Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH USHUL FIQIH

GRASI DI INDONESIA
Menurut Islam dan Hukum Positif

Dibuat untuk memenuhi tugas makalah mata kuliah Ushul Fiqih yang diampu oleh Bapak
Dosen Bashoirul Anam, S.H., M.Pd.

Disusun Oleh :
Dita Puspita Sari
Nani Widianingsih Dewi

Semester 5

JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
MIFTAHUL HUDA AL-AZHAR CITANGKOLO
KOTA BANJAR
TAHUN 2022
X

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
limpahan rahmat, hidayah, dan karunia-Nya yang senantiasa memberikan petunjuk dan
membimbing langkah penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Makalah
dengan judul “Grasi di Indonesia Menurut Islam dan Hukum Positif” adalah salah satu
tugas untuk menyelesaikan mata kuliah Ushul Fiqih, Sekolah Tinggi Agama Islam
Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo Kota Banjar.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan makalah ini tidak lepas dari
bantuan, bimbingan, motivasi, saran, dan kritik yang telah diberikan oleh semu pihak.
Utuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih seluruhnya kepada
Bapak Dosen Bashoirul Anam, S.H., M.Pd. dan semua pihak yang membantu dalam
pembuatan makalah ini.
Penulis telah berupaya dengan semaksimal mungkin dalam penyelesaian makalah
ini, namun penulis menyadari masih banyak kelemahan baik dari segi isi maupun tata
bahasa, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya dalam memperkaya
khasanah ilmu pengetahuan khususnya bagi para penegak hukum. Amīn yā rabbal ’ālamīn.

Gandrungmangu, 13 Oktober 2022

Penulis
X

DAFTAR ISI

Cover…………………………………...……………………………………………………i
Kata Pengantar………………...……………………………………………………………ii
Daftar Isi…………………………………………………………………………………...iii
BAB I PENDAHULUAN………………….……………………………………………….1
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………...………2
C. A. Pengertian Grasi Menurut Islam dan Hukum Positif……………………...
………2
CI. B. Analisis Berdasarkan Kewenangan Pemberian Grasi…………………………...
…3
CII.Analisis Berdasarkan Dasar Hukum Grasi………………………………………....8
BAB III PENUTUP………………………………………………………………………..13
A. Kesimpulan…………………………………………………………………………..13
B. Saran………………………………………………………………………………….14
X

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………..………
15BAB I
PENDAHULUAN

Selaku kepala negara, Presiden memiliki hak prerogatif, dalam pemberian grasi
kepada terpidana, berdasarkan penjelasan atas Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 2010
tentang Perubahan Atas Undang-undang RI Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, bahwa
pada Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 2010. Berdasarkan pasal 2 ayat (3) Undang-
Undang RI Nomor 5 tahun 2010 itu, grasi yang telah diberikan kepada terpidana, jika
mengulangi perbuatannya, tidak memungkinkan diberikan grasi yang kedua. Hal itu
menjadi dasar, bahwa seorang kepala negara tidak bisa mencabut grasi yang telah
diberikan kepada seorang terpidana. Sedangkan menurut hukum Islam, perlakuan grasi
terhadap terpidana berbeda pendapat antara pendapat fuqoha/ulama. Grasi dari presiden
hanya berlaku pada hukuman qisas diyat dan ta’zir, dan tidak berlaku bagi jarimah hudud.
Pendapat lain berpendapat bahwa presiden memiliki hak untuk memberikan pengampunan
atas seluruh tindak pidana yang diancam dengan hukuman ta„zir dan juga hak
mengampuni hukumannya jika di dalamnya terdapat kemaslahatan umum.
X

BAB II
PEMBAHASAN

CIII. A. Pengertian Grasi Menurut Islam dan Hukum Positif


Islam merupakan aturan agama untuk menjamin, melindungi dan menjaga
kemaslahatan ummat manusia, baik berupa perintah atau larangan yang bersifat
mengikat dan harus dipatuhi oleh ummatnya. Dalam hal tertentu, aturan tersebut sudah
disertai ancaman dunia disertai ancaman akhirat apabila dilanggar.1
Di dalam agama Islam tidak menyebutkan secara khusus tentang pengertian
serta pembahasan tentang grasi tapi istilah yang dikenal dalam hukum Islam hanya
dibahasa masalah pengampunan, dengan istilah al-„afwu (‫ )العفو‬dan al-syafa„at (
‫)الشفاعة‬, baik pengampunan tersebut diberikan oleh pihak korban atau yang diberikan
oleh penguasa kepada pelaku dari tindak kejahatan.
Kata al-„afwu (‫ )العفو‬menurut istilah adalah setiap pembuat dosa (pelaku
kejahatan) yang seharusnya menjalani hukuman menjadi terhapuskan sebab telah
mendapatkan pengampunan. Sementara itu kata al-syafa„at (‫فاعة‬JJ‫ )الش‬dalam kamus
bahasa Arab merupakan lawan kata dari al-witru (‫وتر‬JJ‫ )ال‬atau - ganjil - yang
mengandung arti genap, sepasang, sejodoh, perantaraan, pertolongan dan bantuan.2
Sebagaimana perantaraan atau pertolongan dari seseorang dalam menyampaikan
kebaikan atau menolak kejahatan. Adapun kata al-syafa„at (‫ )الشفاعة‬sendiri berasal dari
kata syafa„a (‫ )شفع‬yang juga berarti menghimpun, mengumpulkan atau menggandakan
sesuatu dengan sejenisnya. Dalam hal permasalahan istilah ini diterangkan pada QS.
al-Baqarah: 178, Q.S. al-„Araf: 199, Q.S. an-Nisā: 85 serta hadis yang yang
diriwayatakan oleh Abu Daud.

Sementara pada hukum positif terdapat istilah grasi yang bermakna


pengampunan, perubahan, peringanan serta penghapusan yakni terdapat pada UUD RI
1945 pasal 14 yang senada dengan pengertian grasi dalam hukum positif ialah aturan
dalam Undang-undang Republik Indonesia grasi menurut Undang-undang No. 22

1 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 10. Terjemah. Moh Talib, h. 10

2 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,


(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 729.
X

Tahun 2002 Pasal 1 yaitu sebagai pengampunan berupa perubahan, peringan,


pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan
oleh presiden. Sedangkan grasi menurut kamus hukum berarti wewenang dari kepala
negara untuk memberi pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh
hakim untuk menghapuskan seluruhnya, sebagian, atau merubah sifat atau bentuk
hukuman itu.3

Dari kedua pengertian di atas terdapat persamaaan yang cukup jelas antara
hukum pidana Islam dan hukum positif tentang pengertian grasi sebagai sebab
pengampunan pidana.

CIV. B. Analisis Berdasarkan Kewenangan Pemberian Grasi


Di dalam dunia Islam mengatur kewenangan dalam pemberian maaf atau
syafa‟at itu bisa dilakukan oleh golongan ini yaitu:
Ahlul Bait
Hal ini kiranya bisa kita temukan landasan hukum yang mendasari kenapa
ahlul bait atau keluarga menjadi objek pemberi maaf sebagai peniadaan hukum hal ini
terlihat pada QS. Al-Baqarah: 178
‫و‬J
ِ J‫أخي‬ِ ‫ثى ف َم ْن عفِى ل ُو ِم ْن‬
ٰ ‫ألن‬ ْْ
ْ ‫بال ِّر َوٱل َع ْب ُد بٱل َع ْب ِد َوٱألنثىٰ بٱ‬ ُّ‫ت لى ٱ ْْلر‬ ْ َ‫ف ٱلق‬
ِ ُ‫صاص‬ َ ِ‫تب عَل ْي ُك ُم ٱلق‬
َ ‫نوا ُك‬ْ ‫يأي هَا ٱل ِذينَ آ َم‬
‫ َذابٌ َألي ٌم‬J‫ ُو َع‬J‫ك فَ ل‬ ْ ‫ِّمن رب ُك ْم َو‬
َ ‫رحْ ةٌ ف َم ِن ٱ ْعتدَىٰ ب ْع َد ذٰل‬ ٌ ِ‫ك تَف‬
‫يف‬ ٍ ‫روف َوأدَآ ٌء إلي ِْو بإحْ َس‬
َ ‫ان ذٰل‬ ‫باع بٱل َم ْع‬ ِّ ‫َش ْي ٌء فٱ‬
ِ ٌِ ‫ت‬
﴾٨٧١﴿
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman. Diwajibkan atasmu qiyas dalam perkara
pembunuhnan: orang merdeka dengan orang merdeka, Hamba denga hamba, Dan
wanita dengan wanita, Barangsiapa yang mendapat pemaafan dari saudara
terbunuh, cara itu hendaklah dituruti oleh pihak-pihak yang memaafkan dengan
sebaik-baiknya, dan hendaklah (yang diberi ma‟af) membayar (diat) kepada yang
memberi ma‟af dengan cara yang baik (pula). Demekian itu adalah suatu keringan
dari tuhan kamu dan suatu rahmat, Barangsiapa yang melampui batas sesudahnya itu,
maka bagi siksa yang sangat pedih.”4 (QS. al-Baqarah: 178)
Pada ayat ini Allah telah memberikan wewenang kepada ahli waris terbunuh,
tetapi tidak boleh melampaui batas dalam melaksanakan pembalasan darah tersebut.

3 JCT. Simorangkir, Kamus Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 58.

4 Departemen Agama RI., Al-Qur‟an dan Terjemahnya Juz 1-30, (Jakarta: Departemen Agama, 1984), h. 43.
X

Yang dimaksud wewenang di sini adalah justifikasi sebagai ahli waris korban untuk
menuntut qishash atau memberikan pengampunan terhadap pelaku pembunuhan
tersebut, dari sinilah timbul suatu prinsip hukum Islam bahwa dalam hal pembunuhan
di mana pelaku pembalas (penuntut) bukanlah negara melainkan ahli waris dari
yang terbunuh. Oleh karena itu, negara sendiri tidak berhak untuk memberikan
ampunan.
Imam Atau Penguasa
Di samping pengampunan bedasarkan keikhlasan ahlul bait ada juga
pengampunan berdasarkan kuasa penguasa dalam hal ini penguasa memegang
kekuasaan terhadap permasalahan yang tidak ada dalil atau dasar yang memerintahkan
atau mengatur suatu hukum tersebut hal ini dapat kita analisa dari hadis yang
diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a. sebagai berikut:
,‫زياد الدمشقي‬: ‫ حدثنا يزيد بن‬:‫ قال‬,‫ حدثنا محمد بن ربيعة‬:‫ قال‬,‫حدثنا عبد الرحْ ن بن االسود ابو عمرو البصري‬
‫ا‬J‫لمين م‬J‫دود عن المس‬J‫لم ادرءوا ْال‬J‫و وس‬J‫لى هللا علي‬J‫ول هللا ص‬J‫ال رس‬J‫ ق‬:‫الت‬J‫ عن عائشة ق‬,‫ عن عروة‬,‫عن الزىزي‬
‫العفو خير من ان يخطئ في العقوبة‬. ‫ فان االمام ان يخطئ في‬,‫ فان كان لو مخرج فخلوا سبيلو‬,‫استطعتم‬
Artinya: “Hindarilah oleh kalian hudud (hukum maksimal yang tidak bisa
direvisi) atas sesama muslim semampu mungkin; jika ada jalan keluar untuk
menghindar, lakukan; sungguh Imam salah dalam mengampuni lebih baik daripada
salah dalam menjatuhkan hukuman.”
Dalam riwayat lain:
َ ‫نُ بنُ ع‬J‫ نا ا ْْلَ َس‬,‫ َونا إبْ راىِ ْي ُم بنُ َْحا ٍد‬,َ‫ربي َعة‬
‫ر‬Jَ ْ ُ‫ نا ُمح َّم ُد بن‬,‫ نا دَا ُو ُد بنُ ر َش ْي ٍد‬,‫زيز‬
ِ ‫نا َع ْب ُد هِللا بنُ ُمح َّم ِد ب ِن َع ْب ِد ال َع‬
ْ J‫ ق‬,‫ا‬JJَ‫ض َي هللاُ ع َْن ه‬
:‫الت‬J ِ ‫عن عَائ َشةَ ر‬ ْ ,َ‫ ع َْن عرْ َوة‬, ْ‫ َع ِن الزىْري‬,‫ ع َْن يزي َد ب ِن زيا ٍد ال َّشا ِم ِّي‬,َ‫ربي َعة‬ ْ ُ‫ نا ُمح َّم ُد بن‬,َ‫فة‬
‫وْ ا‬JJ‫ا فخَل‬Jً‫ ِلم َم ْخرج‬J‫ت ْلل ُم ْس‬ُُْ ‫ ْد‬J‫ا ِ ْن و َج‬J‫ ف‬, َ‫ل ِم ْين‬J‫تطعْت ْم َع ِن ا ْل ُم ْس‬J‫اس‬ ْ ‫ ا ْدرءوْ ا ْْال ُدوْ َد َما‬:‫صلَّى هللاُ عَلي ِْو َو َسل َم‬ َ ‫قال رسُوْ ُل هِللا‬ َ
.‫في العقُوْ ب ِة‬ ْ ‫ان يُخ ِطَئ‬ ْ ‫في ال َع ْف ِو خَ ْي ٌر ل ُو ِم ْن‬
ْ ‫ فا ِ َّن ااِْل َما َم اِل ْن يُخ ِطَئ‬,‫بي ل ُو‬ْ ‫َس‬
Artinya: “Abdullah bin Muhammad bin Abdul Aziz menceritakan kepada kami, Daud
bin Rusyaid menceritakan kepada kami, Muhammad bin Rabi‟ah menceritakan
kepada kami Ibrahim bin Hammad menceritakan kepada kami, AlHasan bin Arafah
menceritakan keapda kami dari Yazid bin Ziyad Asy-Syami, dari Az-Zuhri, dari
Urwah, dari Aisyah, dia berkata: Rasulullah saw. Bersabda :
“Cegahlah agar hukum had tidak terjadi pada kaum muslimin sebatas kemampuan
kalian. Apabila kalian menemukan jalan keluar untuk seorang muslim, maka
biarkanlah dirinya. Karena sesungguhnya apabila seorang imam melakukan
X

kesalahan dalam memberikan ampunan akan lebih baik daripada ia keliru dalam
menetapkan hukuman.”5 (HR. Daruquthni)
Dalam dua hadis tersebut di atas cukuplah kiranya dasar dalil yang menyatakan
kebolehannya seorang penguasa memberi manfaat terhadap permasalahan-
permasalahan yang dihadapi yang tidak ada dalil khusus yang menangani suatu
permasalahan.
Jenis – jenis pidana dalam Islam serta hukum yang memberikan pengampunan
terhadap pelaku pidana terbagi tiga sebagai berikut:
a. Jarimah Hudud
Jarimah hudud seperti umumnya didefinisikan oleh ulama fiqih, ialah
(pidana) yang diancam hukuman hadd (terbatas), yakni hukuman yang telah
ditentukan macam dan jumlahnya dan menjadi hak Allah swt., seperti untuk tindak
pidana zina, qazf (menuduh orang lain berbuat zina), minuman keras, pencurian,
hirabah (pemberontakan ganguan keamanan), murtad, dan pemberontakan.
Ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa dalam jarimah hudud, hakim atau
penguasa tidak boleh memberi pengampunan kepada yang melakukannya, apabila
kasus tersebut telah diajukan ke pengadilan atau telah divonis oleh pengadilan.
Penyidik tidak boleh dihentikan dan keputusan hakim tidak boleh dihapuskan
melainkan harus dilaksanakan. Fukaha menyatakan bahwa jarimah hudud
merupakan hak Allah swt. pengertian “hak Allah swt.” ialah bahwa tidak seorang
pun berhak mengurangi atau menghapuskan hukuman tersebut, baik perseorangan
(sebagai korban) maupun hakim atau penguasa /kepala negara. Jarimah hudud
disebut sebagai hak Allah swt. karena dilaksanakannya hukuman tersebut
bermanfaat bagi kepentingan umum, yakni demi terpeliharanya ketentraman dan ke
amanan masyarakat.
b. Jarimah Qishash dan Diyat
Jarimah qishash dan diyat, seperti yang dikemukan oleh kebanyakan ahli
fqih, ialah perbuatan yang diancam dengan hukuman qishash (pelaksanaan
hukuman dengan cara sebagaimana pelaku pidana melaksanakan perbuatan yang
mengakibatkan orang lain wafat atau luka) atau hukuman diyat (denda materiil).
Jarimah qishash dan diat ada lima macam yaitu: (1) pembunuhan sengaja, (2)

5 Imam Al-Hafizh Ali bin Umar Ad-Daruquthni, Sunan Ad-Daruquthni Jilid 3, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008), terj. Anshori Taslim, h. 215.
X

pembunuhan semi sengaja, (3) pembunuhan tersalah/tidak sengaja, (4)


penganiayaan sengaja, dan (5) penganiayaan tersalah/tidak sengaja.
Dalam jarimah qishash dan diyat, kekuasaan kehakiman terbatas pada
penjatuhkan hukuman yang telah ditetapkan apabila perbuatan yang dituduhkan
kepada pelakunya dapat dibuktikan. Hakim tidak mempunyai wewenang
memberikan pengampunan yang berupa pembebasan atau pengurangan hukuman.
Akan tetapi, menurut kesepakatan ulama, pada jarimah-jarimah qishash dan diat,
pengampunan bisa diberikan oleh korban atau walinya. Karena jarimah ini
merupakan hak hamba (perseorangan), maka korban atau wali tersebut mempunyai
wewenang untuk menggunakan haknya. Pengampunan yang diberikannya
berpengaruh dan oleh karena itu si korban bisa memaafkan pelaku yang dikenai
hukuman qisas dan menggantinya dengan hukuman diat atau bahkan bisa
membebaskannya dari hukuman diat. Dasar adanya hak memberikan pengampunan
bagi korban atau walinya ialah firman Allah swt. dalam surah al-Baqarah (2) ayat
178.
c. Jarimah Ta‟zir
Jarimah ta‟zir, seperti yang dikemukakan oleh kebanyakan ulama fqih, ialah
perbuatan-perbuatan yang diancam dengan satu atau beberapa hukuman ta‟zir.
Ta‟zir berarti “memberi pengajaran” (at-ta‟dib). Syara‟ tidak menentukan macam-
macam hukuman untuk setiap jarimah ta‟zir. Dalam hal ini hakim diberi kebebasan
untuk memilih hukuman yang sesuai dengan macam jarimah ta‟zir serta kondisi
pelakunya. Ancaman hukuman jarimah ta‟zir tidak mempunyai batas tertentu
seperti pada jarimah hudud dan qishash.
Jarimah ta‟zir terbagi atas dua macam: (1) jarimah ta‟zir yang ditentukan
oleh syara‟ seperti riba, menggelapkan titipan orang lain, memaki-maki orang lain,
suap/sogok, dan pelanggaran lain yang tidak diancam dengan hukuman hudud,
qishash dan diyat; dan (2) jarimah ta‟zir yang hukumnya ditentukan oleh penguasa
dengan syarat harus sesuai dengan kepentingan masyarakat dan tidak berlawanan
dengan hukum Islam. Karena pada jarimah ta‟zir ini penguasa mempunyai
wewenang untuk menentukan jenis dan ancaman hukuman, maka penguasa
mempunyai wewenang memberikan pengampunan atau penghapusan terhadap
hukuman yang telah ditetapkan oleh hakim.
Menurut Ibnu Abdul Barr, hal ini sudah disepakati oleh fuqaha dengan dasar
hadis Nabi saw.: “Bebaskanlah orang-orang yang baik itu atas maksiat yang mereka
X

lakukan, kecuali maksiat (yang dilakukannya itu) merupakan pelanggaran yang


diancam dengan hukuman hadd” (HR. Ahmad bin Hanbal dan Abu Dawud). Hadis
ini, menurut fuqaha mengandung pengertian bahwa hanya untuk jarimah hudud
tidak boleh diberi penghapusan atau pengampunan. Dengan demikian, untuk
jarimah ta‟zir hakim atau penguasa memiliki wewenang untuk menghentikan
penyidikan atau memberikan pengampunan terhadap terhukum.6

Dalam kewenangan pemberian ampunan, fuqaha‟ ada beberapa pendapat


tentang boleh tidaknya penguasa memberikan pengampunan terhadap semua tindak
pidana ta„zir atau terbatas pada sebagiannya saja.7
Sebagian ulama (kelompok pertama) berpendapat bahwa penguasa tidak
memiliki hak pengampunan pada tindak pidana kisas dan hudud yang sempurna yang
tidak boleh dijatuhi hukuman kisas dan hudud, tetapi ia harus dijatuhi hukuman ta’zir
yang sesuai dengan tindak pidana yang telah dilakukannya. Dalam hal ini, penguasa
boleh mengampuni tindak pidana dan hukumannya jika ia melihat ada kemaslahatan
umum di dalamnya dan setelah menghilangkan dorongan hawa nafsu.
Sementara itu, sebagaian ulama yang lain (kelompok kedua) berpendapat
bahwa penguasa memiliki hak untuk memberikan pengampunan atas seluruh tindak
pidana yang diancam dengan hukuman ta’zir dan juga hak mengampuni hukumannya
jika di dalamnya terdapat kemaslahatan umum. Dari kedua pendapat ulama tersebut,
dapat kita lihat bahwa kelompok pertama lebih dekat dengan logika hukum Islam yang
berkaitan dengan tindak pidana hudud dan kisas
Sementara itu di negeri kita dalam hukum positif yang memakai hukum delik
aduan, maka jelaslah peran seseorang melakukan perbuatan melawan hukum seperti
pembunuhan pencurian dan lain-lain maka sudah barang tentu akan mendapatkan
hukuman yang telah diatur dalam UU Pidana, dalam hukum positif pengampunan
mutlak milik penguasa/ Peresiden, hal ini tidak ada pengampunan dapat diberikan
kepada keluarga atau ahlul bait. Hal ini kiranya dapat kita liat pada UUD 1945 Pasal
14 dan Grasi menurut Undang-undang No. 22 Tahun 2002 Pasal 1 yaitu sebagai
pengampunan berupa perubahan, peringan, pengurangan, atau penghapusan
pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh presiden. Sedangkan grasi

6 Abdul Aziz Dahlan, (et al.), Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), h. 414.

7 Ibid 171
X

menurut kamus hukum berarti wewenang dari kepala negara untuk memberi
pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim untuk
menghapuskan seluruhnya, sebagian, atau merubah sifat atau bentuk hukuman itu.

Dari analisis kewenangan pemberian grasi, hukum Islam tidaklah mutlak


melarang pemaafan hukuman atau Grasi oleh Presiden. Grasi diperbolehkan dalam
batas-batas yang sangat sempit dan demi pertimbangan kemaslahatan masyarakat.
Dalam hukum positif Presiden berhak menerima dan menolak pengajuan grasi
terhadap narapidana yang telah memperoleh putusan tetap dari pengadilan dalam
semua tingkatan dengan kualifikasi hukuman mati, seumur hidup, dan pidana
serendah-rendahnya dua tahun penjara.

C. Analisis Berdasarkan Dasar Hukum Grasi


Untuk menganalisa suatu hukum maka diperlukan landasan hukum yang
mendasari suatu pengambilan hukum yang dilakukan oleh penegak hukum itu sendiri
dalam hukum Islam maka mereka bersandar pada firman Allah swt. dalam surat Al-
Baqarah ayat 178 yaitu:
ْ
‫و‬J ِ ‫ثى ف َم ْن عفِى ل ُو ِم ْن‬
ِ J‫أخي‬ ٰ ‫ألن‬ ْ ‫ت لى ٱ ْْلرُّ با ْلُ ِّر َوٱل َع ْب ُد بٱل َع ْب ِد َوٱألنثىٰ بٱ‬ ْ َ‫ف ٱلق‬ ِ ُ‫صاص‬ َ ِ‫تب عَل ْي ُك ُم ٱلق‬ ْ ‫يأي هَا ٱل ِذينَ آ َم‬
َ ‫نوا ُك‬
َ J ‫يف ِّمن رب ُك ْم َور َْْحةٌ ف َم ِن ٱ ْعتَدَىٰ ب ْع َد ذٰل‬
‫ َذابٌ ألي ٌم‬J‫ ُو َع‬J ‫ك فَ ل‬ ٌ ِ‫ك تََْف‬َ ‫ْروف َوأدَآ ٌء إلي ِْو بإحْ َسا ٍن ذٰل‬
ِ ‫باع بٱل َمع‬
ٌِ ‫ت‬ ِّ ‫َش ْي ٌء فٱ‬
﴾٨٧١﴿
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman. Diwajibkan atasmu qiyas dalam perkara
pembunuhnan: orang merdeka dengan orang merdeka, Hamba denga hamba, Dan
wanita dengan wanita, Barangsiapa yang mendapat pemaafan dari saudara terbuhuh,
cara itu hendaklah dituruti oleh pihak-pihak yang memaafkan dengan sebaik-baiknya,
dan hendaklah (yang diberi ma‟af) membayar (diat) kepada yang memberi ma‟af
dengan cara yang baik (pula). Demekian itu adalah suatu keringan dari tuhan kamu
dan suatu rahmat, Barangsiapa yang melampui batas sesudahnya itu, maka bagi siksa
yang sangat pedih.”8 (QS. al-Baqarah: 178)

Serta firman Allah swt. dalam Surah al-A„raf ayat 199 sebagai berikut:
َ‫لعرف َوأ ْعرضْ َع ِن ٱاْْل ىِلين‬
ِ ‫ُخ ِذ ٱل َع ْف َو َوأ ُمرْ بٱ‬

8 Departemen Agama RI., Al-Qur‟an dan Terjemahnya Juz 1-30, (Jakarta: Departemen Agama,
1984), h. 43.
X

Artinya: “Jadilah engkau pemaaf (mudah memafkan di dalam menghadapi


perlakuan orang-orang, dan janganlah membalas) dan suruhlah orang
mengerjakan makruf (perkara kebaikan), dan berpalinglah dari pada orang-orang
bodoh (janganlah engkau melayani kebodohan mereka).”9 (Q.S. al-A„raf: 199)

Dan Allah swt. juga berfirman dalam Surah an-Nisā‟ ayat 85 yaitu:
‫صيبٌ ِّم ْن هَا َو َمن ي ْشفَ ْع َشفَا َعةً َسيئةً ي ُك ْن ل ُو ك ْف ٌل َّم ْن هَا و َكانَ ٱلل ُو‬
ِ ‫َّمن ي ْشفَ ْع َشفَا َعةً َح َسنةً ي ُك ْن ل ُو ن‬
ً‫َلى ُك ِّل َش ْي ٍء ُّمقِيت ا‬
ٰ ‫ع‬
Artinya: “Barang siapa yang memberikan syafa'at yang baik, niscaya ia akan
memperoleh kebahagian (pahala) dari padanya. Dan barang siapa memberi
syafa'at yang buruk, niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) dari padanya. Allah
maha kuasa atas segala sesuatu.”10 (Q.S. al-Nisᾱ‟:85)

Hadis Nabi
Di dalam beberapa hadis memberikan keterangan, pengampunan juga
dianjurkan dalam suatu perkara tindak pidana selama itu memang masih bisa
dimungkinkan. Sebagaimana Hadis Nabi Muhammad saw. menyatakan:
‫و ع َْن‬J
ِ J‫ب ع َْن أبي‬ ُ ‫ُريج يُُد‬
ٍ ‫ َع ْي‬J ‫ِّث ع َْن َع ْم ِرو ب ِن ُش‬ ٍ ‫ْت ابنَ ج‬ ُ ‫قال ََِسع‬
َ ‫ب‬ ٍ ‫ب رنا َ ابنُ َو ْى‬ ْ ُّ‫َح َّدث نا سُل ْي َمانُ بنُ دَا ُو َد ال َمهْري‬
َ ‫أخ‬
‫ا ب لغ ِن‬JJ‫ا ب يْ ن ُك ْم ف َم‬JJ‫ دُو َد في َم‬J‫افوا ْْال‬JJ‫صلى اللهم عَلي ِْو َو َسل َم قا َل تَ َع‬ َ ‫أن رسُو َل هِللا‬َّ ‫اص‬
ِ ‫َع ْب ِد هِللا ب ِن َع ْمرو ب ِن ال َع‬
‫ب }رواه أبو داود‬ َ ‫ِم ْن َح ٍّد فَ قَ ْد و َج‬
Artinya: “Diceritakan kepada kami oleh Sulaiman bin Daud al-Mahry; Dikabarkan
kepada kami oleh ibn Wahbin berkata, aku mendengar ibn Juraij memperbincangkan
tentang masalah „Amr bin Syu‟aib dari ayahnya dari Abdullah bin „Amr bin al-„Ash
bahwa Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda; saling memaafkanlah
kalian dalam masalah hukum had selama masih dalam urusan kalian, maka jika telah
sampai kepadaku permasalahan had tersebut, maka ia wajib untuk dilakasanakan.”
(HR. Abu Daud)

Hadis yang diriwayatkan dari ‘Aisyah ra. sebagai berikut:

9 Ibid., h. 255.

10 Ibid., h. 133.
X

‫اد‬J‫زي‬: ‫د بن‬JJ‫دثنا يزي‬JJ‫ ح‬:‫ال‬J‫ ق‬,‫ة‬JJ‫د بن ربيع‬JJ‫دثنا محم‬JJ‫ ح‬:‫ال‬JJ‫ ق‬,‫ري‬JJ‫رو البص‬JJ‫و عم‬JJ‫ود اب‬JJ‫حدثنا عبد الرحْ ن بن االس‬
‫دود عن‬JJ‫لم ادرءوا ْال‬JJ‫و وس‬JJ‫لى هللا علي‬JJ‫ول هللا ص‬JJ‫ال رس‬JJ‫ ق‬:‫الت‬JJ‫ة ق‬JJ‫ عن عائش‬,‫روة‬JJ‫ عن ع‬,‫زي‬JJ‫ عن الزى‬,‫قي‬JJ‫الدمش‬
‫ير من ان يخطئ في‬J‫و خ‬JJ‫العف‬. ‫ام ان يخطئ في‬JJ‫ان االم‬JJ‫ ف‬,‫بيلو‬JJ‫وا س‬J‫رج فخل‬JJ‫و مخ‬JJ‫ان ل‬J‫ فان ك‬,‫المسلمين ما استطعتم‬
‫العقوبة‬
Artinya: “Hindarilah oleh kalian hudud (hukum maksimal yang tidak bisa
direvisi) atas sesama muslim semampu mungkin; jika ada jalan keluar untuk
menghindar, lakukan; sungguh Imam salah dalam mengampuni lebih baik
daripada salah dalam menjatuhkan hukuman.”

Dalam riwayat lain:


ُ‫نُ بن‬J‫ا ْْال َس‬JJ‫ ن‬,‫ ا ٍد‬J‫ا إبْ راىِ ْي ُم بنُ َْح‬JJ‫ َون‬,َ‫ ة‬J‫ربي َع‬ ْ ُ‫ا ُمح َّم ُد بن‬JJ‫ ن‬,‫ ْي ٍد‬J‫رش‬َ ُ‫ا دَا ُو ُد بن‬JJ‫ ن‬,‫زيز‬
ِ ‫نا َع ْب ُد هِللا بنُ ُمح َّم ِد ب ِن َع ْب ِد ال َع‬
,‫ا‬Jَ‫ َي هللاُ ع َْن ه‬J‫رض‬ ِ َ‫ة‬J‫ا ِئ َش‬Jَ‫ ع َْن ع‬,‫رْ َوَة‬J‫ ع َْن ع‬, ْ‫ ع َِن الزىْري‬,‫ ع َْن يزي َد ب ِن زيا ٍد ال َّشا ِم ِّي‬,َ‫ربي َعة‬ ْ ُ‫ نا ُمح َّم ُد بن‬,َ‫عَرفة‬
‫ا‬Jً‫ ِلم َمخرج‬J‫ت ْلل ُم ْس‬ ُُْ ‫ ْد‬J‫وج‬
َ ‫ا ِ ْن‬J‫ ف‬, َ‫ل ِم ْين‬J‫تطعْت ْم َع ِن ال ُم ْس‬J‫اس‬ ْ ‫ا‬J‫ ا ْدرءوْ ا ْْال ُدوْ َد َم‬:‫صلى هللاُ عَلي ِْو َو َسل َم‬
َ ‫ قا َل رسُوْ ُل هِللا‬:‫قالت‬ ْ
.‫في العقُوْ ب ِة‬ ْ ‫ان يُخطَِئ‬ ْ ‫َي ٌر ل ُو ِم ْن‬ ْ ‫في ْال َع ْف ِو خ‬
ْ ‫فان ااِْل َما َم اِل َ ْن يُخطَِئ‬
َّ ,‫بي ل ُو‬ ْ ‫فَخَ لوْ ا َس‬
Artinya: “Abdullah bin Muhammad bin Abdul Aziz menceritakan kepada kami, Daud
bin Rusyaid menceritakan kepada kami, Muhammad bin Rabi‟ah menceritakan
kepada kami Ibrahim bin Hammad menceritakan kepada kami, AlHasan bin Arafah
menceritakan keapda kami dari Yazid bin Ziyad Asy-Syami, dari Az-Zuhri, dari
Urwah, dari Aisyah, dia berkata: Rasulullah saw. bersabda, “Cegahlah agar hukum
had tidak terjadi pada kaum muslimin sebatas kemampuan kalian. Apabila kalian
menemukan jalan keluar untuk seorang muslim, maka biarkanlah dirinya. Karena
sesungguhnya apabila seorang imam melakukan kesalahan dalam memberikan
ampunan akan lebih baik daripada ia keliru dalam menetapkan hukuman.” 11 (HR.
Daruquthni)
Akan tetapi seorang hakim atau imam juga tidak boleh serta merta begitu saja
memberikan pengampunan jika suatu perkara dari seorang pelaku jarimah
tersebut telah diajukan kepadanya. Karena dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Malik sebagaimana berikut:
.‫لطان‬JJ‫و الى الس‬JJ‫ذىب ب‬JJ‫د ان ي‬JJ‫و يري‬JJ‫ وى‬.‫ ان الزبير بن العوام لقي رجال قد اخذ سارقا‬,‫عن ربيعة بن ابي عبد الرحْ ن‬
‫افع‬JJ‫ فلعن هللا الش‬,‫لطان‬JJ‫و الس‬JJ‫ اذا بلغت ب‬:‫ير‬JJ‫ال الزب‬JJ‫ فق‬.‫لطان‬JJ‫و الس‬JJ‫غ ب‬JJ‫تى ابل‬JJ‫ ح‬.‫ ال‬:‫ال‬JJ‫ فق‬.‫لو‬JJ‫ير ليرس‬JJ‫فشفع لو الزب‬
.‫والمشفع‬

11 Imam Al-Hafizh Ali bin Umar Ad-Daruquthni, Sunan Ad-Daruquthni Jilid 3, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008), terj. Anshori Taslim, h. 215.
X

Artinya: “Diriwayatkan dari sahabat Rabi„ah bin Abi „Abdi al Rahman, suatu
ketika dalam perjalanan sahabat al-Zubair berjumpa dengan sekelompok orang
yang telah menangkap seorang pencuri yang hendak diadukan perkaranya kepada
amirul mukminin („Usman bin Affan), kemudian alZubair memberikan syafa„at
kepada pencuri tersebut, dan meminta pencuri tersebut supaya dilepaskan,
(awalnya) mereka menolak dan meminta alZubair untuk melakukannya saat
dihadapan khalifah, kemudian al-Zubair mengatakan bahwa apabila (masalah
hudud) telah sampai kepada penguasa, maka Allah akan melaknat orang yang
memberi ampun dan yang meminta ampun.”

Dalam riwayat lain:


‫رج‬J‫ر فخ‬JJ‫د هللا بن عم‬JJ‫نا لعب‬JJ‫ جلس‬:‫ال‬JJ‫ ق‬,‫د‬JJ‫ عن يُي بن راش‬,‫ حدثنا عما رة بن غزية‬,‫ حدثنا زىير‬,‫حدثنا احْ د بن يونس‬
‫اد‬J‫د ض‬J‫ فق‬,‫دود هللا‬J‫د من ح‬J‫ من حالت شفاعتو دون ح‬:‫ َسعت رسول هللا صلى هللا عليو وسلم يقول‬:‫ فقال‬,‫الينا فجلس‬
...‫هللا‬
Artinya: “Barangsiapa menyelesaikan perkara dengan pengampunan tanpa
menjalankan (hukum) had dari hudud Allah, maka ia berarti melawan perintah
Allah…”

Pada hukum positif kewenangan memberikan grasi atau menolak grasi ialah
hak presiden dalam hal kewenangan Presiden secara konstitusional baik sebagai kepala
pemerintahan (chief of executive) dan sebagai kepala negara (head of state) diatur
dalam UUD 1945. Sebagai Kepala Pemerintahan (chief of executive) terumus dalam
ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 dan sebagai kepala negara (head of state)
yang bertindak untuk dan atas nama negara ditentukan dalam Pasal 10, Pasal 11, Pasal
12, Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 15 UUD 1945. Dua kewenangan tersebut ada
pada satu tangan dan tunggal (single executive), yaitu di tangan Presiden Republik
Indonesia.
Dalam ketentuan pasal 14 ayat (1) UUD 1945, menyatakan bahwa “Presiden
memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah
Agung”. Apabila dipahami secara seksama rumusan pasal tersebut, maka ketentuan
pasal tersebut memberikan satu kewenangan konstitusional kepada presiden yaitu
memberikan grasi. Kedudukan presiden dalam memberikan grasi bertindak untuk dan
atas nama negara.
X

Kewenangan pemberian grasi berdasarkan Undang-undang Grasi dalam rangka


pengaturan lebih lanjut hal-hal yang terkait grasi sebagaimana telah ditentukan dalam
pasal 14 ayat (1) UUD 1945, Pemerintah dan DPR telah mengeluarkan UU No. 22
Tahun 2002, UU No. 5 Tahun 2010 tentang perubahan atas UU No. 22 Tahun 2002
Tentang Grasi. Terkait dengan prinsip umum tentang grasi ini tertuang dalam pasal 1
ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002 yang menyebutkan “Grasi adalah pengampunan
berupa perubahan, peringan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana
kepada terpidana yang diberikan oleh presiden,” dan ketentuan pasal 2 ayat (1) UU
No. 5 Tahun 2010, yang berbunyi: “Terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada
presiden”, telah menegaskan kembali ketentuan pasal 14 ayat (1) UUD 1945
pemberian grasi merupakan kewenangan presiden.
Kewenangan untuk mengabulkan atau menolak permohonan grasi ketentuan
pasal 4 UU No. 2 Tahun 2002 menyebutkan bahwa “Presiden berhak mengabulkan
atau menolak permohonan Grasi yang diajukan terpidana sebagaimana dimaksud
dalam pasal 2 setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung”, Hak presiden
untuk mengabulkan atau menolak permohonan grasi disebut dengan hak prerogatif
presiden. Yang mana hak prerogatif tersebut merupakan hak khusus yang diberikan
oleh konstitusi kepada presiden.
X

BAB III
PENUTUP

D. Kesimpulan
Grasi dalam hukum Islam dikenal dengan istilah al-„afwu (‫ )العفو‬dan al-
syafa„at (‫)الشفاعة‬, baik pengampunan tersebut diberikan oleh pihak korban atau yang
diberikan oleh penguasa kepada pelaku dari tindak kejahatan. Sedangkan pengertian
grasi dalam hukum positif ialah aturan dalam Undang-undang Republik Indonesia.
Grasi menurut Undang-undang No. 22 Tahun 2002 Pasal 1 yaitu sebagai
pengampunan berupa perubahan, peringan, pengurangan, atau penghapusan
pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh presiden.
Di dalam dunia Islam mengatur kewenangan dalam pemberian maaf atau
syafa‟at itu bisa dilakukan oleh ahlul bait (keluarga) dan Imam (penguasa).
Sedangkan dalam hukum positif pengampunan mutlak milik penguasa/ Presiden, hal
ini tidak ada pengampunan dari keluarga atau ahlul bait.
Dari analisis kewenangan pemberian grasi, hukum Islam tidaklah mutlak
melarang pemaafan hukuman atau Grasi oleh Presiden. Grasi diperbolehkan dalam
batas-batas yang sangat sempit dan demi pertimbangan kemaslahatan masyarakat.
Dalam hukum positif Presiden berhak menerima dan menolak pengajuan grasi
terhadap narapidana yang telah memperoleh putusan tetap dari pengadilan dalam
semua tingkatan dengan kualifikasi hukuman mati, seumur hidup, dan pidana
serendah-rendahnya dua tahun penjara..
Ada banyak dasar hukum pengampunan dalam islam seperti surah Al-Baqarah
ayat 178, surah al-A„raf ayat 199, surah an-Nisā‟ ayat 85 dan hadis. Akan tetapi
seorang hakim atau imam juga tidak boleh serta merta begitu saja memberikan
pengampunan jika suatu perkara dari seorang pelaku jarimah tersebut telah
diajukan kepadanya. Dasar hukum positif Negara adalah Undang-undang No. 22
Tahun 2002 Pasal 1 yaitu sebagai pengampunan berupa perubahan, peringanan,
pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan
oleh presiden. Dalam ketentuan pasal 14 ayat (1) UUD 1945, menyatakan bahwa
“Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan
Mahkamah Agung”. ketentuan pasal 2 ayat (1) UU No. 5 Tahun 2010, yang berbunyi:
“Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan tetap, terpidana
X

dapat mengajukan permohonan grasi kepada presiden. Kewenangan untuk


mengabulkan atau menolak permohonan grasi ketentuan pasal 4 UU No. 2 Tahun 2002
menyebutkan bahwa “Presiden berhak mengabulkan atau menolak permohonan Grasi
yang diajukan terpidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 setelah mendapat
pertimbangan dari Mahkamah Agung”.
Hak presiden untuk mengabulkan atau menolak permohonan grasi disebut
dengan hak prerogatif presiden. Yang mana hak prerogatif tersebut merupakan hak
khusus yang diberikan oleh konstitusi kepada presiden.

E. Saran
Berdasarkan kenyataan dan teori yang ada, penulis mengajukan saran-saran
yang mungkin bermanfaat bagi kemajuan, yaitu :
1. Perlu adanya regulasi dan pengawasan yang tegas dalam memuat pasal dan ayat
yang ada dalam undang-undang grasi saat ini yang berlaku, terutama mengenai
kewenangan presiden yang begitu besar dalam pemberian grasi yang dalam
undang-undang tentang grasi tanpa pencantuman jenis dan tindak pidana apa saja
yang bisa mengajukan grasi, Sekalipun dengan adanya katagori hukum yang telah
mengindetifikasi pidana berat.
2. Seharusnya pemerintah dalam membuat kebijakan dalam pemberian
pengampunan harus berasaskan atas prisip kemaslahatan umat seperti yang
tertuang pada konsep Fiqh Siyasah.
X

DAFTAR PUSTAKA

Internet :

“Analisis Grasi Sebagai Sebab Pengampunan Pidana Tinjauan Hukum Pidana Islam Dan
Hukum Positif”, (https://idr.uin-antasari.ac.id/4192/6/bab%20iii.pdf), (13 Oktober
2022).
“Tinjauan Fikih Siyasah tentang Hak Prerogatif Presiden”,
(http://repository.radenintan.ac.id/2933/1/SKRIPSI_PEGI.pdf), (13 Oktober 2022).
“Analisis Hukum Islam Terhadap Kewenangan Presiden Dalam Pemberian Grasi”,
(file:///C:/Users/alexa/Downloads/112211010.pdf) (13 Oktober 2022).

Anda mungkin juga menyukai