Anda di halaman 1dari 23

PROPOSAL PENELITIAN ILMIAH

PERKEMBANGAN ASPEK KOGNITIF ANAK DI SD NEGERI 3


SARIGADUNG

Di susun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Kuantitatif

Dosen Pengampu :

Dr. Ismi Rajiani, MM.

Akhmad Munaya Rahman, M.Pd.

Oleh :

Ahmad Maulana 1910128210013

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN IPS

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI....................................................................................................................................................

DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................................................................

DAFTAR GAMBAR........................................................................................................................................

BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................................................................

a. Latar belakang1
b. Rumusan masalah 2
c. Tujuan penelitian 2
d. Manfaat teoritis 2
e. Manfaat praktis 3

BAB II KAJIAN PUSTAKA............................................................................................................................

A. Perkembangan Kognitif 4
B. Tahap Perkembangan Intelektual 7

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................................................

ii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

2.1 Tabel Nama Peserta Didik Kelas IV...........................................................................................................

iii
DAFTAR GAMBAR

2.2 Gambar Tabel Tahap Perkembangan Usia.................................................................................................

2.3 Gambar Tabel Perkembangan Kognitif Berdasarkan Usia.........................................................................

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan suatu usaha yang bersifat membimbing, yang
dilakukan secara sadar oleh pendidik (termasuk orang tua) terhadap peserta didik
dengan tujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar terbentuk
kepribadian yang sempurna (insan kamil) (Marimba, 1980: 19). Aspek kognitif
menjadi hal utama sebab keberhasilan dalam mengembangkan aspek kognitif
dapat menentukan keberhasilan dalam aspek-aspek lainnya. Segala hal yang ada
disekitar seseorang, sesungguhnya terdapat suatu hal yang sangat bermanfaat
bagi manusia jika manusia mampu menggunakan akalnya (kognitif) untuk
memikirkan hal tersebut. Oleh sebab itu ketika anak sudah mampu
menggunakan konsep berfikirnya maka tugas pendidikan untuk
mengembangkannya. Tanpa ranah kognitif, sulit dibayangkan seorang anak
mampu berfikir.
Selanjutnya, tanpa kemampuan berfikir sangat mustahil seorang anak
akan mampu memahami, meyakini dan mengaplikasikan hal-hal yang ia tangkap
dari sekitarnya baik berupa materi pelajaran, pesan-pesan moral dari lingkungan
keluarga maupun teman sebaya. Para peneliti dalam bidang perkembangan otak
menemukan bahwa perkembangan kognitif berkaitan erat dengan perkembangan
dan fungsi otak. Salah satu tokoh yang merumuskan teori perkembangan
kognitif yaitu Jean Piaget.
Jean Piaget merupakan tokoh yang berpaham kognitif, namun dalam
perkembangannya, teorinya banyak menjadi dasar teori pendidikan
kontruktivisme yang berperan besar dalam pengembangan ilmu pendidikan di
dunia. Jean Piaget telah meneliti mengenai tahap-tahap pribadi serta perubahan
usia yang mempengaruhi kemampuan belajar individu. Jean Piaget adalah
seorang psikolog yang menyelidiki tentang pertumbuhan struktur yang
memungkinkan individu mengalami penyesuaian diri dengan lingkungannya
serta meneliti perkembangan intelektual atau kognisi atas dasar bahwa struktur
intelektual terbentuk didalam individu akibat interaksinya dengan lingkungan
(Soemanto, 1998: 130). Menurut Piaget, Tingkah laku seseorang senantiasa

1
didasarkan pada kognisi, yakni suatu tindakan untuk mengenal atau memikirkan
kondisi dimana suatu perilaku itu terjadi. Jadi secara tidak langsung pribadi anak
akan terbentuk melalui proses belajar yang melibatkan proses berfikir yang
sangat kompleks dan merupakan peristiwa mental yang nantinya mendorong
terjadinya sikap maupun perilaku.
Pandangan dunia anak tahap operasional konkret (7-12 tahun) berbeda
dengan pandangan orang tua atau yang lebih dewasa, jadi pendidik harus mampu
mendorong anak untuk membentuk konsep yang tepat khususnya dalam
pembelajaran matematika. Sebab, Praktek pembelajaran matematika di
Indonesia sangat dipengaruhi oleh teori belajar kognitif. Berbagai upaya telah
dirintis untuk memperbaiki praktek pembelajaran matematika dengan berpegang
pada aliran tersebut. Aliran teori belajar kognitif diyakini sebagai suatu
pembaharuan atau inovasi belajar yang diharapkan dapat memperbaiki kualitas
pendidikan matematika di Indonesia. Dengan demikian, sangat perlu dikaji lebih
jauh tentang teori yang dikembangkan oleh Jean Piaget tersebut. Sebab hal ini
sangat membantu pendidik dalam mengemas materi ataupun metode yang
dikemas sesuai tingkat berfikir anak. Terutama dalam hal ini pada anak usia
sekolah dasar di SD Negeri 3 Sarigadung yang rata-rata berada di tahap usia
operasinal konkret (7-12 tahun).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Perkembangan Aspek Kognitif Anak di SD Negeri 3
Sarigadung?
2. Bagaimana Tahap Perkembangan Intelektual Pada Anak di SD Negeri 3
Sarigadung?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Pengaruh Pembelajaran Daring terhadap Perkembangan
Aspek Kognitif Anak di SD Negeri 3 Sarigadung
2. Untuk Mengetahui Tahap Perkembangan Intelektual Pada Anak di SD
Negeri 3 Sarigadung
D. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai
perkembangan aspek kognitif pada anak dan penyebab menurunnya aspek

2
kognitif pada anak di SD Negeri 3 Sarigadung. Serta dapat menambah wawasan
guru tentang strategi mengajar yang effektif untuk menghindari terjadinya
penurunan aspek kognitif pada peserta didik.
E. Manfaat Praktis
1. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pihak sekolah dalam rangka
perbaikan proses pembelajaran sehingga dapat meningkatkan hasil belajar
siswa
2. Menambah wawasan bagi seorang guru tentang strategi pembelajaran yang
effektif sehingga bisa meningkatkan kualitas peserta didik pada berbagai
aspek

3
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif berkaitan dengan perkembangan otak.
Perkembangan otak yaitu perkembangan yang menyangkut ukuran (volume) dan
fungsi otak. Kecepatan perkembangan otak berpengaruh terhadap perkembangan
kognitif manusia. Pada usia 10 tahun berat otak sudah mencapai 95% dari otak
orang dewasa, berbeda ketika bayi baru dilahirkan yang beratnya hanya 25%
otak orang dewasa. Perkembangan otak akan mempengaruhi fungsi otak untuk
berfikir, seperti mengetahui, memahami, menganalisis, mensintesis, beride,
bernalar, berkreatifi tas dan bertindak. Perkembangan otak terbagi menjadi dua
bagian, yaitu otak kiri dan otak kanan. Perkembangan otak kiri meliputi
kemampuan berfikir rasional, ilmiah, logis, analitis, dan berkaitan dengan
kemampuan belajar membaca, berhitung dan bahasa. Perkembangan otak kanan
meliputi kemampuan berfi kir holistik, non-linier, non-verbal, intuitif, imajinatif
dan kreatifi tas.
Pada fase anak usia dasar, perkembangan kognitif anak memiliki
tingkatan yang berbedabeda dimulai dari usia 7-12 tahun ke atas. Pada fase ini,
perkembangan kognitif anak berada dalam dua fase yaitu pertama fase
operasional konkret adalah fase ketika usia anak antara 7 sampai 11 tahun dan
kedua fase operasional formal adalah fase ketika usia anak antara 11 sampai 12
tahun ke atas. Perkembangan kognitif setiap individu berbeda-beda, ada yang
cepat dan ada juga yang lambat. Perbedaan tersebut dapat terjadi karena
dipengaruhi berbagai faktor, diantaranya yaitu asupan gizi. Sebuah penelitian
menunjukan bahwa anak kekurangan gizi (malnutrisi) memiliki IQ dengan rata-
rata nilai 22,6 poin lebih rendah dibandingkan anak berstatus gizi baik.6 Selain
dari faktor gizi, perkembangan kognitif juga dipengaruhi oleh faktor genetika,
pendidikan dan lingkungan.
Perkembangan kognitif merupakan dasar bagi kemampuan anak untuk
berpikir. Hal ini sesuai dengan pendapat Ahmad Susanto (2011: 48) bahwa
kognitif adalah suatu proses berpikir, yaitu kemampuan individu untuk
menghubungkan, menilai, dan mempertimbangkan suatu kejadian atau peristiwa.

4
Jadi proses kognitif berhubungan dengan tingkat kecerdasan (intelegensi) yang
menandai seseorang dengan berbagai minat terutama sekali ditujukan kepada
ide-ide belajar. Perkembangan kognitif mempunyai peranan penting bagi
keberhasilan anak dalam belajar karena sebagian aktivitas dalam belajar selalu
berhubungan dengan masalah berpikir. Menurut Ernawulan Syaodih dan Mubair
Agustin (2008: 20) perkembangan kognitif menyangkut perkembangan berpikir
dan bagaimana kegiatan berpikir itu bekerja. Dalam kehidupannya, mungkin
saja anak dihadapkan pada persoalan-persoalan yang menuntut adanya
pemecahan. Menyelesaikan suatu persoalan merupakan langkah yang lebih
kompleks pada diri anak. Sebelum anak mampu menyelesaikan persoalan anak
perlu memiliki kemampuan untuk mencari cara penyelesaiannya.
Piaget menyatakan bahwa cara berfikir anak bukan hanya kurang matang
dibandingkan dengan orang dewasa karena kalah pengetahuan, tetapi juga
berbeda secara kualitatif. Menurut penelitiannya juga bahwa tahap-tahap
perkembangan intelektual individu serta perubahan umur sangat mempengaruhi
kemampuan individu mengamati ilmu pengetahuan. (Laura A. King:152). Piaget
mengemukakan penjelasan struktur kognitif tentang bagaimana anak
mengembangkan konsep dunia di sekitar mereka. (Loward s. Friedman and
Miriam. W. Schustack. 2006: 59). Teori Piaget sering disebut genetic
epistimologi (epistimologi genetik) karena teori ini berusaha melacak
perkembangan kemampuan intelektual, bahwa genetic mengacu pada
pertumbuhan developmental bukan warisan biologis (keturunan). (B.R.
Hergenhahn & Matthew H. Olson, 2010: 325).
Piaget mengemukakan bahwa sejak usia balita, seseorang telah memiliki
kemampuan tertentu untuk mengahadapi objek-objek yang ada di sekitarnya.
Kemampuan ini masih sangat sederhana, yakni dalam bentuk kemampuan sensor
motorik. Dalam memahami dunia mereka secara aktif, anak-anak menggunakan
skema, asimilasi, akomodasi, organisasi dan equilibrasi. Dengan kemampuan
inilah balita akan mengeksplorasi lingkungannya dan menjadikannya dasar bagi
pengetahuan tentang dunia yang akan dia peroleh kemudian, serta akan berubah
menjadi kemampuankemampuan yang lebih maju dan rumit. Kemampuan-
kemampuan ini disebut Piaget dengan skema.

5
Dalam teori perkembangannya, Piaget menegaskan bahwa belajar akan
lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta
didik. Dengan pemahaman tersebut maka sangat penting untuk memberikan
kesempatan bagi peserta didik untuk melakukan eksperimen bersama kelompok
teman-temannya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari pendidik. Pendidik
memainkan peran penting dalam proses tersebut dengan memberikan
rangsangan kepada peserta didik agar sudi berinteraksi dengan lingkungan
secara aktif, dan mencari serta menemukan berbagai hal dari lingkungan.

Lampiran 2.1 Table Nama Peserta Didik Kelas IV

NOMOR
NAMA SISWA L/P
URUT NISN / NIS

1 0128279994 / 031 ADE SUMARIYANI P


2 0109705646 / 001 AHMAT RIFAI L
3 0116461858 / ALVARO FAEYZA KAHFI L
4 0114681763 / 037 ARYA YUDHA PRATAMA L
5 0125932523 / 040 AZAM ARYA NUR RIDMA L
6 0106494916 / 124 Cinta Nur Asifah P
7 0112963986 / 129 DAHLIA P
8 0117040529 / 223 DZELLO NICE A-RAZAQU L
9 3120995564 / 221 GANENDRA ASFA SATYA ABIDIN L
10 0126250390 / 045 HAIKAL RAHMAT RAMADAN L
11 0117235182 / 049 JANNATUL HALIPAH P
12 0114685709 / 051 KHALIZA NOVITA P
13 0116248736 / 052 M.AFDHO L
14 0118836658 / 055 MARSELLIANSYAH L
15 0113035149 / 058 MUHAMMAD AKBAR RAMADHAN L
16 0118656797 / 062 NAZWA AYYATUL KHUSNA P
17 0112847120 / 063 NORLIA P
18 0115852273 / 064 NUR NAZWA ASYIFA P
19 0112865491 / 065 RABIATUL ADAWIYAH P
20 0128365078 / 066 RAFI MAULANA FIRDAUS L
21 3121046695 / 067 RISKY AULIA PRATAMA L
22 0111510136 / 068 ROCHEL AZKIA P
23 0111741722 / 131 SALSABIL RAHMADHANI GUNAWAN P
24 0113418950 / 069 SALSABILLA JULIA AZ--ZAHRA P

6
25 0114546321 / SITI NORJANAH P

B. Tahap Perkembangan Intelektual


Perkembangan kognitif menurut Piaget terjadi dalam empat tahapan.
Masing-masing tahapan berhubungan dengan usia dan tersusun dari jalan pikiran
yang berbeda-beda. Menurut Piaget, semakin banyak informasi tidak membuat
pikiran anak lebih maju, kualitas kemajuannya berbeda-beda. Tahap-tahap
perkembangan kognitif tersebut adalah tahap sensori motorik (usia 0–2 tahun),
tahap pra-opersional (usia 2–7 tahun), tahap opersional konkrit (usia 7–11 tahun)
dan tahap opersional formal (usia 11–15 tahun). Piaget percaya, bahwa kita
semua melalui keempat tahap tersebut, meskipun mungkin setiap tahap dilalui
dalam usia berbeda. Setiap tahap dimasuki ketika otak kita sudah cukup matang
untuk memungkinkan logika jenis baru atau operasi. (Matt Jarvis, 2011:148).
Semua manusia melalui setiap tingkat, tetapi dengan kecepatan yang berbeda,
jadi mungkin saja seorang anak yang berumur 6 tahun berada pada tingkat
operasional konkrit, sedangkan ada seorang anak yang berumur 8 tahun masih
pada tingkat pra-operasional dalam cara berfikir. Namun urutan perkembangan
intelektual sama untuk semua anak, struktur untuk tingkat sebelumnya
terintegrasi dan termasuk sebagai bagian dari tingkat-tingkat berikutnya. (Ratna
Wilis, 2011:137).

Gambar Tabel 2.2 Tahapan Perkembangan Usia

No Tahap Perkembangan Usia


1 Tahap sensori-motor 0 – 1,5 tahun
2 Tahap pra-operasional 1,5 – 6 tahun
3 Tahap operasional konkrit 6 – 12 tahun
4 Tahap operasional formal 12 tahun ke atas

a. Tahap Sensorimotor
Sepanjang tahap ini mulai dari lahir hingga berusia dua tahun, bayi belajar
tentang diri mereka sendiri dan dunia mereka melalui indera mereka yang

7
sedang berkembang dan melalui aktivitas motor. ( Diane, E. Papalia, Sally
Wendkos Old and Ruth Duskin Feldman, 2008:212). Aktivitas kognitif terpusat
pada aspek alat dria (sensori) dan gerak (motor), artinya dalam peringkat ini,
anak hanya mampu melakukan pengenalan lingkungan dengan melalui alat
drianya dan pergerakannya. Keadaan ini merupakan dasar bagi perkembangan
kognitif selanjutnya, aktivitas sensori motor terbentuk melalui proses
penyesuaian struktur fisik sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan.
(Mohd. Surya, 2003: 57).
b. Tahap Pra-Operasional
Pada tingkat ini, anak telah menunjukkan aktivitas kognitif dalam menghadapi
berbagai hal diluar dirinya. Aktivitas berfikirnya belum mempunyai sistem yang
teroganisasikan. Anak sudah dapat memahami realitas di lingkungan dengan
menggunakan tanda-tanda dan simbol. Cara berpikir anak pada pertingkat ini
bersifat tidak sistematis, tidak konsisten, dan tidak logis.
c. Tahap Operasional Konkrit
Pada tahap ini, anak sudah cukup matang untuk menggunakan pemikiran logika
atau operasi, tetapi hanya untuk objek fisik yang ada saat ini. Dalam tahap ini,
anak telah hilang kecenderungan terhadap animism dan articialisme.
Egosentrisnya berkurang dan kemampuannya dalam tugas-tugas konservasi
menjadi lebih baik. Namun, tanpa objek fisik di hadapan mereka, anak-anak
pada tahap operasional kongkrit masih mengalami kesulitan besar dalam
menyelesaikan tugas-tugas logika. (Matt Jarvis, 2011:149-150). Sebagai contoh
anak-anak yang diberi tiga boneka dengan warna rambut yang berlainan (edith,
susan dan lily), tidak mengalami kesulitan untuk mengidentifikasikan boneka
yang berambut paling gelap. Namun ketika diberi pertanyaan, “rambut edith
lebih terang dari rambut susan. Rambut edith lebih gelap daripada rambut lily.
Rambut siapakah yang paling gelap?”, anak-anak pada tahap operasional
kongkrit mengalami kesulitan karena mereka belum mampu berpikir hanya
dengan menggunakan lambanglambang.
d. Tahap Operasional Formal
Pada umur 12 tahun keatas, timbul periode operasi baru. Periode ini anak dapat
menggunakan operasi-operasi konkritnya untuk membentuk operasi yang lebih

8
kompleks. (Matt Jarvis, 2011:111). Kemajuan pada anak selama periode ini
ialah ia tidak perlu berpikir dengan pertolongan benda atau peristiwa konkrit, ia
mempunyai kemampuan untuk berpikir abstrak. Anak-anak sudah mampu
memahami bentuk argumen dan tidak dibingungkan oleh sisi argumen dan
karena itu disebut operasional formal.

Perkembangan anak usia sekolah dasar berdasarkan pemikiran Piaget, adalah


sebagai beikut:
Gambar Tabel 2.3 Perkembangan Kognitif berdasarkan Usia
1. Usia SD kelas rendah (kelas I – III)

No Usia Perkembangan
1 Usia SD kelas rendah a. Sudah dapat mengklasifikasikan angka-
(kelas I – III) angka atau bilangan, meskipun masih
harus lebih banyak menggunakan
benda/objek yang konkret (alat peraga)
b. Mulai dapat menyimpan pengetahuan
atau hasil pengamatan dalam daya
ingatannya.
c. Mulai dapat mengoperasikan kaidah-
kaidah logika (berpikir logis), meskipun
terbatas pada objek-objek konkret.
2 Usia SD kelas tinggi a. Mulai dapat berpikir hipotesis deduktif.
(kelas IV – VI) b. Mulai mampu mengembangkan
kemungkinan berdasarkan kedua
alternatif.
c. Mulai mampu menginferensi atau
mengeneralisasi dari berbagai kategori.

Perkembangan kognitif anak usia tujuh sampai sebelas tahun dan


implikasinya dalam kegiatan belajar mengajar
Usia 7-11 tahun merupakan usia ketika anak sudah memasuki masa
sekolah. Sebagaimana menurut teori kognitif Piaget, pemikiran anakanak usia

9
sekolah dasar disebut pemikiran operasional konkret (concrete operational).
Makna operasional konkret yang dimaksud oleh Piaget yaitu kondisi dimana
anak-anak sudah dapat memfungsikan akalnya untuk berfi kir logis terhadap
sesuatu yang bersifat konkret atau nyata. Pada tahapan ini, pemikiran logis
menggantikan pemikiran intuitif (naluri) dengan syarat pemikiran tersebut dapat
diaplikasikan menjadi contoh-contoh yang konkret atau spesifi k. Akan tetapi,
kekurangan dari pada fase ini adalah ketika anak dihadapkan dengan
pemasalahan yang bersifat abstrak (secara verbal) tanpa adanya objek nyata,
maka ia akan mengalami kesulitan bahkan tidak mampu untuk
menyelesaikannya dengan baik.
Penalaran anak masih terbatas, kendati dapat menalar secara logis dan
memahami hubungan-hubungan kausal, mereka belum dapat melakukan
penalaran hipotesis atau abstrak. Anak hanya dapat memecahkan suatu masalah
ketika objek dari masalah tersebut bersifat empirik (nyata) atau ditangkap oleh
paca indra mereka, bukan yang bersifat khayal. Misalnya, pada anak kelas satu,
ketika diberi pernyataan ada tiga gelas berwarna merah, hitam dan putih.
Kemudian ditanyakan, gelas berwarna apa yang akan terlihat lebih terang dan
jelas. Pada kondisi ini, anak akan mengalami kesulitan dalam menjawab,
kemampuan kognitif anak memiliki keterbatasan untuk bernalar, sehingga
kemungkinan jawaban anak akan bervariasi karena tidak berdasarkan penalaran
ilmiah dan objektif. Pertanyaan tersebut akan terjawab dengan baik ketika ketiga
gelas berwarna tersebut dihadirkan dihadapan si anak.
Pada fase ini, kemampuan kognitif anak mengalami perkembangan yang
pesat. Dalam keadaan normal, kemampuan anak usia sekolah dasar berkembang
secara bertahap. Pada masa sebelumnya kemampuan berfi kir anak masih
bersifat imajinatif, subjektif dan egosentris, sedangkan ketika anak memasuki
masa sekolah, daya pikir anak akan berkembang secara perlahan kearah berfi kir
konkret dan egosentris juga berkurang. Ketika memandang sesuatu
dihadapannya, anak mulai memfungsikan akal untuk berfi kir secara rasional
dan objektif serta sudah dapat memecahkan suatu masalah secara logis.
Pada tahap operasional konkret, anak memiliki pemahaman yang lebih
baik dari pada anak praoperasional (2-7 tahun) mengenai konsep spasial, sebab-

10
akibat, pengelompokan, penalaran induktif dan deduktif, konservasi serta konsep
angka/matamatik. Adapun pengertian mengenai konsep-konsep tersebut yaitu,
pertama, konsep sebab-akibat adalah suatu kemampuan kognitif seorang anak
dalam mengetahui proses terjadinya suatu perubahan dari suatu objek yang ia
lihat. Misalnya, anak bisa mengetahui bahwa ketika suatu wadah (botol)
semakin diisi air maka akan semakin berat, anak dapat menarik kesimpulan
bahwa penyebab bertambahnya berat karena air dan pada waktu itu juga anak
akan berfi kir bahwa setiap air memiliki berat.
Kedua, konsep pengelompokan yaitu kemampuan kognitif seorang anak
dalam menggolongkan suatu objek yang memiliki kesamaan atau perbedaan
jenis, warna dan ukuran. Kemampuan kognitif anak usia dasar pada tahap
operasional konkret mengenai pengelompokan meliputi berbagai kemampuan
yang relative canggih, seperti serasi (seriation), penyimpulan transitif, dan
inklusi kelas, yang secara bertahap meningkat antara masa kanak-kanak awal
dan menengah. Serasi (seration) adalah kemampuan untuk menyusun stimulus
atau suatu objek berdasarkan dimensi kuantitatif, seperti panjang, warna, berat
dan lain sebagainya. Sebagai contoh, anak diberi 10 jenis pensil yang berukuran
panjang yang berbeda dan diletakan secara acak di atas meja, anak-anak sudah
bisa mengurutkan pensil tersebut dari ukuran terpendek hingga yang paling
panjang.
Penyimpulan transitif (transitive inference) adalah kemampuan untuk
menggabungkan secara logis hubungan untuk memahami kesimpulan tertentu.
Misalnya, seorang anak ditunjukan tiga buah bola yang berwarna merah, kuning
dan hijau. Merah berukuran lebih besar, kuning berukuran sedikit lebih kecil
dari merah dan hijau berukuran lebih kecil dari kuning. Tanpa melakukan
perbandingan, ia akan dapat menyimpulkan bahwa bola warna merah memiliki
ukuran yang paling besar. Selanjutnya inklusi kelas (class inclusion) adalah
kemampuan melihat hubungan antara keseluruhan dan bagian-bagiannya.
Misalnya, ketika anak diberi seikat bunga yang berisi 5 tangkai melati-3 tangkai
mawar berwarna putih dan disetiap tangkai memiliki banyak kelopak bunga.
Ketika anak ditanya, apakah lebih banyak bunga melati atau lebih banyak
jumlah kelopak bunga, maka anak akan menjawab jumlah kelopak bunga yang

11
lebih banyak, karena setiap bunga terdapat banyak kelopak bunga. Berbeda
dengan anak pada tahap praoperasioal, mereka akan cenderung menjawab
jumlah bunga melati lebih banyak, karena anak hanya melihat perbandingan
bunga melati dengan bunga mawar putih.
Ketiga, penalaran induktif dan deduktif. Penalaran induktif yaitu suatu
cara berfikir dengan melihat fakta secara umum kemudian menarik kesimpulan
secara khusus, sedangkan penalaran deduktif sebaliknya. Menurut Piaget, anak-
anak pada tahap operasional konkret hanya menggunakan penalaran induktif,
mulai dari pengamatan mengenai anggota partikular dari kelas orang-orang,
hewan, objek, atau kejadian, kemudian mereka mengambil kesimpulan umum
mengenai kelas sebagai keseluruhan. Anak yang berfi kir operasional konkret,
ketika harus menyelesaikan suau masalah, maka ia langsung memasuki
masalahnya. Berbeda dengan anak yang berfi kir formal (11 tahun ke atas),
mereka akan terlebih dahulu berfi kir secara teoritis, kemudian mengidentifi kasi
atau mengkalisifi kasi, baru kemudian mencari solusi dan bergerak
menyelesaikan masalahnya. Sebagai contoh, jambu berwarna merah memiliki
rasa yang manis, anak akan berkesimpulan bahwa setiap jambu berwarna merah
rasanya manis, padahal belum tentu demikian.
Keempat, konsep konservasi yakni pemahaman bahwa karakteristik fisik
suatu benda mati akan tetap meskipun wujudnya berubah. Anak yang berada
pada tahap operasional konkret telah mampu menyadari konservasi,
sebagaimana dalam sebuah eksperimen, seorang anak dihadapkan dengan dua
gumpalan tanah liat dengan ukuran tanah yang sama tetapi dibuat kedalam
bentuk yang berbeda, yang satu berbentuk panjang dan yang satu lagi berbentuk
bulat. Kemudian, anak diberi pertanyaan apakah gumpalan tanah yang berbentuk
panjang lebih banyak dibandingkan dengan yang berbentuk bulat. Anak pada
usia 7 atau 8 tahun, sebagian besar menjawab bahwa ukuran tanah tetap sama.
Pemahaman tentang konsep konservasi memberikan pemahaman bahwa suatu
ukuran benda (panjang, berat, volume dan massa) tidak akan berubah kendati
bentuknya mengalami perubahan.
Kelima, konsep angka/matematik yaitu kemampuan anak dalam
mengolah angka, seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian.

12
Pada usia 6 atau 7 tahun, banyak anak dapat menghitung di dalam kepala.
Kemampuan mengelola angka ini menjadi pembeda dengan kemampuan dalam
disiplin ilmu lain yang secara umum mesti dihadirkan objeknya. Setiap level
usia atau tingkatan kelas, anak-anak memiliki kemampuan matematik yang
berbeda, semakin tinggi tingkatan kelas, maka akan semakin baik kemampuan
matematikanya.
Berdasarkan penjelasan diatas, bukan berarti bahwa setiap tahapan usia
7-11 tahun, anak-anak memiliki kemampuan yang sama. Penjelasan menurut
Piaget tersebut hanya menggambarkan secara umum bahwa pada saat anak- anak
menginjak usia operasional konkret, anak-anak memiliki kemampuan
sebagaimana yang dijelaskan. Setiap tingkatan usia, anak-anak tentu memiliki
kemampuan yang berbeda-beda baik kemampuan dalam bernalar, berfi kir logis,
mengingat, menghafal, memahami dan menganalisis. Anak-anak memiliki
kemampuan berfi kir tentang suatu hal dengan tingkat kesukaran yang berbeda
dan perbedaan-perbedaan itu yang menjadi dasar dalam menentukan tingkat
kesukaran materi ajar, Strategi, model dan metode pembelajaran di SD/MI.
Kemampuan kognitif anak akan semakin meningkat disetiap waktunya.
Misalnya, semakin tinggi kelas maka materi yang dipelajari akan semakin sukar
atau kompleks. Peningkatan daya kognitif dapat terjadi karena dipengaruhi oleh
banyak faktor, seperti volume otak, makananan, pendidikan, pengalaman dan
lingkungan. Akan tetapi, dalam konteks perkembangan kognitif dari suatu
proses, faktor yang sangat berpengaruh adalah faktor pengalaman dan
lingkungan. Sebagaimana yang dikemukanan oleh Piaget bahwa manusia yang
akif secara terus menerus mengadakan penyesuaian diri (adaptasi) dalam proses
interaksinya terhadap lingkungan. Alasan logis selanjutnya yaitu ketika anak
sudah melewati berbagai aktifi tas atau proses pendidikan maka pengetahuan
dan wawasan anak bertambah. Ketika anak mendapatkan hal yang lebih rumit,
anak sudah memiliki kesiapan untuk berfi kir tentang hal itu, baik untuk
mempelajari maupun memecahkan suatu permasahan yang ada. Berdasarkan
hasil analisis penulis, berikut ini dideskripsikan terkait kemampuan kognitif
anak menurut usia /kelas dan implikasinya dalam kegiatan belajar menagajar :

Kemampuan kognitif anak usia tujuh tahun (kelas satu SD/MI)

13
Kemampuan kognitif anak pada usia ini masih pada tahap pengetahuan
dan pemahaman yang masih terbatas, meskipun anak sudah masuk ada fase
operasional konkret. Dalam konteks pendidikan, mengacu pada teori Taksonomi
Bloom bahwa pada fase ini anak memasuki jenjang yang paling rendah yaitu C1
(mengingat) dan awal jenjang C2 (memahami). Kata operasional (verb) pada
fase ini seperti menyusun daftar, mengingat, menyebutkan, mengenali,
menuliskan kembali, mengulang, menamai, mengelompokan dan membedakan
hal bersifat sederhana. Faktanya, anak juga sudah masuk pada ranah C3
(menerapkan) yang masih dalam level rendah. Sebagai contoh, ketika belajar
membaca anak sudah bisa mengeja bacaan, menyalin tulisan dan berbicara
bahasa Indonesia serta bertanya ketika sedang belajar. Anak sudah mampu
menyebutkan kembali dari apa yang disebutkan oleh guru, baik berupa huruf,
kata dan kalimat sederhana.

Kosa kata yang mesti diberikan yaitu kosa kata yang sering digunakan
dalam aktifitas sehari-hari (daily activity) dan berkemungkinan sering didengar
oleh anak. Anak belum bisa diberikan kosa kata ilmiah yang tinggi atau yang
jarang digunakan dalam aktifi tas sehari-hari. Pada pembelajaran bahasa
Indonesia, metode pembelajaran yang tepat digunakan yaitu metode mengeja
dan metode struktur analitis sintesis atau dikenal dengan istilah metode SAS.
Metode mengeja yaitu pengenalan yang dimulai dari elemen terkecil (huruf),
kata hingga kalimat yang bermakna. Metode SAS yaitu dengan cara
membacakan suatu teks, kemudian mengurainya menjadi kalimat-kalimat, kata-
kata hingga menjadi suku kata (huruf) dan dilatih untuk menuliskan huruf, kata
dan kalimat sederhana. Ketika guru mengenalkan kosa kata, diupayakan untuk
dilengkapi dengan objek bendanya (empirik) supaya anak tidak berkhayal.

Selanjutnya, pada fase ini, pembelajaran sebaiknya menggunakan


strategi pembelajaran kontekstual yaitu mengkaitkan materi dengan kondisi
nyata dan berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Anak bisa diajak belajar
di alam terbuka, supaya tidak jenuh dan bosan, karena anak usia 6-7 tahun cepat
merasa lelah dalam berfikir, fakta ini juga yang menjadi dasar jumlah jam
belajar di sekolah yang hanya berkisar 2-3 jam. Ketika belajar lebih dari 3 jam,
anak tidak bisa fokus mengikuti KBM. Pada proses KBM, guru mesti mendidik

14
dan mengajar secara intens, karena pada fase ini, anak-anak masih berada pada
masa bermain yang membutuhkan kesenangan. Anakanak belum bisa belajar
dengan nuansa yang formal, sehingga guru mesti kreatif mendesain
pembelajaran yang menyenangkan, seperti dengan cara bernyanyi,
menggunakan teks cerita, mendongeng dan bermain peran.

Kemampuan kognitif anak usia delapan tahun (kelas dua SD/MI)

Kemampuan kognitif pada fase ini lebih baik dari pada fase sebelumnya.
Dalam konteks pendidikan, anak sudah memasuki jenjang C2 (memahami) dan
masuk pada tahap C3 (menerapkan) yang semakin baik. Kata operasional (verb)
pada fase ini seperti menerangkan, menjelaskan, menguraikan, membedakan,
mengubah, mendeteksi, menduga, mengelompokkan, memberi contoh dan
menghitung. Misalnya, anak- anak sudah bisa membaca teks cerita dengan
lancar, membedakan jenis- jenis warna yang memiliki kemiripan dan dapat
mengerjakan tugas lembar kerja berbentuk tabel, seperti mengisi kolom,
menjodohkan dan melengkapi. Anak sudah dapat memahami isi suatu teks
(cerpen dan dongeng) dan menjawab soal-soal yang berkaitan dengan teks.

Pada fase ini, anak juga sudah bisa mengelompokan dan mengurutkan
suatu objek benda menurut jenis, ukuran dan warna secara cepat dan tepat.
Selaras dengan hasil penelitian Piaget (1952) bahwa pada usia 7-8 tahun,
seorang anak dapat mengetahui hubungan yang terdapat dalam sekumpulan
tingkat (objek) dan menyusunnya berdasarkan ukuran. Sebagai contoh, ketika
diberi 10 tongkat dengan ukuran panjang yang berbeda, anak sudah bisa
mengurutkan tongkat dimulai dari yang paling pendek sampai yang paling
panjang. Pada KBM, konsep ini bisa diterapkan dalam muatan materi ajar,
seperti mempelajari jenis hewan, buah-buahan dan objek lainnya.

Pembelajaran yang berbasis alam (lingkungan sekitar) sangat relevan


dengan fase ini, karena anak membutuhkan lingkungan belajar di alam yang
terbuka, supaya tidak jenuh dan bosan. Selain dari pada itu, agar anak dapat
memahami materi dengan lebih mudah, sebaiknya guru menghadirkan contoh
nyata dan melakukan percobaan (eksperimen) terhadap materi yang dipelajari.
Pada usia 7-8 tahun, anak bisa fokus mengikuti pembelajaran dengan durasi

15
yang hanya berkisar 2-3 jam, selebihnya anak akan merasa lelah, mengantuk dan
cenderung mencari aktifi tas bermain. Anak sudah bisa belajar dengan nuansa
yang formal, tetapi masih membutuhkan pembelajaran yang menyenangkan,
seperti pembelajaran yang berbasis permainan (game).

Kemampuan kognitif anak usia sembilan tahun (kelas tiga SD/MI)

Pada fase ini, kemampuan kognitif semakin meningkat. Anak sudah bisa
memecahkan masalah yang lebih rumit, karena anak sudah cukup banyak
memiliki pengetahuan, wawasan dan pengalaman dari proses-proses
sebelumnya. Pada fase ini, anak masuk pada ranah kognitif yang lebih tinggi
yaitu ranah menerapkan (C3). Kemampuan menerapkan adalah kemampuan
menggunakan atau mengaplikasikan materi yang sudah dipelajari pada situasi
yang baru dan menyangkut penggunaan aturan dan prinsip. Kata operasional
(verb) pada fase ini yaitu memilih, mengubah, menghitung, mendemontrasikan,
memodifi kasi, meramalkan, menghasilkan, menghubungkan, menunjukan dan
mempraktikan.

Jika pada tahap sebelumnya, materi yang diberikan cenderung berkaitan


dengan objek yang sering ditemukan dalam kehidupan seharihari, pada tahap ini
anak sudah bisa berfi kir lebih dalam dan dapat berimajinasi terhadap suatu
objek yang digambarkan. Misalnya, anak sudah bisa dikenalkan dengan sistem
tata surya, seperti planet, komet dan bintang beserta sifatsifatnya dalam bentuk
visual atau audio visual. Anak- anak sudah bisa memahami sebab-akibat
terjadinya sesuatu dan dapat mencari solusi dalam memecahkan suatu masalah,
tetapi masih membutuhkan bantuan guru atau teman sebaya.

Kemampuan matematika anak semakin baik, anak tidak hanya mengenal


jenis bangun datar, tetapi sudah bisa menghitung luas bangun datar dan sudah
bisa mengenal bangun ruang. Anak juga dapat memahami proses perubahan
bentuk bangun, misalnya bangun persegi dapat dibentuk menjadi dua bangun
segitiga atau berbentuk jajar genjang. Anak dapat menghitung angka dalam
pikiran tanpa menghitung dengan cara manual atau menulis. Misalnya, ketika

16
ditanya tentang perkalian angka puluhan dengan satuan, anak bisa menjawab
secara spontan, tetapi ketika mengalikan angka puluhan dengan puluhan bahkan
ratusan, anak belum bisa menjawabnya tanpa dengan bantuan perhitungan
manual.

Pada fase ini, sudah bisa diterapkan sistem pembelajaran dengan diskusi
kelompok. Akan tetapi, membutuhkan perhatian guru dan kontrol yang lebih
intensif dalam pelaksanaanya, sebab kemampuan anak untuk berdiskusi masih
terbatas, kemampuan beride dan keterampilan bekerja samanya masih perlu
dikembangkan. Selain dari itu, perhatian anak juga mudah goyah, sehingga
membutuhkan pengendalian, pengawasan, dan bimbingan belajar yang lebih
intensif. Pada usia 8-9 tahun, anak bisa fokus mengikuti pembelajaran dengan
durasi dari 3-4 jam dalam satu hari.

Kemampuan kognitif anak usia sepuluh tahun (kelas empat SD/MI)

Pada fase ini anak memiliki daya kritis yang semakin baik, anak dapat
menelaah suatu masalah secara mendalam dengan berbagai dimensi.
Kemampuan kogntif pada ranah C3 (menerapkan) jauh lebih baik dibandingkan
pada usia sebelumnya, anak tidak hanya dapat menghitung dan mengubah
melainkan sudah dapat membandingkan objek-objek yang ada. Pada usia 9-10
tahun, anak sudah memasuki jenjang C4 (menganalisis) yaitu “kemampuan
untuk merinci atau menguraikan suatu bahan atau keadaan menurut bagian-
bagian yang lebih kecil dan mampu memahami hubungan di antara bagian-
bagian atau faktor-faktor satu dengan faktor-faktor lainnya. Anak sudah dapat
menganalisis, mengkontraskan dan menghubungkan teori dengan fakta untuk
menarik kesimpulan. Anak sudah berani menyalahkan sesuatu dengan alasan-
alasan yang ilmiah.

Sebagaimana penagalaman penulis dalam mengajar, pada fase ini, anak


memiliki kemampuan dalam menganalisis teks untuk memperoleh suatu
pengetahuan dan pemahaman baru. Anak dapat menarik kesimpulan nilainilai
positif dan negatif yang terkandung di dalamnya. Anak sudah bisa diberikan
materi tentang sejarah (agama, kerajaan, zaman penjajahan dan lainnya). Pada
dasarnya, usia 10 tahun anak sudah memasuki ranah sintesis (C5) tetapi masih

17
pada level yang sangat sederhana, seperti dapat mengategorikan dan
mengombinasikan banyak objek secara logis. Pada pembelajaran IPA, anak
sudah bisa mempelajari objek yang tidak berwujud, seperti tentang udara dan
gas serta dapat memahami tentang perubahan wujud benda. Kemampuan
matematika anak juga semakin baik, anak dapat menyelesaikan soal-soal yang
lebih rumit, misalnya mengoperasikan bilangan pecahan dan desimal,
menghitung luas sebagian dari suatu bangun datar, menghitung volume bangun
ruang dan menghitung perubahan ukuran benda, seperti kilo gram ke gram, centi
meter ke meter dan lain sebagainya. Anak juga dapat mengoperasikan perkalian
dan pembagian dalam memecahkan soal yang berbentuk narasi atau cerita

Pada fase ini, dalam pembelajaran, anak sudah bisa diterapkan sistem
belajar kooperatif yaitu sistem pembelajaran dengan cara anak belajar dan
bekerja sama (kaloboratif) dalam kelompok-kelompok kecil. Salah satu model
pembelajaran kooperatif yang cocok pada fase ini yaitu Student-Teams-
Achievment Divisions (STAD). Pembelajaran Kooperatif tipe STAD merupakan
salah satu tipe pembelajaran kooperatif dengan menggunakan
kelompokkelompok kecil dengan jumlah anggota 4-5 orang anak, setiap
kelompok diberikan tugas untuk diskusikan dan kemudian dilanjut dengan kuis
atau tanya jawab.33 Model pembelajaran tersebut dapat melatih anak dalam
berkomunikasi (sharing), bertkukar ide dan gagasan dengan temannya dalam
memecahkan suatu permasalahan. Anak-anak bisa diajak bernalar kritis terhadap
objek-objek yang belum mereka ketahui sebelumnya.

18
DAFTAR PUSTAKA

Basri, H. (2018). Kemampuan kognitif dalam meningkatkan efektivitas pembelajaran


ilmu sosial bagi siswa sekolah dasar. Jurnal Penelitian Pendidikan, 18(1), 1-9.

Bujuri, D. A. (2018). Analisis perkembangan kognitif anak usia dasar dan implikasinya
dalam kegiatan belajar mengajar. LITERASI (Jurnal Ilmu Pendidikan), 9(1), 37-
50.

Hartanto, F., Selina, H., Zuhriah, H., & Fitra, S. (2016). Pengaruh perkembangan
bahasa terhadap perkembangan kognitif anak usia 1-3 tahun. Sari
Pediatri, 12(6), 386-90.

Ibda, F. (2015). Perkembangan kognitif: teori jean piaget. Intelektualita, 3(1).

Juliandita, E., Rezeki, S., & Setyawan, A. A. (2016). Pengembangan Perangkat


Penilaian Kognitif dan Afektif pada Pokok Bahasan Segiempat Kelas VII
Sekolah Menengah Pertama. JPPM (Jurnal Penelitian dan Pembelajaran
Matematika), 9(2).

Juwantara, R. A. (2019). Analisis Teori Perkembangan Kognitif Piaget Pada Tahap


Anak Usia Operasional Konkret 7-12 Tahun Dalam Pembelajaran
Matematika. Jurnal Ilmiah Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, 9(1), 27-34.

Latifah, U. (2017). Aspek perkembangan pada anak Sekolah Dasar: Masalah dan
perkembangannya. Academica: Journal of Multidisciplinary Studies, 1(2), 185-
196.

Ninawati, M. (2012). Kajian dampak bilingual terhadap perkembangan kognitif anak


sekolah dasar. Majalah Ilmiah Widya

Sucianti, I. D. (2018). Penyusunan Skala kecemasan Aspek Kognitif untuk Siswa Kelas
V Sekolah Dasar. Skripsi. Universitas Sanata Dharma.

19

Anda mungkin juga menyukai