Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

“KONSEP DASAR MANAJEMEN PESANTREN”

Dosen Pengampu : MUJIBNO, S.Fil.I., M.M

Penyusun :

JAZULI

INSTITUT DIROSAT ISLAMIYAH AL-AMIEN ( IDIA ) PRENDUAN

TAHUN AKADEMIK

2020 - 2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan
taufik serta hidayah-Nya. Sehingga kami dapat menyusun makalah ini DENGAN JUDUL
KONSEP DASAR MANAJEMEN PESANTREN.

Shalawat dan salam semoga selalu senantiasa tercurah kepada junjungan nabi kita Nabi
besar Muhammad SAW. Beserta keluarga, sahabat dan pengikut beliau hinggga akhir zaman.
Yang telah membawa kita dari alam kebodohan menuju alam terang benderang bercahayakan
iman, islam, dan ihsan.

Tak lupa kami ucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Dosen Mata kuliah
Tafsir Tarbawi yang telah mendukung kami hingga teselesaikannya makalah ini.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan belum sempurna apa yang kami
sampaikan, sehingga apabila ada kekurangan dalam penulisan serta isi atau materi, kami
mohon saran dan kritiknya secara langsung maupun tidak langsung, untuk kesempurnaan
makalah ini.

Sumenep, 01 Oktober 2020


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat pada era global ini
terasa sekali pengaruhnya dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, khususnya
dalam bidang pendidikan, sosial, dan budaya, termasuk dalam pendidikan pesantren.
Dalam rangka menghadapi tuntutan masyarakat lembaga pendidikan
masyarakattermasuk pondok pesantren haruslah bersifat fungsional. Sebab lembaga
pendidikan sebagai salah satu wadah dalam masyarakat bisa digunakan sebagai pintu
gerbang dalam menghadapi tuntutan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi
yang terus mengalami perubahan. Lembaga pesantren perlu mengadakan perubahan
secara terus menerus seiring dengan perkembangannya tuntutan-tuntutan yang ada
dalam masyarakat.
Pengembangan Manajemen Pesantren merupakan salah satu solusi yang dapat
digunakan untuk meningkatkan kualitas atau mutu pesantren. Manajemen mengawal
dan memberikan arahan pada proses berjalannya sebuah lembaga pesantren dapat
terpantau. Tidak berbeda dengan lembaga pendidikan lain seperti sekolah formal,
pendidikan pesantren juga membutuhkan manajemen untuk mengembangkan atau
memajukan sebuah pesantren.
Manajemen merupakan hal yang penting dalam pesantren karena untuk
berjalan dengan optimalnya sebuah pesantren, berkembangnya pesantren, dan untuk
kemajuan pesantren tersebut. Pesantren yang sistem manajemennya rendah atau
bahkan tidak baik, bisa mengakibatkan mengurangnya daya guna sebuah pesantren.

B. Rumusan Masalah

a. Pengertian Manajemen
b. Pengertian Pondok Pesantren
c. Pengertian Manajemen Pesantren
d. Manajemen Pendidikan Pondok Pesantren
e. Elemen-elemen Pondok Pesantren
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Manajemen

Kata manajemen berasal dari bahasa inggris yaitu management yang


dikembangan dari kata “to manage”, yang artinya mengatur atau mengelola.
Mary Parker Follet, mendefinisikan manajemen sebagai seni menyelesaikan pekerjaan
melalui orang lain. Definisi ini berarti bahwa seorang manajer bertugas mengatur dan
mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan organisasi.
Ricky W. Griffin mendefinisikan manajemen sebagai sebuah proses perencanaan,
pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya untuk mencapai
sasaran (goals) secara efektif dan efesien.
George R. Terry, mengatakan bahwa manajemen merupakan proses yang khas yang
terdiri dari tindakan-tindakan : perencanaan, pengorganisasian, menggerkan dan
pengawasan yang dialkukan untuk menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang
telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumber daya manusia serta sumber-sumber
lain.

B. Pengertian Pondok Pesantren

Secara etimologi, pesantren berasal dari kata “santri” yang mendapat awalan
‘pe’ dan akhiran ‘an’ yang berarti tempat tinggal santri. Sedangkan ensiklopedi Islam
memberikan gambaran yang berbeda, yakni bahwa pesantren itu berasal dari bahasa
Tamil yang artinya guru mengaji atau dari bahasa India “shastri” dan kata “shastra”
yang berarti buku-buku kecil, buku-buku agama atau ilmu pengetahuan. Secara
terminologi pesantren merupakan sebuah pendidikan agama Islam yang tumbuh serta
diakui oleh masyarakat sekitar (Ahamad Muthohar AR, 2007:12).
Pesantren juga dikenal dengan tambahan istilah pondok yang dalam arti kata bahasa
Indonesia mempunyai arti kamar, gubug, rumah kecil dengan menekankan
kesederhanaan bangunan atau pondok juga berasal dari bahasa Arab ”Fundũq” yang
berarti ruang tidur, wisma, hotel sederhana, atau mengandung arti tempat tinggal yang
terbuat dari bambu.
Pesantren atau lebih dikenal dengan istilah pondok pesantren dapat diartikan sebagai
tempat atau komplek para santri untuk belajar atau mengaji ilmu pengetahuan agama
kepada kiai atau guru ngaji, biasanya komplek itu berbentuk asrama atau kamar-
kamar kecil dengan bangunan apa adanya yang menunjukkan kesederhanaannya.
Menurut Mastuhu (1994: 55) pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan
tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan
mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai
pedoman perilaku sehari-hari. Dari berbagai pengertian di atas, maka dapat dipahami
bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tradisional yang mempelajari ilmu
agama (tafaqquh fi al-dîn) dengan penekanan pada pembentukan moral santri agar
bisa mengamalkannya dengan bimbingan kiai dan menjadikan kitab kuning sebagai
sumber primer serta masjid sebagai pusat kegiatan.
C. Pengertian Manajemen Pesantren

Hamzah (1994 : 32) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Manajemen


Pendidikan Pesantren adalah aktivitas memadukan sumber-sumber Pendidikan
Pesantren agar terpusat dalam usaha untuk mencapai tujuan Pendidikan Pesantren
yang telah ditentukan sebelum dengan kata lain manajemen Pendidikan merupakan
mobilisasi segala sumberdaya Pendidikan Pesantren untuk mencapai tujuan
pendidikan yang telah ditetapkan.
Maka manajemen Pendidikan Pesantren hakekat adalah suatu proses penataan dan
pengelolaan lembaga Pendidikan Pesantren yang melibatkan sumber daya manusia
dan non manusia dalam menggerakkan mencapai tujuan Pendidikan Pesantren secara
efektif dan efisien.”. Yang disebut “efektif dan efisien” adalah pengelolaan yang
berhasil mencapai sasaran dengan sempurna cepat tepat dan selamat. Sedangkan yang
“tak efektif” adalah pengelolaan yang tak berhasil memenuhi tujuan karena ada mis-
manajemen maka manajemen yang tak efisien adalah manajemen yang berhasil
mencapai tujuan tetapi melalui penghamburan atau pemborosan baik tenaga waktu
maupun biaya.
Salah satu bagian terpenting dalam manajemen pesantren adalah berkaitan denggan
pengelolaan keuanggan pesantren. Dalam pengelolaan keuangan akan menimbulkan
permasalahan yang serius apabila pengelolaanya tidak baik. Pengelolaan keuanggan
pesantren yang baik sebenarnya merupakan upaya melindungi personil pengelolaan
pesantren (kyai, pengasuh, ustadz, atau pengelola pesantren lainya) dari pandangan
yang kurang baik dari luar pesantren. Selama ini banyak pesantren yang tidak
memisahkan antara harta kekayaan pesantren dengan harta milik individu, walaupun
disadari bahwa pembiayaan pesantren justru lebih banyak bersumber dari kekayaan
individu. Namun dalam rangka pelaksanaan manajemen yang baik sebaiknya
diadakan pemilahan antara harta kekayaaan pesantren dengan harta milik individu,
agar kelemahan dan kekurangan pesantren dapat diketahui secara transparan oleh
pihak-pihak lain, termasuk orang tua santri.
Pengertian pengelolaan keuangan sendiri adalah penggurusan dan pertanggung
jawaban suatu lembaga terhadap penyandang dana baik individual maupun lembaga.
Dalam penyusunan anggaran memuat pembagian penerimaan dan pengeluaran
anggaran rutin dan anggaran pembanggunan serta anggaran incidental jika perlu.
Berkaitan denggan penggelolaan keuanggan ada hal-hal yang perlu di perhatikan oleh
bendaharawan pesantren diantaranya:
a. Pada setiap akhir tahun anggaran bendaharawan harus membuat laporan
keunggan kepada komite pesantren untuk di cocokan dengan RAPBP.
b. Laporan keuanggan harus di lampiri bukti-bukti penggeluaran yang ada,
termasuk bukti penyetoran pajak (PPN dan PPh) bila ada.
c. Kwitansi atau bukti-bukti pembelian atau bukti penerimaan honorarium atau
bantuan atau bukti penggeluaran yang lain yang sah.
d. Neraca keuanggan juga harus di tunjukan untuk di periksa oleh tim
bertanggung jawaban keuanggan dari komite pesantren.
D. Manajemen Pendidikan Pondok Pesantren, meliputi:

a. Kurikulum Pendidikan Pondok Pesantren


Pada awalnya adalah hanya pengajaran yang simpel tidak ada kurikulum tidak
seperti sekarang ini. Sebenarnya pembelajaran yang diberikan dalam pondok
pesantren sudah menggunakan kurikulum tertentu yang lama yaitu sistem
pengajaran tuntas kitab, dalam hal ini kyai bebas untuk membacakan kitabnya.

b. Sistem Pengajaran
Sistem pengajaran dapat diartikan sebagai cara uyang diperguanakan untuk
menyampaikan tujuan. Pondok pesantren secara agak seragam menerapkan
sistem pengajaran yang sering kita kenal yaitu: sorogan, bandungan, hafalan
dan masih banyak lainnya. Akan tetapi konsep keilmuan lebih menekankan
pada rasionalitas seperti yang menjadi dasar pendidikan modern.

c. Sistem Pembiayaan
Pondok pesantren sebagai lembaga non formal juga sebagai lembaga sosial
keagamaan. Dan perjalanannya, pembiayaan dalam bidang pendidikan
pesantren bisa didapat dari imbal swadya pemerintah, yaitu Depag, Link
Depag, Instansi Daerah maupun dari lainnya. Karena kepedulian pesantren ini
dilandasi dengan keikutansertaan pemerintah dalam memajukan pondok
pesantren dengan karakternya yang khas.

d. Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren

1. Permulaan Berdiri
Pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam yang telah tua
sekali usianya, telah tumbuh sejak ratusan tahun yang lalu, yang
setidaknya memiliki lima unsur pokok, yaitu kiyai, santri, pondok,
mesjid dan pengajaran ilmu-ilmu agama.
Dalam menentukan kapan pertama kalinya pesantren berdiri di
Indonesia, terlebih dahulu perlu melacak kapan pertama kalinya Islam
masuk ke semenanjung nusantara. Terdapat berbagai pendapat
mengenai kapan masuknya Islam di Indonesia, ada yang berpendapat
semenjak abad ketujuh, namun ada juga yang berpendapat semenjak
abad kesebelas. Terlepas dari perdebatan seputar kapan masuknya
Islam di Indonesia, namun terjadinya kontak yang lebih intens antara
budaya Hindu-Budha dan Islam dimulai sekitar abad ketiga belas
ketika terjadi kontak perdagangan antara kerajaan Hindu jawa dengan
Kerajaan Islam di Timur Tengah dan India. Dan penyebaran Islam di
Indonesia khususnya di Jawa tidak terlepas dari peran wali songo yang
dengan gigih memperjuangkan dan menyebarkan nilai-nilai Islam.
Berdirinya Pesantren pada mulanya juga diprakarsai oleh Wali
Songo yang diprakarsai oleh Sheikh Maulana Malik Ibrahim yang
berasal dari Gujarat India. Para Wali Songo tidak begitu kesulitan
untuk mendirikan Pesantren karena sudah ada sebelumnya Instiusi
Pendidikan Hindu-Budha dengan sistem biara dan Asrama sebagai
tempat belajar mengajar bagi para bikshu dan pendeta di Indonesia.
Pada masa Islam perkembangan Islam, biara dan asrama tersebut tidak
berubah bentuk akan tetapi isinya berubah dari ajaran Hindu dan
Budha diganti dengan ajaran Islam, yang kemudian dijadikan dasar
peletak berdirinya pesantren.
Selanjutnya pesantren oleh beberapa anggota dari Wali Songo
yang menggunakan pesantren sebagai tempat mengajarkan ajaran-
ajaran Islam kepada masyarakat Jawa. Sunan Bonang mendirikan
pesantren di Tuban, Sunan Ampel mendirikan pesantren di Ampel
Surabaya dan Sunan Giri mendirikan pesantren di Sidomukti yang
kemudian tempat ini lebih dikenal dengan sebutan Giri Kedaton.
Keberadaan Wali Songo yang juga pelopor berdirinya pesantren
dalam perkembangan Islam di Jawa sangatlah penting sehubungan
dengan perannya yang sangat dominan. Wali Songo melakukan satu
proses yang tak berujung, gradual dan berhasil menciptakan satu
tatanan masyarakat santri yang saling damai dan berdampingan. Satu
pendekatan yang sangat berkesesuaian dengan filsafat hidup
masyarakat Jawa yang menekankan stabilitas, keamanan dan harmoni.
Pendekaan Wali Songo, yang kemudian melahirkan pesantren
dengan segala tradisinya, perilaku dan pola hidup saleh dengan
mencontoh dan mengikuti para pendahulu yang terbaik, mengarifi
budaya dan tradisi lokal merupakan ciri utama masyarakat pesantren.
Watak inilah yang dinyatakan sebagai faktor dominan bagi penyebaran
Islam di Indonesia. Selain itu ciri yang paling menonjol pada pesantren
tahap awal adalah pendidikan dan penanaman nilai-nilai agama kepada
para santri lewat-lewat kitab-kitab klasik. Persoalan asal usul pesantren
secara historis lebih tepat jika dipandang sebagai akibat akulturasi dua
tradisi besar Islam dan Hindu-Budha yang saling berinteraksi dan
saling memperngaruhi satu sama lain dari pada menerima warisan
tradisi yang memposisikan tradisi Islam sebagai tradisi yang pasif.
Artinya, pandangan hidup dan pemikiran keagamaan kalangan
pesantren tidak begitu saja mewarisi taken for granted kebudayaan
Hindu-Budha.

2. Pesantren pada Masa Penjajahan


Pada zaman penjajahan Belanda, dengan berbagai cara Penjajah
berusaha untuk mendiskreditkan pendidikan Islam yang dikelola oleh
pribumi termasuk didalamnya Pesantren. Sebab pemerintah kolonial
mendirikan lembaga pendidikan dengan sistem yang berlaku di barat
pada waktu itu, namun hal ini hanya diperuntukkan bagi golongan elit
dari masyarakat Indonesia. Jadi ketika itu ada dua alternatif pendidikan
bagi bangsa Indonesia.
Sebagian besar sekolah kolonial diarahkan pada pembentukan
masyarakat elit yang akan digunakan untuk mempertahankan
supremasi politik dan ekonomi bagi Pemerintah Belanda. Dengan
didirikannya lembaga pendidikan atau sekolah yang diperuntukkan
bagi sebagian Bangsa Indonesia tersebut terutama bagi golongan
priyayi dan pejabat oleh pemerintah kolonial, maka semenjak itulah
terjadi persaingan antara lembaga pendidikan pesantren dengan
lembaga pendidikan pemerintah.
Meskipun harus bersaing dengan sekolah-sekolah yang
diselenggarakan pemerintah Belanda, pesantren terus berkembang
jumlahnya. Persaingan yang terjadi bukan hanya dari segi ideologis
dan cita-cita pendidikan saja, melainkan juga muncul dalam bentuk
perlawanan politis dan bahkan secara fisik. Hampir semua perlawanan
fisik (peperangan) melawan pemerintah colonial pada abad ke-19
bersumber atau paling tidak mendapatkan dukungan sepenuhnya dari
pesantren, seperti perang paderi, Diponegoro dan Perang Banjar.
Menghadapi kenyataan demikian menyebabkan pemerintah
Belanda diakhir abad ke-19 mencurigai eksistensi pesantren, yang
mereka anggap sebagai sumber perlawanan terhadap pemerintah
Belanda. Pada tahun 1882 Belanda mendirikan Priesterreden
(pengadilan agama) yang salah satu tugasnya mengawasi pendidikan di
pesantren. Kemudian dikeluarkan Ordonansi (undang-undang) tahun
1905 mengenai pengawasan terhadap peguruan yang hanya
mengajarkan agama (pesantren), dan guru-guu yang mengajar harus
mendapatkan izin pemerintah setempat.
Seiring dengan perkembangan sekolah-sekolah Barat modern
yang mulai menjamah sebagian masyarakat Indonesia, pesantren pun
tampaknya mengalami perkembangan yang bersifat kualitatif,
meskipun ruang geraknya senantiasa diawasi dan dibatasi. Ide-ide
pembaharuan dalam Islam, termasuk pembaharuan dalam pendidikan
mulai masuk ke Indonesia, dan mulai merasuk ke dunia pesantren serta
dunia pendidikan Islam lainnya.
Pembaharuan ini menyebabkan sistem modern klasikal mulai
masuk ke pesantren, yang sebelumnya masih belum dikenal. Metode
halaqah berubah menjadi sistem klasikal, dengan mulai menggunakan
kursi, meja dan mengajarkan pelajaran umum. Sementara itu beberapa
pesantren mulai memperkenalkan sistem madrasah sebagaimana yang
diterapkan pada sekolah umum.

3. Pertumbuhan dan Perkembangan Pada Masa Kemerdekaan


Dalam sejarahnya mengenai peran pesantren, dimana sejak
masa kebangkitan Nasional sampai dengan perjuangan
mempertahankan kemerdekaan RI, pesantren senantiasa tampil dan
telah mampu berpartisipasi secara aktif. Oleh karena itulah setelah
kemerdekaan, pesantren masih mendapatkan tempat dihati masyarakat.
Ki Hajar Dewantara saja selaku tokoh pendidikan Nasional dan
menteri Pendididkan Pengajaran Indonesia yang pertama menyatakan
bahwa pondok pesantren merupakan dasar pendidikan nasional, karena
sesuai dan selaras dengan jiwa dan kepribadian Bangsa Indonesia.
Begitupula halnya dengan Pemerintah RI, mengakui bahwa
pesantren dan madrasah merupakan dasar pendidikan dan sumber
pendidikan nasional, dan oleh karena itu harus dikembangkan, diberi
bimbingan dan bantuan. Sejak awal kehadiran pesantren dengan
sifatnya yang lentur (flexible) ternyata mampu menyesuaikan diri
dengan masyarakat serta memenuhi tuntutan masyarakat. Begitu juga
pada era kemerdekaan dan pembangunan sekarang, pesantren telah
mampu menampilkan dirinya aktif mengisi kemerdekaan dan
pembangunan, terutama dalam rangka pengembangan sumber daya
manusia yang berkualitas.
Berbagai inovasi telah dilakukan untuk pengembangan
pesantren baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Masuknya
pengetahuan umum dan keterampilan ke dalam dunia pesantren adalah
sebagai upaya memberikan bekal tambahan agar para santri bila telah
menyelesaikan pendidikannya dapat hidup layak dalam masyarakat.
Dewasa ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-
kecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap sistem yang
selama ini dipergunakan, diantaranya adalah mulai akrab dengan
metodologi ilmiah modern, den semakin berorientasi pada pendidikan
dan fungsional, artinya terbuka atas perkembangan di luar dirinya.
Juga diversifikasi program dan kegiatan makin terbuka dan
ketergantungannya pun absolute dengan kiai, dan sekaligus dapat
membekali para santri dengan berbagai pengetahuan di luar mata
pelajaran agama maupun keterampilan yang diperlukan di lapangan
kerja dan juga dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan
masyarakat.
Dalam rangka menjaga kelangsungan hidup pesantren,
pemerintah berusaha untuk membantu mengembangkan pesantren
dengan potensi yang dimilikinya. Arah perkembangan itu dititik
beratkan pada: Pertama, peningkatan tujuan institusional pondok
pesantren dalam kerangka pendidikan nasional dan pengembangan
potensinya sebagai lembaga sosial pedesaan. Kedua, peningkatan
kurikulum dengan metode pendidikan agar efisiensi dan efektifitas
pesantren terarah. Ketiga, menggalakkan pendidikan keterampilan di
lingkungan pesantren untuk mengembangkan potensi pesantren dalam
bidang prasarana sosial dan taraf hidup masyarakat, dan yang terakhir,
menyempurnakan bentuk pesantren dengan madrasah menurut
keputusan tiga menteri tahun 1975 tentang peningkatan mutu
pendidikan pada madrasah.
Akhir-akhir ini pesantren mempunyai kecenderungan-
kecenderungan yang tampaknya ditujukan untuk meningkatkan mutu
penyelenggaraan pendidikan yang ada, sebagaimana telah
dikemukaakan terdahulu. Pertumbuhan dan perkembangan pesantren
di Indonesia sepertinya cukup mewarnai perjalanan sejarah Pendidikan
Islam di Indonesia. Kendatipun demikian pesantren dengan berbagai
kelebihannya, juga tentunya tidak akan dapat menghindar dari segala
kritik dan kekurangannya.
2.3 Perkembangan Pondok Pesantren
Satu abad setelah masa Walisongo, abad 17, pengaruh
Walisongo diperkuat oleh Sultan Agung yang memerintah Mataram
dari tahun 1613-1645. Sultan Agung merupakan penguasa terbesar di
Jawa, yang juga terkenal sebagai Sultan Abdurrahman dan
Khalifatullah Sayyidin Panotogomo ing Tanah Jawi, yang berarti
Khalifatullah pemimpin dan penegak agama di tanah Jawa. Dia
memproklamirkan kalender Islam di Jawa. Dengan system kalender
baru ini, nama-nama bulan dan hari Hijriyyah seperti Muharram dan
Ahad dengan mudah menjadi ucapan sehari-hari lisan Jawa.
Pada tahun 1641, Sultan Agung memperoleh gelar baru “Sultan
Abdullah Muhammad Maulana Matarani” dari Syarrif Mekkah setelah
Sultan Agung mengirim utusan ke Mekkah untuk memohon anugrah
title tersebut tahun 1639. Agaknya Mekkah telah lama memainkan
peran penting dalam memperkuat legitimasi politik, keagamaan, serta
orientasi pendidikan dunia Islam. Sultan Agung menawarkan tanah
pendidikan bagi kaum santri serta memberi iklim sehat bagi kehidupan
intelektualisme keagamaan hingga komunitas ini berhasil
mengembangkan lembaga pendidikan mereka tidak kurang dari 300
pesantren.
Pada masa penjajahan Belanda, pesantren mengalami ujian dan
cobaan dari Allah, pesantren harus berhadapan dengan dengan Belanda
yang sangat membatasi ruang gerak pesantren, dikarenakan
kekhawatiran Belanda akan hilangnya kekuasaan mereka. Sejak
perjanjian Giyanti, pendidikan dan perkembangan pesantren dibatasi
oleh Belanda. Belanda bahkan menetapkan resolusi pada tahun 1825
yang membatasi jumlah jama’ah haji. Selain itu, Belanda juga
membatasi kontak atau hubungan orang Islam Indonesia dengan
negara-negara Islam yang lain. Hal-hal ini akhirnya membuat
pertumbuhan dan pekembangan Islam menjadi tersendat.
Sebagai respon atas penindasan Belanda, kaum santri pun
mengadakan perlawanan. Menurut Clifford Geertz, antara 1820-1880,
telah terjadi pemberontakan besar kaum santri di Indonesia, yaitu
pemberontakan kaum Paderi di Sumatra dipimpin oleh Imam Bonjol,
pemberontakan Diponegoro di Jawa, pemberontakan Banten akibat
aksi tanam paksa yang dilakukan Belanda, pemberontakan di Aceh
yang dipimpin antara lain oleh Teuku Umar dan Teuku Ciktidiro.
Pada masa penjajahan Jepang untuk menyatukan langkah, visi
dan misi demi meraih tujuan, organisasi-organisasi tertentu melebur
menjadi satu dengan nama Masyumi (Majelis Syuro Muslimin
Indonesia). Pada masa Jepang ini pula kita saksikan perjuangan K.H.
Hasyim Asy’ari beserta kalangan santri menentang kebijakan kufur
Jepang yang memerintahkan setiap orang pada pukul tujuh pagi untuk
menghadap arah Tokyo menghormati kaisar Jepang yang dianggap
keturunan dewa matahari sehingga beliau ditangkap dan dipenjara
delapan bulan.
Pada masa awal-awal kemerdekaan kalangan santri turut
berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. K.H. Hasyim
Asy’ari pada waktu itu mengeluarkan fatwa, wajib hukumnya
mempertahankan kemerdekaan. Fatwa tersebut disambut positif oleh
umat Islam sehingga membuat arek-arek Surabaya dengan Bung Tomo
sebagai komando, dengan semboyan “Allahhu Akbar!! Merdeka atau
mati” tidak gentar menghadapi Inggris dengan segala persenjataanya
pada tanggal 10 November. Diperkirakan sepuluh ribu orang tewas
pada waktu itu. Namun hasilnya, Inggris gagal menduduki Surabaya.
Setelah perang kemerdekaan, pesantren mengalami ujian
kembali dikarenakan pemerintahan sekuler Soekarno melakukan
penyeragaman atau pemusatan pendidikan nasional yang tentu saja
masih menganut sistem barat ala Snouck Hurgronje. Akibatnya
pengaruh pesantren pun mulai menurun, jumlah pesantren berkurang,
hanya pesantren besar yang mampu bertahan. Hal ini dikarenakan
pemerintah mengembangkan sekolah umum sebanyak-banyaknya.
Berbeda pada masa Belanda yang terkhusus untuk kalangan tertentu
saja dan disamping itu jabatan-jabatan dalam administrasi modern
hanya terbuka luas bagi orang-orang bersekolah di sekolah tersebut.
Pada masa Soekarno pula, pesantren harus berhadapan dengan
kaum komunis. Banyak sekali pertikaian di tingkat bawah yang
melibatkan kalangan santri dan kaum komunis. Sampai pada
puncaknya setelah peristiwa G30S/PKI, kalangan santri bersama TNI
dan segenap komponen yang menentang komunisme memberangus
habis komunisme di Indonesia. Diperkirakan lima ratus ribu nyawa
komunis melayang akibat peristiwa ini. Peristiwa ini bisa dibilang
merupakan peristiwa paling berdarah di republik ini, namun hasilnya
komunisme akhirnya lenyap dari Indonesia.
Biarpun begitu, dengan jasa yang demikian besarnya,
pemerintahan Soeharto seolah tidak mengakui jasa pesantren. Soeharto
masih meneruskan lakon pendahulunya yang tidak mengakui
pendidikan ala pesantren. Kalangan santri dianggap manusia kelas dua
yang tidak dapat melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi dan
tidak bisa diterima menjadi pegawai-pegawai pemerintah. Agaknya,
hal ini memang sengaja direncanakan secara sistematis untuk
menjauhkan orang-orang Islam dari struktur pemerintahan guna
melanggengkan ideologi sekuler.
Namun demikian, pesantren pada kedua orde tersebut tetap
mampu mencetak orang-orang hebat yang menjadi orang-orang
penting di negara kita seperti, K.H. Wahid Hasyim, M. Nastir, Buya
Hamka, Mukti Ali, K.H. Saifuddin Zuhri, dl
Pada dekade pertama abad 20 ditandai dengan munculnya
“anak pesantren” yang berupa lembaga pendidikan madrasah.
Lembaga ini tumbuh menjamur pada dekade pertama dan kedua dalam
rangka merespons sistem klasikal yang dilancarkan pemerintah
Belanda sebelumnya. Meskipun ada beberapa perbedaan antara
pesantren dan madrasah, tapi hubungan historis, kultural, moral,
ideologis antara keduanya tidak dapat dipisahkan.
Populasi pondok pesantren ini semakin bertambah dari tahun ke
tahun, baik pondok pesantren tipe salafiyah maupun khalafiyah yang
kini tersebar di penjuru tanah air. Pesatnya pertumbuhan pesantren ini
akan sekan mendorong pemerintah untuk melembagakannya secara
khusus. Sehingga keluarlah surat keputusan Menteri Agama Republik
Indonesia nomor 18 tahun 1975 tentang susunan organisasi dan tata
kerja Departemen agama yang kemudian diubah dan disempurnakan
dengan keputusan Menteri Agama RI nomor 1 tahun 2001. Dengan
keluarnya surat keputusan tersebut, maka pendidikan pesantren dewasa
ini telah mendapatkan perhatian yang sama dari pemerintah terutama
Departemen Agama. Data yang diperoleh dari kantor Dinas
Pendidikan, Departemen Agama serta Pemerintahan Daerah, sebagaian
besar anak putus sekolah, tamatan sekolah dasar dan madrasah
ibtidaiyah, mereka tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi, namun mereka tersebar di pondok pesantren dalam jumlah yang
relatif banyak.
Kondisi pondok pesantren yang demikian akhirnya direspons
oleh pemerintah. Sehingga lahirlah kesepakatan bersama antara
departemen Agama dan departemen Pendidikan dengan nomor
1/U/KB/2000 dan MA/86/2000 tentang pedoman pelaksanaan pondok
pesantren salafiyah sebagai pola pendidikan dasar. Secara eskplisit,
untuk operasionalnya, setahun kemudian keluar surat keputusan
Direktur Jendral Kelembagaan Agama Islam, nomor E/239/2001
tentang panduan teknis penyelenggaraan program wajib belajar
pendidikan dasar pada pondok pesantren salafiyah. Lahirnya UU
nomor 02 tahun 1989, yang disempurnakan menjadi UU nomor 20
tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada pasal 30 ayat 1
sampai ayat 4 disebutkan pendidikan keagamaan, pondok pesantren
termasuk bagian dari sistem pendidikan nasional.

4. Analisis Terhadap Perkembangan Pesantren


Setelah kita mengetahui bagaimana sejarah panjang berdiri
serta perkembangan pondok pesantren, kita masih perlu menganalisa
agar kita mendapatkan pemahaman yang lebih mengenai seluk beluk
pondok pesantren. Dari beberapa versi pendapat, kita dapat mengikuti
atau mendukung versi pendapat yang terkuat. Bahwasanya Walisongo
yang berperan sangat besar bagi berkembangnya pondok pesantren.
Hambatan pasti dilalui oleh ke-9 para Wali tersebut. Tetapi dengan
semangat dakwah yang mereka tanam dalam benak mereka, kita dapat
melihat buah dari semangat mereka. Sultan Agung yang juga berperan
penting bagi perkembangan pondok pesantren harus kita akui jasanya.
Berkat beliau pula, pondok pesantren dapat menyebar dengan luas.
Pada masa penjajahan, pondok pesantren mengalami masa
keterpurukannya. Dimana ruang geraknya untuk berkembang dan
menjalankan segala aktivitasnya dengan maksimal terbelenggu. Tetapi
kita perlu mengapresiasi akan keberanian pihak-pihak pondok
pesantren, khususnya para santri. Dengan berbagai pergolakan-
pergolakan yang dibentuk, dengan tujuan untuk mengembalikan hak-
hak rakyat dan untuk menghapus penjajahan, kita tidak boleh begitu
saja melupakannya. Kita bisa lihat bahwa bagaimana pondok pesantren
saat ini dengan sesuka hati melakukan berbagai aktivitas pesantren.
Di era reformasi hingga sekarang, kita juga harus
mengapresiasi kinerja pemerintah, bahwasannya pemerintah telah
mendukung sepenuhnya bagi pendidikan pesantren di Indonesia.
Dimana ruang gerak pondok pesantren tidak dibatasi, dan bahkan telah
berkembang menjadi pondok pesantren yang modern, dengan
memberikan porsi yang seimbang antara ilmu agama dan ilmu
pengetahuan umum.

E. Elemen-elemen Pondok Pesantren

Hampir dapat di pastikan, lahirnya suatu pesantren berawal dari beberapa


elemen dasar yang selalu ada di dalamnya. Ada lima elemen pesantren, antara satu
dengan lainnya tidak dapat di pisahkan. Kelima elemen tersebut meliputi kyai, santri,
pondok, masjid, dan pengajaran kitab kuning.
a. Kyai
Kyai atau pengasuh pondok pesantren merupakan elemen yang
sangat esensial bagi suatu pesantren. Rata-rata pesantren yang
berkembang di jawa dan madura sosok kyai begitu sangat
berpengaruh, kharismatik dan berwibawa, sehingga amat di segani
oleh masyrakat di lingkungan pesantren. Di samping itu kyai pondok
pesantren biasanya juga sekaligus sebagai penggagas dan pendiri dari
pesantren yang bersangkutan. Oleh karenanya, sangat wajar jika
pertumbuhannya, pesantren sangat bergantung pada peran seorang
kyai.
Para kyai dengan kelebihan pengetahuannya dalam islam, sering
kali dilihat sebagai orang yang senantiasa dapat memahami
keagungan Tuhan dan rahasia alam, hingga dengan demikian mereka
dianggap memiliki kedudukan yang tak terjangkau, terutama oleh
kebanyakan orang awam. Dalam beberapa hal, mereka menunjukkan
kekhususan mereka dalam bentuk-bentuk pakaian yang merupakan
symbol kealiman yaitu kopiah dan surban.
Masyarakat biasanya mengharapkan seorang kyai dapat
menyelesaikan persoalan- persoalan keagamaan praktis sesuai dengan
kedalaman pengetahuan yang dimilikinya. Semakin tinggi kitab yang
ia ajarkan, ia akan semakin di kagumi. Ia juga di harapkan dapat
menunjukkan kepemimpinannya, kepercayaannya kepada diri sendiri
dan kemampuannya, karena banyak orang yang dating meminta
nasehat dan bimbingan dalam banyak hal. Ia juga di harapkan untuk
rendah hati, menghormati semua orang, tanpa melihat tinggi rendah
sosialnya, kekayaan dan pendidikannya, banyak prihatin dan penuh
pengabdian kepada Tuhan dan tidak pernah berhenti memberikan
kepemimpinan dan keagamaan, seperti memimpin sembahyang lima
waktu, memberikan khutbah jum’ah dan menerima undangan
perkawinan, kematian dan lain-lain.

b. Pondok
Sebuah pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan
islam tradisional di mana para siswanya tinggal bersama dan belajar di
bawah bimbingan seorang (atau lebih) guru yang lebih di kenal dengan
sebutan “kyai”. Asrama untuk para siswa tersebut berada dalam
lingkungan komplek pesantren dimana kyai bertempat tinggal yang
juga menyediakan sebuah masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar
dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang lain. Komplek pesantren ini
biasanya di kelilingi dengan tembok untuk dapat mengawasi keluar
dan masuknya para santri sesuai peraturan yang berlaku pondok,
asrama bagi para santri, merupakan ciri khas tradisi pesantren, yang
membedakannya dengan system pendidikan tradisional di masjid-
masjid yang berkembang di kebanyakan wilayah islam di Negara-
negara lain. Bahkan system asrama ini pula membedakan pesantren
dengan system pendidikansur audi daerah minangkabau.
Ada tiga alasan utama kenapa pesantren harus menyediakan
asrama bagi para santri. Pertama, kemashuran seorang kyai dan
kedalaman pengetahuannya tentang islam menari santri-santri dari
jauh. Untuk dapat menggali ilmu dari kyai tersebut secara teratur dan
dalam waktu yang lama, para santri tersebut harus meninggalkan
kampung halamannya dan menetap di dekat kediaman kyai. Kedua,
hampir semua pesantren berada di desa-desa dimana tidak tersedia
perumahan (akomodasi) yang cukup untuk dapat menampung santri-
santri; dengan demikian perlulah adanya suatu asrama khusus bagi
para santri. Ketiga, ada sikap timbal balik antara kyai dan santri,
dimana para santri menganggap kyainya seolah-olah sebagai bapaknya
sendiri, sedangkan menganggap para santri sebagai titipan Tuhan yang
harus senantiasa dilindungi. Sikap ini juga menimbulkan perasaan
tanggung jawab di pihak untuk dapat menyediakan tempat tinggal bagi
para santri. Di samping itu dari pihak para santri tumbuh perasaan
pengabdian kepada kyainya, sehingga para kyainya memperoleh
imbalan dari para santri sebagai sumber tenaga bagi kepentingan
pesantren dan keluarga kyai.
Sistem pondok bukan saja merupakan elemen paling penting dari
tradisi pesantren, tapi juga penopang utama bagi pesantren untuk dapat
terus berkembang . meskipun keadaan pondok sederhana dan penuh
sesak, namun anak-anak muda dari pedesaan dan baru pertama
meninggalkan desanya untuk melanjutkan pelajaran di suatu wilayah
yang baru itu tidak perlu mengalami kesukaran dalam tempat tinggal
atau penyesuaian diri dengan lingkungan social yang baru.

c. Masjid
Masjid merupakan elemen yang tidak dapat di pisahkan dengan
pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk
mendidik para santri, terutama dalam sembahyang lima waktu, khutbah
dan sholat jum’ah, dan mengajarkan kitab-kitab klasik. Kedudukan
masjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan
manivestasi universalisme dari sistem pendidikan tradisional. Dengan
kata lain kesinambungan system islam yang berpusat pada masjid sejak
masjid al Qubba didirikan dekat madinah pada masa Nabi Muhammad
saw tetap terpancar dalam system pesantren. Sejak zaman nabi, masjid
telah menjadi pusat pendidikan islam. Dimana pun kaum muslimin
berada, mereka selalu menggunakan masjid sebagai tempat pertemuan,
pusat pendidikan, aktifitas administrasi dan cultural. Lembaga-lembaga
pesantren jawa memelihara terus tradisi ini, para kyai selalu mengajar
murid-muridnya di masjid dan menganggap masjid sebagai tempat
yang paling tepat untuk menanamkan disiplin para murid dalam
mengerjakan kewajiban sembahyang lima waktu, memperoleh
pengetahuan agama dan kewajiban agama yang lain. Seorang kyai
yang ingin mengembangkan sebuah pesantren, biasanya pertama-
pertama akan mendirikan masjid di dekat rumahnya. Langkah ini
biasanya diambil atas perintah gurunya yang telah menilai bahwa ia
akan sanggup memimpin sebuah pesantren.
d. Santri
Menurut pengertian yang dalam lingkungan orang-orang
pesantren, seorang alim hanya bisa disebut kyai bilamana memiliki
pesantren dan santri yang tinggal dalam pesantren tersebut untuk
mempelajari kitab-kitab islam klasik. Oleh karena itu santri adalah
elemen penting dalam suatu lembaga pesantren. Walaupun demikian,
menurut tradisi pesantren, terdapat dua kelompok santri:
1. Santri mukim yaitu murid-murid yang berasal dari daerah jauh dan
menetap dalam kelompok pesantren. Santri mukim yang menetap
paling lama tinggal di pesantren tersebut biasanya merupakan suatu
kelompok tersendiri yang memegang tanggung jawab mengurusi
kepentingan pesantren sehari-hari, mereka juga memikul tanggung
jawab mengajar santri-santri tentang kitab-kitab dasar dan
menengah.

2. Santri kalong yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di


sekeliling pesantren, Yang biasanya tidak menetap dalam pesantren
(nglajo) dari rumahnya sendiri. Biasanya perbedaan pesantren kecil
dan pesantren besar dapat dilihat diri komposisi santri kalong.
Sebuah besar sebuah pesantren, akan semakin besar jumlah
mukimnya. Dengan kata lain, pesantren kecil akan memiliki lebih
banyak santri kalong dari pada santri mukim.
3. Pengajaran Kitab Kuning
Berdasarkan catatan sejarah, pesantren telah mengajarkan kitab-
kitab klasik, khususnya karangan-karangan madzab syafi’iyah.
Pengajaran kitab kuning berbahasa Arab $an tanpa harakat atau
sering disebut kitab gundul merupakan satu-satunya metode yang
secara formal diajarkan dalam pesantren di Indonesia. Pada
umumnya, para santri dating dari jauh dari kampung halaman
dengan tujuan ingin memperdalam kitab-kitab klasik tersebut, baik
kita` Ushul Fiqih, Fiqih, Kitab Tafsir, Hadits, dan lain sebagainya.
Para santri juga biasanya mengembangkan keahlian dalam
berbahasa Arab (Nahwu dan Sharaf), guna menggali makna dan
tafsir di balik teks-teks klasik tersebut. Ada beberapa tipe pondok
pesantren misalnya, pondok pesantren salaf, kholaf, modern,
pondok takhassus al-Qur’an. Boleh jadi lembaga, lembaga pondok
pesantren mempunyai dasar-dasar ideology keagamaan yang sama
dengan pondok pesantren yang lain, namun kedudukan masing-
masing pondok pesantren yang bersifat personal dan sangat
tergantung pada kualitas keilmuan yang dimiliki seorang kyai.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Maka manajemen Pendidikan Pesantren hakekat adalah suatu proses penataan dan
pengelolaan lembaga Pendidikan Pesantren yang melibatkan sumber daya manusia dan non
manusia dalam menggerakkan mencapai tujuan Pendidikan Pesantren secara efektif dan
efisien.”. Yang disebut “efektif dan efisien” adalah pengelolaan yang berhasil mencapai
sasaran dengan sempurna cepat tepat dan selamat. Sedangkan yang “tak efektif” adalah
pengelolaan yang tak berhasil memenuhi tujuan karena ada mis-manajemen maka manajemen
yang tak efisien adalah manajemen yang berhasil mencapai tujuan tetapi melalui
penghamburan atau pemborosan baik tenaga waktu maupun biaya.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Maraghi, Ahmad, Mustafa 1993, Al-Maraghi (terj.), (Semarang: Toha Putra)

Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Surabaya: Yayasan Latimojong, 1979)

Ar-Rifa’i, Muhammad, Nasib, Tafsir ibnu Katsir (terj.), (Jakarta:Gema Insani, 2000)

Nurwadjah, Ahmad, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, (Bandung: Marja, 2010)

Daradjat, Zakiyah, dkk, Ilmu Pendidikan ISLAM, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006).

Anda mungkin juga menyukai