Anda di halaman 1dari 73

RUMAH SAKIT UMUM DHARMA IBU TERNATE

Jln. A. Mononutu No. 125, Ternate 97713, Maluku Utara


Telp. (0921) 3121951, Hp/WA +62 812 45216012
email: rsudharmaibuternate@gmail.com.,
Website; rsudharmaibu@blogspot.com

PERATURAN DIREKTUR RSU DHARMA IBU TERNATE TERNATE


NOMOR : 28.003/RSUDI/PER-DIR/VI/2022
TENTANG

PEDOMAN PENINGKATAN MUTU DAN KESELAMATAN PASIEN


DI RSU DHARMA IBU TERNATE TERNATE

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


DIREKTUR RSUUMUM DHARMA IBU TERNATE

MENIMBANG : a. bahwa dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di


RSU Dharma Ibu Ternate, diperlukan suatu proses pelayanan yang
profesional, cepat dan tepat serta sesuai dengan ketentuan dan
standar yang berlaku;
b. bahwa untuk memenuhi maksud sebagaimana huruf a, maka perlu
ditetapkan Peraturan Direktur tentang Pedoman Peningkatan Mutu
dan Keselamatan Pasien di RSU Dharma Ibu Ternate

MENGINGAT : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang


Praktik Kedokteran;
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan;
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit;
4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1438 tahun
2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran;
5. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun
2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit;
6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
2017 tentang Keselamatan Pasien;
7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 27 Tahun
2017 tentang Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan;
8. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 25 Tahun
2019 tentang Penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi di
Lingkungan Kementerian Kesehatan;
9. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 12 Tahun
2020 tentang Akreditasi Rumah Sakit;
10. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 80 Tahun
2020 tentang Komite Mutu Rumah Sakit;
11. Keputusan Menteri Kesehatan republic indoneia Nomor
HK.01.07/MENKES/112/2022 tentang standar akreditasi rumah sakit;
12. Petunjuk Pelaksanaan Indikator Mutu Pelayanan Rumah Sakit, WHO
– Departemen Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2001;
13. Panduan Nasional Keselamatan Pasien RSU(Patient Safety),
Departemen Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2008;
14. Pedoman Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien (IKP), Komite
Keselamatan Pasien RSU(KKP-RS) Tahun 2015.

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :
PEDOMAN PENINGKATAN MUTU DAN KESELAMATAN PASIEN RSU
UMUM DHARMA IBU TERNATE

Pasal 1
Pedoman Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien RSU Dharma Ibu Ternate merupakan
acuan bagi rumah sakit dalam meningkatkan mutu dan keselamatan pasien.

Pasal 2
Pedoman Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien RSU Dharma Ibu Ternate sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Direktur ini.
Pasal 3
Peraturan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan jika dikemudian hari terdapat kekeliruan dalam
peraturan ini maka akan dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Ternate
Pada tanggal : 06 Juni 2022
RSU Dharma Ibu Ternate ternate,

dr. Sutomo Raharjo, Sp.A


Direktur
Lampiran
Peraturan Direktur RSU Dharma Ibu Ternate
Nomor : 28.002/ RSUDI/PER-DIR/ I/2022
Tanggal : 06 Juni 2022
Tentang : Pedoman Peningkatan Mutu
Dan Keselamatan Pasien

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Tujuan pembangunan kesehatan adalah tercapainya kemampuan untuk hidup sehat
bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal,
sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum dari tujuan nasional. Untuk itu perlu
ditingkatkan upaya guna memperluas dan mendekatkan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat dengan mutu yang baik dan biaya yang terjangkau. Selain itu dengan semakin
meningkatnya pendidikan dan keadaan sosial ekonomi masyarakat, maka sistem nilai dan
orientasi dalam masyarakat pun mulai berubah. Masyarakat mulai cenderung menuntut
pelayanan umum yang lebih baik, lebih ramah dan lebih bermutu termasuk pelayanan
kesehatan. Dengan semakin meningkatnya tuntutan masyarakat akan mutu pelayanan
rumah sakit, maka fungsi pelayanan RSU Dharma Ibu Ternate Ternate secara bertahap
perlu terus ditingkatkan agar menjadi lebih efektif dan efisien serta memberi kepuasan
kepada pasien, keluarga maupun masyarakat. Inti mutu pelayanan rumah sakit yang
berkualitas adalah memberikan pelayanan kesehatan yang berorientasi pada kepentingan
pasien (patient- centerness) dan keselamatan pasien (patient-safety).

RSU Dharma Ibu Ternate Ternate memulai kegiatan peningkatan mutu dan
keselamatan pasien pada tahun 2019 dengan dibentuknya Komite Mutu, namun pada tahun
2020 data mengenai pencapaian indikator mutu dan insiden keselamatan pasien belum ada.
Oleh sebab itu mulai tahun 2021 dilakukan suatu upaya untuk meningkatkan keberhasilan
sistem pelaporan dan pembelajaran yang berfokus pada sistem untuk meningkatkan
keselamatan pasien di RSU Dharma Ibu Ternate Ternate serta peningkatan mutu yang dapat
diketahui dengan pengukuran setiap indikator mutu di unit pelayanan dan unit kerja RSU
Dharma Ibu Ternate Ternate. Mengingat mutu dan keselamatan pasien sudah menjadi
tuntutan masyarakat, maka pelaksanaan kegiatan peningkatan mutu dan keselamatan
pasien di RSU Dharma Ibu Ternate Ternate perlu ditingkatkan. Dalam standar akreditasi
baru, rumah sakit dituntut untuk memberikan kualitas mutu pelayanan yang komprehensif
dan terintegrasi melalui redesain sistem untuk menurunkan risiko pada pasien dan staf
secara berkesinambungan. Peningkatan mutu dan keselamatan pasien diharapkan dapat
dilakukan dalam kegiatan sehari-hari, baik oleh staf klinis maupun staf non klinis. Oleh sebab
itu, rumah sakit perlu suatu pedoman yang dapat menjadi dasar pelaksanaan peningkatan
mutu dan keselamatan pasien. Dengan demikian, seluruh staf rumah sakit dapat
menerapkan standar pelayanan rumah sakit pada pekerjaan sehari-hari yang lebih efisien,
bermutu dan kejadian tidak diharapkan dapat dicegah sedini mungkin.

B. TUJUAN
1. Tersedianya acuan atau pedoman bagi rumah sakit dalam melaksanakan
perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian serta pengawasan terhadap
penyelenggaraan mutu pelayanan dan keselamatan pasien di rumah sakit.
2. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit secara efektif, efisien dan
berkesinambungan serta tersusunnya sistem monitoring pelayanan rumah sakit
melalui indikator mutu.
3. Meningkatkan kepedulian petugas dalam mencegah insiden keselamatan pasien di
rumah sakit.
4. Menurunnya kejadian yang berkaitan dengan keselamatan pasien di rumah sakit.
5. Terciptanya budaya keselamatan pasien.
6. Meningkatkan pengetahuan seluruh staf melalui pelatihan peningkatan mutu dan
keselamatan pasien.
BAB II

VISI DAN MISI

A. VISI
Hati Yang Tergerak Untuk Memperpanjang Tangan Kasih Allah Melalui Pelayanan
Kesehatan Kepada Semua Orang Yang Membutuhkan

B. MISI
Mengoptimalkan Seluruh Kemampuan Secara Profesional Dalam Pelayanan Kesehatan
Yang Dijiwai Cinta Kasih Dan Pengorbanan

C “Servianum in caritate” Melayani dengan kasih.


BAB III

STRUKTUR ORGANISASI KOMITE MUTU

STRUKTUR ORGANISASI
KOMITE PENINGKATAN MUTU DAN KESELAMATAN PASIEN
RSU UMUM DHARMA IBU TERNATE

Direktur RSU Dharma Ibu


Ternate

Ketua Komite

Sekretaris

Sub Komite Peningkatan


Sub Komite Keselamatan
Mutu dan Manajemen
Pasien
Resiko

I. Tugas Umum
a. Sebagai motor penggerak penyusunan program PMKP rumah sakit.
b. Melakukan monitoring dan memandu penerapan program PMKP di unit kerja.
c. Membantu dan melakukan koordinasi dengan pimpinan unit pelayanan dalam memilih
prioritas perbaikan, pengukuran mutu/ indikator mutu dan menindaklanjuti hasil capaian
indikator.
d. Melakukan koordinasi dan pengorganisasian pemilihan prioritas program di tingkat unit
kerja serta menggabungkan menjadi prioritas rumah sakit secara keseluruhan. Prioritas
program rumah sakit ini harus terkoordinasi dengan baik dalam pelaksanaannya.
e. Menentukan profil indikator mutu, metode analisis, dan validasi data dari data indikator
mutu yang dikumpulkan dari seluruh unit kerja di rumah sakit.
f. Menyusun formulir untuk mengumpulkan data, menentukan jenis data, serta bagaimana
alur data dan pelaporan dilaksanakan.
g. Menjalin komunikasi yang baik dengan semua pihak terkait serta menyampaikan masalah
terkait pelaksanaan program mutu dan keselamatan pasien.
h. Terlibat secara penuh dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan PMK.
i. Bertanggung jawab untuk mengomunikasikan masalah-masalah mutu secara rutin kepada
semua staf.
j. Menyusun regulasi terkait dengan pengawasan dan penerapan program PMKP.
k. Menanagani insiden keselamatan pasien yang meliputi pelaporan,verifikasi,investigasi dan
analisis penyebab insiden keselamatan pasien.
l. Mengkoordinasikan penyusunan program manajemen resiko rumah sakit.
II. Tugas Khusus
1. Ketua PMKP
a. Memastikan keandalan perencanaan mutu dan pengendalian mutu dan keselamatan
pasien, berikut teknik dan alat dalam melaksanakan kegiatan tersebut.
b. Memastikan terlaksananya perbaikan mutu dan keselamatan pasien melalui kegiatan-
kegiatan sosialisasi, fasilitasi, dan audit yang melibatkan partisipasi pihak-pihak yang
terkait.
c. Memastikan terlaksananya efektivitas manejemen resiko khususnya kegiatan
pelayanan dan manejemen sehingga terwujud penurunan angka resiko dan berdampak
kepada peningkatan mutu dan keselamatan pasien
d. Memastikan terciptanya komunikasi dan hubungan yang baik dengan pihak-pihak yang
terkait dengan akreditasi mutu dan keselamatan pasien
e. Melakukan validasi data untuk memastikan keandalan informasi pencapaian indicator
mutu dan keselamatan pasien
f. Melaksanakan pendampingan dan koordinasi dengan pembimbing akreditasi dan
pelaksana surveillance dalam mewujudkan pemenuhan standar mutu dan keselamatan
pasien yang telah ditetapkan.
g. Menyusun kebijakan, strategi dan prosedur di bidang manajemen mutu
h. Menyusun indikator mutu dan keselamatan pasien
i. Menyusun program peningkatan mutu dan keselamatan pasien
j. Memantau dan mengevaluasi seluruh program peningkatan mutu dan keselamatan
pasien
k. Mensosialisasikan hasil pencapaian program peningkatan mutu dan keselamatan
pasien
l. Mengkoordinasikan pelaksaan audit mutu internal
m. Mengkoordinasikan penyusunan rencana dan jadwal kegiatan terkait dengan akreditasi
mutu
n. Memfasilitasi bimbingan internal dan eksternal terkait dengan pelaksanaan akreditasi
mutu
o. Memfasilitasi kegiatan yang terkait dengan inovasi mutu baik dari internal maupun
eksternal
p. Melaksanakan pengumpulan dan analisis data terkait dengan pencapaian indikator
mutu dan keselamatan pasien
q. Melaksanakan kegiatan konsultasi terhadap seluruh unit kerja terkait dengan
pelaksanaan peningkatan mutu dan keselamatan pasien
2. Sekretaris
a. Melaksanakan kegiatan administrasi pelaksanaan program peningkatan mutu dan
keselamatan pasien
b. Mengumpulkan dan menyimpan dengan baik laporan data indikator mutu dan
keselamatan pasien dari seluruh unit
c. Memuat jadwal pertemuan/rapat baik yang rutin maupun insidentil
d. Menyusun jadwal ronde keselamatan pasien ke unit-unit.
e. Menyusun jadwal validasi data mutu klinik.
f. Menyusun laporan insiden eksternal dan internal serta laporan berkala kegiatan komite
peningkatan mutu dan keselamatan pasien.
g. Menyusun laporan triwulan dan tahuan sesuai program peningkatan mutu dan
keselamatan pasien.
h. Mewakili ketua komite PMKP bila berhalangan.
i. Mengkoordinir kegiatan seluruh sub komite .
j. Melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan dan program di komite PMKP.
3. Sub Komite Peningkatan Mutu dan Manajemen Resiko
a. Menyusun kebijakan dan strategi manajemen mutu.
b. Menyusun program indikator mutu.
c. Melakukan koordinasi dengan unit terkait dalam penyusunan program peningkatan
mutu.
d. Melakukan koordinasi dengan SPI dalam penyusunan tools audit mutu internal.
e. Memantau pelaksanaan seluruh program peningkatan mutu.
f. Mengevaluasi pelaksanaan seluruh program peningkatan mutu.
g. Menyusun laporan hasil pencapaian indikator.
h. Mensosialisasikan hasil pencapaian program peningkatan mutu.
i. Memfasilitasi tindak lanjut hasil rekomendasi.
j. Melakukan koordinasi terkait penyusunan rencana akreditasi mutu.
k. Mamfasilitasi rapat/pertemuan terkait pelaksaan akreditasi mutu.
l. Memfasilitasi bimbingan eksternal dan internal terkait akreditasi mutu.
m. Melakukan koordinasi dengan komite keselamatan pasien RSUdan unit terkait dalam
pembuatan RCA dan FMEA.
n. Melakukan koordinasi dengan komite keselamatan pasien RSUdan unit terkait dengan
proses bimbingan peningkatan mutu dan keselamatan pasien .
o. Memfasilitasi kegiatan terkait penyelenggaraan pengembangan inovasi dan gugus
pengendali mutu.
p. Memfasilitasi rapat/pertemuan koordinasi bulanan dengan direksi dan unit terkait.
q. Melakukan koordinasi kepada bagian/komite/unit terkait terhadap implementasi standar
pelayanan yang berfokus kepada pasien dan manajemen.
r. Menghadiri rapat, pertemuan, workshop/seminar terkait peningkatan mutu baik internal
maupun eksternal.
s. Menyusun program manajemen risiko yang konsisten dengan misi dan rencana
organisasi serta memenuhi kebutuhan pasien, masyarakat dan staf.
t. Melaksanakan proses - proses manajemen risiko dengan menggunakan pedoman
praktik terkini, standar pelayanan medik, kepustakaan ilmiah dan informasi lain
berdasarkan rancangan praktik klinik, serta sesuai dengan praktik bisnis yang sehat
dan relevan dengan informasi terkini.
u. Melaksanakan proses-proses identifikasi dari risiko.
v. Melaksanakan skoring dan menetapkan prioritas risiko-risiko di seluruh unit.
w. Melaksanakan koordinasi dengan komite keselamatan pasien dalam penyelidikan KTD.
x. Melakukan evaluasi terhadap KNC dan proses risiko tinggi lainnya yang dapat berubah
dan berakibat terjadinya kejadian sentinel.
y. Melaksanakan kegiatan FMEA untuk suatu kejadian yang berujung kepada risiko tinggi
dan sentinel.
4. Sub Komite Keselamatan Pasien
a. Bertanggungjawab terhadap pelaksanaan kegiatan keselamatan pasien rumah sakit.
b. Menyususn kebijakan terkait dengan program keselamatan pasien rumah sakit.
c. Membuat program kerja keselamatan pasien rumah sakit.
d. Merencanakan pelatihan anggota komite keselamatan pasien rumah sakit.
e. Melakukan koordinasi dengan komite keselamatan pasien rumah sakit.
f. Melaporkan dan mencatat semua insiden keselamatan pasien yang terjadi ke komite
keselamatan pasien rumah sakit.
BAB IV

TATA HUBUNGAN KERJA

DIREKTUR

KOMITE KEPALA
DAN TIM UNIT

KOMITE MUTU

PETUGAS IT
PIC DATA

Gambar 2- Tata Hubungan Kerja

Keterangan:
Direktur
a. Merencanakan, mengembangkan, dan menerapkan program peningkatan mutu dan
keselamatan pasien di lingkungan rumah sakit.
b. Memilih dan menetapkan proses pengukuran, pengkajian data, rencana. perbaikan
dan mempertahankan peningkatan mutu dan keselamatan pasien di lingkungan
rumah sakit.
c. Menetapkan mekanisme pemantauan dan koordinasi program peningkatan mutu dan
keselamatan pasien.
d. Berpartisipasi dalam menetapkan prioritas perbaikan di tingkat rumah sakit yang
merupakan proses yang berdampak luas/menyeluruh di rumah sakit termasuk di
dalamnya kegiatan keselamatan pasien serta analisis dampak dari perbaikan yang
telah dilakukan.

xi
BAB V

PENINGKATAN MUTU RUMAH SAKIT

A. PENGERTIAN
Mutu pelayanan rumah sakit merupakan derajat kesempurnaan pelayanan rumah sakit
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan
standar profesi dan standar pelayanan dengan menggunakan potensi sumber daya yang
tersedia di rumah sakit secara wajar, efisien dan efektif, serta diberikan secara aman dan
memuaskan sesuai dengan norma, etika, hukum dan sosial budaya. Upaya peningkatan
mutu pelayanan kesehatan adalah keseluruhan upaya dan kegiatan yang komprehensif dan
integratif yang menyangkut input, proses dan output secara objektif, sistematik dan berlanjut
memantau dan menilai mutu dan kewajaran pelayanan terhadap pasien, dan memecahkan
masalah-masalah yang terungkapkan sehingga pelayanan yang diberikan berdaya guna dan
berhasil guna.

B. AREA PRIORITAS PELAYANAN

1. Direktur RSUdengan para pimpinan dan Komite Mutu merancang upaya


peningkatan mutu pelayanan prioritas rumah sakit.
2. Dasar pemilihan area prioritas:

a. Misi dan tujuan strategis RS

b. Data-data permasalahan yang ada di RS

Data yang dimaksud misalnya komplain pasien, capaian indikator mutu


yang masih rendah, adanya kejadian tidak diharapkan, maupun
ketidakpuasan staf.
c. Sistem dan proses berisiko tinggi
Sistem dan proses yang memperlihatkan variasi proses penerapan
pelayanan dan hasil pelayanan yang paling banyak, misalnya pelayanan
pasien diabetes mellitus yang dilakukan oleh lebih dari satu dokter
spesialis, memperlihatkan proses pelayanan yang masih bervariasi atau
belum terstandarisasi sehingga hasil pelayanan juga bervariasi.
d. Sistem pelayanan klinis kompleks yang perlu efisiensi dampak dari
perbaikan. Misalnya penilaian perbaikan efisiensi suatu proses klinis yang
kompleks pada pelayanan diabetes mellitus, pelayanan stroke, pelayanan
jantung dan
11
lainnya, dan/ atau identifikasi pengurangan biaya dan sumber daya yang
digunakan dengan adanya perbaikan suatu proses. Penilaian dampak dari
perbaikan tersebut akan menunjang pemahaman tentang biaya relatif yang
dikeluarkan demi.
e. Kemudahan dalam pengukuran
f. Ketentuan Pemerintah / Persyaratan Eksternal
g. Memberikan pengalaman pasien lebih baik (patient experience).

C. INDIKATOR MUTU PRIORITAS

1. RSU memilih dan menetapkan prioritas pengukuran mutu pelayanan klinis yang akan
dievaluasi dan indikator-indikator berdasarkan prioritas tersebut.
2. Direktur bertanggung jawab untuk memilih dan menetapkan prioritas pengukuran dan
perbaikan di seluruh rumah sakit.
3. Direktur, kepala bidang, kepala unit, komite medik dan pimpinan lainnya melakukan
koordinasi pemilihan indikator mutu prioritas pelayanan.
4. Komite Mutu terlibat dalam proses pemilihan prioritas pengukuran pelayanan klinis yang
akan dievaluasi serta melakukan koordinasi dan integrasi kegiatan pengukuran di
seluruh rumah sakit.
5. Pengukuran prioritas perbaikan tingkat rumah sakit mencakup:
a. Sasaran keselamatan pasien meliputi enam Sasaran Keselamatan Pasien
(SKP) minimal 1 indikator setiap sasaran.
b. Pelayanan klinis prioritas untuk dilakukan perbaikan misalnya pada pelayanannya
berisiko tinggi dan terdapat masalah dalam pelayanan tersebut, minimal 1 indikator.
c. Indikator yang sesuai dengan tujuan strategis rumah sakit atau Key Performance
indicator (KPI) minimal 1 indikator.
d. Perbaikan sistem adalah perbaikan yang jika dilakukan akan berdampak
luas/menyeluruh di rumah sakit yang dapat diterapkan di beberapa unit, minimal 1
indikator.
e. Manajemen risiko untuk melakukan perbaikan secara proaktif terhadap proses
berisiko tinggi misalnya yang telah dilakukan analisis FMEA atau dapat diambil dari
profil risiko, minimal 1 indikator.
6. Pengukuran mutu prioritas dilakukan menggunakan indikator-indikator mutu sebagai
berikut:

12
a. Indikator area klinis (IAK) yaitu indikator mutu yang bersumber dari area pelayanan.
b. Indikator area manajemen (IAM) yaitu indikator mutu yang bersumber dari area
manajemen.
c. Indikator sasaran keselamatan pasien (ISKP) adalah indikator mutu yang mengukur
kepatuhan staf dalam penerapan sasaran keselamatan pasien dan budaya
keselamatan.
1) SKP 1 Ketepatan identifikasi pasien
2) SKP 2 Peningkatan komunikasi yang efektif
3) SKP 3 Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai
4) SKP 4 Kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat pasien operasi
5) SKP 5 Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan
6) SKP 6 Pengurangan risiko pasien jatuh
7. Direktur rumah sakit dan Komite Mutu melakukan supervisi terhadap proses
pengumpulan data.

8. Analisis data dan hasil capaian indikator digunakan untuk mengetahui dampak kendali
mutu dan kendali biaya.
9. Evaluasi proses pelaksanaan panduan praktik klinis (PPK) dan alur klinis (clinical
pathway) digunakan untuk pengukuran mutu prioritas rumah sakit.
10. Hasil indikator mutu prioritas yang masih di bawah standar harus dibuat form PDSA
(Plan Do Study Action).
11. Komite Mutu membuat laporan hasil capaian indikator mutu prioritas ke Direktur dan
diteruskan ke Pemilik setiap 3 bulan. Direktur dan Pemilik memberikan feedback
berupa Rekomendasi Tindak Lanjut

D. INDIKATOR MUTU NASIONAL

1. Indikator Nasional Mutu Pelayanan Kesehatan yang selanjutnya disebut Indikator Mutu
adalah tolok ukuryang digunakan untuk menilai tingkat keberhasilan mutu pelayanan
kesehatan di fasilitas pelayanan Kesehatan.

2. RSUmenggunakan 13 indikator mutu nasional.


a. Kepatuhan Cuci Tangan
b. Kepatuhan Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
c. Kepatuhan Identifikasi Pasien

13
d. Waktu tanggap operasi seksio sesarea emergensi ≤30 menit
e. Waktu tunggu rawat jalan
f. Penundaan operasi elektif
g. Kepatuhan waktu visite dokter
h. Pelaporan hasil kritis laboratorium
i. Kepatuhan penggunaan Formularium Nasional (FORNAS)
j. Kepatuhan terhadap alur klinis (Clinical Pathway)
k. Kepatuhan upaya pencegahan risiko pasien jatuh
l. Kecepatan waktu tanggap complain
m. Kepuasan Pasien
3. PIC data unit melakukan pengumpulan data berupa sensus harian.
4. Subkomite Mutu melakukan supervisi pengumpulan data dan analisa data.
a. Komite Mutu membuat laporan indicator nasional mutu berserta capaian dan tindak
lanjut.
b. Laporan dikirimkan ke kementerian Kesehatan melalui aplikasi SIMAR pada tanggal
1 hingga tanggal 7 setiap bulan berikutnya.

c. Laporan 3 bulanan hasil capaian indikator nasional mutu berserta rencana tindak
lanjut diserahkan kepada Direktur dan diteruskan ke Pemilik. Direktur dan Pemilik
memberikan feedback berupa Rekomendasi Tindak Lanjut untuk diterakan pada
setiap unit yang bersangkutan.

E. INDIKATOR MUTU PRIORITAS UNIT

1. Indikator mutu di unit pelayanan atau unit kerja digunakan untuk menilai mutu unit
pelayanan atau unit kerja. Komite Mutu melakukan koordinasi dengan mengorganisasi
pemilihan indikator mutu di unit tersebut, sehingga indikator yang dipilih tersebut valid,
reliable, sensitive, dan spesifik.

2. Setiap kepala unit terlibat langsung dalam pemilihan dan penetapan indikator mutu
yang ingin diukur di unit. Indikator mutu di unit pelayanan dapat meliputi indikator mutu
area klinis, indikator mutu area manajemen dan indikator mutu penerapan sasaran
keselamatan pasien, dan indikator mutu unit kerja (non pelayanan), minimal meliputi
indikator area manajemen. Setelah kepala unit memilih indikator mutu unit, Komite
Mutu membantu menyusun profil indikatornya.

14
p. Populasi/sampel (besar sampel dan cara pengambilan sampel).
q. Periode pengumpulan data.
r. Periode analisis dan pelaporan data.
s. Penyajian data.
t. Penanggung jawab.

H. PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) DAN CLINICAL PATHWAY (CP)

1. Dalam peningkatan mutu RS berkaitan dengan indikator mutu prioritas, Direktur bersama-
sama dengan Komite Medik dan Kelompok Staf Medis (KSM) memilih dan menetapkan
paling sedikit 5 (lima) evaluasi prioritas standar pelayanan kedokteran, berupa panduan
praktik klinis (PPK) atau alur klinis / clinical pathway (CP) atau protokol, algoritme,
prosedur, standing order setiap tahunnya, yang dimonitor implementasinya oleh Komite
Medik dan atau Sub Komite Mutu Profesi.

2. Tujuan dari monitoring pelaksanaan evaluasi prioritas standar pelayanan kedokteran


sebagai berikut :
a. Mendorong tercapainya standarisasi proses asuhan klinik
b. Mengurangi risiko dalam proses asuhan, terutama yang berkaitan dengan asuhan kritis
c. Memanfaatkan sumber daya yang tersedia dengan efisien dalam
memberikan asuhan klinik tepat waktu dan efektif
d. Memanfaatkan indikator prioritas sebagai indikator dalam penilaian
kepatuhan penerapan alur klinisdi area yang akan diperbaiki di tingkat
rumah sakit
e. Secara konsisten menggunakan praktik berbasis bukti (evidence
based practices) dalam memberikan asuhan bermutu tinggi
3. Evaluasi prioritas standar pelayanan kedokteran tersebut digunakan untuk mengukur
keberhasilan dan efisiensi peningkatan mutu pelayanan klinis prioritas rumah sakit.
Evaluasi prioritas standar pelayanan kedokteran dapat dilakukan melalui audit medis
dan atau audit klinis, dan dapat menggunakan indikator mutu. Tujuan dari evaluasi
adalah untuk menilai efektivitas penerapan standar pelayanan kedokteran di rumah sakit
sehingga dapat dibuktikan bahwa pengguanaan standar pelayanan kedokteran di rumah
sakit telah mengurangi adanya variasi dari proses dan hasil serta berdampak terhadap
efisiensi (kendali biaya). Indikator area klinis (IAK), indikator area manjemen (IAM) dan
indikator sasaran keselamatan pasien (ISKP) dapat digunakan untuk melakukan
evaluasi terhadap

18
kepatuhan standar pelayanan kedokteran di rumah sakit, misalnya kepatuhan terhadap
pemberian terapi, pemeriksaan penunjang dan lama hari rawat (LOS).
4. Evaluasi prioritas standar pelayanan kedokteran dilakukan oleh Komite Medik dan atau
Sub Komite Mutu Profesi bersama-sama dengan kepala bidang medik secara berkala
setiap tiga bulan.
5. Panduan Praktik Klinis adalah istilah teknis sebagai pengganti Standar Prosedur
Operasional (SPO) dalam Undang-undang Praktik Kedokteran 2004 yang merupakan
istilah administratif. Jadi secara teknis Standar Prosedur Operasional (SPO) dibuat
berupa Panduan Praktik Klinis (PPK) yang dapat berupa atau disertai dengan salah satu
atau lebih: alur klinis (Clinical Pathway), protokol, prosedur, algoritme, standing order.
6. Clinical Pathway dibuat untuk penyakit atau kondisi klinis yang memerlukan pendekatan
multidisiplin, dan perjalanan klinisnya dapat diprediksi (pada setidaknya 70% kasus).
Bila dalam perjalanan klinis ditemukan hal-hal yang menyimpang, maka harus dicatat
sebagai varian yang harus dinilai lebih lanjut.
7. Panduan Praktik Klinis dan Clinical Pathway diterapkan untuk pasien rawat inap.
8. Panduan Praktik Klinis (PPK), alur klinis (Clinical Pathway) atau protokol yang diseleksi
untuk dilakukan evaluasi memenuhi kriteria :
a. Sesuai dengan populasi pasien yang ada dan misi RS
b. Disesuaikan dengan teknologi, obat, dan sumber daya di RS atau norma
profesional yang berlaku secara nasional
c. Dilakukan asesmen terhadap bukti ilmiahnya dan disahkan oleh pihak berwewenang

d. Pemilihan penyakit yang akan dilakukan pengukuran kepatuhan terhadap alur


klinis sesuai dengan prioritas nasional yang telah ditetapkan oleh kementerian
Kesehatan yakni:

1) Hipertensi

2) Diabetes Melitus

3) TB

4) HIV

5) Keganasan
e. Dilaksanakan dan diukur terhadap efektivitasnya

f. Dijalankan oleh staf yang terlatih menerapkan pedoman atau pathways

19
I. MUTU STRUKTUR, PROSES DAN OUTCOME

Mutu pelayanan suatu rumah sakit merupakan produk akhir dari interaksi dan
ketergantungan yang rumit antara berbagai komponen atau aspek rumah sakit sebagai
suatu sistem.
Menurut Donabedian, pengukuran mutu pelayanan kesehatan dapat diukur dengan
menggunakan 3 variabel:
1. Struktur, segala sumber daya yang diperlukan untuk melakukan pelayanan kesehatan
seperti: tenaga, dana, obat, fasilitas, peralatan, teknologi, organisasi, dan lain-lain.
Pelayanan kesehatan yang bermutu memerlukan dukungan input yang bermutu pula.
2. Proses intetraksi profesional antara pemberi pelayanan dengan pasien adalah apa yang
dilakukan oleh dokter dan tenaga profesi lain terhadap pasien: evaluasi, diagnosis,
perawatan, konseling, pengobatan, tindakan, penanganan jika terjadi penyulit, follow up.
Pendekatan proses adalah pendekatan paling langsung terhadap mutu asuhan.
3. Hasil/Outcome, adalah hasil pelayanan kesehatan, merupakan perubahan yang terjadi
pada konsumen (pasien), termasuk kepuasan dari konsumen tersebut. Adalah hasil
akhir kegiatan dan tindakan dokter dan tenaga profesi lain terhadap pasien dalam arti
perubahan derajat kesehatan dan kepuasan terhadap provider. Outcome yang baik
sebagian besar tergantung kepada mutu struktur dan mutu proses yang baik. Sebaliknya
outcome yang buruk adalah kelanjutan struktur atau proses yang buruk.

32
BAB VI

KESELAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT

A. PENGERTIAN
Keselamatan pasien (patient safety) adalah suatu sistem yang dilakukan oleh rumah sakit
dengan membuat asuhan pasien lebih aman, meliputi asesmen risiko, identifikasi dan
pengelolaan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden
dan tindak lanjutnya, serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan
mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu
tindakan atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan. Kejadian keselamatan
pasien tidak selalu merupakan hasil dari kecacatan pada sistem atau rancangan proses,
kerusakan sistem, kegagalan alat, atau kesalahan manusia.

B. INSIDEN KESELAMATAN PASIEN


Insiden Keselamatan Pasien (IKP) adalah setiap kejadian yang tidak disengaja ketika
memberikan asuhan kepada pasien (care management problem (CMP) atau kondisi yang
berhubungan dengan lingkungan di rumah sakit termasuk infrastruktur, sarana prasarana
(service delivery problem (SDP) atau secara umum dikenal sebagai kondisi yang
mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada pasien,
terdiri dari kejadian sentinel, kejadian tidak diharapkan, kejadian nyaris cedera, kejadian
tidak cedera, kondisi potensial cedera signifikan.

1. Kejadian Sentinel
Kejadian Sentinel adalah suatu kejadian yang tidak berhubungan dengan perjalanan
penyakit pasien atau penyakit yang mendasarinya yang terjadi pada pasien. Kejadian
sentinel merupakan salah satu jenis insiden keselamatan pasien yang harus dilaporkan yang
menyebabkan terjadinya hal-hal berikut ini:
a. Kematian.
Kematian yang tidak berhubungan dengan perjalanan penyakit pasien atau kondisi pasien.
b. Cedera permanen.
Cedera permanen adalah dampak yang dialami pasien yang bersifat ireversibel akibat
insiden yang dialaminya misalnya kecacadan, kelumpuhan, kebutaan, tuli, dan lain-
lainnya.

33
c. Cedera berat yang bersifat sementara/reversible.
Cedera berat yang bersifat sementara adalah cedera yang bersifat kritis dan dapat
mengancam nyawa yang berlangsung dalam suatu kurun waktu tanpa terjadi cedera
permanen/gejala sisa, namun kondisi tersebut mengharuskan pemindahan pasien ke
tingkat perawatan yang lebih tinggi /pengawasan pasien untuk jangka waktu yang lama,
pemindahan pasien ke tingkat perawatan yang lebih tinggi karena adanya kondisi yang
mengancam nyawa, atau penambahan operasi besar, tindakan, atau tata laksana untuk
menanggulangi kondisi tersebut.

Kementerian Kesehatan Pada tahun 2022 dalam Keputusan Menteri Kesehatan tentang
akreditasi menyebutkan bahwa Kejadian lainnya yang dapat digolongkan sebagai kejadian
sentinel Yakni:

a. Bunuh diri oleh pasien yang sedang dirawat, ditatalaksana, menerima pelayanan di
unit yang selalu memiliki staf sepanjang hari atau dalam waktu 72 jam setelah
pemulangan pasien, termasuk dari Unit Gawat Darurat (UGD) rumah sakit;
b. Kematian bayi cukup bulan yang tidak diantisipasi;
c. Bayi dipulangkan kepada orang tua yang salah;
d. Penculikan pasien yang sedang menerima perawatan, tata laksana, dan pelayanan;
e. Kaburnya pasien (atau pulang tanpa izin) dari unit perawatan yang selalu dijaga oleh
staf sepanjang hari (termasuk UGD), yang menyebabkan kematian, cedera
permanen, atau cedera sementara derajat berat bagi pasien tersebut;
f. Reaksi transfusi hemolitik yang melibatkan pemberian darah atau produk darah
dengan inkompatibilitas golongan darah mayor (ABO, Rh, kelompok darah lainnya);
g. Pemerkosaan, kekerasan (yang menyebabkan kematian, cedera permanen, atau
cedera sementara derajat berat) atau pembunuhan pasien yang sedang menerima
perawatan, tata laksana, dan layanan ketika berada dalam lingkungan rumah sakit;
h. Pemerkosaan, kekerasan (yang menyebabkan kematian, cedera permanen, atau
cedera sementara derajat berat) atau pembunuhan anggota staf, praktisi mandiri
berizin, pengunjung, atau vendor ketika berada dalam lingkungan rumah sakit
i. Tindakan invasif, termasuk operasi yang dilakukan pada pasien yang salah, pada sisi
yang salah, atau menggunakan prosedur yang salah (secara tidak sengaja);
j. Tertinggalnya benda asing dalam tubuh pasien secara tidak sengaja setelah suatu
tindakan invasif, termasuk operasi;

34
k. Hiperbilirubinemia neonatal berat (bilirubin >30 mg/dL);
l. Fluoroskopi berkepanjangan dengan dosis kumulatif >1.500 rad pada satu medan
tunggal atau pemberian radioterapi ke area tubuh yang salah atau pemberian
radioterapi
>25% melebihi dosis radioterapi yang direncanakan;
m. Kebakaran, lidah api, atau asap, uap panas, atau pijaran yang tidak diantisipasi
selama satu episode perawatan pasien;
n. Semua kematian ibu intrapartum (terkait dengan proses persalinan); atau
o. orbiditas ibu derajat berat (terutama tidak berhubungan dengan perjalanan alamiah
penyakit pasien atau kondisi lain yang mendasari) terjadi pada pasien dan
menyebabkan cedera permanen atau cedera sementara derajat berat.

Definisi kejadian sentinel meliputi poin a) hingga o) di atas dan dapat meliputi kejadian-
kejadian lainnya seperti yang disyaratkan dalam peraturan atau dianggap sesuai oleh
RSUuntuk ditambahkan ke dalam daftar kejadian sentinel.

2. Kejadian tidak diharapkan (KTD)


KTD adalah Suatu kejadian yang mengakibatkan cedera pada pasien akibat melaksanakan
suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil, dan bukan karena
penyakit dasarnya atau kondisi pasien.
Cedera dapat diakibatkan oleh kesalahan medis atau bukan kesalahan medis, karena tidak
dapat dicegah, yang meliputi :
a. Semua reaksi transfusi yang sudah dikonfirmasi, jika sesuai untuk RSU(kecuali
Reaksi transfusi hemolitik yang melibatkan pemberian darah atau produk darah
dengan inkompatibilitas golongan darah mayor).

b. Semua kejadian serius akibat efek samping obat, jika sesuai dan
sebagaimana yang didefinisikan oleh rumah sakit

c. Semua kesalahan pengobatan yang signifikan jika sesuai

d. Semua perbedaan besar antara diagnosis praoperasi dan diagnosis


pascaoperasi

e. Efek samping atau pola efek samping selama sedasi moderat atau
mendalam dan pemakaian anestesi

f. Pasien jatuh

35
g. Kejadian-kejadian lain misalnya Infeksi yang berkaitan dengan pelayanan
kesehatan sebagaimana yang didefinisikan oleh rumah sakit

3. Kejadian tidak cedera (KTC)


KTC adalah Suatu insiden yang sudah terpapar ke pasien tetapi tidak sampai cedera, dapat
terjadi karena “Keberuntungan” (misalnya : pasien terima suatu obat kontra indikasi tetapi
tidak timbul reaksi obat), “Pencegahan” (suatu obat dengan overdosis lethal akan diberikan
tetapi staf lain mengetahui dan membatalkannya sebelum obat diberikan), atau “Peringanan”
(suatu obat dengan overdosis lethal diberikan, diketahui secara dini lalu diberikan
antidotumnya)
Contoh :
a. Darah transfusi yang salah sudah dialirkan tetapi tidak timbul cedera
b. Obat salah pasien terlanjur diberikan tetapi tidak timbul cedera

4. Kejadian nyaris cedera (KNC)


Kejadian nyaris cedera (near-miss atau hampir cedera) atau KNC adanya insiden
keselamatan pasien yang belum terpapar pada pasien. sehingga tidak menyebabkan cedera
pada pasien.

Beberapa contoh Kejadian Nyaris Cedera (KNC) meliputi :


a. Administrasi
1) Kesalahan serah terima pasien
2) Ketidaklengkapan pengisian informed consent
3) Ketidaklengkapan identitas pasien
4) Keterlambatan pelayanan proses administrasi
b. Farmasi
1) Kesalahan peresepan obat (prescription error)
2) Kesalahan pengeluaran dan pengemasan obat (dispensing error)
3) Kekosongan stok obat
c. Laboratorium
1) Kesalahan penempatan bahan
2) Kesalahan pengiriman bahan
d. Infeksi nosokomial
Kekosongan stok hand
rub
e. Prosedur Klinis

36
Suatu kondisi potensial cedera signifikan (KPCS) adalah suatu kondisi (selain dari proses
penyakit atau kondisi pasien itu sendiri) yang berpotensi menyebabka KTD maupun kejadian
sentinel.
Contoh:
a. Bahan Kimia tanpa label
b. Obat tanpa label expired
c. Meletakkan tabung oksigen tanpa diberi rantai pengaman

C. TIPE INSIDEN
Untuk mengisi tipe insiden, harus melakukan analisis dan investigasi terlebih dahulu. Insiden
terdiri dari tipe insiden dan subtipe insiden yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
No. Tipe Insiden Subtipe Insiden
1 Administrasi Proses i. Serah terima
Klinik ii. Perjanjian
iii. Daftar tunggu / Antrian
iv. Rujukan / Konsultasi
v. Admisi
vi. Keluar/Pulang dari Ranap/RS
vii. Pindah Perawatan (Transfer of care)
viii. Identifikasi Pasien
ix. Consent
x. Pembagian tugas
xi. Respons terhadap kegawatdaruratan
Masalah i. Tidak performed ketika dibutuhkan/
i ndikasi
ii. Tidak lengkap / Inadekuat
iii. Tidak tersedia
iv. Salah pasien
v. Salah proses / pelayanan

2 Proses / Proses i. Skrining / Pencegahan / Medical


Prosedu check up
r Klinis ii. Diagnosis / Assessment
iii. Prosedur / Pengobatan / Intervensi

38
15.
Laboratorium Pengambil an/
/ Patologi Pick up Transport
Sorting Data entry
Prosesing Verifikasi /
Validasi Hasil

D. SISTEM PELAPORAN DAN PEMBELAJARAN KESELAMATAN PASIEN


RSU(SP2KP-RS)

selanjutnya disebut pelaporan insiden adalah suatu sistem untuk mendokumentasikan


laporan insiden keselamatan pasien, analisis dan solusi untuk pembelajaran. Sistem
pelaporan diharapkan dapat mendorong individu di dalam rumah sakit untuk peduli akan
bahaya yang dapat terjadi pada pasien. Pelaporan juga penting digunakan untuk
pencegahan terjadinya kesalahan (error) sehingga dapat mendorong dilakukan investigasi.
Di sisi lain pelaporan menjadi awal proses pembelajaran untuk mencegah kejadian yang
sama terulang kembali.
SP2KP-RS tersebut meliputi definisi kejadian sentinel, kejadian yang tidak diharapkan
(KTD), kejadian tidak cedera (KTC), dan kejadian nyaris cedera (KNC atau near-miss) dan
Kondisi potensial cedera signifikan (KPCS),mekanisme pelaporan insiden keselamatan
pasien baik internal maupun eksternal, grading matriks risiko serta investigasi dan analisis
insiden berdasarkan hasil grading tersebut. rumah sakit berpartisipasi untuk melaporkan
insiden keselamatan pasien yang telah dilakukan investigasi dan analisis serta dilakukan
pembelajaran ke KNKP sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

RSU Dharma Ibu Ternate menetapkan sistem pelaporan insiden keselamatan pasien
internal dan eksternal sesuai dengan merujuk pada peraturan perundang-undangan yang
meliputi:

1. Kebijakan
a. Penanganan insiden ditujukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan dan keselamatan pasien.
b. Penanganan insiden di RS dilakukan melalui pembentukan Subkomite KPRS.
c. Pelaporan insiden keselamatan pasien menjadi awal proses pembelajaran untuk
mencegah kejadian yang sama terulang lagi.
d. Penanganan insiden dilakukan kegiatan berupa pelaporan, verifikasi, investigasi
dan analisis penyebab insiden tanpa menyalahkan, menghukum dan
mempermalukan seseorang.

2. Alur Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien

Gambar 7- Alur Pelaporan IKP di RSU DHARMA IBU TERNATE TERNATE


Analysis). Analisis dan rencana tindakan selesai dalam waktu 45 hari setelah
kejadian. Tujuan AAM (Analisis Akar Masalah) adalah agar rumah sakit dapat
mengerti dengan baik dan komprehensif asal kejadian. Apabila AAM menunjukkan
perbaikan system atau tindakan lain dapat mengurangi risiko seperti itu terjadi lagi,
rumah sakit merancang ulang proses dan mengambil tindakan yang perlu dilakukan.
Kejadian sentinel bukan indikator terkait dengan pelanggaran hukum.
h. Rumah sakit wajib membuat laporan ke Komite Nasional Keselamatan Pasien
(KNKP) sesuai peraturan perundang-undangan dan dijamin keamanannya, bersifat
rahasia, anonym (tanpa identitas), tidak mudah diakses oleh yang tidak berhak,
dilengkapi dengan analisa, rekomendasi dan solusi dari Subkomite KPRS.
i. RS harus melakukan pelaporan kejadian sentinel secara online melalui
https://mutufasyankes.kemkes.go.id/ikp_rs/form_ikp_rs atau tertulis kepada Komite
Nasional Keselamatan Pasien (KNKP) sesuai dengan format laporan pada Formulir
2 dan Formulir 3 paling lambat 2 x 24 jam.
j. Selain Kejadian Sentinel, RSUjuga melaporakan KTD melalui
https://mutufasyankes.kemkes.go.id/ikp_rs/form_ikp_rs setiap bulan dan
mengirimkan laporan tertulis ke Dinas kesehatan kota ternate maksimal tanggal 15
bulan berikutnya.
k. Laporan IKP dilaporkan kepada Pemilik setiap 6 bulan, dan laporan kejadian
sentinel dilaporkan paling lambat 2 x 24 jam dengan disertai hasil RCA.
l. Laporan IKP dilaporkan kepada Direktur setiap 3 bulan, dan laporan kejadian
sentinel dilaporkan paling lambat 2 x 24 jam dengan disertai hasil RCA.
m. Pelaporan insiden disampaikan setelah dilakukan analisis, serta mendapatkan
rekomendasi dan solusi dari Subkomite KPRS.
n. Subkomite KPRS melakukan rekapan IKP termasuk Invertigasi dan Analisa
menggunakan format berikut:

Table 2- Form Rekapan IKP

No Tanggal Umur Jenis Insiden Kronologis Tanggal Penanggung Grading


Insiden Insiden Registrasi jawab biaya
Pasien
1.
2.
dst
Table 3- Hasil Investigasi dan Analisa IKP

No Hasil Investigasi dan Analisa Keterangan


1 Tipe insiden dan sub tipe insiden
2 Tipe harm(dampak yang terjadi akibat insiden)
3 Masalah
4 Penyebab Insiden
5 Orang yang terlibat sebagai penyebab langsung
insiden
6 Proses / fase pelayanan saat terjadi insiden
7 Faktor Kontributor
8 Faktor Mitigasi
9 Cara mendeteksi insiden
10 Dampak pada Fasyankes
11 Rekomendasi
12 Tindakan yang akan dilakukan
13 Tindakan perbaikan
14 Tindakan untuk mengurangi risiko

5. Insiden yang harus dilaporkan, yaitu kejadian yang sudah terjadi, potensial
terjadi, ataupun yang nyaris terjadi, yaitu KNC, KTC, KTD, KPCS dan kejadian
sentinel
6. Yang membuat pelaporan insiden adalah

a. Siapa saja atau semua staf RS yang pertama kali menemukan kejadian atau insiden.
b. Siapa saja atau semua staf RS yang terlibat dalam kejadian atau insiden.
7. Batas waktu pelaporan adalah 2 x 24 jam.
8. Hasil pelaporan insiden:
a. Tidak disimpan di dokumen rekam medik
b. Tidak difoto copy
c. Disimpan hanya di Subkomite Keselamatan Pasien RSU (KPRS)

E. ANALISIS MATRIKS GRADING RISIKO


Setelah menerima laporan insiden dari unit kerja, Subkomite KPRS melakukan analisa
matriks grading. Penilaian matriks risiko adalah suatu metode analisa kualitatif untuk
menentukan derajat risiko suatu insiden berdasarkan dampak dan probabilitasnya.
1. Dampak (Consequences)
Penilaian dampak / akibat suatu insiden adalah seberapa berat akibat yang dialami
pasien dari mulai tidak ada cedera sampai meninggal.
Table 4- Penilaian Dampak Klinis/ Konsekuansi/ Severity

Level DESKRIPSI DAMPAK

1 Insignificant Tidak ada cedera,

 Cedera ringan,
2 Minor  Dapat diatasi dengan pertolongan pertama,

 Cedera sedang,
 Berkurangnya fungsi motorik / sensorik / psikologis atau
3 Moderate intelektual secara semipermanent / reversibel / tidak
berhubungan dengan penyakit
 Setiap kasus yang memperpanjang perawatan
 cedera berat / luas
 Kehilangan fungsi utama permanent (motorik, sensorik,
4 Major psikologis, intelektual), permanen/irreversibel/tidak
berhubungan dengan penyakit
 Kerugian keuangan besar

5 Cathastropic  Kematian yang tidak berhubungan dengan perjalanan


penyakit
 Kerugian keuangan sangat besar

2. Probabilitas / Frekuensi / Likelihood


Penilaian tingkat Probabilitas / Frekuensi risiko adalah seberapa seringnya insiden
tersebut terjadi.
Table 5- Penilaian Frekuensi Risiko
Level Frekuensi/ Probabiblitas Kejadian aktual

1 Sangat jarang Dapat terjadi dalam lebih dari 5 tahun

2 Jarang Dapat terjadi dalam 2 – 5 tahun

3 Mungkin Dapat terjadi tiap 1 – 2 tahun

4 Sering Dapat terjadi beberapa kali dalam setahun

5 Sangat sering Terjadi dalam minggu / bulan


3. Matriks Grading Risiko
Setelah nilai Dampak dan Probabilitas diketahui, dimasukkan dalam Tabel Matriks
Grading Risiko untuk menghitung skor risiko dan mencari warna band risiko :
a. Skor Risiko
Cara menghitung skor risiko :

Untuk menentukan skor risiko digunakan matriks grading risiko:


1) Tetapkan frekuensi pada kolom kiri
2) Tetapkan dampak pada baris ke arah kanan
3) Tetapkan warna bandsnya, berdasarkan pertemuan antara frekuensi
dan dampak

Table 6- Matriks Grading Risiko


Potencial
Frekuens Concequences
i/ Insignificant Minor Moderate Major Catastrop
Likelihoo ic
d 1 2 3 4 5

Sangat Sering
Terjadi Moderate Moderate High Extreme Extreme
(Tiap mgg
/bln)
5
Sering
terjadi Moderate Moderate High Extreme Extreme
(Bebrp x
/thn)
4
Mungkin
terjadi (1-2 Lo Moderate High Extreme Extreme
thn/x) w
3
Jarang
terjadi (>2-5 Lo Low Moderate High Extreme
thn/x) w
2
Sangat jarang
sekali (>5 Lo Low Moderate High Extreme
thn/x) w
1
Dapat Manajer Tinjauan Tinjauan &
dikelola Klinis
dengan harus terperinci & tindakan
prosedur menilai segera
konsekuens perawatan diperlukan
i di
terhadap mendesak tingkat
biaya harus Dewan.
penanganan dilakukan Direktur
oleh harus
risiko manajemen diberitahu
senior
(Tindak (Manajer (Analisa (Analisa
lanjuti analisa detail & segera
sesuai dampak yg urget (RCA) (RCA) di
SPO) akan oleh BOD.
timbul Manajemen Dirut di
terkait
cost) senior) informasika
n
Skor risiko akan menentukan prioritas risiko. Jika pada asesmen risiko
ditemukan dua insiden dengan hasil skor risiko yang nilainya sama, maka untuk
memilih prioritasnya dapat menggunakan warna bands risiko.
b. Bands Risiko
Bands risiko adalah derajat risiko yang digambarkan dalam empat
warna yaitu : biru, hijau, kuning, dan merah. Warna “Bands” akan
menentukan investigasi yang dilakukan.

 Bands biru dan hijau : investigasi sederhana

 Bands kuning dan merah : investigasi komprehensif / RCA

Warna bands : hasil pertemuan antara nilai dampak yang diurut ke bawah
dan nilai probabilitas yang diurut ke samping kanan

Contoh :
Pasien jatuh dari tempat tidur dan meninggal, kejadian seperti ini di RS X
terjadi pada 2 tahun yang lalu.
Nilai dampak : 5 (katastropik) karena pasien meninggal
Nilai probabilitas : 3 (mungkin terjadi) karena pernah terjadi 2 tahun lalu
Skoring risiko : 5 x 3 = 15
Warna bands : Merah (ekstrim)

c. Tindakan yang diambil


Tindakan yang diambil berdasarkan bands risiko dapat dilihat pada table
berikut:
Table 7- Tindakan Berdasarkan Bands Risiko
F. RCA (Root Cause Analysis)

1. RCA adalah proses mengidentifikasi faktor dasar atau faktor penyebab


yang mendasari variasi dalam kinerja.

2. Laporan insiden dan hasil Investigasi baik investigasi komprehensif (RCA) maupun
investigasi sederhana (simple RCA) harus dilakukan untuk setidaknya hal-hal
berikut ini:

a) Semua reaksi transfusi yang sudah dikonfirmasi,

b) Semua kejadian serius akibat reaksi obat (adverse drug reaction) yang serius
sesuai yang ditetapkan oleh rumah sakit

c) Semua kesalahan pengobatan (medication error) yang signifikan sesuai yang


ditetapkan oleh rumah sakit

d) Semua perbedaan besar antara diagnosis pra- dan diagnosis pascaoperasi;


misalnya diagnosis praoperasi adalah obstruksi saluran pencernaan dan
diagnosis pascaoperasi adalah ruptur aneurisme aorta abdominalis (AAA)

e) Kejadian tidsk diharapkan atau pola kejadian tidak diharapkan selama sedasi
prosedural tanpa memandang cara pemberian

f) Kejadian tidak diharapkan atau pola kejadian tidak diharapkan selama anestesi
tanpa memandang cara pemberian

g) Kejadian tidak diharapkan yang berkaitan dengan identifikasi pasien

h) Kejadian-kejadian lain, misalnya infeksi yang berkaitan dengan perawatan


kesehatan atau wabah penyakit menular
3. RCA dilakukan bila hasil analisis laporan insiden dengan grading kuning/ merah
dan kejadian sentinel
4. Langkah-langkah RCA

a. Tahap pertama : Inisiasi dan merumuskan masalah

b. Tahap kedua : Penentuan peristiwa yang terjadi

c. Tahap ketiga : Penentuan critical event

d. Tahap keempat : Identifikasi akar masalah

e.Tahap kelima : Identifikasi alternatif penanggulangan masala


Formulir 1
Formulir 2
Formulir 3
Lembar Investigasi Sederhana
L
Lembaran investigasi sederhana biru dan hijau
RSU Dharma Ibu Ternate
I. SASARAN KESELAMATAN PASIEN

Sasaran Keselamatan Pasien (SKP) yang diterapkan di RSUada 6 (enam) yaitu


:
1. SKP 1 : mengidentifikasi pasien dengan benar
2. SKP 2 : meningkatkan komunikasi yang efektif
3. SKP 3 : meningkatkan keamanan obat-obat yang harus diwaspadai (high
alert medications)
4. SKP 4 : memastikan lokasi pembedahan yang benar, prosedur yang
benar, pembedahan pada pasien yang benar
5. SKP 5 : mengurangi risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan
6. SKP 6 : mengurangi risiko cedera pasien akibat terjatuh

1. Mengidentifikasi Pasien dengan Benar


Ketepatan identifikasi adalah proses pengumpulan data dan pencatatan segala
keterangan tentang bukti–bukti dari seseorang, sehingga kita dapat menetapkan
dan menyamakan keterangan tersebut dengan individu seseorang dengan tepat.
Gelang identifikasi pasien adalah suatu alat berupa gelang identitas yang
dipasangkan kepada pasien secara individual yang digunakan sebagai identitas
pasien selama dirawat di RSU Dharma Ibu Ternate.
Gelang identitas meliputi gelang berwarna merah muda untuk pasien berjenis
kelamin perempuan, gelang berwarna biru muda untuk pasien yang berjenis
kelamin laki-laki. Gelang penanda yang berlaku di RSU Dharma Ibu Ternate
diantaranya gelang berwarna merah untuk pasien dengan alergi tertentu, gelang
berwarna kuning untuk pasien yang berisiko jatuh, gelang berwarna ungu untuk
pasien Do Not Resuscitate (DNR).
a. Proses identifikasi pasien ini berlaku untuk semua staf rumah sakit yang
terkait dengan memberi layanan kepada pasien. Ketepatan mengidentifikasi
pasien harus ditandai pada saat kontak pertama dengan pasien dan
merupakan tanggung jawab semua staf rumah sakit apakah itu klinisi atau
petugas penerima pasien.
b. Proses identifikasi pasien dapat terjadi disemua aspek diagnosis dan pasien
dalam keadaan terbius, mengalami disorientasi, tidak sebenuh sadar, dalam
keadaan koma,saat pasien berpindah tempat tidur, berpindah kamar tidur,
berpindah lokasi di dalam rumah sakit, terjadi disfungsi sensoris,lupa
identitas

76
diri, atau mengalami situasi lainnya.
c. Identifikasi pasien dilakukan selama pasien mendapatkan pelayanan di
rumah sakit. Proses identifikasi secara benar harus dilakukan setiap
keadaan terkait intervensi terhadap pasien. Identifikasi pasien dilakukan
sebelum tindakan, pemberian obat, darah dan produk darah, menerima
cairan intravena, pengambilan darah atau spesimen lain untuk pemeriksaan
klinis, prosedur radiologi diagnostik dan identifikasi terhadap pasien koma.
d. Identitas di RSUSt. Carolus Borromeus menggunakan 4 komponen yaitu,
nama pasien (nama sesuai e-KTP), nomor rekam medis dan tanggal lahir
dan NIK. Semua pasien rawat inap di rumah sakit menggunakan gelang
identitas.
e. Pada saat pendaftaran pasien: nama pasien ditulis lengkap sesuai e-KTP,
bila tidak ada KTP bisa mengunakan kartu identitas lainnya, bila tidak ada
semuanya minta pasien/ keluarganya untuk menulis di formulir identitas
yang disediakan rumah sakit dengan huruf kapital pada kotak nama yang
disediakan, nama tidak boleh disingkat, tidak boleh salah ketik walau satu
huruf.

Cara Identifikasi Pasien :


a. Petugas melakukan identifikasi pasien minimal dua dari tiga identitas di atas
b. Mengidentifikasi identitas pasien pada saat akan dilakukan tindakan dengan :
1) Cara Verbal:
 Petugas RSUmemperkenalkan diri pada saat akan melakukan tindakan
 Menanyakan nama dan tanggal lahir pasien untuk memastikan
kebenaran identitas pasien
 Pasien yang tidak mampu memberitahukan namanya (misal: pada pasien
tidak sadar, bayi, disfasia, gangguan jiwa) konfirmasi identitas pasien
dilakukan kepada keluarga/ pengantarnya.
 Mengidentifikasi dengan verbal dilakukan saat pertama melakukan tindakan
2) Cara Visual:
 Petugas RSUmembaca data di gelang pasien, mencocokkan
dengan data yang tertulis di dokumen RM
c. Pasien yang dirawat di ICU, identifikasi identitas dilakukan oleh petugas
dengan perawat yang bertugas pada ruang tersebut
d. Sesudah identifikasi pasien dilakukan dan sudah cocok, lakukan prosedur

77
Untuk pendokumentasian pada pasien yang dengan risiko jatuh tercatat sebagai
:
 Pengkajian pasien jatuh didokumentasikan pada lembar pengkajian asesmen
pasien sesuai dengan usia.
 Asesmen ulang dilakukan 24 jam kemudian di ruang rawat inap
dan didokumentasikan pada lembar asesmen ulang.
 Format sensus harian patient safety
 Bila ada kejadian pasien jatuh dilaporkan dan didokumentasikan pada lembar
insiden dan dilaporkan ke Subkomite KPRS dan dibuatkan investigasi.

Monitoring dan Evaluasi SKP


Kegiatan sasaran keselamatan pasien dimonitor melalui indikator mutu sasaran
keselamatan pasien di masing-masing unit kegiatan.
Evaluasi pelaporan sasaran keselamatan pasien dilakukan oleh Subkomite KPRS
bersama Subkomite Mutu.

113
BAB VII

BUDAYA KESELAMATAN PASIEN

A. DEFINISI

Budaya keselamatan pasien adalah produk dari nilai, sikap, kompetensi, dan pola
perilaku individu dan kelompok yang menentukan komitmen, style dan kemampuan suatu
organisasi pelayanan kesehatan terhadap program patient safety. Jika suatu organisasi
pelayanan kesehatan tidak mempunyai budaya keselamatan pasien, maka kecelakaan
bisa terjadi akibat dari kesalahan laten, gangguan psikologis dan fisiologis pada staf,
penurunan produktifitas, berkurangnya kepuasan pasien dan bisa menimbulkan konflik
interpersonal.

Menurut Reason, komponen budaya keselamatan terdiri atas budaya pelaporan,


budaya adil, budaya fleksibel dan budaya pembelajaran. Keempat komponen tersebut
mengidentifikasikan nilai-nilai kepercayaan dan perilaku yang ada dalam organisasi
dengan budaya informasi dimana insiden dilaporkan untuk dilakukan tindakan untuk
meningkatkan keamanan. Organisasi yang aman tergantung pada kesediaan karyawan
untuk melaporkan kejadian cedera dan nearmiss (learning culture). Kerelaan karyawan
dalam melaporkan insiden karena kepercayaan bahwa manajemen akan memberikan
support dan penghargaan terhadap pelaporan insiden dan tindakan disiplin diambil
berdasarkan akibat dari risiko (risk taking), merupakan pelaksanaan budaya adil. Kerelaan
karyawan untuk melaporkan insiden karena atasan bersikap tenang ketika informasi
disampaikan sebagai bentuk penghargaan terhadap pengetahuan petugas, merupakan
pelaksanaan budaya fleksibel. Terpenting, kerelaan karyawan untuk melaporkan insiden
karena kepercayaan bahwa organisasi akan melakukan analisa informasi insiden untuk
kemudian dilakukan perbaikan sistem, merupakan pelaksanaan budaya pembelajaran.
Interaksi antara keempat komponen tersebut akan mewujudkan budaya keselamatan yang
kuat.

Menurut Carthey & Clarke (2010) dalam buku “Implementing Human Factors in
Healthcare ‘how to’ Guide” bahwa organisasi kesehatan akan memiliki budaya
keselamatan pasien yang positif, jika memiliki dimensi budaya sebagai berikut:

1. Budaya keterbukaan (open culture).

Budaya ini menggambarkan semua staf RS merasa nyaman berdiskusi tentang insiden

114
10. Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien

Kembangkan cara-cara komunikasi yang terbuka dengan pasien.

11. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien

Dorong staf untuk melakukan analisis akar masalah sebagai bahan pembelajaran
bagaimana dan mengapa kejadian itu bisa terjadi.
12. Cegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien

Gunakan informasi yang ada tentang kejadian / masalah untuk melakukan perubahan
pada sistem pelayanan.

Untuk membangun budaya keselamatan pasien di rumah sakit, diperlukan langkah-


langkah sebagai berikut:
1. Melakukan penilaian budaya keselamatan pasien saat ini

2. Melakukan pelatihan mengenai budaya keselamatan pasien

3. Identifikasi masalah-masalah keselamatan pasien

4. Bangun kerjasama yang baik antarunit

5. Pelajari kejadian/insiden setiap periode

6. Melakukan pengkajian kembali tentang budaya keselamatan

C. MENGUKUR MATURITAS BUDAYA KESELAMATAN PASIEN

Maturitas budaya keselamatan pasien dalam organisasi diklasifikasikan oleh Ashcroft


et.al. (2005) menjadi lima tingkat maturitas: patologis, reaktif, kalkulatif, proaktif dan
generatif. Di tingkat patologis, organisasi melihat keselamatan pasien sebagai masalah,
akibatnya informasi-iinformasi terkait patient safety akan ditekan dan lebih berfokus pada
menyalahkan individu demi menunjukkan kekuasaan pihak tertentu. Di tingkat reaktif,
organisasi sudah menyadari bahwa keselamatan pasien adalah hal penting, tetapi hanya
berespon ketika terjadi insiden yang signifikan. Di tingkat kalkulatif, organisasi cenderung
berpaku pada aturah-aturan dan jabatan dan kewenangan dalam organisasi. Setelah
insiden terjadi, informasi tidak diteruskan atau bahkan diabaikan, kesalahan segera
dibenarkan atau dijelaskan penyebabnya, tanpa analisis yang lebih mendalam lagi.
Organisasi yang
proaktif berfokus pada upaya-upaya untuk mengantisipasi masalah-masalah patient safety
dengan melibatkan banyak stakeholders terkait patient safety. Sementara organisasi yang
generatif secara aktif mencari informasi untuk mengetahui apakah tindakan-tindakan yang
dilakukan dalam organisasi ini sudah aman atan belum.
Level kematangan budaya keselamatan pasien

( menurut Manchester Pasien Safety Assesment Tools (MaPSaT) :


Patologis Tidak ada sistem untuk pengembangan budaya keselamatan
pasien Ciri-ciri pada level ini :
- Informasi disembunyikan

- Pelapor “dibunuh” atau dihentikan

- Pertanggungjawabam dielakkan

- Koordinasi dilarang

- Kegagalan ditutupi

- Ide-ide baru dihancurkan

Reaktif Sistemnya masih terpecah-pecah, dikembangkan sebagai


bagian dari
regulasi atau permintaan akreditasi atau untuk merespon
insiden
yang terjadi.
Kalkulatif/ Terdapat pendekatan sistematis terhadap patient safety, tetapi
Bureaucratic implementasinya masih terkotak-kotak dan analisis terhadap insiden
masih terbatas pada situasi ketika insiden terjadi.
Ciri-Ciri pada level ini:

- Sudah ada sistem yang mengelola risiko/insiden yang


teridentifikasi

- Informasi diabaikan

- Pelapor ditoleransi

- Pertanggungjawaban terkotak-kotak

- Koordinasi diijinkan tapi tidak berjalan maksimal

- Ide-ide baru menimbulkan masalah


Proaktif Terdapat pendekatan komprehensif terhadap budaya
keselamatan pasien, intervensi yang
evidence-based sudah
diimplementasikan
Generatif Pembentukan dan maintenance budaya keselamatan pasien adalah
bagian sentral dari misi organisasi, efektifitas intervensi selalu
dievaluasi, selalu belajar dari pengalaman yang salah maupun yang
berhasil, dan mengambil tindakan-tindakan yang berarti untuk
memperbaiki situasi.
Ciri-ciri pada level ini:

- Informasi dicari secara aktif

- Pelapor diberi dukungan

- Berbagi pertanggungjawaban

- Koordinasi dihargai

- Penyebab kegagalan diselidiki

- Ide-ide diterima

Cara Meningkatkan Budaya Keselamatan dalam Organisasi


1. Keterampilan berkomunikasi

Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi berupa pesan, ide atau
gagasan dari satu pihak kepada pihak lainnya. Komunikasi dapat berupa lisan, tertulis,
atau elektronik. Komunikasi dalam pelayanan kesehatan bisa terjadi pada komunikasi
antapetugas kesehatan dan komunikasi antara pasien atau keluarga pasien dengan
petugas kesehatan.
a. Komunikasi antartenaga kesehatan

Komunikasi antartenaga kesehatan yang sering terjadi di lingkungan RSUyaitu


informasi berupa perintah pemberian pengobatan, pelaporan hasil pemeriksaan pasien
seperti tanda-tanda vital, pelaporan hasil laboratorium, radiologi dan lain sebagainya.
Komunikasi tersebut bisa melalui telepon, lisan atau tertulis. Untuk menghindari
gangguan dalam komunikasi melalui telepon atau secara lisan, diperlukan komunikasi
yang efektif, yaitu komunikasi yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan dipahami
oleh sesama tenaga kesehatan, sehingga tidak terjadi kesalahan dan dapat
meningkatkan
keselamatan pasien.
b. Komunikasi antara pasien atau keluarga pasien dengan petugas kesehatan
Komunikasi antara pasien dengan petugas kesehata sebaiknya melibatkan keluarga.
Sebelum melakukan pelayanan kesehatan, petugas kesehatan melakukan informed
consent terlebih dahulu. Informed consent adalah barometer unutk mengetahui sejauh
mana keterlibatan pasien dalam proses terapi.

Ada dua bagian utama dari informed consent, yaitu:

1) Bagian yang menginformasikan pasien mengenai:

a) Pemberian informasi oleh praktisi kesehatan

b) Penangkapan informasi oleh pasien

2) Bagian yang memungkinkan pasien mengambil keputusan yang meliputi:

a) Pengambilan keputusan oleh pasien dengan bebas dan tidak terpaksa

b) Kompetensi kultural

Informasi yang harus diberikan kepada pasien antara lain sebagai berikut:
 Diagnosis

 Tingkat kepastian diagnosis

 Risiko terapi

 Manfaat terapi dan risiko jika tidak dilakukan terapi

 Perkiraan waktu pemulihan

 Nama, jabatan, kualifikasi dan pengalaman tenaga kesehatan yang memberikan terapi
dan perawatan
 Ketersediaan dan biaya perawatan setelah keluar dari rumah sakit

2. Menyampaikan insiden pada pasien (open disclosure)

Salah satu prinsip komunikasi yang baik adalah jujur dan tidak menutupi kesalahan.
Open disclosure ialah serangkaian diskusi dengan pasien atau keluarga tentang insiden
keselamatan pasien yang bisa mengakibatkan kerugian bagi pasien saat mereka
menerima perawatan di rumah sakit.
Setiap kali insiden berbahaya terjadi, pasien atau keluarga harus diberi tahu. Lima
elemen penting dalam open disclosure meliputi:
c. Permintaan maaf
d. Penjelasan sebenarnya tentang apa yang terjadi

e. Memberi kesempatan bagi pasien untuk menceritakan pengalamannya yang


berhubungan dengan tindakan perawatan di rumah sakit
f. Diskusi tentang konsekuensi potensial yang akan terjadi
g. Penjelasan tentang langkah-langkah yang diambil untuk menangani insiden tersebut
dan mencegah kekambuhan

D. PENGUKURAN BUDAYA KESELAMATAN

1. Metode Pengukuran Budaya Keselamatan Pasien

Pengukuran budaya keselamatan pasien menggunakan metode kuesioner dan


supervisi pada saat Ronde Keselamatan Pasien. Kuesioner dibagikan kepada
responden seluruh unit pelayanan. Responden dalam hal ini adalah seluruh karyawan
rumah sakit dari petugas keamanan, administrasi, perawat, dan dokter. Kuesioner
dibagikan setiap bulan menggunakan jumlah sampel berdasarkan jumlah karyawan
untuk setiap unit. Sedangkan Ronde Keselamatan Pasien dilakukan setiap 2 bulan
oleh Direktur bersama dengan Subkomite Keselamatan Pasien RS ke setiap unit.

2. Instrumen Pengukuran Budaya Keselamatan


RSU Dharma Ibu Ternate menggunakan instrumen AHRQ (American Hospital
Research and Quality) untuk mengukur opini staf rumah sakit mengenai isu
keselamatan pasien, medical errors dan pelaporan insiden. Survei ini terdiri dari 42
item yang mengukur 12 dimensi keselamatan pasien yang meliputi komponen dalam
tabel berikut ini.
Dimensi Budaya
Definisi
Keselamatan Pasien

Staf bebas berbicara ketika mereka melihat sesuatu


yang berdampak negatif pada pasien dan bebas
Komunikasi terbuka
menanyakan masalah tersebut kepada
atasan.

Staf diberi informasi mengenai insiden yang terjadi, diberi


Komunikasi dari umpan
umpan balik mengenai implementasi perbaikan, dan
balik mengenai insiden
mendiskusikan cara
unutk mencegah kesalahan.

Tipe-tipe kesalahan yang dilaporkan:

Frekuensi 1. Kesalahan diketahui dan dikoreksi sebelum


pelaporan mempengaruhi pasien

insiden 2. Kesalahan tanpa potensi cedera pada pasien


3. Kesalahan yang dapat mencederai pasien, tetapi tidak
terjadi

Hand over dan transisi Informasi yang penting saat perpindahan pasien
dikomunikasikan dengan baik antar unit dan antar staf.

Dukungan manajemen
Manajemen rumah sakit mewujudkan iklim kerja
untuk
keselamatan pasien Yang mengutamakan keselamatan pasen dan
menunjukkan
bahwa keselamatan pasien merupakan prioritas utama.
Respon non punitif (tidak Staf merasa kesalahan dan pelaporan insiden tidak
menghukum) terhadap dipergunakan untuk menyalahkan mereka dan tidak
kesalahan dimasukkan ke dalam penilaian
personal.

Pembelajaran Kesalahan dipergunakan untuk perubahan ke arah positif


organisasi - dan perubahan dievaluasi efektivitasnya.
peningkatan
berkelanjutan

Persepsi keselamatan Prosedur dan sistem sudah baik dalam mencegah


kesalahan dan hanya ada sedikit
pasien secara masalah keselamatan
keseluruhan pasien.
Jumlah staf cukup untuk menyelesaikan beban kerja dan
jumlah jam kerja sesuai dalam memberikan pelayanan
Staffing
yang terbaik untuk
keselamatan pasien.
Atasan mempertimbangkan masukan staf untuk
Ekspektasi dan upaya
meningkatkan keselamatan pasien, memberikan pujian
atasan dalam
bagi staf yang melaksanakan prosedur keselamatan
meningkatkan
pasien, dan tidak terlalu membesar-
keselamatan pasien
besarkan masalah keselamatan pasien.

Unit kerja di rumah sakit bekerja sama dan berkoordinasi


antara stu unit dengan unit yang lain dalam memberikan
Kerja sama tim antarunit
pelayanan yang terbaik
untuk pasien.

Kerja sama dalam tim Staf saling mendukung satu sama lain, saling
unit menghormati, dan bekerja sama sebagai tim.
kerja

Survey ini juga mengandung dua pertanyaan kepada responden mengenai tingkat
budaya keselamatan di unit kerja masing-masing dan banyaknya jumlah insiden yang
telah mereka laporkan selama satu tahun terakhir. Sebagai tambahan, responden juga
ditanyai mengenai latar belakang responden (unit kerja, jabatan staf, apakah mereka
berinteraksi langsung dengan pasien atau tidak).

Adapun beberapa penjelasan terkait instrumen survey budaya keselamatan pasien adalah
sebagai berikut:
a. Responden

Responden yang dapat mengisi instrumen survey budaya keselamatan pasien adalah
seluruh staf yang berada di pelayanan rumah sakit. Survey ini sangat cocok
dilaksanakan pada:
1) Staf rumah sakit yang secara langsung bersentuhan dengan pasien / staf klinis

2) Staf rumah sakit yang tidak bersentuhan langsung dengan pasien, namun
pelayanannya dapat mempengaruhi pasien / staf non klinis
3) Pimpinan, manajer dan petugas administrasi rumah sakit
BAB VIII

MANAJEMEN RISIKO

A. PENGERTIAN MANAJEMEN RISIKO


Manajemen Risiko menurut The Joint Commission On Acreditation Of Healthcare
Organizations adalah aktivitas klinik dan administratif yang dilakukan oleh RSUuntuk
melakukan identifikasi, evaluasi dan pengurangan risiko terjadinya cedera atau kerugian
pada pasien, pengunjung dan institusi rumah sakit.
Manajemen Risiko juga diartikan sebagai proses yang proaktif dan kontinu meliputi
identifikasi, analisis, evaluasi, pengendalian, informasi komunikasi, pemantauan, dan
pelaporan Risiko, termasuk berbagai strategi yang dijalankan untuk mengelola Risiko dan
potensinya. Program manajemen risiko berkelanjutan digunakan untuk melakukan
identifikasi dan mengurangi risiko lain terhadap keselamatan pasien dan staf.
Manajemen Risiko Terintegrasi adalah proses identifikasi, analisis, evaluasi dan
pengelolaan semua Risiko yang potensial dan diterapkan terhadap semua
unit/bagian/program/kegiatan mulai dari penyusunan rencana strategis, penyusunan dan
pelaksanaan program dan anggaran, pertanggungjawaban dan monitoring dan evaluasi
serta pelaporan.

B. TUJUAN
Penerapan Manajemen Risiko bertujuan untuk:
1. Mengantisipasi dan menangani segala bentuk risiko secara efektif dan efisien;
2. Meningkatkan kepatuhan terhadap regulasi;
3. Memberikan dasar pada setiap pengambilan keputusan dan perencanaan; dan
4. Meningkatkan pencapaian tujuan dan peningkatan kinerja.

C. FAKTOR YANG MENENTUKAN KEBERHASILAN


Faktor Yang Menentukan Keberhasilan Penerapan Manajemen Risiko meliputi:
1. Komitmen pimpinan terhadap kebijakan, proses, dan rencana tindakan;
2. Pihak yang ditetapkan untuk secara langsung bertanggung jawab guna
mengoordinasikan Proses Manajemen Risiko;
3. Kesadaran setiap staf dan/atau Pegawai di lingkungan rumah sakit terhadap prinsip
Manajemen Risiko untuk menciptakan kultur/ budaya yang tepat dan memahami
manfaat yang dapat diperoleh dari Manajemen Risiko yang efektif;
4. kebijakan Manajemen Risiko yang merinci peranan dan tanggung jawab dari unsur
pimpinan dan staf pada setiap unit kerja metodologi Manajemen Risiko yang
menyeluruh:
5. Pelatihan tentang Manajemen Risiko untuk tujuan kepedulian Risiko bagi seluruh staf
dan/atau Pegawai; dan
6. Pemantauan yang terus menerus mengenai aktivitas pengendalian Risiko.

D. KATEGORI RISIKO
Ada beberapa kategori risiko yang dapat berdampak pada rumah sakit. Kategori ini antara
lain dan tidak terbatas pada risiko :
1. Pelayanan (patient care - relited risk) : resiko yang menimbulkan kerugian pada pasien
2. Aset (property- related risk) : risiko yang menimbulkan kerugian pada fasilitas rumah
sakit
3. Medis (medical staff-related risk) : risiko yang berhubungan dengan staf medis
4. Tenaga kesehatan dan tenaga lainnya (employe-related risk)
5. Keuangan (financial risk) : risiko yang berhubungan dengan keuangan rumah sakit
6. Lingkungan (environmental risk)

E. PRINSIP UNTUK MENGELOLA RISIKO


1. Memberi nilai tambah dan melindungi nilai organisasi.
2. Bagian terpadu dari proses organisasi.
3. Bagian dari pengambilan keputusan.
4. Secara khusus menangani ketidakpastian
5. Sistematis, terukur dan tepat waktu.
6. Berdasarkan informasi terbaik yang ada.
7. Manajemen risiko adalah untuk penggunanya (tailored) manajemen risiko
mempertimbangkan faktor manusia dan budaya.
8. Manajemen risiko harus transparan dan inklusif.
9. Manajemen risiko bersifat dinamis, berulang dan tanggap terhadap perubahan.
10. Manajemen risiko harus memfasilitasi terjadinya perbaikan dan peningkatan
organisasi secara berlanjut.
F. PROSES MANAJEMEN RISIKO RSUMELIPUTI :

1. Komunikasi dan konsultasi


Komunikasi risiko secara umum dapat diartikan sebagai proses interaktif dalam hal
tukar menukar informasi dan pendapat yang mencakup multi pesan mengenai risiko
dan pengelolaannya. Proses ini berjalan secara internal dalam organisasi, bagian,
unit atau ekternal yang ditujukan kepada stakeholder eksternal. Konsultasi dapat
dijelaskan sebagai suatu proses komunikasi antara organisasi dengan pemangku
kepentingan, mengenai isu tertentu, terkait dengan pengambilan keputusan
termasuk penerapan manajemen risiko.
Bentuk komunikasi dan konsultasi dapat berupa:
a. rapat berkala;
b. rapat insidental;
c. seminar/sosialisasi/workshop; atau
d. forum pengelola risiko
2. Penetapan Konteks
Penetapan konteks merupakan artikulasi tujuan dan mendefinisikan parameter
eksternal dan internal untuk diperhitungkan ketika mengelola risiko, kemudian
menetapkan ruang lingkup dan kriteria risiko untuk prosedur selanjutnya. Dalam
menentukan konteks perlu diperhatikan beberapa hal, sebagai berikut:
a. Konteks Eksternal:
memberikan masukan dalam membuat keputusan dan pilihan yang
melibatkan berbagai jenis dan tingkat risiko.
Analisis risiko melibatkan pertimbangan penyebab dan sumber risiko,
konsekuensi positif dan negatif, dan kemungkinan bahwa mereka
konsekuensi dapat terjadi. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsekuensi
dan kemungkinan harus diidentifikasi. Risiko dianalisis dengan menentukan
konsekuensi dan kemungkinan potensi dan atribut lain dari risiko.
Suatu peristiwa bisa menimbulkan konsekuensi ganda dan dapat
mempengaruhi berbagai tujuan. Pengendalian yang ada, efektivitas dan
efisiensi juga harus diperhitungkan. Cara menyajikan konsekuensi dan
kemungkinan dan cara menggabungkan untuk menentukan tingkat risiko
harus mencerminkan jenis risiko, informasi yang tersedia, tujuan dan hasil
penilaian risiko untuk digunakan dan harus konsisten dengan kriteria risiko.
Hal ini juga penting untuk mempertimbangkan saling ketergantungan risiko
yang berbeda dan sumber yang ada. Kepercayaan dalam penentuan tingkat
risiko dan kepekaan terhadap prasyarat dan asumsi harus dipertimbangkan
dalam analisis, dan dikomunikasikan secara efektif kepada para pembuat
keputusan dan, pemangku kepentingan lainnya jika diperlukan.
Analisis risiko dapat dilakukan dengan berbagai tingkat secara rinci,
tergantung pada risiko, tujuan analisis, dan informasi, data dan sumber daya
yang tersedia. Analisis dapat bersifat kualitatif, semi kuantitatif atau
kuantitatif, atau kombinasi dari, tergantung pada keadaan. Konsekuensi dan
kemungkinan potensi risiko dapat ditentukan dengan memodelkan hasil dari
suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa, atau dengan ekstrapo/asi dari
studi eksperimental atau dari data yang tersedia. Konsekuensi dapat
dinyatakan dalam dampak berwujud dan tidak berwujud. Dalam beberapa
kasus, lebih dari satu nilai numerik atau deskripsi yang diperlukan untuk
menentukan konsekuensi dan kemungkinan potensi risiko untuk waktu,
tempat, kelompok atau situasi yang berbeda

RISIKO KLINIS
1) Dampak (Consequences)
Penilaian dampak / akibat suatu insiden adalah seberapa berat akibat yang
dialami pasien dari mulai tidak ada cedera sampai meninggal.
Table 11-Penilaian Dampak Klinis/ Konsekuansi/ Severity (KLINIS)

Level DESKRIPSI DAMPAK

1 Insignificant Tidak ada cedera,

 Cedera ringan,
2 Minor  Dapat diatasi dengan pertolongan pertama,

 Cedera sedang,
 Berkurangnya fungsi motorik / sensorik / psikologis
3 Moderate atau intelektual secara semipermanent / reversibel /
tidak berhubungan dengan penyakit
 Setiap kasus yang memperpanjang perawatan
 cedera berat / luas
 Kehilangan fungsi utama permanent (motorik,
4 Major sensorik, psikologis, intelektual),
permanen/irreversibel/tidak berhubungan dengan
penyakit
 Kerugian keuangan besar

5 Cathastropi  Kematian yang tidak berhubungan dengan perjalanan


c penyakit
 Kerugian keuangan sangat besar

2) Probabilitas / Frekuensi / Likelihood

Penilaian tingkat Probabilitas / Frekuensi risiko adalah seberapa seringnya


insiden tersebut terjadi.
Table 12- Penilaian Frekuensi Risiko Klinis
Level Frekuensi/ Kejadian aktual
Probabiblitas
1 Sangat jarang Dapat terjadi dalam lebih dari 5 tahun

2 Jarang Dapat terjadi dalam 2 – 5 tahun

3 Mungkin Dapat terjadi tiap 1 – 2 tahun

4 Sering Dapat terjadi beberapa kali dalam setahun

5 Sangat sering Terjadi dalam minggu / bulan

3) Skor Risiko
Cara menghitung skor risiko :

Untuk menentukan skor risiko digunakan matriks grading risiko:


1) Tetapkan frekuensi pada kolom kiri
2) Tetapkan dampak pada baris ke arah kanan
3) Tetapkan warna bandsnya, berdasarkan pertemuan antara frekuensi
dan dampak

Table 13- Matriks Grading Risiko


Potencial
Frekuensi/ Concequences
Likelihood Insignificant Minor Moderate Major Catastr
opic
1 2 3 4 5

Sangat Sering
Terjadi Moderate Moderate High Extreme Extrem
(Tiap mgg e
/bln)
5
Sering terjadi
(Bebrp x /thn) Moderate Moderate High Extreme Extrem
4 e

Mungkin
terjadi (1-2 Low Moderate High Extreme Extrem
thn/x) e
3
Jarang terjadi
(>2-5 thn/x) Low Low Moderate High Extrem
2 e
Sangat jarang
sekali (>5 Low Low Moderate High Extrem
thn/x) e
1
Dapat Manajer Tinjauan Tinjauan &
dikelola Klinis
dengan harus terperinci & tindakan
prosedur menilai segera
konsekuens perawatan diperlukan
i di
terhadap mendesak tingkat
biaya harus Dewan.
penanganan dilakukan oleh Direktur
harus
risiko manajemen diberitahu
senior
(Tindak (Manajer (Analisa detail (Analisa
lanjuti analisa & segera
sesuai SPO) dampak yg urget (RCA) (RCA) di
akan oleh BOD.
timbul Manajemen Dirut di
terkait
cost) senior) informasika
n
RISIKO NON-KLINIS
1) Dampak Risiko Non-klinis
Table 14- Dampak Risiko Non-Klinis

level Dampak dari kejadian terhadap Tujuan, apabila Risiko terjadi

Sebagian besar tujuan intansi/kegiatan gagal dilaksanakan

Sanga Terganggunya minggu


5 Mengancam program dan organisasi serta stakeholders.
t
Tinggi Kerugian sangat besar bagi organisasi dari segi keuangan maupun non
keuangan

Sebagian tujuan intansi/kegiatan gagal dilaksanakan

4 Tinggi Terganggunya pelayanan lebih dari 2 hari tetapi kurang dari 1 Minggu
Mengancam fungsi program yang efektif dan organisasi.
Kerugian besar bagi organisasi dari segi keuangan maupun non keuangan.
Mengganggu pencapaian tujuan intansi/kegiatan secara signifikan

3 Sedang Mengganggu kegiatan pelayanan secara signifikan


Mengganggu administrasi program.
Kerugian keuangan cukup besar
Mengganggu pencapaian tujuan intansi/kegiatan meskipun tidak signifikan

2 Rendah Cukup menggangu jalannya pelayanan


Mengancam efisiensi dan efektivitas beberapa aspek program.
Kerugian kurang material dan sedikit mempengaruhi stakeholders
Tidak berdampak pada pencapaian tujuan intansi/kegiatan secara umum
Sangat
1 Agak mengganggu pelayanan
Rendah
Dampaknya dapat ditangani pada tahap kegiatan rutin.
Kerugian kurang material dan tidak mempengaruhi stakeholders
2) Probabilitas Risiko Non-Klinis
Table 15- Probabilitas Risiko non-klinis

Level PROBABILITAS RISIKO


Hampir Pasti Peristiwa selalu terjadi hampir pada setiap kondisi
5
Terjadi Pensentase > 90% dalam 1 periode
Peristiwa sangat mungkin terjadi pada sebagian kondisi
4 Kadang Terjadi
Pensentase > 50-90%kegiatan dalam 1 periode
Peristiwa kadang-kadang bisa terjadi
3 Sering Terjadi
Pensentase > 30-50%
Peristiwa diharapkan tidak terjadi
2 Sering Terjadi
Pensentase > 10-30%
Peristiwa hanya akan timbul pada kondisi yang luar
1 Hampir Pasti
biasa
Terjadi
Pensentase 0-10%

3) Matriks Analisis Risiko


Table 16-Matriks Analisis Risiko Non-Klinis

DAMPAK
MATRIKS ANALISIS RISIKO 1 2 3 4 5
(5X5) Sangat Sanga
Rendah Sedan Tinggi
Rendah g t
Tinggi
5 Hampir Pasti Terjadi 5 10 15 20 25
PROBABILI

S 4 Sering Terjadi 4 8 12 16 20
A
T 3 Mungkin Terjadi 3 6 9 12 15
2 Jarang Terjadi 2 4 6 8 10
1 Hampir Tidak Terjadi 1 2 3 4 5

4) KTable 17- Kriteria Risiko Non-Klinis

Peringk
Level Tindakan
Zone at
Risiko

SANGA Diperlukan tindakan segera untuk


5 > 15
T TINGGI mengelola risikonya.
4 10 s.d. TINGGI Diperlukan tindakan untuk mengelola
14 risikonya.
Disarankan diambil tindakan jika tersedia
3 5 s.d. 9 SEDANG
sumber dayanya.
Tidak diperlukan tindakan. Buat rencana
2 3 s.d. 4 RENDAH
darurat (contingency plan) dan terus lakukan
monitoring.
SANGAT
1 1 s/ 2 Tidak perlu tindakan. Monitoring
RENDAH
Dampak
Tuntuta pada Dampa
Sko Deraja Dampa n Ganti Penunda Reputasi k pada
t k an Kesehatan
r Rugi dan pihak
(tingka Keuang Pelayan terkait
t) an an Keselamat
an
Dimuat
oleh
Luka media
berganda nasional/ Berdamp
5 Sang > 12% > Rp >5 atau ak pada
internasio
at anggara 50.000.0 hari lebih dari
n kematian nal dan
Tingg 00 kerja atau cacat media 5 pihak
i permanen sosial/me
dia online
diingat
lama
oleh
masyara
kat
Dimuat di
media
> Rp Luka nasional
4 Tinggi >8- 25.000.0 >3-5 serius dan media Berdamp
12% 00 hari pada online dan ak pada
anggara - Rp kerja orang atau diingat 4-5 pihak
n 50.000.0 beberapa sementara
00 orang oleh
masyara
kat
Dimuat
> Rp Luka oleh
>5 - 8% 5.000.0 >2-3 berarti media Berdamp
3 Sedang anggara 00 hari pada massa ak pada
n - Rp kerja orang atau lokal & 3-4
25.000.0 beberapa media pihak
00 orang sosial
namun
cepat
dilupakan
masyara
kat
Dimuat
Luka
> Rp oleh Berdamp
kecil
2 Rendah > 3 - 5% 1.000.0 >1-2 media ak pada
berarti
anggara 00 hari massa 2-3
pada
n – Rp kerja lokal pihak
orang
5.000.0 namun
atau
00 cepat
beberapa
dilupakan
orang masyara
kat
Luka kecil Hanya
Diketahui
1 Sang ≤ 3% ≤ Rp ≤1 pada berdamp
oleh seisi
at anggar 1.000.0 hari orang atau ak pada
kantor
Rend an 00 kerja beberapa satu
ah orang pihak
c. Evaluasi Risiko
Evaluasi risiko adalah proses membandingkan antara hasil analisa risiko
dengan kriteria risiko untuk menentukan apakah risiko dapat diterima atau
ditoleransi. Tujuan evaluasi risiko adalah untuk membantu dalam membuat
keputusan, berdasarkan hasil analisis risiko, berkaitan dengan risiko yang
memerlukan prioritas penanganannya. Evaluasi risiko menggunakan
perbandingan tingkat risiko yang ditemukan selama prosedur analisis dengan
kriteria risiko yang dibuat ketika konteksnya ditetapkan. Berdasarkan
perbandingan ini, penanganan perlu dipertimbangkan. Keputusan harus
mempertimbangkan konteks yang lebih luas dari risiko dan mencakup
pertimbangan toleransi risiko yang ditanggung oleh pihak lain selain manfat
risiko bagi organisasi. Keputusan harus dibuat sesuai dengan persyaratan
hukum, peraturan dan lainnya. Dalam beberapa situasi, evaluasi risiko dapat
menyebabkan keputusan untuk melakukan analisa lebih lanjut. Evaluasi risiko
juga dapat menyebabkan keputusan untuk tidak memperlakukan risiko
dengan cara lain selain mernpertahankan pengendalian yang ada. Keputusan
ini akan dipengaruhi oleh karakteristik risiko organisasi dan kriteria risiko yang
telah ditetapkan.

4. Penanganan Risiko
Penanganan risiko menggunakan pemilihan satu atau lebih pilihan untuk
memodifikasi risiko, dan melaksanakan pilihan tersebut. Setelah diimplementasikan,
penanganannya atau modifikasi proses pengendalian risiko.
Penanganan risiko terdiri atas siklus prosedur sebagai berikut:
a. menilai penanganan risiko;
b. memutuskan apakah tingkat risiko residual yang ada;
c. jika tidak ditoleransi, menghasilkan penanganan risiko baru, dan
d. menilai efektivitas penanganan itu.
Pemilihan penanganan risiko tidak harus saling tertutup atau tepat dalam segala
situasi. Pilihan yang dapat dilakukan mencakup hal berikut:
a. Menghindari risiko dengan memutuskan untuk tidak memulai atau melanjutkan
dengan kegiatan yang menimbulkan risiko;
b. Mengambil atau meningkatkan risiko untuk memanfaatkan peluang;
c. Menghilangkan sumber risiko;
d. Mengubah kemungkinan;
e. Mengubah konsekuensi;
f. Berbagi risiko ke pihak lain atau pihak tertentu (termasuk kontrak dan pembiayaan
risiko), dan
g. Mempertahankan risiko dengan keputusan

Langkah-langkah dalam merancang kegiatan pengendalian adalah sebagai berikut:


a. Berdasarkan hasil penilaian risiko, pemilik risiko mengidentifikasi apakah
kegiatan pengendalian yang ada telah efektif untuk meminimalisasi risiko.

b. Kegiatan pengendalian yang telah ada tersebut perlu dinilai efektivitasnya dalam
rangka mengurangi probablitas terjadinya risiko (abatisasi) maupun mengurangi
dampak risiko (mitigasi).
c. Selain itu, juga perlu diperhatikan ada/tidaknya pengendalian alternatif
(compensating control) yang dapat mengurangi terjadinya risiko.
d. Terhadap risiko yang belum ada kegiatan pengendaliannya maupun yang telah
ada, namun dinilai kurang atau tidak efektif, perlu dirancang kegiatan
pengendalian yang baru/merevisi kegiatan pengendalian yang sudah ada.
e. Menerapkan kegiatan pengendalian yang telah dirancang dalam mengelola risiko.

5. Monitoring dan Reviu


Monitoring dan Reviu adalah bagian dari proses manajemen risiko yang memastikan
bahwa seluruh tahapan proses dan fungsi manajemen risiko memang berjalan
dengan baik. Monitoring adalah pemantauan rutin terhadap kineja aktual proses
manajemen risiko dibandingkan dengan rencana yang akan dihasilkan. Reviu adalah
peninjauan atau pengkajian berkala atas kondisi saat ini dan dengan fokus tertentu
Monitoring dan reviu merupakan bagian yang mendasar dan sangat penting dalam
proses manajemen risiko, terutama dalam proses manajemen risiko bagi
keseluruhan organisasi. Pelaksanaan monitoring dan reviu secara berkelanjutan
bertujuan untuk memberikan jaminan yang wajar terhadap pencapaian sasaran
penerapan system manajemen risiko secara keseluruhan. Pelaksanaan monitoring
dilaksanakan dengan dua pendekatan yaitu pemantauan berkelanjutan (on going
monitoring) dilakukan oleh pelaksana pekerjaan dan pemantauan terpisah (separate
monitoring) dilakukan oleh Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP). Sasaran
dari monitoring dan reviu adalah untuk memberikan jaminan terhadap pencapaian
sasaran penerapan system manajemen risiko secara keseluruhan. Oleh karenanya,
laporan monitoring dan reviu lebih merupakan pelaporan terhadap kelemahan yang
masih ada, tanpa meninggalkan hal-hal positif yang telah dicapai. Pelaporan
kelemahan ini menjadi fokus karena kegagalan penerapan manajemen risiko berarti
memperbesar kegagalan pencapaian sasaran organisasi.
Table 18- Daftar Sasaran Kegiatan Dan Pemilik Risiko
Table 19- Register Risiko
Table 21-Rencana Penanganan Risiko

152
Table 22-Pemantauan Penanganan Pengendalian Risiko

153
Table 23- Laporan Pemantauan Risiko

154
BAB IX
FMEA

A. DEFINISI
Banyaknya kejadian tidak diharapkan (KTD) yang sebenarnya dapat dicegah di RSU
telah lama menjadi pusat perhatian, di Amerika the Joint Comission on Accreditation of
Health Organization (JCAHO) mewajibkan rumah sakit untuk melakukan setidaknya
satu Failure Mode and Effects Analysis (FMEA) setiap tahun untuk dapat mengidentifikasi
berbagai upaya pencegahan. FMEA awalnya dikembangkan di luar bidang pelayanan
kesehatan dan sekarang digunakan di pelayanan kesehatan untuk menilai resiko kegagalan
dan kesalahan pada berbagai proses dan untuk mengidentifikasi area-area penting yang
membutuhkan perbaikan. Di bidang kesehatan sendiri, di Amerika FMEA telah diterapkan di
ratusan RSUdalam berbagai program perbaikan pelayanan kesehatan.
FMEA adalah Failure Mode Effect Analysis, yang artinya adalah suatu analisis yang
dilakukan untuk bisa menemukan efek atau dampak yang kemungkinan akan membuat
kesalahan pada suatu produk ataupun pada proses produksi. Dengan adanya metode
FMEA ini, maka Anda bisa melakukan analisa permasalahan yang nantinya akan muncul
pada suatu produk yang nantinya akan dibuat atau suatu proses yang akan dilakukan. Lalu,
karena masalah yang berpotensi muncul tersebut sudah ditemukan terlebih dahulu, maka
nantinya Anda bisa menentukan bagaimana tindak pencegahannya.
FMEA/FMECA adalah teknik yang digunakan untuk meningkatkan keandalan dan
keamanan suatu proses dengan cara mengidentifikasi potensi kegagalan atau disebut
modus kegagalan pada proses tersebut. Setiap modus kegagalan akan dinilai menggunakan
tiga parameter, yaitu:
1. keparahan (severity - S),
2. kemungkinan terjadinya (occurrence - O), dan
3. kemungkinan kegagalan deteksi (detectability - D).
Ketiga parameter itu kemudian digabungkan untuk menentukan signifikansi kekritisan
(FMECA) dari setiap modus kegagalan. Gabungan dari tiga parameter tersebut dikenal
dengan Angka Prioritas Risiko (Risk Priority Number - RPN). Secara matematis, hubungan
antar parameter dengan RPN dirumuskan sebagai berikut

155
FMEA/FMECA juga dapat digunakan untuk menganalisis sebuah sistem, prosedur, desain
produk, perakitan produk, pelayanan jasa, maupun fungsi perangkat lunak. Oleh karena
penggunaannya yang cukup luas, saat ini FMEA/FMECA banyak digunakan di berbagai
industri, termasuk industri Kesehatan.

B. LANGKAH-LANGKAH

Sebelum mulai penggunaan FMEA/FMECA, Anda perlu membentuk Tim FMEA/FMECA


yang terdiri dari para ahli dari berbagai bidang, multidisiplin dan lintas fungsional yang
memiliki pengetahuan tentang proses yang dianalisis. Tim dapat ditambah satu atau lebih
advisor yang akan membantu proses FMEA/FMECA di organisasi Anda. Pada dasarnya tim
ideal berjumlah 4- 8 orang dari multidisiplin. Hal penting yang perlu diperhatikan adalah
pastikan tim mencakup semua bidang keahlian yang relevan dengan proses yang dianalisis.
Setelah tim terbentuk, Anda dan tim mulai melakukan tahap yang perlu dilakukan untuk
menerapkan FMEA/FMECA, antara lain:

1. Meninjau dan menentukan proses yang memiliki potensi kegagalan

Meninjau setiap proses dan menentukan proses mana yang memiliki potensi kegagalan
sehingga diperlukan analisis FMEA/FMECA. Dalam melakukan peninjauan, Anda dapat
melakukannya dengan cara memverifikasi diagram alir proses yang ada saat ini, kemudian
mengidentifikasi seluruh sub-proses terkait, selanjutnya Anda tetapkan bagian proses dan
sub- proses yang akan menjadi fokus analisis FMEA/FMECA. Anda juga dapat
menggunakan alat bantu yaitu teknik Analisis Pohon Keputusan – Decision Tree Analysis¹
seperti di bawah ini.

156
Gambar 20-Contoh Analisis Pohon Keputusan untuk meninjau dan menentukan

Hal penting di tahap ini adalah seluruh proses dan sub-proses harus diidentifikasi secara
rinci dan tujuan proses harus diuraikan secara jelas. Jika proses yang Anda analisis
melibatkan lebih dari satu proses, maka masing-masing proses harus disebutkan dan
diuraikan secara terpisah.

157
BAB X

DIKLAT PENINGKATAN MUTU DAN KESELAMATAN PASIEN

Staf yang berada di unit kerja maupun di Komite Mutu yang bertugas dalam
mengumpulkan data, melakukan analisis data serta validasi data memerlukan
peningkatan pengetahuan dan keterampilan.
Pelatihan staf perlu direncanakan dan dilaksanakan sesuai dengan peran staf
dalam program PMKP. Rumah sakit mengidentifikasi dan menyediakan narasumber
internal yang kompeten untuk pendidikan dan pelatihan ini. yang dimaksud kompeten
yaitu narasumber pernah mengikuti pelatihan/workshop peningkatan mutu dan
keselamatan pasien yang diselenggarakan oleh KARS. Di sisi lainnya, pelatihan juga
diperlukan untuk pimpinan yang meliputi direktur rumah sakit, kepala bidang, kepala
unit kerja/ pelayanan serta ketua komite- komite, termasuk komite medik dan komite
keperawatan karena perlu memahami konsep dan program peningkatan mutu dan
keselamatan pasien rumah sakit, sehingga dapat melaksanakan perbaikan sesuai
bidang tugasnya menjadi lebih baik
PROGRAM DIKLAT PMKP
No. Jabatan Diklat Materi
1 Direktur/ kepala bidang/ ketua Eksternal PMKP SNARS
PMKP

2 Kepala unit Internal PMKP SNARS


3 Komite medik dan keperawatan Internal PMKP SNARS
4 Komite Mutu Internal PMKP SNARS
5 PIC data unit Internal Sistem manajemen data
6 Staf klinis Internal Konsep dan prinsip PMKP
berfokus pada pasien

7 Staf non klinis Internal Konsep dan prinsip PMKP


secara umum

Laporan pelaksanaan kegiatan diklat PMKP dilaksanakan oleh bagian Diklat RS


secara tertulis kepada Direktur, yang berisi proposal, undangan, absensi, materi, pre
tes, post tes, sertifikat peserta, sertifikat narasumber dan laporan
pertanggungjawaban.
DAFTAR PUSTAKA

1. Anand, U. A., Asif, A. S., Thomas, L., Muhil, S. (2015). Healthcare risk evaluation with
failure mode and effect analysis in established of new dialysis unit. The Journal of
National Accrediation Board for Hospitals and Healthcare Providers, 2(1), 15-
22Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran.

2. Nuchpho, P., Pongpullponsak, A., Nansaarng, S. (2014). Risk assessment in the


organization by using FMEA innovation: A literature review. Proceedings of the 7th
International Conference on Educational Reform (ICER 2014), Innovations and Good
Practice in Education: Global Perspectives

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

5. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1438 tahun 2010 tentang
Standar Pelayanan Kedokteran.
6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 Tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.
7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2017 tentang
Keselamatan Pasien.
8. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2017 tentang
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
9. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2017 tentang
Akreditasi Rumah Sakit.
10. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 129/MENKES/SK/II/2008
tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit.
11. Petunjuk Pelaksanaan Indikator Mutu Pelayanan Rumah Sakit, WHO – Departemen
Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2001.
12. Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit, Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Tahun 2008.
13. A Guide to The Implementation of The WHO Multimodal Hand Hygiene Improvement
Strategy. WHO. Tahun 2009.
14. Pedoman Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien (IKP) Patient Safety Incident
Report, Komite Keselamatan Pasien RSU(KKP-RS) Tahun 2015.
15. Pedoman Penyusunan Panduan Praktik Klinis dan Clinical Pathways dalam
Asuhan Terintegrasi sesuai Standar Akreditasi RSU2012 Edisi I, Perhimpunan
RSUSeluruh Indonesia. Tahun 2015.
16. Panduan Nasional Keselamatan Pasien RSU(Patient Safety) Edisi 3,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2015.
17. Budaya Keselamatan Rumah Sakit. Atmojo, Djoti.Tahun 2019.

Anda mungkin juga menyukai