide-ide matematika yang
mereka yakini. Ide ini dalam PMR dikenal dengan istilah Self-Developed Model
(pengembangan model matematika secara mandiri). Melalui kegiatan pemodelan ini, maka
dalam PMR dikenal dua jenis proses pemodelan (matematisasi), yaitu matematisasi
horizontal dan matematisasi vertical.
1) Horizontal Mathematization
Dalam tahapan horizontal mathematization, peserta didik merumuskan model matematika
dari masalah yang dikaji dengan menggunakan perangkat-perangkat matematika yang
diketahuinya guna membantu mereka dalam mengorganisir informasi yang ada dalam
masalah tersebut. Sederhananya, Horizontal mathematization merujuk pada kegiatan
pemodelan masalah secara matematis dari masalah matematika yang diberikan.
2) Vertical Mathematization
Tahapan selanjutnya setelah horizontal mathematization adalah vertical mathematization.
Vertical mathematization adalah proses analisis atau pengorganisasian kembali model-
model matematis yang didapatkan pada tahapan horizontal mathematization di atas guna
menyelesaikan masalah matematika yang diberikan dan juga guna mencapai pada
pemahaman matematika yang lebih abstrak dan formal. Hal-hal yang termasuk dalam
tahapan ini adalaj penemuan hubungan, konsep, keterkaitan antar konsep, dan sebagainya
berdasarkan analisis model matematika yang telah ditentukan sebelumnya menggunakan
sejumlah perangkat matematika yang telah diketahui.
Untuk lebih jelasnya, matematisasi horizontal melibatkan kegiatan perpindahan dari dunia
phenomena/kejadian ke dunia symbol yang merepresentasikan kejadian tersebut, sedangkan
matematisasi vertical dimaknai sebagai proses pengotak-atikan dunia symbol tersebut guna
menemukan pola, aturan, hubungan, dan sebagainya guna menyelesaikan masalah yang ada
dan juga sebagai wahan untuk mencapai pemahaman matematika yang lebih abstrak dan
formal.
Untuk mengilustrasikan ide matematisasi ini, perhatikan contoh masalah matematika berikut
ini yang tujuannya untuk mengembangkan pemahaman siswa sekolah dasar mengenai
penjumlahan dan pengurangan. “Sebuah Bis berangkat dari Stasiun A dan berakhir di
Stasiun B. Dari stasiun A, Bis tersebut berhenti sebanyak 3 kal. Pada Halte pertama ada 2
oranf turun dan 3 orang naik ke kendaraan. Halte selanjutnya tidak ada yang turun akan
tetapi ada penambahan 5 orang penumpang. Pada Halte ketiga, ada 7 orang penumpang
yang turun. Lalu, berapakah julah penumpang yang sampai di Stasiun B?”.
Dalam menyelesaikan masalah tersebut, peserta didik awalnya akan mencoba
merepresentasikan masalah tersebut ke bentuk yang lebih mudah dipahami. Misalnya
mengilustrasikan masalah tersebut dalam gambar seperti terlihat pada gambar 1, atau yang
lebih abstrak lagi seperti gambar 2. Proses pemodelan masalah seperti ini disebuat sebagai
proses matematisasi horizontal karena peserta didik tersebut sedang berusaha memodelkan
masalah yang dikaji dengan menggunakan perangkat-perangkat matematika yang
diketahuinya guna membantu mereka dalam mengorganisir informasi yang ada dalam
masalah tersebut.
Dari model yang didapatkan dari proses matematisasi horizontal tersebut, peserta didik
kemudian mengembangkan solusi unuk masalah tersebut ke bentuk yang lebih formal atau
lebih abstrak seperti yang terlihat pada gambar 3. Dalam hal, peserta didik tersebut dikatakan
sedang berada pada proses matematisasi vertical.
Gambar 1. Pengembangan model solusi oleh peserta didik pada level matematisasi
horizontal.

Gambar 2. Pengembangan model solusi oleh peserta didik pada level matematisasi
horizontal.

Gambar 3. Pengembangan model solusi oleh peserta didik pada level matematisasi
vertical. (Putrawangsa, Susilahudin, 2017)
Suatu proses pembelajaran dikatakan menerapkan PMR jika dalam proses pembelajaran
tersebut menghadirkan 5 karakteristik dari PMR (Treffers, 1987 dalam Putrawangsa,
Susilahudin, 2017), yaitu:
a. Penggunaan konteks, yaitu eksplorasi masalah matematika dalam suatu konteks yang
dapat dibayangkan oleh peserta didik sebagai titik awal pembelajaran.
b. Penggunaan model, yaitu pengembangan model dan perangkat media yang dilakukan
oleh peserta didik atas masalah matematika yang diberikan (model of dan model for).
c. Pemanfaatan hasil kerja dan konsetruksi peserta didik, yaitu penggunaan model solusi
dan kontribusi peserta didik sebagai dasar pengembangan pengetahuan matematika
peserta didik ke yang lebih tinggi atau lebih formal (progressive mathematization).
d. Proses pembelajaran berbasis interaktifitas, yaitu proses pembelajaran yang membuka
ruang diskusi dan interaksi antara peserta didik dan peserta didik; dan peserta didik dan
pendidik (kooperatif).
e. Pengkaitan dengan berbagai pengetahuan lainnya, yaitu proses pembelajaran yang
bersifat terbuka dan holistic dimana pengetahuan-pengetahuan baik dalam ataupun luar
matematika dapat berkontribusi dalam proses pembelajaran.

4. Tipe model pembelajaran alternative lainnya.


Beberapa tipe model pembelajaran yang berpijak dari pendekatan student centered yaitu:
1) Poster Comment; 2) Information Search (Mencari Informasi); 3) The Power of Two
(Kekuatan Berdua); 4) Card Sort (Mensortir kartu); 5) Index Card Match; 6) Billboard
Ranking; 7) Every One is a Teacher Here; 8) Debat Aktif; 9) Critical Incident; 10) Team
Quiz; 11) Snowballing (Bola salju 1-2-4-8-16-dst); 12) Small Group Discussion (Diskusi
Kelompok Kecil); 13) Call on The Next Speaker (Memanggil Pembicara Berikutnya); 14)
Poster Session; 15) Concept Map (Peta Konsep); 16) Mind Mapping.

PENUTUP

Simpulan.

Sebagai upaya untuk mewujudkan tujuan pembelajaran, diperlukan adanya pemilihan strategi
pembelajaran yang tepat, salah satunya melalui memilih model pembelajaran yang sesuai.
Terdapat berbagai macam model yang menunjang keberhasilan proses pembelajaran, model-
model pembelajaran itu diantaranya adalah model pembelajaran cooperative, model
pembelajaran student centered oriented, dan model-model pembelajaran inovatif alternative.
Model Pembelajaran merupakan pola desain pembelajaran yang menggambarkan secara
sistematis langkah demi langkah pembelajaran untuk membantu peserta didik dalam
mengonstruksi informasi, ide, dan membangun pola pikir untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Secara garis besar. Model pembelajaran menjadi pedoman dalam merancang dan melaksanakan
langkah-langkah pembelajaran dari awal hingga evaluasi pada akhir pembelajaran. Selain itu,
model pembelajaran dapat membuat kegiatan pembelajaran menjadi terarah sampai pada
evaluasi akhir sehingga dapat melihat ketercapaian kegiatan pembelajaran. Oleh sebab itu,
seorang pendidik perlu memahami model pembelajaran matematika yang akan digunakan agar
pembelajaran dapat berjalan secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan pembelajaran
matematika yang diharapkan.
REFERENSI.

Afandi, M., Chamalah, E., & Wardani, O. P. (2013). Model Dan Metode Pembelajaran Di
Sekolah. Semarang: Unissula Press.

Fathurrohman, Muhammad. (2015). Model-model Pembelajaran Inovatif. Yogyakarta: AR-


RUZZ Media.

Isrok’atun & Rosmala, Amelia. (2018). Model-Model Pembelajaran Matematika. Jakarta : PT.
Bumi Aksara.

Junarti dkk. (2022). Model-Model Pembelajaran Matematika di Era Pandemi. Jurnal PKM :
Pengabdian Kepada Masyarakat, 5(4), 431-437.

Octavia, Shilphy A. (2020). Model-Model Pembelajaran. Yogyakarta : Deepublish.

Pasaribu, Eva. (2022). Model Pembelajaran Kooperatif dan Kecerdasan Interpersonal.


Tasikmalaya : Perkumpulan Rumah Cemerlang Indonesia.

Pemerintah Indonesia. (2003). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem


Pendidikan Nasional. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.

Putrawangsa,Susilahudin. (2017). Desain Pembelajaran Matematika Realistik. Mataram : CV.


Reka Karya Amerta.

Rohmah, S. N. (2021). Strategi Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: UAD PRESS.

Rokhimawan, M. A., Badawi, J. A., & Aisyah, S. (2022). Model-Model Pembelajaran


Kurikulum 2013 pada Tingkat SD/MI. Edukatif : Jurnal Ilmu Pendidikan, 4(2), 2077-
2086.Shadiq, Fadjar. (2009). Model-model Pembelajaran Matematika SMP.
Depdiknas : Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga
Kependidikan Matematika..

Sitio, H. (2022). Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika. Rumah Cemerlang


Indonesia.
Suryani, T., & Rahayu, E. M. (2018). Metode Pembelajaran. KEMENTERIAN RISET
TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI LEMBAGA LAYANAN PENDIDIKAN
TINGGI WILAYAH VII.

Susana, Afria. (2019). Pembelajaran Discovery Learning Menggunakan Multimedia Interaktif.


Kabupaten Bandung : Tata Akbar.

Syam, Suhendi, dkk. (2022). Belajar dan Pembelajaran. Medan: Yayasan Kita Menulis.

Wardhani. (2008). Analisis SI dan SKL Mata Pelajaran Matematika SMP/MTs untuk
Optimalisasi Tujuan Mata Pelajaran Matematika. Yogyakarta : Pusat Pengembangan
dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Matematika.

Anda mungkin juga menyukai