GRASI DI INDONESIA
Menurut Islam dan Hukum Positif
Dibuat untuk memenuhi tugas makalah mata kuliah Ushul Fiqih yang diampu oleh Bapak
Dosen Bashoirul Anam, S.H., M.Pd.
Disusun Oleh :
Dita Puspita Sari
Nani Widianingsih Dewi
Semester 5
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
MIFTAHUL HUDA AL-AZHAR CITANGKOLO
KOTA BANJAR
TAHUN 2022
X
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
limpahan rahmat, hidayah, dan karunia-Nya yang senantiasa memberikan petunjuk dan
membimbing langkah penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Makalah
dengan judul “Grasi di Indonesia Menurut Islam dan Hukum Positif” adalah salah satu
tugas untuk menyelesaikan mata kuliah Ushul Fiqih, Sekolah Tinggi Agama Islam
Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo Kota Banjar.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan makalah ini tidak lepas dari
bantuan, bimbingan, motivasi, saran, dan kritik yang telah diberikan oleh semu pihak.
Utuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih seluruhnya kepada
Bapak Dosen Bashoirul Anam, S.H., M.Pd. dan semua pihak yang membantu dalam
pembuatan makalah ini.
Penulis telah berupaya dengan semaksimal mungkin dalam penyelesaian makalah
ini, namun penulis menyadari masih banyak kelemahan baik dari segi isi maupun tata
bahasa, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya dalam memperkaya
khasanah ilmu pengetahuan khususnya bagi para penegak hukum. Amīn yā rabbal ’ālamīn.
Penulis
X
DAFTAR ISI
Cover…………………………………...……………………………………………………i
Kata Pengantar………………...……………………………………………………………ii
Daftar Isi…………………………………………………………………………………...iii
BAB I PENDAHULUAN………………….……………………………………………….1
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………...………2
C. A. Pengertian Grasi Menurut Islam dan Hukum Positif……………………...
………2
CI. B. Analisis Berdasarkan Kewenangan Pemberian Grasi…………………………...
…3
CII.Analisis Berdasarkan Dasar Hukum Grasi………………………………………....8
BAB III PENUTUP………………………………………………………………………..13
A. Kesimpulan…………………………………………………………………………..13
B. Saran………………………………………………………………………………….14
X
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………..………
15BAB I
PENDAHULUAN
Selaku kepala negara, Presiden memiliki hak prerogatif, dalam pemberian grasi
kepada terpidana, berdasarkan penjelasan atas Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 2010
tentang Perubahan Atas Undang-undang RI Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, bahwa
pada Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 2010. Berdasarkan pasal 2 ayat (3) Undang-
Undang RI Nomor 5 tahun 2010 itu, grasi yang telah diberikan kepada terpidana, jika
mengulangi perbuatannya, tidak memungkinkan diberikan grasi yang kedua. Hal itu
menjadi dasar, bahwa seorang kepala negara tidak bisa mencabut grasi yang telah
diberikan kepada seorang terpidana. Sedangkan menurut hukum Islam, perlakuan grasi
terhadap terpidana berbeda pendapat antara pendapat fuqoha/ulama. Grasi dari presiden
hanya berlaku pada hukuman qisas diyat dan ta’zir, dan tidak berlaku bagi jarimah hudud.
Pendapat lain berpendapat bahwa presiden memiliki hak untuk memberikan pengampunan
atas seluruh tindak pidana yang diancam dengan hukuman ta„zir dan juga hak
mengampuni hukumannya jika di dalamnya terdapat kemaslahatan umum.
X
BAB II
PEMBAHASAN
Dari kedua pengertian di atas terdapat persamaaan yang cukup jelas antara
hukum pidana Islam dan hukum positif tentang pengertian grasi sebagai sebab
pengampunan pidana.
4 Departemen Agama RI., Al-Qur‟an dan Terjemahnya Juz 1-30, (Jakarta: Departemen Agama, 1984), h. 43.
X
Yang dimaksud wewenang di sini adalah justifikasi sebagai ahli waris korban untuk
menuntut qishash atau memberikan pengampunan terhadap pelaku pembunuhan
tersebut, dari sinilah timbul suatu prinsip hukum Islam bahwa dalam hal pembunuhan
di mana pelaku pembalas (penuntut) bukanlah negara melainkan ahli waris dari
yang terbunuh. Oleh karena itu, negara sendiri tidak berhak untuk memberikan
ampunan.
Imam Atau Penguasa
Di samping pengampunan bedasarkan keikhlasan ahlul bait ada juga
pengampunan berdasarkan kuasa penguasa dalam hal ini penguasa memegang
kekuasaan terhadap permasalahan yang tidak ada dalil atau dasar yang memerintahkan
atau mengatur suatu hukum tersebut hal ini dapat kita analisa dari hadis yang
diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a. sebagai berikut:
,زياد الدمشقي: حدثنا يزيد بن: قال, حدثنا محمد بن ربيعة: قال,حدثنا عبد الرحْ ن بن االسود ابو عمرو البصري
اJلمين مJدود عن المسJلم ادرءوا ْالJو وسJلى هللا عليJول هللا صJال رسJ ق:التJ عن عائشة ق, عن عروة,عن الزىزي
العفو خير من ان يخطئ في العقوبة. فان االمام ان يخطئ في, فان كان لو مخرج فخلوا سبيلو,استطعتم
Artinya: “Hindarilah oleh kalian hudud (hukum maksimal yang tidak bisa
direvisi) atas sesama muslim semampu mungkin; jika ada jalan keluar untuk
menghindar, lakukan; sungguh Imam salah dalam mengampuni lebih baik daripada
salah dalam menjatuhkan hukuman.”
Dalam riwayat lain:
َ نُ بنُ عJ نا ا ْْلَ َس, َونا إبْ راىِ ْي ُم بنُ َْحا ٍد,َربي َعة
رJَ ْ ُ نا ُمح َّم ُد بن, نا دَا ُو ُد بنُ ر َش ْي ٍد,زيز
ِ نا َع ْب ُد هِللا بنُ ُمح َّم ِد ب ِن َع ْب ِد ال َع
ْ J ق,اJJَض َي هللاُ ع َْن ه
:التJ ِ عن عَائ َشةَ ر ْ ,َ ع َْن عرْ َوة, ْ َع ِن الزىْري, ع َْن يزي َد ب ِن زيا ٍد ال َّشا ِم ِّي,َربي َعة ْ ُ نا ُمح َّم ُد بن,َفة
وْ اJJا فخَلJً ِلم َم ْخرجJت ْلل ُم ْسُُْ ْدJا ِ ْن و َجJ ف, َل ِم ْينJتطعْت ْم َع ِن ا ْل ُم ْسJاس ْ ا ْدرءوْ ا ْْال ُدوْ َد َما:صلَّى هللاُ عَلي ِْو َو َسل َم َ قال رسُوْ ُل هِللا َ
.في العقُوْ ب ِة ْ ان يُخ ِطَئ ْ في ال َع ْف ِو خَ ْي ٌر ل ُو ِم ْن
ْ فا ِ َّن ااِْل َما َم اِل ْن يُخ ِطَئ,بي ل ُوْ َس
Artinya: “Abdullah bin Muhammad bin Abdul Aziz menceritakan kepada kami, Daud
bin Rusyaid menceritakan kepada kami, Muhammad bin Rabi‟ah menceritakan
kepada kami Ibrahim bin Hammad menceritakan kepada kami, AlHasan bin Arafah
menceritakan keapda kami dari Yazid bin Ziyad Asy-Syami, dari Az-Zuhri, dari
Urwah, dari Aisyah, dia berkata: Rasulullah saw. Bersabda :
“Cegahlah agar hukum had tidak terjadi pada kaum muslimin sebatas kemampuan
kalian. Apabila kalian menemukan jalan keluar untuk seorang muslim, maka
biarkanlah dirinya. Karena sesungguhnya apabila seorang imam melakukan
X
kesalahan dalam memberikan ampunan akan lebih baik daripada ia keliru dalam
menetapkan hukuman.”5 (HR. Daruquthni)
Dalam dua hadis tersebut di atas cukuplah kiranya dasar dalil yang menyatakan
kebolehannya seorang penguasa memberi manfaat terhadap permasalahan-
permasalahan yang dihadapi yang tidak ada dalil khusus yang menangani suatu
permasalahan.
Jenis – jenis pidana dalam Islam serta hukum yang memberikan pengampunan
terhadap pelaku pidana terbagi tiga sebagai berikut:
a. Jarimah Hudud
Jarimah hudud seperti umumnya didefinisikan oleh ulama fiqih, ialah
(pidana) yang diancam hukuman hadd (terbatas), yakni hukuman yang telah
ditentukan macam dan jumlahnya dan menjadi hak Allah swt., seperti untuk tindak
pidana zina, qazf (menuduh orang lain berbuat zina), minuman keras, pencurian,
hirabah (pemberontakan ganguan keamanan), murtad, dan pemberontakan.
Ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa dalam jarimah hudud, hakim atau
penguasa tidak boleh memberi pengampunan kepada yang melakukannya, apabila
kasus tersebut telah diajukan ke pengadilan atau telah divonis oleh pengadilan.
Penyidik tidak boleh dihentikan dan keputusan hakim tidak boleh dihapuskan
melainkan harus dilaksanakan. Fukaha menyatakan bahwa jarimah hudud
merupakan hak Allah swt. pengertian “hak Allah swt.” ialah bahwa tidak seorang
pun berhak mengurangi atau menghapuskan hukuman tersebut, baik perseorangan
(sebagai korban) maupun hakim atau penguasa /kepala negara. Jarimah hudud
disebut sebagai hak Allah swt. karena dilaksanakannya hukuman tersebut
bermanfaat bagi kepentingan umum, yakni demi terpeliharanya ketentraman dan ke
amanan masyarakat.
b. Jarimah Qishash dan Diyat
Jarimah qishash dan diyat, seperti yang dikemukan oleh kebanyakan ahli
fqih, ialah perbuatan yang diancam dengan hukuman qishash (pelaksanaan
hukuman dengan cara sebagaimana pelaku pidana melaksanakan perbuatan yang
mengakibatkan orang lain wafat atau luka) atau hukuman diyat (denda materiil).
Jarimah qishash dan diat ada lima macam yaitu: (1) pembunuhan sengaja, (2)
5 Imam Al-Hafizh Ali bin Umar Ad-Daruquthni, Sunan Ad-Daruquthni Jilid 3, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008), terj. Anshori Taslim, h. 215.
X
6 Abdul Aziz Dahlan, (et al.), Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), h. 414.
7 Ibid 171
X
menurut kamus hukum berarti wewenang dari kepala negara untuk memberi
pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim untuk
menghapuskan seluruhnya, sebagian, atau merubah sifat atau bentuk hukuman itu.
Serta firman Allah swt. dalam Surah al-A„raf ayat 199 sebagai berikut:
َلعرف َوأ ْعرضْ َع ِن ٱاْْل ىِلين
ِ ُخ ِذ ٱل َع ْف َو َوأ ُمرْ بٱ
8 Departemen Agama RI., Al-Qur‟an dan Terjemahnya Juz 1-30, (Jakarta: Departemen Agama,
1984), h. 43.
X
Dan Allah swt. juga berfirman dalam Surah an-Nisā‟ ayat 85 yaitu:
صيبٌ ِّم ْن هَا َو َمن ي ْشفَ ْع َشفَا َعةً َسيئةً ي ُك ْن ل ُو ك ْف ٌل َّم ْن هَا و َكانَ ٱلل ُو
ِ َّمن ي ْشفَ ْع َشفَا َعةً َح َسنةً ي ُك ْن ل ُو ن
ًَلى ُك ِّل َش ْي ٍء ُّمقِيت ا
ٰ ع
Artinya: “Barang siapa yang memberikan syafa'at yang baik, niscaya ia akan
memperoleh kebahagian (pahala) dari padanya. Dan barang siapa memberi
syafa'at yang buruk, niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) dari padanya. Allah
maha kuasa atas segala sesuatu.”10 (Q.S. al-Nisᾱ‟:85)
Hadis Nabi
Di dalam beberapa hadis memberikan keterangan, pengampunan juga
dianjurkan dalam suatu perkara tindak pidana selama itu memang masih bisa
dimungkinkan. Sebagaimana Hadis Nabi Muhammad saw. menyatakan:
و ع َْنJ
ِ Jب ع َْن أبي ُ ُريج يُُد
ٍ َع ْيJ ِّث ع َْن َع ْم ِرو ب ِن ُش ٍ ْت ابنَ ج ُ قال ََِسع
َ ب ٍ ب رنا َ ابنُ َو ْى ْ َُّح َّدث نا سُل ْي َمانُ بنُ دَا ُو َد ال َمهْري
َ أخ
ا ب لغ ِنJJا ب يْ ن ُك ْم ف َمJJ دُو َد في َمJافوا ْْالJJصلى اللهم عَلي ِْو َو َسل َم قا َل تَ َع َ أن رسُو َل هِللاَّ اص
ِ َع ْب ِد هِللا ب ِن َع ْمرو ب ِن ال َع
ب }رواه أبو داود َ ِم ْن َح ٍّد فَ قَ ْد و َج
Artinya: “Diceritakan kepada kami oleh Sulaiman bin Daud al-Mahry; Dikabarkan
kepada kami oleh ibn Wahbin berkata, aku mendengar ibn Juraij memperbincangkan
tentang masalah „Amr bin Syu‟aib dari ayahnya dari Abdullah bin „Amr bin al-„Ash
bahwa Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda; saling memaafkanlah
kalian dalam masalah hukum had selama masih dalam urusan kalian, maka jika telah
sampai kepadaku permasalahan had tersebut, maka ia wajib untuk dilakasanakan.”
(HR. Abu Daud)
9 Ibid., h. 255.
10 Ibid., h. 133.
X
ادJزي: د بنJJدثنا يزيJJ ح:الJ ق,ةJJد بن ربيعJJدثنا محمJJ ح:الJJ ق,ريJJرو البصJJو عمJJود ابJJحدثنا عبد الرحْ ن بن االس
دود عنJJلم ادرءوا ْالJJو وسJJلى هللا عليJJول هللا صJJال رسJJ ق:التJJة قJJ عن عائش,روةJJ عن ع,زيJJ عن الزى,قيJJالدمش
ير من ان يخطئ فيJو خJJالعف. ام ان يخطئ فيJJان االمJJ ف,بيلوJJوا سJرج فخلJJو مخJJان لJ فان ك,المسلمين ما استطعتم
العقوبة
Artinya: “Hindarilah oleh kalian hudud (hukum maksimal yang tidak bisa
direvisi) atas sesama muslim semampu mungkin; jika ada jalan keluar untuk
menghindar, lakukan; sungguh Imam salah dalam mengampuni lebih baik
daripada salah dalam menjatuhkan hukuman.”
11 Imam Al-Hafizh Ali bin Umar Ad-Daruquthni, Sunan Ad-Daruquthni Jilid 3, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008), terj. Anshori Taslim, h. 215.
X
Artinya: “Diriwayatkan dari sahabat Rabi„ah bin Abi „Abdi al Rahman, suatu
ketika dalam perjalanan sahabat al-Zubair berjumpa dengan sekelompok orang
yang telah menangkap seorang pencuri yang hendak diadukan perkaranya kepada
amirul mukminin („Usman bin Affan), kemudian alZubair memberikan syafa„at
kepada pencuri tersebut, dan meminta pencuri tersebut supaya dilepaskan,
(awalnya) mereka menolak dan meminta alZubair untuk melakukannya saat
dihadapan khalifah, kemudian al-Zubair mengatakan bahwa apabila (masalah
hudud) telah sampai kepada penguasa, maka Allah akan melaknat orang yang
memberi ampun dan yang meminta ampun.”
Pada hukum positif kewenangan memberikan grasi atau menolak grasi ialah
hak presiden dalam hal kewenangan Presiden secara konstitusional baik sebagai kepala
pemerintahan (chief of executive) dan sebagai kepala negara (head of state) diatur
dalam UUD 1945. Sebagai Kepala Pemerintahan (chief of executive) terumus dalam
ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 dan sebagai kepala negara (head of state)
yang bertindak untuk dan atas nama negara ditentukan dalam Pasal 10, Pasal 11, Pasal
12, Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 15 UUD 1945. Dua kewenangan tersebut ada
pada satu tangan dan tunggal (single executive), yaitu di tangan Presiden Republik
Indonesia.
Dalam ketentuan pasal 14 ayat (1) UUD 1945, menyatakan bahwa “Presiden
memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah
Agung”. Apabila dipahami secara seksama rumusan pasal tersebut, maka ketentuan
pasal tersebut memberikan satu kewenangan konstitusional kepada presiden yaitu
memberikan grasi. Kedudukan presiden dalam memberikan grasi bertindak untuk dan
atas nama negara.
X
BAB III
PENUTUP
D. Kesimpulan
Grasi dalam hukum Islam dikenal dengan istilah al-„afwu ( )العفوdan al-
syafa„at ()الشفاعة, baik pengampunan tersebut diberikan oleh pihak korban atau yang
diberikan oleh penguasa kepada pelaku dari tindak kejahatan. Sedangkan pengertian
grasi dalam hukum positif ialah aturan dalam Undang-undang Republik Indonesia.
Grasi menurut Undang-undang No. 22 Tahun 2002 Pasal 1 yaitu sebagai
pengampunan berupa perubahan, peringan, pengurangan, atau penghapusan
pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh presiden.
Di dalam dunia Islam mengatur kewenangan dalam pemberian maaf atau
syafa‟at itu bisa dilakukan oleh ahlul bait (keluarga) dan Imam (penguasa).
Sedangkan dalam hukum positif pengampunan mutlak milik penguasa/ Presiden, hal
ini tidak ada pengampunan dari keluarga atau ahlul bait.
Dari analisis kewenangan pemberian grasi, hukum Islam tidaklah mutlak
melarang pemaafan hukuman atau Grasi oleh Presiden. Grasi diperbolehkan dalam
batas-batas yang sangat sempit dan demi pertimbangan kemaslahatan masyarakat.
Dalam hukum positif Presiden berhak menerima dan menolak pengajuan grasi
terhadap narapidana yang telah memperoleh putusan tetap dari pengadilan dalam
semua tingkatan dengan kualifikasi hukuman mati, seumur hidup, dan pidana
serendah-rendahnya dua tahun penjara..
Ada banyak dasar hukum pengampunan dalam islam seperti surah Al-Baqarah
ayat 178, surah al-A„raf ayat 199, surah an-Nisā‟ ayat 85 dan hadis. Akan tetapi
seorang hakim atau imam juga tidak boleh serta merta begitu saja memberikan
pengampunan jika suatu perkara dari seorang pelaku jarimah tersebut telah
diajukan kepadanya. Dasar hukum positif Negara adalah Undang-undang No. 22
Tahun 2002 Pasal 1 yaitu sebagai pengampunan berupa perubahan, peringanan,
pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan
oleh presiden. Dalam ketentuan pasal 14 ayat (1) UUD 1945, menyatakan bahwa
“Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan
Mahkamah Agung”. ketentuan pasal 2 ayat (1) UU No. 5 Tahun 2010, yang berbunyi:
“Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan tetap, terpidana
X
E. Saran
Berdasarkan kenyataan dan teori yang ada, penulis mengajukan saran-saran
yang mungkin bermanfaat bagi kemajuan, yaitu :
1. Perlu adanya regulasi dan pengawasan yang tegas dalam memuat pasal dan ayat
yang ada dalam undang-undang grasi saat ini yang berlaku, terutama mengenai
kewenangan presiden yang begitu besar dalam pemberian grasi yang dalam
undang-undang tentang grasi tanpa pencantuman jenis dan tindak pidana apa saja
yang bisa mengajukan grasi, Sekalipun dengan adanya katagori hukum yang telah
mengindetifikasi pidana berat.
2. Seharusnya pemerintah dalam membuat kebijakan dalam pemberian
pengampunan harus berasaskan atas prisip kemaslahatan umat seperti yang
tertuang pada konsep Fiqh Siyasah.
X
DAFTAR PUSTAKA
Internet :
“Analisis Grasi Sebagai Sebab Pengampunan Pidana Tinjauan Hukum Pidana Islam Dan
Hukum Positif”, (https://idr.uin-antasari.ac.id/4192/6/bab%20iii.pdf), (13 Oktober
2022).
“Tinjauan Fikih Siyasah tentang Hak Prerogatif Presiden”,
(http://repository.radenintan.ac.id/2933/1/SKRIPSI_PEGI.pdf), (13 Oktober 2022).
“Analisis Hukum Islam Terhadap Kewenangan Presiden Dalam Pemberian Grasi”,
(file:///C:/Users/alexa/Downloads/112211010.pdf) (13 Oktober 2022).