Anda di halaman 1dari 16

PEMIKIRAN FILSAFAT AL FARABI

Makalah
Diajukan sebagai tugas mata kuliah: Filsafat Islam
Dosen Pengampu: Rodhi Zamzami M.Pd.I

Oleh:
Aida Nur Sabrina (2077011536)

Ning Lu’luil Maqnun (2077011586)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA “MA’HAD ALY AL-HIKAM


MALANG

Oktober 2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan limpahan rahmat dan hidayahNya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
makalah yang berjudul Pemikiran Filsafat Al Farabi.

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menyelesaikan tugas mata kuliah
pada Program Studi Pendidikan Agama Islam yang diampuh oleh bapak dosen Rodhi
Zamzami M.Pd.I

Dalam penulisan makalah ini, Kami sebagai penulis menyadari bahwa masih jauh
dari dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Kami juga berterimakasih kepada pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan makalah dari awal hingga akhir. Semoga makalah ini bermanfaat bagi
pembaca umumnya dan pada penulis khususnya serta mendapatkan ridho Allah SWT.

Wassalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Malang, 31 Oktober 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................. 2
BAB I PENDAHULAN................................................................................ 4
A. Latar Belakang................................................................................. 4
B. Rumusan Masalah........................................................................... 4
C. Tujuan Penulisan............................................................................. 5
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................. 5
1 Biografi Al Farabi............................................................................ 5
2 Pemikiran Filsafat Alfarabi ........................................................... 8

BAB III KESIMPULAN.............................................................................. 14

DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 15
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kelahiran ilmu filsafat pada masa silam yang telah dipopulerkan oleh beberapa
tokoh filsafat Yunani kuno yakni diantaranya Heraklitos, Plato, Aristoteles dan
sebagainya telah menjadi sebab lahirnya para filsuf Muslim, diantaranya adalah al-Kindi,
Ibn Sina, Ibn Rusyd, al-Farabi dan lain-lain. Mereka adalah orang-orang terbesar dalam
dunia kefilsafatan Islam. Meskipun diantara mereka banyak terjadi perbedaan-perbedaan
dalam berargumen, namun pada hakikatnya tujuan mereka tetapsama yakni mencari dan
menemukan kebenaran dengan akal yang berpedomankan pada al-Quran dan as-Sunnah.
Namun di sini pengkajian hanya difokuskan pada sejarah pemikiran salah seorang filsuf
muslim besar yang terkenal dengan sebutan “Guru Besar Kedua setelah Aristoteles”,
beliau adalah Abu Naser atau al-Farabi.

Beliau adalah penerus tradisi intelektual al-Kindi, tapi dengan kompetensi,


kreatifitas, kebebasan berpikir, dan tingkat sostifikasi yang lebih tinggi lagi. Jika al-Kindi
dipandang sebagai seorang filosof Muslim dalam arti kata yang sebenarnya, al-Farabi
disepakati sebagai peletak sesungguhnya dasar piramida studi falsafah dalam Islam yang
sejak itu terus dibangun dengan tekun. Ia terkenal dengan sebutan Guru Kedua dan
otoritas terbesar setelah panutannya Aristoteles. Ia termasyhur karena telah
memperkenalkan doktrin “Harmonisasi pendapat Plato dan Aristoteles”. Ia mempunyai
kapasitas ilmu logika yang memadai. Di kalangan pemikir Latin ia dikenal sebagai Abu
Nashr atau Abu Nase. Dalam makalah ini, kami akan membahas secara lebih lengkap
tentang tokoh al-Farabi. Biografi, karya dan pemikirannya. Sehingga para pembaca dapat
mengetahui siapa itu al-Farabi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa biografi Al Farabi?
2. Bagaimana pemikiran filsafat menurut Al Farabi?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui biografi Al Farabi
2. Untuk mengetahui pemikiran filsafat menurut Al Farabi.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Al Farabi
Nama lengkap al-Farabi adalah Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin
Tarkhan al-Farabi. Sebutan al-Farabi diambil dari nama kota Farab dimana ia
dilahirkan di desa Wasij pada tahun 257 H(870 M). Ayahnya adalah orang Iran
yang kawin dengan seorang wanita Turkestan yang merupakan seorang opsir
tentara keturunan Persia (kendatipun nama kakek dan kakek buyutnya jelas
menunjukkan nama Turki) yang mengabdi kepada pengeran-pangeran Dinasti
Samaniyyah. Barangkali masuknya keluarga ini ke dalam Islam terjadi pada masa
hidup kakeknya, Tarkhan. Peristiwa ini kira-kira terjadi bersamaan dengan
peristiwa penaklukan dan Islamisasi atas Farab oleh Dinasti Samaniyyah pada
839-840 M.
Beliau merupakan putra seorang militer yang cukup penting berbeda
dengan ibnu Sina ayahnya sebagai birokrasi samaniyah atau al kindi yang
ayahnya seorang gubernur kuffah. Sehingga dalam hal ini al-Farabi tidak
termasuk dalam kelas katib yaitu kelas yang memainkan peranan administratif
yang besar bagi pengusaha penguasa-penguasa Abbasiyyah pada masa itu.1
Al Farabi belajar ilmu-ilmu Islam di Bukhara. Setelah mendapatkan
pendidikan awal, al-Farabi kemudian pergi ke Marw. Di Marw inilah al-Farabi
belajar ilmu logika kepada orang Kristen Nestorian yang berbahasa Suryani yaitu
Yuhanna Ibn Hailan. Pada masa kekhalifan al-Mu‟tadid (892-902 M), Yuhanna
Ibn Hailan maupun al-Farabi pergi ke Baghdad. al-Farabi merupakan bintang
terkemuka dikalangan filosof Muslim, salah satunya yaitu ia unggul dalam ilmu
logika, di samping itu dia juga banyak memberikan sumbangsih keilmuannya
dalam penempatan sebuah bahasa filsafat baru dalam bahasa Arab, meskipun
menyadari perbedaan antara tata bahasa Yunani dan Arab2.

1
Aziz, Muhammad. "Tuhan Dan Manusia Dalam Perspektif Pemikiran Abu Nasr Al-Farabi." Jurnal Studi
Islam 10.2 (2015): 62.
2
A. Mustofa, Filsafat Islam, ( Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal.123-124
Pada tahun kakhalifahan al-Muqtadir (908-932 M) al-Farabi dan Hailan
meninggalkan Baghdad, semula menurut Ibn Khallikan menuju Harran. Di
Baghdad Ia memusatkan perhatiannya pada ilmu logika, ia juga belajar ilmu
nahwu pada Abu Bakar Assaraj di Baghdad dan menetap selama tiga puluh tahun.
Waktu ia gunakan untuk mengarang, membrikan pelajaran dan mengulas buku-
buku filsafat. Setelah di Bagdad tampaknya al-Farabi pergi ke Konstantinopel. Di
Konstantinopel ini, menurut suatu sumber dia tinggal selama delapan tahun
mempelajari seluruh silabus filsafat. Bahasa-bahasa yang dikuasai al-Farabi
antara lain bahasa Iran, Turkestan dan Kurdistan. Menurut riwayat, al-Farabi
menguasai 70 Bahasa yang berasal dari Ibn Khallikan3.
Reputasinya yang baik dan ilmunya yang luas sehingga. Pada zamannya
al-Farabi dikenal sebagai ahli logika. Menurut berita, al-Farabi juga “membaca”
(barangkali mengajar) Physics-nya Aristoteles empat puluh kali, dan Rethoric-nya
Aristoteles dua ratus kali. Ibnu Khallikan mencatat bahwa tertulis dalam satu
Copy De Anima-nya Aristoteles yang berada ditangan al-Farabi, pernyataannya
bahwa dia telah membaca buku ini seratus kali.4
Al-Farabi wafat di Damaskus pada tahun 950 M, usianya pada saat itu
sekitar 80 tahun. Ada satu legenda di kemudian hari yang tidak terdapat dalam
sumber awal dan karena itu diragukan bahwa al-Farabi dibunuh oleh pembegal-
pembegal jalan setelah berani mempertahankan diri. Al-Qifti mengatakan bahwa
al-Farabi meninggal ketika perjalanan ke Damaskus bersama Saif al-Daulah.
Menurut informasi Saif al-Daulah dan beberapa anggota lainnya melakukan
upacara pemakanan.5

Karya Karya Alfarabi

3
M. M Syarif,(ed), History of Muslim Philosophy, vol 1 (dalam Filsafat Islam, Sirajuddin Zar (Jakarta:PT Raja
Grafindo, 2004) hal. 66
4
Aziz, Muhammad. "Tuhan Dan Manusia Dalam Perspektif Pemikiran Abu Nasr Al-Farabi." Jurnal Studi
Islam 10.2 (2015): 62.
5
M. M. Syarif, hal. 456.(dalam Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Jakarta: Raja Grafindo hal. 68)
Sebagian besar karangan-karangan al-Farabi terdiri dari ulasan dan
penjelasan terhadap filsafat Aristoteles, Plato dan Galenus dalam bidang-bidang
logika, fisik, dan metafisika. Meskipun banyak filosof yang diulas pemikirannya,
namun beliau lebih terkenal sebagai pengulas Aristoteles. Ibnu Sina yang
beberapa kali mempelajari buku metafisika Aristoteles, tetap tidak bisa mengerti
maksudnya sampai ia membaca karangan al-Farabi yang berjudul Aghradl Kitabi
ma Ba’da at-Thabi’ah, barulah ia mengerti apa yang selama ini dirasakan sukar.6

Akan tetapi, kejeniusan al-Farabi dalam berbagai lapangan ilmu


pengetahuan tidak dapat dipetik secara lengkap, karena buku-buku ang
ditinggalkannya banyak yang hilang. Namun masih dapat ditemukan karya-
karyanya yang masih lestari.7

Diantara karya tulis al-Farabi yang terpenting, ialah:

a. al-Jam’ bain Ra’yai al-Hakimain (mempertemukan pendapat dua Filosof,


yaitu Plato dan Aristoteles.
b. Tahshil al-Sa’adat (Tentang mencari kebahagiaan)
c. Maqallat fi Aghradh ma Ba’da al-Thabi’ah (Intisari ilmu Metafisika)
d. Risalat fi Isbat al-Mufaraqat
e. Uyun al-Masa’il
f. Ara Ahl Al-Madinah al-Fadilah (tentang negeri utama)
g. Maqalat fi Ma’any al-Aql
h. Ihsha’ al-Ulum wa at-Ta’rif bi Aghradhiha (menjelaskan tentang pembagian
dan macam-macam ilmu).
i. Fushul al-Hukm (membahas tentangqidam dan hadisnya alam, kedudukan
malaikat langit dan dunia).
j. Al-Siyasat al-Madaniyyat
k. Risalat al-Aql, dll.8
B. Pemikiran Al Farabi

6
Sudarsono, Filsafat Islam, (cet. I; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997), h. 31.
7
Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam, (cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 41.
8
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (cet. I; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004),
Al-Farabi memilki banyak pemikiran-pemikiran dalam berbagai bidang
ilmu pengetahuan, dan diantara pemikiran dan teori al-Farabi yang terkenal,
antara lain:
1. Filsafat Metafisika
Al-Farabi dalam membahas mengenai ketuhanan mengkolaborasikan
antara filsafat aristoteles dengan NeoPlatonisme, yaitu al-Maujud al-Awal (wujud
pertama) sebagai sebab pertama untuk segala sesuatu yang ada. Sehingga ini tidak
bertentangan dengan keesaan yang mutlak dalam ajaran syariat Islam. dalam
membuktikan adanya Allah, Al-Farabi mengemukakan wajib al-wujud dan
mumkin al-wujud.9
Adapun wujud al-wujud adalah wujudnya tidak boleh tidak harus ada, ada
dengan sendirinya, karena atur-nya sendiri yang menghendaki wujudnya. Ia
adalah wujud yang paling sempurna dan adanya tanpa sebab dan wujudnya tidak
terjadi karena hal lain. Ia ada selamanya dan tidak didahului oleh tiada. Jika
wujud ini tidak ada, maka akan timbul kemustahilan karena wujud lain ada kerena
bergantung kepadanya. Wujud al wujud inilah yang disebut dengan Allah.
Kemudian, yang dimaksud dengan mumkin al-wujud adalah sesuatu yang
ada karena adanya wujud. Wujud yang mumkin ini menjadi bukti tentang adanya
Allah (wajib al-wujud).
2. Teori Emanasi
Emanasi ialah teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam
makhluk) dari Zat yang wajibul wujud (Zat yang mesti adanya: Tuhan). Teori
emanasi disebut juga “teori urut-urutan wujud.”10 Menurut Al –Farabi, Tuhan
bersifat Maha satu, tidak berubah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak, maha
sempurna dan tidak berkiblat pada apapun. Juga demikian adalah hakikat sifat
Allah. Bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari yang maha satu ?
menurut Al-Farabi alam terjadi dengan cara emanasi/pancaran, yakni Tuhan
sebagai wujud pertama dengan mengalami tahap-tahap pemancaran tersebut.
Di mana setiap tahap pemancaran terjadilah suatu alam materi tertentu,
demikian seterusnya hingga sempurnalah kejadian alam materi ini. Dasar adanya
9
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam..., p. 70
10
Zaprulkhan, Filsafat Islam Sebuah Kajian Tematik,.. p. 31
emanasi ialah karena dalam pemikiran Tuhan dan pemikiran akal-akal terdapat
kekuatan emanasi dan penciptaan. Wujud pertama yang keluar dari Tuhan disebut
akal pertama berfikir, yang merupakan qudrah, tentang Tuhan, mewujudkan akal
kedua, dan berfikir tentan dirinya mewujudkan langit pertama. Akal kedua juga
berfikir tentang Tuhan dan mewujudkan akal ketiga dan berfikir tentang dirinya
mewujudkan alam bintang. Akal ketiga samapi akal kesepuluh juga berfikir
tentang Tuhan dan tentang dirinya. Berfikir tentang Tuhan menghasilkan akal-
akal dan berfikir tentang diri menghasilkan planet-planet
Lebih lanjut, urutan urutan emanasi dari alfarabi yaitu :
a. Wujud II atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya hingga
timbullah Langit Pertama (al-Asmaul awwal),
b. Wujud III / Akal kedua menimbulkan Wujud IV/Akal Ketiga yakni
bintang-bintang),
c. Wujud IV/Akal Ketiga menimbulkan Wujud V/Akal Keempat, yakni
Planet Saturnus,
d. Wujud V/Akal Keempat menimbulkan Wujud VI/Akal Kelima, yakni
Planet Jupiter,
e. Wujud VI/Akal Kelima menimbulkan Wujud VII/Akal Keenam, yakni
Planet Mars,
f. Wujud VII/Akal Keenam menimbulkan Wujud VIII/Akal Ketujuh,
yakni Matahari,
g. Wujud VIII/Akal Ketujuh menimbulkan Wujud IX/Akal
Kedelapan,yakni Planet Venus,
h. Wujud IX/Akal Kedelapan menimbulkan Wujud X/Akal Kesembilan,
yakni Planet Mercurius,
i. Wujud X/Akal Kesembilan menimbulkan Wujud XI/Akal Kesepuluh,
yakni Bulan.
Akal kesepuluh tidak menghasilkan akal, yang dihasilkannya hanyalah
bumi.11 Dalam hali ini Al-Farabi menemui sedikit kesulitan tentang bagaimana
menjelaskan terjadinya hal yang banyak (alam) yang bersifat materi dari yang esa

11
Zaprulkhan, Filsafat Islam Sebuah Kajian Tematik,... p. 32
(Allah) jauh dari arti materi dan maha sempurna. Dalam filsafat Yunani Tuhan
bukanlah pencipta alam tetapi penggerak yang pertama seperti yang dikemukakan
oleh ariestoteles.
Demikianlah bagaimana Allah dalam pemikiran Al-Farabi menciptakan
alam semesta, yaitu alam yang terdapat dalam ilmu mengenai wujud waktu itu.
Alam semesta terdiri dari langit pertama, binang-bintang dan kedelapan planet
tersebut. Alam semesta memancar dari berfikirnya Tuhan tentang zatnya dan
pancaran yang maha esa itu dilanjutkan oleh akal-akal ke alam yang tersusun dari
banyak unsur. Dengan filsafat inilah Al-Farabi ingin menjelaskan bagaimana yang
terbilang banyak bisa memancar dari yang maha esa. Dengan kata lain, melalui
pemikiran inilah Al-Farabi memurnikan tauhid dalam Islam.
Persoalan emanasi telah dibahas oleh aliran Neoplatonisme yang
menggunakan kata-kata simbolis (kiasan), sehingga tidak bisa didapatkan
hakikatnya yang sebenarnya. Akan tetapi Al-Farabi telah dapat menguraikannya
secara ilmiah, di mana ia mengatakan bahwa segala sesuatu keluar dari Tuhan,
karena Tuhan mengetahui Zatnya dan mengetahui bahwa ia menjadi dasar
susunan wujud yang sebaik-baiknya.
3. Filsafat Jiwa/al-Nafs

Al-Farabi mencoba membuat sintesa antara pandangan Plato dan


pandangan Aristoteles, tentang jiwa manusia. Sebagaimana pandagan
Aristoteles, al-Farabi juga mengatakan bahwa jiwa manusia adalah bentuk
(surah/form) bagi tubuhnya, namun tidak hanya itu karena dia juga mengikuti
Plato yang menyatakan bahwa jiwa manusia itu adalah substansi materi yang
tidak hancur dengan hancurnya badan/jasad. 12

Menurut al-Farabi, jiwa berbeda dengan roh, jiwa berasal dari akal
kesepuluh dan lahir bersama materi pertama. Gabungan antara jiwa dan roh
itulah yang menjadi hakekat manusia yang menempati jasad sebagai wadahnya.
Berarti jasad sebagai wadah jiwa itu akan berakhir , tetapi jiwa itu sendiri tidak. 13

12
Abd. Aziz Dahlan, Pemikiran Filsafat dalam Islam, h. 67-68.
13
Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 49.
Mengenai potensi-potensi yang dimiliki jiwa manusia, tampak bahwa pandangan
al-Farabi mengikuti pandangan Aristoteles.

Bagi Al-Farabi, jiwa manusia mempunyai daya-daya sebagai berikut:

1. Daya al-Muharrikat (gerak), daya ini yang mendorong untuk makan,


memelihara, dan berkembang.
2. Daya al-Mudrikat (mengetahui), daya ini yang mendorong untuk
merasa dan berimejinasi.
3. Daya al-Nathiqot (berfikir), daya ini yang mendorong untuk berfikir
secara teoritis dan praktis.

Tentang bahagia dan sengsaranya jiwa, Al-Farabi mengaitkan dengan


filsafat negara utamanya. Bagi jiwa yang hidup pada negara utamanya, yakni
jiwa yang kenal dengan Allah dan melaksanakan perintah Allah maka jiwa ini
menurut Al-Farabi akan kembali ke alam nufus (alam kejiwaan) dan abadi dalam
kebahagiaan. Jiwa yang hidup pada negara fasiqoh, yakni jiwa yang kenal
dengan Allah, ia kembali ke adalam nufus (alam kejiwaan) dan abadi dalam
kesengsaraan.

4. Logika

Dengan kejelihan dan semangat untuk mencari ilmu, merupakan suatu hal
yang tidaklah sia-sia bagi Al-Farabi, sehingga ia selalu dikenang sepanjang
sejarah keilmuan filsafat bagi umat Islam, bahkan orang Barat pun mengagumi
akan keluasan pemikirannya yang sistemis, selaras dan konsisten.14

Dalam bukunya, yaitu ‘Ihsa al-Ulum’ (Katalog Ilmu Pengetahuan), Al-


Farabi menguraikan padangannya tentang logika, yaitu sebagai kaidah-kaidah
yang kalau di ikuti, bisa meluruskan pikiran dan membimbing manusia pada jalan
yang tepat, yakni menuju kebenaran dan menjauhkan diri dari atau terjebak pada

14
Ibnu Sina mengikuti sepenuhnya teori kenabian Al-Farabi. Ibnu Rusyd mengakui keabsahan teori ini, karena teori
ini memperkuat ajaran agama, dan mengukuhkan bahwa kesempurnaan jiwa dapat diperoleh melalui hubungan
manusia dengan Tuhan. Ketika teori ini diperkenalkan kepada pemikiran filosofis Yahudi, Maimonides
mengambilnya, dan menunjukkan banyak minat. Dalam Tractatus Theologico-Politicus-nya Spinoza, dapat dicatat
bahwa Spinoza menerangkan suatu teori serupa, yang mungkin sekali dikutip dari Maimonades. Jamaluddin Al-
Afghani dan Muhammad Abduh, juga terpengaruh teori ini. Lihat: Sholihan, op. cit., hlm. 50.
jurang kesalahan.15 Dari penjelasan ini, Al-Farabi memberikan pemahaman bahwa
logika menjadi unsur penting bagi manusia, yaitu untuk berfikir. Berfikir
mengunakan logika, akan memberikan kaidah-kaidah, yang akan meluruskan
pemahaman dan jalan pikiran manusia, serta membimbingnya menuju jalan
kebenaran. Sehingga, berfikir menggunakan logika itu dapat menghidari dan
menjauhkan manusia pada kesalahan yang diakibatkan karena berfikir manusia
yang keliru.

Selanjutnya Al-Farabi dengan jelas mengatakan, logika itu membantu kita


dalam membedakan yang benar dari yang salah, menunjukkan cara berfikir yang
benar, dan membantunya dalam membimbing orang lain kearah yang benar.
Untuk mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, berfikir menggunakan
logika sangat dianjurkan, karena berfikir dengan logika akan menuntun dan
membimbing diri dan orang lain ke arah kebenaran yang semestinya.

5. Filsafat Politik
Pemikiran Al-Farabi lainnya yang amat penting adalah tentang politik
yang dia tuangkan dalam dua karyanya Al-Siyasah Al Madaniyyah
(Pemerintahan politik) dan Ara‟ Al-Madinah Al Fadhilah (pendapat-pendapat
tentang negara utama). Dalam konteks politik yang terkenal karyanya adalah
tentang al madinah al fadhilah. Secara ringkas al-Farabi dalam karyanya al-
Madīnah al-Fadhīlah menyatakan bahwa kecenderungan manusia hidup
bersosial dengan orang lain yang kemudian melalui proses yang panjang
terbentuklah sebuah negara. Dari Negara tersebut mereka hendak mencapai
kebahagiaan secara bersama sama.16
Indikasi kebahagiaannya adalah tercukupinya sandang, pangan, papan
dan keamanan kebahagiaan yang dicita-citakan tersebut bisa dicapai dengan
cara membentuk sebuah negara yang disebut negara utama (al-madinat al-
fadhilat).17

15
Mulyadi kertanegara, op.cit hal 62
16
Al-Farabi, ‘Ara’ Ahl al-Madīnah…118.
17
Abdul Majid. "Filsafat Al-Farabi Dalam Praktek Pendidikan Islam." Jurnal Manarul Al Qur'an, abcd.unsiq.ac.id.
Negara utama diserupakan bagaikan badan sehat yang dilengkapi
anggota tubuh sempurna, saling membantu dan bersinergi dengan anggota
tubuh lain dalam upaya menyempurnakan kehidupan, di dalamnya
mempunyai satu pemimpin yaitu jantung.18

Penisbatan jantung sebagai pemimpin ini dalam hal sebagai


penggeraknya, oleh karena itu, semua anggota masyarakat bisa menjadi
pemimpin negara, seseorang yang bisa memimpin negara adalah orang yang
mempunyai kapasitas tertinggi dalam sebuah negara. Kriteria pemimpin yang
ideal adalah, fisik sempurna, cerdas, mempunyai pemahaman yang baik,
pandai memberikan pemahaman kepada orang lain, cinta terhadap ilmu
pengetahuan, tidak rakus terhadap makanan, pandai bersosialisasi dengan
orang lain, mempunyai sifat berjiwa besar, tidak memandang kekayaan dunia
adalah segala-galanya, berlaku adil dan membenci kedhaliman, memiliki
keseriusan yang tinggi terhadap sesuatu yang dianggap penting. 19

Menurut pendapat al-Farabi, Nabi Muhammad adalah seorang


pemimpin yang sama persis seperti pemimpin yang dikonsepsikan oleh Plato,
yakni seorang ideal yang telah mampu mengungkapkan kebenaran universal
yang bersifat imajinatif yang bisa dimengerti oleh orang awam. Dari sini
nampak bahwa al-Farabi ingin mengkombinasikan konsep negara pemikiran
filsafat Yunani dengan konsep Negara Islam.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

18
Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madīnah…118.
19
Ibid.,127-128.
Pertalian pemikiran al-Farabi sangat erat dengan filsafat Yunani, Oleh
karena itu untuk memahami pokok pikiran al-Farabi mutlak dibutuhkan
menyelami pemikiran filsafat Yunani. Al-Farabi adalah sosok filosof muslim
yang pengetahuannya mapan, di samping ilmuwan juga ‘alim yang hidup dalam
kesederhanaan
Pemikiran Filsafat Al-Farabi Dalam filsafat metafisika berpendapat bahwa
wajibul wujud dan mumkinul wujud, dimana wajibul wujud itu Allah dan
mumnkinul wujud(alam semesta). Tidak akan ada munkinul wujud jika wajibul
wujud tidak ada. Filsafat alfarabi yang lain yakni logika, jiwa, teori emanasi dan
filsafat politik,

DAFTAR PUSTAKA
A. Mustofa, Filsafat Islam, ( Bandung: Pustaka Setia, 2007)
Aziz, Muhammad. "Tuhan Dan Manusia Dalam Perspektif Pemikiran Abu Nasr
Al-Farabi." Jurnal Studi Islam 10.2 (2015): 62.
Aziz, Muhammad. "Tuhan Dan Manusia Dalam Perspektif Pemikiran Abu Nasr
Al-Farabi." Jurnal Studi Islam 10.2 (2015)

M wiyono,( filsafat alfarabi) vol 18 Nomor 1, April 2016.

M. M Syarif,(ed), History of Muslim Philosophy, vol 1 (dalam Filsafat Islam,


Sirajuddin Zar (Jakarta:PT Raja Grafindo, 2004)
Sholihan. (2010). Pernik-Pernik Pemikiran Filsafat Islam; Dari Al-Farabi Sampai
Al-Faruqi. Semarang: Walisongo Press.

Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (cet. I; Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2004),

Sudarsono, Filsafat Islam, (cet. I; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997),

Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam, (cet. I; Jakarta:


Bumi Aksara, 1991),

Anda mungkin juga menyukai